Professional Documents
Culture Documents
1.1 Latar Belakang Dalam suatu kegiatan penambangan selalu dijumpai kegiatan penggalian. Pada umumnya penggalian dipengaruhi oleh tiga kondisi sebagai berikut: Kondisi I : Bila tanah biasa, bisa langsung dilakukan penumpukan (stockpiling) atau langsung dimuat (loading). Kondisi II : Bila kondisi tanah keras harus dilakukan penggaruan (ripping) terlebih dahulu, kemudian dilakukan stock pilling dan pemuatan (loading). Kondisi III : Bila tanah terlalu keras dimana pekerjaan ripping tidak ekonomis maka harus dilakukan peledakan (blasting) guna memecah belahkan material terlebih dahulu sebelum dilakukan stock pilling kemudian dilakukan pemuatan (loading). Metode ripping merupakan metode mekanis yang telah diterapkan secara luas. Metode ini umumnya dipilih karena dianggap lebih ekonomis dan ramah lingkungan. Selain itu tidak menimbulkan getaran (ground maupun air vibration). Namun dalam aplikasinya, sebelum pemilihan alat harus ada studi mengenai karakteristik material yang akan digaru. Namun hal ini jarang dilakukan sehingga dapat berujung pada penggunaan alat yang tidak efektif dan efisien. Beberapa ilmuwan telah meneliti tentang kemampugaruan baik dengan metode langsung maupun metode tak langsung. Metode langsung dilakukan dengan uji coba lapangan untuk melihat seberapa unjuk kerja alat (perfomance), parameter yang diukur ialah tingkat produksi. Sedangkan metode tak langsung dilakukan dengan studi lapangan atau uji laboratorium. Dalam proses kerjanya, penggaruan sangat dipengaruhi oleh kekuatan batuan. Ada batuan yang mudah digaru, sulit digaru, sangat sulit digaru, bahkan tidak dapat digaru. Tingkat kemampugaruan batuan yang berbeda dapat berpengaruh pada tingkat produksi
1
yang berbeda pula. Umumnya, semakin kuat batuan maka semakin sulit digaru, dan berpengaruh pada tingkat produksi alat garu yang semakin kecil. 1.2 Perumusan Masalah Proses penggaruan biasanya serta merta dilakukan tanpa melibatkan studi secara rinci mengenai sifat-sifat material yang akan digaru. Sehingga hal ini menyebabkan penggunaan alat berat (bulldozer dan ripper) menjadi tidak sesuai dan berujung pada proses penggaruan yang tidak efektif serta efisien. 1.3 Tujuan Tugas Akhir Tujuan dari penelitian ini adalah mendapatkan nilai kuat batuan dan tingkat produksi ripper dari suatu massa batuan guna memperoleh nilai kemampugaruan suatu batuan. 1.4 Batasan Masalah Batasan masalah yang akan dibahas adalah: Perhitungan tingkat produksi ripper dilakukan dengan metode volume by length. Uji geomekanik batuan untuk mengetahui kekuatan batuan. Klasifikasi batuan untuk mengetahui tingkat kemampugaruan.
2.1.2 Densitas Batuan Densitas batuan dari batuan berpori adalah perbandingan antara berat terhadap volume (rata rata dari material tersebut). Densitas spesifik adalah perbandingan antara densitas material tersebut dengan densitas air pada tekanan dan temperature yang normal, yaitu kurang lebih 10 kg/m3. Macam macam densitas atau bobot isi batuan yaitu: a. Bobot isi asli (Natural Density) . (2.2)
2.1.3 Kadar Air Merupakan perbandingan antara berat air dalam batuan dengan berat butiran batuan dan dinyatakan dalam %. Macam macam kadar air adalah sebagai berikut: a. Kadar air asli ( ) .. (2.5) b. Kadar air Jenuh ( ) . (2.6) Dimana :
memungkinkan atau dianggap tidak lagi ekonomis untuk melakukan penggalian langsung (direct digging). Ripper umumnya terpasang pada bagian belakang bulldozer. Prinsip kerjanya ialah dengan melakukan penetrasi cakar baja kedalam material, kemudian ditarik oleh traktor/bulldozer dengan jarak, kecepatan dan arah tertentu. Material yang terbongkar didorong dan dikumpulkan dengan sudu (blade) bulldozer untuk kemudian dimuat dan diangkut. Volume material yang terbongkar sangat tergantung pada karakteristik material dan teknik pengoperasiannya.
Dalam proses penggaruan, terjadi keruntuhan batuan (failure) yaitu hilangnya kekuatan batuan karena adanya tegangan. Ketika konsentrasi tegangan pada tip (ujung cakar baja) melebihi kekuatan batuan (compressive strength), maka akan terjadi keruntuhan geser (shear failure) yang memungkinkan penetrasi awal oleh tip. Dan selama traktor/buldozer bergerak maju maka akan terjadi keruntuhan tarik (tensile failure). Mac Gregor menggambarkan beberapa mekanisme penggaruan berdasarkan beberapa kondisi material yang berbeda, yakni ploughing, loosening, crushing, tearing, spliting dan prying out, yang ditunjukkan pada Gambar 2.2.
Darcy (1971) telah menguraikan beberapa mekanisme penggaruan sebagai berikut: Ploughing: terjadi pada material padat tanpa bidang lemah, spasi penggaruan rapat, material yang terbongkar dalam jumlah yang kecil. Crushing: terjadi pada batuan dengan kondisi spasi bidang lemah yang rapat (0.1-0.3 m). Lifting: terjadi pada batuan dengan strata horizontal, lempengan material terangkat yang kemudian terbongkar. Breaking: terjadi pada material dengan strata miring (inclined).
Komponen ini berupa kotak dimana shank terpasang. Komponen ini dinaikkan dan diturunkan oleh power assembly. Power assembly Komponen ini terdiri dari lengan dan silinder hidrolik yang digunakan untuk mengangkat dan menurunkan tool bar.
kedalaman penetrasi, namun tidak dapat merubah tooth angle saat menghadapi material keras. Adjustable parallelogram Tipe ini merupakan kombinasi antara kedua tipe di atas. Tipe ini dapat merubah tooth angle dengan banyak variasi sehingga meningkatkan kemampuan penetrasi, dan dapat diatur dengan hidrolik saat ripping.
2.4.2 Tipe Tip Ada dua tipe tip, penetration dan centerline. Tipe penetration digunakan untuk material kompak dan padat, sedangkan tipe centerline digunakan untuk material yang abrasif. Kedua tipe tersebut masing-masing terbagi menjadi tiga berdasarkan ukuran panjangnya, short, intermediate dan long. Short tip digunakan dalam kondisi extreme impact dimana material sangat keras, sedangkan long tip digunakan dalam kondisi low impact dimana material sangat lunak (highly abrasive) dan mudah digaru. Intermediate tip digunakan untuk kondisi sedang (moderate).
2.4.3 Tipe Shank Shank terbagi menjadi dua, yaitu single shank (giant) dan multi-shank. Multi-shank digunakan untuk material lepas seperti top soil atau batuan lapuk sedangkan single shank untuk material keras.
Gambar 2.6 Tipe shank Tabel 2.1 Rekomendasi penggunaan shank sesuai model bulldozer Model D11R 850 fwhp 104 590 kg D10R 570 fwhp 65 764 kg Ripper S/S M/S D/R S/S M/S D/R Standard Tip Short center line Short penetration Short center line Short center line Intermediate penetration Intermediate penetration Shank Length 2707 mm 1958 mm 3267 mm 2490 mm 1799 mm 2977 mm Penetration (Depth) 1612 mm 1070 mm 2178 mm 1370 mm 941 mm 1857 mm
Tabel 2.1 Rekomendasi penggunaan shank sesuai model bulldozer (lanjutan) D9R 405 fwhp 47 418 kg D8R 305 fwhp 37 594 kg S/S M/S D/R S/S M/S D/R Short center line Intermediate center line Short center line Short center line Intermediate center line Short center line 2322 mm 1600 mm 2750 mm 2010 mm 1600 mm 2449 mm 1231 mm 798 mm 1658 mm 1130 mm 780 mm 1574 mm
track
bergerak
diatas
material
dan
membantu
Arah penggaruan biasanya disesuaikan dengan arah bidang lemah secara umum. Bidang lemah dapat berupa laminasi, perlapisan maupun kekar. Arah penggaruan lebih disukai apabila searah dengan arah bidang lemah.
Luasan segitiga kemudian dikalikan dengan panjang lintasannya, sehingga diperoleh produksi per siklusnya (persamaan 2.1). ........................................................................................................ (2.7) Keterangan: q = Produksi per siklus (m3/siklus) D = Kedalaman penetrasi (m) W = Lebar penggaruan (m) L = Panjang lintasan (m) Kemudian dari produksi per siklus dan waktu yang tercatat dapat dihitung produksi per jam dengan persamaan berikut: *
( )
...................................................................................... (2.8)
Keterangan: Q = Produksi per jam (m3/jam) t = Waktu yang tercatat (s) Faktor 0.75 digunakan untuk estimasi produksi aktual dimana diasumsikan 25% sebagai waktu tidak produktif (manuver dan mundur). Asumsi ini digunakan berdasarkan hasil penelitian Basarir dkk (2000). Sedangkan Caterpillar menurut handbooknya mempunyai rumus perhitungan volume material yang terbongkar berikut
12
S L
Gambar 2.8 Dimensi volume hasil bongkaran ripper menurut Caterpillar Handbook
Volume hasil bongkaran menurut Caterpillar Handbook : V Keterangan : V = Volume ripped S = jarak spasi antar penggaruan (m) L= panjang lintasan (m) P= kedalaman penetrasi ripper V = q.. (2.10) .. (2.11) ... (2.9)
Keterangan : Q = produksi ripper perjam q = produksi persiklus t = waktu yang dibutuhkan untuk meripping di satu lintasan E = factor pengali produksi aktual ( 10% atau 20 % )
13
Kemampugaruan merupakan suatu ukuran apakah material dapat digaru, yang kemudian diklasifikasikan berdasarkan tingkat kemudahan penggaruan.
Kemampugaruan didasarkan pada sifat-sifat material dan kondisi geologi, seperti kekerasan, kecepatan seismik, struktur, pelapukan dan air tanah, yang diperoleh dari studi lapangan dan uji laboratorium. Banyak ilmuwan yang mengusulkan sistem klasifikasi kemampugaruan dengan ragam metode dan parameter yang digunakan. Meskipun begitu, para peneliti setuju bahwa kekuatan batuan dan karakteristik diskontinu memiliki peranan yang penting dalam menentukan metode penggalian. Dalam rekayasa batuan, menentukan sifat fisik dan mekanik batuan merupakan inti dalam memperkirakan perilaku suatu massa batuan. Pengaruh sifat batuan tidak hanya digunakan pada pemilihan alat yang sesuai namun juga pada tahap operasi.
2.7.1 Tipe Batuan Tipe batuan tertentu memilki karakteristik tersendiri, maka identifikasi tipe batuan menjadi hal pertama yang mungkin dilakukan untuk memperoleh petunjuk tentang perilaku batuan. Pada umumnya, penggaruan sering dilakukan pada batuan sedimen, yang merupakan batuan yang terbentuk dari partikel-partikel batuan yang sudah ada, baik dari batuan beku, matamorf maupun batuan sedimen itu sendiri. 2.7.2 Kekuatan Batuan Kekuatan mekanik batuan merupakan sifat kekuatan terhadap gaya luar. Pada prinsipnya kekuatan batuan tergantung pada komposisi dari mineralnya yang terkandung di dalam batuan. Sebagai contoh kuarsa adalah mineral yang sangat
kompak dengan kuat tekan mencapai 500 Mpa, sehingga dapat disimpulkan semakin tinggi kandungan kuarsa, akan memberikan kekuatan yang besar. Penggaruan maupun metode penggalian lainnya sangat dipengaruhi oleh kekuatan batuan. Pada proses penggaruan, batuan terbongkar karena adanya gaya compressive dan tensile yang bekerja sehingga dalam penaksiran kemampugaruan tidak lepas dari uji
14
kekuatan batuan. Kuat tarik dianggap memilki peranan lebih penting daripada kuat tekan dalam klasifikasi kemampugaruan batuan (Singh dkk, 1986). 2.7.3 Abrasivitas Parameter yang sering diabaikan dalam evaluasi kemampugaruan batuan adalah abrasivitas. Abrasivitas merupakan sifat batuan dalam menggores permukaan material lain. Sifat ini umumnya digunakan sebagai parameter yang mempengaruhi keausan matabor (bit) dan batang bor. Parameter ini sangat penting hubungannya dengan keekonomisan penggunaan alat garu. Dalam estimasi biaya, pengeluaran terbesar terletak pada penggunaan shank dan tip. Karena komponen ini bekerja dengan kontak langsung dan melawan kekuatan batuan saat proses pembongkaran batuan. Singh (1983) telah mengusulkan sistem klasifikasi abrasivitas berdasarkan mineral pembentuk batuan, derajat kebundaran mineral (mineral angularity), kekuatan material perekat (cementing material), cechar index dan indeks kekerasan batuan (toughness). ( ) Keterangan: T = Toughness Index = Kuat tekan (UCS) E = Modulus elastisitas Tabel 2.2 Klasifikasi indeks abrasivitas
Class Very low abrasive Low abrasive Moderately abrasive Highly abrasive Extremely abrasive Cerchar % Hard Index Mineral <1.2 1.2-2.5 2.5-4.0 4.0-4.5 >4.5 2-10 10-20 20-30 30-60 60-90 Angularity Well-Rounded Rounded Sub-Rounded Sub-Angular Angular Cementing Material Non cemented or rock with 20% voids. Ferruginous or clay or both. Calcite or calcite and clay. Silt clay or calcite with quartz overgrowths Quartz cement or quartz mozale cements Toughness Index <9 9-15 15-25 25-45 >45
.................................................................................................. (2.12)
15
2.7.4 Tingkat Pelapukan Pelapukan batuan terjadi karena adanya pengaruh hydrosphere dan atmosphere. Pelapukan bisa terjadi karena disintegrasi mekanis maupun dekomposisi kimia atau keduanya. Pelapukan yang terjadi karena disintegrasi mekanis dapat dilihat dengan adanya retakan batuan atau kekar dan retakan pada belahan (cleavage) butir mineral. Sedangkan pelapukan kimia menghasilkan perubahan kimia pada mineralnya. Karena adanya pelapukan, maka kekuatan, densitas dan stabilitas volumetrik batuan akan menurun, sedangkan deformabilitas dan porositas akan meningkat. Oleh sebab itu, tingkat pelapukan merupakan parameter sangat berpengaruh pada kekuatan batuan hubungannya dengan proses penggalian Tabel 2.3 Klasifikasi tingkat pelapukan
Degree of Descriptive Weathering terms Material description and likely engineering characteristics Completely degraded to a soil; original rock fabric is completely absent; exhibit large volume change; the soil has not been significantly transported. Residual soil Stability on slopes relies upon vegetation rooting and substantial erosion & local failures if preventive measures are not taken. Rock is substantially discolored and has broken down to a soil but with original fabric (mineral arrangement & relict joints) still intact; the soil properties depend on Completely the composition of the parent rock. weathered Can be excavated by hand or ripped relatively easily. Not suitable as foundation for large structures. May be unstable in steep cuttings and exposes surfaces will require erosion protection. Rock is substantially discolored and more than 50% of the material is in degraded soil condition; the original fabric near to the discontinuity surfaces have been altered to a greater depth; a deeply weathered, originally strong rock, may show evidence of fresh rock as a discontinuous framework or as corestone; an originally weak rock will have been substantially altered, with perhaps small relict blocks but little evidence of the original structure. Likely engineering characteristics are as in Zone 5. Rock is significantly discolored; discontinuities will tend to be opened by weathering process and discoloration have penetrated inwards from the discontinuity surfaces.
VI
IV
Highly weathered
III
Moderately weathered
16
II
Slightly weathered
Fresh
Gambar 2.9 Batupasir dengan tingkat pelapukan yang tinggi (Grade IV) 2.7.5 Struktur Batuan Salah satu faktor utama yang mempengaruhi perilaku massa batuan adalah struktur seperti kekar, bidang perlapisan, laminasi, belahan dan patahan. Struktur batuan berupa ketidakmenerusan dapat menggambarkan gangguan mekanis pada sifat batuan. Parameter kekar yang harus diukur hubungannya dengan pengaruhnya terhadap kemampugaruan batuan antara lain orientasi kekar, spasi, kemenerusan dan material pengisi.
17
2.7.6 Densitas Material Densitas juga merupakan faktor yang dipertimbangkan dalam penaksiran
kemampugaruan batuan. Tingkat sementasi, sortasi, kekompakan dan ukuran butir dapat ditaksir melalui densitas. Semakin tinggi densitas maka semakin sedikit pori dalam batuan dan kekuatan ikat antar butir mineral semakin tinggi. 2.7.7 Kemas Batuan (Rock Fabric) Kemas (fabric) merupakan suatu ukuran untuk menggambarkan struktur mikro dan tekstur material batuan. Para peneliti mengemukakan bahwa kemas batuan berpengaruh terhadap kemampugaruan. Batuan berbutir kasar (ukuran butir > 5 mm) seperti pegmatite dan batupasir bisa digaru dengan lebih mudah daripada batuan berbutir halus (ukuran butir < 1 mm) seperti quartzite, basalt dan batugamping Tabel 2.5 Klasifikasi kemas batuan (rock fabric)
Description Size (mm) Recognition Individual grains cannot be seen with a hand lens Just visible as individual grains under hand lens Grains clearly visible under hand lens, just visible to naked eye. Grains clearly visible to naked eye Grains measurable Equivalent Soil Equivalent Rock Type Type Clays & Silts Claystone & Siltstone
Very grained
< 0.06
Fine grained
0.06 - 0.2
0.2 - 0.6
2.7.8 Kecepatan Seismik Metode dengan menggunakan parameter kecepatan seismik telah banyak digunakan secara luas untuk memprediksi tingkat kemampugaruan batuan. Kecepatan gelombang seismik tergantung pada densitas, porositas, kadar air dan tingkat pelapukan batuan (Singh dkk, 1986). Semakin tinggi kecepatan seismik pada batuan maka penggaruan
18
akan relatif lebih sulit. Secara umum batuan dengan kecepatan seismik 1950 m/s termasuk batuan yang mudah digaru, 1950 2250 m/s termasuk sulit digaru dan > 2250 m/s tidak mungkin digaru. Namun banyak peneliti yang mengemukakan bahwa metode ini kurang akurat (Kramadibrata, 1998; Singh dkk, 1986; Kirsten, 1982). 2.7.9 Topografi Topografi dari suatu massa batuan yang akan digali merupakan faktor penting yang perlu dievaluasi sebelum menerapakan metode penggalian. Meskipun begitu, faktor ini tidak masuk dalam pertimbangan para peneliti sebelumnya. Penggaruan biasanya dilakukan di daerah yang datar, namun apabila dijumpai slope atau batuan yang menonjol tidak beraturan, maka akan menjadi problema tersendiri.
Gambar 2.10 Tonjolan massa batuan pada lereng yang tidak memungkinkan untuk digaru 2.7.10 Bidang Perlapisan dan Batas Pelapukan Perbedaan tingkat pelapukan pada perlapisan batuan memiliki pengaruh penting hubungannya dengan perfomance penggaruan. Para peneliti menemukan bahwa material dengan kekuatan rendah (low strength), akan mudah digaru apabila material tersebut berdiri sendiri, namun akan sulit digaru apabila material tersebut tersisip diantara material yang tidak bisa digaru (unrippable). Selain itu, penggaruan pada material dengan banyak perlapisan menyebabkan perfomance penggaruan tidak menentu dimana kekerasan tiap perlapisan dapat saling berbeda satu dengan lainn
19
2.7 Sistem Klasifikasi Kemampugaruan Suatu pekerjaan yang berhubungan dengan penggalian biasanya mengembangkan dan menerapkan metode-metode sistematis yang biasa digunakan dalam klasifikasi massa batuan. Hal ini dilakukan untuk mempermudah pekerjaan tersebut. Metode-metode ini dirancang untuk membantu dalam pemilihan dan optimalisasi alat yang akan digunakan. Lebih dari 40 tahun, banyak penelitian dilakukan untuk mengembangkan metode yang dapat memperkirakan kemampugaruan suatu batuan. Metode-metode ini banyak digunakan oleh para peneliti dalam menentukan kemampugaruan batuan, yang kemudian dikelompokan menjadi dua, metode langsung dan metode tak langsung. 2.7.1 Metode Langsung Metode langsung (direct method) dilakukan dengan uji coba di lapangan secara langsung dengan mesin ripper. Metode ini dilakukan untuk evaluasi hasil penggaruan aktual pada massa batuan tertentu. Meskipun begitu, metode ini tidak selalu bisa dilaksanakan. Hal ini dikarenakan biaya yang tinggi, proyek yang terbatas dan kesediaan lokasi uji coba.
Tabel 2.6 Hubungan antara produktivitas dengan kemampugaruan oleh Fiona MacGregor Productivity (m3/h) 0-250 250-750 750-1500 1500-3000 3000-7000 Ease of Ripping Very difficult Difficult Medium Easy Very easy
20
Tabel 2.7 Klasifikasi Kemampugaruan Untuk Dozer Type D9 (Basarir dan Karpuz, 2004) Class 1 2 3 4 5 6 Description Very easy Easy Moderate Difficult Very difficult Blast Rating <20 20-55 55-70 70-85 85-95 95-100 Production for D9 dozer, m3/h >1500 1000-1500 450-1000 285-450 <285 0 Penetration % >90 75-90 65-74 55-64 <55 0
Kemampugaruan suatu batuan juga dapat ditentukan melalui nilai uji kuat tekan sebagaimana yang ditunjukkan oleh tabel dibawah ini :
Tabel 2.8 Hubungan karateristik Kemampugaruan dengan kekuatan batuan (Bell,2004)
Rock Hardnes Indentification Criteria Uncofined Strength (MPa) Materials unders firm belows with sharp end of geological picks; can be peeled with knife; too hard to cut triaxial sample by hand pieces up to 3 cm thick can broken by finger pressure Soft Rock Can just be scrapped with a knife indentations 1-3 mm show in the specimen with firm blows of the pick point ; has dull sounds unders hammers Hard Rock Cannot be scraped with a knife ; hand specimens can be broken with pick with a single firm blow ; rock rings under hammer Very Hard Rock Hand specimen breaks after more than one blow ; rock rings under hammers 20.0 70.0 1850 2150 Extremly ripping blasting Extremly Rock Hard Specimen requires many blows with geological picks to break through intact material ; rock rings under hammer >70.0 >2150 Blasting hard or 10.0 20.0 1500 1850 Very ripping hard 3.0 10.0 1200 1500 Hard riping 1.7 3.0 Seismic wave Excavation charateristic Easy ripping Description Very Soft Rock velocity (m/s) 450 1200
21