You are on page 1of 21

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Dalam suatu kegiatan penambangan selalu dijumpai kegiatan penggalian. Pada umumnya penggalian dipengaruhi oleh tiga kondisi sebagai berikut: Kondisi I : Bila tanah biasa, bisa langsung dilakukan penumpukan (stockpiling) atau langsung dimuat (loading). Kondisi II : Bila kondisi tanah keras harus dilakukan penggaruan (ripping) terlebih dahulu, kemudian dilakukan stock pilling dan pemuatan (loading). Kondisi III : Bila tanah terlalu keras dimana pekerjaan ripping tidak ekonomis maka harus dilakukan peledakan (blasting) guna memecah belahkan material terlebih dahulu sebelum dilakukan stock pilling kemudian dilakukan pemuatan (loading). Metode ripping merupakan metode mekanis yang telah diterapkan secara luas. Metode ini umumnya dipilih karena dianggap lebih ekonomis dan ramah lingkungan. Selain itu tidak menimbulkan getaran (ground maupun air vibration). Namun dalam aplikasinya, sebelum pemilihan alat harus ada studi mengenai karakteristik material yang akan digaru. Namun hal ini jarang dilakukan sehingga dapat berujung pada penggunaan alat yang tidak efektif dan efisien. Beberapa ilmuwan telah meneliti tentang kemampugaruan baik dengan metode langsung maupun metode tak langsung. Metode langsung dilakukan dengan uji coba lapangan untuk melihat seberapa unjuk kerja alat (perfomance), parameter yang diukur ialah tingkat produksi. Sedangkan metode tak langsung dilakukan dengan studi lapangan atau uji laboratorium. Dalam proses kerjanya, penggaruan sangat dipengaruhi oleh kekuatan batuan. Ada batuan yang mudah digaru, sulit digaru, sangat sulit digaru, bahkan tidak dapat digaru. Tingkat kemampugaruan batuan yang berbeda dapat berpengaruh pada tingkat produksi
1

yang berbeda pula. Umumnya, semakin kuat batuan maka semakin sulit digaru, dan berpengaruh pada tingkat produksi alat garu yang semakin kecil. 1.2 Perumusan Masalah Proses penggaruan biasanya serta merta dilakukan tanpa melibatkan studi secara rinci mengenai sifat-sifat material yang akan digaru. Sehingga hal ini menyebabkan penggunaan alat berat (bulldozer dan ripper) menjadi tidak sesuai dan berujung pada proses penggaruan yang tidak efektif serta efisien. 1.3 Tujuan Tugas Akhir Tujuan dari penelitian ini adalah mendapatkan nilai kuat batuan dan tingkat produksi ripper dari suatu massa batuan guna memperoleh nilai kemampugaruan suatu batuan. 1.4 Batasan Masalah Batasan masalah yang akan dibahas adalah: Perhitungan tingkat produksi ripper dilakukan dengan metode volume by length. Uji geomekanik batuan untuk mengetahui kekuatan batuan. Klasifikasi batuan untuk mengetahui tingkat kemampugaruan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sifat Fisik Batuan


2.1.1 Porositas Porositas dapat didefinisikan sebagai perbandingan antara volume total pori-pori batuan dengan volume total batuan persatuan volume tertentu, yang jika dirumuskan : ................................................................... (2.1) Dimana : ( ) ( )

2.1.2 Densitas Batuan Densitas batuan dari batuan berpori adalah perbandingan antara berat terhadap volume (rata rata dari material tersebut). Densitas spesifik adalah perbandingan antara densitas material tersebut dengan densitas air pada tekanan dan temperature yang normal, yaitu kurang lebih 10 kg/m3. Macam macam densitas atau bobot isi batuan yaitu: a. Bobot isi asli (Natural Density) . (2.2)

b. Bobot isi kering (dry density) . (2.3)


3

c. Bobot isi Jenuh (Saturated density) .. (2.4) Dimana: ( )

2.1.3 Kadar Air Merupakan perbandingan antara berat air dalam batuan dengan berat butiran batuan dan dinyatakan dalam %. Macam macam kadar air adalah sebagai berikut: a. Kadar air asli ( ) .. (2.5) b. Kadar air Jenuh ( ) . (2.6) Dimana :

2.2 Ripper dan Mekanisme Kerjanya


Ripper merupakan satu alat mekanis berupa cakar baja yang digunakan untuk membongkar material keras. Ripper menjadi pilihan alternatif apabila excavator tidak

memungkinkan atau dianggap tidak lagi ekonomis untuk melakukan penggalian langsung (direct digging). Ripper umumnya terpasang pada bagian belakang bulldozer. Prinsip kerjanya ialah dengan melakukan penetrasi cakar baja kedalam material, kemudian ditarik oleh traktor/bulldozer dengan jarak, kecepatan dan arah tertentu. Material yang terbongkar didorong dan dikumpulkan dengan sudu (blade) bulldozer untuk kemudian dimuat dan diangkut. Volume material yang terbongkar sangat tergantung pada karakteristik material dan teknik pengoperasiannya.

Gambar 2.1 Proses penetrasi oleh ripper

Dalam proses penggaruan, terjadi keruntuhan batuan (failure) yaitu hilangnya kekuatan batuan karena adanya tegangan. Ketika konsentrasi tegangan pada tip (ujung cakar baja) melebihi kekuatan batuan (compressive strength), maka akan terjadi keruntuhan geser (shear failure) yang memungkinkan penetrasi awal oleh tip. Dan selama traktor/buldozer bergerak maju maka akan terjadi keruntuhan tarik (tensile failure). Mac Gregor menggambarkan beberapa mekanisme penggaruan berdasarkan beberapa kondisi material yang berbeda, yakni ploughing, loosening, crushing, tearing, spliting dan prying out, yang ditunjukkan pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Mekanisme penggaruan

Darcy (1971) telah menguraikan beberapa mekanisme penggaruan sebagai berikut: Ploughing: terjadi pada material padat tanpa bidang lemah, spasi penggaruan rapat, material yang terbongkar dalam jumlah yang kecil. Crushing: terjadi pada batuan dengan kondisi spasi bidang lemah yang rapat (0.1-0.3 m). Lifting: terjadi pada batuan dengan strata horizontal, lempengan material terangkat yang kemudian terbongkar. Breaking: terjadi pada material dengan strata miring (inclined).

2.3 Komponen Utama Ripper


Ripper terdiri dari beberapa komponen utama, yaitu: Tip Komponen ini berupa baji yang masuk ke dalam formasi batuan. Penetrasi awal sangat menentukan apakah suatu material dapat digaru atau tidak. Shank Komponen ini berupa cakar yang meneruskan energi ripper ke tip, kemudian membongkar material saat ditarik oleh bulldozer. Pada material abrasif, disarankan menggunakan plat pelindung untuk mengurangi usaha traksi (traction effort) dan penajaman (self-sharpening). Tool bar
6

Komponen ini berupa kotak dimana shank terpasang. Komponen ini dinaikkan dan diturunkan oleh power assembly. Power assembly Komponen ini terdiri dari lengan dan silinder hidrolik yang digunakan untuk mengangkat dan menurunkan tool bar.

Gambar 2.3 Komponen ripper

2.4 Pemilihan Ripper dan Komponennya


Dalam penerapannya, pemilihan ripper yang sesuai menjadi bagian yang sangat penting dalam suatu proyek. Pemilihan meliputi tipe shank, tip dan spesifikasi mesin traktor/bulldozer. Pemilihan ini berpengaruh pada efektivitas dan efisiensi suatu pekerjaan yang termasuk dalam faktor biaya. 2.4.1 Tipe Ripper Ada beberapa tipe ripper, umumnya terbagi menjadi tiga, yaitu: Hinge Lengan dan shank bergerak naik turun pada satu titik yang tetap (fixed point). Selama shank masuk ke dalam material dengan kedalaman maksimum, maka sudut yang terbentuk antara shank dan bidang horizontal material (tooth angle) dapat berubah secara konstan. Kelebihan tipe ini dapat membentuk tooth angle saat penetrasi, namun tidak dapat diatur untuk kondisi yang bervariasi. Parallelogram Lengan dan shank bergerak naik turun dimana tip menetap pada satu titik dengan sudut yang konstan. Tipe ini memiliki kelebihan hubungannya dengan

kedalaman penetrasi, namun tidak dapat merubah tooth angle saat menghadapi material keras. Adjustable parallelogram Tipe ini merupakan kombinasi antara kedua tipe di atas. Tipe ini dapat merubah tooth angle dengan banyak variasi sehingga meningkatkan kemampuan penetrasi, dan dapat diatur dengan hidrolik saat ripping.

Gambar 2.4 Tipe ripper

2.4.2 Tipe Tip Ada dua tipe tip, penetration dan centerline. Tipe penetration digunakan untuk material kompak dan padat, sedangkan tipe centerline digunakan untuk material yang abrasif. Kedua tipe tersebut masing-masing terbagi menjadi tiga berdasarkan ukuran panjangnya, short, intermediate dan long. Short tip digunakan dalam kondisi extreme impact dimana material sangat keras, sedangkan long tip digunakan dalam kondisi low impact dimana material sangat lunak (highly abrasive) dan mudah digaru. Intermediate tip digunakan untuk kondisi sedang (moderate).

Gambar 2.5 Tipe tip

2.4.3 Tipe Shank Shank terbagi menjadi dua, yaitu single shank (giant) dan multi-shank. Multi-shank digunakan untuk material lepas seperti top soil atau batuan lapuk sedangkan single shank untuk material keras.

Gambar 2.6 Tipe shank Tabel 2.1 Rekomendasi penggunaan shank sesuai model bulldozer Model D11R 850 fwhp 104 590 kg D10R 570 fwhp 65 764 kg Ripper S/S M/S D/R S/S M/S D/R Standard Tip Short center line Short penetration Short center line Short center line Intermediate penetration Intermediate penetration Shank Length 2707 mm 1958 mm 3267 mm 2490 mm 1799 mm 2977 mm Penetration (Depth) 1612 mm 1070 mm 2178 mm 1370 mm 941 mm 1857 mm

Tabel 2.1 Rekomendasi penggunaan shank sesuai model bulldozer (lanjutan) D9R 405 fwhp 47 418 kg D8R 305 fwhp 37 594 kg S/S M/S D/R S/S M/S D/R Short center line Intermediate center line Short center line Short center line Intermediate center line Short center line 2322 mm 1600 mm 2750 mm 2010 mm 1600 mm 2449 mm 1231 mm 798 mm 1658 mm 1130 mm 780 mm 1574 mm

S/S = Single shank M/S = Multishank D/R = Deep ripping shank

2.5 Teknik Pengoperasian Ripper


Dalam penggunaan ripper, ada teknik tersendiri dalam mengoperasikannya, disesuaikan dengan kondisi pekerjaan. Teknik pengoperasian ripper sangat berpengaruh terhadap tingkat produksi. Beberapa faktor yang harus dipertimbangkan hubungannya dengan teknik pengoperasian ripper adalah sebagai berikut: Kecepatan penggaruan Pengaturan gigi dan kecepatan yang sesuai sangat berpengaruh terhadap tingkat produksi. Umumnya, gigi satu dengan kecepatan 1-1.5 mph dapat menghasilkan produksi yang ekonomis. Kecepatan yang berlebihan dapat menyebabkan track slip dan cepat aus. Selain itu, kecepatan yang berlebihan dapat menyebabkan pemanasan pada tip dan berujung pada pemendekan umur tip. Kedalaman penetrasi Kedalaman penetrasi sangat tergantung pada kondisi pekerjaan, kekerasan material dan ketebalan laminasi. Ripping harus dilakukan dengan kedalaman penetrasi maksimum sesuai kemampuan ripper. Jarak antar lintasan Jarak optimum antar lintasan juga berpengaruh terhdap tingkat produksi. Semakin dekat jarak lintasan, maka semakin kecil ukuran bongkahan material terbongkar. Apabila penetrasi dapat dilakukan secara penuh (full penetration), maka jarak antar lintasan dapat sama dengan setengah dari lebar alat. Hal ini
10

memungkinkan Arah penggaruan

track

bergerak

diatas

material

dan

membantu

menghancurkannya menjadi ukuran yang lebih kecil.

Arah penggaruan biasanya disesuaikan dengan arah bidang lemah secara umum. Bidang lemah dapat berupa laminasi, perlapisan maupun kekar. Arah penggaruan lebih disukai apabila searah dengan arah bidang lemah.

2.6 Perhitungan Tingkat Produksi Ripper


Tingkat produksi ripper dihitung sebagai ukuran kemampuan ripper dalam membongkar material yang kemudian dinyatakan dalam volume per satuan waktu (umumnya, m3/jam). Umumnya, ada tiga metode perhitungan produktivitas ripper, yaitu sebagai berikut: Volume by cross sectioning Dalam metode ini, material yang telah digaru dan diangkut, kemudian volume material dihitung dengan sayatan melintang. Volume material dibagi dengan waktu yang digunakan selama penggaruan. Volume by weight Metode ini merupakan metode yang paling baik. Material yang telah digaru dihitung bobotnya, kemudian dibagi dengan waktu yang digunakan selama penggaruan. Volume by length Dalam metode ini, sebuah ripper akan menyelesaikan satu garis lintasan yang terukur, kemudian dicatat berapa waktu yang dibutuhkan. Volume material dihitung berdasarkan lebar jejak penggaruan, kedalaman penetrasi dan panjang lintasan. Untuk data lebih akurat, metode ini dapat dilakukan berulang kali, kemudian dirata-ratakan. Beberapa peneliti telah menggunakan metode yang ketiga, volume by length, seperti Bozdag (1988), Basarir dan Karpuz (2004) dan peneliti lainnya dalam studinya tentang ripping. Hal ini dikarenakan metode ini cukup mudah untuk diaplikasikan dilapangan. Dalam perhitungannya, material yang terbongkar digambarkan dalam geometri sederhana (Gambar 2.7).
11

Gambar 2.7 Dimensi V-cut yang dihasilkan oleh single-shank ripper

Luasan segitiga kemudian dikalikan dengan panjang lintasannya, sehingga diperoleh produksi per siklusnya (persamaan 2.1). ........................................................................................................ (2.7) Keterangan: q = Produksi per siklus (m3/siklus) D = Kedalaman penetrasi (m) W = Lebar penggaruan (m) L = Panjang lintasan (m) Kemudian dari produksi per siklus dan waktu yang tercatat dapat dihitung produksi per jam dengan persamaan berikut: *
( )

...................................................................................... (2.8)

Keterangan: Q = Produksi per jam (m3/jam) t = Waktu yang tercatat (s) Faktor 0.75 digunakan untuk estimasi produksi aktual dimana diasumsikan 25% sebagai waktu tidak produktif (manuver dan mundur). Asumsi ini digunakan berdasarkan hasil penelitian Basarir dkk (2000). Sedangkan Caterpillar menurut handbooknya mempunyai rumus perhitungan volume material yang terbongkar berikut
12

dan produksi perjam dari proses ripping adalah sebagai

S L

Gambar 2.8 Dimensi volume hasil bongkaran ripper menurut Caterpillar Handbook

Volume hasil bongkaran menurut Caterpillar Handbook : V Keterangan : V = Volume ripped S = jarak spasi antar penggaruan (m) L= panjang lintasan (m) P= kedalaman penetrasi ripper V = q.. (2.10) .. (2.11) ... (2.9)

Keterangan : Q = produksi ripper perjam q = produksi persiklus t = waktu yang dibutuhkan untuk meripping di satu lintasan E = factor pengali produksi aktual ( 10% atau 20 % )

2.7 Kemampugaruan dan Faktor-faktor Yang Mempengaruhi


Pemilihan alat garu yang sesuai tidak lepas dari studi lapangan dan uji laboratorium mengenai sifat-sifat material, terutama kekerasan batuan. Di lapangan selalu dijumpai material dengan ragam kekerasan. Oleh sebab itu, ada material yang sangat mudah digaru, mudah digaru, sulit digaru, sangat sulit digaru atau bahkan tidak dapat digaru.

13

Kemampugaruan merupakan suatu ukuran apakah material dapat digaru, yang kemudian diklasifikasikan berdasarkan tingkat kemudahan penggaruan.

Kemampugaruan didasarkan pada sifat-sifat material dan kondisi geologi, seperti kekerasan, kecepatan seismik, struktur, pelapukan dan air tanah, yang diperoleh dari studi lapangan dan uji laboratorium. Banyak ilmuwan yang mengusulkan sistem klasifikasi kemampugaruan dengan ragam metode dan parameter yang digunakan. Meskipun begitu, para peneliti setuju bahwa kekuatan batuan dan karakteristik diskontinu memiliki peranan yang penting dalam menentukan metode penggalian. Dalam rekayasa batuan, menentukan sifat fisik dan mekanik batuan merupakan inti dalam memperkirakan perilaku suatu massa batuan. Pengaruh sifat batuan tidak hanya digunakan pada pemilihan alat yang sesuai namun juga pada tahap operasi.

2.7.1 Tipe Batuan Tipe batuan tertentu memilki karakteristik tersendiri, maka identifikasi tipe batuan menjadi hal pertama yang mungkin dilakukan untuk memperoleh petunjuk tentang perilaku batuan. Pada umumnya, penggaruan sering dilakukan pada batuan sedimen, yang merupakan batuan yang terbentuk dari partikel-partikel batuan yang sudah ada, baik dari batuan beku, matamorf maupun batuan sedimen itu sendiri. 2.7.2 Kekuatan Batuan Kekuatan mekanik batuan merupakan sifat kekuatan terhadap gaya luar. Pada prinsipnya kekuatan batuan tergantung pada komposisi dari mineralnya yang terkandung di dalam batuan. Sebagai contoh kuarsa adalah mineral yang sangat

kompak dengan kuat tekan mencapai 500 Mpa, sehingga dapat disimpulkan semakin tinggi kandungan kuarsa, akan memberikan kekuatan yang besar. Penggaruan maupun metode penggalian lainnya sangat dipengaruhi oleh kekuatan batuan. Pada proses penggaruan, batuan terbongkar karena adanya gaya compressive dan tensile yang bekerja sehingga dalam penaksiran kemampugaruan tidak lepas dari uji

14

kekuatan batuan. Kuat tarik dianggap memilki peranan lebih penting daripada kuat tekan dalam klasifikasi kemampugaruan batuan (Singh dkk, 1986). 2.7.3 Abrasivitas Parameter yang sering diabaikan dalam evaluasi kemampugaruan batuan adalah abrasivitas. Abrasivitas merupakan sifat batuan dalam menggores permukaan material lain. Sifat ini umumnya digunakan sebagai parameter yang mempengaruhi keausan matabor (bit) dan batang bor. Parameter ini sangat penting hubungannya dengan keekonomisan penggunaan alat garu. Dalam estimasi biaya, pengeluaran terbesar terletak pada penggunaan shank dan tip. Karena komponen ini bekerja dengan kontak langsung dan melawan kekuatan batuan saat proses pembongkaran batuan. Singh (1983) telah mengusulkan sistem klasifikasi abrasivitas berdasarkan mineral pembentuk batuan, derajat kebundaran mineral (mineral angularity), kekuatan material perekat (cementing material), cechar index dan indeks kekerasan batuan (toughness). ( ) Keterangan: T = Toughness Index = Kuat tekan (UCS) E = Modulus elastisitas Tabel 2.2 Klasifikasi indeks abrasivitas
Class Very low abrasive Low abrasive Moderately abrasive Highly abrasive Extremely abrasive Cerchar % Hard Index Mineral <1.2 1.2-2.5 2.5-4.0 4.0-4.5 >4.5 2-10 10-20 20-30 30-60 60-90 Angularity Well-Rounded Rounded Sub-Rounded Sub-Angular Angular Cementing Material Non cemented or rock with 20% voids. Ferruginous or clay or both. Calcite or calcite and clay. Silt clay or calcite with quartz overgrowths Quartz cement or quartz mozale cements Toughness Index <9 9-15 15-25 25-45 >45

.................................................................................................. (2.12)

15

2.7.4 Tingkat Pelapukan Pelapukan batuan terjadi karena adanya pengaruh hydrosphere dan atmosphere. Pelapukan bisa terjadi karena disintegrasi mekanis maupun dekomposisi kimia atau keduanya. Pelapukan yang terjadi karena disintegrasi mekanis dapat dilihat dengan adanya retakan batuan atau kekar dan retakan pada belahan (cleavage) butir mineral. Sedangkan pelapukan kimia menghasilkan perubahan kimia pada mineralnya. Karena adanya pelapukan, maka kekuatan, densitas dan stabilitas volumetrik batuan akan menurun, sedangkan deformabilitas dan porositas akan meningkat. Oleh sebab itu, tingkat pelapukan merupakan parameter sangat berpengaruh pada kekuatan batuan hubungannya dengan proses penggalian Tabel 2.3 Klasifikasi tingkat pelapukan
Degree of Descriptive Weathering terms Material description and likely engineering characteristics Completely degraded to a soil; original rock fabric is completely absent; exhibit large volume change; the soil has not been significantly transported. Residual soil Stability on slopes relies upon vegetation rooting and substantial erosion & local failures if preventive measures are not taken. Rock is substantially discolored and has broken down to a soil but with original fabric (mineral arrangement & relict joints) still intact; the soil properties depend on Completely the composition of the parent rock. weathered Can be excavated by hand or ripped relatively easily. Not suitable as foundation for large structures. May be unstable in steep cuttings and exposes surfaces will require erosion protection. Rock is substantially discolored and more than 50% of the material is in degraded soil condition; the original fabric near to the discontinuity surfaces have been altered to a greater depth; a deeply weathered, originally strong rock, may show evidence of fresh rock as a discontinuous framework or as corestone; an originally weak rock will have been substantially altered, with perhaps small relict blocks but little evidence of the original structure. Likely engineering characteristics are as in Zone 5. Rock is significantly discolored; discontinuities will tend to be opened by weathering process and discoloration have penetrated inwards from the discontinuity surfaces.

VI

IV

Highly weathered

III

Moderately weathered

16

Tabel 2.4 Klasifikasi tingkat pelapukan (lanjutan)


Some discoloration on and adjacent to discontinuity surfaces; discolored rock is not significantly weaker than undiscolored fresh rock; weak (soft) parent rock may show penetration of discoloration. Normally requires blasting or cutting for excavation; suitable as a foundation rock but with open jointing will tend to be very permeable. No visible sign of rock material weathering; no internal discoloration or disintegration. Normally requires blasting or cutting for excavation; may require minimal reinforcement in cut slope unless rock mass is closely jointed.

II

Slightly weathered

Fresh

Gambar 2.9 Batupasir dengan tingkat pelapukan yang tinggi (Grade IV) 2.7.5 Struktur Batuan Salah satu faktor utama yang mempengaruhi perilaku massa batuan adalah struktur seperti kekar, bidang perlapisan, laminasi, belahan dan patahan. Struktur batuan berupa ketidakmenerusan dapat menggambarkan gangguan mekanis pada sifat batuan. Parameter kekar yang harus diukur hubungannya dengan pengaruhnya terhadap kemampugaruan batuan antara lain orientasi kekar, spasi, kemenerusan dan material pengisi.

17

2.7.6 Densitas Material Densitas juga merupakan faktor yang dipertimbangkan dalam penaksiran

kemampugaruan batuan. Tingkat sementasi, sortasi, kekompakan dan ukuran butir dapat ditaksir melalui densitas. Semakin tinggi densitas maka semakin sedikit pori dalam batuan dan kekuatan ikat antar butir mineral semakin tinggi. 2.7.7 Kemas Batuan (Rock Fabric) Kemas (fabric) merupakan suatu ukuran untuk menggambarkan struktur mikro dan tekstur material batuan. Para peneliti mengemukakan bahwa kemas batuan berpengaruh terhadap kemampugaruan. Batuan berbutir kasar (ukuran butir > 5 mm) seperti pegmatite dan batupasir bisa digaru dengan lebih mudah daripada batuan berbutir halus (ukuran butir < 1 mm) seperti quartzite, basalt dan batugamping Tabel 2.5 Klasifikasi kemas batuan (rock fabric)
Description Size (mm) Recognition Individual grains cannot be seen with a hand lens Just visible as individual grains under hand lens Grains clearly visible under hand lens, just visible to naked eye. Grains clearly visible to naked eye Grains measurable Equivalent Soil Equivalent Rock Type Type Clays & Silts Claystone & Siltstone

Very grained

< 0.06

Fine grained

0.06 - 0.2

Fine sand Sandstone Medium Sand

Medium Grained Coarse Grained Very Coarse Grained

0.2 - 0.6

0.6 - 2.0 > 2.0

Coarse sand Gravel Conglomerate

2.7.8 Kecepatan Seismik Metode dengan menggunakan parameter kecepatan seismik telah banyak digunakan secara luas untuk memprediksi tingkat kemampugaruan batuan. Kecepatan gelombang seismik tergantung pada densitas, porositas, kadar air dan tingkat pelapukan batuan (Singh dkk, 1986). Semakin tinggi kecepatan seismik pada batuan maka penggaruan
18

akan relatif lebih sulit. Secara umum batuan dengan kecepatan seismik 1950 m/s termasuk batuan yang mudah digaru, 1950 2250 m/s termasuk sulit digaru dan > 2250 m/s tidak mungkin digaru. Namun banyak peneliti yang mengemukakan bahwa metode ini kurang akurat (Kramadibrata, 1998; Singh dkk, 1986; Kirsten, 1982). 2.7.9 Topografi Topografi dari suatu massa batuan yang akan digali merupakan faktor penting yang perlu dievaluasi sebelum menerapakan metode penggalian. Meskipun begitu, faktor ini tidak masuk dalam pertimbangan para peneliti sebelumnya. Penggaruan biasanya dilakukan di daerah yang datar, namun apabila dijumpai slope atau batuan yang menonjol tidak beraturan, maka akan menjadi problema tersendiri.

Gambar 2.10 Tonjolan massa batuan pada lereng yang tidak memungkinkan untuk digaru 2.7.10 Bidang Perlapisan dan Batas Pelapukan Perbedaan tingkat pelapukan pada perlapisan batuan memiliki pengaruh penting hubungannya dengan perfomance penggaruan. Para peneliti menemukan bahwa material dengan kekuatan rendah (low strength), akan mudah digaru apabila material tersebut berdiri sendiri, namun akan sulit digaru apabila material tersebut tersisip diantara material yang tidak bisa digaru (unrippable). Selain itu, penggaruan pada material dengan banyak perlapisan menyebabkan perfomance penggaruan tidak menentu dimana kekerasan tiap perlapisan dapat saling berbeda satu dengan lainn

19

2.7 Sistem Klasifikasi Kemampugaruan Suatu pekerjaan yang berhubungan dengan penggalian biasanya mengembangkan dan menerapkan metode-metode sistematis yang biasa digunakan dalam klasifikasi massa batuan. Hal ini dilakukan untuk mempermudah pekerjaan tersebut. Metode-metode ini dirancang untuk membantu dalam pemilihan dan optimalisasi alat yang akan digunakan. Lebih dari 40 tahun, banyak penelitian dilakukan untuk mengembangkan metode yang dapat memperkirakan kemampugaruan suatu batuan. Metode-metode ini banyak digunakan oleh para peneliti dalam menentukan kemampugaruan batuan, yang kemudian dikelompokan menjadi dua, metode langsung dan metode tak langsung. 2.7.1 Metode Langsung Metode langsung (direct method) dilakukan dengan uji coba di lapangan secara langsung dengan mesin ripper. Metode ini dilakukan untuk evaluasi hasil penggaruan aktual pada massa batuan tertentu. Meskipun begitu, metode ini tidak selalu bisa dilaksanakan. Hal ini dikarenakan biaya yang tinggi, proyek yang terbatas dan kesediaan lokasi uji coba.
Tabel 2.6 Hubungan antara produktivitas dengan kemampugaruan oleh Fiona MacGregor Productivity (m3/h) 0-250 250-750 750-1500 1500-3000 3000-7000 Ease of Ripping Very difficult Difficult Medium Easy Very easy

20

Tabel 2.7 Klasifikasi Kemampugaruan Untuk Dozer Type D9 (Basarir dan Karpuz, 2004) Class 1 2 3 4 5 6 Description Very easy Easy Moderate Difficult Very difficult Blast Rating <20 20-55 55-70 70-85 85-95 95-100 Production for D9 dozer, m3/h >1500 1000-1500 450-1000 285-450 <285 0 Penetration % >90 75-90 65-74 55-64 <55 0

Kemampugaruan suatu batuan juga dapat ditentukan melalui nilai uji kuat tekan sebagaimana yang ditunjukkan oleh tabel dibawah ini :
Tabel 2.8 Hubungan karateristik Kemampugaruan dengan kekuatan batuan (Bell,2004)
Rock Hardnes Indentification Criteria Uncofined Strength (MPa) Materials unders firm belows with sharp end of geological picks; can be peeled with knife; too hard to cut triaxial sample by hand pieces up to 3 cm thick can broken by finger pressure Soft Rock Can just be scrapped with a knife indentations 1-3 mm show in the specimen with firm blows of the pick point ; has dull sounds unders hammers Hard Rock Cannot be scraped with a knife ; hand specimens can be broken with pick with a single firm blow ; rock rings under hammer Very Hard Rock Hand specimen breaks after more than one blow ; rock rings under hammers 20.0 70.0 1850 2150 Extremly ripping blasting Extremly Rock Hard Specimen requires many blows with geological picks to break through intact material ; rock rings under hammer >70.0 >2150 Blasting hard or 10.0 20.0 1500 1850 Very ripping hard 3.0 10.0 1200 1500 Hard riping 1.7 3.0 Seismic wave Excavation charateristic Easy ripping Description Very Soft Rock velocity (m/s) 450 1200

21

You might also like