You are on page 1of 17

MAJELIS DISIPLIN TENAGA KESEHATAN INDONESIA DAN MAJELIS TENAGA KESEHATAN PROPINSI

A. Latar Belakang Dunia kedokteran yang dahulu seakan tak terjangkau oleh hukum, dengan berkembangnya kesadaran masyarakat akan kebutuhannya tentang perlindungan hukum menjadikan dunia pengobatan bukan saja sebagai hubungan keperdataan, bahkan sering berkembang menjadi persoalan pidana. Banyak persoalan-persoalan malpraktek yang kita jumpai, atas kesadaran hukum pasien maka diangkat menjadi masalah pidana. Berdasarkan hal tersebut diperlukan suatu pemikiran dan langkahlangkah yang bijaksana sehingga masing-masing pihak baik dokter maupun pasien memperoleh perlindungan hukum yang seadil adilnya. Membiarkan persoalan ini berlarut-larut akan berdampak negatif terhadap pelayanan medis yang pada akhirnya akan dapat merugikan masyarakat secara keseluruhan. Memang disadari oleh semua pihak, bahwa dokter hanyalah manusia yang suatu saat bisa salah dan lalai sehingga pelanggaran kode etik bisa terjadi, bahkan mungkin sampai pelanggaran norma-norma hukum. Soerjono Soekanto dan Kartono Muhammad berpendapat bahwa belum ada parameter yang tegas tentang batas pelanggaran kode etik dan pelanggaran hukum. Belum adanya parameter yang tegas antara pelanggaran kode etik dan pelanggaran didalam perbuatan dokter terhadap pasien tersebut, menunjukan adanya kebutuhan akan hukum yang betul-betul diterapkan dalam pemecahan masalah-masalah medik, yang hanya bisa diperoleh dengan berusaha memahami fenomena yang ada didalam profesi kedokteran. Sistem hukum di Indonesia yang salah satu komponennya adalah hukum substantive, diantaranya hukum pidana, hukum perdata dan hukum administrasi tidak mengenal bangunan hukum malpraktek. Keterkaitan antara berbagai kaidah yang mengatur perilaku dokter, merupakan dibidang hukum baru dalam ilmu hukum yang sampai saat ini belum diatur secara khusus. Padahal hukum pidana atau hukum perdata yang merupakan hukum positif yang berlaku di Indonesia saat ini tidak seluruhnya tepat bila diterapkan pada dokter yang melakukan pelanggaran. Bidang hukum baru inilah yang berkembang

di Indonesia dengan sebutan Hukum Kedokteran, bahkan dalam arti yang lebih luas dikenal dengan istilah Hukum Kesehatan. Istilah hukum kedokteran mula-mula diunakan sebagai terjemahan dari Health Law yang digunakan oleh World Health Organization. Kemudian Health Law diterjemahkan dengan hukum kesehatan, sedangkan istilah hukum kedokteran kemudian digunakan sebagai bagian dari hukum kesehatan yang semula disebut hukum medik sebagai terjemahan dari medic law. Sejak World Congress ke VI pada bulan agustus 1982, hukum kesehatan berkembang pesat di Indonesia. Atas prakarsa sejumlah dokter dan sarjana hukum pada tanggal 1 Nopember 1982 dibentuk Kelompok Studi Hukum Kedokteran di Indonesia dengan tujuan mempelajari kemungkinan dikembangkannya Medical Law di Indonesia. Namun sampai saat ini, Medical Law masih belum muncul dalam bentuk modifikasi tersendiri. Setiap ada persoalan yang menyangkut medical law penanganannya masih mengacu kepada Hukum Kesehatan Indonesia yang berupa Undang-Undang No. 23 Tahun 1992, KUHP dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Kalau ditinjau dari budaya hukum Indonesia, malpraktek merupakan sesuatu yang asing karena batasan pengertian malpraktek yang diketahui dan dikenal oleh kalangan medis (kedokteran) dan hukum berasal dari alam pemikiran barat. Untuk itu masih perlu ada pengkajian secara khusus guna memperoleh suatu rumusan pengertian dan batasan istilah malpraktek medik yang khas Indonesia (bila memang diperlukan sejauh itu) yakni sebagai hasil oleh piker bangsa Indonesia dengan berlandaskan budaya bangsa yang kemudian dapat diterima sebagai budaya hukum (legal culture) yang sesuai dengan system kesehatan nasional. Dari penjelasan ini maka kita bisa menyimpulkan bahwa permasalahan malpraktek di Indonesia dapat ditempuh melalui 2 jalur, yaitu jalur litigasi (peradilan) dan jalur non litigasi (diluar peradilan). Untuk penanganan bukti-bukti hukum tentang kesalahan atau kealpaan atau kelalaian dokter dalam melaksanakan profesinya dan cara penyelesaiannya banyak kendala yuridis yang dijumpai dalam pembuktian kesalahan atau kelalaian tersebut. Masalah ini berkait dengan masalah kelalaian atau kesalahan yang dilakukan oleh orang pada umumnya sebagai anggota masyarakat, sebagai penanggung jawab hak dan kewajiban menurut ketentuan yang berlaku bagi profesi. Oleh karena

menyangkut 2 (dua) disiplin ilmu yang berbeda maka metode pendekatan yang digunakan dalam mencari jalan keluar bagi masalah ini adalah dengan cara pendekatan terhadap masalah medik melalui hukum. Untuk itu berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Repiblik Indonesia (SEMA RI) tahun 1982, dianjurkan agar kasus-kasus yang menyangkut dokter atau tenaga kesehatan lainnya seyogyanya tidak langsung diproses melalui jalur hukum, tetapi dimintakan pendapat terlebih dahulu kepada Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK). Majelis Kehormatan Etika Kedokteran merupakan sebuah badan di dalam struktur organisasi profesi Ikatan Dokter Indonesia (IDI). MKEK ini akan menentukan kasus yang terjadi merpuakan pelanggaran etika ataukah pelanggaran hukum. Hal ini juga diperkuat dengan UU No. 23/1992 tentang kesehatan yang menyebutkan bahwa penentuan ada atau tidaknya kesalahan atau kelalaian ditentukan oleh Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (pasal 54 ayat 2) yang dibentuk secara resmi melalui Keputusan Presiden (pasal 54 ayat 3). Pada tanggal 10 Agustus 1995 telah ditetapkan Keputusan Presiden No. 56/1995 tentang Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (MDTK) yang bertugas menentukan ada atau tidaknya kesalahan atau kelalaian dokter dalam menjalankan tanggung jawab profesinya. Lembaga ini bersifat otonom, mandiri dan non structural yang keanggotaannya terdiri dari unsur Sarjana Hukum, Ahli Kesehatan yang mewakili organisasi profesi dibidang kesehatan, Ahli Agama, Ahli Psikologi, Ahli Sosiologi. Bila dibandingkan dengan MKEK, ketentuan yang dilakukan oleh MDTK dapat diharapkan lebih obyektif, karena anggota dari MKEK hanya terdiri dari para dokter yang terikat kepada sumpah jabatannya sehingga cenderung untuk bertindak sepihak dan membela teman sejawatnya yang seprofesi. Akibatnya pasien tidak akan merasa puas karena MKEK dianggap melindungi kepentingan dokter saja dan kurang memikirkan kepentingan pasien.

B. Mejelis Disiplin Tenaga Kesehatan Indonesia (MDTKI) KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 56 TAHUN 1995 TENTANG MAJELIS DISIPLIN TENAGA KESEHATAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa terhadap tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan atau kelalaian dalam melaksanakan tugas profesinya, dapat dikenakan tindakan disiplin; b. bahwa untuk memberikan penilaian yang obyektif atas ada atau tidak adanya kesalahan atau kelalaian dalam penerapan standar profesi yang dilakukan oleh tenaga kesehatan, dipandang perlu membentuk Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan dengan Keputusan Presiden; Mengingat : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945; 2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3495);

MEMUTUSKAN: Menetapkan : KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA TENTANG MAJELIS DISIPLIN TENAGA KESEHATAN.

BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan: 1. Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan dibidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan; 2. Pejabat Kesehatan adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh Menteri Kesehatan untuk memberikan tindakan disiplin kepada tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan atau kelalaian dalam penerapan standar profesi.

BAB II PEMBENTUKAN DAN KEDUDUKAN MAJELIS DISIPLIN TENAGA KESEHATAN Pasal 2 (1) Dalam rangka pemberian perlindungan yang seimbang dan obyektif kepada tenaga kesehatan dan masyarakat penerima pelayanan kesehatan, dibentuk Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan untuk menentukan ada atau tidak adanya kesalahan atau kelalaian tenaga kesehatan dalam menerapkan standar profesi. (2) Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan yang selanjutnya disingkat MDTK merupakan lembaga yang bersifat otonom, mandiri dan non struktural. Pasal 3 (1) MDTK terdiri dari: a. MDTK Tingkat Pusat; dan b. MDTK Tingkat Propinsi. (2) MDTK Tingkat Pusat berkedudukan di Ibukota Negara Republik Indonesia. (3) MDTK Tingkat Propinsi berkedudukan di Ibukota Propinsi.

Pasal 4 (1) Kepada MDTK Tingkat Pusat diperbantukan sebuah Sekretariat yang secara fungsional dilaksanakan oleh salah satu satuan kerja di lingkungan Departemen Kesehatan. (2) Kepada MDTK Tingkat Propinsi diperbantukan sebuah Sekretariat yang secara fungsional dilaksanakan oleh salah satu satuan kerja di lingkungan Kantor Wilayah Departemen Kesehatan setempat

BAB III TUGAS Pasal 5 MDTK bertugas meneliti dan menentukan ada atau tidak adanya kesalahan atau kelalaian dalam menerapkan standar profesi yang dilakukan oleh tenaga kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan.

BAB IV KEANGGOTAAN DAN SUSUNAN ORGANISASI

Pasal 6 Keanggotaan MDTK terdiri dari unsur: a. Sarjana Hukum; b. Ahli kesehatan yang mewakili organisasi profesi di bidang kesehatan; c. Ahli agama; d. Ahli psikologi; e. Ahli sosiologi.

Pasal 7 (1) Jumlah anggota untuk masing-masing MDTK Tingkat Pusat ataupun Tingkat Propinsi sebanyak-banyaknya lima belas orang. (2) Tenaga kesehatan yang pernah mendapat tindakan disiplin dari Pejabat Kesehatan atau pernah diadukan melakukan kesalahan atau kelalaian dalam penerapan standar profesinya, tidak dapat dipilih dan diangkat menjadi anggota MDTK Tingkat Pusat ataupun Tingkat Propinsi.

Pasal 8 (1) Anggota MDTK diangkat untuk masa bakti tiga tahun dan dapat diangkat kembali untuk periode berikutnya. (2) Anggota MDTK dapat diganti dalam masa bakti keanggotaanya apabila meninggal dunia atau karena suatu hal tidak dapat melaksanakan tugasnya.

Pasal 9 Anggota MDTK diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Kesehatan.

Pasal 10 (1) Susunan organisasi MDTK terdiri dari Ketua merangkap anggota, Sekretaris merangkap anggota, dan anggota. (2) Ketua MDTK dijabat oleh Sarjana Hukum yang mempunyai pengetahuan di bidang hukum kesehatan. (3) Sekretaris MDTK dijabat oleh pimpinan satuan kerja di lingkungan Departemen Kesehatan yang secara fungsional ditetapkan sebagai sekretariat MDTK

Tingkat Pusat, atau pimpinan satuan kerja di lingkungan Kantor Wilayah Departemen Kesehatan Propinsi yang secara fungsional ditetapkan sebagai sekretariat MDKT Tingkat Propinsi, yang memenuhi persyaratan keanggotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6.

BAB V TATA KERJA Pasal 11 Wilayah kerja MDTK Tingkat Propinsi meliputi wilayah hukum Propinsi Daerah Tingkat I yang bersangkutan.

Pasal 12 (1) MDTK Tingkat Propinsi melakukan tugas dan fungsinya atas dasar permintaan Pejabat Kesehatan, pimpinan sarana kesehatan atau penerima pelayanan kesehatan yang merasa dirugikan oleh tenaga kesehatan yang bersangkutan. (2) Permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan secara tertulis disertai data-data yang diperlukan kepada Ketua MDTK Tingkat Propinsi yang bersangkutan.

Pasal 13 Selambat-lambatnya dalam jangka waktu tujuh hari sejak diterimanya permintaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Ketua MDTK Tingkat Propinsi menetapkan hari sidang.

Pasal 14 Dalam melakukan tugasnya, Sidang Majelis dapat memanggil dan meminta keterangan dari tenaga kesehatan yang diadukan, penerima pelayanan kesehatan yang merasa dirugikan, saksi, melakukan pemeriksaan di lapangan, atau hal lain yang dianggap perlu.

Pasal 15 (1) Apabila terdapat keragu-raguan atau menghadapi kesulitan dalam memberi keputusan untuk menentukan ada atau tidak adanya kesalahan atau kelalaian dalam penerapan standar profesi yang dilakukan oleh tenaga kesehatan, Ketua MDTK Tingkat Propinsi dapat meminta bantuan atau berkonsultasi dengan MDTK Tingkat Pusat.

(2) Sekalipun diminta bantuan atau konsultasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pengambilan keputusan tetap dilakukan oleh MDTK Tingkat Propinsi.

Pasal 16 Sidang Majelis dinyatakan tertutup untuk umum.

Pasal 17 Ketentuan lebih lanjut mengenai Sidang Majelis ditetapkan Menteri Kesehatan.

Pasal 18 (1) (1) Anggota Sidang Majelis harus mengundurkan diri dari persindangan apabila terikat hubungan keluarga atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan tenaga kesehatan

yang diadukan atau penerima pelayanan kesehatan yang merasa dirugikan. (2) Apabila anggota Sidang Majelis tidak mengundurkan diri sedangkan hasil sidang telah diputus, maka segera dilakukan sidang ulang tanpa

mengikutsertakan anggota Sidang Majelis yang karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus mengundurkan diri. (3) Apabila pengunduran diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) menyebabkan jumlah anggota Sidang Majelis menjadi genap, maka ketua MDTK Tingkat Propinsi mengambil keputusan untuk mengurangi satu orang anggotanya sehingga pelaksanaan Sidang Majelis jumlah anggotanya menjadi ganjil. (4) Ketentuan mengenai tata cara pengunduran diri dan pengurangan anggota Sidang Majelis dalam melaksanakan sidangnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur oleh Menteri Kesehatan.

Pasal 19 (1) Hasil keputusan Sidang Majelis dituangkan dalam bentuk tertulis. (2) Hasil keputusan Sidang Majelis sebagimana dimasud dalam ayat (1) memuat: a. ada atau tidak adanya kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh tenaga

(3) kesehatan dalam melakukan tugas profesinya; a. ringkasan jalannya persidangan; b. dasar atau alasan yang menjadi dasar putusan; d. hari, tanggal putusan, dan nama susunan anggota Sidang Majelis. (4) Hasil keputusan sidang ditandatangani oleh anggota Sidang Majelis.

Pasal 20 Hasil keputusan MDTK Tingkat Propinsi disampaikan secara tertulis kepada Pejabat Kesehatan selambat-lambatnya enam puluh hari sejak ditetapkan hari sidang.

Pasal 21 (1) Pejabat Kesehatan berwenang mengambil tindakan disiplin terhadap tenaga kesehatan dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (2) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak mengurangi ketentuan Pasal 55 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.

BAB VI PEMBIYAAN Pasal 22 Segala biaya yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas MDTK dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Departemen Kesehatan.

BAB VII KETENTUAN PENUTUP

Pasal 23 Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 10 Agustus 1995

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. SOEHARTO

C. Majelis Tenaga Kesehatan Propinsi (MTKP) 1. Latar Belakang berdirinya MTKP Jawa Tengah Dalam rangka memperbaiki kualitas pelayanan kesehatan, Pemerintah Propinsi Jawa Tengah bersama-sama dengan 5 (lima) Organisasi Profesi, (Ikatan Dokter Indonesia, Persatuan Dokter Gigi Indonesia, Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia, Ikatan Bidan Indonesia, dan Persatuan Perawat Nasional Indonesia), Para Ahli, Asosiasi Institusi Pendidikan Tenaga Kesehatan, Perhimpunan Hukum Kesehatan Indonesia (Perhuki) dan Masyarakat yang dalam hal ini diwakili oleh Lembaga Pembinaan dan Perlindungan Konsumen (LP2K) serta Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI), membentuk Majelis Tenaga Kesehatan Propinsi Jawa Tengah (MTKP Jawa Tengah) melalui Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah nomor 24 tahun 2004 tanggal 24 Maret 2004 dan diundangkan di Semarang pada tanggal 25 Maret 2004 oleh Sekretaris Daerah Propinsi Jawa Tengah dan masuk dalam Lembaran Daerah Propinsi Jawa Tengah Nomor 29 tahun 2004. 2. Pengertian MTKP Tenaga Kesehatan Propinsi Jawa Tengah yang selanjutnya disebut MTKP Jateng adalah Lembaga Negara Tingkat zpropinsi Non Struktural dan yang bersifat independen dan bertugas mengatur sertifikasi dan registrasi tenaga kesehatan.

MTKP Jateng berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Gubernur dan bertempat di Ibukota Propinsi.

Keanggotaan MTKP Jateng terdiri dari unsur Pemerintah, Organisasi Profesi, para Ahli, Wakil Asosiasi Institusi Pendidikan, Wakil Perhimpunan Hukum Kesehatan dan Wakil Masyarakat. Susunan keanggotaan terdiri dari ketua, wakil ketua, sekretaris, anggota dan komite tenaga kesehatan. Sejak terbentuknya MTKP Jateng sampai dengan tahun 2006, MTKP Jateng terdiri dari komite dokter daerah, komite dokter gigi daerah, komite farmasi daerah, komite perawat daerah dan komite bidan daerah. Majelis Tenaga Kesehatan Provinsi (MTKP) Jawa Tengah dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah No. 24 Tahun 2004 tanggal 24 Oktober 2004 yang diperbaharui menjadi Peraturan Gubernur No. 37 Tahun 2007 tanggal 7 Juni 2007. Pembentukan MTKP Jawa Tengah ini tidak lepas dari upaya dan usaha Pemerintah Jawa Tengah dalam mempersiapkan diri menyongsong berlakunya Undang-Undang Praktik Kedokteran dan untuk menjawab tantangan masa kini, dimana masyarakat semakin kritis terhadap pelayanan kesehatan. MTKP Jawa Tengah diharapkan mampu menjembatani maraknya gugatan masyarakat yang kurang puas terhadap pelayanan kesehatan. 3. Tujuan dibentuknya MTKP Jawa Tengah adalah : a) Memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada tenaga kesehatan dan pasien. b) Mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan yang diberikan oleh tenaga kesehatan. c) Meningkatkan profesionalisme, mutu, dan daya saing tenaga kesehatan di pasar dalam dan luar negeri. 4. Tugas dan Kewenangan MTKP Jateng MTKP Jawa Tengah dibentuk sebagai upaya Pemerintah Propinsi Jawa Tengah untuk: a) secara langsung maupun tak langsung, meningkatkan kualitas atau mutu pelayanan kesehatan bagi individu maupun masyarakat yang membutuhkan; b) mempersempit kesenjangan yang ada antara harapan masyarakat dengan pelayanan

yang diterimanya sampai saat ini; c) memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat sebagai penerima pelayanan kesehatan, maupun bagi para petugas yang memberikan pelayanan profesi kesehatan. Adapun tugas MTKP Jawa Tengah adalah: a) Melaksanakan registrasi tenaga kesehatan b) Melakukan sertifikasi tenaga kesehatan c) Menetapkan standard pendidikan kesehatan berkelanjutan d) Menapis dan merumuskan arah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pelayanan kesehatan yang digunakan dalam praktik sesuai keputusan organisasi profesi e) Melakukan pembinaan terhadap penyelenggaraan pelayanan praktik kesehatan f) Menetapkan peraturan pelaksanaan guna kelancaran pelaksanaan tugas g) Menyampaikan hasil pelaksanaan tugas tersebut huruf a sampai dengan huruf f kepada Gubernur. Selain itu, MTKP Jawa Tengah mempunyai kewenangan yakni : a) meneliti kelengkapan dan keabsahan terhadap persyaratan registrasi tenaga kesehatan, b) menyetujui dan menolak permohonan registrasi tenaga kesehatan, c) menerbitkan dan mencabut sertifikasi registrasi tenaga kesehatan, d) mengesahkan standard kompetensi tenaga kesehatan yang sudah ditetapkan oleh masing-masing organisasi profesi, e) memantau dan memberikan sanksi administrasi terhadap pelanggaran pelaksanaan praktik kesehatan. MTKP mempunyai komite-komite tenaga kesehatan daerah, yaitu Badan otonomi masing-masing Organisasi Profesi dengan tugas teknis mengatur sertifikasi dan registrasi. Komite yang ada di MTKP sampai dengan bulan Maret 2007 adalah Komite Derah Dokter, Komite Daerah Dokter Gigi, Komite Daerah Farmasi, Komite Daerah Perawat dan Komite Daerah Bidan. Komite ini yang mengkoordinasikan penyelenggaraan uji kompetensi dengan menggunakan metode OSCA dan menerbitkan sertifikat uji kompetensi bagi yang lulus uji. 5. Keanggotann MTKP Jawa Tengah terdiri dari unsure

a) Pemerintah b) Pemerintah Daerah c) Organisasi Profesi d) Para ahli e) Perwakilan Asosiasi Institusi Pendidikan Tenaga Kesehatan f) Perwakilan Perhimpunan Hukum Kesehatan Indonesia (Perhuki) g) Perwakilan masyarakat : Lembaga Pemberdayaan dan Perlindungan Konsumen (LP2K) dan Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI)

D. Isu dan Analisa

Malpraktik vs UU Kesehatan
Oleh : Drs. M. Sofyan Lubis, SH

Tuduhan akan adanya Malapraktik sebenarnya bukan hanya ditujukan pada mereka yang berprofesi sebagai Tenaga Kesehatan yang salah satunya adalah Dokter, akan tetapi tuduhan Malapraktik dapat dituduhkan kepada semua kelompok Profesionalis, yaitu apakah mereka itu kelompok Wartawan, Advokat, Paranormal dan kelompok lainnya. Pengertian Malapraktik selama ini banyak diambil dari kalangan mereka yang berprofesi sebagai tenaga kesehatan, terutama Dokter Sedang batasan pengertian umum tentang Malpraktik di kalangan tenaga kesehatan adalah ; Seseorang tenaga kesehatan dalam memberikan tanggungjawab profesinya kepada pasien dilakukan di luar prosedure dan stardard profesi pada umumnya yang berakibat cacat dan matinya sang pasien. Namun rumusan akan standard profesi yang bersifat baku, khususnya bagi tenaga kesehatan (Dokter) secara tegas belum ada dirumuskan di dalam undang-undang Adapun mengenai ukuran tentang standard profesi bisa kita adopsi pendapat seorang ahli hukum tenaga kesehatan, Prof. Mr.W.B. Van der Mijn, yang mengatakan seorang tenaga kesehatan perlu berpegang pada 3 (tiga) ukuran umum, yaitu : 1. Kewenangan ; 2. Kemampuan rata-rata ; dan 3. Ketelitian yang umum ; Disini maksudnya seorang Tenaga Kesehatan harus memiliki kewenangan hukum untuk melaksanakan pekerjaannya (Rechtsbevoegheid) bisa berupa ijin praktik bagi dokter dan tenaga kesehatan lainnya, bisa berupa Badan Hukum dan Perijinan lain bagi penyelenggara kesehatan seperti rumah sakit atau klinik-klinik.

Selanjutnya Tenaga Kesehatan harus memiliki kemampuan rata-rata yang ditentukan berdasarkan pengalaman kerja dalam linkungan yang menunjang pekerjaannya dan kemudian Tenaga Kesehatan harus memiliki ketelitian kerja yang ukuran ketelitian itu sangatlah bervariasi. Namun betapapun sulitnya untuk merumuskan rating scale (skala pengukuran) tentang standard profesi Tenaga Kesehatan, Undang-undang mengharuskan mereka yang berprofesi sebagai Tenaga Kesehatan berkewajiban mematuhi standard profesi dan menghormati hak pasien.(vide : pasal 53 ayat 2 UU No.23 tahun 1992 tentang Kesehatan). Dan setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan. (Vide : pasal 55 ayat 1 UU No.23 tahun 1992). Dan bagi tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan atau kelalaian dalam melaksanakan profesinya dapat dikenakan tindakan disiplin yang ditentukan oleh Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan ( Vide: pasal 54 ayat 1 dan 2 dari UU No.23 tahun 1992 tentang kesehatan Jo. PP. No.32 tahun 1996 tentang tenaga kesehatan ). Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (MDTK) inilah yang berhak dan berwenang untuk meneliti dan menentukan ada-tidaknya kesalahan atau kelalaian dalam menerapkan standard profesi yang dilakukan oleh Tenaga Kesehatan terhadap mereka yang disebut sebagai pasien. ( vide : pasal 5 dari Kepres RI No.56 tahun 1995 tentang MDTK ). Pada dasarnya seorang tenaga kesehatan apakah dia dokter, perawat, kefarmasian,tenaga gizi, dan tenaga lainnya tidak hanya dapat digugat dan dituntut berdasarkan adanya malpraktik, akan tetapi tenaga kesehatan dapat juga digugat berdasarkan pelanggaran akan hak-hak pasien yang timbul dengan adanya kontrak terapeutik antara tenaga kesehatan dengan pasien antara lain : 1. Hak atas informasi tentang penyakitnya; 2. Hak untuk memberi infotmed consent untuk pasien yang tidak sadar; 3. Hak untuk dirahasiakan tentang penyakitnya ; 4. Hak atas ikhtikad baik dari dokter; dan 5. Hak untuk mendapatkan pelayanan medis yang sebaikbaiknya. Dari hak-hak pasien tersebut yang paling penting disini adalah hak tentang informasi dari pasien bersangkutan yang biasanya berisi tentang : Diagnosa, terapi dengan kemungkinan alternatif terapi, tentang cara kerja dan pengalaman dokter, tentang resiko, tentang kemungkinan rasa sakit atau perasaan lainnya sebagai akibat dilakukannya tindakan medis, tentang keuntungan terapi dan prognose

Tenaga kesehatan dapat digugat berdasarkan pasal 1365 KUH Perdata Jo. pasal 55 UU No.23 tahun 1992 dan dapat dituntut pidana berdasarkan pasal 359, 360 dan 361 KUHP, pasal 80, 81, 82 dari UU No.23 tahun 1992 dan ketentuan pidana lainnya. Di samping hak-hak pasien, disini perlu juga kita kemukakan sedikit tentang hak-hak tenaga kesehatan khususnya para dokter. Adapun mengenai hakhak dokter dapat dikemukakan sbb : Hak untuk berkerja menurut standard profesi medis, hak menolak untuk melaksanakan tindakan medis yang tidak dapat ia pertanggungjawabkan secara profesional, hak untuk menolak yang menurut suara hatinya tidak baik, hak mengakhiri hubungan dengan pasien jika ia menilai kerjasamanya dengan pasien tidak ada gunanya lagi, hak atas privacy dokter, hak atas ikhtikat baik dari pasien dalam pelaksanaan kontrak terapeutik (penyembuhan), hak atas balas jasa, hak untuk membela diri dan hak memilih pasien namun hak ini tidak mutlak sifatnya. Jadi disini dapat ditarik kesimpulan bahwa Malapraktik erat hubungannya dengan pelanggaran terhadap standard profesi medik, pelanggaran prosedure tindakan medik, dan bagi pelanggarnya tentu dapat digugat, dituntut pidana dan diberi sanksi administratif berupa pencabutan ijin praktik

TUGAS KELOMPOK ETIKA DAN HUKUM KESEHATAN

MAJELIS DISIPLIN TENAGA KESEHATAN INDONESIA DAN MAJELIS TENAGA KESEHATAN PROPINSI
Dosen Pengampu : Munayarokh, SPd, M.Kes

Disusun oleh : Amille Rossalina Hermanita RakhimArrafi Istiqomah Resha Prafitaningrum Vissa Lusiana Martha P.174.24.511.005 P.174.24.511.020 P.174.24.511.023 P.174.24.511.037 P.174.24.511.055

POLITEKNIK KESEHATAN SEMARANG KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PROGRAM STUDI KEBIDANAN MAGELANG 2011

You might also like