You are on page 1of 18

TARIF DAN DASAR PENGENAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI PPN dan PPnBM yang terutang dihitung dengan cara

mengalikan Tarif Pajak dengan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) Tarif PPN & PPnBM 1. Tarif PPN adalah 10% (sepuluh persen) 2. Tarif PPnBM adalah paling rendah 10% (sepuluh persen) dan paling tinggi 75% (tujuh puluh lima persen) 3. Tarif PPN dan PPnBM atas Ekspor BKP adalah 0% (nol persen). Dasar Pengenaan Pajak Dasar Pengenaan Pajak adalah dasar yang dipakai untuk menghitung pajak yang terutang, yaitu: Jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau Nilai Lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan. 1. Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak (BKP), tidak termasuk PPN yang dipungut dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak. 2. Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pemberi jasa karena penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP), tidak termasuk pajak yang dipungut dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak. 3. Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan Bea Masuk ditambah pungutan lainnya yang dikenakan pajak berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundangundangan Pabean untuk Impor BKP, tidak termasuk PPN yang dipungut menurut Undangundang. 4. Nilai Ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh eksportir. 5. Nilai Lain adalah suatu jumlah yang ditetapkan sebagai Dasar Pengenaan Pajak dengan Keputusan Menteri Keuangan. Nilai Lain yang ditetapkan sebagai Dasar Pengenaan Pajak adalah sebagai berikut : a. Untuk Pemakaian sendiri BKP dan atau JKP adalah Harga Jual atau Penggantian setelah dikurangi laba kotor; b. Untuk Pemberian cuma-cuma BKP dan atau JKP adalah Harga Jual atau Penggantian setelah dikurangi laba kotor; c. Untuk Penyerahan media rekaman suara atau gambar adalah perkiraan Harga Jual rata-rata; d. Untuk Penyerahan film cerita adalah perkiraan hasil rata-rata per judul film; e. Untuk Persediaan BKP yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, adalah harga pasar yang wajar; f. Untuk Aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan sepanjang PPN atas perolehan aktiva tersebut menurut ketentuan dapat dikreditkan, adalah harga pasar wajar; g. Untuk Kendaraan bermotor bekas adalah 10% (sepuluh persen) dari Harga Jual. h. Untuk Penyerahan jasa biro perjalanan atau jasa biro pariwisata adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih. i. Untuk Jasa pengiriman paket adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih; j. Untuk Jasa anjak piutang adal 5% (lima persen) dari jumlah seluruh imbalan yang diterima berupa service charge, provisi, dan diskon;

k. Untuk Penyerahan BKP dan atau JKP dari Pusat ke Cabang atau sebaliknya dan penyerahan BKP dan atau JKP antar cabang adalah Harga Jual atau Penggantian setelah dikurangi laba kotor. l. Untuk Penyerahan BKP kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang adalah harga lelang. Contoh Cara Menghitung PPN dan PPnBM 1. PKP A dalam bulan Januari 2001 menjual tunai Barang Kena Pajak kepada PKB B dengan harga jual Rp. 25.000.000,00 PPN yang terutang yang dipungut oleh PKP A = 10% x Rp. 25.000.000,00 = Rp. 2.500.000,00 PPN sebesar Rp. 2.500.000,00 tersebut merupakan Pajak Keluaran yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak A. 2. PKP B dalam bulan Pebruari 2001 melakukan penyerahan Jasa Kena Pajak dengan memperoleh Penggantian sebesar Rp. 15.000.000,00 PPN yang terutang yang dipungut oleh PKP B = 10% x Rp. 15.000.000,00 = Rp. 1.500.000,00 PPN sebesar RP. 1.500.000,00 tersebut merupakan Pajak Keluaran yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak B. 3. Pengusaha Kena Pajak C mengimpor Barang Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dengan Nilai Impor sebesar RP. 35.000.000,00 PPN yang dipungut melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai = 10% x Rp. 35.000.000,00 = Rp. 3.500.000,00 4. Pengusaha Kena Pajak D mengimpor Barang Kena Pajak yang tergolong Mewah dengan Nilai Impor sebesar Rp. 50.000.000,00 Barang Kena Pajak yang tergolong mewah tersebut selain dikenakan PPN juga dikenakan PPnBM misalnya dengan tarif 20% (dua puluh persen). Penghitungan PPN dan PPnBM yang terutang atas impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah tersebut adalah: a. Dasar Pengenaan Pajak Rp. 50.000.000,00 b. PPN = 10% x Rp. 50.000.000,00 = Rp. 5.000.000,00 c. PPn BM = 20% x Rp. 50.000.000,00 = Rp. 10.000.000,00 Kemudian PKP D menggunakan BKP yang diimpor tersebut sebagai bagian dari suatu BKP yang atas penyerahannya dikenakan PPN 10% dan PPnBM dengan tarif misalnya 35% (tiga puluh lima persen). Oleh karena PPnBM yang telah dibayar atas BKP yang diimpor tersebut tidak dapat dikreditkan, maka PPnBM sebesar Rp. 10.000.000,00 dapat ditambahkan ke dalam harga BKP yang dihasilkan oleh PKP D atau dibebankan sebagai biaya. Misalnya PKP D menjual BKP yang dihasilkannya kepada PKP X dengan harga jual Rp150.000.000,00 maka penghitungan PPN dan PPnBM yang terutang adalah: a. Dasar Pengenaan Pajak Rp. 150.000.000,00 b. PPN = 10% x Rp. 150.000.000,00 = Rp. 15.000.000,00 c. PPnBM =35% x Rp. 150.000.000,00 = Rp. 52.500.000,00 PPN sebesar Rp5.000.000,00 yang dibayar pada saat impor merupakan pajak masukan bagi PKP D dan PPN sebesar Rp15.000.000,00 merupakan pajak keluaran bagi PKP D. Sedangkan PPnBM sebesar Rp. 10.000.000,00 tidak dapat dikreditkan. Begitu pun dengan PPnBM sebesar Rp. 52.500.000,00 tidak dapat dikreditkan oleh PKP X.

http://konsultan-pajak.co.cc/PPN03.pdf

Nilai Lain Sebagai Dasar Pengenaan Pajak

Apa saja nilai lain yang ditetapkan secara umum sebagai DPP ?
1. Pemakaian sendiri dan pemberian cuma-cuma adalah harga jual atau penggantian tidak termasuk laba kotor. Pajak Masukan yang telah dibayar dapat dikreditkan. 2. Persediaan Barang Kena Pajak yang masih tersisa saat pembubaran perusahaan adalah harga pasar wajar. Pajak Masukannya yang telah dibayar dapat dikreditkan. 3. Aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjual belikan yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan adalah harga pasar wajar. Pajak Masukan yang telah dibayar dapat dikreditkan. [ Kembali ke Pertanyaan ] [ Ke Menu Info Pajak ]

Apa saja nilai lain yang ditetapkan secara khusus untuk BKP tertentu ?
1. Untuk kaset isi jenis A/kaset rekaman dalam negeri : a. Kaset lagu untuk seluruh pencipta dan penyanyinya warga negara Indonesia dan masternya dibuat di dalam negeri; b. Kaset lagu instrumentalia yang seluruh penciptanya warga negara Indonesia dan maternya dibuat didalam segeri; c. Kaset rekaman cerita, lawak, wayang dan rekaman lainnya dalam bahasa Indonesia/daerah dan masternya dibuat di dalam negeri; d. Kaset suara burung dan suara hewan lainnya yang masternya dibuat di dalam negeri; ditetapkan sebesar Rp 4.000,00. 2. Untuk kaset isi jenis B/kaset rekaman asing : a. Kaset lagu yang salah satu atau lebih penciptanya atau penyanyinya warga negara asing; b. Kaset lagu yang masternya dibuat di luar negeri ; c. Kaset lagu instrumentalia yang salah satu atau lebih penciptanya warga negara asing ; d. Kaset pelajaran bahasa asing ; ditetapkan sebesar Rp 8.000,00. 3. Untuk compact disc jenis CDI/compact disc rekaman dalam negeri : a. compact disc lagu yang seluruh pencipta dan penyanyinya warga negara Indonesia , dan stempel/ masternya dibuat di dalam negeri; b. compact disc lagu instrumentalia yang seluruh penciptanya warga negara Indonesia , dan stempel/ masternya dibuat di dalam negeri; ditetapkan sebesar Rp l0.000,00. 4. Untuk compact disc jenis CD2/compact disc rekaman asing: a. Compact disc lagu yang salah satu atau lebih penciptanya atau penyanyinya warga negara asing ;

b. Compact disc lagu yang stempel/masternya dibuat di luar negeri ; c. compact disc lagu instrumentalia yang salah satu atau lebih penciptanya warga negara asing; d. compact disc pelajaran bahasa asing ; ditetapkan sebesar Rp l5.000,00. 5. Untuk laser disc jenis LDK yaitu semua jenis laser disc yang berisi lagu beserta tayangan gambar (LD Karaoke), ditetapkan Rp 75.000,00. 6. Film impor : a. DPP untuk film yang diimpor untuk pertama kali adalah taksiran harga rata-rata per judul film yaitu untuk : o film-film Amerika/Eropa ditetapkan sebesar Rp 87.000.000,00; o film Mandarin Rp 54.375.000,00 dan o film Asia non Mandarin Rp 40.600.000,00 b. DPP untuk impor yang kedua kalinya dan seterusnya yang dilakukan tanpa harus meminta ijin baru dari Pemerintah adalah biaya-biaya yang jumlahnya ditetapkan sementara Rp 3.000.000,00 per copy film. c. Sedangkan untuk yang memerlukan ijin baru Pemerintah, DPP adalah sama dengan butir (7a) di atas. d. Jasa biro perjalanan / pariwisata dan jasa pengiriman paket adalah l0% dari jumlah yang seharusnya ditagih. Pajak Masukan yang telah dibayar tidak dapat dikreditkan. e. Jasa anjak piutang adalah 5% dari jumlah service charge, provisi dan diskon. Pajak Masukan yang telah dibayar tidak dapat dikreditkan. f. Pedagang Eceran memungut l0% dari harga jual BKP, tetapi yang disetor adalah 2% dari jumlah seluruh penyerahan barang dagangan. Pajak Masukan yang telah dibayar tidak dapat dikreditkan. g. Pesawat telepon selular yang dibawa sendiri oleh pelanggan tanpa disertai Faktur Pajak adalah Rp 4.000.000,00. Besarnya PPN yang harus dipungut atas ponsel yang akan diaktifkan adalah sebagai berikut : o Dalam hal ponsel tersebut mereknya terdaftar dan operator adalah juga ATPM/dealer dari ponsel tersebut, maka besarnya PPN yang harus dipungut = l0% x harga ponsel ditambah biaya pengaktifan. o Dalam hal ponsel tersebut mereknya terdaftar dan operatornya bukan dealer dari ATPM dan ponsel tersebut didukung dengan Faktur Pajak dari ATPM/ dealer, maka besarnya PPN yang harus dipungut = l0% x biaya pengaktifan saja. o Dalam hal ponsel tersebut merknya terdaftar dan operatornya bukan dealer dari ATPM dan ponsel tersebut tidak didukung Faktur Pajak, maka besarnya PPN yang harus dipungut = l0% x (4.000.000,00 ditambah biaya pengaktifan). o Dalam hal ponsel tersebut merknya terdaftar dan operatornya bukan dealer dari ATPM dan ponsel tersebut didukung Faktur Pajak yang bukan dari ATPM/ dealer, maka besarnya PPN yang harus dipungut = l0% x (Rp 4.000.000,00 dikurangi DPP yang ada dalam Faktur Pajak , ditambah biaya pengaktifan). o Dalam hal ponsel tersebut mereknya tidak terdaftar dan ponsel tersebut didukung Faktur Pajak , besarnya PPN yang harus

dipungut = l0% x Rp 4.000.000,00 /dikurangi DPP yang ada dalam Faktur Pajak tersebut, ditambah biaya pengaktifan). o Dalam hal ponsel tersebut mereknya tidak terdaftar dan ponsel tersebut tidak didukung Faktur Pajak , besarnya PPN yang harus dipungut = l0% x (Rp 4.000.000,00 ditambah biaya pengaktifan). h. Tarip efektif hasil tembakau / rokok adalah 8,2% dari harga pita cukai.
http://www.pajak.net/info/nilai_lain_sbg_dasar_pengenaan_pajak.htm#2

Kemenkeu tetapkan dasar pengenaan PPN


Bisnis Indonesia, Selasa 27 April 2010
Cari Berita Pajak Berita Terkait

Kirim Komentar

Beritahu Teman

Cetak A A A

PPn-BM maksimal 100% Menkeu atur pajak masukan Pemberlakuan Tax Refund Tak Memuaskan Pengusaha Ritel Peritel manfaatkan celah PPN Batasan omzet bebas PPN perlu disesuaikan

JAKARTA: Pemerintah menetapkan 11 nilai lain yang dapat digunakan sebagai dasar pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN). Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, dalam PMK No. 75/PMK.03/2010, menjelaskan nilai lain yang dimaksud adalah nilai berupa uang yang ditetapkan sebagai dasar pengenaan pajak. Merujuk UU No. 42/2010 tentang PPN dan PPnBM, PPN yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif PPN dengan dasar pengenaan pajak yang meliputi harga jual, penggantian, nilai impor, nilai ekspor, atau nilai lain. Nilai lain itu antara lain untuk pemakaian sendiri barang kena pajak (BKP) atau jasa kena pajak (JKP) adalah harga jual atau penggantian setelah dikurangi laba kotor. "Penggantian adalah nilai berupa uang termasuk semua biaya yang diminta oleh pengusaha karena penyerahan JKP, ekspor JKP, atau ekspor barang kena pajak tidak berwujud, tapi tidak termasuk PPN yang dipungut," jelas Menkeu dalam PMK yang dirilis kemarin. Untuk pemberian cuma-cuma BKP atau JKP adalah harga jual atau penggantian setelah dikurangi laba kotor. Untuk penyerahan media rekaman suara atau gambar adalah perkiraan harga jual ratarata dan untuk penyerahan film cerita adalah perkiraan hasil rata-rata perjudul film.

Untuk penyerahan produk hasil tembakau adalah sebesar harga jual eceran. Untuk BKP berupa persediaan atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak dapat diperjualbelikan (yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan) adalah harga pasar wajar. Adapun, nilai lain untuk penyerahan BKP dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan penyerahan BKP antarcabang adalah harga pokok penjualan atau harga perolehan. Nilai lain berikutnya adalah harga yang disepakati antara pedagang perantara dan pembeli untuk penyerahan BKP melalui pedagang perantara, harga lelang untuk penyerahan BKP melalui juru lelang, serta 10% dari jumlah yang ditagih atau jumlah yang seharusnya ditagih untuk penyerahan jasa pengiriman paket. Nilai lainnya terakhir adalah 10% dari jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih untuk penyerahan jasa biro perjalanan atau jasa biro pariwisata. "Pajak masukan yang berhubungan dengan penyerahan jasa oleh pengusaha jasa pengiriman paket dan pengusaha jasa biro perjalanan atau jasa biro pariwisata tidak dapat dikreditkan," jelas Menkeu. Dari 11 nilai lain itu, nilai lain untuk penyerahan produk hasil tembakau sebelumnya tidak diatur dalam ketentuan yang lama. Ketentuan lebih lanjut mengenai penentuan perkiraan harga jual rata-rata untuk penyerahan media rekaman suara atau gambar, perkiraan hasil rata-rata untuk penyerahan film cerita, dan harga jual eceran untuk penyerahan produk hasil tembakau, akan diatur dengan Peraturan Dirjen Pajak. Harian Bisnis Indonesia, 27 April 2010
http://www.pajakonline.com/engine/artikel/art.php?artid=7170

Koreksi Dasar Pengenaan PPN Atas Penyerahan Yang Dilakukan Oleh Pengusaha Kendaraan Bermotor Bekas Ditulis oleh adminforum Monday, 01 June 2009 Putusan Pengadilan Pajak Nomor : Put.03057/PP/M.VIII/16/2004 Jenis Pajak : Pajak Pertambahan Nilai Masa Pajak : Januari s.d. Oktober 2002 Pokok Sengketa : Koreksi Dasar Pengenaan Pajak Pajak Pertambahan Nilai Atas Penyerahan Yang Dilakukan Oleh Pengusaha Kendaraan Bermotor Bekas Menurut Terbanding :

Jenis barang yang diserahkan Pemohon bukan termasuk kelompok yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai berdasarkan Pasal 4A ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000. Hal ini dipertegas dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-238/PJ/2002 tentang Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Atas Penyerahan Kendaraan Bermotor Bekas, di mana pada Pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa atas penyerahan kendaraan bermotor bekas yang dilakukan oleh pengusaha kendaraan bermotor bekas yang semata-mata merupakan barang dagangan terutang Pajak Pertambahan Nilai. Nilai penyerahan yang dilakukan Pemohon telah melewati batas penyerahan sebagai pengusaha kecil yaitu lebih dari Rp360.000.000,00 sebagaimana ketentuan dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 552/KMK.04/2000, sehingga berdasarkan ketentuan Pasal 3A ayat (1) Undangundang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 Pemohon seharusnya wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Sampai saat dilakukan pemeriksaan Pemohon tidak pernah melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, walaupun telah dihimbau untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dengan Surat Nomor : S-02/WPJ.02/KP. 0202/2002 tanggal 25 Juli 2002. Alasan Pemohon yang menyatakan bahwa tidak dapat memungut Pajak Pertambahan Nilai kepada pembeli karena belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak bukanlah alasan yang dapat dipertimbangkan karena secara material dapat diyakini bahwa yang diserahkan Pemohon adalah Barang Kena Pajak dan penyerahannya adalah penyerahan kena pajak. Menurut Pemohon : Berkenaan dengan Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 tidak mencantumkan bahwa penyerahan mobil bekas terutang Pajak Pertambahan Nilai. Sesuai dengan Pasal 14 ayat (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 disebutkan bahwa orang pribadi atau badan yang tidak dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dilarang membuat faktur pajak. Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak tidak langsung yang artinya pajak tersebut bukanlah menjadi beban dari si penjual barang/jasa, sehingga Pajak Pertambahan Nilai tersebut haruslah menjadi tanggungan/beban dari pembeli, sehingga Pajak Pertambahan Nilai tersebut baru dapat dipungut dengan menggunakan faktur pajak apabila orang/badan telah dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak. Oleh karena Pemohon baru dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak pada tanggal 29 Januari 2003, maka menurut ketentuan, baru pada inilah Pemohon dapat menagih Pajak Pertambahan Nilai kepada konsumen sehingga tidaklah adil apabila Pemohon harus menanggung Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya menjadi beban konsumen/pembeli.

Pendapat Majelis

Dalam Pasal 2 Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : Kep-238/PJ/2002 tentang Pemungutan atas Penyerahan Kendaraan Bermotor Bekas, diatur antara lain sebagai berikut : 1. 1. Atas penyerahan kendaraan bermotor bekas yang dilakukan oleh Pengusaha Kendaraan Bermotor Bekas yang semata-mata merupakan barang dagangan terutang Pajak Pertambahan Nilai. 2. 2. Dasar Pengenaan Pajak Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah 10% (sepuluh persen) dari harga jual. 3. 3. Pengusaha Kena Pajak Kendaraan Bermotor Bekas wajib menerbitkan faktur pajak atas Penyerahan Barang Dagangan. Berdasarkan hasil pemeriksaan atas bukti-bukti dan fakta-fakta serta keterangan dari Pemohon maupun Terbanding di dalam persidangan, Majelis berpendapat bahwa penyerahan mobil bekas yang dilakukan Pemohon merupakan objek Pajak Pertambahan Nilai dan Pemohon terutang Pajak Pertambahan Nilai sejak saat seharusnya dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, yaitu saat nilai penyerahan Barang Kena Pajak (mobil bekas) sudah melebihi batasan Pengusaha Kecil. Berdasarkan hasil pemeriksaan atas bukti-bukti dan fakta-fakta serta keterangan dari Pemohon maupun Terbanding di dalam persidangan, Majelis berpendapat bahwa koreksi Dasar Pengenaan Pajak Pajak Pertambahan Nilai yang dilakukan Terbanding sudah benar, sehingga tetap dipertahankan.

http://pajak.com/index.php?option=com_content&task=view&id=5176&Itemid=73

Mekanisme Pengenaan PPN atas Produk Rekaman Suara dan/atau Gambar( SE 13/PJ.51/2000 Jo SE - 24/PJ.51/2001 Jo KEP - 552/PJ./2001 Jo KEP - 337/PJ./2003) : 1) Dalam penghitungan Dasar Pengenaan Pajak tersebut telah diperhitungkan nilai tambah atas penyaluran/keagenannya, maka penyalur/agen kaset isi, compact disc (CD), laser disc (LD), video compact disc karaoke (VCD.K) atau laser disc karaoke (LD.K) tidak perlu dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. 2) Meskipun demikian, bagi PKP Pedagang Eceran yang menggunakan Nilai lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak wajib mengenakan PPN 10% atas penyerahan kaset/CD/LD/CD.K/LD.K sebagai barang dagangannya. PPN yang disetor ke kas negara dihitung sebesar 10% x 20% x seluruh penyerahan barang dagangan. 3) Produsen media rekaman yang menyerahkan media rekaman wajib memotong PPnBM yang terutang, karena media rekaman adalah Barang Kena Pajak yang tergolong mewah. 4) Produsen media rekaman yang melakukan pembelian media rekaman, secara terpisah-pisah

(pita kosong sendiri, C-zero sendiri, snappac sendiri), diperlakukan sebagai pabrikan media rekaman yang siap rekam dan atas penyerahannya terutang PPn BM dengan tarif 20%. 5) PPn BM yang dibayar atas impor atau perolehan bahan baku media rekaman oleh pabrikan yang memproduksi media rekaman tidak dapat dikompensasi atau dikemba1ikan namun dapat dibebankan sebagai biaya sesuai ketentuan perundang-undangan Pajak Penghasilan. 6) Pajak Masukan yang tercantum dalam Faktur Pajak Setandar atas : pembelian media rekaman (kaset kosong, CD kosong, atau LD kosong); pembayaran royalty; pembayaran pencetakan label; pembayaran jasa rekaman; pembelian atau pembuatan master rekaman lagu/ suara; pembayaran jasa periklanan pada televisi, radio, majalah, dan surat kabar.

dapat digunakan sebagai bukti pembayaran PPN untuk penembusan stiker lunas PPN. Unsur PPn BM yang tercantum dalam Faktur Pajak tidak ikut diperhitungkan. 7) Dalam hal jumlah nilai stiker lunas PPN yang diminta lebih besar daripada jumlah Pajak Masukan tersebut di atas kekurangannya disetor tunai menggunakan SSP ke kas negara. 8) Pajak Masukan yang dapat dikreditkan selain yang tersebut di atas, tetap dapat dikreditkan sehingga dapat dikompensasi atau direstitusi. 9) Dalam hal sampai dengan akhir suatu Masa Pajak masih terdapat Pajak Masukan yang dimaksud pada huruf di atas, yang belum digunakan sebagai bukti pembayaran PPN untuk penebusan stiker, maka Pajak Masukan tersebut dapat dipergunakan sebagai bukti pembayaran PPN untuk penebusan stiker Masa Pajak berikutnya selambat-lambatnya pada bulan ketiga setelah akhir tahun buku yang bersangkutan atau dibebankan sebagai biaya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan Pajak Penghasilan:

http://www.pajakonline.com/engine/learning/view.php?id=543

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39/PMK.03/2010 TENTANG BATASAN DAN TATA CARA PENGENAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS KEGIATAN MEMBANGUN SENDIRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

a. bahwa dalam rangka lebih melindungi masyarakat yang berpenghasilan rendah dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun sendiri perlu mengatur kembali batasan kegiatan membangun sendiri; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 16C Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Batasan dan Tata Cara Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas Kegiatan Membangun Sendiri;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999); 2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5069); 3. Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009;

MEMUTUSKAN: Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG BATASAN DAN TATA CARA PENGENAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS KEGIATAN MEMBANGUN SENDIRI.

Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau nilai lain yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang. 2. Surat Setoran Pajak adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah

dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas negara melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.

Pasal 2 (1) Kegiatan membangun sendiri terutang Pajak Pertambahan Nilai. (2) Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terutang bagi orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri. (3) Kegiatan membangun sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kegiatan membangun bangunan yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain. (4) Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berupa satu atau lebih konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada satu kesatuan tanah dan/atau perairan dengan kriteria: a. konstruksi utamanya terdiri dari kayu, beton, pasangan batu bata atau bahan sejenis, dan/atau baja; b. diperuntukkan bagi tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha; dan c. luas keseluruhan paling sedikit 300 m2 (tiga ratus meter persegi).

Pasal 3 (1) Pajak Pertambahan Nilai terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dihitung dengan cara mengalikan tarif 10% (sepuluh persen) dengan Dasar Pengenaan Pajak. (2) Dasar Pengenaan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah 40% (empat puluh persen) dari jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan, tidak termasuk harga perolehan tanah.

Pasal 4 (1) Saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun sendiri terjadi pada saat mulai dibangunnya bangunan. (2) Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan secara bertahap dianggap merupakan satu kesatuan kegiatan sepanjang tenggang waktu antara tahapan-

tahapan tersebut tidak lebih dari 2 (dua) tahun. (3) Tempat Pajak Pertambahan Nilai terutang atas kegiatan membangun sendiri adalah di tempat bangunan tersebut didirikan.

Pasal 5 (1) Pembayaran Pajak Pertambahan Nilai terutang dilakukan setiap bulan sebesar 10% (sepuluh persen) dikalikan dengan 40% (empat puluh persen) dikalikan dengan jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan pada setiap bulannya. (2) Pajak Pertambahan Nilai terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disetor ke Kas Negara melalui Kantor Pos atau Bank Persepsi paling lama tanggal 15 bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak. (3) Orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri wajib melaporkan penyetoran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Kantor Pelayanan Pajak yang wilayahnya meliputi tempat bangunan tersebut dengan mempergunakan lembar ketiga Surat Setoran Pajak paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak.

Pasal 6 Pajak Masukan yang dibayar sehubungan dengan kegiatan membangun sendiri tidak dapat dikreditkan.

Pasal 7 (1) Dalam hal bangunan sebagai hasil kegiatan membangun sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 digunakan oleh pihak lain sebagai tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha, orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri wajib menyerahkan bukti Surat Setoran Pajak asli Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun sendiri kepada pihak lain yang menggunakan bangunan tersebut. (2) Dalam hal orang pribadi atau badan yang membangun sendiri bangunan untuk digunakan pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat menunjukkan bukti Surat Setoran Pajak asli Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun sendiri, pihak lain yang menggunakan bangunan tersebut bertanggung jawab secara renteng atas pembayaran Pajak Pertambahan Nilai

yang terutang.

Pasal 8 Tata cara pengisian Surat Setoran Pajak, pelaporan, dan pengawasan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun sendiri diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 9 Pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku: 1. Kegiatan membangun sendiri yang telah dimulai sebelum berlakunya Peraturan Menteri Keuangan ini dan belum selesai pembangunannya, dikenakan Pajak Pertambahan Nilai berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 554/KMK.04/2000 tentang Batasan dan Tata Cara Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas Kegiatan Membangun Sendiri yang Dilakukan Tidak Dalam Kegiatan Usaha atau Pekerjaan oleh Orang Pribadi atau Badan yang Hasilnya Digunakan Sendiri atau Digunakan Pihak Lain sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 320/KMK.03/2002. 2. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 554/KMK.04/2000 tentang Batasan dan Tata Cara Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas Kegiatan Membangun Sendiri yang Dilakukan Tidak Dalam Kegiatan Usaha atau Pekerjaan oleh Orang Pribadi atau Badan yang Hasilnya Digunakan Sendiri atau Digunakan Pihak Lain sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 320/KMK.03/2002, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 10 Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1 April 2010. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan pada MENTERI

di tanggal 22 Februari

Jakarta 2010 KEUANGAN,

ttd. SRI MULYANI INDRAWATI Diundangkan pada MENTERI ttd. PATRIALIS AKBAR di tanggal HUKUM 22 DAN HAK Februari ASASI Jakarta 2010 MANUSIA,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 95


http://www.ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=14132

S-198/PJ.51/2004 DASAR PENGENAAN PAJAK Written by Administrator Tuesday, 06 April 2004


DASAR PENGENAAN PAJAK Sehubungan dengan surat Saudara Nomor XXX tanggal 18 Pebruari 2004 hal Pajak Pertambahan Nilai Terutang, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut: 1. Berdasarkan surat tersebut Saudara menjelaskan bahwa: PT ABC melakukan penyerahan jasa pemborongan/pembangunan Rumah yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. b. Pemborongan/pembangunan rumah dinas tersebut dilakukan berdasarkan Kontrak Kerja Pelaksanaan Nomor XXX tanggal 2 Juli 2002 serta Surat Perjanjian Tambahan (Addendum-I) dari Kontrak Kerja Pelaksanaan Nomor XXX tanggal 2 Juli 2002 Nomor XXX tanggal 21 Oktober 2002. c. Dalam kontrak-kontrak tersebut disebutkan bahwa jumlah seluruh harga borongan adalah sebesar Rp 3.354.900.000,00 (tiga milyar tiga ratus lima puluh empat juta sembilan ratus ribu rupiah) tanpa menyebutkan secara jelas apakah dalam jumlah tersebut sudah termasuk PPN atau belum termasuk PPN.

a. Dinas TNI AL

d. Atas penyerahan jasa pemborongan rumah dinas tersebut PT ABC telah menerbitkan Faktur Pajak dengan Dasar Pengenaan Pajak sebesar Rp 3.049.977.770,00 (110/100 x Rp 3.354.900.000,00) dan PPN yang terutang sebesar Rp 304.997.777,00 (Rp 3.049.977.770,00 x 10%). e. Atas PPN yang terutang tersebut telah dipungut dan disetor oleh bendaharawan TNI AL (sebagai Pemungut PPN) atas nama PT ABC (sebagai PKP Rekanan). f. Berdasarkan hal-hal tersebut Saudara menanyakan:

1) Apakah Dasar Pengenaan Pajak serta perhitungan PPN terutang yang dicantumkan dalam Faktur Pajak tersebut sudah sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku? 2) Apabila salah, Saudara memohon petunjuk mengenai mekanisme perbaikan Faktur Pajak serta penyetoran PPN yang masih harus dibayar serta sanksi administrasinya. 2. Pasal 8 Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000, menetapkan, antara lain: a. Ayat (1)

Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sesudah berakhirnya Masa Pajak, bagian tahun Pajak atau Tahun Pajak dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan. b. Ayat (2)

dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, maka kepadanya dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan atas jumlah pajak yang kurang bayar, dihitung sejak saat penyampaian Surat Pemberitahuan berakhir sampai dengan tanggal pembayaran karena pembetulan Surat Pemberitahuan itu 3. Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak

Penjualan atas Barang Mewah Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan Undangundang Nomor 18 Tahun 2000 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2002, mengatur antara lain: a. Ayat (1)

Dalam kontrak atau perjanjian tertulis mengenai penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak, harus disebutkan dengan jelas nilainya, Dasar Pengenaan Pajak, dan besarnya Pajak yang terutang. b. Ayat (2)

Apabila dalam nilai kontrak atau perjanjian tertulis telah termasuk pajak, maka wajib disebutkan dengan jelas bahwa dalam nilai tersebut telah termasuk pajak. c. Ayat (3)

Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) tidak dipenuhi, maka jumlah harga yang tercantum dalam kontrak atau perjanjian tertulis tersebut dianggap sebagai Dasar Pengenaan Pajak. 4. Lampiran III Butir A Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP549/PJ./2000 tentang Saat Pembuatan Bentuk, Ukuran, Pengadaan, Tata Cara Penyampaian, dan Tata Cara Pembetulan Faktur Pajak Standar sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-433/PJ./2002, yang mengatur Tata Cara Pembetulan Faktur Pajak Standar yang Rusak atau Cacat atau Salah dalam Pengisian atau Salah Dalam Penulisan, menyebutkan antara lain: a. Atas permintaan Pengusaha Kena Pajak pembeli atau penerima Jasa Kena Pajak atau atas kemauan sendiri, terhadap Faktur Pajak yang rusak, cacat, salah dalam pengisian, atau salah dalam penulisan, Pengusaha Kena Pajak penjual atau pemberi Jasa Kena Pajak membuat Faktur Pajak Standar Pengganti. b. Pembetulan Faktur Pajak Standar yang rusak, cacat, salah dalam pengisian atau salah dalam penulisan tidak diperkenankan dengan cara menghapus, atau mencoret, atau dengan cara lain, selain dengan cara membuat Faktur Pajak Standar Pengganti.

c. Penerbitan dan peruntukkan Faktur Pajak Standar Pengganti dilaksanakan seperti Faktur Pajak Standar yang biasa. d. Faktur Pajak Standar Pengganti diisi berdasarkan keterangan yang seharusnya dan dilampiri dengan Faktur Pajak Standar yang rusak atau cacat atau salah dalam penulisan atau salah dalam pengisian tersebut. e. Pada Faktur Pajak Standar Pengganti, dibubuhkan cap yang mencantumkan Kode, Nomor Seri, dan tanggal Faktur Pajak Standar yang diganti tersebut. f. Faktur Pajak Standar Pengganti dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai pada Masa Pajak yang sama dengan Masa Pajak dilaporkannya Faktur Pajak Standar yang diganti. g. Penerbitan Faktur Pajak Standar Pengganti mengakibatkan adanya kewajiban untuk membetulkan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai pada Masa Pajak terjadinya kesalahan pembuatan Faktur Pajak Standar tersebut. 5. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, dengan ini kami tegaskan bahwa:

a. Mengingat bahwa dalam kontrak kerja pemborongan sebagaimana tersebut dalam angka 1 huruf b dan c di atas tidak menyebutkan nilai jasa pemborongan, Dasar Pengenaan Pajak dan besarnya PPN yang terutang, maka Dasar Pengenaan Pajak yang seharusnya dicantumkan dalam Faktur Pajak adalah sebesar nilai kontrak yang bersangkutan yaitu Rp 3.354.900.000,00 (tiga milyar tiga ratus lima puluh empat juta sembilan ratus ribu rupiah). Oleh karena itu, jumlah PPN yang seharusnya terutang adalah sebesar Rp 335.490.000,00 (tiga ratus tiga puluh lima juta empat ratus sembilan puluh ribu rupiah) b. Faktur Pajak Standar yang telah diterbitkan dapat dibetulkan dengan menerbitkan Faktur Pajak Standar Pengganti dengan tata cara sebagaimana diuraikan pada angka 4. c. Dengan menerbitkan Faktur Pajak Standar Pengganti, maka PT ABC wajib membetulkan Surat Pemberitahuan Masa PPN pada Masa Pajak terjadinya kesalahan pembuatan Faktur Pajak Standar tersebut sesuai ketentuan sebagaimana tersebut dalam angka 2 huruf a.

d. Setoran Pajak

Atas jumlah PPN yang kurang dibayar dapat disetor dengan Surat

ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan dihitung sejak saat penyampaian Surat Pemberitahuan Masa PPN berakhir sampai dengan tanggal pembayaran karena pembetulan Surat Pemberitahuan Masa PPN tersebut. Demikian untuk dimaklumi. A.n. DIREKTUR JENDERAL PJ. DIREKTUR PPN DAN PTLL ttd ROBERT PAKPAHAN

http://www.rumahpajak.com/index.php?option=com_content&task=view&id=1925&Itemid=35

You might also like