You are on page 1of 37

BAB I TENTANG HUKUM PIDANA A.

Istilah Hukum Pidana Istilah hukum pidana merupakan terjemahan dari istilah bahasa Belanda Strafrecht. Straf berarti pidana, dan recht berarti hukum. Menurut Dr. WIRJONO PRODJODIKORO, S.H. bahwa istilah hukum pidana itui dipergunakan sejak pendudukan Jepang di Indonesia untuk pengertian strafrecht dari bahasa Belanda, dan untuk membedakannya dari istilah hukum perdata untuk pengertian burgerlijkrecht atau privatrecht dari bahasa Belanda (Wirjono,1969:1) B. Pengertian Hukum Pidana Bermacam-macam pengertian hukum pidana yang dikemukakan oleh para sarjana hukum. Di bawah ini akan dikemukakan pengertian hukum pidana yang dikemukakan oleh para sarjana hukum pidana Indonesia terkenal yaitu : 1. SOEDARTO SOEDARTO mengartikan bahwa hukum pidana memuat aturan-aturan hukum yang mengikatkan: kepada perbuatan-perbuatan yang memenuhi syarat tertentu suatu akibat yang berupa pidana. Selanjutnya SOEDARTO menyatakan bahwa sejalan dengan ini, maka KUHP memuat dua hal yang pokok, yaitu : 1) Memuat pelukisan dari perbuatan-perbuatan orang yang diancam pidana, artinya memuat syarat-syarat yang harus dipenuhi yang memungkinkan pengadilan menjatuhkan pidana. Jadi disini seolah-olah negara menyatakan kepada umum dan juga para penegak hukum perbuatan-perbuatan apa yang dilarang dan siapa yang dapat dipidana.

2) KUHP menetapkan dan mengumumkan reaksi apa yang akan diterima oleh orang yang melakukan perbuatan yang dilarang itu. Dalam hukum pidana modern reaksi ini tidak hanya berupa pidana, tetapi juga apa yang disebut dengan tindakan, yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari perbuatan-perbuatan yang merugikannya (Soedarto, 1977:100-101). 2. SATOCHID KARTANEGARA Dalam kuliahnya SATOCHID mengartikan bahwa hukum pidana adalah sejumlah peraturan yang merupaka bagian dari hukum positif yang mengandung larangan-larangan dan keharusan-keharusan yang ditentukan oleh negara atau kekuasaan lain yang berwenang untuk menentukan peraturan-peraturan pidana, larangan atau keharusan itu disertai ancaman pidana, dan apabila hal ini dilanggar timbullah hak negara untuk melakukan tuntutan, menjatuhka pidana, melaksankan pidana (Lihat E.Y. Kanter dan S.R Sianturi, 1982:15). 3. MOELJATNO MOELJATNO mengartikan bahwa hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar adan aturan-aturan untuk : Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut. Menentukan kapan dan daklam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atai dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.

1) Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat sdilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan-larangan tersebut (Moeljatno,1978:1).

Selanjutnya MOELJATNO menjelaskan bahwa dari pengertian hukum pidana tersebut di atas maka yang disebut dalam ke 1) adalah mengenai perbuatan pidana (criminal act). Sedang yang disebut dalam ke 2) adalah mengenai pertanggungjawaban hukum pidana (criminal liability atau criminal responbility). Yang disebut dalam ke 1 dan ke 2) merupakan hukum pidana materil (substantive criminal law), oleh karena mengenai isi hukum pidana sendiri. Yang disebut dalam ke 3) adalah mengenai bagaimana caranya atau prosedurnya untuk menuntut ke muka pengadilan orang-orang yang disangka melakukan perbuatan pidana, oleh karena itu bagian ke-3) ini dinamakan hukum pidana formil atau hukum acara pidana (criminal procedure). Lazimnya yang disebut dengan hukum pidana saja adalah hukum pidana materil (Moeljatno, 1978:4). Apabila kita telah pengertian-pengertian hukum pidana tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa pengertian dari SOEDARTO merupakan pengertian yang sempit, oleh karena pengertian itu merupakan pengertian hukum pidana materil saja. Akan tetapi hukum pidana itu bukan hanya terdiri dari hukum pidana materil, selain daripada itu dikenal pula apa yang disebut dengan hukum pidana formil atau hukum acara pidana. Pengertian hukum pidana dari SATOCHID dapat dikatakan merupakan pengertian yang luas, oleh karena pengertiannya itu meliputi hukum pidana materil dan hukum pidana formil. Akan tetapi dalam pengertiannya itu terdapat pemberian aksen kepada negara, yaitu bahwa negaralah yang

menentukan larangan-larangan dan keharusan-keharusan itu, sehingga hukum pidana adat, yaitu hukum pidana yang tidak ditentukan oleh negara tidak mendapat tempat dalam pengertian hukum pidana ini. Sedangkan pidana adat itu tetap berlaku di beberapa daerah di Indonesia (Lihat pasal 5 ayat (3) b UU. No Drt 1951). Pengertian hukum pidana dari MOELJATNO dapat dikatakan

merupakan pengertian yang luas dan lengkap. Hal ini disebabkan oleh karena selain meliputi hukum pidana materil dan hukum pidana formil atau hukum acara pidana juga dalam pengertiannya itu sama sekali tidak dinyatakan siapa yang menentukan hukum pidana itu, melainkan hanya dikatakan ......... hukum yang berlaku di suatu negara..... sehingga dari pengertian hukum pidana menurut MOELJATNO itu dapat disimpulkan bahwa hukum pidana adat pun mendapat tempat di dalammnya. Dalam KUHP Nasional yang akan datang tentang berlakunya hukum pidana adat itu secara tegas ditentukan dalam pasal 1 ayat (4) Rancangan KUHP Buku I yang disusun oleh Tim Pengkajian Hukum Pidana Tahun 1987/1988, yang berbunyi; ketentuan dalam ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang menentukan bahwa menurut adat setempat suatu perbuatan patut dipidana dan perbuatan itu tidak ada persamaan dalam peraturan perundang-undangan ini. C. Pembagian Hukum Pidana Menurut ilmu hukum pidana bahwa hukum pidana itu dapat dibedakan dalam beberapa bagian. Dibawah ini akan dikemukakan beberapa pembagian hukum pidana : 1. Hukum Pidana objektif dan Hukum Pidana Subjektif Hukum pidana objektif (jus poenale) adalah seluruh pengaturan yang memuat larangan-larangan atau keharusan-keharusan,

terhadap pelanggar peraturan itu diancam dengan pidana. Jadi hukum pidana objektif itu memuat perumusan tindak pidana serta ancaman pidananya. Hukum pidana subjektif (jus poenandi) adalah seluruh peraturan yang memuat hak negara untuk memidana seseorang yang melakukan perbuatan terlarang (tindak pidana).

Hak negara untuk memidana itu terdiri dari : 1) Hak untuk mengancam perbuatan dengan pidana. Hak ini terletak pada negara, misalnya ancaman pidana yang terdapat dalam Pasal 362 KUHP, pencurian diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak Rp 900,00. 2) Hak untuk menjatuhkan pidana. Hak ini terletak pada alat negara yang berwenang, yaitu hakim. 3) Hak untuk melaksanakan pidana. Hak ini juga terletak pada alat negara yang berwenang, yaitu jaksa. Pada hakekatnya hukum pidana subjektif (hak negara untuk memidana) itu berdasarkan hukum pidana objektif, oleh karena hak negara untuk memidana itu baru ada, setelah dalam hukum pidana objektif ditentukan perbuatan-perbuatan yang diancam pidana. 2. Hukum Pidana materiel dan hukum pidana Formel

Menururt ilmu hukum pidana bahwa hukum pidana objektif itu dapat dibagi dalam hukum pidana materiel dan formel. Hukum pidana materiel (hukum pidana substansif) adalah seluruh yang memuat perumusan : 1) Perbuatan-perbuatan apakah yang dapat diancam pidana. Misalnya : pasal 338 KUHP ---- pembunuhan, pasal 351 KUHP penganiayaan, pasal 362 ---- pencurian. 2) Siapakah yang dapat dipidana, atau dengan perkataan lain mengatur pertanggungjawaban terhadap hukum pidana. 3) Pidana apakah yang dapat dijatuhkan terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana, atau disebut juga dengan hukum penitensier (Lihat Satochid:1). Hukum pidana materiel dimuat dalam KUHP dan dalam peraturan perundang-undangan hukum pidana lainnya di luar KUHP, seperti dalam : Stbl 1934 --- 167 jo UU No. 39/1947-KUHPM (kita undang-undang Hukum Pidana Militer) ; UU No. 7 Drt 1955 --- undang-undang Tindak Pidana Ekonomi; UU No. 11 Pnps 1963 --- Pemberantasan Kegiatan Subvensi; UU No. 3/1971 --- Undang-undang Tindak Pidana korupsi; UU No. 9/1976 --Narkotika dab sebagainya Hukum pidana formel (hukum pidana ajketif) dimuat dalam UU No.8/1981 --- KUHAP dan dalam peraturan perundang-undangan dengan hukum acara pidana lainnya diluar KUHAP, seperti dalam : UU No. 13/1961 --- Undang-undang Pokok Kepolisian; UU No. 14/1970 --- Undang-undang kekuasaan kehakiman. Juga secara khusus dimuat dalam : UU No. 7 Drt/1955; UU No. 11 Pnps/1963; Undang-undang No 3/1971; UU No. 9/1976, dan lain-lain. Dengan demikian dalam ketentuan-ketentuan hukum pidana khusus ini, selain dimuat hukum materiel juga sekaligus dimuat hukum pidana formel.

3. Hukum Pidana Umum dan Hukum Pidana Khusus Hukum pidana umum (algemeen strafrecht --- jus commune) adalah hukum pidana yang berlaku umum atau yang berlaku bagi semua orang. Hukum pidana umum dimuat dalam KUHP. Hukum pidana khusus (bijzonder strafrecht --- jus speciale) adalah hukum pidana yag berlaku khusus bagi golongan orang-orang tertentu (anggota ABRI dan yang disamakan dengan anggota ABRI) atau yang memuat perkara-perkara pidana tertentu (seperti : tindak pidana ekonomi, tindak pidana subversi, tindak pidana korupsi, tindak pidana narkotika, dan lain-lain).

Hukum pidana khusus jelas dimuat dalam peraturan perundangundangan hukum pidana di luar KUHP. Hubungan hukum pidana umum dengan hukum pidana khusus adalah ketentuan hukum pidana umum itu tetap berlaku di samping ketentuan hukum pidana khusus sebagai hukum pelengkap. Ketentuan hukum pidana khusus dapat menyimpang dari ketentuan hukum pidana umum. Dalam hal penyimpangan ini, maka yang dipakai adalah ketentuan hukum pidana khusus. Hal ini merupakan penjelmaan dari suatu adagium klasik yang dirumuskan dalam bahasa latin, yang berbunyi: lex specialist derogat lex generalis (ketentuan hukum khusus mengenyampingkan ketentuan hukum umum). Dasar hukum penyimpangan itu adalah pasal 103 KUHP, yang berbunyi : ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana,

kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain (Tim Penerjamah BPHN, 1983:50). Artinya bahwa tindak pidana yang terdapat dalam peraturan-perturan perundang-undangan hukum pidana di luar KUHP tunduk pada aturan umum dalam buku I KUHP, kecuali kalau diatur secara khusus. Di bawah ini akan dikemukakan beberapa contoh : 1) KUHP berlaku umum, oleh karena itu berlaku juga bagi anggota militer di samping KUHPM. KUHPM itu dimaksudkan untuk menambah KUHP, oleh sebab ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam KUHP dianggap kurang cukup keras bagi anggota militer terhadap beberapa perbuatan tertentu. Selain daripada itu ada perbuatan-perbuatan yang hanya dapat dilakukan oleh anggota militer saja, misalnya : insubordinasi, desersi, dan lain sebagainya yang tidak diatur dalam KUHP (Anang Djajaprawira, 1969:49).

2) Sanksi pidana dalam KUHP dianut sistem alternatif , artinya jika ada beberapa jenis pidana pokok yang diancamkan dalam suatu ketentuan hukum pidana, maka hakim harus memilih salah satu di antaranya. Untuk mengetahui bahwa sanksi pidana itu bersistem alternatif adalah dari perkataan atau diantara beberapa jenis pidana pokok yang diancamkan dalam suatu tentang ketentuan hukum pidana, misalnya : pasal 340 KUHP --- pembunuhan dengan rencana (moord) ancaman pidananya adalah pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun.

Lain halnya dalam hukum pidana khusus pada umumnya sanksi pidana yang dianut adalaah sistem kumulatif (seperti dalam : UU No. 9/1976 --- Tindak Pidana Narkotika) dan sistem kumulatif alternatif (seperti dalam : UU No. 7 Drt/ 1955 --- Tindak Pidana Ekonomi, UU No. 11 Pnps/1963 --- Tindak pidana subversi, UU No. 3/1971 --- Tindak Pidana korupsi). Sistem kumulatif artinya jika ada beberapa jenis pidana pokok yang diancamkan dalam suatu ketentuan hukum pidana, maka hakim harus menjatuhkan keseluruhannya. Untuk mengetahui bahwa sanksi pidana itu bersistem kumulatif adalah dari perkataan dan di antara beberapa jenis pidana pokok yang diancamkan dalam suatu ketentuan hukum pidana, misalnya : pasal 36 ayat (1) UU No. 9/1976 ancaman pidananya adalah pidana penjara selama-lamanya enam tahun dan denda setinggi-tingginya Rp 10.000.000,00. Sistem kumulatif alternatif artinya jika ada beberapa jenis pidana pokok yang diancamkan dalam suatu ketentuan hukum pidana, maka hakim dapat menjatuhkan keseluruhannya atau dapat pula memilih salah satu diantaranya. Untuk mengetahui bahwa sanksi pidana itu bersistem kumulatif alternatif adalah dari perkataan dan atau di antara jenis pidana pokok yang diancamkan dalam suatu ketentuan hukum pidana misalnya : Pasal 28 UU No. 3/1971 ancaman pidananya adalah hukuman penjara seumur hidup atau penjara selama-lamanya dua puluh tahun dan atau denda setinggi-tingginya Rp 30.000.000,00 3) Menurut KUHP percobaan melakukan pelanggaran tidak dapat dipidana Akan (pasal 54 KUHP), demikian dan juga pembantuan melakukan melakukan pelanggaran tidak dapat dipidana (pasal 60 KUHP). tetapi pembantuan percobaan pelanggaran tindak pidana ekonomi dapat dipidana (pasal 4 UU No. 7 Drt/1955).

4. Hukum Pidana Umum dan Hukum Pidana Lokal Kadangkala orang membuat perbedaan antara hukum pidana umum dan hukum pidana lokal. Hukum pidana umum, disebut juga dengan hukum pidana nasional adalah hukum pidana yang dibuat oleh pemerintah pusat dan yang berlaku pada seluruh wilayah negara. Hukum pidana lokal bukanlah hukum pidana khusus, meskipun dihadapkan dengan masalah-masalah yang khusus bagi daerah. Hal ini disebabkan hukum pidana lokal itu tidak mengandung asasasas pidana yang menyimpang dari asas-asas pidana umum. Tidak adanya penyimpangan tersebut, oleh karena pembuat hukum pidana lokal terikat oleh ketentuan pasal 103 KUHP yang tidak menyebutkan peraturan daerah sebagai suatu peraturan yang dapat mengandung perkecualian terhadap aturan kedelapan bab dalam Buku I KUHP. Sesuai dengan apa yang tercantum dalam pasal 103 KUHP tersebut, maka pada umumnya hukum pidana lokal memuat sanksi-sanksi atas pelanggaran dan tidak bersifat kejahatan (Utrecht, 1958 : 77 78). Kalau hukum pidana umum dimuat dalam KUHP, maka hukum pidana lokal dimuat dalam peraturan-peraturan daerah (disingkat perda) tingkat I atau II. 5. Hukum Pidana yang Dikodifikasikan dan Hukum Pidana yang Tidak Dikodifikasikan Hukum pidana yang dikodifikasikan (gecodifceerd) adalah hukum pidana yang telah dikumpulkan dan dibukukan (dikitabkan), seperti : KUHP dan KUHPM.

10

Hukum pidana yang tidak dikodifikasikan (niet gecodifceerd) adalah hukum pidana yang tidak dikumpulkan, melainkan tersebar dalam undang-undang atau peraturan-pertauran yang bersifat khusus. 6. Hukum Pidana Bagian Umum dan Hukum Pidana bagian Khusus Hukum pidana bagian umum (algemene deel) adalah hukum pidana yang memuat asas-asas umum (algemene leerstukken) dan dimuat dalam Buku I KUHP. Hukum pidana bagian Khusus (bijzonder deel) adalah hukum pidana yang memuat masalah-masalah kejahatan-kejahatan dan pelanggaraan, baik yang dikodifikasikan maupun yang tidak dikodifikasikan (Lihat Lamintang, 1984:11). D. Sumber Hukum Pidana Dalam ilmu hukum dikenal beberapa sumber hukum, yaitu : 1. Undang-undang 2. Kebiasaan dan adat 3. Perjanjian antar negara 4. Persetujuan 5. Yurisprudensi 6. Doktrin 7. Proklamasi kemerdekaan 8. Revolusi 9. Coup deetat yang berhasil 10. Takluknya suatu negara kepada negara lain Sumber-sumber hukum butir 1), butir 2), butir 3) adalah sumbersumber hukum yang langsung. Sedangkan sumber-sumber hukum butir 4), butir 5), dan butir 6) adalah sumber-sumber hukum tidak langsung, artinya hal-hal itu menjadi sumber hukum karena atas pengakuan undang-undang atau karena dengan melalui kebiasaan.

11

ACHMAD SANUSI, menamakan sumber-sumber hukum butir 1) sampai dengan butir 6) itu sebagai sumber-sumber yang normal. Sedangkan sumber-sumber hukum butir 7) sampai dengan butir 10) dinamakannya sebagai sumber-sumber yang abnormal (Sanusi, 1977 : 34) Di indonesia sumber hukum pidana materiel terdapat dalam KUHP dan dalam peraturan perundang-undangan hukum pidana lainnya di luar KUHP, juga memori penjelasan (memorie van Toelichting, yang disingkat M.v.T) selain dari itu masih dimungkinkan pula sumber dari hukum adat yang masih hidup sebagai delik adat dengan pembatasan tertentu menurut pasal 5 ayat (3) b UU No. 1 Drt 1951. dan sumber hukum pidana formel atau hukum acara pidana terdapat dalam KUHAP --- UU RI No. 8/1981 dan dalam peraturan perundang-undangan hukum acara pidana. E. Determinisme dan Indeterminisme Dalam Hukum Pidana Persoalan determinisme dan indeterminisme dapat dikatakan sebagai akibat dari pertentangan antara aliran klasik dengan aliran modern. Sebagaimana telah diketahui bahwa ciri aliran klasik adalah perhatian utama untuk kepentingan atau kebebasan perseorangan (individu). Akibatnya adalah diterimanya kehendak bebas perseorangan. Setiap perbuatan manusia selalu ditentukan oleh kehendak bebasnya, sehingg tidak suatu perbuatan kepadanya. Kemudian dengan adanya kehendak bebas manusia itu disangsikan kebenarannya oleh aliran modern. Sebagaimana telah diketahui bahwa aliran modern dipengaruhi oleh perkembangan kriminologi. Kriminologi yang mendasarkan penyelidikan ilmiahnya antara lain atas hasil-hasil psykologi dan psykiater, membuktikan bahwa tidak setiap perbuatan manusia dapat manusia pun yang tidak dapat dipertanggungjawabkan

12

dipertanggungjawabkan kepadanya. Misalnya : orang gila tidak dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya itu. Setelah pertentangan antara aliran klasik dengan aliran modern ini mereda, maka selanjutnya timbul pertentangan baru yang tidak kalah pentingnya, yaitu pertentangan anatar determinisme dan indeterminisme. Dualisme ini berkisar pada persoalan, apakah seorang manusia itu pada hakekatnya bebas dari pengaruh, ataukah justru selain dipengaruhi oleh beberapa faktor lain ? Determinisme berpendapat bahwa manusia sama sekali tidak dapat menentukan kehendaknya secara bebas, oleh karena telah dahulu dipengaruhi oleh beberapa faktor, yang terpenting adalah faktor milieu atau lingkungan dan pribadi orang yang bersangkutan. Dalam menentukan kehendaknya manusia tunduk beberapa hal yang sebelumnya telah terjadi karena beberapa faktor yang tidak dapat dikuasai manusia. Sebaliknya Indeterminisme berpendapat bahwa manusia dapat atas perbuatan-perbuatan yang dilakukannya, karena ia sebenarnya tidak dapat menyadari arti dan akibat perbuatan-

menentukan kehendaknya secara bebas, meskipun ada faktor-faktor milieu atau lingkungan dan pribadi orang yang bersangkutan yang dapat mempengaruhi penentuan kehendak manusia itu. Jika dua ime ini diterapkan dalam hukum pidana, dapat dikatakan bahwa seseorang yang melakukan kejahatan, menurut faham determinisme tidak dapat bersalah/bertanggungjawab dan tidak dapat dipidana atas perbuatannya itu, karena sama sekali tidak mempunyai kebebasan untuk menentukan kehendaknya. Pelanggar-pelanggar hukum hanyalah diambil tindakan agar tunduk pada tata tertib hukum atau masyarakat. Sedangkan

13

menurut

faham

indeterminisme

seorang

penjahat

itu

dapat

bersalah/bertanggungjawab dan dapat dipidana atas perbuatannya itu, karena mempunyai kebebasan untuk menetukan kehendaknya. Pertentangan antara determinisme dan indeterminisme masih dapat diredaken dengan cara kompromis. Kompromis ini disebut dengan teori modern yang mengambil jalan tengah. Toeri modern berpangkal pada suatu determinisme, yaitu mengakui dalam beberapa hal manusia dipengaruhi oleh faktor-faktor milieu atau lingkungan dan pribadinya. Yaitu faktor-faktor milieu atau lingkungan dan pribadinya, yaitu faktor-faktor yang tidak dapat dikuasai oleh manusia. Akan tetapi masih menerima pula adanya kesalahan sebagai dasar untuk dapat dipidana pelaku kejahatan. Selain dari pada teori modern untuk mencapai suatu kompromis itu dikenal juga teori lain, yang disebut dengan teori neodeterminisme. Teori ini berpangkal pada determinisme, tetapi tidak berpegangan pada pendapat bahwa manusia tidak bebas untuk menentukan kehendaknya, melainkan manusia itu sebagai anggota masyarakat, sehingga harus menginsyafi bahwa perbuatannya dapat menimbulkan bahaya bagi orang lain, maka dengan dasar inilah manusia dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana. F. Sifat Hukum Pidana Menurut isinya, hukum itu dapat dibagi dalam hukum publik dan hukum privat. Hukum publik adalah hukum yang mengatur kepentingan publik (umum), sedangkan hukum privat adalah hukum yang mengatur kepentingan perseorangan.

14

Apakah hukum pidana itu masuk golongan atau bersifat hukum publik ? di bawah ini akan dikemukakan beberapa pendapat para sarjana hukum Indonesia : 1. E. UTRECHT berpendapat bahwa hukum pidana memberikan suatu sanksi istimewa atas, baik pelanggaran kaidah hukum privat maupun atas pelanggaran kaidah hukum publik yang telah ada. Hukum pidana melindungi, baik kepentingan yang dilenggarakan oleh peraturan hukum publik. Hukum pidana melindungi kedua macam kepentingan itu dengan membuat suatu sanksi istimewa. Sanksi itu perlu, oleh karena kadang0kadang perlu diadakan tindakan pemerintah yang lebih keras daripada sanksi-sanksi yang ada di dala hukum privat maupun hukum publik. Sebagai suatu hukum yang membuat sanksi isstimewa, yang memperkuat baik bagi hukum privat maupun hukum publik, maka hukum pidana itu bukan hukum privat maupun hukum publik, melainkan mempunyai suatu kedudukan sendiri. 2. WIRJONO PRODJODIKORO berpendapat bahwa hukum pidana dapat dinyatakan merupakan hukum publik hubungan hukum yang teratur dalam hukum pidana adalah sedemikian rupa bahwa titik berat berada tidak pada kepentingan seorang individu, melainkan pada kepentingan orang banyak, yang juga dinamakan kepentingan umum. 3. SATOCHID KARTANEGARA berpendapat bahwa hukum pidana itu merupakan hukum publik bahwa hukum pidana itu mengatur hubungan antara individu dengan masyarakat dan semata-mata dilaksanakan untuk kepentingan masyarakat

15

4. MOELJATNO berpendapat bahwa hukum pidana ini digolongkan dalam hukum publik. Yaitu mengatur hubungan antara negara dan perseorangan atau mengatur kepentingan umum Sesuai dengan pendapat WIRJONO, SATOCHID, dan MOELJATNO tersebut diatas, penulis pun berpendapat bahwa hukum pidana itu termasuk hukum publik. Sifat hukum pidana sebagai hukum publik itu jelas nampak dalam ciri-ciri sebagai berikut : 1) Sanksi pidana tetap ada, meskipun perbuatan yang

menimbulkan tindak pidana dilakukan orang atas persetujuan si korban misalnya : ----pasal 332 KUHP melarikan wanita atas persetujuannya pasal 344 KUHP pembunuhan atas permintaan yang

sungguh-sungguh dari si korban. --pasal 348 KUHP pengguguran kandungan seorang wanita

atas persetujuannya. Perbuatan dalam pasal-pasal tersebut di atas tetap dapat dipidana, meskipun dilakukannya atas persetujuan si korban. Dalam hal ini harus diutamakan adalah kepentingan umum sebab bagaimanapun perbuatan-perbuatan tersebut di atas adalah tercela dan pembuatnya patut dipidana 2) Untuk menuntut tindak pidana tidak tergantung kepada

gugatan si korban melainkan merupakan kewajiban alat negara yang berwenang, yaitu penuntut umum atau jaksa. Akan tetapi dalam hal ini ada perkecualiannya seperti dalam delik aduan (klacht delict) yaitu

16

suatu delik yang untuk dapat dituntutnya disyaratkan harus ada pengaduan dari pihak si korban, misalnya : Pasal 284 KUHP --- perzinahan Pasal 293 KUHP ---- perbuatan cabul Pasal 367 KUHP --- pencurian dalam keluarga dan lain-lain 3) segala biaya untuk pidana penjara dan pidana kurungan dipikul oleh negara, dan segala pendapatan dari pidana denda dan perampasan barang adalah menjadi milik negara (pasal 42 KUHP) 4) dalam hukum pidana formel atau hukum acara pidana mencari kebenaran materil, yaitu kebenaran yang sungguh-sungguh di dalam masyarakat. G. NORMA DAN SANKSI DALAM HUKUM PIDANA Peraturan hukum pidana itu terdiri atas dua bagian pokok, yaitu norma tau kaidah dan sanksi. 1. Norma dalam Hukum Pidana Norma itu berintikan suatu ketentuan mengenai tingkah laku atau peraturan hidup yang harus ditaati oleh setiap orang dalam pergaulan mereka di masyarakat. Dan norma itu mempunyai tugas untuk menjamin ketertiban hukum dalam masyarakat. Norma itu berbentuk larangan (verbod) atau keharusan (gebod). Norma yang berbentuk larangan, misalnya : pasal 338 KUHP dilarang

17

membunuh; pasal 362 KUHP dilarang mencuri dan lain-lain. Norma yang berbentuk keharusan, misalnya : Pasal 164 dan 165 KUHP keharusan melaporkan kepada yang berwajib atau kepada yang terancam, pasal 224 KUHP keharusan menjadi sanksi dan lain-lain. Dalam ilmu hukum pidana terdapat perbedaan pendapat mengenai norma itu yaitu : 1) Norma itu terletak di dalam undang-undang. Hal ini merupakan pendapat umum. 2) Norma terletak di luar undang-undang. Penganut pendapat butir 2 ini adalah KARL BINDING seorang sarjana hukum jerman, yang dalam bukunya : Die Normen und ihre Ubertretung, menyatakan bahwa norma itu tidak terdapat di dalam undang-undang, melainkan di luar undang-undang, yaitu di dalam kesadaran hukum masyarakat yang tidak tertulis. Norma itu berbentuk moral atau kesusilaan. Oleh karena itu menurut pendapatnya, misalnya apayang diatur dalam pasal 338 KUHP pembunuhan, yang berartiorang dilarang merampas nyawa orang lain, pasal 362 KUHP --- pencurian, yang berarti bahwa orang yang membunuh dan mencuri itu adalah melanggar moral atau kesusilaan. Tentang peraturan-peraturan yang terdapat di dalam KUHP, BINDING berpendapat, misalnya dalam contoh pencurian, berarti sipencuri itu bukan melanggar undang-undang, melainkan melanggar norma. Bahkan perbuatan mencuri itu sesuai dengan apa yang ditentukan dalam undang-undang itu, sehingga undang-undang itu dapat dijalankan kepada pencuri tersebut. Adapun yang dapat melanggar undang-undang itu adalah hakim, apabila

18

tidak menajtuhkan pidana sebagaimana yang ditentukan dalam undangundang. Perlu juga dikemukakan pendapat R. TRESNA dan UTRECHT tentang norma itu. TRESNA berpendapat bahwa hukum pidana tidak berisi normanorma baru, ia tidak meletakkan kewajiban yang sebelum itu belum ada. Norma-norma yang telah ada, yang misalnya berdasarkan agama dikuatkan oleh hukum pidana dengan diadakan ancaman pidana. Kewajiban-kewajiban yang sudah dikenal dan tadinya mempunyai ujud yang bersifat paksaan dengan diadakannya sanksi-sanksi di dalam hukum pidana. UTRECHT berpendapat bahwa hukum pidana sama sekali tidak bertugas membuat kaidah. Hukum pidana hanya membuat suatu sanksi lebih keras atas pelanggaran beberapa petunjuk hidup yang telah dibuat oleh huku privat atau hukum publik, biarpun sering petunjuk-petunjuk hidup itu juga disebuit dalam ketentuan-ketentuan lain. Pendapat TRESNA dan UTRECHT tersebut pada prinsipnya adalah sama, tetapi dalam acara penguraian sajalah yang tidak sama. Apabila kita bandingkan pendapat TRESNA dengan UTRECHT di satu pihak dengan pendapat BINDING dilain pihak, maka TRESNA dan UTRECHT berpendapat bahwa undang-undang pidana itu berisi norma, tetapi tidak berisi atau tidak membuat norma baru. Norma-norma dalam undang-undang pidana itu berasal atau merupakan perulangan (herhaling) saja dari ketentuanketentuan lain. Sedangkan menurut BINDING undang-undang pidana itu tidak berisi norma, melainkan norma itu ada diluar undang-undang, yaitu ada di dalam kesadaran hukum masyarakat yang tidak tertulis. 2. Hubungan Norma dengan Sanksi

19

Sanksi dalam hukum pidana mengandung inti suatu ancaman pidana (strafbedreiging). Dalam hubungannya dengan norma, kalau dilihat dari sudut sifatnya, maka sanksi merupakan akibat hukum (rechtgevolg). Karena dilanggarnya suatu norma. Akibat hukum itu berupa pidana (straf) atau tindakan (maatregel). Kalau dilihat dari sudut tugasnya, maka sanksi merupakan suatu jaminan bahwa norma akan ditaati. Sehubungan dengan hal tersebut, maka ilmu hukum pidana kalau dilihat dari sudut norma, maka disebut dengan ilmu mengenai norma (normenwetenschap), karena hukum pidan terdiri dari norma-norma, kalau dilihat dari sudut sanksi, maka disebut dengan hukum saksi (sanctie recht), karena hukum pidana itu selalu disertai oleh sanksi-sanksi. 3. Perumusan norma dan sanksi di dalam KUHP dan dalam peraturan perundang-undangan hukum pidana di luar KUHP. Di dalam KUHP Norma dan sanksi di dalam KUHP itu dirumuskan bermacam-macam, yaitu : 1) Pada umumnya norma dan sanksi itu dirumuskan bersamasama dalam suatu pasal. Misalnya : pasal 338 KUHP --normanya sengaja menghilangkan nyawa orang lain, sanksinya pidana penjara paling lama lima belas tahun. 2) Ada suatu ketentuan pidana yang hanya da normanya, tetapi sanksinya tidak tercantum. Untuk mengetahui sanksinya itu harus melihat kepada delik pokoknya.

20

Misalnya : pasal 367 KUHP pencurian dalam keluarga. Dalam pasal ini tidak dicantumkan sanksinya, untuk mengetahui sanksinya itu harus melihat kepada pasal 362 KUHP --- pencurian biasa, yaitu pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak sembilan ratus rupiah. 3) Adapula dalam suatu ketentuan pidana yang sanksinya telah ada, tetapi normanya belum ada. Norma itu akan ditentukan kemudian oleh pemerintah. Ketentuan pidana ini disebut dengan ketentuan pidana blanko (blanco strafbepaling). Misalnya : pasal 122 butir 2 KUHP --- sanksinya telah ada yaitu pidana penjara paling lama tujuh tahun, tetapi normanya belum ada, dan akan dikeluarkan dan diumumkan oleh pemerintah dalam masa perang guna keselamatan negara. Di dalam peraturan perundang-undangan hukum pidana di luar KUHP. Pada umumya norma dan sanksi di dalam peraturan perundangundangan hukum pidana di luar KUHP tidak dirumuskan bersama-sama dalam suatu pasal, melainkan terpisah, normanya ditentukan lebih dahulu dalam suatu pasal, kemudian sanksinya ditentukan dalam pasal lain. Misalnya : dalam Undang-undang No. 3/1971 --- normanya ditentukan dalam pasal 1, tetapi sanksinya dalam pasal 28, dalam UU No.7Drt/1955 --normanya ditentukan dalam pasal 1, sedangkan sanksinya dalam pasal 6, dalam UU No. 9/1976 --- normanya ditentuakn dalam pasal 23, sedangkan sanksinya dalam pasal 36. Selain daripada itu adapula beberapa norma yang diancam dengan dua sanksi, baik yang terletak dalam hukum pidana maupun dalam hukum

21

perdata. Misalnya :mengenai perzinahan sanksi pidananya dalah penjara paling lama sembilanbulan --- pasal 284 KUHP, sanksi perdatanya adalah perceraian atau pisah meja dan tempat tidur --- pasal 209 dan pasal 233 KUHPerdata, actio pauliana, yaitu gugatan untuk membatalkan atau menyatakan batal segala perbuatan debitur yang secara curang dilakukan untuk merugikan para kreditur, sanksi pidananya adalah pidana penjara paling lama tujuh tahun --- pasal 397 KUHP, sanksi perdatanya adalah batalnya segala perbuatan debitur --- pasal 1314 KUHPerdata. Telah dikatakan di atas bahwa akibat hukum (rechtsgevolg) dapat berupa pidana (straf) atau tindakan (maatregel). Apakah perbedaanya antara pidana dengan tindakan itu ? Pada umumnya para penulis hukum pidana melukiskan perbedaan antara pidana dengan tindakan itu sebagai berikut : a. Kalau ditinjau dari sudut tujuannya : tujuan pidana adalah memberikan penderitaan khusus (bijzonder leed) kepada si pelanggar hukum agar merasakan akibat perbuatannya. Tujuan tindakan lebih bersifat sosial. b. Kalau ditinjau dari sudut teori-teori hukum pidana merupakan sanksi yang bersifat pembalasan. Tindakan merupakan sanksi yang tidak bersifat pembalasan, melainkan semata-mat ditujukan kepada prevensi khusus, maksudnya ialah untuk melindungi masyarakta dari orang-orang tertentu, yaitu orangorang yang berbhaya yang mungkin akan melakukan tindak pidana yang merugikan masyarakat. Contoh tindakan, seperti :

22

Seorang sakit jiwa (gila) yang melakukan tindak pidana tidak dipidana, melainkan sambil tindakan yang berupa dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa --- pasal 44 KUHP.

Anak yang berumur enam belas tahun yang melakukan tindak pidana tidak dipidana, melainkan diambil tindakan yang berupa dikembalikan kepada orang tuanya, atau walinya atau pemeliharaannya, ataupun diserahkan kepada pemerintah untuk dididik dalam lembaga pendidikan negara pasal 45 KUHP

Selain itu dalam KUHP dikenal pula apa yang disebut dengan pidana bersyarat (voorwaardelijk veroordeling) dan pengelepasan bersyarat (voorwaardelijk ninvrijheidstelling). Pidana bersyarat --- (pasal 14a 14f KUHP), dapat diputuskan oleh hakim dalam hal hakim menjatuhkan : Pidana penjara paling lama satu tahun Pidana kurungan tidak termasuk pidana kurungan pengganti Pidana denda.

Bahwa pidana tersebut tidak usah dijalani, tetapi dengan syarat-syarat tertentu yang berupa : 1) Syarat umum (yang merupakan syarat mutlak atau yang harus selalu ada), yaitu terpidana dalam masa percobaan tidak akan melakukan tindak pidana lagi. Apabila syarat ini dilanggar maka terpidana harus menjalani pidananya itu.

23

2)

Syarat khusus (yang merupakan syarat yang boleh ada atau tidak ada), yaitu terpidana harus mengganti segala atau sebagian kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana yang dilakukannya, dan harus dipenuhi dalam jangka waktu yang ditentukan oleh hakim.

Penglepasan bersyarat (pasal 15-17 KUHP) dapat diberikan kepada narapidana : Yang menjalani pidana penjara selama waktu tertentu Telah menjalani pidananya sekurang-kurangnya dua pertiga dari lamanya pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya, yang sekurang-kurangnya sembilan bulan Berkelakuan pidananya. baik terus-menerus dalam menjalani

Pelepasan bersyarat ini diusulkan oleh kepala atau direktur Lembaga Pemasyarakatan yang bersangkutan kepada menteri kehakiman dengan melaui Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. Dan menteri kehakimanlah yang memutuskannya. Narapidana yang diberi penglepasan bersyarat dilepaskan untuk tidak menjalani pidananya yang satu pertiganya lagi lagi dari masa pidana itu, dengan syarat-syarat tertentu, yaitu : a. Syarat umum (yang merupakan syarat mutlak) bahwa dalam masa percobaan narapidana tidak akan melakukan tindak pidana lagi dan perbuatan yang lain yang tidak baik, seperti : hidup tidak teratur atau hidup bermalas-malasan dan bergaul dengan orang-orang yang tidak baik namanya.

24

b. Syarat khusus (merupakan syarat yang boleh ada atau tidak ada), yaitu mengenai kelakuan narapidana. Maksudnya adalah untuk menjaga agar narapidana tidak tersesat lagi, dan untuk mempengaruhi ke arah yang baik. Adalah dalam masa percobaan narapidana melanggar syarat-syarat yang harus dipenuhinya, maka penglepasan bersyarat dapat dicabut, dan dia harus menjalani sisa pidananya itu. I. ILMU HUKUM PIDANA DAN KRIMINOLOGI a. ILMU HUKUM PIDANA Ilmu hukum pidana merupakan ilmun atau pengetahuan yang secara khusus mempelajari salah satu bagian tertentu dari ilmu hukum pada umumnya, yaitu hukum pidana. Objek ilmu hukum pidana adalah peraturan-peraturan hukum pidana positif, yaitu hukum pidana yaitu hukum pidana yang berlaku pada suatu waktu tertentu di suatu negara tertentu. Jadi objek ilmu hukum pidana di Indonesia adalah peraturan-peraturan hukum yang berlaku di Indonesia. Tugas utama ilmu hukum pidana adalah : mempelajari dan menjelaskan asas-asas yang mejadi dasar dari peraturan-peraturan hukum pidana positif, mempelajari dan menjelaskan hubungan antara asas yang satu dengan yang lainnya, setelah dipahami hubungan itu maka ditempatkan dalam suatu sistematika, agar dapat dipahami apa yang dimaksud apa yang dimaksud dengan hukum pidana positif itu.

25

Dalam tugas yang disebut paling akhir ini juga merupakan cara ilmu hukum pidana melaksanakan tugasnya. Hukum pidana positif itu disusun dalam kata-kata atau kalimat. Dari sifat dogmatis ini, maka timbullah perbedaan pendapat diantara para sarjana hukum pidana. Perbedaan pendapat ini menimbulkan dua aliran dalam ilmu hukum pidana yang lazimnya disebut dengan aliran ilmu hukum pidana yang sempit dan aliran ilmu hukum pidana yang luas. Menurut aliran ilmu hukum pidana yang sempit, yang antara lain dikemukakan oleh ZEVENBERGEN bahwa ilmu hukum pidana itu harus bersifat dogmatis, oleh karena ilmu hukum pidana itu adalah mengenai norma-norma (normenwetenschap), jadi ilmu yang berdasarkan norma-norma yang terdapat dalam hukum pidana positif. Hal ini berarti hanya membentangkan sistematis norma-norma, maka sasaran ilmu hukum pidana itu adalah tingkah laku normatif dan tidak usah mennyangkut dari sebab-sebab tingkah laku yang melanggar norma. Menurut ilmu hukum pidana yang luas, yang antara lain dikemukakan oleh VAN HAMEL dan SIMONS bahwa ilmu hukum pidana tidak besifat dogamtis saja, tetapi harus diperluas dengan mempelajari dan menentukan cara-cara untuk membarantas kejahatan, yang keseluruhanya itu merupakan tugas kriminologi.

b. Kriminologi

26

Apakah kriminologi itu secara etimologis perkataan kriminologi itu berasal dari dua buah suku kata yaitu : Crimen (kejahatan) Logos (ilmu). Jadi kriminologi adalah, ilmu tentang kejahatan. Atau secara luasnya kriminologi itu adalah ilmu yang mempelajari sebab-sebab timbulnya kejahatan (etiologi kriminal), serta mempelajari cara-caranya untuk memberantas kejahatan itu (politik kriminal --- criminele politiek). 1. Etiologi Kriminal (criminele aetiologie) Perkataan aetiologi berasal dari perkataan aethos yang berarti sebab-sebab. Etiologi Kriminal itu terdiri atas tiga mashab/aliran yaitu : a. Mashab Italia b. Mashab perancis c. Mashab bio-sosiologis. a) Mashab Italia Mashab italia (Italiaanse school) disebut pula dengan aliran biologis (biologische richting) atau aliran positif (positievesche richting) atau aliran antropologis (anthropologische richting). Yang meciptakan aliran ini adalah CESARE LOMBROSO (18351909) seorang guru besar pada sebuah Univeristas di turyn Italia dalam ilmu kedokteran kehakiman dan psykiatri, dan menjadi dokter jiwa disebuah penjara italia. LOMBROSO mengemukakan

27

pendapatnya dalam bukunya L Uomo delinquente(Manusia penjahat). Setelah LOMBROSO menyelidiki dan mengukur bentuk badan dan tengkorak dari lebih kurang tiga ratus limapuluh orang hukuman di rumah-rumah penjara, maka berdasarkan hasil penyelidikannya itu ia berkesimpulan bahwa seseorang penjahat dapat dikenal dari ciri-ciri atau tanda-tanda yang melekat pada dirinya. LAMBROSO terkenal dengan teorinya tentang manusia penajahat karena kelahiran (leer van geborn misda diger). Menurut ajaran ini manusia jahat itu merupakan pembawaan atau bakat atau watak dari kelahiran. Jadi mereka dilahirkan untuk menjadi penjahat, bakat jahat itu dapat diketahui dari ciri-ciri atau tanda-tanda biologis yang melekat pada tubuh (anatomi) dan jiwa (psykologi) mereka. Ciri-ciri atau tanda-tanda pada anatomi, seperti kening kepala yang menonjol kedepan dan dahi yang agak miring, mata kecil yang letaknya sangat dalam yang berada dalam rongga mata besar, tulang pipi yang menomjol, lubang hidung yang terlalu besar, pertumbuhan rambut yang tabal dan keriting, dan lain-lain. Ciri-ciri atau tanda-tanda pada jiwa, seperti tidak mempunyai perasaan menyesal dan rasa belas kasihan, tahan menderita, gila hias, malas kejam dan lain-lain. Menurut LAMBROSO manusia yang mempunyai ciri-ciri atau tanda-tanda biologis semacam ini dihinggapi bakal jahat, cepat atau lambat tentu akan menjadi penjahat.

28

Dalam percakapan sehari-hari, orang yang mempunyai ciri-ciri atau tanda-tanda sebagaimana dikemukakan oleh LAMBROSO tersebut diatas dengan type lombroso.Ajaran LOMBROSO mempunyai banyak penganut, tetapi banyak juga yang menentangnya karena disangsikan kebenarannya. b) MASHAB PERANCIS Mashab perancis (french school) disebut pula dengan aliran sosiologis atau aliaran milieu (lingkungan) atau aliran Lyon richting. Aliran ini dilahirkan oleh LACASSAGNE (1843-1924), seorang guru besar dalam ilmu kedokteran kehakiman di perguruan Kriminal Internasonal ke 1 di Roma (1885). Aliran ini menentang keras aliran antropologis, karena menurut pendapatnyabahwa yang menjadi sebab kejahatan itu bukan terletak pada orangnya, melainkan pada milieu atau lingkungan yang buruk di sekitar orang itu hidup, misalnya : perumahan yang sangat jelek, di tempat itu orang tinggal berjejal-jejal, kemiskinan dan lain-lain. Penganut-penganut aliran ini antara lain MANOUVRIER (18501927), BONGER. TARDE menngemukakan bahwa kejahatan itu bukan suatu gejala yang antropologis, melainkan gejala sosiologis, yang seperti kejadian-kejadian sosial lainnya ditentukan oleh hukum meniru. BONGER menganut aliran milieu, tetapi tidak berdasarkan ajaran mashab Perancis, melainkan ia menganut airan milieu itu sebagai seorang penganut ajaran MARK, yang pada umumnya dari kalangan sosialis mementingkan keadaan ekonomi sebagai sebab timbul kejahatan.

29

c)

MASHAB BIO-SOSIOLOGIS Yang meciptakan mashab ini adalah ENRICO FERRI (1856-1929), seorang guru besar hum pidana dan ahli politik. ENRICO FERRI menentang aliran milieu dan berhasil membuat suatu kompromis antara aliran antropologis dengan aliran milieu. Menurut aliran ini melakukan kejahatan itu dianggap dipengaruhi, baik oleh pembawaan atau baka yang terdapat pada diri penjahat maupun oleh milieu atau lingkungan, tempat penjahat hidup dan melakukan perbuatannya. FERRI seorang sarjana hukum Itali membuat perumusan bahwa setiap kejahatan merupakan hasil pengaruh bersama faktor-faktor individual, sosial, dan fisik. Yang dimaksud dengan faktor individual adalah bakat penjahat sebagaimana yang dilukiskan oleh LAMBROSO. 2. Politik Kriminal (criminele politiek) Tugas politik kriminal adalah untuk menemukan cara-cara

memberantas kejahatan. Ada dua macam cara pemberantasan kejahatan itu, yaitu dengan cara kemasyarakatan dan cara perorangan. Pemberantasan kejahatan dengan cara Pemasyarakatan adalah dengan cara memperbaiki masyarakat seperti : mengadakan atau dengan cara memperbaiki dengan jaminan sosial, meniadakan pekerjaanpengangguran meciptakan kesempatan

30

pekerjaan baru, mengadakan perumahan rakyat yang layak, mengolahragakan masyarakat dan memasyaratkan olah-raga, mengaktifkan kebudayaan, mengusahakan pendidikan dan pengajaran yang bermutu, mengadakan siskamling, memberantas perbuatan narkotika, memberantas mabuk-mabukan, dan lain-lain. Pemberantasan kejahatan dengan cara perseorangan adalah dengan secara langsung memperbaiki perseorangan. Seperti : pemidanaan atau penindakan yang bertujuan untuk mendidik dan memperbaiki, masyarakat supaya aktif berperan untuk memperbaiki orang-orang yang a sosial, membina tunas-tunas muda atau para remaja, dam lain-lain. Adapun alat-alat pembantu untuk mengadakan penyelidikan penelitian atau pencarian sebab-sebab kejahatan dengan caracara pemberantasan kejahatan, seperti : mengadakan eksperimeneksperimen, angket, observasi, wawancara, membuat statistik, penelitian suatu peristiwa luar biasa, dan sebagainya. Salah satu alat pemabntu yang cukup penting adalah apa yang diseut dengan : statistik kriminal, yaitu perhitungan secara sistematis dalam periode-periode tertentu tentang kejahatan-kejahatan yang telah terjadi, dengan pencatatan-pencatatan keadaan khusus dari suatu peristiwa dan pelakunya. C. Hubungan kriminal dengan hukum pidana Dengan mempelajari sebab-sebab kejahatan dengan car-cara

memberantas kejahatan, maka kriminologi dapat menyumbangkan bahan-bahan kepada hukum pidana, bahan-bahan itu diperlukan guna menyesuaikan hukum pidana dengan kebutuhan-kebutuhan

31

masyarakat dalam memberantas kejahatan. Bahan-bahan tersebut diberikan kepada pembentuk undang-undang, untuk disusunnya kedalam undang-undang. Walaupun kriminologi itu telah menjadi ilmu yang berdiri sendiri, tetapi perlu diketahui perihall hubungannya dengan hukum pidana. Apakah kriminologi itu masuk dalam ilmu hukum pidana ? telah diutarakan di atas bahwa dari sifat dogmatis hukum pidana positif itu menimbulkan aliran ilmu hukum pidana yang sempit dan luas. Aliran ilmu hukum pidana yang sempit danuti oleh ZEVENBERGEN mempertahankan ilmu hukum pidana yang dogmatis saja, jadi tidak menghendaki tidak dimasukkannya kriminologi dalam ilmu hukum pidana. Sedagkann menurut aliran ilmu hukum pidana yang luas yang dianut oleh SIMONS dan VAN HAMEL bahwa ilmu hukum pidana itu tidak hanya bersifat dogmatis, tetapi juga kriminologis, jadi menghendaki dimasukkannya kriminologi dalam ilmu hukum pidana. ZEVENBERGEN di dalam bukunya Leerboek van het Nederlandse Strafrecht, menyangkal dimasukkannya kriminologi dalam ilmu hukum pidana, sebab ilmu hukum pidana itu adalah suatu pengetahuan perihal pidana, norma-norma ia adalah ilmu hukum. hukum, Jadi jadi merupakan normatif dan suatu tidak pertanggungjawaban bagi yang melanggarnya terhadap hukum menggambarkan, hubungan kasual. Demikian juga tujuannya adalah berbeda, kriminologi ingin mencari sebab-sebab kejahatan dan mecari alat-alat untuk memberantasnya, ilmu hukum pidana adalah untuk membangun sistematiknya. SIMONS di dalam bukunya Leerboek van het Nederlandse

Strafrecht, berpendapat bahwa dalam pembahasan imu mengenai

32

pidana (straffen) terutama dalam menunjuk mengenai peraturannya, yang berlaku dalam menentukan suatu pidana, tidaklah hanya dapat membatasi diri pada penjelasan dan sistematik peraturan-peraturan yang ada, tetapi haruslah pula diselidiki perihal sebab-sebab kejahatan, terutama pribadi penjahat. Perlu juga dikemukakan pendapat-pendapat para sarjana hukum Indonesia, yaitu UTRECHT dan MOELJATNO mengenai hubungan kriminologi dengan hukumpidana itu. UTRECHT berpendapat bahwa kriminologi itu adalah suatu ilmu yang berdiri sendiri di samping ilmu hukum pidana positif. Akan tetapi bagi ilmu hukum pidana positif dan peradilan pidana, maka kriminologi itu merupakan suatu ilmu yang membantu (hulpwetewnschap). Hasil-hasil penyelidikan dan pembahasan kriminologi adalah sangat penting bagi menjalankan hukum pidana positif dan bagi peradilan pidana modern yang sesuaisesuainya dengan kepentingan masyarakat dan individu. Di samping itu juga sangat penting dalam usaha menciptakan jus constituendum pidana. Jadi kesimpulannya UTRECHT tidak memasukkan kriminologi itu dalam hukum pidana, melainkan merupakan ilmu yang berdiri sendiri di samping ilmu hukum pidana positif, meskipun pada hakekatnya antara kriminologi degan ilmu hukum pidana itu ada hubungan yang erat. MOELJATNO berpendapat bahwa objek dan tujuan antara ilmu hukum pidana dengan kriminologi itu berlainan. Kalau objek ilmu hukum pidana itu adalah aturan-aturan hukum mengenai kejahatan yang bertalian dengan pidana, dan tujuannya agar dapat dimengerti dan mempergunakan dengan sebaik-baiknyaserta seadil-adilnya.

33

Sedangkan objek kriminologi adalah orang yang melakukan kejahatan (si Penjahat) itu sendiri, dan tujuannya agar menjadi mengerti apa sebab-sebabnya sampai berbuat jahat itu. Apakah memang karena bakatnya jahat, ataukah didorong oleh kedaan masyarakat di sekitarnya (milieu), baik kedaan sosiologis maupun ekonomis, ataukah ada sebab-sebab lainlagi. Jika sebab-sebab itu sudah diketahui, maka disamping pemidanaan, dapat diadakan tindakan-tindakan yang tepat agar orang tadi tidak lagi berbuat demikian, atau agar orang-orang lain tidak melakukannya. Jadi kesimpulannya MOELJATNO tidak memasukkan kriminologi itu dalam ilmu hukum pidana, tetapi pada hakekatnya antara kedua ilmu itu ada hubungannya satu dengan yang lainnya. Menurut Sofjan Sastrawidjaja, kriminologi itu tidak masuk dalam ilmu hukum pidana, oleh karena peninjauan kriminologi itu tidak yuridis normatif. Kriminologi itu merupakan ilmu yang membantu ilmu hukum pidana. Memang ada persamaan antara kriminologi dengan ilmu hukum pidana itu, yaitu kedua ilmu tersebut menyelidiki kejadiankejadian yang konkrit itu berbeda. Krimonologi caranya ialah dengan melihat sebab-sebab kejahatan yang konkrit itu empiris induktif artinya dikaji apakah suatu perbuatan dalam kenyataannya merupakan suatau perbuatan atau kejahatan atau bukan tanpa terikat oleh ketentuan-ketentuan hukum pidana positif. Sedangkan ilmu hukum pidana adalah deduktif normatif, artinya ketentuan-ketentuan hukum pidana itu telah ada maka berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum pidana ini dinilai apakah suatu perbuatan itu merupakan suatu kejahatan (tindak pidana) atau bukan.

34

35

36

37

You might also like