You are on page 1of 13

BAB II

TEORI KOGNITIF SOSIAL BANDURA

2.1 Teori Kognitif Sosial Teori kognitif sosial dikembangkan oleh Albert Bandura, dia adalah psikolog pendidikan dari Stanford University, USA. Beliau terkenal dengan teori pembelajaran sosial atau bisa disebut dengan pembelajaran observasional, menurutnya, seseorang belajar dari orang lain melalui peniruan dan pemodelan. Manusia selalu belajar melalui pengamatan terhadap orang lain dalam dunia sosial. Seperti pada eksperimen boneka bobo yang dilakukan oleh Bandura. Sejumlah anak TK secara acak ditugaskan untuk melihat tiga film di mana ada seorang (model) sedang memukuli bonek plastik seukuran orang dewasa yang dinamakan boneka Bobo. Dalam film pertama penyerangnya diberi permen, minuman ringan, dan dipuji karena telah melakukan tindakan agresif. Dalam film kedua, si penyerang ditegur dan ditampar karena bertindak agresif. Dalam film ketiga, tidak ada konsekuensi atas tindakan si penyerang boneka. Kemudian masingmasing anak dibiarkan sendiri berada di ruangan penuh mainan, termasuk bobo. Perilaku anak diamati melalui cermin satu arah. Hasilnya, anak yang menonton film dimana perilaku agresornya diperkuat atau tidak dihukum menirukan perilaku agresor lebih banyak daripada anak yang menyaksikan agresor dihukum. Seperti yang dapat diduga bahwa anak lelaki lebih agresif dibanding perempuan. Maksud penting dari studi ini adalah bahwa pembelajaran observasional terjadi sama ekstensifnya pada saat perilaku agresif yang dimodelkan diperkuat dan saat tidak diperkuat. Hal penting lainnya yaitu pembedaan antara pembelajaran dan pelaksanaan. Hanya karena anak tidak melakukan suatu respon, bukan berarti anak tidak mempelajarinya. Menurut Bandura, faktor-faktor sosial dan kognitif, serta perilaku memainkan peranan penting dalam pembelajaran. Faktor-faktor kognitif yang meliputi harapan siswa untuk berhasil, pada faktor-faktor sosial juga meliputi pengamatan sosial terhadap perilaku pencapaian orang tua mereka. Bandura mengatakan bahwa ketika siswa belajar, mereka secara kognitif dapat mewakili atau mengubah pengalaman mereka. Menurutnya, dalam pengkodisian operant hubungan-hubungan muncul hanya antara pengalaman lingkungan dan perilaku.

2.1.1 Faktor-faktor Penting dalam Belajar Melalui Observasi Sejak awal masa eksperimennya, Bandura (1986) telah berfokus pada penyelidikan proses-proses tertentu yang terlibat dalam pembelajaran observasional. Proses tersebut meliputi atensi, retensi, produksi, dan motivasi. Atensi : sebelum meniru tindakan model, mereka harus memperhatikan apa yang dilakukan atau dikatakan si model. Perhatian ini dipengaruhi oleh asosiasi pengamat dengan modelnya, sifat model yang atraktif, dan arti penting tingkah laku yang diamati bagi si pengamat. Retensi : untuk mereproduksi tindakan model, mereka harus mengkodekan informasi dan menyimpannya dalam ingatan (memori) sehinga informasi itu bisa diambil kembali. Tingkah laku yang akan ditiru, harus disimbolisasikan dalam ingatan. Baik dalam bentuk verbal maupun dalam bentuk gambaran/imajinasi. Representasi verbal memungkinkan orang mengevaluasi secara verbal tingkah laku yang diamati, dan menentukan mana yang dibuang dan mana yang akan dicoba dilakukan. Representasi imajinasi memungkinkan dapat dilakukannya latihan simbolik dalam pikiran, tanpa benar benar melakukannya secara fisik. Produksi : mereproduksi perilaku model. sesudah mengamati dengan penuh perhatian, dan memasukkannya ke dalam ingatan, orang lalu bertingkah laku. Mengubah dari gambaran pikiran menjadi tingkah laku menimbulkan kebutuhan evaluasi; Bagaimana melakukannya? Apa yang harus dikerjakan? Apakah sudah benar? Berkaitan dengan kebenaran, hasil belajar melalui observasi tidak dinilai berdasarkan kemiripan respons dengan tingkah laku yang ditiru, tetapi lebih pada tujuan belajar dan efikasi dari pembelajaran. Motivasi : Anak akan melakukan apa yang dilakukan model jika mereka termotivasi untuk melakukannya. Melalui pengamatan menjadi efektif kalau pembelajaran memiliki motivasi yang tinggi untuk dapat melakukan tingkah laku modelnya. Observasi mungkin memudahkan orang untuk menguasai tingkah laku tertentu, tetapi kalau motivasi untuk itu tidak ada, tidak bakal terjadi proses daripada tingkah laku yang dihukum. Imitasi tetap terjadi walaupun model tidak diganjar, sepanjang pengamat melihat model mendapat ciriciri positif yang menjadi tanda dari gaya hidup yang berhasil, sehingga diyakini model umumnya akan diganjar.

2.2 Dasar-Dasar Teori Kognitif Sosial


2.2.1 Determinis Resiprokal (Timbal-Balik) Bandura mengembangkan Model Determinisme (Timbal-Balik) yang terdiri atas tiga faktor utama, diantaranya: perilaku, lingkungan, dan orang/kognitif. Faktor-faktor tersebut saling berinteraksi untuk mempengaruhi pembelajaran. Bandura (1977) mengatakan bahwa tingkah laku (Behavior), lingkungan (Environment) dan kejadian internal pada pembelajar yang mempengaruhi persepsi dan aksi (Personal) adalah merupakan hubungan yang saling berpengaruh (interlocking). Harapan dan nilai mempengaruhi tingkah laku. Tingkah laku sering dievaluasi, bebas dari umpan balik lingkungan sehingga mengubah kesan-kesan personal, pembelajaran. Tingkah laku mengaktifkan kontingensi lingkungan. Pengakuan sosial yang berbeda mempengaruhi konsepsi diri individu. Kontingensi yang aktif dapat merubah intensitas atau arah aktivitas.

Perilaku Orang/Kognit Faktor-faktor if diatas dapat Lingkunga mempengaruhi pembelajaran. n

berinteraksi untuk

Faktor-

faktor lingkungan mempengaruhi perilaku, perilaku mempengaruhi lingkungan, faktor orang/kognitif mempengaruhi perilaku, dan seterusnya. 2.2.2 Tanpa Reinforcement Bandura memandang teori Skinner dan Hull terlalu bergantung pada reinforcement. Jika setiap unik respon sosial yang orang malah tidak belajar apapun. Menurutnya reinforcement penting dalam menentukan apakah suatu tingkah laku akan terus terjadi atau tidak, tetapi itu bukan satu-satunya pembentuk tingkah laku. Orang dapat belajar melakukan sesuatu hanya dengan mengamati dan kemudian mengulang apa yang dilihatnya, tanpa harus ada reinforcement (penguatan) ,sebab reinforcement bukan satu-satunya pembentuk tingkah laku. Belajar melalui observasi tanpa ada reinforcement yang terlibat, berarti tingkah laku ditentukan oleh antisipasi konsekuensi, itu merupakan pokok teori belajar sosial.

2.2.3 Kognisi dan Regulasi diri Teori belajar tradisional sering terhalang oleh ketidaksenangan atau ketidak-mampuan mereka untuk menjelaskan proses kognitif. Konsep Bandura menempatkan manusia sebagai pribadi yang dapat mengatur diri sendiri (self regulation), mempengaruhi tingkah laku dengan cara mengatur lingkungan, menciptakan dukungan kognitif, mengadakan konsekuensi bagi tingkah lakunya sendiri. Kemampuan kecerdasan untuk berfikir simbolik menjadi sarana yang kuat untuk menangani lingkungan, misalnya dengan menyimpan pengalaman (dalam ingatan) dalam wujud verbal dan gambaran imajinasi untuk kepentingan tingkah laku pada masa yang akan datang. Kemampuan untuk menggambarkan secara imajinatif hasil yang diinginkan pada masa yang akan datang mengembangkan strategi tingkah laku yang membimbing ke arah tujuan jangka panjang. Bandura melukiskan Teori Belajar Sosial berusaha menjelaskan tingkah laku manusia dari segi interaksi timbal-balik yang berkesinambungan antara faktor kognitif, tingkahlaku, dan faktor lingkungan. Dalam proses determinisme timbal-balik itulah terletak kesempatan bagi manusia untuk mempengaruhi nasibnya maupun batas-batas kemampuannya untuk memimpin diri sendiri (self-direction). Konsepsi tentang cara manusia berfungsi semacam ini tidak menempatkan orang semata-mata sebagai objek tak berdaya yang dikontrol oleh pengaruhpengaruh lingkungan ataupun sebagai pelaku-pelaku bebas yang dapat menjadi apa yang dipilihnya. Manusia dan lingkungannya merupakan faktor-faktor yang saling menentukan secara timbal balik (Bandura, 1977).

2.3 Struktur Kepribadian


Menurut Bandura (1982), penguasaan keterampilan dan pengetahuan yang kompleks tidak hanya bergantung pada proses perhatian, retensi, motor reproduksi dan motivasi, tetapi juga sangat dipengaruhi oleh unsur-unsur yang berasal dari diri pembelajar sendiri yakni Sense of Self Efficacy dan Self Regulatory System. 2.3.1 Self Efficacy

Dalam model pembelajaran Bandura, faktor orang/kognitif memainkan peran penting. Faktor orang/kognitif yang ditekankan oleh Bandura adalah efikasi diri (self-efficacy), yaitu keyakinan bahwa seseorang dapat menguasai situasi dan menciptakan hasil yang positif. Bandura menyebut keyakinan atau harapan diri ini sebagai efiksasi diri dan harapan hasilnya disebut ekspektasi hasil. Contoh dari efikasi diri yang mempunyai pengaruh yang kuat pada perilaku yaitu seorang siswa yang mempunyai efikasi diri yang rendah sangat mungkin kalau siswa ini tidak akan mencoba belajar untuk ujian, hal ini terjadi karena siswa ini tidak percaya kalau belajar untuk ujian ini akan membawa kebaikan untuknya. 1. Efiksasi diri atau ekspektasi (self effication efficacy expectation) adalah Persepsi diri sendiri mengenai seberapa bagus diri dapat berfungsi dalam situasi tertentu. Efikasi dari berhubungan dengan keyakinan bahwa diri memiliki kemampuan melakukan tindakan yang diharapkan. 2. Ekspektasi hasil (outcome expectations) adalah perkiraan atau estimasi diri bahwa tingkah laku yang dilakukan diri itu akan mencapai hasil tertentu. Efikasi adalah penilaian diri, apakah dapat melakukan tindakan yang baik atau buruk, tepat atau salah, bisa atau tidak bisa mengerjakan sesuai dengan yang dipersyaratkan. Efikasi ini berbeda dengan aspirasi (cita-cita), karena cita-cita menggambarkan sesuatu yang ideal yang seharusnya dapat dicapai. Sedangkan efikasi menggambarkan ekspektasi efikasi yang tinggi, bahwa dirinya mampu melaksanakan operasi tumor sesuai dengan standar profesional. Namun ekspektasi hasilnya bisa rendah, karena hasil operasi itu sangat tergantung pada daya tahan jantung pasien, kemurnian obat antibiotik, sterilitas dan infeksi, dan sebagainya. Orang bisa memiliki ekspektasi hasil yang realistik (apa yang diharapkan sesuai dengan kenyataan hasilnya), atau sebaliknya, ekspektasi hasilnya tidak realistik (mengharap terlalu tinggi dari hasil nyata yang dipakai). Orang yang ekspektasinya tinggi (percaya bahwa dia dapat mengerjakan sesuai dengan tuntutan situasi) dan harapan hasilnya realistik (memperkirakan hasil sesuai dengan kemampuan diri), maka orang tersebut akan bekerja keras dan bertahan mengerjakan tugas sampai selesai.

Sumber efikasi diri:

1. Pengalaman menguasai sesuatu prestasi (Performance Accomplishment) Adalah prestasi yang pernah dicapai pada masa yang telah lalu. Sebagai sumber, performansi masa lalu menjadi pengubah efikasi diri yang paling kuat pengaruhnya. Prestasi (masa lalu) yang bagus meningkatkan ekspektasi efikasi, sedang kegagalan akan menurunkan efikasi. Mencapai keberhasilan akan memberikan dampak efikasi yang berbeda-beda, tergantung proses pencapaiannya : a. Semakin sulit tugasnya, keberhasilan akan membuat efikasi semakin tinggi. b. Kerja sendiri, lebih meningkatkan efikasi dibanding kerja kelompok, dibantu orang lain. c. Kegagalan menurunkan efikasi, kalau orang merasa sudah berusaha sebaik mungkin. d. Kegagalan dalam suasana emosional/stress, dampaknya tidak seburuk kalau kondisinya optimal. e. Kegagalan sesudah orang memiliki keyakinan efikasi yang kuat, dampaknya tidak seburuk kalau kegagalan itu terjadi pada orang yang keyakinan efikasinya belum kuat. f. Orang yang biasa berhasil, sesekali gagal tidak mempengaruhi efikasi. 2. Pengalaman Vikarius (Vicarious Experience) Diperoleh melalui model sosial. Efikasi akan meningkat ketika mengamati keberhasilan orang lain, sebaliknya efikasi akan menurun jika mengamati orang yang kemampuannya kira-kira sama dengan dirinya ternyata gagal. Kalau figur yang diamati berbeda dengan diri si pengamat, pengaruh vikariusnya tidak besar. Sebaliknya ketika mengamati kegagalan figur yang setara dengan dirinya, bisa jadi orang tidak mau mengerjakan apa yang pernah gagal dikerjakan figur yang diamatinya itu dalam jangka waktu yang lama. 3. Persuasi Sosial (Social Persuation) Efikasi diri juga dapat diperoleh, diperkuat atau dilemahkan melalui persuasi sosial. Dampak dari sumber ini terbatas, tetapi pada kondisi yang tepat persuasi dari orang lain dapat mempengaruhi efikasi diri. Kondisi itu adalah rasa percaya kepada pemberi persuasi, dan sifat realistik dari apa yang dipersuasikan. 4. Pembangkitan Emosi (Emotional/Psysilogical states)

Keadaan emosi yang mengikuti suatu kegiatan akan mempengaruhi efikasi di bidang kegiatan itu. Emosi yang kuat, seperti; takut, cemas, stress, dapat mengurangi efikasi diri. Namun peningkatan emosi (yang tidak berlebihan) dapat meningkatkan efikasi diri. Perubahan tingkah laku akan terjadi kalau sumber ekspektasi efikasinya berubah. Pengubahan self-efficacy banyak dipakai untuk memperbaiki kesulitan dan adaptasi tingkah laku orang yang mengalami berbagai masalah behavioral. Efikasi diri sebagai prediktor tingkah laku Bila digabungkan dengan tujuan-tujuan spesifik dan pemahaman akan menjadi penentu tingkah laku di masa mendatang setiap individu memiliki efikasi diri yang berbeda-beda pada situasi yang berbeda, tergantung pada: Kemampuan yang dituntut oleh situasi yang berbeda Kehadiran orang lain Kondisi fisiologis Emosional individu 2.3.2 Self Regulatory Konsep Bandura menempatkan manusia sebagai pribadi yang dapat mengatur diri sendiri (self regulation), seiring perkembangan kognitifnya, akan mempengaruhi tingkah laku, mengadakan konsekuensi bagi tingkah lakunya sendiri. Pembelajaran dengan regulasi diri (self regulatory learning) terdiri atas pembangkitan diri dan pemantauan diri atas pikiran, perasaan dan perilaku dengan tujuan untuk mencapai suatu sasaran. Sasaran ini bias berupa akademik (meningkatkan pemahaman saat membaca, menjadi penulis yang lebih terorganisasi, belajar bagaimana untuk melakukan kegiatan, mengajukan pertanyaan yang relevan) atau sasaran sosio-emosional (mengendalikan kemarahan, bergaul dengan yang lebih baik dengan teman sebaya). Karakteristik self-regulated learned, (Winnie, 1995, 1997, 2001, 2005): Bertujuan memperluas pengetahuan dan mempertahankan motivasi mereka Menyadari keadaan emosi dan mempunya strategi untuk mengelola emosi mereka

Secara berkala memantau kemajuan mereka menuju suatu sasaran Menyempurnakan dan merevisi strategi berdasarkan kemajuan yang mereka buat Mengevaluasi rintangan-rintangan yang mungkin timbul & melakukan adaptasi yang diperlukan Model pembelajaran dengan self regulatory learning:
EVALUASI DIRI DAN PEMANTAUAN

MEMANTAU HASIL DAN MENYEMPURNAKAN STRATEGI MELAKSANAKAN RENCANA DAN MEMANTAUNYA

PENETAPAN SASARAN DAN PERENCANAAN STRATEGIS

2.4 Perkembangan Kepribadian


2.4.1 Belajar Melalui Observasi Menurut Bandura, kebanyakan belajar terjadi tanpa reinforcement yang nyata. Dalam penelitiannya, ternyata orang dapat mempelajari respon baru dengan melihat respon orang lain, bahkan belajar tetap terjadi tanpa ikut melakukan hal yang dipelajari itu, dan model yang diamatinya juga tidak mendapat reinfor semen dari tingkah lakunya. Belajar melalui observasi jauh lebih efisien dibanding belajar melalui pengalaman langsung. Melalui observasi orang dapat memperoleh respon yang tidak terhingga banyaknya, yang mungkin diikuti dengan hubungan atau penguatan. 2.4.2 Peniruan (Modelling) Inti dari belajar melalui observasi adalah modeling. Peniruan atau meniru sesungguhnya tidak tepat untuk mengganti kata modeling, karena modeling bukan sekedar menirukan atau mengulangi apa yang dilakukan orang model (orang lain), tetapi modeling melibatkan

penambahan dan atau pengurangan tinkah laku yang teramati, menggeneralisir berbagai pengamatan sekaligus, melibatkan proses kognitif. Penelitian terhadap tiga kelompok anak taman kanak-kanak: Kelompok pertama disuruh mengobservasi model orang dewasa yang bertingkah laku agresif, fisik dan verbal, terhadap boneka karet. Kelompok kedua diminta mengobservasi model orang dewasa yang duduk tenang tanpa menaruh perhatian terhadap boneka karet didekatnya. Kelompok ketiga menjadi kelompok control yang tidak ditugasi mengamati dua jenis model itu. Ketiga kelompok anak itu kemudian dibuat mengalami frustasi ringan, dan setiap anak sendirian ditempatkan di kamar yang ada boneka karet seperti yang dipakai penelitian. Ternyata tingkah laku setiap kelompok cenderung mirip dengan tingkah laku model yang diamatinya. Kelompok pertama bertingkah laku lebih agresif terhadap boneka dibanding kelompok lain. Kelompok kedua sedikit lebih agresif dibanding kelompok kontrol. Contoh lain, berdasarkan social learnig theory menyatakan bahwa tingkah laku manusia bukan semata-mata bersifat refleks atau otomatis, melainkan juga merupakan akibat dari reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif. Menurut Bandura, sebagian besar tingkah laku manusia dipelajari melalui peniruan (imitation) maupun penyajian contoh perilaku (modelling). Dalam hal ini orang tua dan guru memainkan peranan penting sebagai seorang model atau tokoh bagi anak untuk menirukan perilaku membaca. Anggota keluarga yang sering dilihat oleh anak membaca atau memegang buku di rumah akan merangsang anak untuk mencoba mengenal buku (Setianti, Fetiara dan Alfi Purnamasari, Efefektifitas Mendengarkan Pembacaan Cerita Untuk Meningkatkan Minat Baca Anak Sekolah Dasar. Jurnal Humanistik Fakultas Psikologi Ahmad Dahlan, Vol 5, No.1 Januari 2008). 2.4.3 Pembelajaran Langsung Pembelajaran langsung dikembangkan berdasarkan teori belajar sosial dari Albert Bandura. Pembelajaran langsung adalah model pembelajaran yang dirancang untuk mengajarkan pengetahuan deklaratif dan pengetahuan prosedural yang diajarkan setahap demi setahap. Ciri khas pembelajaran ini adalah adanya modeling, yaitu suatu fase di mana dosen memodelkan atau mencontohkan melalui demonstrasi bagaimana suatu keterampilan itu dilakukan.

Pada saat dosen melakukan modeling mahasiswa melakukan pengamatan terhadap keterampilan yang dimodelkan itu. Selanjutnya mahasiswa diberi kesempatan untuk meniru model yang dilakukan oleh dosen melalui kesempatan latihan di bawah bimbingan dosen. 2.4.4 Modeling Tingkah Laku Baru Melalui modeling orang dapat memperoleh tingkah laku baru. Ini dimungkinkan karena adanya kemampuan kognitif. Stimuli berbentuk tingkah laku model ditransformasikan menjadi gambaran mental, dan yang lebih penting lagi ditransformasi menjadi simbol verbal yang dapat diingat kembali suatu saat nanti. Keterampilan kognitif yang bersifat simbolik ini, membuat orang dapat mentransformasikan pada apa yang dipelajarinya atau menggabung-gabung apa yang diamatinya dalam berbagai situasi menjadi pola tingkah laku baru. 2.4.5 Modeling Mengubah Tingkah Laku Lama Di samping dampak mempelajari tingkah laku baru, modeling mempunyai dua macam dampak terhadap tingkah laku lama. Pertama, tingkah laku model yang diterima secara sosial dapat memperkuat respon yang sudah dimiliki pengamat. Kedua, tingkah laku model yang tidak diterima secara sosial dapat memperkuat atau memperlemah pengamat untuk melakukan tingkah laku yang tidak diterima secara sosial, tergantung apakah tingkah laku model itu diganjar atau dihukum. Kalau tingkah laku yang tidak dikehendaki itu justru diganjar, pengamat cenderung meniru tingkah laku itu, sebaliknya kalau tingkah laku yang tidak dikehendaki itu dihukum, respon pengamat menjadi semakin lemah. Modeling Simbolik Dewasa ini sebagian besar modeling tingkah laku berbentuk simbolik. Film dan televisi menyajikan contoh tingkah laku yang tak terhitung yang mungkin mempengaruhi pengamatnya. Sajian itu berpotensi sebagai sumber model tingkah laku. Modeling Kondisioning Modeling dapat digabung dengan kondisioning klasik menjadi kondisioning klasik vikarius (vicarious classical conditioning). Modeling pon emosional. Pengamat mengobservasi model tingkah laku emosional yang mendapat penguatan. Muncul respon emosional yang sama di dalam diri pengamat, dan respon itu ditujukan ke obyek yang ada didekatnya (kondisioning

klasik) saat dia mengamati model itu, atau yang dianggap mempunyai hubungan dengan obyek yang menjadi sasaran emosional model yang diamati. Emosi seksual yang timbul akibat menonton film cabul dilampiaskan ke obyek yang ada didekatnya saat itu (misalnya: menjadi kasus pelecehan dan perkosaan anak). 2.5 Dampak Belajar Setiap kali respons dibuat, akan diikuti dengan berbagai konsekuensi; ada yang konsekuensinya menyenangkan, ada yang tidak menyenangkan, ada yang tidak masuk kekesadaran sehingga dampaknya sangat kecil. Penguatan baik yang positif maupun negatif nampaknya tidak otomatis sejalan dengan konsekuensi respons. Konsekuensi dari suatu respons mempunyai tiga fungsi: 1. 2. Pemberi informasi: memberi informasi mengenai dampak dari tingkah laku informasi ini dapat disimpan untuk dipakai membimbing tingkah laku pada masa yang akan datang. Memotivasi tingkah laku yang akan datang: Menyajikan data sehingga orang dapat membayangkan secara simbolik hasil tingkah laku yang akan dilakukannya, dan bertingkah laku sesuai dengan peramalan-peramalan yang dilakukannya. Dengan kata lain, tingkah laku ditentukan atau dimotivasi oleh masa yang akan datang, di mana pemahaman mengenai apa yang akan terjadi pada masa yang akan datang itu diperoleh dari pemahaman mengenai konsekuensi suatu tingkah laku. 3. Penguat tingkah laku: Keberhasilan akan menjadi penguat sehingga tingkah laku menjadi diulangi, sebaliknya kegagalan akan membuat tingkah laku cenderung tidak diulang.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan Albert Bandura terkenal dengan teori pembelajaran sosial atau pembelajaran observasional yang menurutnya manusia selalu belajar melalui pengamatan terhadap orang lain; modelling. Faktor-faktor penting dalam proses pembelajaran observasional, meliputi atensi, retensi, produksi, dan motivasi. Dasar-dasar teori kognitif sosial yang dikembangkang oleh Bandura, diantaranya:
Determinisme timbal-baliknya (Resiprokal) terhadap pembelajaran meliputi tiga faktor

utama: orang/kognisi, perilaku, lingkungan. Dimana ketiga faktor ini memiliki keterkaitan atau saling berinteraksi satu sama lain.
Pembentuk tingkah laku seseorang bukan hanya bergantung pada reinforcement saja,

tetapi belajar dengan tanpa adanya reinforcement juga terlibat.


Self Regulation dan Self-Direction mempengaruhi manusia dalam berperilaku.

Penguasaan keterampilan dan pengetahuan yang kompleks sangat dipengaruhi oleh Self Efficacy dan Self Regulatory.

Daftar Pustaka
Gage, N. L., & Berliner, D. C., (1992). Educational Psychology, 5th ed., Boston: Houghton Miffin. Santrock, J. W., (2007). Educational Psychology. Psikologi Pendidikan. Tri Wibowo B.S. (Terj.). Texas: Mc. Graw.-Hill Comp.

You might also like