You are on page 1of 10

Terminologi yang Digunakan Dalam UU No. 8 Thn 1983 & No.

11 Thn 1994

Pasal 16D (UU No 11 Tahun 1994) Pajak PertambahanNilai dikenakan atas penyerahan aktiva oleh Pengusaha Kena Pajak yang menuruttujuan semula aktiva tersebut tidak untuk diperjualbelikan, sepanjang PajakPertambahan Nilai yang dibayar pada saat perolehannya dapat dikreditkan. Penjelasan Pasal 16D Penyerahan mesin, bangunan, peralatan, perabotan atauaktiva lain yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan olehPengusaha Kena Pajak, dikenakan pajak sepanjang memenuhi persyaratan, yaitubahwa Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar pada saat perolehannya, sesuai ketentuanUndang-undang ini, dapat dikreditkan. Dengan demikian, penyerahan aktiva tersebut tidakdikenakan pajak apabila Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar pada waktuperolehannya tidak dapat dikreditkan berdasarkan ketentuan dalam Undang-undangini, kecuali jika tidak dapat dikreditkannya Pajak Pertambahan Nilai tersebutkarena bukti pengkreditannya tidak memenuhi persyaratan administratif, misalnyaFaktur Pajaknya tidak diisi lengkap sesuai dengan ketentuan sebagaimanadimaksud dalam Pasal 13 ayat (5). BAB VI KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 17 (UU No 11 Tahun 1994) Hal-hal yang menyangkut pengertiandan tata cara pemungutan berkenaan dengan pelaksanaan Undang-undang ini, yangsecara khusus belum diatur dalam Undang-undang ini, berlaku ketentuan dalamUndang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan serta peraturanperundang-undangan lainnya. BAB VII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 18 (UU No 8 Tahun 1983) (1) Dengan berlakunya undang-undangini : a. semua Penyerahan Barang KenaPajak atau Jasa Kena Pajak dan Impor Barang Kena Pajak yang telah dilakukansebelum undang-undang ini berlaku, tetap terhutang pajak menurutUndang-undang Pajak Penjualan 1951;

b. selama peraturan pelaksanaan undang-undangini belum dikeluarkan, maka peraturan pelaksanaan yang tidak bertentangandengan undang-undang ini yang belum dicabut dan diganti dinyatakan masihberlaku. (2) Ketentuan pelaksanaan sebagaimanadimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Menteri Keuangan. Penjelasan Pasal 18 Ayat (1) b. Semua peraturan pelaksanaan yangada, yang dikeluarkan dalam rangka pelaksanaan Undang-undang Pajak Penjualan 1951,yang tidak bertentangan dengan isi dan maksud Undang-undang ini, masih tetapberlaku selama belum dicabut dan diganti dengan peraturan pelaksanaan yangdikeluarkan berdasarkan Undang-undang ini. Ayat (2) Ketentuanayat (2) ini dimaksudkan untuk mengatasi kesulitan yang timbul dalam masaperalihan sebagai akibat berlakunya Undang-undang tentang Pajak

PertambahanNilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan tidakberlakunya lagi Undang-undang Pajak Penjualan 1951, terhadap obyek pengenaanyang sama, seperti : - kontrak jangka panjang ataukontrak yang masa berlakunya meliputi dua masa undang-undang seperti tersebutdi atas; - sisa Harga Jual atau Penggantian yang belum dibayar; - persediaan Barang yang belum ada PajakMasukannya. Dalam hal ini Menteri Keuangan diberi wewenang menetapkanperaturan pelaksanaan yang lain dari ketentuan tersebut pada ayat (1), untukmengurangi ketidakadilan dalam pembebanan pajak dan memperlancar pelaksanaan Undang-undang ini.

Subjek dan Pengukuhan PKP Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak objektif yang lebih mengedepankan objeknya daripada subjeknya. Namun demikian subjek PPN sendiri tak kalah pentingnya untuk dipelajari karena subjek pajak inilah yang akan melaksanakan kewajiban perpajakannya. Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah subjek pajak yang paling umum dan paling banyak peranannya dalam melaksanakan kewajiban PPN. Tulisan ini mencoba untuk menggali pemahaman kita tentang istilah Pengusaha Kena Pajak ini. Pengertian PKP (Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000) - Pengusaha (Perusahaan) yang tidak termasuk Pengusaha Kecil yang menyerahkan Barang Kena Pajak /Jasa Kena Pajak. - Pengusaha yang memenuhi syarat ini, wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak sebelum melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP. - Pengusaha kecil yang menyerahkan BKP/JKP, dan memilih menjadi Pengusaha Kena Pajak. Pengusaha kecil diberikan pilihan untuk menjadi Pengusaha Kena Pajak atau tidak menjadi Pengusaha Kena Pajak. Artinya, hukumnya tidak wajib. 1. Yang Termasuk PKP (Peraturan Pemerintah Nomor 143 TAHUN 2000) a) Pengusaha yang baru berniat akan melakukan penyerahan Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak (dalam tahap pra operasi/belum berproduksi komersial), artinya perusahaan tersebut belum memulai usahanya tetapi dari kegiatan persiapan yang dilakukan seperti pembelian barang modal atau bahan baku dapat diketahui bahwa Pengusaha ini berniat akan melakukan penyerahan Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak. b) Bentuk kerja sama operasi (Joint Operation/Joint Venture) yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak. Apabila Joint Operationt tersebut hanya merupakan alat koordinasi, sedangkan transaksi penyerahan BKP/JKP tetap dilakukan sendiri-sendiri oleh peserta JO, maka JO tersebut tidak perlu dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak. Bagaimana tata cara pengusaha kecil 571/KMK.03/2003, SE - 33/PJ.51/2003 ? berdasarkan 552/KMK.04/2000 Jo

2. Pengusaha Kecil (552/KMK.04/2000 Jo 571/KMK.03/2003, SE - 33/PJ.51/2003) a. Sejak 1 Januari 2003 Batasan Pengusaha kecil adalah Rp 600.000.000 (enam ratus juta rupiah) untuk pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak. b. Sebelum 1 Januari 2003 Batasan Pengusaha Kecil adalah : 1. Rp 360 Juta peredaran bruto setahun untuk : Pengusaha yang melakukan penyerahan BKP atau JKP

Pengusaha yang melakukan penyerahan BKP dan JKP, tetapi penyerahan BKP lebih dari 50% dari total peredaran bruto dan penerimaan bruto 2. Rp 180 Juta peredaran bruto setahun untuk : Pengusaha yang melakukan penyerahan BKP atau JKP Pengusaha yang melakukan penyerahan BKP dan JKP, tetapi penyerahan JKP lebih dari 50% dari total peredaran bruto dan penerimaan bruto. c. Beberapa hal seputar pengukuhan PKP : 1. Pengusaha kecil yang omsetnya telah melampaui batasan omset Rp 600 juta, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak paling lambat akhir bulan setelah bulan terlampauinya batasan tersebut. Apabila batas waktu pelaporan tersebut terlampaui, maka saat pengukuhan sebagai PKP adalah awal bulan berikutnya. Contoh : Bapak Meidi terdaftar di KPP Jakarta Kebayoran Baru Dua memiliki toko onderdil mobil di Pusat Onderdil Fatmawati, omset bulan Januari s.d. April 2004 mencapai Rp 500 juta. Sementara omset bulan Mei 2004 adalah Rp 300 Juta. Dengan demikian, batasan Pengusaha Kecil telah terlampaui pada bulan Mei 2004, sehingga Bapak Meidi harus segera melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP kepada KPP Jakarta Kebayoran Baru Dua selambat-lambatnya 30 Juni 2004. Namun jika Bapak Meidi baru melaporkan usahanya pada tanggal 20 Juli 2004, maka saat pengukuhan PKP terhitung mulai tanggal 1 Juli 2004. 2. Dalam hal pengukuhan dilakukan secara jabatan, maka saat pengukuhan adalah awal bulan kedua setelah bulan terlampauinya batasan pengusaha kecil. Jika dalam contoh diatas, Bapak Meidi tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP ke KPP Jakarta Kebayoran Baru Dua dan berdasarkan hasil ekstensifikasi pada bulan Desember 2004 diketahui bahwa batasan Pengusaha Kecil telah terlampaui pada bulan Mei 2004. Maka saat pengukuhan sebagai PKP terhitung sejak tanggal 1 Juli 2004 dan atas PPN terutang bulan Juli s.d. Nopember 2004 beserta sanksi bunga 2 % sebulan dari PPN terhutang. 3. Kewajiban untuk memungut, menyetorkan dan melaporkan PPN dan PPnBM yang terhutang dimulai sejak saat pengukuhan sebagai PKP. Hak dan Kewajiban Pengusaha Kena Pajak (Pasal 3A Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000) : Kewajiban PKP a. Pengusaha yang telah wajib menjadi Pengusaha Kena Pajak atau Pengusaha Kecil yang memilih menjadi Pengusaha Kena Pajak seperti tersebut diatas berkewajiban untuk : 1) Melaporkan usahanya (mendaftarkan perusahaannya) untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak.

2) Memungut PPN/PPn BM yang terutang. 3) Menyetor PPN/PPnBM yang terutang (yang kurang dibayar) 4) Melaporkan PPN/PPn BM yang terutang (menyampaikan SPT Masa PPN/PPn BM). b. Pengusaha kecil yang menyerahkan Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak tidak wajib menjadi Pengusaha Kena Pajak tetapi boleh memilih menjadi Pengusaha Kena Pajak atau tidak. Dengan demikian, atas penyerahan Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kecil tidak dikenakan PPN, kecuali jika Pengusaha Kecil tersebut memilih dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak. c. Apabila sampai dengan suatu bulan dalam satu tahun buku, peredaran bruto (omzet) Pengusaha telah melewati batasan Pengusaha Kecil, Pengusaha tersebut wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak, selambatlambatnya akhir bulan berikutnya. d. Apabila dalam satu tahun buku peredaran bruto Pengusaha Kena Pajak tidak melebihi batasan Pengusaha kecil, maka Pengusaha Kena Pajak yang bersangkutan dapat mengajukan permohonan pencabutan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Hak PKP a. Pengkreditan Pajak Masukan atas perolehan BKP/JKP b. Restitusi atau kompensasi atas kelebihan PPN Proses Pencabutan PKP : a. Direktur Jenderal Pajak akan melakukan pemeriksaan terlebih dahulu. b. Keputusan akan diberikan dalam jangka waktu 2 bulan sejak permohonan diterima. c. Jika Dirjen Pajak tidak memberikan keputusan dalam jangka waktu 2 bulan, maka permohonan tersebut dianggap dikabulkan dan keputusan pencabutan akan diberikan selambat-lambatnya 1 bulan setelah 2 bulan tersebut. Contoh : PT A bergerak dalam bidang perdagangan garmen. Selain itu, PT A juga melakukan penyerahan jasa pengecetan gedung. Pada Masa September 2002, PT A melakukan pengecetan penjualan garmen s.d. September 2002 sebesar Rp 350.000.000,00 dan penyerahan jasa pengecetan gedung s.d. bulan September 2002 Rp 50.000.000,00. Dari kasus ini dapat dihitung Peredaran usaha PT A s.d. September 2002 adalah sebesar Rp 400.000.000,00 (87,5% penyerahan BKP). Jadi dalam hal ini PT A sudah berkewajiban melaporkan usahanya untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak paling lambat akhir bulan Oktober 2002.

Transaksi Antar Pengusaha Kena Pajak yang Terdapat Hubungan Istimewa ( Pasal 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994 ) : Dalam hal harga jual atas Barang Kena Pajak atau penggantian atas Jasa Kena Pajak dipengaruhi adanya hubungan istimewa, maka harga jual atau penggantian tersebut

dihitung atas dasar harga pasar wajar pada saat penyerahan Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak tersebut. Hubungan Istimewa terjadi dalam hal : - Pengusaha mempunyai penyertaan langsung atau tidak langsung sebesar 25% atau lebih pada Pengusaha lain, atau hubungan antara Pengusaha dengan penyertaan sebesar 25% atau lebih pada dua Pengusaha atau lebih. Demikian pula hubungan antara dua Pengusaha atau lebih yang disebutkan terakhir. - Pengusaha menguasai Pengusaha lainnya atau dua Pengusaha atau lebih berada dibawah penguasaan Pengusaha yang sama, yaitu penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi. - Hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus satu derajat dan/atau kesamping satu derajat : - Sedarah lurus satu derajat, yaitu: ayah/ibu dengan anak - Sedarah kesamping satu derajat, yaitu: kakak dengan adik - Semenda lurus satu derajat, yaitu: mertua dengan menantu atau ayah/ibu dengan anak tiri - Semenda kesamping satu derajat, yaitu: hubungan saudara ipar - Jika antara suami istri ada perjanjian pemisahan harta dan penghasilan, maka hubungan keduanya merupakan hubungan istimewa. PENGUKUHAN SEBAGAI PENGUSAHA KENA PAJAK Setiap Wajib Pajak sebagai Pengusaha yang dikenai Pajak berdasarkan Undangundang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, wajib melaporkanb usahanya pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Pengusaha, dan tempat kegiatan usaha dilakukan untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak. Pengusaha Orang pribadi berkewajiban melaporkan usahanya pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal Pengusaha dan tempat kegiatan usaha dilakukan, sedangkan bagi Pengusaha badan berkewajiban melaporkan usahanya tersebut pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan Pengusaha dan tempat kegiatan usaha dilakukan. Dengan demikian, Pengusaha orang pribadi atau badan yang mempunyai tempat kegiatan usaha di wilayah beberapa kantor Direktorat Jenderal Pajak wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP baik di kantor DJP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Pengusaha maupun di Kantor DJP yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha dilakukan. Fungsi pengukuhan PKP selain dipergunakan untuk mengetahui identitas PKP yang sebenarnya juga berguna untuk melaksanakan hak dan kewajiban di bidang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM) serta untuk pengawasan administrasi perpajakan. Pada mulanya, kepada Pengusaha yang memenuhi syarat sebagai PKP diberikan Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (NPPKP) yang berbeda dengan NPWP.

Namun sejak tanggal 1 Juni 1998, berdasarkan Surat Edaran Dirjen Pajak nomor: SE02/PJ.9/1998 tanggal 4 Mei 1998, NPWP ditetapkan sebagai identitas tunggal Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan baik dibidang PPh maupun PPN dan PPn BM. Untuk itu, kepada setiap Pengusaha Kena Pajak diberlakukan NPPKP baru yakni sama dengan NPWP dari Wajib Pajak bersangkutan. Sejak saat itu, kepada Pengusaha yang memenuhi syarat sebagai PKP hanya diberikan Surat Pengukuhan sebagai PKP tanpa pemberian nomor yang baru selain NPWP. Pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak dapat dicabut apabila Pengusaha Kena Pajak pindah alamat ke wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak lain, bubar atau tidak memenuhi syarat lagi sebagai Pengusaha Kena Pajak. PENCATATAN DAN PEMBUKUAN 1. KEWAJIBAN PEMBUKUAN Setelah Wajib Pajak mendaftarkan diri dan mendapatkan NPWP, maka kewajiban berikutnya adalah menyelenggarakan pembukuan. Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 28 ayat (1) UU RI No. 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 6 Tahun 2003 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan, bahwa Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak badan di Indonesia wajib menyelenggarakan pembukuan. Pengertian pembukuan menurut KUP identik dengan pengertian akuntansi yaitu proses pencatatan, pengelompokan, peringkasan dan penyajian dengan cara tertentu atas transaksi keuangan yang terjadi dalam perusahaan atau organisasi lain serta penafsiran terhadap hasilnya. Tujuan Penyelenggaraan pembukuan adalah untuk menghitung penghasilan neto fiskal atau rugi fiskal berdasarkan UU Perpajakan dan peraturan pelaksanaannya, yaitu : a. Peraturan Pemerintah (PP); b. Keputusan Presiden (KEPRES); c. Keputusan atau Peraturan Menteri Keuangan; d. Keputusan Direktur Jenderal Pajak atau Peraturan Direktur Jenderal Pajak; e. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak; Surat Direktur Jenderal Pajak; g. Keputusan Keberatan dari Direktur Jenderal Pajak dan Putusan Banding dari Pengadilan Pajak, hanya untuk Wajib Pajak yang bersangkutan. Akuntansi yang diterapkan sesuai dengan prinsip perpajakan disebut akuntansi pajak (tax accounting). Akuntansi yang dibatasi dengan peraturan perundang-undangan

tertentu disebut juga akuntansi statutori (statutory accounting). Contoh akuntansi statutori disamping akuntansi pajak adalah akuntansi asuransi yaitu akuntansi yang menghasilkan laporan yang disusun berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan di bidang asuransi. Akuntansi Pajak merupakan bagian dari akuntansi umum (general accounting) sehingga Wajib Pajak tidak perlu membuat dua pembukuan, cukup satu pembukuan berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan (SAK). Dari laporan keuangan yang disusun berdasarkan SAK tersebut dilakukan penyesuaian (rekonsiliasi) fiskal berdasarkan ketentuan perpajakan yang berlaku sebagai dasar pengisian SPT tahunan PPh. 2. PRINSIP PEMBUKUAN Prinsip umum yang harus dipenuhi dalam penyelenggaraan pembukuan atau pencatatan adalah sebagai berikut: a. Diselenggarakan dengan memperhatikan itikad baik b. Mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya. c. Diselenggarakan di Indonesia d. Menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan. e. Diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual atau stelsel kas. f. Perubahan terhadap metode pembukuan dan/atau tahun buku harus mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak. g. Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri atas catatan mengenai harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang. h. Penggunaan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah harus mendapat izin Menteri Keuangan. Pada prinsipnya pembukuan harus diselenggarakan dengan memperhatikan itikad baik atau disajikan secara jujur. Dengan demikian, informasi harus menggambarkan dengan jujur transaksi serta peristiwa lainnya yang seharusnya disajikan atau secara wajar dapat diharapkan untuk disajikan. Jadi, misalnya, neraca harus menggambarkan dengan jujur transaksi serta peristiwa lainnya dalam bentuk aktiva, kewajiban dan ekuitas perusahaan pada tanggal pelaporan yang memenuhi kriteria pengakuan. Prinsip taat asas atau konsisten dalam akuntansi sangat penting. Perubahan prosedur pencatatan atau penghitungan akan mempengaruhi isi laporan keuangan.

Apabila ternyata harus ada perubahan prosedur akuntansi, pengaruhnya harus dikemukakan dalam laporan. Dalam perpajakan Prinsip taat asas dimaksudkan agar dapat menghindari pergeseran besarnya laba rugi fiskal sebagai dasar menghitung pajak yang terhutang. Stelsel akrual (accrual basis) adalah suatu metode penghitungan penghasilan dan biaya dalam arti penghasilan diakui pada waktu diperoleh dan biaya diakui pada waktu terutang. Jadi, tidak tergantung kapan penghasilan itu diterima dan kapan biaya itu dibayar secara tunai. Termasuk dalam pengertian stelsel akrual adalah pengakuan penghasilan berdasarkan metode persentase penyelesaian pekerjaan yang umumnya dipakai dalam bidang konstruksi dan metode lain yang dipakai dalam bidang usaha tertentu seperti build operate and transfer (BOT) dan real estate. Stelsel kas (cash basis) adalah suatu metode yang penghitungannya didasarkan atas penghasilan yang diterima dan biaya yang dibayar secara tunai. Menurut stelsel kas, penghasilan baru dianggap sebagai penghasilan apabila benar- benar telah diterima secara tunai dalam periode tertentu serta biaya baru dianggap sebagai biaya apabila benar-benar telah dibayar secara tunai dalam suatu periode tertentu. Stelsel kas biasanya digunakan oleh perusahaan kecil orang pribadi atau perusahaan jasa, misalnya transportasi, hiburan, dan restoran yang tenggang waktu antara penyerahan jasa dan penerimaan pembayarannya tidak berlangsung lama. Dalam stelsel kas murni, penghasilan dari penyerahan barang atau jasa ditetapkan pada saat pembayaran dari pelanggan diterima dan biaya-biaya ditetapkan pada saat barang, jasa, dan biaya operasional lain dibayar. Penyerahan Barang Kena Pajak Berdasarkan Pasal 1 angka 4 UU PPN, Penyerahan Barang Kena Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak. Barang Kena Pajak sendiri adalah barang yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang PPN. Pasal 1A ayat (1) UU PPN memberikan penegasan tentang penyerahan Barang Kena Pajak ini. Sementara itu Pasal 1A ayat (2) memberikan penegasan tentang apa-apa yang tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak. Lebih jauh tentang penyerahan Barang Kena Pajak ini, saya uraikan dalam tulisan tersendiri yaitu Penyerahan Barang Kena Pajak. Silahkan klik tautan tersebut. Penyerahan Jasa Kena Pajak Berdasarkan Pasal 1 angka 7, Penyerahan Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan pemberian Jasa Kena Pajak. Jasa Kena Pajak adalah jasa yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang PPN. Tidak ada Pasal khusus yang menjelaskan lebih jauh tentang penyerahan Jasa Kena Pajak ini seperti yang diatur dalam Pasal 1A untuk penyerahan Barang Kena Pajak.

Pengertian penyerahan sendiri lebih dari sekedar penjualan. Bisa juga berbentuk sumbangan, atau bantuan cuma-cuma atau pemakaian sendiri.

You might also like