You are on page 1of 41

BAB II URGENSI PEMBERIAN BANTUAN HUKUM OLEH ADVOKAT TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA TERORISME

A. Sejarah singkat bantuan hukum di Indonesia. Bantuan hukum sebenarnya sudah dilaksanakan pada masyarakat barat sejak zaman romawi, dimana pada waktu itu bantuan hukum berada dalam bidang moral dan lebih dianggap sebagai suatu pekerjaan yang mulia, khususnya untuk menolong orang-orang tanpa mengharapkan dan atau menerima imbalan atau honorarium. Setelah meletusnya revolusi Perancis, bantuan hukum kemudian menjadi bahagian dari kegiatan hukum atau kegiatan yuridik, dengan mulai lebih menekankan pada hak yang sama bagi warga Negara untuk mempertahankan kepentingan-kepentingannya dimuka pengadilan, dan hingga awal abad ke-20 kiranya bantuan hukum lebih banyak dianggap sebagai pekerjaan memberi jasa dibidang hukum tanpa suatu imbalan. 61 Bantuan hukum, khususnya bagi rakyat kecil yang tidak mampu dan buta hukum tampaknya merupakan hal yang dapat dikatakan relative baru dinegaranegara berkembang, demikian juga di Indonesia. Bantuan hukum sebagai suatu legal institution (lembaga hukum) semula tidak dikenal dalam system hukum tradisional, dia baru dikenal di Indonesia sejak masuknya atau diberlakukannya

61

Bambang Sunggono dan Aries Harianto, op. hlm. 11.

Universitas Sumatera Utara

system hukum barat di Indonesia. Namun demikian, bantuan hukum sebagai kegiatan pelayanan hukum secara Cuma-Cuma kepada masyarakat miskin dan buta hukum dalam decade terakhir ini tampak menunjukkan perkembangan yang amat pesat, apalagi sejak Pelita ke-III pemerintah mencanangkan program bantuan hukum sebagai jalur untuk meratakan jalan menuju pemerataan keadilan dibidang hukum. 62 Kendati demikian, Adnan Buyung Nasution Mengemukakan: 63 Bantuan hukum secara formal di Indonesia sudah ada sejak masa penjajahan Belanda, hal ini bermula pada tahun 1848 ketika di Belanda terjadi perubahan besar dalam sejarah hukumnya. Berdasarkan asas konkordansi, maka dengan firman raja tanggal 16 Mei 1848 Nomor 1, perundang-undangan baru di negeri Belanda tersebut juga diberlakukan buat Indonesia (waktu itu bernama Hindia Belanda), antara lain peraturan tentang susunan kehakiman dan kebijaksanaan pengadilan (RO). Mengingat baru dalam peraturan hukum itulah diatur untuk pertama kalinya Lembaga Advokat, maka dapatlah diperkirakan bahwa bantuan hukum dalam arti yang formal baru dimulai di Indonesia pada tahun-tahun itu, dan hal itupun baru terbatas bagi orang-orang eropa saja didalam peradilan raad van justitie. Sementara itu, Advokat pertama Bangsa Indonesia adalah Mr. Besar Mertokoesoemo yang baru membuka kantornya di Tegal dan Semarang pada sekitar tahun 1923. Lebih tegas lagi, dalam hukum positif Indonesia masalah bantuan hukum diatur dalam Pasal 250 ayat (5) dan (6) Het Herziene Indonesiche Reglemen (HIR/Hukum Acara Pidana Lama) dengan cakupan yang terbatas, artinya pasal ini dalam prakteknya hanya lebih mengutamakan bangsa Belanda daripada bangsa Indonesia yang waktu itu lebih populer disebut inlanders, disamping itu daya laku pasal ini hanya terbatas apabila para Advokat tersedia dan bersedia membela
62 63

Adnan Buyung Nasution, Bantuan Hukum Di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1988), hlm. 23. Ibid, hlm. 24.

Universitas Sumatera Utara

mereka yang dituduh dan diancam hukuman mati dan atau hukuman seumur hidup. 64 Gambaran keadaan diatas terjadi karena dizaman kolonial Belanda dikenal adanya 2 (dua) sistem peradilan yang terpisah satu dengan yang lainnya. Pertama, satu hirarki peradilan untuk orang-orang Eropa dan yang dipersamakan (Residentie Gerecht, Raad van Justitie dan Hoge Rechtshof). Kedua, hirarki peradilan untuk orang-orang Indonesia dan yang dipersamakan (Districtgerecht Regentschaps Gerecht, dan Landraad). 65 Salah satu implikasi penting dari dikotomi diatas kaitannya dengan bantuan hukum adalah bagi orang-orang Eropa dikenal kewajiban legal representation by a lawyer baik bagi perkara perdata maupun perkara pidana, tampaknya hal ini lebih didasarkan pada pertimbangan bahwa mereka telah mengenal lembaga yang bersangkutan didalam kultur hukum mereka (di negeri Belanda) dan karenanya cukup diatur didalam Undang-Undang ketentuan bantuan hukum sebagaimana yang dikenal dinegara-negara maju. Tidak demikian halnya yang terjadi untuk orang-orang Indonesia, bahkan didalam HIRnya tidak dikenal semacam legal representation by a lawyer seperti pada orang-orang Belanda. Didalam perkara pidana bagi orang-orang Indonesia HIR juga tidak mengatur tentang terdakwa yang berhak dibela oleh seorang lawyer, jadi setiap orang boleh

Andi Hamzah dan Irdan Dahlan, Perbandingan KUHAP, HIR dan Komentar, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), hlm. 109. 65 Ibid.

64

Universitas Sumatera Utara

saja membela dirinya sendiri atau menunjuk keluarganya atau siapa saja (tidak perlu seorang lawyer) untuk membantunya dimuka pengadilan. 66 Pada masa penjajahan Bangsa Jepang, tidak terlihat adanya kemajuan dari kondisi diatas. Sekalipun peraturan hukum tentang bantuan hukum yang berlaku pada masa Belanda seperti RO masih tetap diberlakukan, akan tetapi situasi dan kondisi waktu itu tidak memungkinkan untuk mengembangkan dan memajukan program bantuan hukum di Indonesia. Keadaan yang sama juga terjadi pada tahun-tahun awal setelah Bangsa Indonesia menyatakan Proklamasi kemerdekaan pada tahun 1945, karena seluruh bangsa sedang mengkonsentrasikan dirinya untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan bangsa, demikian pula setelah pengakuan kedaulatan rakyat Indonesia pada tahun 1950, keadaan yang demikian relatif tidak berubah. 67 Dalam periode berikutnya, sekitar tahun 1950-1959 terjadi perubahan sistem peradilan di Indonesia dengan dihapuskannya secara perlahan-lahan pluralisme dibidang peradilan, hingga hanya ada satu sistem peradilan yang berlaku bagi seluruh penduduk Indonesia, yaitu: Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung, demikian pula telah diberlakukan satu hukum acara yaitu HIR. Namun demikian, pemberlakuan yang demikian berimplikasi pada tetap berlakunya sistem peradilan dan hukum acara warisan kolonial yang

66 67

Bambang Sunggono dan Aries Harianto, op.cit, hlm. 13. Ibid, hlm. 14.

Universitas Sumatera Utara

ternyata masih tetap sedikit menjamin ketentuan-ketentuan tentang bantuan hukum. 68 Angin segar dalam sejarah bantuan hukum di Indonesia dimulai pada saat munculnya babak Orde Baru. Dalam hal ini Adnan Buyung Nasution mengemukakan: 69 Periode ini dimulai ketika gagalnya kudeta PKI yang disusul dengan jatuhnya rezim Soekarno. Pada mulanya atau tahun-tahun pertama tampak ada drive yang kuat sekali untuk membangun kembali kehidupan hukum dan ekonomi yang sudah hancur berantakan. Disamping program rehabilitasi ekonomi, terasa sekali adanya usaha-usaha untuk menumbuhkan kebebasan berbicara, kebebasan pers, dan juga kebebasan mimbar pada universitas. Independency pengadilan mulai dijalankan, dan respek kepada hukum tumbuh kembali. Puncak dari usaha ini ditandai dengan digantinya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 dan terakhir diganti dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang kembali menjamin kebebasan peradilan dari segala campur tangan dan pengaruhpengaruh kekuatan dari luar lainnya dalam segala urusan peradilan. Sementara itu, apabila kita lihat dari aspek institusional (kelembagaan) tentang bantuan hukum, kita dapat mengetahui bahwa lembaga atau biro bantuan hukum dalam bentuk konsultasi hukum pernah didirikan di Sekolah Tinggi Hukum (Rechts Hoge School) Jakarta pada tahun 1940 oleh Prof. Zeylemaker seorang Guru Besar Hukum Dagang dan Hukum Acara Perdata, yang melakukan
68 69

Ibid. Adnan Buyung Nasution, op.cit, hlm. 30.

Universitas Sumatera Utara

kegiatannya berupa pemberian nasehat hukum kepada rakyat yang tidak mampu disamping juga untuk memajukan kegiatan klinik hukum. 70 Pada masa Orde Baru masalah bantuan hukum tumbuh dan berkembang dengan pesat. Satu contoh dapat dikemukakan bahwa pada tahun 1979 tidak kurang dari 57 Lembaga Bantuan Hukum yang terlibat dalam program pelayanan hukum kepada masyarakat miskin dan buta hukum. 71 Dewasa ini jasa bantuan hukum banyak dilakukan oleh organisasi-organisasi bantuan hukum yang tumbuh dari pelbagai organisasi kemasyarakatan maupun organisasi profesi. Dengan demikain, para penikmat bantuan hukum dapat lebih leluasa dalam upayanya mencari keadilan dengan memanfaatkan organisasi-organisasi bantuan hukum tersebut. Akhirnya, pada era reformasi legalitas para Advokat dalam hal memberikan bantuan hukum diatur dalam Undang-Undang tersendiri, yaitu dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat, dimana profesi Advokat dikatakan sebagai profesi yang mulia offcium nobile dan bertindak sebagai aparat penegak hukum dan mempunyai kedudukan yang sama dan sederajat dengan aparat penegak hukum lainnya. 72

Todung Mulya Lubis, Bantuan Hukum dan Kemiskinan Struktural, (Jakarta: LP3ES, 1979), hlm. 7. 71 Ibid. 72 Perhatikan pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat.

70

Universitas Sumatera Utara

B. Landasan Filosofis dan Yuridis Pemberian Bantuan Hukum Oleh Advokat Terhadap Pelaku Tindak Pidana Terorisme. Landasan filosofis merupakan landasan yang bersifat ideal, memotivasi aparat penegak hukum untuk mengarahkan semangat dan dedikasi pengabdian dan penegakan hukum untuk mewujudkan keluhuran kebenaran dan keadilan. Dengan demikian setiap tindakan penegak hukum harus sejajar dengan cita-cita yang terkandung dengan semangat dan keluhuran tujuan yang filosofis dimaksud. 73 Oleh karena itu, landasan filosofis pemberian bantuan hukum terhadap pelaku tindak pidana terorisme adalah berdasarkan Pancasila, yaitu sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Dengan sila Ketuhanan dan Kemanusiaan, mengakui bahwa setiap aparat penegak hukum maupun

tersangka/terdakwa yang diduga sebagai pelaku tindak pidana terorisme adalah: 74 1. Sama-sama manusia yang dependen kepada Tuhan, yang tergantung kepada kehendak Tuhan, semua makhluk manusia tanpa terkecuali adalah ciptaan Tuhan, yang kelahirannya dipermukaan bumi semata-mata atas kehendak dan berkat rahmat Tuhan. 2. Oleh karena semua manusia merupakan hasil ciptaan Tuhan dan tergantung kepada kehendak Tuhan, hal ini mengandung makna bahwa: b. Tidak ada perbedaan asasi sesama manusia termasuk pelaku tindak pidana terorisme. c. Sama-sama mempunyai tugas sesama manusia untuk mengembangkan dan mempertahankan kodrat, harkat dan martabatnya sebagai manusia ciptaan Tuhan. d. Setiap manusia mempunyai hak kemanusiaan yang harus dilindungi tanpa terkecuali.

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 20. 74 Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia, (Bandung: Mandar Maju, 2009, hlm. 73.

73

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan jiwa yang terkandung dalam sila Ketuhanan sebagaimana tersebut diatas, pemberian bantuan hukum oleh Advokat terhadap pelaku tindak pidana terorisme tiada lain daripada fungsi pengabdian melaksanakan amanat Tuhan, yaitu dengan cara menempatkan setiap manusia tersangka/terdakwa pelaku tindak pidana terorisme: 75 1. Manusia hamba Tuhan yang memiliki hak dan martabat kemanusiaan yang harus dilindungi. 2. Sebagai manusia yang mempunyai hak dan kedudukan untuk mempertahankan hak dan martabatnya. Selanjutnya yang dapat dijadikan sebagai landasan filosofis dalam pemberian bantuan hukum terhadap pelaku tindak pidana terorisme adalah sebagaimana pengakuan dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang menentukan secara tegas Indonesia adalah negara hukum. Prinsip negara hukum menuntut antara lain adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang dihadapan hukum (equality before the law). Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar juga menentukan bahwa setiap orang termasuk pelaku tindak pidana terorisme berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Dalam usaha mewujudkan prinsip-prinsip negara hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, maka peran dan fungsi Advokat sebagai profesi yang

75

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

bebas, mandiri dan bertanggungjawab dalam memberikan bantuan hukum terhadap pelaku tindak pidana terorisme merupakan hal yang penting. 76 Berdasarkan hal yang demikian, maka setiap orang berhak untuk mendapatkan peradilan yang adil dan tidak memihak (fair and impartial court). Hak ini merupakan hak dasar setiap manusia. Hak ini bersifat universal, berlaku di manapun, kapan pun dan pada siapapun tanpa ada diskriminasi. Pemenuhan hak ini merupakan tugas dan kewajiban negara. Setiap warga negara tanpa memandang suku, warna kulit, status sosial, kepercayaan dan pandangan politik berhak mendapatkan akses terhadap keadilan. Indonesia sebagai Negara hukum menjamin kesetaraan bagi warga negaranya di hadapan hukum dalam dasar negara dan konstitusinya. Sila kedua Pancasila kemanusiaan yang adil dan beradab dan sila kelima Pancasila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia mengakui dan menghormati hak warga Negara Indonesia untuk keadilan ini. UUD 1945 menegaskan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama didepan hukum 77 dan setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. 78 UUD 1945 juga mengakui hak setiap orang untuk bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif

76 77

Perhatikan Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat. Perhatikan Pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. 78 Perhatikan Pasal 28 D ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945.

Universitas Sumatera Utara

itu. 79 Tanggung jawab negara ini harus dapat diimplementasikan melalui ikhtiarikhtiar ketatanegaraan pada ranah legislasi, yudikasi dan eksekutorial. 80 Kedudukan yang lemah dan ketidakmampuan seseorang tidak boleh menghalangi orang tersebut mendapatkan keadilan. Pendampingan hukum (legal representation) terhadap pelaku tindak pidana terorisme tanpa diskriminasi merupakan perwujudan dari perlindungan dan perlakuan yang sama di hadapan hukum tersebut. Tanpa adanya pendampingan hukum terhadap pelaku tindak pidana terorisme maka kesetaraan di hadapan hukum sebagaimana diamanatkan konstitusi dan nilai-nilai universal hak asasi manusia tersebut tidak akan pernah terpenuhi. Bantuan hukum adalah media bagi warga Negara yang tidak mampu untuk dapat mengakses terhadap keadilan sebagai manifestasi jaminan hak-haknya secara konstitusional. Masalah bantuan hukum meliputi masalah hak warga Negara secara konstitusional yang tidak mampu, masalah pemberdayaan warga Negara yang tidak mampu dalam akses terhadap keadilan, dan masalah hukum faktual yang dialami warga Negara yang tidak mampu menghadapi kekuatan Negara secara struktural. Disamping itu, pemberian bantuan hukum terhadap pelaku tindak pidana terorisme juga harus dimaksudkan sebagai bagian integral dari kewajiban warga Negara lain yang mempunyai kemampuan dan kompetensi dalam memberikan bantuan hukum. Pemberian bantuan hukum mempunyai manfaat besar bagi perkembangan pendidikan penyadaran hak-hak warga Negara yang tidak mampu

79 80

Perhatikan Pasal 28 I ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Perhatikan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Bantuan Hukum

Universitas Sumatera Utara

khususnya secara ekonomi, dalam akses terhadap keadilan, serta perubahan sosial masyarakat ke arah peningkatan kesejahteraan hidup dalam semua bidang kehidupan berdasarkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Oleh karena itu dibutuhkan suatu peraturan perundang-undangan yang menjamin hak warga negara Indonesia untuk mendapatkan akses kepada keadilan dan pendampingan hukum, termasuk bantuan hukum (legal aid) bagi warga Negara yang tidak mampu. 81 Berdasarkan keseluruhan uraian tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa mengenai hak pelaku tindak pidana terorisme untuk mendapatkan bantuan hukum dari seorang Advokat tidak diatur secara tegas, padahal hak tersebut penting untuk mencegah terjadinya kekuasaan aparat yang sewenang-wenang dan untuk menegakkan hak-hak asasi pelaku tindak pidana terorisme. Oleh karena itu, dalam kasus tindak pidana terorisme yang tergolong sebagai tindak pidana berat harus mendapat bantuan hukum dari Advokat sejak pelaku tindak pidana Terorisme tersebut tertangkap hingga proses pemeriksaan disidang pengadilan mengingat setiap orang sama dipandang dihadapan hukum (equality before the law) dan juga dalam rangka untuk menegakkan Hak Asasi Manusia. 82 Landasan filosofis sebagaimana dikemukakan diatas kemudian

diimplementasikan kedalam asas-asas hukum yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai dasar ataupun landasan oleh Advokat dalam memberikan bantuan hukum terhadap pelaku tindak pidana terorisme.
Ibid. Abdul Wahid, Sunardi dan Muhammad Imam Sidik, Kejahatan Terorisme, Perspektif Agama, HAM, dan Hukum, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2004), hlm. 115.
82 81

Universitas Sumatera Utara

Perkataan asas berasal dari bahasa arab, yaitu kata asasun, yang berarti dasar, basis, pondasi. Kalau dihubungkan dengan sistem berfikir, maka yang dimaksud dengan asas adalah landasan berfikir yang paling mendasar. 83 Jika kata asas dihubungkan dengan hukum, yang dimaksud dengan asas adalah kebenaran yang dipergunakan sebagai tumpuan berfikir dan alasan pendapat, terutama dalam penegakan dan pelaksanaan hukum. Asas hukum pada umumnya berfungsi sebagai rujukan untuk mengembalikan segala masalah yang berkenaan dengan hukum. 84 Sementara itu, Satjipto Rahardjo mengemukakan: 85 Adapun asas hukum adalah merupakan jantung peraturan hukum, karena selain sebagai landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum, juga sebagai alasan (dasar pemikiran) bagi lahirnya ratio legis dari peraturan hukum. Sambil mengutip dari G.W. Paton, Satjipto mengatakan asas hukum itu tidak akan habis kekuatannya dengan melahirkan suatu peraturan hukum, melainkan akan tetap saja ada, dan akan melahirkan peraturan-peraturan hukum dengan cita-cita sosial dan pandangan etis masyarakat. Berdasarkan uraian tersebut diatas, dapat dikemukakan bahwa masuknya asas kedalam suatu norma atau peraturan ada yang bersifat eksplisit, artinya asas tersebut langsung dituangkan dalam bentuk pasal Undang-Undang, akan tetapi ada pula yang bersifat implisit, artinya asas tersebut hanya tersirat didalam suatu Undang-Undang, dan ini harus ditelusuri oleh pemakai Undang-Undang. Adapun beberapa contoh asas

Mohammad Daud Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam Di Indonesia, Edisi Keenam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998), hlm. 114. 84 Ibid. 85 Satjipto Rahardjo sebagaimana dikutip M. Solly Lubis, dalam Modul Teori Hukum, (Medan: Sekolah Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, 2003), hlm. 18.

83

Universitas Sumatera Utara

yang masuk secara eksplisit dan secara implisit dalam suatu peraturan perundangundangan adalah sebagai berikut: 86 1. Asas yang masuk kedalam Undang-Undang secara eksplisit adalah: 1. Nullum delictum nulla poena sine previa legi poenali, yang berarti tiada suatu perbuatanpun yang dapat dikenakan hukuman kecuali ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya terlebih dahulu (Pasal 1 ayat 1 KUHP). 2. Presumption of innocence (Praduga tidak bersalah) sebagaimana terdapat dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. 2. Asas yang masuk kedalam Undang-Undang secara implisit adalah: a. In dubio proreo (bila hakim ragu-ragu maka ia seyogianya memutus sedemikian sehingga menguntungkan terdakwa. b. Res judicata pro veritate habitur (putusan hakim harus dianggap benar meskipun tidak benar). c. Iedereen wordt geacht de wette kennen, nemo ius ignorare consetur (setiap orang dianggap mengetahui peraturan hukum). d. Restitutio in integrum (pengembalian keseimbangan). e. Lex superior derogat legi inferiori (ketentuan yang lebih tinggi mengenyampingkan ketentuan yang lebih rendah). f. Lex specialis derogat legi generalis (ketentuan yang khusus mengenyampingkan ketentuan yang umum). g. Lex posterior derogat legi anterior (ketentuan yang baru mengenyampingkan ketentuan yang lama). Oleh karena itu, berdasarkan fokus kajian yang menjadi objek pembahasan, yaitu berkaitan dengan asas pemberian bantuan hukum oleh Advokat terhadap pelaku tindak pidana terorisme, maka berikut ini akan diuraikan beberapa asas yang berkaitan dengan pemberian bantuan hukum terhadap pelaku tindak pidana terorisme, yaitu:

86

Ibid, hlm. 19

Universitas Sumatera Utara

1. Asas praduga tak bersalah (presumption of innocent). Asas praduga tak bersalah atau presumption of innocent dijumpai dalam penjelasan umum butir 3 huruf c KUHAP. Dengan dicantumkannya praduga tak bersalah dalam penjelasan KUHAP, dapat disimpulkan bahwa pembuat UndangUndang telah menetapkannya sebagai asas hukum yang melandasi KUHAP dan penegakan hukum (law enforcement). 87 Hakikat asas ini cukup fundamental sifatnya dalam hukum acara pidana. Ketentuan asas praduga tak bersalah eksistensinya tampak dalam Pasal 8 UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam praktik peradilan, manifestasi asas ini dapat diuraikan lebih lanjut, selama proses peradilan masih berjalan (Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung) dan belum memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) pelaku tindak pidana terorisme belum dapat dikategorikan bersalah sebagai pelaku tindak pidana sehingga selama proses peradilan pidana tersebut haruslah mendapatkan hak-haknya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang yang salah satunya adalah hak untuk mendapatkan bantuan hukum dari Advokat. 88 Asas praduga tak bersalah ditinjau dari segi teknis yuridis ataupun dari segi teknis penyidikan dinamakan prinsip akusatur atau accusatory procedure. Prinsip

M. Yahya Harahap, op.cit, hlm. 40. Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Normatif, Teoritis, Praktik dan Permasalahannya, (Bandung: Alumni, 2007), hlm. 13.
88

87

Universitas Sumatera Utara

akusatur menempatkan kedudukan tersangka/terdakwa pelaku tindak pidana terorisme dalam setiap tingkatan pemeriksaan: 89 a. Adalah subjek; bukan sebagai objek pemeriksaan, karena itu tersangka atau terdakwa harus didudukkan dan diperlakukan dalam kedudukan manusia yang mempunyai harkat martabat harga diri. b. Yang menjadi objek pemeriksaan dalam prinsip akusator adalah kesalahan (tindak pidana) yang dilakukan tersangka/terdakwa. Kearah itulah pemeriksaan ditujukan. Dengan asas praduga tak bersalah yang dianut KUHAP, memberi pedoman kepada aparat penegak hukum untuk mempergunakan prinsip akusatur dalam setiap tingkatan pemeriksaan. Aparat penegak hukum menjauhkan diri dari caracara pemeriksaan inkuisitur atau inquisitorial systeminquisitorial system yang menempatkan tersangka/terdakwa pelaku tindak pidana terorisme dalam pemeriksaan sebagai objek yang dapat diperlakukan dengan sewenang-wenang. Prinsip inkuisitur ini dulu dijadikan landasan pemeriksaan dalam periode HIR, sama sekali tidak memberi hak dan kesempatan yang wajar bagi

tersangka/terdakwa untuk membela diri dan mempertahankan hak serta kebenarannya, sebab sejak semula aparat penegak hukum: 90 a. Sudah apriori menganggap tersangka/terdakwa bersalah. Seolah-olah tersangka sudah divonis sejak saat pertama diperiksa dihadapan penyidik. b. Tersangka/terdakwa dianggap dan dijadikan sebagai objek pemeriksaan tanpa memperdulikan hak-hak asasi manusia dan haknya untuk membela diri serta mempertahankan martabat kebenaran yang dimilikinya. Akibatnya, sering terjadi dalam praktek, seseorang yang benar-benar tidak bersalah terpaksa menerima nasib sial, meringkuk dalam penjara. Hal inilah yang dialami Karta dan Sengkon yang meringkuk menjalani

89 90

M. Yahya Harahap, loc.cit. Ibid, hlm. 41.

Universitas Sumatera Utara

hukuman beberapa tahun, akan tetapi pembunuhan yang dihukumkan kepadanya ternyata pelakunya adalah orang lain. Didalam sistem Akuasator atau Advsersarial System, para pihak,

tersangka/terdakwa pelaku tindak pidana terorisme dan penasehat hukum serta penyidik polisi dan penuntut umum memiliki kedudukan sejajar satu sama lain. Para pihak memiliki hak yang sama secara optimal untuk mengajukan bantahan dan bukti-bukti yang menguntungkan bagi masing-masing pihak. Tidak ada hakim penyidik (investigating judge) dalam menemukan kebenaran kecuali retorika tentang imparsialitas penuntutan. Sistem plea bargaining diperluas untuk menghasilkan kesepakatan mengenai penuntutan dan penghukuman antara penuntut umum dan terdakwa. Didalam sistem peradilan pidana Indonesia versi KUHAP, model sistem plea bargaining ini tidak ada padanannya karena SP3 dan SKPP tidak ada imbalan atau semacam konsesi apapun dari penuntut umum atas pengakuan bersalah dari seorang terdakwa. Penetapan SP3 dan SKPP sepenuhnya murni menjadi wewenang penyidik dan penuntut umum sesuai dengan alasanalasan yang diatur dalam Pasal 109 dan Pasal 140 KUHAP. 91 Oleh karena itu jaminan asas praduga tak bersalah dan prinsip pemeriksaan akusatur ditegakkan dalam setiap proses pemeriksaan terhadap pelaku tindak pidana terorisme. Untuk menopang asas praduga tak bersalah dan prinsip akusatur dalam penegakan hukum, KUHAP telah memberi perisai kepada

tersangka/terdakwa yang dalam hal ini juga adalah pelaku tinda pidana terorisme
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, (Jakarta: Kencana Predana Media Group, 2010), hlm. 63.
91

Universitas Sumatera Utara

berupa seperangkat hak-hak kemanusiaan yang wajib dihormati dan dilindungi pihak aparat penegak hukum. Dengan perisai hak-hak yang diakui hukum, secara teoritis sejak semula tahap pemeriksaan, tersangka/terdakwa pelaku tindak pidana terorisme sudah mempunyai posisi yang setaraf dengan pejabat pemeriksa dalam kedudukan hukum dan berhak menuntut perlakuan yang diatur dalam KUHAP yaitu: 92 1. Segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik. 2. Segera diajukan kepengadilan dan diadili oleh pengadilan. 3. Tersangka berhak untuk diberitahu dengan jelas dengan bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya pada waktu pemeriksaan dimulai. 4. Berhak untuk diberitahu dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang didakwakan kepadanya. Tujuan kedua hak ini untuk memberi kesempatan kepadanya mempersiapkan pembelaan. 5. Berhak memberi keterangan secara bebas baik kepada penyidik taraf penyidikan maupun kepada hakim pada proses pemeriksaan disidang pengadilan. 6. Berhak untuk setiap waktu mendapat bantuan juru bahasa pada setiap tingkat pemeriksaan, jika tersangka/terdakwa tidak mengerti bahasa Indonesia.

Perhatikan Pasal 50 sampai dengan Pasal 68 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

92

Universitas Sumatera Utara

7. Berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasehat hukum selama waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan. 8. Berhak memilih sendiri penasehat hukum yang disukainya. Bahkan mengenai bantuan penasehat hukum bukan semata-mata hak yang ada pada tersangka/terdakwa, akan tetapi guna memenuhi hak untuk mendapat bantuan penasehat hukum, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkatan wajib menunjuk penasehat hukum bagi tersangk/terdakwa apabila

tersangk/terdakwa tidak mampu menyediakan penasehat hukumnya. 9. Berhak mengunjungi dan dikunjungi dokter pribadinya selama

tersangka/terdakwa berada dalam tahanan. 10. Berhak untuk diberitahukan kepada keluarganya atau orang yang serumah dengan tersangka/terdakwa atas penahanan yang dilakukan terhadap dirinya. Pemberitahuan tersebut dilakukan oleh pejabat yang bersangkutan. 11. Berhak menghubungi dan menerima kunjungan dari pihak yang mempunyai hubungan kekeluargaan atau orang lain guna mendapat jaminan atas penangguhan penahanan atau bantuan hukum. 12. Berhak secara langsung atau melalui perantaraan penasehat hukumnya untuk menghubungi dan menerima kunjungan sanak keluarga, sekalipun hal tersebut tidak ada sangkut pautnya dengan kepentingan tersangka/terdakwa. 13. Berhak mengirim surat atau menerima surat setiap kali diperlukannya yaitu kepada dan dari penasehat hukumnya dan sanak keluarga. Untuk keperluan

Universitas Sumatera Utara

surat menyurat ini pejabat yang bersangkutan harus menyediakan peralatan yang diperlukan. 14. Surat menyurat ini tidak boleh diperiksa oleh aparat penegak hukum, kecuali cukup alasan untuk menduga adanya penyalahgunaan surat-menyurat tersebut. 15. Terdakwa berhak untuk diadili dalam sidang pengadilan yang terbuka untuk umum. 16. Berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi dan atau seseorang yang memiliki keahlian khusus yang menguntungkan bagi dirinya. 17. Tersangka/terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian. Penuntut

umumlah yang dibebani kewajiban pembuktian kesalahan terdakwa. Atau penyidiklah yang berkewajiban mengumpulkan bukti-bukti yang diperlukan untuk membuktikan kesalahan tersangka/terdakwa. 18. Berhak untuk menuntut ganti rugi dan rehabilitasi atas setiap tindakan dan perlakuan penangkapan, penahanan dan penuntutan yang tidak sah atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, teoritis pemberian hak ini telah menempatkan kedudukan tersangka/terdakwa pelaku tindak pidana terorisme berada dalam posisi yang sama dan sejajar dengan pejabat aparat penegak hukum. Dalam praktek, hak-hak yang diakui hukum ini masih merupakan pertaruhan apakah benar-benar dapat diwujudkan dalam concreto. Barangkali kita merasa optimis, kalau hal-hal tersebut diatas dilanggar oleh pejabat penegak hukum, maka orang yang merasa haknya dilanggar dapat mengajukan sah tidaknya

Universitas Sumatera Utara

pelanggaran tersebut melalui praperadilan dan sekaligus dapat menuntut ganti rugi dan rehabilitasi. 2. Asas persamaan didepan hukum (equality before the law). Persamaan kedudukan didepan hukum diamanatkan dalam deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tahun 1948 yang dinyatakan dalam Pasal 7 sebagai berikut: 93 All are equal before the law and are entiled without any discrimination to equal protection of the law. All are entitled to equal protection against any discriminatioin in violation of this declaration and against any incitement to such discrimination (Semua orang adalah sama dimuka hukum dan tanpa diskriminasi apapun berhak atas perlindungan hukum yang sama. Dan seterusnya). Bangsa Indonesia telah menyatakan hal tersebut sejak Indonesia merdeka didalam dasar Negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, telah lebih dahulu dari Perserikatan Bangsa-Bangsa. Didalam Pancasila terdapat sila ke-3 yaitu: kemanusiaan yang adil dan beradab. Sedangkan didalam Undang-Undang Dasar 1945 terdapat didalam preambule, hal tersebut dipertegas lagi didalam hasil amandemen Undang-Undang Dasar 1945 dalam Pasal 28 D ayat (1), kemudian dijabarkan lagi didalam peraturan perundang-undangan lain, salah satunya adalah dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asas Manusia sebagai berikut: Ayat (1) : Setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan martabat kemanusiaan didepan hukum.

Paingot Rambe Manalu, Coky T.N. Sinambela dan Laurensius Rambe Manalu, Hukum Acara Pidana Dari Segi Pembelaan, (Jakarta: CV. Novindo Pustaka Mandiri, 2010), hlm. 8.

93

Universitas Sumatera Utara

Ayat (2)

: Setiap orang berhak mendapat bantuan dan perlindungan yang adil dari pengadilan yang objektif dan tidak memihak.

Asas persamaan didepan hukum atau equality before the law adalah merupakan salah satu manifestasi dari Negara hukum (rechtstaat) sehingga harus ada perlakuan yang sama bagi setiap orang didepan hukum (gelijkheid van ieder voor de wet) yang dalam hal ini juga adalah tersangka/terdakwa pelaku tindak pidana terorisme. Dengan demikian, elemen yang melekat mengandung makna perlindungan yang sama didepan hukum (equal protection on the law) dan mendapatkan keadilan yang sama didepan hukum (equal justice under the law). Tegasnya, KUHAP tidak mengenal adanya peraturan yang memberikan perlakuan khusus kepada terdakwa (forum prevelegiatum) sehingga pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang. 94 Oleh karena itu, untuk menjamin eksistensi pengadilan mengadili dengan tidak membeda-bedakan orang berarti Undang-Undang menjamin kepada badan peradilan agar segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain diluar kekuasaan kehakiman dilarang. 95 Bagi orang yang merasa dimenangkan atau merasa hukumannya lebih ringan dari yang seharusnya diterima akan mengatakan bahwa pengadilan adalah

objektif. Sebaliknya bagi orang yang merasa hukumannya berat akan mengatakan

Perhatikan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Perhatikan Juga Pasal 3 Huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. 95 Lilik Mulyadi, op.cit, hlm. 17.

94

Universitas Sumatera Utara

pengadilan tidak objektif. Oleh karena itu diperlukan kriteria-kriteria yang mendekati objektifitas. Kriteria yang mendekati objektifitas hanya dapat ditemukan dalam pelaksanaan peradilan itu sendiri apabila keputusan hakim dan pelaksanaan fungsi-fungsi lain yang berkaitan dengan peradilan, seperti penyidikan dan penuntutan dilakukan dalam keseimbangan antara kepastian hukum, kemanfaatan hukum dan keadilan. Guna memahami kriteria mengenai peradilan yang objektif dan tidak memihak, maka perlu ada pemaksanaan istilah terlebih dahulu. Istilah peradilan yang objektif dan tidak memihak hendaknya dimaknai sebagai kesatuan yang terpadu dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system process), yaitu sejak proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan persidangan sampai kepada eksekusi didalam sistem peradilan pidana. Dengan pemaksanaan seperti itu, maka kita akan memandang keseluruhan penanganan suatu perkara untuk tujuan mewujudkan kebenaran dan keadilan menjadi suatu kegiatan yang condition sine qua non, dan kita sebut sebagai peradilan. 96 Lebih dari pada itu, peradilan yang objektif dan tidak memihak hendaknya dimaknai sebagai suatu asas disamping asas equality before the law yang bersifat universal. Karena adanya hak atas kesamaan dihadapan hukum pasti akan membawa pengaruh pada jalannya penegakan hukum dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system) yang objektif tanpa diskriminasi. Oleh karena itu, setiap proses yang dilalui dalam penegakan hukum, bagi setiap penegak hukum
96

Paingot Rambe Manalu, Coky T.N. Sinambela dan Laurensius Rambe Manalu, op.cit, hlm. 12.

Universitas Sumatera Utara

baik yang langsung sebagai pelaku kekuasaan kehakiman (pengadilan), maupun pejabat yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman seperti polri dan jaksa, maupun Advokat yang lazim disebut sebagai Catur Wangsa Penegak Hukum, wajib melakukan tugas dan wewenangnya dengan hukum yang berlaku, terikat pada kode etik jabatannya, mengedepankan kebenaran dan keadilan. Hal ini dapat dicapai apabila tiap-tiap unsur didalam penegakan hukum memandang proses penyelesaian perkara pidana sebagai suatu rangkaian kegiatan sejak dari penyidikan, penuntutan, pemutusan perkara ditingkat lembaga pemasyarakatan. Konsep mana kita kenal dengan konsep Integrated Criminal Justice System. 97 3. Asas legalitas. Asas legalitas dengan tegas disebut dalam konsiderans KUHAP sebagaimana terdapat pada huruf a yang berbuyi: Bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta yang menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Dari isi konsiderans tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa: 98 a. Negara Republik Indonesia adalah Negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. b. Negara menjamin setiap warganegara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan. c. Setiap warganegara tanpa terkecuali wajib menjunjung hukum dan pemerintahan.
97 98

Ibid, hlm. 13. M. Yahya Harahap, op.cit, hlm. 36.

Universitas Sumatera Utara

Oleh karena itu, bahwa KUHAP sebagai hukum acara pidana adalah UndangUndang yang asas hukumnya berlandaskan asas legalitas. Pelaksanaan penerapan KUHAP harus bersandar pada titik tolak the rule of law. Semua tindakan penegak hukum harus: 99 a. Berdasarkan ketentuan hukum dan Undang-Undang. b. Menempatkan kepentingan hukum dan perundang-undangan diatas segalagalanya, sehingga terwujud suatu kehidupan masyarakat bangsa yang takluk dibawah supremasi hukum yang selaras dengan ketentuanketentuan perundang-undangan dan perasaan keadilan bangsa Indonesia. Jadi arti the rule of law dan supremasi hukum menguji dan meletakkan setiap tindakan penegakan hukum takluk dibawah ketentuan konstitusi, Undang-Undang dan rasa keadilan yang hidup ditengah-tengah keasadaran masyarakat. Memaksakan atau menegakkan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat bangsa lain tidak dapat disebut sebagai rule of law, bahkan mungkin merupakan penindasan. Dalam konteks hukum pidana, asas legalitas mempunyai makna bahwa suatu perbuatan hanya merupakan tindak pidana jika ditentukan terlebih dahulu dalam suatu ketentuan perundang-undangan. 100 Dalam bahasa latin ada pepatah yang sama maksudnya dan yang berbunyi: nullum delictum, nulla puna sine praevia lege punali (tiada kejahatan, tiada hukuman pidana tanpa undang-undang hukum pidana terlebih dahulu). Dengan demikian, dapat dikemukakan 2 (dua) asas dari hukun pidana, yaitu: pertama: bahwa sanksi pidana (straf-sanctie) hanya dapat

99

100

Ibid. Perhatikan Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Universitas Sumatera Utara

ditentukan dengan undang-undang. Kedua: bahwa ketentuan sanksi pidana tersebut tidak boleh berlaku surut (geen terugwerkende kracht). 101 Oleh karena itu, dengan asas legalitas yang berlandaskan rule of law dan supremasi hukum, jajaran aparat penegak hukum tidak dibenarkan: 102 a. Bertindak diluar ketentuan hukum, atau undue to law maupun undue process. b. Bertindak sewenang-wenang atau abuse of power. c. Setiap orang, baik ia tersangka ataupun terdakwa mempunyai kedudukan sama sederajat dihadapan hukum atau equality before the law. d. Mempunyai kedudukan perlindungan ysama oleh hukum atau equality protection of the law. e. Mendapat perlakuan keadilan yang sama dibawah hukum atau equality justice under the law. Berdasarkan uraian tersebut diatas, sebagaimana diketahui bahwa yang bertolak belakang dengan asas legalitas adalah asas oportunitas. 103 Dengan demikian perkara tersebut dideponir (dikesampingkan). Cara penyampingan yang seperti inilah yang disebut dengan asas oportunitas. Dengan demikian, bagaimana halnya dengan KUHAP? Apakah disamping asas legalitas masih diperkenankan ruang gerak bagi asas oportunitas. Hadari Djenawi Tahir mengemukakan: 104 Didalam KUHAP nampaknya tidak dianut asas oportunitas lagi, yaitu ditiadakan penuntutan dengan alas an berdasarkan kepentingan umum
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, (Jakarta: PT. Eresco, 1981), hlm. 36. 102 M. Yahya Harahap, loc.cit. 103 Asas oportunitas atau opportuniteitsbeginsel adalah suatu asas untuk tidak menuntut terhadap suatu tindak pidana yang dilakukan seseorang berdasarkan kepentingan umum, hal ini merupakan hak dari kejaksaan dan asas ini dianut dalam KUHAP. J.C.T. Simorangkir, Rudy T. Erwin, dan J.T. Prasetyo, Kamus Hukum, (Jakarta: Aksara Baru, 1980), hlm. 118. 104 Hadari Djenawi Tahir, Pokok-Pokok Pikiran Dalam KUHAP, (Bandung: Alumni, 1981), hlm. 122.
101

Universitas Sumatera Utara

sebagaimana yang kita kenal sebagai kebiasaan selama ini, asas yang dianut tampaknya sudah bergeser kepada asas legalitas. Pendapat ini disimpulkan berdasarkan Pasal 140 ayat (2) KUHAP dihubungkan dengan Pasal 14, yang menentukan bahwa semua perkara yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh hukum, penuntut umum harus menuntutnya dimuka pengadilan, kecuali terdapat cukup bukti bahwa peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkaranya ditutup demi hukum. Sedangkan Pasal 14 huruf h hanya memberi wewenang kepada penuntut umum untuk menutup suatu perkara demi kepentingan hukum tapi bukan demi kepentingan umum. Namun demikian, apabila kita merujuk kepada Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang memberikan wewenang kepada Jaksa Agung untuk mendeponir/mengenyampingkan suatu perkara berdasarkan alasan kepentingan umum. 105 Dengan demikian apakah keadaan seperti ini tidak mengakibatkan pertentangan dan dualistis dalam pelaksanaan KUHAP? Satu segi mengakui dengan tegas asas legalitas, akan tetapi pada sisi lain asas legalitas tersebut menjadi kabur oleh kenyataan pengakuan KUHAP sendiri akan eksistensi asas oportunitas. Bukankan keadaan yang seperti ini menyesatkan kewibawaan KUHAP sendiri, serta adanya kemungkinan untuk mempergunakan alas an kepentingan umum sebagai kedok untuk

mengenyampingkan suatu perkara? Apalagi pengertian kepentingan umum sangat kabur dan mengambang, karena KUHAP atau Undang-Undang sendiri tidak

Perhatikan Pasal 35 huruf c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yang menyatakan bahwa salah satu wewenang Jaksa Agung adalah mengenyampingkan perkara demi kepentingan umum.

105

Universitas Sumatera Utara

merinci secara tegas dan jelas apa-apa yang masuk dalam kategori kepentingan umum. 106 Dalam konsiderans tegas dinyatakan bahwa KUHAP menganut asas legalitas, akan tetapi masih tetap mengakui asas oportunitas. Kenyataan ini mau tak mau harus diterima, dengan penjernihan. Ada baiknya ditempuh suatu perbandingan. Bukankan pelaskanaan the rule of law itu sendiripun mempunyai corak yang berbeda pada setiap Negara yang berpegang pada asas supremasi hukum? Tidak dijumpai dua Negara yang serupa sistemnya dalam menjalankan asas the rule of law. Masing-masing mempunyai variasi pertumbuhan mengikuti jalan

perkembangan yang berbeda sesuai dengan kehendak masyarakat yang bersangkutan. 107 Dalam hal ini Sunaryati Hartono, mengemukakan: Tidak ada dua masyarakat yang mengikuti jalan perkembangan yang persis sama, sekalipun perkembangan itu didasarkan pada asas perjuangan atau cita-cita yang sama. 108 Dengan demikian, perkembangan pembinaan hukum melalui KUHAP untuk periode yang sekarang, bangsa Indonesia melalui DPR telah telah

menggabungkan kedua asas tersebut dalam suatu jalinan yang titik beratnya cenderung lebih mengutamakan asas legalitas. Sedangkan asas oportunitas hanya merupkan pengecualian yang dapat dipergunakan secara terbatas sekali. Mungkin dalam sejarah penegakan hukum yang akan datang, bangsa Indonesia semakin memahami semakin adilnya mempergunakan asas legalitas secara mutlak dan
106 107

M. Yahya Harahap, op.cit, hlm. 37. Ibid. 108 Sunaryati Hartono, Apakah The Rule Of Law Itu, (Bandung: Alumni, 1996), hlm. 2.

Universitas Sumatera Utara

menyeluruh, tanpa diskriminasi dengan alas an kepentingan umum, dan segera melenyapkan praktek penegakan hukum yang berdasarkan oportunitas demi tegaknya equality before the law, equality protection on the law, and equality justice under the law. 109

C. Urgensi Pemberian Bantuan Hukum Oleh Advokat Terhadap Pelaku Tindak Pidana Terorisme. Satu hal yang sangat memprihatinkan bahwa Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme adalah Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tersebut mencoba mengatur dengan komprehesif delik pidana, proses hukum dan hukuman pidana, namun sama sekali tidak mengatur dan memperhatikan hak-hak Tersangka/Terdakwa. Ketiadaan aturan ini entah dengan disengaja karena dipandang sudah cukup dengan merujuk pada ketentuan hukum acara di KUHAP atau memang (sekali lagi) membuktikan bahwa Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme ini bias kepentingan untuk memperkuat kewenangan dan posisi politik negara.. Banyak dari mekanisme dan prosedur dalam Undang-Undang ini yang tidak memadai jika mengandalkan KUHAP, antara lain kewenangan aparat negara yang begitu luas sehingga

109

M. Yahya Harahap, op.cit, hlm. 38.

Universitas Sumatera Utara

memungkinkan tersangka pelaku tindak pidana terorisme akan kehilangan hakhaknya. 110 Dalam hal ini Pasal 2 KUHAP secara jelas menyebutkan bahwa Undangundang ini berlaku untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam lingkup peradilan umum pada semua tingkat peradilan. Sementara itu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pada konsideran menimbang point e menyatakan, bahwa peraturan perundang-undangan yang berlaku sampai saat ini belum secara komprehensif dan memadai untuk memberantas tindak pidana terorisme. 111 Sementara pada penjelasan dinyatakan bahwa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme merupakan ketentuan khusus dan spesifik karena memuat ketentuan ketentuan baru yang tidak terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang ada, dan menyimpang dari ketentuan umum sebagaimana dimuat dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Pernyataan di atas bisa mengandung interpretasi bahwa Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme adalah perangkat khusus dan komprehensif, termasuk perihal pengaturan hak-hak Tersangka/Terdakwa karena tidak secara eksplisit menyatakan acuannya pada KUHAP, seperti misalanya UU No 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM yang secara tegas menyebutkan pada pasal 10
Lihat Laporan Kontras dan LPSHAM Palu ke Asian Human Rights Commission (AHRC), http://indonesia.ahrchk.net/news/maifile.php/bahasa/11/?print=yes. Diakses pada tanggal 22 April 2011. 111 Perhatikan Konsiderans Menimbang huruf e Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
110

Universitas Sumatera Utara

bahwa: Dalam hal tidak ditentukan lain dalam Undang-undang ini, hukum acara atas perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan berdasarkan ketentuan hukum acara pidana. 1. Pemberian bantuan hukum oleh Advokat terhadap pelaku tindak pidana terorisme kewajiban Advokat untuk menegakkan keadilan. Pembukaan Kode Etik Advokat Indonesia (KEAI) menyatakan bahwa Advokat adalah suatu profesi terhormat (officium nobile). Kata officium nobile mengandung arti adanya kewajiban yang mulia atau yang terpandang dalam melaksanakan pekerjaan mereka. Sama halnya dengan ungkapan yang kita kenal noblesse oblige, yaitu kewajiban perilaku yang terhormat (honorable), murah-hati (generous), dan bertanggung jawab (responsible) yang dimiliki oleh mereka yang ingin dimuliakan. Hal ini berarti bahwa Advokat tidak saja harus berperilaku jujur dan bermoral tinggi, tetapi harus juga mendapat kepercayaan publik, bahwa Advokat tersebut akan selalu berperilaku demikian. 112 Dengan diangkatnya seseorang menjadi Advokat, maka ia telah diberi suatu kewajiban mulia melaksanakan pekerjaan terhormat termasuk memberikan bantuan hukum terhadap pelaku tindak pidana terorisme, dengan hak eksklusif, yaitu: 113 a. Menyatakan dirinya kepada publik bahwa ia adalah seorang Advokat.

112

Forum Solidaritas LKBH Kampus, Menjamin Hak Atas Bantuan Hukum Masyarakat Marginal,

Position Paper RUU Bantuan Hukum dan Peran LKBH Kampus, (Jakarta: The Indonesian Legal Resource Center: 2010), hlm. 30.
113

Ibid, hlm. 31.

Universitas Sumatera Utara

b. Dengan demikian berhak memberikan nasihat hukum dan mewakili kliennya, dan menghadap di muka sidang pengadilan dalam proses perkara kliennya. Akan tetapi, hak dan kewenangan istimewa ini juga menimbulkan kewajiban Advokat kepada masyarakat, yaitu: 114 a. Menjaga agar mereka yang menjadi anggota profesi Advokat selalu mempunyai kompetensi pengetahuan profesi dan mempunyai integritas melaksanakan profesi yang terhormat tersebut. b. Bersedia menyingkirkan mereka yang terbukti tidak layak menjalankan profesi. Dalam hal kewajiban Advokat untuk memberikan bantuan hukum terhadap pelaku tindak pidana terorisme adalah demi terciptanya keadilan. 115 Pemberian bantuan hukum terhadap pelaku tindak pidana terorisme merupakan bentuk pengabdian Advokat dalam menjalankan profesinya sebagai salah satu unsur aparat penegak hukum. Persyaratan dan tatacara pemberian bantuan hukum diatur dalam Peraturan Pemerintah No.38/2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum. Kemudian untuk mengimplementasikan UU Advokat dan Peraturan Pemerintah Tentang Bantuan Hukum, Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) membentuk Pusat Bantuan Hukum (PBH) dengan SK No.016/PERADI/DPN/V/2009 pada tanggal 10 Maret 2009. PBH dibentuk

Ibid. Perhatikan Pasal 3 huruf c Kode Etik Advokat Indonesia, yang menyatakan bahwa Advokat dalam menjalankan tugasnya tidak bertujuan semata-mata untuk memperoleh imbalan materi tetapi lebih mengutamakan tegaknya hukum, kebenaran, dan keadilan.
115

114

Universitas Sumatera Utara

sebagai wujud komitmen PERADI untuk memenuhi tanggung jawab sosial organisasi kepada tiga penerima manfaat utama, yaitu: masyarakat, Advokat dan negara, melalui penyediaan akses terhadap pelayanan berkualitas bagi masyarakat, peningkatan kapasitas dan kapabilitas Advokat; dan partisipasi aktif dalam pembangunan hukum, keadilan dan kesejahteraan. Berdasarkan uraian tersebut diatas, bantuan hukum sebagai bagian dari jalan untuk menuju keadilan (acces to justice), maka Roger Smith mengidentifikasi ada 9 (sembilan) prinsip access to justice, yaitu: 116 1. Akses keadilan merupakan hak konsitusional setiap warga Negara. 2. Kepentingan warga negara harus lebih besar dibandingkan dengan kepentingan penyedia jasa bantuan hukum, dalam menentukan kebijakan yang berkaitan dengan akses keadilan. 3. Tujuannya tidak hanya keadilan prosedural, tetapi juga keadilan substantif. 4. Setiap warga negara membutuhkan bantuan hukum untuk kasus perdata maupun pidana. 5. Akses menuju keadilan mensyaratkan untuk melakukan setiap tindakan untuk mencapai pemenuhan tujuannya termasuk reformasi hukum formil dan materil, pembaruan pendidikan, informasi dan pelayanan hukum. 6. Kebijakan atas pelayanan hukum dengan memperkenalkan bantuan hukum yang dibiayai oleh negara (publicly funded) atau yang disediakan oleh Advokat. 7. Keterbatasan sumber daya (resource) atas bantuan hukum bukan merupakan hal yang mengakhiri akses menuju keadilan, tetapi merupakan pembatasan cara pemberian bantuan hukum. 8. Bantuan hukum harus efektif, terlalu banyak persyaratan untuk mendapatkan bantuan hukum hal yang tidak effektif. 9. Penggunaan teknologi yang potensial membantu bantuan hukum seperti teknologi informasi dll;

Roger Smith sebagaimana dikutip Uli Parulian Sihombing (ed) et all dalam, Mengelola Legal Clinic, Panduan Membentuk dan Mengembangkan Kampus Untuk Memperkuat Akses Keadilan, (Jakarta: ILRC, 2009), hlm. 77.

116

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan 9 (sembilan) prinsip acces to justice sebagaimana dipaparkan diatas dalam kaitannya dengan pemberian bantuan hukum oleh Advokat terhadap Pelaku Tindak Pidana Terorisme adalah kewajiban Advokat untuk menegakkan keadilan, dapat disimpulkan bahwa akses keadilan merupakan hak konstitusional setiap warga negara. Oleh karena itu profesi Advokat sebagai officium nobile mempunyai kewajiban untuk memberikan akses keadilan tersebut sebagai hak konstitusional masyarakat, termasuk juga pelaku tindak pidana terorisme sebagai warga masyarakat. Selanjutnya Pasal 14 ayat (3) huruf d Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR) meletakan hak atas bantuan hukum. Istilah yang digunakan ICCPR adalah hak atas Advokat yang ditunjuk oleh negara (right to assigned-counsel). Hak ini sama dengan hak-hak yang berkaitan dengan keadilan prosedural lainnya seperti hak atas independensi peradilan dan imparsialitas hakim. Dalam konteks ini, hak bantuan hukum dititik beratkan pada hak-hak tersangka/terdakwa termasuk juga hak-hak tersangka/terdakwa pelaku tindak pidana terorisme dalam proses peradilan yang adil dan tidak memihak (fair trial). Pemberian bantuan hukum terhadap pelaku tindak pidana terorisme menjadi penting terkait dengan prinsip equality of arms (persamaan kekuasaan) antara pihak tersangka/terdakwa pelaku tindak pidana terorisme dan penuntut umum. Persamaan kekuasaan ini mesti ditaati pada seluruh persidangan, berarti bahwa kedua belah pihak diperlakukan dalam suatu keadaan yang menjamin posisi mereka yang sama secara prosedur

Universitas Sumatera Utara

selama jalannya suatu peradilan. Prinsip ini didasarkan pada keadaan tersangka/terdakwa pelaku tindak pidana terorisme yang sangat tidak seimbang menghadapi negara. Asas ini menuntut adanya hak bantuan hukum, melalui penyediaan bantuan hukum terdakwa/tersangka pelaku tindak pidana terorisme dapat menyeimbangkan posisinya berhadapan dengan negara. Dengan merujuk pada sembilan prinsip akses keadilan dan pengertian akses keadilan sebagai kemampuan masayarakat untuk mendapatkan pemulihan hak yang dilanggar melalui sarana formal dan non formal dan disesuaikan dengan standar hak asasi manusia, maka hak bantuan hukum tidak dapat dibatasi pada hak

tersangka/terdakwa saja, melainkan meliputi hak setiap orang baik dalam kapasitasnya sebagai tersangka /terdakwa/ saksi/ korban/penggugat/tergugat untuk mendapatkan pemulihan hak-hak dasarnya. 117 Berdasarkan uraian tersebut diatas, nampak bahwa tujuan bantuan hukum adalah demi terciptanya keadilan (acces to justice), hal ini apabila dikaitkan dengan pembicaraan tentang bantuan hukum, maka tidak terlepas dari hak asasi manusia dan negara hukum. Dalam konteks Indonesia sebagai negara hukum menjadi penting artinya manakala kita mengingat bahwa dalam bangunan negara hukum itu terlekat ciri-ciri yang mendasar, yaitu: 118 1. Pengakuan dan perlindungan atas hak-hak asasi manusia yang mengandung persamaan dalam bidang hukum, politik, sosial, kultural, dan pendidikan.
Abdurrahman Saleh, Aspek-Aspek Bantuan Hukum, (Jakarta: 2009), hlm. 20. Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut Sistem Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta: PT. Gramedia, 1983), hlm. 27.
118 117

Universitas Sumatera Utara

2. Peradilan yang bebas dan tidak memihak, tidak dipengaruhi oleh sesuatu kekuasaan lain apapun. 3. Legalitas dalam arti hukum dalam semua bentuknya.

2.

Pemberian bantuan hukum oleh Advokat terhadap pelaku tindak pidana terorisme penegakan hak asasi manusia. Pemahaman akan hak-hak asasi manusia dimaksudkan adalah hak-hak yang dimiliki manusia bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat, jadi bukan berdasarkan hukum positif yang berlaku, melainkan berdasarkan martabatnya sebagai manusia. Manusia memilikinya karena ia manusia yang dalam pengertian ini juga dapat dipahami bahwa pelaku tindak pidana terorisme juga adalah manusia. Dalam paham hak asasi manusia termasuk bahwa hak itu tidak dapat dihilangkan atau dinyatakan tidak berlaku oleh negara. Melalui hak asasi tuntutan moral yang prapositif dapat direalisasikan dalam hukum positif. Disatu pihak hak-hak asasi manusia mengungkapkan tuntutan-tuntutan dasar martabat manusia. Tetapi dilain pihak, karena tuntutan-tuntutan itu dirumuskan sebagai hak atau kewajiban yang konkret dan operasional, maka tuntutan-tuntutan itu dapat dimasukkan kedalam hukum positif sebagai norma-norma dasar dalam arti bahwa semua norma hukum lainnya tidak boleh bertentangan dengan mereka. 119

Franz Magnis Suseno, Etika Politik, Prinsip-Prinsip Moral Kenegaraan Modern, (Jakarta: PT. Gramedia, 1988), hlm. 121.

119

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka prinsip persamaan dihadapan hukum dan pernyataan bahwa Indonesia adalah negara hukum 120 menunjukkan bahwa hak untuk mendapatkan bantuan hukum adalah hak konstitusional (hak asasi). Dalam negara hukum (rechtstaat) negara mengakui dan melindungi hak asasi manusia setiap individu, sehingga semua orang memiliki hak untuk diperlakukan sama di hadapan hukum (equality before the law). Persamaan di hadapan hukum harus diimbangi oleh persamaan perlakuan (equal treatment). Bantuan hukum oleh Advokat terhadap pelaku tindak pidana terorisme merupakan hak asasi manusia yang mempunyai hubungan dengan

konstitusionalisme. 121 Dalam Undang-Undang Dasar 1945 jaminan negara untuk menyelenggarakan bantuan hukum diatur dalam Bab tersendiri, yaitu Bab XA Tentang Hak Asasi Manusia. Berikut beberapa pasal dari UUD 1945 yang berkaitan dengan jaminan negara terhadap penyelenggaraan bantuan hukum: b. Pasal 28 D. Ayat (1) : Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama didepan hukum. c. Pasal 28 H. Ayat (2) : Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. d. Pasal 28 I. Ayat (4) : Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi
Perhatikan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Konstitusionalisme adalah gagasan bahwa pemerintah merupakan suatu kumpulan aktivitas yang diselenggarakan atas nama rakyat, tetapi yang tunduk kepada beberapa pembatasan yang dimaksud untuk memberi jaminan bahwa kekuasaan yang diperlukan untuk pemerintahan itu tidak disalahgunakan oleh mereka yang mendapat tugas untuk memerintah, pembatasan yang dimaksud termaktub dalam undang-undang dasar. Perhatikan Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Gramedia, 1977), hlm. 57.
121 120

Universitas Sumatera Utara

Ayat

manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. (5) : Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.

Perumusan mengenai hak untuk mendapatkan bantuan hukum dalam kaitannya dengan hak asasi manusia dapat dibedakan menjadi 4 (empat) bahagian, yaitu: 122 1. Hak untuk membela diri secara pribadi atau untuk dibantu oleh penasehat hukum menurut pilihannya sendiri. 2. Hak untuk bantuan hukum secara cuma-cuma dalam hal tidak mampu untuk membayar, untuk itu bila diperlukan demi kepentingan hukum/keadilan. 3. Hak untuk berkomunikasi dengan penasehat hukum. 4. Hak untuk diberitahu mengenai haknya untuk mendapatkan bantuan hukum. Untuk melaksanakan penegakan hak asasi manusia sebagai mana dikemukakan sebelumnya, pemberian bantuan hukum oleh Advokat terhadap pelaku tindak pidana itu sendiri secara umum dapat dibagi kedalam 3 (tiga) kategori, yaitu: 123 3. Legal aid, yang berarti pemberian jasa dibidang hukum kepada seseorang yangt terlibat kedalam sautu kasus atau perkara: a. Pemberian jasa bantuan hukum dilakukan dengan cuma-cuma. b. Bantuan jasa hukum dalam legal aid lebih dikhususkan bagi yang tidak mampu dalam lapisan masyarakat miskin.

122 123

Hart, Mr. A.C. t dan Abdul Hakim Garuda Nusantara, op.cit, hlm. 23. M. Yahya Harahap, op.cit, hlm. 344.

Universitas Sumatera Utara

c. Dengan demikian, motivasi utama dalam konsep legal aid adalah menegakkan hukum dengan jalan membela kepentingan dan hak asasi rakyat kecil yang tidak mampu dan buta hukum. 4. Legal assistance, yang mengandung pengertian lebih luas dari legal aid. Karena pada legal assistance disamping mengandung makna dan tujuan memberi jasa bantuan hukum, lebih dekat dengan pengertian yang kita kenal dengan profesi Advokat, yang memberi bantuan: a. Baik kepada mereka yang mampu membayar prestasi. b. Maupun pemberian bantuan kepada rakyat yang miskin secara cumacuma. 5. Legal service, yang berarti pelayanan hukum. Pada umumnya kebanyakan orang lebih cenderung memberi pengertian yang lebih luas kepada konsep dan makna legal service dibanding dengan konsep dan tujuan legal aid atau legal assistance, karena pada konsep dan ide legal service terkandung makna dan tujuan: a. Memberi bantuan kepada anggota masyarakat yang operasionalnya bertujuan menghapuskan kenyataan-kenyataan diskriminatif dalam

penegakan dan pemberian jasa bantuan antara rakyat miskin yang berpenghasilan kecil dengan masyarakat kaya yang menguasai sumber dana dan posisi kekuasaan dan dengan pelayanan hukum yang diberikan kepada anggota masyarakat yang memerlukan, dapat diwujudkan kebenaran hukum itu sendiri oleh aparat penegak hukum dengan jalan

Universitas Sumatera Utara

menghormati setiap hak yang dibenarkan hukum bagi setiap anggota masyarakat tanpa membedakan yang kaya dan yang miskin. b. Disamping untuk menegakkan hukum dan penghormatan kepada hak yang diberikan hukum kepada setiap orang (hak asasi), legal service didalam operadionalnya lebih cenderung untuk menyelesaikan setiap

persengketaan dengan jalan menempuh jalan perdamaian. Berdasarkan pemaparan tentang pemberian bantuan hukum oleh Advokat terhadap pelaku tindak pidana secara umum sebagaimana dikemukakan diatas, maka penulis berpendapat bahwa bantuan hukum yang dapat diberikan oleh Advokat terhadap pelaku tindak pidana terorisme adalah bantuan hukum dalam bentuk legal aid, karena motivasi utama dalam konsep legal aid adalah menegakkan hukum dengan jalan membela kepentingan dan hak asasi rakyat kecil yang tidak mampu dan buta hukum. Hal tersebut dapat diperhatikan dari makna bantuan hukum itu sendiri, yaitu jasa hukum yang diberikan oleh Advokat secara cuma-cuma kepada klien yang tidak mampu. 124

3. Gambaran Perlakuan Aparat Penegak Hukum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Terorisme. Akhir-akhir ini kita dapat memperoleh berita dari media massa dan menyaksikan di media elektronik tentang penangkapan dan pemberantasan terorisme dan penembakan langsung oleh Pihak Kepolisian kepada para gembong terorisme,

124

Perhatikan Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat.

Universitas Sumatera Utara

terakhir berita tentang perburuan teroris di Aceh Besar dan penyergapan teroris di Pamulang dengan penembakan hingga tewas terhadap Dulmatin dan pengawalnya sebagai salah satu tokoh teroris yang paling diburu dunia internasional terutama oleh Amerika Serikat dan negara lainnya serta Pemerintah Indonesia. Tindakan sewenang-wenang yang dilakukan Polri tidak hanya menembak mati orang-orang yang diduga terlibat tindak pidana terorisme, akan tetapi juga terhadap orang-orang yang ditangkap secara hidup-hidup, hak hukum mereka dan keluarga juga tidak diindahkan. Bahkan cenderung dihalang-halangi untuk memperoleh penasehat hukum sesuai dengan keinginannya. 125 Dalam diskusi yang diselenggarakan Forum Kajian Sosial Kemasyarakatan di Jakarta pada 26 Agustus 2009, anggota Komnas HAM, Saharuddin Daming menyatakan: Polisi dalam menangani kasus terorisme sudah melakukan pelanggaran HAM berat."Kasus-kasus terorisme yang terjadi mulai dari Jatiasih, Temanggung, dan penangkapan terhadap dai Jamaah Tabligh yang dilakukan polisi, sudah tergolong pelanggaran HAM berat. Khusus kasus penembakan polisi terhadap dugaan pelaku teror di Jatiasih dan Temanggung, masih menurutnya, sudah tergolong ekstra judisial killing yang bisa dikategorikan pelanggaran HAM berat. Bagaimana mungkin sekitar 600 polisi melakukan pengepungan dan pembantaian terhadap satu orang yang belum jelas status hukumnya. 126 Berdasarkan uraian tersebut diatas, mengingat perlakuan pihak kepolisian yang dilakukan terhadap pelaku atau orang yang diduga melakukan tindak pidana terorisme, maka kehadiran Advokat untuk memberikan bantuan hukum terhadap
http:// www.t ribunnews.com/ 2010/ 05/ 26/tpm-beberkan-pelanggaran-ham-yang-didugadilakukan-polri. Diakses Pada Tanggal 09 September 2011. 126 http:// www .eramuslim. com / berita / nasional/ komnas-ham-tentang-terorisme-polisimelakukanpelanggaran-ham-berat.htm. Diakses Pada Tanggal 09 September 2011.
125

Universitas Sumatera Utara

pelaku tindak pidana terorisme sangat diperlukan guna penegakan keadilan dan pemenuhan hak asasi manusia pelaku tindak pidana terorisme tersebut yang merupakan hak konstitusional setiap warga negara tanpa terkecuali.

Universitas Sumatera Utara

You might also like