You are on page 1of 33

DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. i DAFTAR TABEL .................................................................................................... i DAFTAR GAMBAR ............................................................................................... i I. PENDAHULUAN ........................................................................................... 1

II. WAJAH PERTANIAN KITA SAAT INI ....................................................... 2 A. Ketersedian Sumberdaya Pertanian.............................................................. 2 B. C. Konstribusi Terhadap Pembangunan Nasional ............................................ 5 Mengurai Permasalahan Pertanian Nasional ................................................ 9

D. Kelembagaan dalam Pengelolaan Pertanian Nasional ............................... 17 III. SIMPULAN ................................................................................................... 30 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 31

DAFTAR TABEL
Tabel 1. Ketersediaan Lahan untuk Pengembangan Pertanian Indonesia Setiap Provinsi ................................................................................... Tabel 2. Pertumbuhan PDB Menurut Lapangan Usaha................................... Tabel 3. Luas Panen dan Produksi untuk Komoditas Padi, Jagung dan Kedelai Tahun 2007-2011................................................................... 8 Tabel 4. Penyerapan Tenaga Kerja Tahun 2009-2011...................................... 9 3 7

DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Pola hubungan lintas sektoral dalam pembangunan pertanian........ 18 Gambar 2. Kuadran Keberhasilan Pembangunan............................................. Gambar 3. Contoh Model Arus Input dan Output Pertanian LEISA................ Gambar 4. Diagram alir pembanguan pertanian berkelanjutan yang berkearifan komoditas lokal.................................................................... 28 23 26

I.

PENDAHULUAN
Indonesia sebagai negara agraris dengan luas lahan pertanian mencapai 30,61 juta Ha (Litbang Kementan 2011), menempatkan pertanian sebagai salah satu sektor primer yang mendukung pembangunan nasional. Variabel penting terhadap pembangunan nasional tidak hanya ditunjukkan atau dibuktikan dari aspek ekonomi, namun bersentuhan secara langsung dalam aspek pembangunan nasional lainnya yakni politik, sosial, dan budaya yang semuanya diarahkan pada upaya mewujudkan kesejahteraan rakyat Indonesia. Dalam rangka menjaga ketersediaan pangan hasil pertanian dalam jangka panjang, dibutuhkan produksi pertanian yang berkelanjutan (sustainable agriculture). Pertanian berkelanjutan merupakan pengelolaan sumber daya alam serta perubahan teknologi dan kelembagaan sedemikian rupa untuk menjamin pemenuhan dan pemuasan kebutuhan manusia secara berkelanjutan bagi generasi sekarang dan mendatang (FAO 1989). Istilah pertanian yang disandingkan dengan istilah keberlanjutan mencakup beberapa aspek penting. Ada tiga aspek pokok pertanian berkelanjutan, yaitu: kesadaran lingkungan, bernilai ekonomis, dan berjiwa sosial. Selanjutnya Libunao (1995) dalam Salikin (2007), menyatakan bahwa paling tidak terdapat delapan ciri spesifik agar suatu pertanian dikatakan berkelanjutan, meliputi: 1) bernuansa ekologi; 2) berjiwa sosial; 3) bernilai ekonomis; 4) berbasis ilmu holistik; 5) berketepatan teknik; 6) berketepatan budaya; 7) dinamis; dan 8) peduli keseimbangan gender. Semangat untuk menjaga pertanian dalam koridor keberlanjutan semakin masif ketika terjadi degradasi tanah khususnya lahan pertanian dan air baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Hal ini menurut Gliessman (2007), terjadi karena selama ini pertanian konvensional hanya ditempatkan dalam konteks peningkatan produksi (orientasi ekonomi) tanpa memperhatikan aspek lingkungan (ekologi). Fokus keberhasilan pertanian hanya menggunakan indikator produktivitas untuk mencapai keuntungan sebesar-besarnya dalam tempo yang cepat bagaimanapun caranya, seperti penggunaan pupuk kimia, pestisida, sistem irigasi dan mesinmesin pertanian modern.

II.

WAJAH PERTANIAN KITA SAAT INI


A. Ketersedian Sumberdaya Pertanian
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, pertanian berkelanjutan secara sistemik menyangkut tiga aspek pokok yaitu ekologi, ekonomi dan sosial budaya. Ketiga aspek tersebut merupakan mata rantai yang seharusnya tidak terpisahkan dalam membentuk dan menjaga kesinambungan pertanian nasional. Uraian mengenai aspek ekologi pertanian lebih difokuskan pada kondisi lahan pertanian. Metrotvnews.com mengutip komentar Profesor Iswandi Anas, bahwa hampir 75 % lahan pertanian di Indonesia sudah kritis karena penurunan kualitas kesuburan tanah. Penurunan kualitas tanah itu akibat pemakaian pupuk kimia dengan dosis tinggi dalam kurun waktu yang panjang dan terus-menerus. Penggunaan bahan kimia untuk menghindari gagal panen dan serangan hama dan penyakit, padahal bahan kimia tersebut akan menyebabkan residu pada tanah dan hasil produksi pertanian. Dari total luas lahan Indonesia, tidak terrnasuk Maluku dan Papua, sekitar 64.783.523 ha lahan digunakan untuk pekarangan, tegalan / kebun / ladang / huma, padang rumput, lahan sementara tidak diusahakan, lahan untuk kayu-kayuan, perkebunan dan sawah (BPS 2001). Data lahan pertanian dari BPS sejak tahun 1986 2000, memperlihatkan bahwa perluasan lahan pertanian berkembang sangat lambat. Terutama lahan sawah sebagai penghasil utama pangan; hanya berkembang dari 7,77 juta ha pada tahun 1986 menjadi 8,52 juta ha pada tahun 1996 bahkan cenderung menyusut menjadi 7,79 juta ha pada tahun 2000. Berdasarkan hasil evaluasi lahan pada skala eksplorasi untuk seluruh wilayah Indonesia, diperoleh data bahwa lahan-lahan yang sesuai untuk pertanian seluas 100,7 juta ha, terdiri dari lahan sesuai untuk tanaman pangan seluas 24,6 juta ha lahan basah dan 25,3 juta ha lahan kering, serta seluas 50,9 juta ha sesuai untuk tanaman tahunan (Puslitbangtanak, 2002). Sementara data potensi lahan pertanian Indonesia sebagaimana yang dirilis oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian (2011) menyebutkan luas areal pertanian Indonesia adalah seluas

30.613.634 Ha. Ini berarti bahwa terjadi penurunan areal pertanian 70% jika dibandingkan data tahun 2002. Adapun data potensi lahan pertanian Indonesia sebagaimana dicantumkan pada Tabel 1. Tabel 1. Ketersediaan Lahan untuk Pengembangan Pertanian Indonesia Setiap Provinsi Provinsi Luas Total Lahan (Ha) 781.663 Deskripsi 431.293 ha (55,2%) untuk komoditas tanaman tahunan, 282.109 ha (36,1%) untuk komoditas tanaman semusim, dan sisanya 68.261 ha (8,7%) diarahkan untuk padi sawah. 429.751 ha (66,4%) untuk komoditas tanaman semusim. 2141.972 ha (21,9%) untuk komoditas tanaman tahunan, dan 75.500 ha (11,7%) diarahkan untuk padi sawah. 896.245 ha (67,1%) diarahkan untuk komoditas tanaman tahunan, 252.980 ha (18,9%) untuk komoditas tanaman semusim, dan 186.000 ha (13,9%) untuk padi sawah. 310.611 ha (65,3%) untuk komoditas tanaman tahunan, 110.047 ha (18,9%) untuk padi sawah, dan sisanya 11,6% komoditas tanaman semusim. 258.997 ha atau 40,9% untuk komoditas tanaman tahunan, 177.341 ha (28,0%) untuk komoditas tanaman semusim, dan 197.000 ha (31,1%) diarahkan untuk padi sawah. 209.105 ha (65,3%) untuk komoditas tanaman tahunan, 88.078 ha (27,5%) untuk komoditas tanaman semusim, dan 22.840 ha (7,1%) untuk padi sawah. 43,9% atau seluas 424.846 ha untuk komoditas tanaman tahunan, 31,8% atau 307.225 ha untuk komoditas tanaman semusim, dan sisanya 235.393 ha untuk padi sawah. 25.807 ha atau 10,3% saja yang diarahkan untuk padi sawah. 89,7% atau seluas 225.470 ha diarahkan untuk komoditas tanaman tahunan. 45.8% atau 40.000 ha untuk padi sawah, 26.398 ha (30,2%) untuk komoditas tanaman semusim, 21.021 ha (24,0%) komoditas tanaman tahunan.

Aceh

Sumatra Utara

647.223

Riau

1.335.225

Sumatra Barat

475.766

Jambi

633.338

Bengkulu

320.023

Sumatra Selatan Bangka Belitung Lampung

967.464

251.227

87.419

Provinsi Jawa Barat

Luas Total Lahan (Ha) 60.410

Deskripsi 48.090 ha (79,6%) untuk komoditas tanaman tahunan, 7.447 ha (12,3 %) untuk padi sawah, 4.873 ha (8,1%) komoditas tanaman semusim. 54.757 ha (96,8%) untuk komoditas tanaman tahunan. Seluas 311 ha (0,5%) untuk komoditas tanaman semusim, dan 1.488 ha (2,6%) untuk padi sawah. 20.654 ha (66,8%) untuk komoditas tanaman tahunan, 8.966 ha (29,0%) untuk komoditas tanaman semusim, dan 1.302 ha (4,2%) untuk padi sawah. Sekitar 35.451 ha (53,7%) diarahkan untuk komoditas tanaman tahunan, 26.394 ha (40,0%) diperuntuk komoditas tanaman semusim, dan sisanya 6,3% untuk padi sawah. 1.770.109 ha (63,0%) untuk komoditas tanaman tahunan, 856.368 ha (30,5 %) untuk komoditas tanaman semusim, dan 183.098 ha (6,5%) untuk padi sawah 2.661.510 ha (71,7%) untuk komoditas tanaman tahunan, 401.980 ha (10,8%) untuk komoditas tanaman semusim, dan 646.397 ha (17,4%) untuk padi sawah. 2.431.329 ha (53,4%) untuk komoditas tanaman tahunan, 1.886.264 ha (41,5%) diperuntuk komoditas tanaman semusim, dan sisanya 5,1% untuk padi sawah. 409.101 ha (33,0%) untuk komoditas tanaman tahunan, 494.791 ha (39,9 %) untuk komoditas tanaman semusim, dan 334.681 ha (27,0%) untuk padi sawah . 266.045 ha (66,6%) untuk komoditas tanaman tahunan, 69.725 ha (17,5 %) untuk komoditas tanaman semusim, dan sisanya 63,403 ha (15,9%) untuk padi sawah . 106.158 ha (33,2%) komoditas tanaman tahunan, 93.417 ha (29,1%) tanaman semusim, dan 121.122 ha (37,7%) padi sawah.

Banten

56.556

Jawa Tengah

30.922

Jawa Timur

66.001

Kalimantan Barat

2.809.575

Kalimantan Tengah

3.709.887

Kalimantan Timur

4.549.356

Kalimantan Selatan

1.238.573

Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara

339.173

321.057

Provinsi Sulawesi Tengah Gorontalo Sulawesi Utara Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Maluku

Luas Total Lahan (Ha) 334.528

Deskripsi Sekitar 95.484 ha (28,5%) diarahkan untuk komoditas tanaman tahunan, 47.219 ha (14,1%) komoditas tanaman semusim, dan sisanya 57,3% untuk padi sawah. lahan pertanian yang tersedia seluruhnya diarahkan untuk padi sawah . Sekitar 133.135 ha (80,9%) diarahkan untuk komoditas tanaman tahunan, 5.091 ha (3,1%) untuk komoditas tanaman semusim, dan 26.367 ha (16,0%) untuk padi sawah. seluruhnya diarahkan untuk padi sawah . 80.628 ha (35,9%) diarahkan untuk komoditas tanaman tahunan, 137.659 ha (61,3%) untuk komoditas tanaman semusim, dan 6.247 ha (2.8%) untuk padi sawah. 529.537 ha (94,9%) diarahkan untuk komoditas tanaman tahunan, dan 28.583 ha (5,1%) untuk padi sawah. Sekitar 440.381 ha (78,4%) diarahkan untuk komoditas tanaman tahunan, dan 121.680 ha (21,6%) untuk padi sawah. . 210.480 ha (54,7%) diarahkan untuk komoditas tanaman tahunan, 50.391 ha (13,1%) untuk komoditas tanaman semusim, dan 124.020 ha (32,2%) untuk padi sawah. 2.790.112 ha (28,9%) diarahkan untuk komoditas tanaman tahunan, 1.688.587 ha (17,5%) untuk komoditas tanaman semusim, dan 5.187.000 ha (53,7%) untuk padi sawah.

20.257

164.593 14.093 224.534

558.120

562.061

Maluku Utara

384.891

Papua Indonesia

9.669.699 30.613.634

Sumber: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian (2011), setelah diolah.

B.

Konstribusi Terhadap Pembangunan Nasional


Pertanian merupakan sektor penyedia pangan yang tidak pernah lepas dari berbagai persoalan, baik persoalan ekologi, ekonomi, sosial dan budaya, bahkan persoalan kebijakan politik. Hal ini tidak berlebihan karena pangan adalah kebutuhan pokok penduduk, terutama di Indonesia. Laporan

BPS tahun 2010 menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia sudah mencapai 237,641,326 jiwa atau meningkat sebesar 15,21% dari tahun sebelumnya. Kondisi ini membutuhkan ketersediaan pangan yang cukup agar tidak menjadi salah satu penyebab instabilitas pangan nasional. Dalam rangka pemenuhan kebutuhan pangan terutama mempertahankan sekaligus meningkatkan produksi pangan, pada level lapangan masih banyak hambatan dan kendala yang dijumpai. Dari sekian banyak hambatan dan kendala tersebut, ada yang dapat ditangani melalui introduksi teknologi dan upaya strategis lainnya, tetapi ada pula yang sukar untuk ditangani terutama yang berkaitan dengan fenomena alam. Pembangunan pertanian menempati prioritas utama dalam pembangunan ekonomi nasional. Dalam pendekatan perhitungan pendapatan nasional, sektor pertanian terdiri dari sub-sektor tanaman pangan dan hortikultura, perkebunan, peternakan, perikanan dan kehutanan. Selain sektor pertanian, terdapat delapan sektor ekonomi lainnya yang secara bersama menentukan besarnya pertumbuhan ekonomi bangsa melalui pendapatan domestik (GDP) dan pendapatan nasional (GNP). Pada tahun 1993, sumbangan sektor pertanian terhadap GDP adalah 18%, kemudian turun menjadi 15% pada tahun 1997. Namun dengan adanya krisis ekonomi, sektor pertanian kembali menunjukkan perannya yang lebih besar yaitu sumbangannya sebesar 17% pada GDP pada tahun 1998 (BPS 1998). Sedangkan pertumbuhan PDB menurut lapangan usahanya, pada tahun 1997 pertumbuhan sektor pertanian sebesar 0,7% dan memberikan sumbangan sebesar 0,1%. Pada tahun 1998, pertumbuhan mengalami penurunan menjadi 0,2% dan meningkat menjadi 2,7% pada tahun 1999. Pertumbuhan PDB menurut lapangan usaha disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Pertumbuhan PDB menurut Lapangan Usaha


1997 Rincian Pertumbuhan Sumbangan 1998 Pertumbuhan Persen Produk Domestik Bruto Pertanian Pertambangan dan penggalian Industri pengolahan Listrik, gas dan air bersih Bangunan Perdagangan , hotel dan restoran Pengangkuta n dan komunikasi Keuangan, persewaan dan jasa Jasa-jasa Non Migas Migas 4.9 0.7 1.7 6.4 12.8 6.4 5.8 4.9 0.1 0.2 1.6 0.2 0.5 1.0 -13.7 0.2 -4.2 -12.9 3.7 -39.7 -19.0 -13.7 0.0 -0.4 -3.2 0.1 -3.2 -3.2 -10.3 2.7 -0.7 -9.6 7.7 -5.0 -14.1 Sumbangan 1999 Pertumbuhan

8.3

0.6

-12.8

-1.0

-18.3

6.5 2.8 5.5 -1.0

0.6 0.3 5.0 -0.1

-26.7 -4.7 -14.8 -1.0

-2.4 -0.4 -13.6 -0.1

-47.6 -0.2 -11 -3.9

Sumber : BPS dalam Laporan tahunan BI 1998/1999 Keterangan: (1) Atas dasar harga konstan 1993; (2) Triwulan I/1999

Selain kontribusinya melalui GDP, peran sektor pertanian dalam pembangunan nasional dapat dilihat dari peran sektor pertanian yang sangat luas, mencakup beberapa indikator antara lain: a. Pertama, pertanian sebagai penyerap tenaga kerja yang terbesar. Data Sakernas menunjukkan bahwa pada tahun 1997, dari sekitar 87 juta jumlah tenaga kerja yang bekerja, sekitar 36 juta diantaranya bekerja di sektor pertanian (Sakernas 1986 dan 1997). b. Pertanian merupakan penghasil makanan pokok penduduk. Peran ini tidak dapat disubstitusi secara sempurna oleh sektor ekonomi

lainnya, kecuali apabila impor pangan menjadi pilihan. Komoditas tanaman pangan yang utama adalah padi, jagung dan kedelai. Adapun luas panen dan produktivitas ketiga tanaman tersebut disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Luas Panen dan Produksi untuk Komoditas Padi, Jagung dan Kedelai Tahun 2007-2011
Tahun 2007 2008 2009 2010 2011 Padi Luas Produksi Panen (ton) (ha) 12.147.637 57.157.435 12.327.425 60.325.925 12.883.576 64.398.890 13.253.450 66.469.394 13.203.643 65.756.904 Jagung Luas Produksi Panen (ton) (ha) 4.001.724 16.317.252 4.001.724 16.317.252 4.160.659 17.629.748 4.131.676 18.327.636 3.864.692 17.643.250 Kedelai Luas Produksi Panen (ton) (ha) 459.116 592.534 590.956 775.710 722.791 974.512 660.823 907.031 622.254 851.286

Sumber : Badan Pusat Statistik (2011), data telah diolah

c.

Komoditas pertanian sebagai penentu stabilitas harga. Harga produk-produk pertanian memiliki bobot yang besar dalam indeks harga konsumen sehingga dinamikanya sangat berpengaruh terhadap inflasi.

d.

Akselerasi mendorong

pembangunan ekspor dan

pertanian mengurangi

sangat impor.

penting

untuk

Pembangunan

pertanian mencakup pemasaran dan perdagangan komoditas. e. Komoditas pertanian merupakan bahan industri manufaktur pertanian. Masih dalam suatu sistem rantai agribisnis, industri manufaktur (pengolahan) pertanian, baik yang mengolah

komoditas pertanian maupun yang menghasilkan input pertanian menduduki tempat yang penting. Kegiatan industri manufaktur pertanian hanya bisa berjalan apabila memang ada kegiatan produksi yang sinergis. Dengan demikian kehadiran sektor pertanian adalah prasyarat bagi adanya sektor industri manufaktur pertanian yang berlanjut.

f.

Pertanian memiliki keterkaitan sektoral yang tinggi. Keterkaitan antara sektor pertanian dengan sektor lain dapat dilihat dari aspek keterkaitan produksi, konsumsi, investasi, dan fiskal. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Hortikultura, kontribusi

hortikultura pada pembentukan PDB cenderung meningkat. Pada tahun 2005 PDB Hortikultura sebesar Rp. 61,79 Trilliun naik menjadi Rp. 89,057 Trilliun pada tahun 2009. Pada tahun 2000 sektor pertanian menyerap tenaga kerja sebesar 38.427.606 orang atau setara 67,79% (BPS 2000). Berdasarkan data BPS mengenai penyerapan tenaga kerja terbaru, sektor pertanian 2009, menyerap tenaga kerja sebesar 41.611.840 orang pada tahun menurun pada tahun 2010 menjadi

mengalami kecenderungan

41.494.941 orang dan tahun 2011 menjadi 39.330.000 orang. Data tersebut disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Penyerapan Tenaga Kerja Tahun 2009-2011
Sektor Pertanian Non Pertanian Tidak Bekerja Total Angkatan Kerja Persentase Pertanian terhadap Total Angkatan Kerja 2009 41.611.840 63.258.823 8.873.745 113.744.408 36,58 Tahun 2010 41.494.941 66.712.826 8.322.233 116.530.000 35,61 2011 39.330.000 70.340.000 7.700.000 117.370.000 33,51

Sumber : BPS (Data ketenagakerjaan bulan Agustus pada masing-masing tahun)

C.

Mengurai Permasalahan Pertanian Nasional


Mengurai secara detail dan rinci persoalan pertanian bukan hal yang cukup mudah. Hal ini selain membutuhkan ruang dan waktu yang cukup juga membutuhkan metode analisis yang lebih spesifik. Selain itu persoalan yang terjadi dalam dunia pertanian terjadi mulai dari hulu (on farm) hingga ke hilir (off farm) serta memiliki keterkaitan (linkage) dengan sektor-sektor lain. Namun setidaknya dalam uraian ini, secara umum persoalan pertanian dapat didekati hingga dapat memberikan gambaran yang terjadi. Untuk itu, data sekunder sangat membantu dalam proses analisis masalah pertanian. Permasalahan besar dalam pengelolaan sumberdaya pertanian di dunia termasuk Indonesia yaitu aktivitas pertanian secara konvensional. Pertanian

konvensional berprinsip bahwa memaksimalkan hasil produksi (panen) pertanian untuk memenuhi kebutuhan manusia pada saat itu dan memaksimalkan keuntungan merupakan tujuan utama. Hal tersebut biasanya diupayakan melalui intensifikasi dan/atau ekstensifikasi pertanian.

Intensifikasi pertanian mengacu pada peningkatan produktivitas tanaman atau kapasitas produksi per luas lahan, sedangkan ekstensifikasi pertanian mengacu pada penambahan luas lahan. Kedua cara tersebut baik untuk mencapai tujuan, namun demi mengejar target produksi, pertanian konvensional kurang memperhatikan aspek kelestarian lingkungan. Berdasarkan data FAO tentang pertumbuhan produksi per kapita di dunia pada tahun 1984 hingga 2004, adanya tren penurunan surplus produksi pertanian (FAOSTAT 2005). Hal tersebut disebabkan peningkatan panen yang semakin sedikit tiap tahunnya dihadapkan pada kenaikan pertumbuhan populasi manusia. Jika dibiarkan demikian, setelah jangka waktu tertentu kita tidak akan mampu memenuhi kebutuhan hasil pertanian apabila produksinya hanya mengandalkan pola pertanian konvensional. Laporan kinerja kemanterian pertanian tahun 2011 menyebutkan beberapa kendala teknis yang dihadapi dalam pelaksanaan program dan kegiatan pembangunan petanian tahun 2011, antara lain: (1) dampak perubahan iklim, (2) kepemilikan lahan sempit dan laju konversi lahan pertanian pangan, (3) permodalan petani masih sulit diakses dan (4) kelembagaan petani masih lemah, dan (5) prasarana pertanian terutama jalan pedesaan dan rusaknya jaringan irigasi. Bila didekati secara tematik, ada beberapa masalah krusial yang terjadi dalam dunia pertanian kita yaitu masalah sumber daya lahan dan air pertanian baik secara kualitatif maupun kuantitatif, masalah petani (sosial ekonomi, budaya, kepemilikan lahan), masalah teknis budidaya (Alsintan, Saprodi), dan masalah kebijakan (pemerintah dan regulasi). 1. Degradasi air dan lahan pertanian Berkurangnya areal lahan pertanian karena derasnya alih lahan pertanian ke non pertanian seperti industri dan perumahan (laju 1%/tahun). Degradasi lahan secara kualitatif juga terjadi akibat oleh

10

adanya residu bahan-bahan kimia sehingga tingkat kesuburan tanahpun menurun. Hal ini berakibat pada menurunnya tingkat produktivitas hasil pertanian nasional. Berdasar catatan Kementerian Lingkungan Hidup, menyebutkan bahwa alih fungsi lahan pertanian subur mencapai 30.000 hektar setiap tahunnya, sebagian besar adalah lahan sawah yang beirigasi teknis, dan kebanyakan terjadi di Jawa. Menurut Ditjen Pengelolaan Lahan dan Air Kementerian Pertanian (2011), alih fungsi lahan pertanian mencapai 110 ribu hektar per tahun. Masa orde baru telah mencoba mencetak satu juta hektar sawah lahan gambut di Kalimantan Tengah dan Selatan. Proyek ini menelan biaya yang tidak sedikit karena membutuhkan fasilitas infrastruktur. Namun akhirnya proyek ini dinilai gagal dan tidak berkelanjutan. Bahkan menyisakan persoalan lingkungan yakni kebakaran lahan gambut dan kabut asap. Penyusutan lahan pertanian subur juga disebabkan oleh penggunaan pupuk dan obat-obatan kimiawi anorganik. Pemakaian jangka panjang pupuk dan obat-obatan kimiawi anorganik ternyata telah membawa kerusakan lahan pertanian dalam jumlah besar, yang ditandai dengan berkurangnya kesuburan tanah. Pupuk nitrogen (N) yang digunakan dalam budidaya pertanian mengalami berbagai perubahan di dalam tanah, seperti dalam bentuk amonium (NH4), nitrat (NO3), dan/atau nitrit (NO2). Sebagian dari N pupuk (NH3/N2 dan N2O) menguap ke udara (volatilisasi), sebagian lagi hilang melalui pencucian atau erosi. Di daerah tropis, 40-60% N-urea hilang dalam bentuk NH3. Pupuk N dosis tinggi dapat mencemari lingkungan, karena sebagian besar zat N dari pupuk hanyut terbawa aliran permukaan dan erosi. Berdasarkan hasil penelitian, jumlah hara yang hilang dari lahan pertanian berkisar antara 240-1.066 kg N/ha, 80-120 kg P2O5/ha, dan 108-197 kg K2O/ha per musim tanam, suatu jumlah yang cukup besar dan berpotensi mencemari lingkungan. (Tim Sintesis Kebijakan, 2008).

11

Lahan dan air adalah dua sumberdaya utama yang tidak dapat dipisahkan untuk menopang keberlanjutan sector pertanian. Dewasa ini, krisis air sudah Nampak terasa. Krisis air dapat diukur dari Indeks Penggunaan Air (IPA) yaitu rasio antara penggunaan dan ketersediaan air. Apabila angka IPA berkisar antara 0,751,0 maka dikatakan keadaan kritis. Jika lebih dari 1,0 maka suatu wilayah dikatakan sangat kritis atau defisit air, sedangkan jika IPA-nya berkisar antara 0,30 0,60 ini tergolong normal dari segi ketersediaan air. Dengan semakin tingginya IPA, maka potensi konflik penggunaan air antara wilayah hulu dan hilir, antar sektor maupun antar individu akan semakin meningkat (Anshori 2009). Tahun 2000 diperkirakan Jawa, Madura dan Bali sudah termasuk kategori sangat kritis karena untuk Jawa dan Madura diduga mempunyai IPA sebesar 1,89 dan Bali 1,13. Nusa Tenggara Barat tergolong dalam keadaan kritis dengan IPA 0,92. Di daerahdaerah lain kecuali Nusa Tenggara Timur (dengan IPA sekitar 0,73) kondisinya relatif masih baik karena mempunyai IPA di bawah 0,50 ( Osmet, 1996; dan Sugandhy, 1997 dalam Sutawan 2001). Terjadinya krisis air dapat dipicu oleh sikap dan perilaku masyarakat yang cenderung boros dalam memanfaatkan air karena air sebagai milik umum (common property) dianggap tidak terbatas adanya dan karenanya dapat diperoleh secara cuma-cuma atau gratis. Padahal, air sebagai sumberdaya alam, adalah terbatas jumlahnya karena memiliki siklus tata air yang relatif tetap. Ketersediaan air tidak merata penyebarannya dan tidak pernah bertambah. Selain itu tingkat efisiensi pemanfaatan air melalui jaringan irigasi yang masih rendah kiranya dapat menjadi kendala dalam upaya menurunkan IPA. Diperoleh informasi bahwa dari penelitian di berbagai negara Asia kurang lebih 20% air irigasi hilang di perjalanan mulai dari dam sampai ke jaringan primer; 15 % hilang dalam perjalanannya dari jaringan primer ke jaringan sekunder dan tersier; dan hanya 20% yang digunakan pada areal persawahan secara tidak optimal. Diperkirakan

12

tingkat efisiensi jaringan irigasi hanya sekitar 40% (Yakup dan Nusyirwan, 1997 dalam Sutawan 2001). Dampak luar biasa dari degradasi air dan lahan ini adalah adanya ancaman krisis pangan. Untuk dapat mencegah terjadinya

krisis pangan, maka Indonesia memerlukan tak kurang dari 15 juta hektar lahan pertanian yang diyakini dapat memenuhi kebutuhan seluruh rakyat Indonesia pada 2030 yang diperkirakan berjumlah 280 juta jiwa (Anonim 2011). 2. Lemahnya posisi tawar petani. Petani adalah pelaku utama sektor pertanian primer (on farm) yang secara langsung terlibat dalam proses produksi komoditi pertanian (produsen). Kendati dengan posisi seperti itu, hampir bisa dipastikan petani tidak berdaya untuk mengatur hasil pertaniannya dari sisi pasca panen. Bahkan pemilihan jenis komoditi yang harus ditanam, petani masih dapat diintervensi oleh pasar atau pelaku usaha. Inilah yang dimaksud dengan lemahnya posisi tawar petani. Menurut Branson dan Douglas (1984) dalam Reijntjes dkk (1999), lemahnya posisi tawar petani umumnya disebabkan petani kurang mendapatkan atau memiliki akses pasar, informasi pasar dan permodalan yang kurang memadai. Dari sisi harga dasar komoditi, petani tidak cukup berdaya untuk menetukan harga pasar. Harga komoditi dikendalikan oleh para

pengumpul yang nota bene tidak memiliki lahan dan tidak terlibat langsung dengan pertanian on farm. Rantai distribusi komoditi

pertanian yang begitu panjang menempatkan petani terus dalam kondisi miskin karena hal ini menyebabkan disparitas yang terlalu jauh antara penghasilan petani dengan biaya yang dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Selain itu, cukup banyak petani Indonesia yang sebetulnya bukan sebagai petani namun berstatus sebagai buruh tani. Konversi lahan pertanian ke non pertanian yang begitu tinggi menyebabkan petani kehilangan lahannya. Kondisi kepemilikan lahan petani

13

dibawah 0,5 hektar, laju konversi lahan sawah ke non sawah sebesar 187.720 ha per tahun, dengan rincian alih fungsi ke non pertanian sebesar 110.164 ha per tahun dan alih fungsi lahan ke pertanian lainnya sebesar 77.556 ha per tahun. Adapun alih fungsi lahan kering pertanian ke non pertanian sebesar 9.152 ha per tahun (BPS 2004) berakibat pada penurunan kapasitas produksi pangan dan mengancam ketahanan pangan. Keterbatasan modal petani sangat menghambat kemampuan petani dalam meningkatkan produksi, mutu, nilai tambah dan daya saing produk pertanian. Petani kesulitan akses ke perbenihan, termasuk akses pada skim kredit, seperti KPEN-RP dengan realisasi baru 4,7% dan KUPS baru 10,15% dari komitmen bank. Kelembagaan petani yang belum solid mengakibatkan manajemen produksi yang kurang efektif serta meningkatkan biaya produksi sehingga nilai produk kurang berdaya saing (LK Kementan, 2011). Rendahnya kualitas sumberdaya manusia merupakan masalah yang serius dalam pembangunan pertanian. Tingkat pendidikan dan keterampilan rendah. Selama 10 tahun terakhir kemajuan pendidikan berjalan lambat. Tahun 1992, 50 persen tenaga kerja di sektor pertanian tidak tamat SD, 39 persen tamat SD, sedangkan yang tamat SLTP hanya 8 persen. Tahun 2002, yang tidak tamat SD menjadi 35 persen tamat SD 46 persen dan tamat SLTP 13 persen (BPS, 2003). Rendahnya mentalitas petani antara lain dicirikan oleh usaha pertanian yang berorientasi jangka pendek, mengejar keuntungan sesaat, serta belum memiliki wawasan bisnis luas. Selain itu banyak petani menjadi sangat tergantung pada bantuan pemerintah. Keterampilan petani yang rendah terkait dengan rendahnya pendidikan dan kurang dikembangkan kearifan lokal (indigenous knowledge) (Apriantono, 2006). Disisi kelembagaan, keberadaan kelembagaan petani sangat lemah. Kelompok tani yang banyak dibentuk selama periode 1980-an dalam mengejar swasembada beras sudah banyak yang tidak berfungsi. Intensitas dan kualitas pembinaan terhadap kelompok pasca

14

otonomi daerah jauh berkurang karena sistem penyuluhan yang kurang mendapat perhatian dari pemerintah daerah. Selama ini pengembangan kelembagaan petani umumnya berorientasi

keproyekan. Kelompok tani hanya aktif pada saat proyek masih berjalan. Setelah masa proyek berakhir, umumnya kelompok tani yang dibentuk menjadi tidak aktif. Pembentukan kelompok tani seringkali tidak sesuai dengan kebutuhan petani. Kondisi kelompok tani saat ini juga dinilai sangat buruk karena berbagai instansi pemerintah masingmasing membentuk kelompok tani atau kelembagaan tani untuk pelaksanaan kegiatan proyek mereka. Hal ini menyebabkan timbulnya banyak kelompok tani yang tumpang tindih (Apriantono, 2006). 3. Kebijakan yang keliru dan tidak berpihak pada petani Regulasi kebijakan pemerintah yang terkait dengan pertanian. Distribusi sarana produksi pertanian selama ini tidak transparan dan bersifat monopoli, akibatnya petani mengalami kesulitan untuk dapat mengakses kebutuhannya terutama pupuk. Selain itu kebijakan monokultur yang menjadikan beras sebagai bahan makanan pokok nasional, telah menjadikan penanaman padi sebagai program utama sektor pertanian. Program ini berlaku secara nasional dan harus dijalankan di seluruh Indonesia, sekalipun harus mengabaikan realitas bahwa makanan pokok masyarakat Indonesia tidak hanya beras, tetapi juga ada ubi, jagung dan sagu (Anonim 2011). Kerusakan lahan pertanian bisa dikatakan sebagai hasil dari kebijakan pembangunan pertanian yang tidak memperhatikan prinsipprinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development).

Selama ini petani didera oleh kebijakan peningkatan produktifitas pertanian melalui penggunaan pupuk dan obat-obatan kimiawi anorganik. Penggunaan pupuk dan obat-obatan yang seperti itu, bukan hanya menciptakan ketergantungan, melainkan juga merusak lahan pertanian (Bryant 1998 dalam Anonim 2011). Realitas masyarakat Indonesia tidak saja majemuk dalam hal etnis, bahasa dan agama, tetapi juga dalam hal pangan (Lawang 1999 dalam Anonim 2011).

15

Maka menjadi sangat mengherankan jika saat ini, pengertian pangan selalu identik dengan beras. Masyarakat tertentu di Indonesia memang menempatkan beras sebagai bahan makanan pokok (staple food). Sementara sebagian masyarakat yang lain ada yang memilih ubi, jagung dan sagu sebagai makanan pokok. Kecenderungan untuk menjadikan beras sebagai bahan pangan pokok (mentality rice) sesungguhnya tidak tumbuh secara kebetulan, mendadak dan juga bukan persoalan selera rasa. Mentality rice tumbuh dan berkembang bersamaan dengan pilihan kebijakan pembangunan pertanian yang sejak awal tertuju atau menekankan pada kebutuhan beras (Usman, 2004 dalam Anonim 2011). Ketika diasumsikan bahwa bahan pangan pokok adalah beras, maka kebutuhan akan beras menjadi semakin meningkat. Tentu saja ini berpotensi menimbulkan kelangkaan akan beras, yang akhirnya akan diikuti dengan peningkatan harga bahan pangan pokok beras. Pengembangan berbagai varietas tanaman pertanian telah membantu menaikkan produktivitas, namun di sisi lain banyak plasma nutfah atau spesies liar yang hilang. Penanaman varietas tanaman pertanian yang seragam juga membuat keanekaragaman genetik berkurang atau hilang. 4. Masalah infrastruktur dan teknologi pertanian Terbatasnya aspek ketersediaan infrastruktur penunjang

pertanian yang juga penting namun minim ialah pembangunan dan pengembangan waduk. Pasalnya, dari total areal sawah di Indonesia sebesar 7.230.183 ha, sumber airnya 11 persen (797.971 ha) berasal dari waduk, sementara 89 persen (6.432.212 ha) berasal dari nonwaduk. Karena itu, revitalisasi waduk sesungguhnya harus menjadi prioritas karena tidak hanya untuk mengatasi kekeringan, tetapi juga untuk menambah layanan irigasi nasional. Badan Nasional

Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan, 42 waduk saat ini dalam kondisi waspada akibat berkurangnya pasokan air selama kemarau. Sepuluh waduk telah kering, sementara 19 waduk masih

16

berstatus normal. Selain itu masih rendahnya kesadaran dari para pemangku kepentingan di daerah untuk mempertahankan lahan pertanian produksi, menjadi salah satu penyebab infrastruktur pertanian menjadi buruk. Masalah lain adalah adanya kelemahan dalam sistem alih teknologi. Ciri utama pertanian modern adalah produktivitas, efisiensi, mutu dan kontinuitas pasokan yang terus menerus harus selalu meningkat dan terpelihara. Produk-produk pertanian kita baik komoditi tanaman pangan (hortikultura), perikanan, perkebunan dan peternakan harus menghadapi pasar dunia yang telah dikemas dengan kualitas tinggi dan memiliki standar tertentu. Tentu saja produk dengan mutu tinggi tersebut dihasilkan melalui suatu proses yang menggunakan muatan teknologi standar. Indonesia menghadapi persaingan yang keras dan tajam tidak hanya di dunia tetapi bahkan di kawasan ASEAN. Namun tidak semua teknologi dapat diadopsi dan diterapkan begitu saja karena pertanian di negara sumber teknologi mempunyai karakteristik yang berbeda dengan negara kita, bahkan kondisi lahan pertanian di tiap daerah juga berbeda-beda. Teknologi tersebut harus dipelajari, dimodifikasi, dikembangkan, dan selanjutnya baru diterapkan ke dalam sistem pertanian kita. Dalam hal ini peran kelembagaan sangatlah penting, baik dalam inovasi alat dan mesin pertanian yang memenuhi kebutuhan petani maupun dalam

pemberdayaan masyarakat. Lembaga-lembaga ini juga dibutuhkan untuk menilai respon sosial, ekonomi masyarakat terhadap inovasi teknologi, dan melakukan penyesuaian dalam pengambilan kebijakan mekanisasi pertanian.

D.

Kelembagaan dalam Pengelolaan Pertanian Nasional


Secara teknis aspek kelembagaan menjadi syarat untuk mewujudkan pertanian berkelanjutan dan ketahanan pangan nasional. Kelembagaan yang dimaksud adalah mencakup kelembagaan atau stakeholder pemerintah, petani (kelompok tani dan gapoktan), perguruan tinggi dan ormas yang memiliki kepedulian terhadap sektor pertanian. Kelembagaan ini nantinya

17

akan memainkan fungsi regulasi, inovasi, motivasi, fasilitasi dan pengawasan sesuai dengan kedudukan stakeholder masing. Stakeholder

atau lembaga tersebut akan membentuk sistem yang sinergi yang bersifat kemitraan. Secara struktural persoalan pertanian di negeri ini ditangani langsung oleh Kementerian Pertanian. Hanya saja pada kenyataannya pelaksanaan pembangunan pertanian bersentuhan langsung dengan sektor-sektor lainnya. Hal ini mencerminkan adanya pola hubungan antara Kementerian Pertanian dengan kementerian lainnya. Pelaksanan sistem pertanian berkelanjutan dan ketahanan pangan tentunya melibatkan banyak pihak terkait diantaranya : Pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Pekerjaan Umum (PU), Kementerian Pertanian, Badan Pusat Statistik (BPS) dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Pemerintah daerah baik pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota serta pemerintah desa Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan)/kelompok tani atau petani Secara umum pola hubungan lintas sektoral dalam pembangunan pertanian dapat digambarkan sebagai berikut:
Kementerian PU (Sarana dan Prasarana : Irigasi Primer dan Sekunder) Kementerian Pertanian (Sarana dan Prasarana : Benih, Saprotan, Irigasi, Embung, JUT, Penguatan Modal dan Kelembagaan) BPS (Data dan Informasi secara Umum) BPN (Data dan Informasi Lahan

Dinas PU Provinsi

Dinas Pertanian Provinsi

BPS Provinsi

BPN Provinsi

Dinas PU Kabupaten/ Kota

Dinas Pertanian Kabupaten/Kota

BPS Kab/Kota

BPN Kab/Kota

Kelompok Tani / Gapoktan

Gambar 1. Pola hubungan lintas sektoral dalam pembangunan pertanian

18

Bagan diatas tentu saja tidak secara komprehensif menggambarkan pola antar lembaga yang terlibat dalam pembangunan pertanian. Masih banyak lagi kelembagaan lain yang akan terkait di dalamnya seperti: Lembaga Keuangan Negara berkaitan pembiayaan pembangunan dan pengembangan pertanian, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) berkaitan dengan dokumentasi perencanaan pembangunan dalam skala nasional, Perguruan Tinggi menyangkut penelitian pengembangan pertanian, Lembaga perbankan berkaitan dengan kredit usaha pertanian, Badan usaha yang bergerak di sektor pertanian berkaitan dengan penyediaan sarana produksi dan alat mesin pertanian, Organisasi masyarakat yang behubungan dengan pertanian yang berperan dalam pengawasan dan pemberdayaan masyarakat tani. Selain itu kelembagaan atau stakeholder lain yang sangat penting memainkan peranan dalam pembangunan pertanian adalah kelompok tani atau gabungan kelompok tani (Gapoktan). Gapoktan/ kelompok tani/ petani sebagai bagian integral dalam pembangunan pertanian mempunyai peran dan fungsi penting dalam menggerakan pembangunan pertanian di pedesaan, hal ini dikarenakan mereka adalah pelaku utama dalam pembangunan pertanian. Dari uraian diatas menunjukkan bahwa banyaknya kelembagaan atau stakeholder yang terlibat, sektor pertanian bersentuhan langsung dengan hajat hidup orang banyak. Namun disisi lain menjadikan permasalahan di sektor pertanian menjadi lebih rumit diselesaikan akibat banyaknya lembaga yang harus berkoordinasi.

19

I.

ANALISIS KEBERLANJUTAN PEMBANGUNAN PERTANIAN

Bagian ini mencoba menganalisis serta menformulasikan solusi alternatif terhadap pembangunan pertanian kita. Pendekatan yang dilakukan berbasis pada masalah yang telah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya. Sesuai judul yang diangkat yaitu penerapan pertanian berkelanjutan menuju ketahanan pangan. Setidaknya ada dua kata kunci yaitu berkelanjutan dan ketahanan pangan. Kata penerapan lebih pada penekanan bahwa konsep ini bersifat aplikatif dan menunjukan komitmen untuk memajukan dan melestarikan dunia pertanian. Dua kata kunci tersebut akan terlebih dahulu diurai dalam bab ini. Kata berkelanjutan sering digunakan dalam jargon pembangunan secara umum. Perhatian terhadap konsep pembangunan berkelanjutan dimulai sejak Malthus pada tahun 1798 mengkhawatirkan ketersediaan lahan di Inggris akibat ledakan penduduk. Meadow et al. 1972 dalam Fauzi 2006 mengemukakan bahwa pertumbuhan ekonomi akan sangat dibatasi oleh ketersediaan sumber daya alam. Perhatian terhadap pembangunan berkelanjutan populer kembali pada tahun 1987 saat World Commission on Environment and Development atau dikenal sebagai Brundtland Commission menerbitkan buku berjudul Our Common Future (Fauzi 2006). Buku tersebut memicu lahirnya agenda baru pembangunan ekonomi dan keterkaitannya dengan lingkungan, termasuk di bidang pertanian dalam konteks pembangunan berkelanjutan. Komisi Brundtland mendefinisikan

pembangunan berkelanjutan sebagai pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka. The Agricultural Research Service (USDA) mendefinisikan pertanian berkelanjutan sebagai pertanian yang pada waktu mendatang dapat bersaing, produktif, menguntungkan, mengkonservasi sumber daya alam, melindungi lingkungan, serta meningkatkan kesehatan, kualitas pangan, dan keselamatan. Pertanian berkelanjutan merupakan pengelolaan sumber daya alam serta pengubahan teknologi dan kelembagaan sedemikian rupa untuk menjamin pemenuhan dan pemuasan kebutuhan manusia secara berkelanjutan bagi generasi sekarang dan mendatang (FAO 1989 dalam Saptana dan Ashari 2007).

20

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman Pasal 2 menjelaskan bahwa sistem budidaya tanaman sebagai bagian pertanian yang dilakukan dengan asas manfaat, lestari, dan berkelanjutan. Selain itu, dalam Bab V (Tata Ruang dan Tata Guna Tanah Budidaya Tanaman) Pasal 44 ayat (2) menjelaskan bahwa pelaksanaan kegiatan pertanian dilakukan dengan memperhatikan kesesuaian dan kemampuan lahan maupun pelestarian lingkungan hidup khususnya konservasi tanah. Lebih rinci dalam Undang-Undang RI No. 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Pasal 3 menjelaskan bahwa perlindungan pertanian pangan berkelanjutan diselenggarakan dengan tujuan 1) melindungi kawasan dan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan; 2) menjamin tersedianya lahan pertanian pangan secara berkelanjutan; 3) mewujudkan kemandirian, ketahanan dan kedaulatan pangan; 4) melindungi kepemilikan lahan pertanian pangan milik petani; 5) meningkatkan kemakmuran serta kesejahteraan petani dan masyarakat; 6) meningkatkan perlindungan dan pemberdayaan petani; 7) meningkatkan penyediaan lapangan kerja bagi kehidupan yang layak; 8) mempertahankan keseimbangan ekologis; dan 9) mewujudkan revitalisasi pertanian. Adapun peraturan-peraturan yang terkait dengan pembangunan berkelanjutan dan ketahanan pangan disajikan dalam Lampiran 2. Salikin (2011) menjelaskan bahwa pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) menyentuh tiga aspek yakni kesadaran lingkungan (Ecolologically Sound), bernilai ekonomi (Economic Valueable) dan berwatak sosial atau kemasyarakatan (Socially Just). Ketiga aspek ini saling berkaitan membentuk satu sistem pertanian secara terpadu. Mengabaikan salah satu aspek tersebut maka pertanian akan berjalan timpang dan tidak berkelanjutan. Aspek kesadaran lingkungan menjelaskan bahwa sistem budidaya pertanian tidak boleh menyimpang dari sistem ekologis yang ada. Keseimbangan adalah indikator adanya harmonisasi dari sistem ekologis yang mekanismenya dikendalikan oleh hukum alam. Misalnya perburuan ular sawah untuk diambil kulitnya akan mengakibatkan terganggunya keseimbangan dan ketegangan ekologis berupa timbulnya ledakan populasi tikus sawah, sehingga berubah

21

menjadi hama yang merugikan. Demikian juga, penggunaan obat-obatan kimia pada sistem ekologi persawahan akan mengakibatkan terganggunya keseimbangan lingkungan karena matinya organisme non-hama yang sebenarnya bermanfaat. Misalnya, sekarang sangat sulit mendapatkan belut, katak hijau, capung, bibis, belalang, dan serangga lain yang hidup liar di sawah. Padahal hewan-hewan tersebut memiliki keterkaitan manfaat, baik sebagai tambahan sumber bahan pangan potensial maupun sebagai penentu keseimbangan ekosistem persawahan. Aspek ekonomis menjelaskan bagaimana sistem budidaya pertanian harus mengacu pada pertimbangan untung rugi, baik bagi diri sendiri dan orang lain, untuk jangka pendek dan jangka panjang, serta bagi organisme dalam sistem ekologi maupun di luar sistem ekologi. Motif-motif ekonomi saja tidak cukup menjadi alasan pembenaran untuk mengeksploitasi sumberdaya pertanian secara tidak bertanggung jawab. Aspek Sosial atau Kemasyarakatan menjelaskan sistem pertanian harus selaras dengan norma-norma sosial dan budaya yang dianut dan dijunjung tinggi oleh masyarakat di sekitarnya. Norma-norma sosial dan budaya harus lebih diperhatikan, apalagi dalam sistem pertanian di Indonesia biasanya jarak antara perumahan penduduk dengan areal pertanian sangat berdekatan. Didukung dengan tingginya nilai sosial, budaya, dan agama, maka aspek ini menjadi sangat sensitif dan harus menjadi pertimbangan utama sebelum merencanakan suatu usaha pertanian dalam arti luas. Masing-masing daerah memiliki kekayaan pengetahuan lokal spesifik dan tatanan adat di bidang pertanian yang sangat dihormati oleh masyarakat setempat. Pertanian berkelanjutan juga banyak diidentikan dengan istilah LEISA (Low External Input Sustainable Agriculture) atau LISA (Low Input Susteainable Agriculture), yaitu sistem pertanian yang berupaya meminimalkan penggunaan input (benih, pupuk kimia, pestisida dan bahan bakar) dari luar ekosistem, yang dalam jangka panjang dapat membahayakan kelangsungan hidup sistem pertanian (Salikin 2007). Secara umum, pertanian berkelanjutan bertujuan meningkatkan kualitas kehidupan (quality of life). Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan paling tidak tujuh macam kegiatan, yaitu: meningkatkan pembangunan ekonomi, memprioritaskan kecukupan pangan, meningkatkan pengembangan sumberdaya

22

manusia, meningkatkan harga diri, memberdayakan dan memerdekakan petani, menjaga stabilitas lingkungan, dan memfokuskan tujuan produktivitas untuk jangka panjang (Manguiat 1995 dalam Salikin 2007). Masalahnya, banyak kebijakan pemerintah sejak zaman orde baru mencetak paradigma yang sangat kuat. Kebijakan seperti revolusi hijau dan penyeragaman pangan nasional yang diperkuat oleh haegomoni politik membuat semakin sulitnya menguubah paradigma tersebut. Bahkan UNDP (United Nations Development Programs) membuat sebuah kuadran keberhasilan pembangunan yang tidak menyinggung aspek moral dan lingkungan. Human Capital yang dicirikan oleh peningkatan physical capital dan finance capital secara implisit menjadi variable penentu dari keberhasilan pembangunan tersebut. Tentu paradigma seperti ini merupakan paradigma jangka pendek, sebagaimana disajikan dalam Gambar 2.

Cepat
K4: Tidak Seimbang

PE

(Pembangunan Ekonomi)

K1: Seimbang & Kuat

PM
Lambat
K3: Seimbang & Lemah
K2: Tidak Seimbang

Cepat
(Pembangunan Manusia)

Lambat
Gambar 2. Kuadran Keberhasilan Pembangunan (UNDP, 1996 dalam makalah Pertanian Berkelanjutan dengan metode LEISA) Konsep Pertanian Berkelanjutan untuk Menuju Ketahanan Pangan Kebijakan pertanian pada masa orde baru, yang dikenal revolusi hijau, bersifat memusat dan cenderung represif terhadap berbagai kreatifitas usaha tani, pada kenyataannya melahirkan sebuah pola agribisnis yang berbiaya tinggi secara kesinambungan dan kurang berwawasan lingkungan (Daniel dan Gudon 1998). Kemudian pada masa Kabinet Reformasi, petani menaruh harapan besar akan lahirnya kebijakan-kebijakan agribisnis, namun ternyata

23

masih belum signifikan melepaskan kinerja agribisnis dari keterpurukannya. Demikian pula pada masa pemerintahan Kabinet Persatuan Nasional, Kabinet Gotong Royong, hingga Kabinet Indonesia Bersatu, perhatian pemerintah terhadap konsep pertanian yang keberlanjutan di Indonesia masih dinilai kurang serius. Hegemoni politik masih mendominasi lahirnya kebijakan-kebijakan di sektor pertanian, sehingga ia lahir tanpa berpihak pada kekuatan sumberdaya domestik salah satu ciri yang paling vulgar adalah kebijakan impor bahan pangan dengan pertimbangan statistik secara nasional. Selain itu adanya kebijakan pertanian yang kurang mendukung perkembangan agribisnis nasional seperti liberalisasi pasar pertanian, impor beras, industrialisasi yang mengikis sektor pertanian, serta kinerja lembagalembaga terkait yang tidak efektif dan efisien. Maka dari itu, perlu suatu kebijakan yang komprehensif guna meningkatkan kesejahteraan petani Indonesia, seperti perbaikan infrastruktur terkait, land reform policy agar petani tidak lagi sekedar menjadi buruh tani, perbaikan mekanisme subsidi pupuk, serta perluasan lahan pertanian, dengan harapan hasil produksi meningkat sehingga terwujud ketahanan pangan nasional dan petani sejahtera. Akan tetapi, praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang sudah secara sistemik dan terstruktur di negara ini sangat mempengaruhi pembangunan pertanian sampai pada level akar rumput. Paradigma pembangunan pertanian oleh Menteri Pertanian pada masa Kabinet Reformasi bisa dikatakan hanya sebagai pendukung, bukan jiwa pertanian nasional. Akibatnya, sektor pertanian diposisikan sebagai pemasok bahan kebutuhan pangan dan bahan baku industri berharga murah, pengendali stabilitas harga, dan sumber tenaga kerja murah. Jadi paradigma pembangunan pertanian masa pra-reformasi itu tidak sesuai dengan kekuatan nusantara yang sebenarnya memiliki sumber daya alam tropis yang melimpah dan sumber tenaga kerja pertanian yang banyak di pedesaan. Maka pada masa Kabinet Indonesia Bersatu, paradigma itu berubah menjadi paradigma produksi yang diikuti dengan paradigma sistem dan agribisnis.

24

Berdasarkan paradigma baru tersebut, tampak bahwa pemerintah menaruh harapan besar terhadap pelaksanaan pembangunan pertanian yang memberikan kontribusi besar bagi pemeliharaan ketahanan pangan dan perekonomian nasional. Namun saat ini, ketahanan pangan nasional lebih diartikan sebagai penyediaan pangan secara nasional sehingga

pendekatannya selalu berupa upaya pemenuhan kebutuhan pangan rakyat Indonesia. Namun harapan itu tidak didukung secara nyata melalui kebijakan-kebijakan yang termonitor terhadap tingkat harga bahan input, harga jual, dukungan teknologi dan ilmu pengetahuan, sehingga menjadikan tingkat pendapatan usaha tani menjadi rendah dan menyebabkan kerawanan pangan di tingkat masyarakat. Visi dan misi kementrian pertanian terbaru masih dirasa kontra produktif dan dinilai setengah hati terhadap ketahanan pangan nasional. Peluang tetap dilaksanakannya sistem pertanian yang sarat dengan masukan eksternal (HEIA, high external input agriculture) masih sangat terbuka lebar. Aspek ekologi tidak secara tegas disebutkan dalam visi, namun hanya ditempatkan pada misi dengan kalimat berwawasan lingkungan (sistem LEISA, low external input and sustainable agriculture). Selain itu istilah kemandirian pangan yang ada pada visi justru tidak secara jelas terurai dalam misinya, seharusnya pemerintah konsisten dengan visinya mendorong setiap wilayah untuk melakukan produksi pangan yang sesuai dengan keragaman lokal. Sehingga keragamangan ini dirasa masih sebagai paradigma lama ketahanan pangan yang bersifat pemenuhan pangan secara nasional bukan individu. Paradigma seperti itu pada kenyataannya terbukti telah menyebabkan kerawanan pangan di keluarga, bahkan tingkat individu, seperti yang telah terbukti selama krisis pangan berlangsung. Pertanian berkelanjutan seperti sistem LEISA, memiliki keunggulan tata laksana pertanian yang berkearifan lingkungan dan mengedepankan keragaman lokal tanpa mengesampingkan aspek ekonomi, sosial dan budayanya. Dengan menyeleksi dan menyesuaikan teknik dan sumberdaya genetik yang sesuai, petani dapat menciptakan sistem LEISA bagi tata letak fisik hayati dan sosiokulturnya. Sistem-sistem terpadu inilah yang dapat

25

menyediakan kebutuhan sehari-hari bagi keluarga petani. Kombinasi berbagai macam spesies tanaman dan hewan dan penerapan beraneka ragam teknik untuk menciptakan kondisi yang cocok dan untuk melindungi lingkungan juga membantu petani menjaga produktivitas lahan mereka dan mengurangi resiko usaha tani. Model-model pertanian berkelanjutan dan terpadu yang ada bukanlah sebuah model yang dibakukan. Model-model itu berfungsi sebagai suatu basis untuk membahas pilihan-pilihan teknik yang harus disesuaikan dengan karakteristik khas tiap lahan melalui proses pengembangan teknologi partisipatoris. Salah satu bentuk model pertanian LEISA yang terpadu adalah sebagai berikut :

Produk Utama Proses Produksi Tanaman Limbah Rumah Tangga Pengelola

Produk Ikutan

Pasar

Uang

Masukan Eksternal (agrokimia)

Proses Produksi Ternak/Ikan

Produk Ikutan (kotoran ternak)

Produk Utama (daging, telur, benih ikan) Gambar 3. Contoh Model Arus Input dan Output Pertanian LEISA. Sumber: Pertanian LEISA pada Lahan Basah, Solihin (2008)

26

Pencadangan Lahan

Iklim; Air; Tanah; Sosial; Budaya; Peruntukan Lahan

Identifikasi Karakteristik Lahan

Evaluasi Kesesuaian Lahan

Persyaratan Lingkungan Tanaman/Terna k

Persyaratan Sosial, Budaya


Persyaratan Komoditas Lokal

Tanaman ?

Ternak ?

Ikan ?

Analisis Kebutuhan Hidup Layak (KHL) Keluarga Tani atau Kelompok Masyarakat

Analisis Pemasaran Produk Pertanian (Tanaman, Ternak, dan Ikan)

Analisis Finansial Usaha Pertanian Terpadu Unggulan Berbasis Tanaman / Ternak / Ikan Perencanaan Usaha Pertanian Terpadu Unggulan Berbasis Tanaman/Ternak/Ikan

27

Perancangan Usaha Pertanian Terpadu Unggulan

Penyusunan Rencana Pengelolaan Usaha Pertanian Terpadu Unggulan

Pengoperasian Usaha Pertanian Terpadu Unggulan Gambar 4. Diagram alir pembanguan pertanian berkelanjutan yang berkearifan komoditas lokal. Sumber: Modifikasi Suwarto dan Mugnisjah (2008) Pada diagram alir pembangunan pertanian berkelanjutan tersebut, terlihat bahwa penentuan komoditas yang akan diusahakan adalah komoditas yang disesuaikan dengan kondisi lingkungan dan kebutuhan lokal. Termasuk didalamnya komoditas pangan yang tidak harus berupa padi, namun disesuaikan dengan kebutuhan pangan setempat seperti jagung, umbi-umbian dan sagu. Selain itu pertanian yang dikelola bukanlah pertanian monokultur, namun sebuah konsep pertanian terpadu yang saling memberikan kontribusi sebagai bahan input maupun subsidi pendapatan, sehingga mampu mencapai standar pendapatan yang minimal sebanding dengan nilai Kriteria Hidup Layak (KHL) sebesar Rp 45.000.000 per tahunn (sesuai KHL Fakultas Pertanian). Sebagai ilustrasi ketangguhan sebuah pertanian terpadu tersebut dapat dilihat pada Lampiran 1. Pembangunan Sistem Pangan Nasional Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan membahas subsistem kegiatan (proses) produksi pangan, subsistem ini mencakup kegiatan atau proses menghasilkan, menyiapkan, mengolah, membuat, mengawetkan, mengemas, mengemas kembali, dan atau mengubah bentuk pangan (Pasal 1, Ayat 5). Jadi, subsistem kegiatan (proses) produksi pangan berurusan dengan kegiatan produksi pangan

28

yang bersifat on farm (kegiatan produksi bahan mentah) dan yang off farm (kegiatan pengolahan pangan dan agroindustri). Oleh karena itu, dalam rangka ketahanan pangan sangat diharapkan adanya kebijakan yang saling mendukung antar lembaga tinggi negara yang terkait. Kebijakan tentang intensifikasi, ekstensifikasi, rehabilitasi, dan diversifikasi produksi pertanian yang ditempuh oleh Departemen Pertanian, sebagai contoh, merupakan hal yang relevan di tingkat on farm dalam upaya penyediaan pangan. Di tingkat off farm, kebijakan yang mencakup pengembangan agroindustri dan industri pengolahan pangan, juga relevan dalam rangka penyediaan pangan.

29

III.

SIMPULAN
1. Konsep ketahanan pangan yang dianut dan dijalankan saat ini justru telah menyengsarakan masyarakat tani secara individu. 2. Pertanian berkelanjutan dan terpadu yang mengambil pendekatan ekologi dan komoditi lokal merupakan solusi untuk menghindari kerawanan pangan nasional. Pertanian yang dikembangkan harus mengedepankan tiga faktor penting yaitu ramah lingkungan / ekologi, menguntungkan secara ekonomi, serta memberikan dampak sosial yang positif. 3. Pertanian organik dapat menjadi solusi untuk pengembangan pertanian di mana selain produktivitas ekonomi yang tetap terjaga, lingkungan pertanian pun tetap lestari. 4. Pemerintah perlu membuat kebijakan yang lebih fundamental, yakni secara tegas dan rinci mendukung pola pertanian berkelanjutan dan komoditi lokal, serta bertanggung jawab dalam implementasinya di lapangan. 5. Diperlukan langkah nyata dan terkontrol dari pemerintah melalui kebijakan dan revitalisasi peran lembaga pertanian sampai ke tingkat daerah.

30

DAFTAR PUSTAKA
[Anonim]. 2011. http://aksarasahaja.wordpress.com/2011/01/15/kerusakan-

lingkungan-dan-krisis-pangan/ (diakses 20 September 2012). Anshori, Imam. 2009. Konsepsi Pengelolaan Sumber Daya Air Menyeluruh dan Terpadu. Buletin Dewan Sumberdaya Air Nasional tahun 2009. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2000. Hasil Sensus Penduduk, Penyerapan Tenaga Kerja. Jakarta: BPS. ______________________. 2001. Data Lahan Pertanian. Jakarta: BPS. ______________________. 2004. Data Lahan Pertanian. Jakarta: BPS. ______________________. 2010. Data Kependudukan Nasional. Jakarta: BPS. Daniel dan Gudon E. 1998. Menggugat Revolusi Hijau Orde Baru. WACANA No. 12/Juli-Agustus. [FAO] Food and Agriculture Organization. 1989. World, The State of Food and Agriculture. Rome, Italy: Food and Agriculture Organization of the UN. [FAOSTAT] Food and Agriculture Organization of the United Nations, Statistics Database. www.faostat.fao.org (diakses 6 Oktoember 2012). Fauzi, A. 2006. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan: Teori dan Aplikasi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Gliessman SR. 2007. Agroecology: The Ecology of Sustainable Food System Ed ke-2. Boca Raton: CRC Press. Hamm, Ulrich dan Michelsen, Johannes. 2000. Analysis of The Organic Food Market in Europe. Prosiding Konferensi Ilmiah IFOAM di Swiss. Hermanto dan K.S Swastika, Dewi. 2011. Penguatan Kelompok Tani: Langkah Awal Peningkatan Kesejahteraan Petani. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian Volume 9 Nomor 4, Desember 2011. Jolly, Desmond. 2000. From Cottage Industry to Conglomerates: The Transformation of The US Organic Food Industry. Prosiding Konferensi Ilmiah IFOAM di Swiss. [Litbang Kementan] Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian. 2011. Data Potensi Lahan Pertanian Indonesia. Jakarta: Kementerian Pertanian.

31

[LK Kementan] Laporan Kinerja Kementerian Pertanian RI. 2011. Jakarta MetroTV. 2011. http://metrotvnews.com/read/news/2011/12/15/75484/IPB-75Persen-Lahan-Pertanian-Indonesia. (diakses September 2012). [PSP Kementan] Direktorat Jendral Prasarana dan Sarana Pertanian, Kementerian Pertanian. 2011. www.psp.deptan.go.id (diakses September 2012). [Puslitbangtanak] Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. 2002. Data Hasil Evaluasi Lahan di Indonesia. Jakarta: Puslitbangnak Reijntjes. 2009. Salikin KA. 2007. Sistem Pertanian Berkelanjutan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Saptana dan Ashari. 2007. Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Melalui Kemitraan Usaha. Jurnal Litbang Pertanian, no 26(4): 123-130. Sutawan, Nyoman. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Air untuk Pertanian Berkelanjutan Masalah dan Saran Kebijaksanaan. Ejournal Universitas Udayana - Bali. [Tim Sintesis Kebijakan] Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. 2008. Strategi Penanggulangan Pencemaran Lahan Pertanian dan Kerusakan Lingkungan. Pengembangan Inovasi Pertanian 1 (2), 2008: 125-128

32

You might also like