You are on page 1of 36

KONSEP DASAR PENDIDIKAN Sumber: Presentasi Puskur pada Kegiatan Workshop TPK Propinsi Sulawesi Selatan tahun 2008

1. Akreditasi adalah kegiatan penilaian kelayakan program dan/atau satuan pendidikan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan. 2. Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Non Formal yang selanjutnya disebut BAN-PNF adalah badan evaluasi mandiri yang menetapkan kelayakan program dan/atau satuan pendidikan jalur pendidikan nonformal dengan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan. 3. Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi yang selanjutnya disebut BAN-PT adalah badan evaluasi mandiri yang menetapkan kelayakan program dan/atau satuan pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi dengan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan. 4. Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah yang selanjutnya disebut BAN-S/M adalah badan evaluasi mandiri yang menetapkan kelayakan program dan/atau satuan pendidikan jenjang pendidikan dasar dan menengah jalur formal dengan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan. 5. Badan Standar Nasional Pendidikan yang selanjutnya disebut BSNP adalah badan mandiri dan independen yang bertugas mengembangkan, memantau pelaksanaan, dan mengevaluasi standar nasional pendidikan; 6. Bahan ajar atau materi pembelajaran (instructional materials) secara garis besar terdiri dari pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang harus dipelajari siswa dalam rangka mencapai standar kompetensi yang telah ditentukan 7. Biaya operasi satuan pendidikan adalah bagian dari dana pendidikan yang diperlukan untuk membiayai kegiatan operasi satuan pendidikan agar dapat berlangsungnya kegiatan pendidikan yang sesuai standar nasional pendidikan secara teratur dan berkelanjutan. 8. Dewan pendidikan adalah lembaga mandiri yang beranggotakan berbagai unsur masyarakat yang peduli pendidikan. 9. Evaluasi pendidikan adalah kegiatan pengendalian, penjaminan, dan penetapan mutu pendidikan terhadap berbagai komponen pendidikan pada setiap jalur, jenjang, dan jenis pendidikan sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan. 10. Jalur pendidikan adalah wahana yang dilalui peserta didik untuk mengembangkan potensi diri dalam suatu proses pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan. 11. Jaringan Kurikulum merupakan suatu sistem kerja sama antara pusat dengan daerah, antardaerah, dan antar unsur di daerah dalam mengembangkan kurikulum yang sesuai dengan karakteristik, kebutuhan, dan perkembangan daerah. 12. Jenis pendidikan adalah kelompok yang didasarkan pada kekhususan tujuan pendidikan suatu satuan pendidikan. 13. Jenjang pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan yang dikembangkan. 14. Kegiatan Ekstra Kurikuler adalah kegiatan pendidikan di luar mata pelajaran dan pelayanan konseling untuk membantu pengembangan peserta didik sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, dan minat mereka melalui kegiatan yang secara khusus diselenggarakan oleh pendidik dan atau tenaga kependidikan yang berkemampuan dan berkewenangan di sekolah/madrasah.

15. Kerangka dasar kurikulum adalah rambu-rambu yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah ini untuk dijadikan pedoman dalam penyusunan kurikulum tingkat satuan pendidikan dan silabusnya pada setiap satuan pendidikan. 16. Komite sekolah/madrasah adalah lembaga mandiri yang beranggotakan orang tua/wali peserta didik, komunitas sekolah, serta tokoh masyarakat yang peduli pendidikan. 17. Konseling adalah pelayanan bantuan untuk peserta didik, baik secara perorangan maupun kelompok, agar mampu mandiri dan berkembang secara optimal, dalam bidang pengembangan kehidupan pribadi, kehidupan sosial, kemampuan belajar, dan perencanaan karir, melalui berbagai jenis layanan dan kegiatan pendukung, berdasarkan norma-norma yang berlaku. 18. Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. 19. Kurikulum tingkat satuan pendidikan adalah kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan. 20. Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan yang selanjutnya disebut LPMP adalah unit pelaksana teknis Departemen yang berkedudukan di provinsi dan bertugas untuk membantu Pemerintah Daerah dalam bentuk supervisi, bimbingan, arahan, saran, dan bantuan teknis kepada satuan pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan nonformal, dalam berbagai upaya penjaminan mutu satuan pendidikan untuk mencapai standar nasional pendidikan; 21. Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. 22. Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan. 23. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana dan proses pembelajaran pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. 24. Pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. 25. Pendidikan berbasis masyarakat adalah penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat. 26. Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. 27. Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan. 28. Pendidikan jarak jauh adalah pendidikan yang peserta didiknya terpisah dari pendidik dan pembelajarannya menggunakan berbagai sumber belajar melalui teknologi komunikasi, informasi, dan media lain.

29. Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. 30. Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. 31. Pengembangan diri merupakan kegiatan pendidikan di luar mata pelajaran sebagai bagian integral dari kurikulum sekolah/madrasah 32. Penilaian adalah proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik. 33. Penilaian kelas adalah suatu bentuk kegiatan guru yang terkait dengan pengambilan keputusan tentang pencapaian kompetensi atau hasil belajar peserta didik yang mengikuti proses pembelajaran tertentu 34. Penilaian kurikulum adalah suatu proses mempertimbangkan kualitas dan efektivitas program kurikulum 35. Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu. 36. Reliabilitas berkaitan dengan konsistensi (keajegan) hasil penilaian. Penilaian yang reliable (ajeg) memungkinkan perbandingan yang reliable dan menjamin konsistensi. Misal, guru menilai suatu proyek, penilaian akan reliabel jika hasil yang diperoleh itu cenderung sama bila proyek itu dilakukan lagi dengan kondisi yang relatif sama. Untuk menjamin penilaian yang reliabel petunjuk pelaksanaan proyek dan penSkorannya harus jelas. 37. Rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) adalah rencana yang menggambarkan prosedur dan pengorganisasian pembelajaran untuk mencapai satu kompetensi dasar yang ditetapkan dalam Standar Isi dan dijabarkan dalam silabus 38. Satuan pendidikan adalah kelompok layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan. 39. Silabus adalah rencana pembelajaran pada suatu dan/atau kelompok mata pelajaran/tema tertentu yang mencakup standar kompetensi, kompetensi dasar, materi pokok/pembelajaran, indikator, penilaian, alokasi waktu, dan sumber/bahan/alat belajar. 40. Sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. 41. Standar isi adalah ruang lingkup materi dan tingkat kompetensi yang dituangkan dalam kriteria tentang kompetensi tamatan, kompetensi bahan kajian, kompetensi mata pelajaran, dan silabus pembelajaran yang harus dipenuhi oleh peserta didik pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu. 42. Standar kompetensi lulusan adalah kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan. 43. Standar nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. 44. Standar pembiayaan adalah standar yang mengatur komponen dan besarnya biaya operasi satuan pendidikan yang berlaku selama satu tahun. 45. Standar pendidik dan tenaga kependidikan adalah kriteria pendidikan prajabatan dan kelayakan fisik maupun mental, serta pendidikan dalam jabatan.

46. Standar pengelolaan adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan kegiatan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan, kabupaten/kota, provinsi, atau nasional agar tercapai efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pendidikan. 47. Standar penilaian pendidikan adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan mekanisme, prosedur, dan instrumen penilaian hasil belajar peserta didik. 48. Standar proses adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran pada satu satuan pendidikan untuk mencapai standar kompetensi lulusan. 49. Standar sarana dan prasarana adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan kriteria minimal tentang ruang belajar, tempat berolahraga, tempat beribadah, perpustakaan, laboratorium, bengkel kerja, tempat bermain, tempat berkreasi dan berekreasi, serta sumber belajar lain, yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran, termasuk penggunaan teknologi informasi dan komunikasi. 50. Sumber daya pendidikan adalah segala sesuatu yang dipergunakan dalam penyelenggaraan pendidikan yang meliputi tenaga kependidikan, masyarakat, dana, sarana, dan prasarana. 51. Tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan. 52. Ujian adalah kegiatan yang dilakukan untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik sebagai pengakuan prestasi belajar dan/atau penyelesaian dari suatu satuan pendidikan. 53. Ulangan adalah proses yang dilakukan untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik secara berkelanjutan dalam proses pembelajaran, untuk memantau kemajuan dan perbaikan hasil belajar peserta didik . 54. Wajib belajar adalah program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh warga negara Indonesia atas tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah. 55. Validitas berarti menilai apa yang seharusnya dinilai dengan menggunakan alat yang sesuai untuk mengukur kompetensi. Dalam menyusun soal sebagai alat penilaian perlu memperhatikan kompetensi yang diukur, dan menggunakan bahasa yang tidak mengandung makna ganda. Misal, dalam pelajaran bahasa Indonesia, guru ingin menilai kompetensi berbicara. Bentuk penilaian valid jika menggunakan tes lisan. Jika menggunakan tes tertulis penilaian tidak valid.

Belakangan ini kita dibuat menangis dengan hampir runtuhnya karakter bangsa Indonesia. Mulai dari kasus korupsi yang sulit diberantas, kurang pekanya generasi muda terhadap lingkungan sekitar, sampai masalah kediplinan yang semakin payah. Sebagai seorang pendidik, tentu penulis tak akan berpangku tangan saja menghadapi kenyataan ini. Perlu kiranya kita menyatukan langkah untuk menanamkan kembali nilai-nilai dasar pendidikan karakter bangsa. Menurut penulis, ada 16 nilai-nilai Dasar Pendidikan Karakter bangsa yang dapat ditumbuhkan dan dikembangkan di sekolah-sekolah kita. Ke-16 nilai dasar itu dapat

diintegrasikan dalam berbagai kegiatan akademik dan kesiswaan. Dari sanalah kita dapat melakukan pembinaan peserta didik. Nilai-nilai dasar pendidikan karakter yang harus diajarkan adalah: 1. Bertakwa (religious) Para guru harus mampu mengarahkan anak didiknya menjadi manusia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Mampu melaksanakan perintah-Nya, dan mampu pula menjauhkan segala larangan-Nya. Orang yang bertakwa akan sadar-sesadarnya bahwa dirinya hanya hamba Tuhan yang harus bertanggungjawab dengan apa yang telah dilakukannya di dunia. Kegiatan seperti tadarus dan sholat berjamaah adalah merupakan contoh dari kegiatan meningkatkan keimanan dan ketakwaan peserta didik. 2. Bertanggung jawab (responsible) Para guru harus mampu mengajak para peserta didiknya untuk menjadi manusia yang bertanggungjawab. Mampu mempertanggungjawabkan apa yang telah dilakukannya dan berani menanggung segala resiko dari apa yang telah diperbuatnya. Rasa tanggung jawab ini harus ada dalam diri para peserta didik kita. Kegiatan seperti pentas seni adalah merupakan salah satu bentuk dimana siswa atau peserta didik diberi tanggung jawab dalam mengelola sebuah kegiatan seni. 3. Berdisiplin (dicipline) Para guru harus mampu menamkan disiplin yang tinggi kepada para peserta didiknya. Kedisiplinan harus dimulai pada saat masuk sekolah. Budaya tepat waktu harus ditegakkan. Siapa yang terlambat datang ke sekolah harus terkena sanksi atau hukuman sesuai dengan peraturan tata tertib yang berlakuk di sekolah. Sioswa harus diajarkan disiplin, dengan demikian dia kan terbiasa disiplin dalam kehidupannya. Contoh yang paling mudaha adalah tepat waktu. Siswa harus dididik untuk mampu tepat waktu. 4. Jujur (honest) Kejujuran saat ini merupakan hal yang langka. Para guru harus mampu memberikan contoh kepada para peserta didiknya untuk mampu berlaku jujur. Ketika jujur diajarkan di sekolahsekolah kita, maka para peserta didik tak akan berani berbohong karena telah terbiasa jujur. Kebiasaan jujur ini jelas harus menjadi fokus utama dalam pendidikan di sekolah. Sebab kejujuran telah menjadi barang langka di negeri ini. Timbulnya korupsi, kolusi, dan nepotisme adalah akibat dari karakter jujur yang kurang terpelihara dengan baik. 5. Sopan (polite) Mampu berperilaku sopan adalah dambaan setiap insan. Dengan berlaku sopan orang lain akan segan kepada kita. Karakter sopan ini harus dilatihkan kepada peserta didik, dan dicontohkan bagaimana cara berlaku sopan kepada orang lain. Terutama kepada mereka yang telah lebih tua

daripadanya. Tentu karakter kesopanan harus diperlihatkan dan dijunjung tinggi. Seringkali kita melihat karkater anak sekolahan yang kurang sopan. Baik dalam berbicara mamupun bertindak. Hal inilah yang harus kita rubah dalam pendidikan karakter bangsa. 6. Peduli (care) Peserta didik harus dilatih untuk peduli kepada sesama. Belajar melakukan empati kepada orang lain dengan rasa kepedulian yang tinggi. Ketika kita mau peduli, maka saudara-saudara kita yang sedang mengalami kesulitan akan terbantu. Di situlah akhirnya jiwa kepedulian kita teruji. Banyaknya musibah yang silih berganti di negeri ini, baik musibah bencana alam maupun bencana lainnya harus membuat kita semakin peduli dengan bangsa sendiri. 7. Kerja keras (Hard work) Peserta didik harus dilatih untuk mampu bekerja keras. Bukan hanya mampu bekerja keras, tetapi juga mampu bekerja cerdas, ikhlas, dan tuntas. Dengan begitu kerja keras yang dilakukannya akan bernilai ibadah di mata Tuhan pemilik langit dan bumi. Orang yang senang bekerja keras pastilah akan menuai kesuksesan dari apa yang telah dikerjakannya. Orang yang bekerja keras pasti mampu meujudkan impiannya menjadi kenyataan. 8. Sikap yang baik (good attitude) Peserta didik harus memiliki sikap yang baik. Dengan sikap yang baik akan terlihat karakter dari peserta didik tersebut. Sikap yang baik kepada orang lain harus dicontohkan oleh guru kepada para peserta didiknya. Dengan begitu orang lain akan menaruh hormat kepadanya karena sikapnya yang baik. Perilaku orang dapat dilihat dari sikap baik yang dimunculkannya. Oleh karenanya sikap yang baik harus diajarkan para guru dalam pendidikan karakter di sekolah. 9. Toleransi (tolerate) Peserta didik harus dilatih agar mampu bertoleransi dengan baik kepada orang lain. Toleransi harus dipupuk sejak dini, apalagi kepada hal-hal yang bernuansa Suku, agama, Ras, dan antar golongan (SARA). Perlu tolerasi yang tinggi agar mampu memahami kalau kita berbeda tetapi hakekatnya tetap satu juga. Toleransi antar umat beragama adalah salah satu bentuk toleransi yang paling jelas terlihat dalam kehidupan sehari-hari. 10. Kreatif (Creative) Peserta didik harus diajarkan agar mampu kreatif. Dengan begitu dia telah terbiasa menciptakan sesuatu yang baru. Guru kreatif akan menghasilkan peserta didik yang kreatif pula. Ajarkan peserta didik kita agar mampu kreatif dalam menjalankan aktivitas kesehariannya. Anak kreatif tidak lahir begitu saja. Dia lahir dari proses pendidikan yang berkelanjutan. 11. Mandiri (independent)

Anak yang terbiasa mandiri biasanya akan jauh lebih berhasil hidupnya daripada anak yang kurang mandiri. Mandiri bukan hanya mampu berdiri di atas kakinya sendiri, tetapi juga mampu membawa dirinya untuk tidak bergantung penuh kepada orang lain. Kemandirian harus ditanamkan kepada para peserta didik kita bila ingin anak menjadi mandiri. 12. Rasa Ingin Tahu (curiosty) Setiap anak pasti memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Tentu sebagai guru kita dituntut untuk mampu mengarahkan rasa ingin tahu mereka kearah hal-hal yang positif seperti rasa ingin tahu mereka tentang bumi dan antariksa yang ilmunya terus berkembang seiring dengan pesatnya perkembangan ilmu pengatahuan dan teknologi. Bila peserta didik memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, amak itu adalah modal dasar untuk menjadi seorang ilmuwan muda dan kaya. Rasa ingin tahu ini harus terus dimotivasi agar para peserta didik kita mampu juga meneliti di usia remaja. 13. Semangat Kebangsaan (Nationality Spirit) Para peserta didik harus didorong memiliki semangat kebangsaan. Dengan begitu akan ada rasa bangga kepada bangsanya sendiri. Contoh yang paling mudah dari semangat kebangsaan adalah sepakbola. Dengan permainan sepakbola, para pemain dan penonton dituntut harus memiliki semangat kebangsaan yang tinggi. Apalagi bila kita bermain di negeri orang lain. 14. Menghargai (Respect) Peserta didik harus mampu menghargai hasil karya orang lain yang dilihatnya. Dengan begitu ada penghargaan yang diberikan olehnya kepada orang lain. Saling menghargai merupakan cerminan budaya bangsa yang harus dilestarikan secara turuh temurun. Mengharagai pendapat orang lain adalah salah satu contoh dari karakter saling menghargai sesama. 15. Bersahabat (Friendly) Ketika peserta didik sudah terbiasa bersahabat, maka akan terasalah pentingnya sebuah persahabatan. Bersahabat adalah karakter penting yang harus dimiliki oleh para peserta didik. Kita harus memupuk rasa persaudaraan yang tinggi. Bila kita saling bersahabat, maka kita akan semakin dekat dan akrab. Dengan begitu akan semakin dekatlah hati kita masing-masing. Persahabatan bagai kepompong yang akan mengubah ulat menjadi kupu-kupu. Sungguh indahnya sebuah persahabatan. 16. Cinta damai (Peace Ful) Peserta didik harus cintai damai. Cinta mencintai antar sesama anak manusia. Kita semua bersaudara dan tidak selayaknya kita saling bertengkar. Kita cinta damai, tepai kita pun cinta kemerdekaan. Siapa saja bangsa yang mengusik kemerdekaan kita, maka kita akan melawannya dengan gagah perkasa karena kita lebih mencintai bangsa sendiri. Demikianlah nilai-nilai dasar pendidikan karakter bangsa yang dapat diterapkan di sekolahsekolah kita. Semoga kita semua dapat menyiapkan para generasi penerus bangsa menjadi calon

pemimpin masa depan yang memiliki karakter yang penulis jabarkan di atas serta mempunyai kemampuan intektual yang tinggi. Kita pun berharap akan muncul pemimpin masa depan yang berkarakter, berintegrasi yang tinggi dan cerdas dalam melihat perkembangan sejarah bangsa.

Konsep Dasar dan Filosofi Pendidikan Nilai Diposkan oleh Pendidikan adalah hidupku BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan nilai berperanan penting dalam upaya mewujudkan manusia Indonesia yang utuh. Pembinaan nilai sebagai bagian yang tak terpisahkan dari pendidikan dapat menjadi sarana ampuh dalam menangkal pengaruh-pengaruh negatif, baik pengaruh yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri. Sejalan dengan derap laju pembangunan dan laju perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni (IPTEKS), serta arus reformasi sekarang ini, pembinaan nilai semakin dirasa penting sebagai salah satu alat pengendali bagi tercapainya tujuan pendidikan nasional secara utuh. Namun, sekarang ini tampak ada gejala di kalangan anak muda, bahkan orang tua yang menunjukkan bahwa mereka mengabaikan nilai dan moral dalam tata krama pergaulan yang sangat diperlukan dalam suatu masyarakat yang beradab (civil society). Dalam era reformasi sekarang ini seolah-olah orang bebas berbuat apa saja sesuai dengan kehendaknya. Misalnya, perkelahian massal, penjarahan, pemerkosaan, pembajakan kendaraan umum, penghujatan, perusakan tempat ibadah, lembaga pendidikan, kantor-kantor pemerintahan dan sebagainya, yang menimbulkan korban jiwa dan korban kemanusiaan. Bangsa Indonesia saat ini tidak hanya mengalami proses pendangkalan nilai yang seharusnya dimiliki serta dihayati dan dijunjung tinggi. Nilai-nilai itu kini bergeser dari kedudukan dan fungsinya serta digantikan oleh keserakahan, ketamakan, kekuasaan, kekayaan dan kehormatan. Dengan pergeseran fungsi dan kedudukan nilai itu, kehidupan bermasyarakat dan berbangsa dirasakan semakin hambar dan keras, rawan terhadap kekerasan, kecemasan, bentrok fisik (kerusuhan) dan merasa tidak aman. Dekadensi moral juga tercermin dalam sikap dan perilaku masyarakat yang tidak dapat menghargai orang lain, hidup dan perikehidupan bangsa dengan manusia sebagai indikator harkat dan martabatnya. Nilai-nilai moral menempatkan hak asasi manusia (HAM) sebagai ukuran pencegahan pelanggaran-pelanggaran berat, seperti pembunuhan, pemerkosaan, perkelahian, penculikan, pembakaran, perusakan dan lain-lain. Dengan demikian, salah satu problematika kehidupan bangsa yang terpenting di abad ke-21 adalah nilai moral dan akhlak. Kemerosotan nilai-nilai moral yang mulai melanda masyarakat kita saat ini tidak lepas dari ketidakefektifan penanaman nilai-nilai moral, baik di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat secara keseluruhan. Efektivitas paradigma pendidikan nilai

yang berlangsung di jenjang pendidikan formal hingga kini masih sering diperdebatkan. Berdasarkan permasalahan-permasalahan di atas, maka kami menyusun sebuah makalah sederhana yang berjudul Makna dan Filosofi Pendidikan Nilai dalam Pendidikan Umum sebagai sebuah atensi dalam membumikan Pendidikan Nilai di Indonesia pada umumnya dan khususnya di lembaga-lembaga pendidikan itu sendiri. B. Rumusan Masalah Pembahasan makalah ini dibatasi oleh beberapa rumusan masalah sebagai berikut: 1. Apakah yang dimaksud dengan nilai? 2. Bagaimana klasifikasi nilai? 3. Bagaimana hierarki nilai? 4. Apa yang dimaksud dengan Pendidikan Nilai? 5. Apa Tujuan Pendidikan Nilai? 6. Apa yang dimaksud dengan Pendidikan Umum? 7. Bagaimana filosofi Pendidikan Nilai? C. Tujuan Penulisan Secara umum, penulisan makalah ini adalah untuk menjelaskan makna Pendidikan Nilai dan filosofinya. Sedangkan tujuan khusus penulisan makalah ini adalah untuk: 1. Mengetahui definisi nilai 2. Mengetahui klasifikasi dan hierarki nilai 3. Mengetahui definisi Pendidikan Nilai 4. Mengetahui tujuan Pendidikan Nilai 5. Mengetahui definisi Pendidikan Umum 6. Mengetahui filosofi Pendidikan Nilai D. Metode Penulisan Dalam penulisan makalah ini menggunakan metode analisis deskriftif dan kajian pustaka. E. Sistematika Uraian Dalam bab I dijelaskan pendahuluan yang terdiri atas latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan, metode penulisan dan sistematika uraian. Sementara dalam bab II dibahas mengenai definisi nilai, klasifikasi nilai, hierarki nilai, definisi Pendidikan Nilai, tujuan Pendidikan Nilai, definisi Pendidikan Umum, dan filosofi Pendidikan Nilai. Sedangkan dalam bab III berisi kesimpulan.

BAB II MAKNA DAN FILOSOFI PENDIDIKAN NILAI DALAM PENDIDIKAN UMUM

A. Definisi Nilai Menurut Baier (Mulyana, 2004: 8) nilai sering kali dirumuskan dalam konsep yang berbedabeda, hal tersebut disebabkan oleh sudut pandangnya yang berbeda-beda pula. Contohnya seorang sosiolog mendefinisikan nilai sebagai suatu keinginan, kebutuhan, dan kesenangan seseorang sampai pada sanksi dan tekanan dari masyarakat. Seorang psikolog akan menafsirkan nilai sebagai suatu kecenderungan perilaku yang berawal dari gejala-gejala psikologis, seperti hasrat, motif, sikap, kebutuhan dan keyakinan yang dimiliki secara individual sampai pada tahap wujud tingkah lakunya yang unik. Sementara itu, seorang antropolog melihat nilai sebagai harga yang melekat pada pola budaya masyarakat seperti dalam bahasa, adat kebiasaan, keyakinan, hukum dan bentuk-bentuk organisasi sosial yang dikembangkan manusia. Perbedaan pandangan mereka dalam memahami nilai telah berimplikasi pada perumusan definisi nilai. Berikut ini dikemukakan beberapa definisi nilai yang masing-masing memiliki tekanan yang berbeda. Allport (Mulyana, 2004: 9) mendefinisikan nilai sebagai sebuah keyakinan yang membuat seseorang bertindak atas dasar pilihannya. Sebagai seorang ahli psikologi kepribadian, Allport menyatakan bahwa nilai terjadi pada wilayah psikologis yang disebut keyakinan. Keyakinan merupakan wilayah psikologis tertinggi dari wilayah lainnya seperti hasrat, motif, sikap, keinginan dan kebutuhan. Oleh karenanya, keputusan benar-salah, baik-buruk, indah-tidak indah pada wilayah ini merupakan hasil dari sebuah rentetan proses psikologis yang kemudian mengarahkan individu pada tindakan dan perbuatan yang sesuai dengan nilai pilihannya. Kupperman (Mulyana, 2004: 9) menafsirkan nilai sebagai patokan normatif yang mempengaruhi manusia dalam menentukan pilihannya di antara cara-cara tindakan alternatif. Ia memberi penekanan pada norma sebagai faktor eksternal yang mempengaruhi perilaku manusia. Sebagai seorang sosiolog, Kupperman memandang norma sebagai salah satu bagian terpenting dari kehidupan sosial. Oleh karena itu, salah satu bagian terpenting dalam proses pertimbangan nilai (value judgement) adalah pelibatan nilai-nilai normatif yang berlaku di masyarakat. Sedangkan Kluckhohn (Brameld, 1957) mendefinisikan nilai sebagai konsepsi (tersirat atau tersurat, yang sifatnya membedakan individu atau ciri-ciri kelompok) dari apa yang diinginkan, yang mempengaruhi pilihan terhadap cara, tujuan antara dan tujuan akhir tindakan. Menurut Brameld, pandangan Kulchohn tersebut memiliki banyak implikasi terhadap pemaknaan nilainilai budaya dan sesuatu itu dipandang bernilai apabila dipersepsi sebagai sesuatu yang diinginkan. Makanan, uang, rumah, memiliki nilai karena memiliki persepsi sebagai sesuatu yang baik dan keinginan untuk memperolehnya memiliki mempengaruhi sikap dan tingkah laku seseorang. Namun tidak hanya materi yang memiliki nilai, gagasan dan konsep juga dapat menjadi nilai, seperti: kejujuran, kebenaran dan keadilan. Kejujuran misalnya, akan menjadi sebuah nilai bagi seseorang apabila ia memiliki komitmen yang dalam terhadap nilai itu yang tercermin dalam pola pikir, tingkah laku dan sikap. Sementara itu, Mulyana (2004: 11) menyederhanakan definisi nilai sebagai suatu rujukan dan keyakinan dalam menentukan pilihan. Menurutnya, definisi ini dapat mewakili definisi-definisi yang dipaparkan di atas, walaupun ciri-ciri spesifik seperti norma, keyakinan, cara, tujuan, sifat

dan

ciri-ciri

nilai

tidak

diungkapkan

secara

eksplisit.

B. Klasifikasi Nilai Dalam teori nilai yang digagasnya, Spranger (Mulyana, 2004: 32) menjelaskan ada enam orientasi nilai yang sering dijadikan rujukan oleh manusia dalam kehidupannya. Dalam pemunculannya, enam nilai tersebut cenderung menampilkan sosok yang khas terhadap pribadi seseorang. Ke-enam nilai tersebut adalah sebagai berikut: 1. Nilai teoretik: Nilai ini melibatkan pertimbangan logis dan rasional dalam memikirkan dan membuktikan kebenaran sesuatu. Nilai teoretik memiliki kadar benar-salah menurut pertimbangan akal. Oleh karena itu nilai erat dengan konsep, aksioma, dalil, prinsip, teori dan generalisasi yang diperoleh dari sejumlah dan pembuktian ilmiah. Komunitas manusia yang tertarik pada nilai ini adalah para filosof dan ilmuwan. 2. Nilai ekonomis: Nilai ini terkait dengan pertimbangan nilai yang berkadar untung-rugi. Objek yang ditimbangnya adalah harga dari suatu barang atau jasa. Karena itu, nilai ini lebih mengutamakan kegunaan sesuatu bagi kehidupan manusia. Oleh karena pertimbangan nilai ini relatif pragmatis, Spranger melihat bahwa dalam kehidupan manusia seringkali terjadi konflik antara kebutuhan nilai ekonomis ini dengan nilai lainnya. Kelompok manusia yang tertarik nilai ini adalah para pengusaha dan ekonom. 3. Nilai estetik: Nilai estetik menempatkan nilai tertingginya pada bentuk dan keharmonisan. Apabila nilai ini ditilik dari subyek yang memiliknya, maka akan muncul kesan indah-tidak indah. Nilai estetik berbeda dengan nilai teoretik. Nilai estetik lebih mengandalkan pada hasil penilaian pribadi seseorang yang bersifat subyektif, sedangkan nilai teroretik lebih melibatkan penilaian obyektif yang diambil dari kesimpulan atas sejumlah fakta kehidupan. Nilai estetik banyak dimiliki oleh para seniman seperti musisi, pelukis, atau perancang model. 4. Nilai sosial: Nilai tertinggi dari nilai ini adalah kasih sayang di antara manusia. Karena itu kadar nilai ini bergerak pada rentang kehidupan yang individualistik dengan yang altruistik. Sikap yang tidak berpraduga jelek terhadap orang lain, sosiabilitas, keramahan, serta perasaan simpati dan empati merupakan kunci keberhasilan dalam meraih nilai sosial. Nilai sosial ini banyak dijadikan pegangan hidup bagi orang yang senang bergaul, suka berderma, dan cinta sesama manusia. 5. Nilai politik: Nilai tertinggi dalam nilai ini adalah kekuasaan. Karena itu, kadar nilainya akan bergerak dari intensitas pengaruh yang rendah sampai pengaruh yang tinggi (otoriter). Kekuatan merupakan faktor penting yang berpengaruh pada diri seseorang. Sebaliknya, kelemahan adalah bukti dari seseorang kurang tertarik pada nilai ini. Dilihat dari kadar kepemilikannya nilai politik memang menjadi tujuan utama orang-orang tertentu seperti para politisi dan penguasa. 6. Nilai agama: Secara hakiki sebenarnya nilai ini merupakan nilai yang memiliki dasar kebenaran yang paling kuat dibandingkan dengan nilai-nilai sebelumnya. Nilai ini bersumber dari kebenaran tertinggi yang datangnya dari Tuhan. Nilai tertinggi yang harus dicapai adalah kesatuan (unity). Kesatuan berarti adanya keselarasan semua unsur kehidupan, antara kehendak manusia dengan kehendak Tuhan, antara ucapan dengan tindakan, antara itikad dengan perbuatan. Spranger melihat bahwa pada sisi nilai inilah

kesatuan filsafat hidup dapat dicapai. Di antara kelompok manusia yang memiliki orientasi kuat terhadap nilai ini adalah para nabi, imam, atau orang-orang sholeh.

C. Hirarki Nilai Menurut Scheler (Mulyana, 2004: 38), nilai dalam kenyataannya ada yang lebih tinggi dan ada juga yang lebih rendah jika dibandingkan dengan yang lainnya. Oleh karena itu, nilai menurut Scheler memiliki hierarki yang dapat dikelompokkan ke dalam empat tingkatan, yaitu: 1. Nilai kenikmatan. Pada tingkatan ini terdapat sederet nilai yang menyenangkan atau sebaliknya yang kemudian orang merasa bahagia atau menderita. 2. Nilai kehidupan. Pada tingkatan ini terdapat nilai-nilai yang penting bagi kehidupan, misalnya kesehatan, kesegaran badan, kesejahteraan umum dan lain-lain. 3. Nilai kejiwaan. Pada tingkatan ini terdapat nilai kejiwaan yang sama sekali tidak bergantung pada keadaan jasmani atau lingkungan. Nilai-nilai semacam ini adalah keindahan, kebenaran dan pengetahuan murni yang dicapai melalui filsafat. 4. Nilai Kerohanian. Pada tingkatan ini terdapat nilai yang suci maupun tidak suci. Nilainilai ini terutama lahir dari ketuhanan sebagai nilai tertinggi. Hierarki nilai tersebut ditetapkan Scheler dengan menggunakan empat kriteria, yaitu: semakin lama semakin tinggi tingkatannya; semakin dapat dibagikan tanpa mengurangi maknanya, semakin tinggi nilainya; semakin tidak tergantung pada nilai-nilai lain, semakin tinggi esensinya; semakin membahagiakan, semakin tinggi fungsinya. D. Definisi Pendidikan Nilai Kohlberg et al. (Djahiri, 1992: 27) menjelaskan bahwa Pendidikan Nilai adalah rekayasa ke arah: (a) Pembinaan dan pengembangan struktur dan potensi/komponen pengalaman afektual (affective component & experiences) atau jati diri atau hati nurani manusia (the consiense of man) atau suara hati (al-qolb) manusia dengan perangkat tatanan nilai-moral-norma. (b) pembinaan proses pelakonan (experiencing) dan atau transaksi/interaksi dunia afektif seseorang sehingga terjadi proses klarifikasi niai-moral-norma, ajuan nilai-moral-norma (moral judgment) atau penalaran nilai-moral-norma (moral reasoning) dan atau pengendalian nilai-moral-norma (moral control). Sedangkan menurut Winecoff (1987: 1-3), jika kita membahas tentang Pendidikan Nilai maka minimalnya berhubungan dengan tiga dimensi, yakni: identification of a core of personal & social values, philosopy and rational inquiry into the core, and decision making related to the core based on inquiry and response. Ia juga mengungkapkan (hakam, 2005: 5) bahwa Pendidikan Nilai adalah pendidikan yang mempertimbangkan objek dari sudut pandang moral yang meliputi etika dan norma-norma yang meliputi estetika, yaitu menilai objek dari sudut pandang keindahan dan selera pribadi, serta etika yaitu menilai benar/salahnya dalam hubungan antar pribadi. Dahlan (2007:5) mengartikan Pendidikan Nilai sebagai suatu proses kegiatan yang dilaksanakan

secara sistematis untuk melahirkan manusia yang memiliki komitmen kognitif, komitmen afektif dan komitmen pribadi yang berlandaskan nilai-nilai agama. Sementara itu, Soelaeman (1987: 14) menambahkan bahwa Pendidikan Nilai adalah bentuk kegiatan pengembangan ekspresi nilai-nilai yang ada melalui proses sistematis dan kritis sehingga mereka dapat meningkatkan atau memperbaiki kualitas kognitif dan afektif peserta didik. Senada dengan hal di atas, Hasan (1996: 250) memiliki persepsi bahwa Pendidikan Nilai merupakan suatu konsep pendidikan yang memiliki konsep umum, atribut, fakta dan data keterampilan antara suatu atribut dengan atribut yang lainnya serta memiliki label (nama diri) yang dikembangkan berdasarkan prinsip pemahaman, penghargaan, identifikasi diri, penerapan dalam perilaku, pembentukan wawasan dan kebiasaan terhadap nilai dan moral. Adapun Sumantri (1993: 16) beliau memahami Pendidikan Nilai sebagai suatu aktivitas pendidikan yang penting bagi orang dewasa dan remaja, baik di dalam sekolah maupun di luar sekolah, karena penentuan nilai merupakan suatu aktivitas penting yang harus kita pikirkan dengan cermat dan mendalam. Maka hal ini merupakan tugas pendidikan (masyarakat didik) untuk berupaya meningkatkan nilai-moral individu dan masyarakat. E. Tujuan Pendidikan Nilai Dalam Living Values Education (2004: 1) dijelaskan bahwa tujuan Pendidikan Nilai adalah: to help individual think about and reflect on different values and the practical implications of expressing them in relation to them selves, other, the community, and the world at large, to inspire individuals to choose their own personal, social, moral and spiritual values and be aware of practical methods for developing anf deepening them. Lorraine (1996: 9) pun berpendapat: in the teaching learning of value education should emphasizing on the establishing and guiding student in internalizing and practing good habits and behaviour in their everyday life as a citizen and as a member of society. Adapun tujuan Pendidikan Nilai menurut Apnieve-UNESCO (1996: 184) adalah untuk membantu peserta didik dalam mengeksplorasi nilai-nilai yang ada melalui pengujian kritis sehingga mereka dapat meningkatkan atau memperbaiki kualitas berfikir dan perasaannya. Sementara itu, Hill (1991: 80) meyakini bahwa Pendidikan Nilai ditujukan agar siswa dapat menghayati dan mengamalkan nilai sesuai dengan keyakinan agamanya, konsesus masyarakatnya dan nilai moral universal yang dianutnya sehingga menjadi karakter pribadinya. Secara sederhana, Suparno (2002: 75) melihat bahwa tujuan Pendidikan Nilai adalah menjadikan manusia berbudi pekerti. Hakam (2000: 8) dan Mulyana (2004: 119) menambahkan bahwa pendidikan nilai bertujuan untuk membantu peserta didik mengalami dan menempatkan nilainilai secara integral dalam kehidupan mereka. Dalam proses Pendidikan Nilai, tindakan-tindakan pendidikan yang lebih spesifik dimaksudkan

untuk mencapai tujuan yang lebih khusus. Seperti dikemukakan komite APEID (Asia and The Pasific Programme of Education Innovation for Development), Pendidikan Nilai secara khusus ditujukan untuk: (a) menerapkan pembentukan nilai kepada anak, (b) menghasilkan sikap yang mencerminkan nilai-nilai yang diinginkan, dan (c) membimbing perilaku yang konsisten dengan nilai-nilai tersebut. Dengan demikian tujuan Pendidikan Nilai meliputi tindakan mendidik yang berlangsung mulai dari usaha penyadaran nilai sampai pada perwujudan perilaku-perilaku yang bernilai (UNESCO, 1994). F. Definisi Pendidikan Umum Menurut Cohen & Arthur (1998) yang dimaksud dengan Pendidikan Umum adalah the process of developing a framework on which to place knowledge stemming from various souerce. Pendidikan Umum adalah proses pembangunan suatu kerangka kerja yang tekanannya pada pengetahuan dari bermacam-macam sumber. R. O. Hand & P. B. Bibna (1990: 76) menjelaskan bahwa: General Education is the making of: 1) complete man, 2) mental physical heart, 3) social adjustment, understanding of other people, responsivenes to other need with is counterpart of good manners, 4) personal adjustment, the individual understanding of himselves, his poises and adequence in copying with real situation. Wolf & Klafki (1985: 321) mengatakan: General Education is the development of human power , the comprehensive education of man, the education of head, heart and hand, general education for all. P. H. Phenix (1964: 7) pun memiliki definisi sendiri. Menurutnya Pendidikan Nilai adalah: General Education should develope in everyone, general education is the process of engineering essential meaning, to lead to fulfillment of human live the entargement and deeping of meaning. Sementara itu Draper, E. (1980: 25) menyebutkan: General Education is that every one must have for satisfactory and efficient living, regardless of what one plans to make his life work. Dalam Ventura College (2004: 1) Pendidikan Umum diartikan sebagai berikut: General Education: A program of courses in the arts and sciences that provides students with a broad educational experience. Courses typically are introductory in nature and provide students with fundamental skills and knowledge in mathematics, English, arts, humanities, and physical, biological, and social sciences. Transfer students often take these classes while attending a community college. Completion of a general education program is required for a baccalaureate degree. Dalam SK Mendiknas No.008-E/U/1975 disebutkan bahwa Pendidikan Umum ialah pendidikan yang bersifat umum, yang wajib diikuti oleh semua siswa dan mencakup program Pendidikan Moral Pancasila yang berfungsi bagi pembinaan warga negara yang baik. Mulyana (1999: 121) mengatakan bahwa Pendidikan Umum merupakan pendidikan yang harmonis yang mengembangkan aspek kogitif, afektif, dan psikomotorik. Namun penekannya

lebih besar pada aspek afektif (nilai, moral, sikap, dsb). Faridah (1992: 55) menyatakan bahwa Pendidikan Umum adalah program pendidikan yang membina kepribadian warga negara peserta didik menjadi manusia seutuhnya melalui pembinaan nilai-nilai untuk mencapai kebahagian hidup di dunia dan akhirat. Hal ini sejalan dengan tujuan dari Pendidikan Umum, yaitu membina manusia indonesia seutuhnya. Sumaatmadja (2002: 93-94) mengungkapkan bahwa tujuan Pendidikan Umum di Indonesia dalam ketetapan MPR II/MPR/1988 sangat rinci, yakni; aspek kognitif (kecerdasan, inovatif, dan kreatif), aspek afektif (beriman, bertaqwa, berbudi pekerti, berkepribadian, disiplin, tangguh, tanggung jawab, kesetiakawanan sosial dan percaya diri), dan aspek psikomotornya (bekerja keras, tangguh, terampil, sehat jasmani dan rohani). Bila dikaitkan dengan bobot nalarnya dapat disimpulkan bahwa tujuan yang hendak dicapai adalah nalar intelektual, emosional, sosial dan spiritual. Djahiri (2004: 1) mengatakan tujuan Pendidikan Umum sebagai pembelajaran adalah salah satu kebutuhan dasar manusia, baik secara kodrati Ilahiyyah maupun sebagai insan sosial-politikekonomi. Sebagai insan kodrati, Allah melengkapi potensi ragawi dan panca indera manusia dengan akal pikiran dan hati nurani (al-Qalb) berikut fungsi dan perannya. Sikun Pribadi (1981: 11) Pendidikan Umum itu mempunyai tujuan; (a) membiasakan siswa berpikir obyektif, kritis, dan terbuka, (b) memberikan pandangan tentang berbagai jenis nilai hidup, seperti kebenaran, keindahan, kebaikan; (c) menjadi manusia yang sadar akan dirinya, sebagai makhluk, sebagai manusia, dan sebagai pria dan wanita, dan sebagai warga negara; (d) mampu menghadapi tugasnya, bukan saja karena menguasai bidang profesinya, tetapi karena mampu mengadakan bimbingan dan hubungan sosial yang baik dalam lingkungannya. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa makna pendidikan nilai dalam Pendidikan Umum adalah suatu sistem pendidikan yang membantu peserta didik dalam mengembangkan nilai-nilai kognitif dan afektif agar ia mampu menjadi manusia seutuhnya, manusia yang tidak hanya cerdas akalnya, namun juga lembut hatinya dan terampil tangannya. G. Filosofi Pendidikan Nilai Secara filosofis, pendidikan adalah sebuah tindakan fundamental, yaitu perbuatan yang menyentuh akar-akar hidup kita sehingga mengubah dan menentukan hidup manusia. Jadi, mendidik adalah suatu perbuatan yang fundamental karena mendidik itu mengubah dan menentukan hidup manusia. Pendidikan itu me-manusia-kan manusia (Driyarkara, 1991). Pendidikan adalah untuk kehidupan, bukan untuk memenuhi ambisi-ambisi yang bersifat pragmatis. Pendidikan bukan non vitae sed scholae discimus (belajar bukan untuk kehidupan melainkan untuk sekolah). Pendidikan harus bercorak non scholae sed vitae discimus, kita belajar bukan untuk sekolah melainkan untuk kehidupan. Dalam pendidikan untuk kehidupan, hal utama yang dilakukan adalah menenamkan nilai-nilai. Pendidikan nilai bukan saja perlu karena dapat mengembalikan filosofi dasar pendidikan yang seharusnya non scholae sed vitae discimus, namun juga perlu karena ciri kehidupan yang baik terletak dalam komitmen terhadap nilai-nilai: nilai kebersamaan, kejujuran, kesetiakawanan,

kesopanan, kesusilaan, dan lain-lain. Menurut Piet G.O, nilai adalah sifat yang berharga dari suatu hal, benda, atau pribadi yang memenuhi kebutuhan elementer manusia yang memang serba butuh atau menyempurnakan manusia yang memang tak kunjung selesai dalam pengembangan dirinya secara utuh, menyeluruh, dan tuntas (Piet GO, 1990). Selaras dengan pemikiran-ini, Hans Jonas mengatakan bahwa nilai adalah the addresse of a yes, nilai adalah sesuatu yang selalu kita setujui (Adimassana, 2001). Jadi, pendidikan nilai adalah manifestasi dari non scholae sed vitae discimus. Nilai merupakan kebenaran atau realitas sejati yang akan terus dicari oleh setiap individu. Sejak manusia lahir ia mulai melakukan pencarian. Ia ingin berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Ia sentuh benda-benda, memasukan benda ke dalam mulut, melemparkan dan mengamati hasilnya. Ketika ia mulai dapat berbicara, banyak hal yang ia tanyakan: apa ini? Apa itu? Ia terus berinteraksi dengan masyarakat dan lingkungannya (Na-Ayudhya, 2008: 8-9 & Kneller, 19971: 2). Apa sesungguhnya yang disebut dengan kebenaran sejati itu? Kebenaran sejati adalah sesuatu yang tak berubah dan tidak tergantung pada ruang dan waktu serta bersifat universal. Jika sesuatu benar di sini maka iapun harus benar di mana saja. Jika sesuatu benar hari ini maka ia juga harus benar besok. Jika ia benar besok maka iapun harus benar lusa. Jika ia benar 100 tahun yang lalu maka iapun harus benar 1000 tahun kemudian dan seterusnya (Na-Ayudhya, 2008: 89). Lalu, dimana sesungguhnya kebenaran sejati itu dapat ditemukan? Kebenaran sejati hanya dapat ditemukan dengan memulai melakukan pencarian di dalam diri. Pencarian sesuatu dalam diri merupakan awal dari pencarian kebenaran sejati. Inilah yang disebut dengan pencarian pengetahuan diri sejati, self-knowledge, atau pengetahuan tentang diri atau kesadaran jati diri, self-realization (Na-Ayudhya, 2008: 8-9). Man arafa nafsahu faqad arafa rabbahu, siapa yang mengerti dirinya ia akan menemukan Tuhannya. Tuhan adalah sumber dan sekaligus kebenaran sejati. Pencarian pengetahuan diri sejati atau pengembangan kesadaran jati diri merupakan topik utama dalam wacana kajian filsafat pendidikan nilai. Berpijak pada pola kandungan filsafat, maka Pendidikan Nilai juga mengandung tiga unsur utama yaitu ontologis Pendidikan Nilai, epistemologis Pendidikan Nilai dan aksiologis Pendidikan Nilai. 1. Dasar Ontologis Pendidikan Nilai Pertama-tama pada latar filsafat diperlukan dasar ontologis dari Pendidikan Nilai. Adapun aspek realitas yang dijangkau teori dan Pendidikan Nilai melalui pengalaman panca indera adalah dunia pengalaman manusia secara empiris. Objek materil Pendidikan Nilai adalah manusia seutuhnya, manusia yang lengkap aspek-aspek kepribadiannya. Objek formal Pendidikan Nilai dibatasi pada manusia seutuhnya di dalam fenomena atau situasi pendidikan. Di dalam situasi sosial, manusia sering kali berperilaku tidak utuh, hanya menjadi mahluk berperilaku individual dan/atau mahluk sosial yang berperilaku kolektif.

Sistem nilai harus terwujud dalam hubungan inter dan antar pribadi yang menjadi syarat mutlak (conditio sine qua non) bagi terlaksananya mendidik dan mengajar. Hal itu terjadi mengingat pihak pendidik yang berkepribadian sendiri secara utuh memperlakukan peserta didik secara terhormat sebagai pribadi pula. Jika pendidik tidak bersikaf afektif utuh demikian maka menurut Gordon (1975) akan menjadi mata rantai yang hilang (the missing link) atas faktor hubungan peserta didik-pendidik atau antara siswa-guru. Dengan begitu pendidikan hanya akan terjadi secara kuantitatif sekalipun bersifat optimal, sedangkan kualitas manusianya belum tentu utuh. 2. Dasar Epistemologis Pendidikan Nilai Dasar epistemologis diperlukan oleh Pendidikan Nilai atau pakar Pendidikan Nilai demi mengembangkan ilmunya secara produktif dan bertanggung jawab. Pendidikan Nilai memerlukan pendekatan fenomenologis yang akan menjalin studi empirik dengan studi kualitatif fenomenologis. Karena penelitian tidak hanya tertuju pada pemahaman dan pengertian, melainkan untuk mencapai kearifan fenomena pendidikan. Inti dasar epistemologis ini adalah agar dapat ditentukan bahwa dalam menjelaskan objek formalnya, telaah Pendidikan Nilai tidak hanya mengembangkan ilmu terapan melainkan menuju kepada telaah teori dan Pendidikan Nilai sebagai ilmu otonom yang mempunyai objek formal sendiri atau problamatikanya sendiri sekalipun tidak hanya menggunakan pendekatan kuantitatif atau pun eksperimental (Campbell & Stanley, 1963). Dengan demikian uji kebenaran pengetahuan sangat diperlukan secara korespodensi, secara koheren dan sekaligus secara praktis dan atau pragmatis (Randall & Buchler, 1942) 3. Dasar Aksilogis Pendidikan Nilai Kemanfaatan teori Pendidikan Nilai tidak hanya perlu sebagai ilmu yang otonom tetapi juga diperlukan untuk memberikan dasar yang sebaik-baiknya bagi pendidikan sebagai proses pembudayaan manusia secara beradab. Oleh karena itu nilai Pendidikan Nilai tidak hanya bersifat intrinsik sebagai ilmu seperti seni untuk seni, melainkan juga nilai ekstrinsik. Dan ilmu digunakan untuk menelaah dasar-dasar kemungkinan bertindak dalam praktek melalui kontrol terhadap pengaruh yang negatif dan meningkatkan pengaruh yang positif dalam pendidikan. Dengan demikian Pendidikan Nilai tidak bebas nilai, mengingat hanya terdapat batas yang sangat tipis antar pekerjaan Pendidikan Nilai dan tugas pendidik sebagai pedagok. Dalam hal ini, sangat relevan sekali untuk memperhatikan Pendidikan Nilai sebagai bidang yang sarat nilai. Itulah sebabnya Pendidikan Nilai memerlukan teknologi pula, tetapi pendidikan bukanlah bagian dari iptek. Namun harus diakui bahwa Pendidikan Nilai belum jauh pertumbuhannya dibandingkan dengan kebanyakan ilmu sosial dan ilmu perilaku.

BAB III KESIMPULAN Terpuruknya bangsa dan negara Indonesia dewasa ini tidak hanya disebabkan oleh krisis ekonomi melainkan juga oleh krisis nilai dan akhlak. Oleh karena itu, perekonomian bangsa menjadi ambruk, korupsi, kolusi, nepotisme, dan perbuatan-perbuatan yang merugikan bangsa

merajalela. Perbuatan-perbuatan yang merugikan dimaksud adalah perkelahian, perusakan, perkosaan, minum minuman keras, dan bahkan pembunuhan. Keadaan seperti itu, terutama krisis nilai dan akhlak terjadi karena kesalahan dunia pendidikan atau kurang berhasilnya dunia pendidikan dalam menyiapkan generasi muda bangsanya. Dunia pendidikan telah melupakan tujuan utama pendidikan yaitu mengembangkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan secara simultan dan seimbang. Dunia pendidikan kita telah memberikan porsi yang sangat besar untuk pengetahuan, tetapi melupakan pengembangan sikap/nilai dan perilaku dalam pembelajarannya. Dunia pendidikan sangat meremehkan mata-mata pelajaran yang berkaitan dengan pembentukan karakter bangsa. Di sisi lain, tidak dimungkiri bahwa pelajaran-pelajaran yang mengembangkan karakter bangsa seperti Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKN), Pendidikan Agama, Ilmu Pengetahuan Sosial dalam pelaksanaan pembelajarannya lebih banyak menekankan pada aspek kognitif daripada aspek afektif dan psikomotor. Di samping itu, penilaian dalam mata-mata pelajaran yang berkaitan dengan pendidikan nilai belum secara total mengukur sosok utuh pribadi siswa. Memperhatikan hal-hal tersebut, terjadi gugatan dan hujatan terhadap dunia pendidikan, kepada guru, dan terhadap proses pembelajaran. Di samping itu, terjadi pembicaraan dan diskusi tentang perlunya pemberian pelajaran nilai budi pekerti secara terpisah dari mata-mata pelajaran yang sudah ada atau secara terintegrasi ke dalam mata-mata pelajaran yang sudah ada (PPKN, Pendidikan Agama, dan sejenisnya) kepada para siswa sekolah dasar pada khususnya. Oleh karena itu, reposisi, re-evaluasi dan redefinisi terhadap "rumpun" Pendidikan Nilai khususnya, dipandang perlu agar tujuan kurikuler dan tujuan nasional pendidikan yang bermaksud menyiapkan generasi bangsa yang berwatak luhur dapat tercapai. Penyusun: Firman Robiansyah, Teni Maryatin dan Ahmad Sarbini (Mahasiswa S2 dan S3 PU UPI) DAFTAR PUSTAKA Anonimous. 2008. Dari Non Vitae sed Scholae Discimus Menuju Non Scholae sed Vitae Discimu. http://krisnaster.blogspot.com, 10 Oktober 2008. Elmubarok, Z. (2008). Membumikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta. George F. Keneller. tt. Introduction to The Philosophy of Education. John Wiley & Sons, Inc. New York. Na-Ayudhya, Art-Ong Jumsai. 2008. Model Pembelajaran Nilai Kemanusian Terpadu (Human Values Integrated Intructional Model). Yayasan Pendidikan Sathya Sai Indonesia. Jakarta. Kurniawan, K. 2008. Paradigma Baru Pendidikan Moral. http://groups.google.co.id, 27 Agustus 2008. Mulyana, R. 2004. Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta. Somad, M.A. (2007). Pengembangan Model Pembinaan Nilai-nilai Keimanan dan Keberagamaan Siswa di Sekolah (Studi Kasus di SMAN 2 Bandung). Disertasi Doktor pada SPs

UPI: tidak diterbitkan. Sudrajat, A. (2008) Konsep, Ruang Lingkup dan Sasaran Pendidikan Umum. [Online]. Tersedia: http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/11/08/ konsep-ruang-lingkup-dan-sasaranpendidikan-umum. [11 Nov 2008] Tiweng, T. (2008). Penanaman Pendidikan Nilai. [Online]. Tersedia: http://www. freelists.org/archives/ppi/09-2005/msg00225.html. [11 November 2008] Trimo. (2007). Pendekatan Penanaman Nilai dalam Pendidikan. [Online]. Tersedia: http://researchengines.com/0807trimo.html. [16 Sept 2008] Zakaria, T.R. (2008) Pendekatan-pendekatan Pendidikan Nilai dan Implementasi dalam Pendidikan Budi Pekerti. [Online]. Tersedia: http://groups.yahoo. com /group/pakguruonline/message/131. [11 November 2008)

Nilai-nilai dasar pendidikan karakter bangsa terdapat 16 nilai, dari ke-16 nilai dasar pendidikan karakter dapat dapat ditumbuhkan dan dikembangkan di sekolah masing-masing, adapun ke-16 nilai karakter bangsa antara lain, sebagai berikut : a. Bertakwa (religious) Para guru harus mampu mengarahkan anak didiknya menjadi manusia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Mampu melaksanakan perintah-Nya, dan mampu pula menjauhkan segala larangan-Nya. b. Bertanggung jawab (responsible) Para guru harus mampu mengajak para peserta didiknya untuk menjadi manusia yang bertanggungjawab. Mampu mempertanggungjawabkan apa yang telah dilakukannya dan berani menanggung segala resiko dari apa yang telah diperbuatnya. c. Berdisiplin (dicipline) Para guru harus mampu menamkan disiplin yang tinggi kepada para peserta didiknya. Kedisiplinan harus dimulai pada saat masuk sekolah. Budaya tepat waktu harus ditegakkan. d. Jujur (honest) Kejujuran saat ini merupakan hal yang langka. Para guru harus mampu memberikan contoh kepada para peserta didiknya untuk mampu berlaku jujur. Sopan (polite) Mampu berperilaku sopan adalah dambaan setiap insan. Dengan berlaku sopan orang lain akan segan kepada kita. Karakter sopan ini harus dilatihkan kepada peserta didik, dan dicontohkan bagaimana cara berlaku sopan kepada orang lain. e. Peduli (care) Peserta didik harus dilatih untuk peduli kepada sesama. Belajar melakukan empati kepada orang lain dengan rasa kepedulian yang tinggi. Ketika kita mau peduli, maka saudara-saudara kita yang

sedang mengalami kesulitan akan terbantu. Di situlah akhirnya jiwa kepedulian kita teruji. Banyaknya musibah yang silih berganti di negeri ini, baik musibah bencana alam maupun bencana lainnya harus membuat kita semakin peduli dengan bangsa sendiri. f. Kerja keras (Hard work) Peserta didik harus dilatih untuk mampu bekerja keras. Bukan hanya mampu bekerja keras, tetapi juga mampu bekerja cerdas, ikhlas, dan tuntas. Dengan begitu kerja keras yang dilakukannya akan bernilai ibadah di mata Tuhan pemilik langit dan bumi. Orang yang senang bekerja keras pastilah akan menuai kesuksesan dari apa yang telah dikerjakannya. Orang yang bekerja keras pasti mampu meujudkan impiannya menjadi kenyataan. g. Sikap yang baik (good attitude) Peserta didik harus memiliki sikap yang baik. Dengan sikap yang baik akan terlihat karakter dari peserta didik tersebut. Sikap yang baik kepada orang lain harus dicontohkan oleh guru kepada para peserta didiknya. Dengan begitu orang lain akan menaruh hormat kepadanya karena sikapnya yang baik. Perilaku orang dapat dilihat dari sikap baik yang dimunculkannya. Oleh karenanya sikap yang baik harus diajarkan para guru dalam pendidikan karakter di sekolah h. Toleransi (tolerate) Peserta didik harus dilatih agar mampu bertoleransi dengan baik kepada orang lain. Toleransi harus dipupuk sejak dini, apalagi kepada hal-hal yang bernuansa Suku, agama, Ras, dan antar golongan (SARA). Perlu tolerasi yang tinggi agar mampu memahami kalau kita berbeda tetapi hakekatnya tetap satu juga. Toleransi antar umat beragama adalah salah satu bentuk toleransi yang paling jelas terlihat dalam kehidupan sehari-hari. i. Kreatif (Creative) Prosiding Seminar Nasional Matematika Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Muhammadiyah Surakarta, 24 Juli 2011 140

Peserta didik harus diajarkan agar mampu kreatif. Dengan begitu dia telah terbiasa menciptakan sesuatu yang baru. Guru kreatif akan menghasilkan peserta didik yang kreatif pula. Ajarkan peserta didik kita agar mampu kreatif dalam menjalankan aktivitas kesehariannya. Anak kreatif tidak lahir begitu saja. Dia lahir dari proses pendidikan yang berkelanjutan. j. Mandiri (independent) Anak yang terbiasa mandiri biasanya akan jauh lebih berhasil hidupnya daripada anak yang kurang mandiri. Mandiri bukan hanya mampu berdiri di atas kakinya sendiri, tetapi juga mampu membawa dirinya untuk tidak bergantung penuh kepada orang lain. Kemandirian harus ditanamkan kepada para peserta didik kita bila ingin anak menjadi mandiri. k. Rasa Ingin Tahu (curiosty) Setiap anak pasti memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Tentu sebagai guru kita dituntut untuk mampu mengarahkan rasa ingin tahu mereka kearah hal-hal yang positif seperti rasa ingin tahu mereka tentang bumi dan antariksa yang ilmunya terus berkembang seiring dengan pesatnya perkembangan ilmu pengatahuan dan teknologi. l. Semangat Kebangsaan (Nationality Spirit) Para peserta didik harus didorong memiliki semangat kebangsaan. Dengan begitu akan ada rasa bangga kepada bangsanya sendiri. m. Menghargai (Respect) Peserta didik harus mampu menghargai hasil karya orang lain yang dilihatnya. Dengan begitu ada penghargaan yang diberikan olehnya kepada orang lain. n. Bersahabat (Friendly) Ketika peserta didik sudah terbiasa bersahabat, maka akan terasalah pentingnya sebuah persahabatan. Bersahabat adalah karakter penting yang harus dimiliki oleh para peserta didik. o. Cinta damai (Peace Ful) Peserta didik harus cintai damai. Cinta mencintai antar sesama anak manusia. Kita semua bersaudara dan tidak selayaknya kita saling bertengkar.

KERTAS KERJA KAJIAN SISTEM PENDIDIKAN KEBANGSAAN (MTT 2353)

KONSEP NILAI MURNI DALAM FALSAFAH PENDIDIKAN NEGARA

1.0 Tujuan pemilihan tajuk. Memandangkan kepada masalah sosial yang semakin ketara dan berleluasa dewasa ini khususnya dikalangan remaja ataupun kanak-kanak sekolah, tajuk ini amat sesuai dipilih untuk diperbincangkan. Masalah sosial yang disajikan kepada kita baik melalui media elektronik ataupun media cetak setiap hari amat membimbangkan contohnya kes penyalahgunaan dadah, penderaan, pembunuhan, rasuah, politik wang dan sebagainya. Kes juvana juga semakin hari semakin meningkat. 2.0 Definisi Nilai Murni Nilai murni dapat didefinisikan sebagai perlakuan yang baik, peradaban dan tatasusila individu manusia dalam hubungannya sesama manusia, alam dan tuhan. Wan Mohd. Zahid mentakrifkan nilai murni sebagai: "Nilai-nilai murni merupakan tanggapan berkenaan perkara-perkara yang dihajati dan pada masa yang sama juga menjadi kriteria atau ukuran. Nilai-nilai murni sesuatu masyarakat biasanya diasaskan kepada agama. Memang menjadi tujuan semua agama, untuk membentuk kehidupan penganutnya untuk menjadi baik dan berakhlak mulia" (Wan Mohd. Zahid, 1988) Secara keseluruhannya, ia merupakan nilai yang positif yang boleh diterima oleh pelajar dan masyarakat. Dalam pendidikan, penerapan nilai yang pertama kali secara rasminya diberi penekanan ialah melalui Lapuran Kabinet (Lapuran Mahathir 1979), 1989. Semasa Datuk Sri Anwar Ibrahim menjadi pemimpin Kementerian Pendidikan beliau membuat penyataan mengenai FPN & KBSM yang mana menyelitkan isu-isu nilai murni untuk diterapkan kepada pelajar-pelajar dan guru-guru dalam melahirkan insan yang seimbang dan harmoni, bukan sahaja dari segi intelek, tetapi juga emosi, rohani dan jasmani. 3.0 Falsafah Pendidikan Negara Falsafah Pendidikan Negara (FPN) yang disuratkan pada tahun 1987 berbunyi:"Pendidikan di Malaysia adalah satu usaha berterusan kearah perkembangan lagi potensi individu secara menyeluruh dan bersepadu untuk mewujudkan insan yang seimbang dan harmonis dari segi intelek, rohani, emosi dan jasmani berdasarkan kepercayaan dan kepatuhan kepada tuhan. Usaha ini adalah bagi melahirkan rakyat Malaysia yang berilmu pengetahuan, berketerampilan, bertanggungjawab dan berkeupayaan mencapai kesejahteraan diri serta memberi sumbangan terhadap keharmonian dan kemakmuran masyarakat dan negara" Falsafah Pendidikan ini menjurus ke arah mencirikan insan dan warganegara yang baik dengan mengemukakan ciri-ciri:

a. b. c. d. e.

Percaya dan patuh kepada tuhan Berilmu pengetahuan Berakhlak mulia Bertanggungjawab kepada diri, masyarakat, agama dan negara. Berbakti dan memberi sumbangan kepada masyarakat, agama. Bangsa dan negara. f. Memiliki sahsiah yang seimbang dan sepadu. Keseimbangan dan keharmonian yang terdapat dalam FPN akan dapat dicapai jika nilainilai murni ini dapat direalisasikan melalui kurikulum (khususnya dalam pendidikan formal dan tidak formal) supaya ilmu pengetahuan akan dapat diperkembangkan sebagai khalifah Allah dimukabumi ini, manusia hendaklah menyeru dan menyedarkan sesama manusia yang lain. Datuk Seri Anwar Ibrahim semasa beliau selaku Menteri Pendidiakn pernah menyeru agar FPN menjadi teras dan tunjang kepada sistem pendidikan kebangsaan dalam melaksanakan prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang hendak dicapai. Usaha dan kesedaran daripada insan itu sendiri amat penting dalam mentafsir, membentuk dan melaksanakn hasrat falsafah pendidikan demi untuk melahirkan insan yang berilmu, beriman, berakal, berketerampilan dan berakhlak mulia. Kesedaran tentang penanaman nilai-nilai murni disemai dan dibajai mulai zaman kanakkanak lagi. Ibubapa, guru-guru dan masyarakat masing-masing berperanan dalam memberi teladan kepada kanak-kanak agar mereka dapat menyesuaikan dan memeprsembahkan diri mereka berdasarkan kepada nilai murni yang ditonjolkan kerana mereka ibarat kain putih yang perlu dicorakkan dengan warna-warna nilai yang baik. Bak kata pepatah, "melentur buluh biarlah dari rebungnya". Pendidikan di rumah adalah bergantung kepada ahli keluarga itu sendiri. Rasulullah S.A.W menegaskan kepentingan pendidikan bermula di rumah iaitu pada peringkat keluarga lagi. Sabda baginda yang bermaksud: " Setiap bayi yang dilahirkan itu dengan fitrahnya. Hanya ibubapanya yang menjadikan ia Yahudi, Nasrani atau Majusi." Di sekolah guru memainkan peranan sebagai ibubapa dalam membentuk kanak-kanak selaras dengan penerapan yang dimasukkan dalam Falsafah Pendidikan Negara. Nilainilai murni mula diterapkan dari pendidikan pra sekolah lagi merupakan basic atau asas kepada proses pembelajaran dan perkembangan kanak-kanak dalam membentuk peribadi dan bernilai murni. Guru bukan hanya menjalankan tugas mengajar matapelajaran yang terdapat dalam syllabus tertentu sahaja, sebab nilai murni perlu terdapat dalam setiap matapelajaran. Dan adakalanya nilai murni yang disalurkan itu tidak terdapat secara khusus di dalam subjek tersebut tetapi diterapkan secara tidak formal seperti komunikasi yang baik antara guru dan murid, yang akan mempengaruhi penanaman nilai dalam jiwa pelajar.

4.0 Rasional Nilai-nilai Murni dalam Falsafah Pendidikan Negara Pada bulan Mei 1969, rusuhan kaum berlaku dalam sejarah negara. Ini menunjukkan kerapuhan kebangsaan kita. Masyarakat kita tiada semangat muhibbah yang dapat menyatukan setiap kaum. Selain daripada itu tekanan daripada cendikiawan Islam terutama sejak Persidangan Sedunia Tentang Pendidikan Islam di Mekah pada tahun 1977 serta penularan pelbagai jenis penyakit kerohanian, akhlak, sosial dikalangan pelbagai lapisan masyarakat mengalakkan pihak yang berkenaan memberi perhatian yang lebih kepada isu nilai dalam pendidikan. Sebagaimana yang kita tahu matlamat dasar pendidikan negara adalah untuk melahirkan masyarakat yang bersatupadu, berdisiplin, berpengetahuan, bertanggungjawab, berkebolehan berwawasan dan terlatih. Maka apakah corak pandangan hidup atau "world view" yang harus didedahkan kepada pelajar atau belia sekarang untuk mereka hayati, amal dan wariskan?. Untuk melihat output dan product yang positif yang dijelmakan oleh pelajar ialah melalui penanaman nilai-nilai murni serta penekanan yang lebih jitu dalam usaha mendidik mereka agar selaras dengan penyataan FPN ini. Fungsi utama proses pendidikan ialah sebagai agen pemasyarakatan dan pembudayaan dalam menerapkan nilai-nilai tersebut. Yang penting sekali adalah kesepaduan empat sifat utama iaitu JERI (Jasmani, Emosi, Rohani dan Intelektual) yang akan menghasilkan keseimbangan dalam melahirkan individu yang berakhlak. Masyarakt adalah agen ketiga dalam membentuk nilai murni. Melalui FPN yang dipelajari disekolah-sekolah baik untuk ahli masyarakat yang sedang atau telah tamat bersekolah. Mereka telah diterapkan dan diajar dengan nilai murni. Kesan daripada apa yang dipelajari mereka boleh jelaskan kepada orang lain samada melalui bentuk penerangan, perbincangan melihat ataupun perubahan perlakuan sendiri. Penerapan nilai itu mestilah bersahaja dan tidak langsung dan sentiasa berterusan. Di Malaysia dewasa ini isu-isu penerapan nilai murni semakin ketara dan menonjol. Kementerian Pendidikan Malaysia telah melaksanakan strategi penerapan nilai-nilai murni secara komprehensif dimana: " Nilai-nilai murni akan disisipkan melalui kesemua matapelajaran dan akan diperkukuhkan melalui kegiatan-kegiatan ko-kurikulum, formal dan tidak formal, di dalam dan di luar bilik darjah, akan digunakan sepenuhnya dengan cara bersepadu untuk memastikan penerapan nilai-nilai murni akan berhasil dan berkesan." 5.0 16 Aspek Nilai-nilai Murni Jawatankuasa Pendidikan Akhlak yang ditubuhkan pada tahun 1976 telah meneliti nilainilai yang terkandung dalam pelbagai agama yang diamalkan di negara kita, tidak hanya memfokuskan kepada agama Islam sahaja. Berasaskan kepada pandangan dan maklumbalas yang diperolehi , jawatankuasa ini yang dianggotai oleh wakil pelbagai agama telah menerima 16 nilai yang boleh diajar dan diserapkan kepada semua pelajar di

negara ini untuk membentuk pelajar yang seimbang dan menyeluruh dari segi kognitif, afektif, psikomotor dan akhlak. Di sekolah penerapan nilai murni boleh disepadukan melalui: a. b. c. d. e. f. g. Secara pertuturan Secara perlakuan Secara teladan Secara isyarat Secara kefahaman Secara interpretasi Secara konteksual

Tujuan pendidikan nilai murni ialah untuk membentuk murid-murid supaya berperibadi mulia dan mampu dalam membuat keputusan berdasarkan nilai moral diri, keluarga, komuniti dan masyarakat. Pusat Perkembangan Kurikulum (PPK) telah memperakui 16 nilai-nilai murni:1. Baik Hati Sikap sentiasa mengambil berat terhadap perasaan dan kebajikan orang lain secara tulus ikhlas. Sikap baik hati boleh dilihat dengan menilai tindak tanduk orang lain. Ini meliputi:
o o o o o

Aspek belas kasihan Bertimbang rasa Murah hati Saling faham memahami Sedia memaafkan

1. Berdikari Kebolehan dan kesanggupan melakukan sesuatu tanpa bergantung kepada orang lain. Berdikari dalam konteks ini membawa pengertian:
o o o

Bertanggungjawab Berupaya bertindak sendiri Jaya diri dan yakin pada diri sendiri.

1. Hemah Tinggi

Berbudi pekerti dengan tingkah laku mulia dan lemah lembut yang patut diamalkan oleh seseorang individu dalam hubungannya dengan ahli masyarakat yang lain. Ciri-ciri berhemah tinggi adalah:
o o o

Kesopanan Mengakui kesalahan Ramah mesra

1. Hormat Menghormati Menghargai dan memuliakan seseorang dan institusi sosial dengan memberi layanan yang bersopan. Ini merangkumi:
o o o o o o o

Hormat dan taat kepada ibubapa Hormat kepada orang yang lebih tua, guru, rakan, jiran tetangga dan pemimpin Hormat kepada raja dan negara Patuh kepada undang-undang Hormat kepada hak asasi Hormat kepada kepercayaan dan adat resam pelbagai keturunan Hormat kepada keperibadian individu.

1. Kasih sayang Perasaan cinta, kasih sayang yang mendalam dan berkekalan. Rasa ini lahir dari hati yang rela terhadap sesuatu, tanpa sebarang unsur kepentingan diri:
o o o o

Sayang kepada nyawa Sayang kepada alam sekeliling Cinta kepada negara Cinta kepada keamanan dan keharmonian

1. Keadilan Perlakuan, pertuturan dan keputusan yang saksama serta tidak berat sebelah. 1. Kebebasan Kebebasan yang dimaksudkan ini, tertakluk kepada peraturan dan undang-undang yang ditentukan oleh agama, masyarakat dan negara. Contohnya ialah:
o o

Kebebasan di sisi undang-undang Kebebasan dalam sistem demokrasi.

1. Keberanian

Kesanggunpan seseorang untuk menghadapi cabaran dengan yakin dan tabah hati. Keberanian itu perlu ada pada setiap orang. Tetapi ia harus tahu batas dan keupayaannya kerana keberanian yang melulu mengakibatkan bencana. Nilai ini merangkumi:
o o o o

Berani dengan tidak membuta tuli Berani kerana benar Berani mempertahankan pendirian Berani bertanggungjawab.

1. Kebersihan fizikal dan mental Kebersihan fizikal ialah kebersihan diri dan kebersihan persekitaran. Kebersihan mental pula merangkumi pertuturan, perlakuan, pemikiran dan kerohanian. Antaranya ialah:
o o o o

Kebersihan diri Kebersihan persekitaran Pertuturan dan kelakuan yang bersopan Pemikiran yang sihat dan membina

10. Kejujuran Sikap dan perlakuan yang menunjukan niat baik, amanah dan ikhlas tanpa mengharapkan sebarang balasan. 1. Kerajinan Usaha berteruan yang penuh dengan semangat ketekunan, kecekalan, kegigihan, dedikasi dan daya usaha dalam melakukan sesuatu perkara. 1. Kerjasama Usaha baik dan membina yang dilakukan secara bersama pada peringkat individu, komuniti, masyarakat atau negara untuk mencapai sesuatu matlamat seperti persaudaraan, tanggungjawab bersama, gotong royang, ketoleranan dan perpaduan. 1. Kesedaran Sikap tidak keterlaluan dalam membuat pertimbangan dan tindakan sama ada dalam pemikiran, pertuturan atau perlakuan supaya sesuai dengan norma dan nilai masyarakat. Ini termasuklah:
o o

Sederhana dalam menimbangkan kepentingan diri dan kepentingan orang lain. Tidak keterlaluan dalam pertuturan dan tingkah laku.

1. Kesyukuran

Perasaan dan perlakuan yang dilahirkan secara ikhlas di atas nikmat dan kesenangan yang diperolehi seperti berterima kasih,, mengenang budi dan penghargaan. 1. Rasional Boleh berfikir berdasarkan alasan dan bukti yang nyata dan dapat mengambil tindakan yang sewajarnya, tanpa dipengaruhi oleh perasaan. Umpamanya seperti boleh membuat pertimbangan, boleh membuat penakulan dan berfikiran logik dan terbuka. 1. Semangat Bermasyarakat Kesediaan melakukan sesuatu untuk kepentingan bersama bagi mewujudkan keharmonian hidup dalam masyarakat seperti bermuafakat, kerajinan dan peka kepada isu-isu sosial dalam masyarakat. 6.0 Strategi Penerapan Nilai Murni Suatu proses perubahan yang sedang berlaku dalam Falsafah Pendidikan Negara dengan menjadikan "Manusia" sebagai objek yang paling utama. Aspek-aspek Ontologi (teori kejadian), epistemologi (teori ilmu) dan axiologi (teori nilai). Ketiga-tiga aspek ini digabungkan sebagai commitment untuk menjadikan nilai-nilai murni sebagai asas utama dalam kurikulum pendidikan kebangsaan. Kementerian Pendidikan memutuskan untuk menggunakan strategi bersepadu diperingkat menengah. Langkah ini bertujuan untuk memastikan bahawa semua matapelajaran yang diajar tidak terpisah di antara satu sama lain, malah berkaitan dan bersifat bersepadu. Unsur-unsur utama yang akan digunakan untuk mewujudkan kesepaduan itu ialah unsur nilai. Dalam pendidikan , penerapan nilai murni berlaku secara bersahaja dan tidak langsung. Strategi penerapan nilai secara yang tidak langsung ini penting kerana nilai tidak boleh diajar secara formal seperti matapelajaran lain. Ini merupakan satu penghayatan dan pengusahaan secara beramal bukan sekadar peringatan atau penghafalan. Bagi strategi yang mempunyai kaitan langsung dengan isi pelajaran, pendekatan kognitif dalam bentuk perbincangan dapat dilakukan. Fakta-fakta sejarah dan cerita-cerita dalam matapelajaran sastera umpamanya akan dapat dibincang melalui isu-isu yang dapat dikaitkan secara langsung dengan unsur nilai yang dipegang oleh pelajar atau nilai sejagat tertentu. Pelajar di mana membuat penilaian berdasarkan kepada nilai mereka sendiri di mana guru hanya bertindak sebagai pembimbing kepada pelajar untuk mereka periksa nilai sendiri di samping guru mencari alternatiif lain. Nilai yang diterapkan boleh menjadi kriteria panduan tentang bagaimana sesuatu nilai harus dilakukan misalnya nilai keberanian ataupun rasional. Orang yang rasional boleh membuat pertimbangan yang baik dalam menghadapi menyelesaikan sesuatu masalah. Sikap perihatin guru dan kesedaran pelajar dalam memupuk nilai murni baik secara

formal ataupun spontan menyebabkan ianya akan sentiasa dapat dipupuk dari semasa ke semasa. Tindakan Kementerian Pendidikan yang melancarkan strategi bersepadu diperingkat sekolah menengah (KBSM) adalah bersesuaian kerana ia bertujuan memastikan bahawa semua matapelajaran yang diajar tidak terpisah jauh antara satu sama lain dan sentiasa berkaitan dan bersifat bersepadu. Unsur yang menunjukan kesepaduan ini ialah unsur nilai. 7.0 Teknik Penerapan Nilai Murni Walaupun nilai-nilai murni diwar-warkan untuk dilaksanakan dan diserapkan dalam pendidikan, jika tidak ada teknik yang sesuai ianya tidak akan mencapai matlamat dan keberkesanannya. Antara cara yang dikenalpasti untuk menerpkan dan menyerap serta menyemai nilai-nilai murni ialah:

Melalui matapelajaran tertentu (Pendidikan Moral dan Pendidikan Islam) Penerapan nilam murni dalam matapelajaran lain Aktiviti ko-kurikulum Aktiviti persatuan sekolah Melaui teknik-teknik di atas, penerapan nilai murni akan dapat dilaksanakan walaupun tidak sepenuhnya. Melalui matapelajaran tertentu, sekurang-kurangnya dengan mewajibkan pelajaran mengambil subjek yang berkenaan akan memberikan pengetahuan ataupun akan dapat menarik minat mereka untuk belajar. Begitu juga dengan penerangan melalui matapelajaran lain yang mungkin berlaku secara langsung misalnya melalui perlakuan atau interaksi. Di sini pelajar akan dapat melihat dan membandingkan serta mengaitkan apa yang dipelajari dalam matapelajaran khusus tadi dengan apa yang dilihat sekarang. Disamping bimbingan guru-guru dasn ibubapa, kesedaran daripada pelajar itu sendiri amat penting dalam menetapkan situasi diri mereka sendiri. Teknik ke tiga dan ke empat juga berlaku secara tak langsung di mana biasanya melalui teknik ini penerapan nilai-nilai murni akan lebih menyerlah. Penerapan nilai-nilai murni akan tertera dengan sendirinya. Jika kumpulan yang tidak mempunyai nilai murni mereka akan sentiasa berada dalam keadaan bermasalah.

8.0 Keberkesanan penerapan nilai murni dalam Falsafah Pendidikan Negara. Memandangkan penerapan nilai telah lama dilaksanakan dikalangan pelajar, baik melalui ibubapa, guru ataupun masyarakat, hari ini kita telah dapat melihat beberapa bukti yang menunjukkan sejauhmana keberkesanan ataupun ketidakberkesanan penerapan tersebut. Adakah matlamat FPN untuk melahirkan insan yang seimbang dan hamonis telah terccapai? Jawapannya, "Ya" dan "Tidak", ini kerana walaupun penerapan nilai telah

disemai dan dilaksanakan namun masih ada yang tidak mengamalkannya walaupun mereka telah menerimanya. "Ilmu tanpa Amal", tiada ertinya. Antara bukti keberkesanan yang telah kita dapat lihat pada hari ini ialah semakin ramai golongan remaja kita yang berakhlak mulia walaupun mereka dipengaruhi oleh pelbagai godaan untuk memencongkan nilai murni pada diri manusia. Golongan remaja yang awal 20-an sekarang adalah mereka yang telah diterapkan dan diberi penekanan mengenai penerapan nilai-nilai murni semasa di sekolah dahulu. Hasilnya kita lihat pada hari ini adanya kesedaran daripada golongan remaja sendiri untuk membenteras kepincangan yang dihadapi oleh segelintir rakan mereka yang masih dipengaruhi oleh nilai yang tidak elok. Misalnya, dalam industri muzik yang sentiasa mengulit remaja dengan lagu-lagu dan muzik terkini seperti rock, dang-dut, dan lain-lain. Tapi ada juga remaja yang sedar dan cuba menarik dan menutupinya dengan mengalunkan lagu-lagu dakwah dengan memuji kebesaran Illahi seperti kumpulan Rabbani, Raihan, Hijjaz, Hawa dan sebagainya. Perkembangan kumpulan pemuzik dakwah ini sekurang-kurangnya menunjukkan adanya kesedaran dan kejayaan pemupukan nilai murni. Dari segi ekonomi misalnya, kanak-kanak sekolah begitu perihatin terhadap kelemahan dan kesusahan orang lain. Penerapan nilai murni yang mereka terima membantu menyedarkan mereka untuk menderma, menolong dan perihati terhadap masalah yang wujud tanpa mengira siapa. Contohnya, "Derma Hari Pahlawan" yang selalu di buat oleh kanak-kanak sekolah , menunjukkan disamping mereka menderma mereka bekerjasama membantu memungut derma tersebut. Ini menunjukkan satu inesiatif yang baik dalam menyemai nilai-nilai murni. Anugerah "Tokoh Kanak-kanak", "Pingat Hang Tuah", "Olahragawan dan Olahragwati" dan lain-lain anugerah menunjukkan nilai-nilai murni yang disemai dan keberkesannanya kerana penganugerahan itu diberikan berdasarkan kepada sikap, sifat dan pencapaian yang baik yang ditunjukkan. Yang paling jelas kita lihat sekarang ialah nilai saling hormat menghormati yang ditunjukkan oleh remaja kita kepada ahli masyarakat. Melalui penerapan nilai di sekolahsekolah, ramai pelajar yang dapat menerimanya. Misalnya mereka prihatin dalam menghormati orang yang lebih tua daripada mereka. Mereka pandai menyesuaikan diri dalam sesuatu kelompok tertentu agar tidak menyinggung perasaan orang lain. Namun demikian tidak dapat dinafikan bahawa bukan semua nilai-nilai murni yang diterapkan di sekolah-sekolah atau di rumah itu diterima pakai oleh pelajar kita, sebab masih ada yang menunjukkan kesan yang negatif. Masalah-masalah sosial yang semakin meningkat sekarang menunjukkan kesukaran mereka melaksanakan nilai-nilai murni tersebut walaupun mereka mengetahuinya, tetapi tidak dipraktikan. Ini berpunca daripada beberapa faktor tertentu seperti ibubapa, institusi sekolah sendiri, guru dan masyarakat dan pelajar itu sendiri.

Ibubapa misalnya mereka walaupun telah menyemai dan menanam nilai-nilai murni dalam jiwa anak mereka tetapi tidak menggalakkan mereka untuk mengamalkan adalah sesuatu yang tidak wajar. Begitu juga guru-guru dan masyarakat. Mereka tidak begitu memberi perhatian terhadap nilai-nilai yang asas atau kecil. Mereka memandang ringan atas beberapa kesilapan kecil yang dilakukan dan kurangnya penerapan. Guru misalnya, mereka sekadar mengajar mengenai nilai-nilai murni kepada pelajar sedangkan mereka sendiri tidak menunjukkan contoh tauladan yang baik. Sikap individu atau pelajar sendiri yang ambil mudah (sambil lewa) terhadap penerapan nilai murni ini. Misalnya mereka mempelajari sesuatu subjek itu adalah sekadar examoriented, hanya untuk lulus peperiksaan, bukannya memahami dan mempraktikkan apa yang dipelajari. Ada segelintir pelajar yang suka dipaksa untuk melakukan sesuatu perkara, maka dengan tidak adanya paksaan samada dari ibubapa ataupun guru menyebabkan mereka melalaikannya. 9.0 Konsep Pemuafakatan Dalam Pendidikan Dalam pendidikan, konsep pemuafakatn ini ditumpukan kepada pemuafakatan antara guru, ibubapa, masyarakat dan murid itu sendiri. Antaranya yang jelas kita nampak ialah pemuafakatan yang dibuat melalui penibuhan PIBG di sekolah-sekolah untuk menangani dan membincangkan isu-isu semasa berkaitan dengan sekolah, perkembangan , kemajuan serta masalah yang melanda pelajar serta sekolah tersebut. Dengan adanya PIBG, ini menunjukkan bebanan di sekolah tidak hanya dipikul oleh guru sahaja tetapi juga mendapat kerjasama daripada ibu-bapa pelajar. Sebarang kemajuan dapat dirasai bersama sebaliknya juga sebarang masalah perlu dipikul dan dibanteras bersma. Konsep pemuafakatan di sekolah juga dapat kita lihat melalui kegiata-kegiatan kokurikulum ataupun temasya yang diadakan. Contohnya temasya sukan atau sukaneka di sekolah adakalanya melibatkan tidak hanya pelajar berkenaan tetapi juga ahli keluarga pelajar tersebut. Ini menunjukkan adanya semangat kesukanan, setiakawan serta kerjasama dalam aktiviti yang dijalankan. 10.0 Penutup Kesemua 16 nilai yang dipilih untuk disisipkan kedalam pendidikan adalah nilai-nilai yang dapat menjadikan seseorang itu manusia yang dihormati dan boleh memainkan peranan yang aktif dalam menjamin keharmonian dalam masyarakatnya serta dapat menyumbang kearah pembangunan masyarakat. Tanggungjawab untuk menyediakan generasi yang seimbang dan harmonis dari segi JERI bagi melaksanakan hasrat FPN bukanlah satu yang mudah. Penggubalan KBSM adalah harapan untuk melahirkan insan yang soleh dan berakhlak mulia.

Tugas guru dalam menerapkan nilai murni tidak semestinya bergantung 100% kepada kandungan kurikulum yang ditentukan tetapi perlulan juga berdasarkan inisiatif mereka sendiri. Guru sebagai "role model" perlulah menunjukkan dan menainkan peranan dalam menerapkan nilai murni baik dari segi perbuatan, perlakuan maupun tuturkatanya. Guru harus cekap dalam menyampaikan isi pelajaran disamping menerapkan nilai-nilai murni dalam penyampaiannya. Begitu juga dalam memilih kaedah dan waktu hendaklah bersesuaian. Kesemua nilai yang disenaraikan merupakan asas atau jambatan kepada pelajar yang masih dibangku sekolah dalam membentuk perwatakan dan displin diri yang tinggi dan mulia. FPN digubal berpandukan kepada konsep berteraskan Allah SWT. Ia menampakkan sifat yang bersepadu, menyeluruh dan seimbang iaitu kesepaduan di antara ilmu, iman dan amal; kesepaduan di antara akal, jasad dan roh; kesepaduan di antara teori dan amali, di antara kemahiran dan akhlak; di antara rupa dan jiwa; di antara pembangunan keduniaan dan akhirat; dan di antara manusia, alam dan Allah, yang mana kesemuanya bermatlamatkan pemikiran insan soleh . Insan yang baik akan membentuk keluarga yang baik, seterusnya masyarakat serta bangsa yang baik. Tindakan kerajaan menukarkan kurikulum lama kepada kurikulum baru iaitu pendidikan bersepadu (KBSM) adalah satu langkah yan bijak dan tepat. Ini menunjukkan kerajaan ada campurtangan dan turut memberi penekanan kepada bukan sahaja ilmu yang bersifat kerohanian dan keduniaan tetapi juga ilmu moral yang lebih bersifat kejasmanian dan keakhiratan. Pendidikan akan sentiasa terus berlangsung, tiada limitasinya. Matlamat akhir pendidikan bersepadu adalah merupakan integrasi tanggungjawab membentuk insan yang baik dan seimbang dari segi rohani, jasmani, emosi dan intelek selaras dengan kehendak FPN. Soalan-soalan yang dikemukankan. Dari Sdr. Rashdan a) Untuk keberkesanan , kenapa ibubapa tidak dimasukkan ke dalam hand-out sebagai punca-punca kelemahan penerapan nilai murni? b)Isu-isu menghormati dikalangan masyarakat lebih baik hujah disokong dengan bukti contohnya statistik. Dari Sdr. Raman Masalah disiplin pelajar yang semakin kritikal hingga ke tahap pukul guru- siapakah yang sebenarnya dipertenggungjawabkan? Dari Sdr. Zahrim Mengapakah di Institut Pendidikan Swasta kurang menekankan kepada nilai-nilai FPN.

Di sini apakah peranan Kementerian Pendidikan dalam menangani masalah ini? Dari Sdr. Che Ghani Peristiwa 13 Mei- adakah berlakunya peristiwa tersebut akibat daripada tidak wujudnya FPN atau mungkin tidak ada penerapan nilai. Dari Pn. Sarimah Penerapan nilai murni dalam FPN amat baik tetapi Jenayah semakin menjadi-jadi? Apakah teknik penerapan nilai mugkin menemui kegagalan? Dari Sdr. Riduan Peratusan bumiputera berbanding dengan bukan bumiputera jauh berbeza. (Hasil Kajian Intan). Berdasarkan kepada nilai murni yang terdapat dalam FPN: a. Adakah ia benar-benar berkesan b. Adakah nilai murni boleh menampung peratusan bumiputera yang terlibat dalam bidang pendidikan dan pekerjaan. Dari Sdr. Suhaimi Shaharom Fatwa Pendidikan Negara berkaitan 16 aspek nilai murni. Pelajar ITTHO masih bermasalah dalam menghayati nilai murni. Adakah nilai murni yang ada memberi keberkesanan di ITTHO. Dari Sdr. Siva Dev 16 aspek nilai murni - kebebasan Adakah akta "universiti" menghalang kebebasan untuk hasilkan bakal pepimpin di masa depan. Dari Sdr. Victor Unsur sosial, homoseksual di sekolah. Bagaimana strategi & teknik penerapan dilaksanakan dan cara mengatasinya. Adakah FPN boleh diterapkan. Jawapan kepada persoalan yang dikemuakan. Soalan keberkesanan.

Mengenai keberkesanan penerapan nilai-nilai murni. Sejauhmana keberkesanannya adalah sesuatu yang sukar untuk dikodkan dalam bentuk percentage tertentu kerana kita tidak dapat mengukur atau membuat sukatan yang tepat untuk melihat keberkesanan. Yang jelas, adanya perubahan ataupun imigrasi sikap individu itu sendiri. Kita boleh kenalpasti samada individu itu ada nilai murni atau tidak. Sememangnya kejayaan penerapaan bukanlah 100% sebab tahap penerimaan individu itu berbeza-beza. Dari segi statistik sukar untuk diperolehi sebagaimana ynag diminta oleh Sdr. Rashdan dalam pengukuran nilai murni, kecuali statistik untuk kes jenayah yang senag diperolehi dari rejodrekod Polis. Ini kerana manusia tidak mengukur nilai yang diterap secara khusus. Punca kelemahan nilai murni, kami tidak memasukkan ibubapa mungkin salah satu kelemahan kumpulan kami tetapi perkara ini sepatutnya tidak dipersoalkan kerana saudara sendiri telah sedia maklum bahawa apa yang kami senaraikan adalah sebahagiannya sahaja. Peristiwa 13 Mei Semasa tahun 1969, walaupun telah ada penerapan nilai murni dalam FPN tetapi ianya tidak diberi penekanan dalam pendidikan jika dibandingkan dengan masa sekarang. Disiplin Pelajar Siapa yang bertanggungjawab adalah semua pihak dari individu kepada masyarakat. Nilai murni di ITTHO Memang tidak dapat dinafikan bahawa sebilangan pelajar di ITTHO tidak menghayati penerapan nilai murni yang telah diterapkan di sekolah dahulu. Ini dapat di lihat dari sikap agresif mereka untuk bertindak tanpa menggunakan prosedur yang betul. Apa yang perlu dicadangkan, pensyarah di ITTHO seeloknya terdiri dari masyarakat Malaysia terutama yang beragama Islam, kerana mereka inilah yang berperanan dalam menerapkan nilai murni jika dibandingkan dengan pensyarah asing yang tidak begitu pakar dalam nilai murni kita. Penambahan dari idea pensyarah Trainning. Beliau menyentuh mengenai "trainning" dikalangan guru-guru. Guru tidak dapat latihan /kursus sepenuhnya. Walaupun ada di IAB. Ada guru yang merungut mereka tidak dapat melaksanakannya. Mereka yang mengajar agama pun ada kelemahannya. Ada yang mengajar sesuatu perkara itu dari satu aspek sahaja. Contohnya, Najis hendaklah disucikan, dan anjing adalah najis bagi orang Islam . Tetapi jika dilihat dari aspek lain, kita boleh menanamkan sifat nilai murni seperti menyanyangi binatang walaupun najis jangan menganiayainya, kerana ada yang masuk syurga

kerana membei minum air kepada seekor anjing yang dahaga. Maka walaupun haram disisi Islam tetapi pada "humanities" ianya baik - perlu seimbangkan. Nilai-nilai merentas kurikulum kadangkala tidak dapat dilaksanakan. Pemuafakatan Pendidikan Ianya telah disuarakan oleh bekas Pengarah Tan Sri Wan Ahid, telah diambil alih oleh pengarah baru (Mohd Nor) tetapi tidak dapat dilaksanakkan kerana masalah kesihatan. Maka masih tidak dapat diteruskan. Pemuafakatam bukan sahaja melibatkan sekolah, guru tetapi juga ibubapa. Kadangkala berlaku percanggahan nilai-nilai yang diajar di rumah dan di sekolah di mana wujudnya pendekatan dualisme.

Masalah Homoseksual Telah lama wujud - di IPTA sendiri, asrama penuh -lelaki lembut menjadi mangsa. Kadangkala masalah (budaya) ini wujud adalah berkaitan dnegan latarbelakang keluarga ataupun berlaku kerana telah biasa dengan pergaulan bebas. Kalau buat terapipun akan ambil masa yang panjang. Mereka yang terlibat dalam homoseksuality (lesbian atau gay) adalah mereka yang ingin mencari abnormality. Kadang-kala isu-isu seks dibicarakan terlalu terbuka tetapi untuk diajar di sekolah dibantah oleh ibubapa. Persoalan-persoalan yang ditimbulkan adakalanya terlalu berani dan tidak bersesuaian. Contohnya kempen AIDS - Kementerian Kesihatan kempen untuk galakkan pakai kondom. Bila pelajar bawa kondom ke sekolah, guru marah. Di manakah penyelesaian yang sebenar? BIBLIOGRAFI 1. Abu Bakar Nordin, 1991. Kurikulum , Perspektif dan Perlaksanaan. Pustaka Antara, Kuala Lumpur. 2. Dr. Tajul Ariffin Nordin & Dr. Nor Aini Dan, 1992. Pendidikan dan Wawasan 2020. Arena Ilmu Sdn. Bhd, Kuala Lumpur. 3. Dr. Hussien Hj. Ahmad, ______. Jurnal Pengurusan Pendidikan. Perihal Pendidikan dan Falsafah di Malaysia. 4. Ibrahim Saad, 1982. Isu Pendidikan di Malaysia. Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur. 5. MASSA: Wawancara Reformasi Pendidikan bersama Datuk Najib. Jun 1997. 6. Mok song Sang, 1991. Pendidikan di Malaysia. Kumpulan Budiman Sdn. Bhd, Kuala Lumpur. 7. Wan Mohd Nor Wan Daud, (Jan-Mac 1996). Insan Baik Teras Kewarganegaraan. Pemikir.

You might also like