You are on page 1of 4

PENGAWETAN MAKANAN DENGAN MENGGUNAKAN GULA Gula terlibat dalam pengawetan dan pembuatan aneka ragam produk-produk makanan.

Beberapa diantaranya yang biasa dijumpai termasuk selai, jeli, marmalade, sari buah pekat, sirup buah-buhan, buah-buahan bergula, umbi dan kulit, buah-buahan beku dalam sirup, acar manis, chutney, susu kental manis, madu. Walaupun gula sendiri mampu untuk memberi stabilitas mikroorganisme pada suatu produk makanan jika diberikan dalam konsentrasi yang cukup (di atas 70% padatan terlarut biasanya dibutuhkan), ini pun umum bagi gula untuk dipakai sebagai salah satu kombinasi dari teknik pengawetan bahan pangan. Kadar gula yang tinggi bersama dengan kadar asam yang tinggi (pH rendah), perlakukan dengan pasteurisasi secara pemanasan, penyimpanan pada suhu rendah, dehidrasi dan bahan-bahan pengawet kimia (seperti belerangdioksida, asam benzoat) merupakan teknik-teknik pengawetan pangan yang penting. Apabila gula ditambahkan ke dalam bahan pangan dalam konsentrasi yang tinggi (paling sedikit 40% padatan terlarut) sebagian dari air yang ada menjadi tidak tersedia untuk pertumbuhan mikroorganisme dan aktivitas air (aw) dari bahan pangan berkurang. Walaupun demikian, pengaruh konsentrasi gula pada aw bukan merupakan faktor satusatunya yang mengendalikan pertumbuhan berbagai mikroorganisme karena bahan-bahan dasar yang mengandung komponen yang berbeda-beda tetapi dengan nilai aw yang sama dapat menunjukkan ketahanan yang berbeda-beda terhadap kerusakan karena mikroorganisme. Produk-produk pangan berkadar gula yang tinggi cenderung rusak oleh khamir dan kapang, yaitu kelompok mikroorganisme yang relatif mudah dirusak oleh panas (seperti dalam pasteurisasi) atau dihambat oleh hal-hal lain. Monosakarida lebih efektif dalam menurunkan aw bahan pangan dibanding dengan disakarida atau polisakarida pada konsentrasi yang sama, dan digunakan dengan sukrosa dalam beberapa produk seperti selai.

PERANAN GARAM, ASAM DAN GULA DALAM PENGAWETAN MAKANAN


Garam, asam dan gula merupakan pelengkap dapur yang digunakan oleh manusia sebagai penambah rasa. Bahan-bahan tersebut dipergunakan juga sebagai salah satu metode pengawetan pangan yang pertama dan masih dipergunakan secara luas untuk mengawetkan berbagai macam makanan. Akan tetapi sejauh mana peranan bahan-bahan tersebut sebagai penghambat kerusakan belum sepenuhnya dipahami. Garam dan Asam Sebagai Anti Mikroorganisme Garam Di Indonesia, garam adalah bahan yang sangat penting dalam pengawetan makanan, terutama ikan, telur, daging serta bahan pangan lainnya. Garam akan berperan sebagai penghambat selektif pada mikroorganisme pencemar tertentu. Mikroorganisme pembusuk atau proteolitik dan juga pembentuk spora, akan mudah terhambat pertumbuhannya, walapun dengan kadar garam yang rendah sekalipun (yaitu lebih kurang 6%). Mikroorganisme patogenik, termasuk Clostridium botulinum dapat dihambat oleh konsentrasi garam 10-12%. Garam juga mempengaruhi aktivitas air (aw) dari bahan. Jadi mengendalikan pertumbuhan mikroorganisme dengan suatu metode yang bebas dari pengaruh racunnya. Akan tetapi dalam penyimpanan yang terlalu lama bakteri halofilik dapat juga tumbuh dan selanjutnya terjadi pembusukan, karena bakteri tersebut dapat tumbuh dalam larutan garam yang hampir jenuh. Garam dapur atau garam meja merupakan kristal dari senyawa sodium klorida. Digunakan sebagai penambah rasa dan juga pelindung protein terigu atau gluten dari kerusakan kuman prosen adonan. Pemakaian garam dapur yang efektif adalah 1 1,5 gram per 100 gram bahan. Jika melebihi 2,5 gram per 100 gram bahan akan menghasilkan rasa yang tidak menyengkan (terlalu asin). Pemakaian garam sebanyak 2 gram untuk setiap 100 gram bahan dapat melindungi kerusakan protein terigu. Asam Asam, mempunyai dua pengaruh anti mikroorganisme : pengaruhnya terhadap pH, sifat keracunan yang khas dari asam-asam yang tidak terurai, yang beragam untuk asam-asam yang berlainan. Pada pH yang sama, asam asetat lebih bersifat menghambat terhadap mikroorganisme tertentu dari pada asam laktat yang lebih menghambat daripada asam sitrat. Asam-asam benzoat, parahidroksi benzoatdan asam sorbat juga menunjukan pengaruh anti mikroorganisme yang berbeda-beda. Banyak produk asinan yang mempunyai kestabilan mikroorganisme tersendiri akibat dari pengaruh pengawetan dari asam itu sendiri. Yang paling penting adalah asam asetat atau asam yang dalam hubungannya dengan prosen pasteurisasi medium. Telah dikembangkan dari pengakaman bertahun-tahun bahwa kadar asam asetat minimum yang dibutuhkan untuk menghasilkan daya awet yang memuaskan untuk produk produk acar adalah 3,6% berdasarkan bahan-bahan mudah menguap dari produk. Adanya gula, garam, rempah-rempah dan lain-lain, menurunkan kebutuhan akan asam, karena kadar air yang tersedia dalam produk telah diturunkan dan

bahan-bahan tersebut mempunyai sifat antu mikroorganisme. Pada proses pengolahan acar tradisional, untuk produk-produk seperti mentimun meliputi dua tahap, yaitu pengasinan untuk menghasilkan stok garam. Kemudian fermentasi, sebagai pengolahan selanjutnya dari stok garam untuk menghasilkan produk yang dapat diterima. Sayuran direndam dalam larutan garam 3-20%, maka akan terbentuk kondisi anarobik, dimana organisme, organisme pembentuk asam laktat berkembang, menyebabkan terhambatnya organisme-organisme pembusuk. Dengan diberikannya cukup garam dan terdapatnya karbohidrat yang dapat difermentasi pada mulanya, produk-produk yang sudah difermentasi secara lengkap yang mengandung sampai 20% garam dan 0,5 1,5% asam, cukup aman dari kerusakan oleh mikroorganisme dan dapat disimpan untuk jangka waktu yang cukup lama. Kondisi yang demikian, konsentrasi garamnya terlalu tinggi jika langsung dikonsumsi. Oleh karenanya selama pengolahan jumlah garam diturunkan sampai kira-kira 5%. Jadi dibutuhkan kenaikan kadar asam atau pengolahan pasteurisasi dengan panas untuk menjadikan produk aman dari kerusakan oleh mikroorganisme. Pada fermentasi sayur-sayuran alamiah, dengan adanya garam akan menghambat organisme pembusuk dan memungkinkan pertumbuhan berikutnya dari penghasilpenghasil utama seperti Leuconostoc menseuteroides, Pediococcus cerevisae, Lactobacillus brevis dan Lactobecillus plantarum. Keluarnya karbondioksida yang cepat selama tahap permulaan dari fermentasi memberikan kondisi anaerobik untuk organisme-organisme yang diinginkan. Kadar asam antara 1,5-1,7% sudah cukup, jika dilihat dari segi arganoleptik, tetapi pasteurisasi dengan pemanasan dibutuhkan untuk stabilitas terhadap mikroorganisme selama penyimpanan (misalnya dalam kaleng atau botol tertutup). Peranan Gula Gula terlibat dalam pengawetan dan pembuatan aneka ragam produk-produk makanan. Beberapa diantaranya biasanya dijumpai termasuk selai, jeli, sari buah pekat, sirup buahbuahan beku dalam sirup, acar manis dan madu. Daya larut yang tinggi dari gula, kemampuan mengurangi keseimbangan kelembaban relatif (ERH) dan mengikat air adalah sifat-sifat yang menyebabkan gula dipakai dalam pengawetan bahan pangan. Kadar gula yang tinggi bersama dengan kadar asam yang tinggi (pH) rendah), merupakan teknik pengawetan pangan yang penting. Gula jika diberikan pada konsentrasi diatas 70% padatan terlarut, akan mampu memberikan stabilitas pengendalian pertumbuhan mikro organisme pada suatu produk makanan. Apabila gula ditambahkan kedalam bahan pangan dalam konsentrasi paling sedikit 40% padatan terlarut sebagian dari air yang ada menjadi tidak tersedia untuk pertumbuhan mikroorganisme dan aktivitas air (aw). dari bahan pangan berkurang. Walaupun demikian, pengaruh konsentrasi gula pada aw bukan merupakan faktor satusatunya yang mengendalikan pertumbuhan mikroorganisme, karena bahan-bahan dasar yang mengandung komponen yang berbeda-beda tetapi dengan nila aw yang sama dapat

menunjukan ketahanan yang berbeda-beda terhadap kerusakan karena mikroorganisme. Produk-produk pangan berkadar gula yang tinggi, cendrung rusak oleh khamir dan kapang, yaitu kelompok mikroorganisme yang relatif mudah dirusak oleh panas (seperti dalam pasteurisasi) atau dihambat oleh hal lain. Manosokarida lebih efektif dalam menurunkan aw bahan pangan dibanding dengan disakarida atau polisakarida pada konsentrasi yang sama dan digunakan dengan sukrosa dalam beberapa produk seperti selai. Pada produk-produk makanan seperti selai, jeli, marmalade serta produk-produk lainya, diperlukan kadar gula yang tinggi, biasanya dalam kisaran padatan larutan antara 65 73%. Kestabilan terhadap pengendalian pertumbuhan mikroorganisme dari produk-produk ini adalah karena padatan terlarut yang tinggi sebagai hasil pemberian sirup dan dehidrasi selanjutnya dari jaringan-jaringan yang mengandung gula. Adanya komponen ini dalam produk akhir dibutuhkan terutama untuk mempertahankan warna (pencegahan terhadap pencoklatan non enzimatik). Jadi kita hanya berperan terhadap pengendalian pertumbuhan mikro organisme.

You might also like