Professional Documents
Culture Documents
Beberapa konflik yang terjadi di dunia, adalah disebabkan oleh masalah ketidakadilan ekonomi, kemiskinan dan sebagainya. Oleh sebab itulah sebahagian besar konflik baik horizontal mahupun vertikal, yang terjadi pada negara dengan pendapatan per-kapita di bawah rata-rata seperti Kongo, Somalia, Sudan, Pakistan, disebabkan oleh kemiskinan tegar yang terjadi pada negara tersebut. Di tanah air misalnya, ketika masih memberontak, para tokoh GAM berulang kali mengungkapkan kekesalannya, kerana kekayaan alam Aceh yang berlimpah ruah dikuasai oleh pemerintah pusat. Mereka mengacu pada kenyataan bahawa tanah Aceh memiliki cadangan minyak dan gas alam yang melimpah ruah, namun masih banyak rakyat Aceh yang hidup miskin. Konflik yang terbesar dan yang paling mengerikan di Indonesia, iaitu konflik Maluku, juga berasal dari persoalan ekonomi. Jadi akan salah jika ada anggapan yang mengatakan bahawa konflik Maluku itu diakibatkan oleh gerakan separatis yang kerap digembar-gemburkan oleh para aktivis Republik Maluku Selatan (RMS). Kita juga tidak boleh percaya bahawa konflik itu adalah perang Islam melawan Kristian. Nama kedua-dua agama besar tersebut dicatut oleh kelompok elit setempat agar mudah memobilisasi massa. Pencatutan atas nama agama tersebut, akhirnya menimbulkan rasa benci yang sangat mendalam di antara para penganutnya. Lihat saja, mereka tidak segan-segan memperlakukan para tawanan seolah-olah seperti binatang, sehingga banyak yang tewas kerana disembelih. Bahkan ada anggapan di antara mereka, semakin banyak membunuh maka semakin cepat pula mereka masuk syurga. Demikian pula ketika membakar rumah ibadah milik agama lain, padahal mereka tidak tahu bahawa di tempat itulah nama Tuhan selalu dipuja. Pada dasarnya konflik Ambon bermula sejak jatuhnya harga cengkih dari Rp 10 Ribu menjadi Rp 2 Ribu setiap kilogram. Para petani cengkih yang kebanyakannya menganut agama Nasrani, menjadi sangat tertekan secara ekonomi dan psikologi. Maklumlah setelah bertahun-tahun hidup makmur, tiba-tiba mereka harus hidup miskin. Sebaliknya para pendatang dari Sulawesi Selatan dan Tenggara yang umumnya beragama Muslim, makin makmur. Ini kerana mereka menguasai perniagaan pengangkutan kota, perdagangan antara pulau, dan
sebagainya. Bahkan orang Muslim menduduki kerusi Gabenor yang sebelumnya selalu dikuasai oleh orang Nasrani. Tanpa latar belakang seperti itu, sebuah konflik antara seorang pemandu pengangkutan umum dan seorang preman pada Januari 1999 tak mungkin bisa berakhir pada bentrokan berdarah antara Islam dan Kristen. Apalagi konflik tersebut berlangsung selama bertahun-tahun, dan baru bisa mereda dan berhenti setelah deklarasi Malino II ditandatangani pada 12 Februari 2002 di Malino Sulawesi Selatan. Demikian juga konflik berdarah di Poso, bukan diakibatkan oleh ideologi semata. Ia lebih disebabkan oleh konflik politik, terkait dengan pemilihan Bupati di Poso. Tanpa latar belakang masalah ini, maka tidak mungkin hanya karena masalah sepele yakni perkelahian antara dua pemuda yang berbeza agama boleh meledak menjadi kerusuhan yang sangat dahsyat. Walaupun harus dianalogikan, konflik poso ibarat tinta yang ditumpahkan di atas kertas buram yang mana tinta itu secara perlahan merembet ke seluruh penjuru kertas tersebut. Rembesan ini kemudian menjadi tak terkendali karena demikian banyak aktor intelektual yang coba memancing di air keruh. Dengan cara mengobarkan kebencian di antara pemeluk agama. Situasi kemudian diperburuk oleh celoteh aktivis HAM, pengamat dan politisi Jakarta yang tak paham betul mengenai apa persoalan sebenarnya. Mereka memperuncing keadaan dengan menuduh aparat dan pemerintah sebagai biang keladi. Hal ini disebabkan karena banyak dari mereka belum pernah ke Poso. Bila mengikuti celotehan yang tidak berujung pangkal tersebut, pemerintah seakan-akan tidak bisa berbuat apa-apa. Bayangkan ketika petugas keamanan menembak, mereka langsung dikecam telah melakukan tindakan yang sewenang-wenang, atau melakukan pelanggaran HAM. Demikian pula ketika mereka memburu dan menangkap para pelaku kekerasan dan kejahatan. Salah satu cara untuk menghentikan konflik berdarah di Poso dan Ambon, adalah dengan cara penegakan hukum harus dilakukan secara tegas. Mereka yang melakukan pembunuhan, meledakkan bom, dan memegang senjata untuk bertempur harus ditangkap dan dihukum seberat-beratnya. Selain itu, petugas kemananan di sana juga diharapkan tidak terpengaruh dan ambil peduli pada komentar dan gosip yang beredar.
Karena yang terpenting adalah melaksanankan tugas dengan baik dan benar. Mereka juga tidak perlu takut dibawa ke KOMNAS HAM atau badan penyidikan lainnya. Dengan begitu konflik Poso akhirnya bisa selesai juga, pendeta Damanik sudah tidak lagi mencari Uztads Adnan Arsal demikian pula sebaliknya. Konflik ini hendaknya dijadikan pelajaran agar tidak lagi dijadikan dendam di masa yang akan datang. Perjanjian Malino I yang ditanda tangani oleh pemimpin Islam dan Kristen pada Desember 2001 benar-benar membawa kedamaian bagi masyarakat di sana. Bertolak dari pengalaman pengalaman tersebut, penulis berkesimpulan bahwa kita tidak bisa mengandalakan satu platform untuk menyelesaikan semua konflik. Selain faktor penyebabnya berbeda-beda, juga berdasarkan adanya latar belakang sosial-budaya dam tingkat keparahan konflik yang terjadi. Latar belakang tokoh setempat juga harus diperhatikan. Itu karena latar belakang pendidikan, agama, dan pergaulan sosial politiknya sangat menentukan perilaku dan pola pikirnya. Dengan bekal seperti itulah, kita baru bisa menemukan ramuan yang tepat untuk menyelesaikan sebuah konflik horizontal. Pada dasarnya, ada satu landasan utama yang bisa dipakai untuk menyelesaikan segala macam konflik. Itulah yang namanya perundingan. Tugas terberat dalam hal ini mencari ruang perundingan, yang disetujui oleh semua pihak. Kegagalan untuk menemukan ruang perundingan tersebut bisa menyebabkan seluruh rencana perdamaian mengalami kemacetan total. Dan seperti yang kita lihat dan, akhirnya perdamaian Aceh bisa tercipta. Mungkin jika perdamaian di Aceh belum tercipta, maka rata-rata orang Aceh yang terbunuh setiap harinya antara 4-5 orang. Maka bisa dibayangkan jika konflik terjadi selama 30 tahun maka bisa 50 ribu orang yang menjadi korban. Itulah yang menjadi manfaat mengapa kita harus bergerak cepat dalam menyelesaikan persoalan bangsa ini. Bergerak cepat bukan berarti tidak bisa tepat, sebab jika memakai analogi kereta api, di Indonesia Kereta Apinya lamban tapi sering kecelakaan, dibanding Jepang keretanya super cepat tapi jarang kecelakaan.