You are on page 1of 4

OVERVIEW

PENDIDIKAN ISLAM DAN


KESETARAAN GENDER, KEDUDUKAN DAN PERAN WANITA MUSLIM DALAM PENDIDIKAN, LEMBAGA PENDIDIKAN KHUSUS WANITA, PENDIDIKAN COEDUCATION, LEARNING SOCIETY
Diajukan untuk melengkapi tugas pada mata kuliah Analisis Kebijakan Pendidikan Islam Dosen Pengampu Prof. Dr. H. Fachruddin MA Oleh : Zulkarnain NIM 11 PEDI 2241 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM KONSENTRASI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM

PROGRAM PASCA SARJANA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA MEDAN 2012

PENDIDIKAN ISLAM DAN KESETARAAN GENDER, KEDUDUKAN DAN PERAN WANITA MUSLIM DALAM PENDIDIKAN, LEMBAGA PENDIDIKAN KHUSUS WANITA, PENDIDIKAN CO-EDUCATION, LEARNING SOCIETY A. Pendidikan Islam dan Kesetaraan Gender Fenomena paling menarik dalam konteks wacana gender di dalam sejarah Islam, adalah munculnya tokoh perempuan sebagai faktor pendukung utama dalam proses risalah. Adalah Siti Khadijah istri Nabi, kedudukannya teramat penting dalam sejarah Islam atas peran vitalnya dalam proses kenabian Muhammad. Kesaudagaran yang membuatnya sangat mandiri memungkinkan mampu mengatur kehidupan kontemplatik suaminya selama proses menjelang pewahyuan. Dalam perspektif ini Khadijah layak bahkan seharusnya menjadi ikon dari seluruh isu kesetaraan gender dalam islam. Otonomisasi yang diberikan oleh Islam terhadap perempuan, tentu didasarkan atas kepercayaan terhadap kapabilitas dan kompetensi perempuan yang sama dengan kaum laki-laki dalam segala bidang termasuk dalam persoalan yang berkaitan dengan agama. Otonomisasi atau kemandirian ini menghantarkan kaum perempuan duduk sederajat dengan kaum laki-laki dalam hal yang paling mendasar dalam periode pembinaan agama, yaitu keterlibatan dalam menerima dan menyampaikan teks wahyu baik dalam bentuk kitab suci maupun sebagai Hadits. Pelibatan perempuan dalam seluruh proses pemeliharaan dan pengembangan teks masa itu melahirkan sosok-sosok wanita cerdas seperti Aisyah dan Hafsah, yang mampu menikmati prestis serta pengaruh di kedua masa kekhalifahan awal (Abu Bakar dan Umar). Umar ibn Khattab dalam banyak hal lebih mempercayai anak perempuannya dari pada anak laki-lakinya, dan Abu Bakar mempercayakan pada Aisyah untuk mengurus administrasi properti dan bantuan-bantuan publik (shadaqah). Bahkan khalifah Umar memerintahkan pemindahan bahan mushaf Al Quran dari Abu Bakar kepada Hafsah. (Leila Ahmed. 1992: 99)
.

B. Kedudukan dan Peran Wanita Muslim dalam Pendidikan Menurut Haiffa, pada masa awal Islam perempuan memperoleh kesempatan mempelajari berbagai cabang ilmu pengetahuan, mereka mendatangi majlis belajar bersamaan dengan kaum laki-laki-laki, dan berpartisipasi dalam seluruh aktifitas budaya bersandingan dengan kaum laki-laki-laki bahkan berlomba untuk lebih ungul dalam memperoleh dorongan dan penghargaan. Fakta sejarah masa awal Islam tentang hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya para wanita yang berkiprah dan berprestasi dalam berbagai aktifitas. Hingga akhir periode ini, antara kaum perempuan dengan laki-laki keduanya berperan sebagai subjek pendidikan. Masing-masing sebagai pendidik dan peserta didik, kesempatan belajar yang sama karena tanggungjawab yang sama. Hal tersebut terjadi karena Nabi tidak memecah-mecah persoalan ke-ummatan kepada perkara keagamaan dan keduniaan, perkara sosial dan individual, perkara perempuan dan kelelakian. Pembedaan tentu ada tetapi dalam batas-batas kewajaran tanpa menghilangkan aspek kebebasan asasi yang padanya melekat tanggungjawab asasi individu maupun sosial. Kedua jenis kelamin muslim ini memiliki kesempatan yang

sama termasuk dalam dalam hal seluruh otoritas keagamaan kecuali dalam peran kenabian dan kekhalifahan itu saja. Pada periode ini, tidak terdapat pembatasan terhadap bidang keagamaan yang boleh dipelajari dan dimiliki otoritasnya oleh kaum perempuan, termasuk dalam bidang hukum Islam (fiqh). Bidang studi keagamaan (merupakan subject favorit bagi wanita pada masa awal Islam) sehingga melahirkan para tokoh wanita di bidang hukum terutama Aisyah istri Nabi menjadi sarjana pertama pada masanya. Dia sangat berpengaruh besar dalam tahap pembentukan awal struktur hukum Islam . sehingga memiliki otoritas yang besar dalam jurisprudensi Islam. Nafisah keponakan Ali yang juga menjadi ahli hukum terkemuka, dimana imam Syafii mengikuti pengajaran dan pengajiannya. Shuhda yang ahli dalam ilmu Hadits, yang diklaim sebagai ilmu khusus bagi kaum lelaki. Wanita-wanita yang terkenal dalam perawi hadits lainnya adalah Karimah Al-Marwaziyah dan Sayyidah Al-Wuzara. Ibnu Abi Ushaibiah menyebutkan dalam bukunya Thabaqatul Athibba dua orang wanita yang bekerja sebagai dokter dan mereka mengobati wanita-wanita istana Khalifah al-Mansur di Andalus. Diantara mereka adalah Zainab, seorang dokter mata yang terkenal dari Bani Uwad. C. Lembaga Pendidikan Khusus Wanita Para sahabiyah pernah mengadu kepada Rasul saw karena merasa tidak mendapatkan kesempatan yang sama dengan para sahabat dalam mendapatkan penjelasan agama. Sebab Rasul saw ketika menyampaikan ajaran Islam dalam majlis, hanya dihadiri oleh kaum laki-laki. Maka para wanita itu meminta kepada Rasul saw agar menyediakan satu hari khusus untuk memberi pelajaran kepada kaum wanita tanpa kehadiran laki-laki. Banyak hukum agama yang terkait dengan seluk beluk kewanitaan yang tidak mungkin dibicarakan blak-blakan. Oleh sebab itu perlu adanya sebuah lembaga khusus untuk anak-anak perempuan yang mempelajari hukum-hukum agama Islam. Rumah: Ini jelas merupakan tempat paling subur dan paling efektif yang telah ditetapkan Allah. keluarga. Ibu dan ayah bertanggung jawab mendidik dan memelihara anak-anak mereka baik dari aspek fisik moral, psikologis, sosial, dan eksternal satu sama lain dan anak-anak mereka. Sekolah Islam: Kegiatan pendidikan dan kurikulum dapat digunakan untuk bimbingan siswa perempuan serta guru perempuan dan staf. Masjid: adalah tempat yang cocok untuk beberapa kegiatan perempuan seperti kelompok belajar Quran dan pelatihan lainnya. Selain itu terdapat tempat-tempat lain seperti Rumah Sakit, Lembaga Kesejahteraan Sosial, dan Sekolah Tinggi atau Universitas Perempuan. Di Indonesia, Cikal bakal Diniyah Puteri bermula dengan dibentuknya Madrasah li Banat (sekolah untuk putri) pada tanggal 1 November 1923. Selama dua tahun pertama cara belajarnya menggunakan sistem halaqah seperti yang diterapkan di Masjidil Haram. Lama kelamaan sekolah ini dapat memiliki gedung sendiri. Sejak 1962, Al-Azhar membuka pintu bagi kaum wanita untuk belajar di Universitas Al-Azhar. Dr. Zainab Rashid ialah pelopor yang membuka Kulliyat alBanat (Fakultas Wanita/Al-Azhar Womans College) yang berlokasi di gedung baru yang terpisah dari lokasi kampus utama Al-Azhar dengan jumlah mahasiswi lebih dari 3000 orang dari berbagai penjuru dunia.

D. Pendidikan Co-Education Deklarasi Universal tentang Hak-Hak Azasi Manusia menegaskan azas mengenai tidak dapat diterimanya diskriminasi dan menyatakan bahwa semua manusia dilahirkan bebas dan sama dalam martabat dan hak, dan bahwa tiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan yang dimuat di dalamnya, tanpa perbedaan apapun, termasuk perbedaan berdasarkan jenis kelamin. Negara-negara peserta wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan guna menjamin bagi mereka hak-hak yang sama dengan laki-laki di lapangan pendidikan, khususnya guna menjamin persamaan antara laki-laki dan perempuan: (a) Persyaratan yang sama untuk bimbingan karir dan keahlian, untuk kesempatan mengikuti pendidikan dan memperoleh ijazah dalam lembaga-lembaga pendidikan segala tingkatan baik di daerah pedesaan maupun perkotaan. (b) Pengikutsertaan pada kurikulum yang sama, ujian yang sama, staf pengajar dengan standar kualifikasi yang sama, serta gedung dan peralatan sekolah yang berkualitas sama; (c) Penghapusan tiap konsep yang stereotip mengenai peranan laki-laki dan perempuan di segala tingkat dan dalam segala bentuk pendidikan dengan menganjurkan ko-edukasi dan lain-lain jenis; (d) Kesempatan yang sama untuk mengambil manfaat dari beasiswa dan lainlain dana pendidikan; (e) Kesempatan yang sama untuk ikut serta dalam program pendidikan yang berkelanjutan; (f) Pengurangan angka putus sekolah pelajar puteri dan penyelenggaraan program untuk gadis-gadis dan perempuan yang sebelum waktunya meninggalkan sekolah. (g) Kesempatan yang sama untuk berpartisipasi secara aktif dalam olahraga dan pendidikan jasmani; (h) Dapat memperoleh penerangan edukatif khusus untuk membantu meniamin kesehatan dan kesejahteraan keluarga, termasuk penerangan dan nasehat mengenal keluarga berencana. E. Learning Society Mengutif konsep paradigma learning yang digagas oleh UNESCO, ada empat visi pendidikan menuju abad ke-21, di antaranya; Pertama, learning to think (belajar berpikir). Ini berarti berorientasi pada pengetahuan logis dan rasional. Kedua, learning to do (belajar berbuat hidup). Aspek yang ingin dicapai dalam visi ini adalah keterampilan seorang anak didik dalam menyelesaikan problem kehidupan. Ketiga, learning to live together (belajar hidup bersama). Keempat, learning to be (belajar menjadi diri sendiri). (dalam Indra Djati Sidi, 2000:26). Visi yang digagas UNESCO merupakan visi pendidikan yang tentunya harus menjadi inspirasi pendidikan di Indonesia. Belajar bukan berarti menuntut pelajar harus pintar secara akademis, akan tetapi belajar dapat menumbuhkan jiwa kemandirian, berakhlak mulia, menumbuhkan watak kepribadian sehingga anak dapat memahami dan memecahkan persoalan hidupnya. Sudah saatnya belajar menjadi sebuah budaya positif yang menjadi tolak ukur kemajuan bagi bangsa Indonesia.

You might also like