You are on page 1of 56

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap orang, apalagi lansia (lanjut usia), tentu pernah merasakan nyeri selama perjalanan hidupnya. Perasaan nyeri ini kualitas dan kuantitasnya berbeda dari satu orang ke orang lain, tergantung dari tempat nyeri, waktu, penyebab dan lain-lain. Pada lansia rasa nyeri ini sudah menurun, sehingga keluhan akan berkurang, karena kepekaan sarafnya sudah mulai berkurang bahkan bisa sampai hilang sama sekali. Karena berkurangnya rasa nyeri inilah maka diagnosis nyeri pada lansia seringkali sulit atau bahkan kabur untuk dapat menentukan tempat/daerah asal nyeri (Warfields, 1991; Park and Fulton, 1991). Riwayat pengobatan nyeri sudah dapat ditemukan di zaman Babilonia, papyrus Mesir dan dokumen-dokumen zaman Persia dan Troy. Untuk mengobati rasa nyeri, di zaman primitif dilakukan dengan cara sangat sederhana tetapi cukup efektif, misalnya dengan penekanan atau direndam di air dingin dari sungai. Pada zaman dahulu nyeri dianggap sebagai hukuman dari Tuhan. Oleh karena itu istilah pain berasal dari kata Latin poena yang berarti hukuman. Pada tahun 2006 sebelum Kristus, didaerah Cina dikenal istilah Yin dan Yang yaitu dua kekuatan yang saling bertentangan, yang dipersatukan oleh kekuatan yang membentuk energi vital (chi) untuk sirkulasi. Keadaan yang tidak seimbang dari kedua kekuatan tersebut akan menyebabkan rasa nyeri. Akupuntur akan memperbaiki ketidakseimbangan itu dan menyembuhkan rasa nyeri. Pada zaman Mesir kuno dipercaya bahwa nyeri disebabkan oleh spirit (roh) dari kematian, yang masuk kebadan melalui hidung atau telinga dalam suasana gelap. Karena itu untuk mengeluarkan nyeri/spirit tersebut dilakukan dengan jalan mengusahakan muntah-muntah, kencing, bersin, atau keringat. Pada 5000 tahun sebelum Kristus dipercaya bahwa nyeri merupakan akibat rasa frustasi dari keinginan yang tak tersampaikan. Agama Hindu mengatakan bahwa jantung adalah tempat dari segala rasa nyeri. Agak berbeda, filosof Yunani kuno memikirkan bahwa yang jadi pusat dari perasaan nyeri adalah otak

bukan jantung. Hippocrates berpendapat bahwa fungsi badan kita dikontrol oleh empat cairan yaitu darah, phlegm, empedu kuning dan empedu hitam. Nyeri merupakan manifestasi ketidakseimbangan keempat cairan tersebut. Plato berfikir bahwa jantung dan hati merupakan pusat nyeri. Aristotle mempercayai bahwa nyeri berpusat dijantung. Konsep Aristotle ini diteruskan oleh William Harvey pada tahun 1623, Celcus mengemukakan teori yang saat ini menjadi sangat terkenal, yaitu hubungan antara dolor (pain), tumor, rubor, dan calor. Pada 2000 sebelum Kristus, Galen berpendapat adanya suatu sistem syaraf yang terdiri dari cranial, spinal, dan syaraf simpatis, dengan otak sebagai pusatnya. Pertengahan antara pendapat yang menyatakan jantung atau otak sebagai pusat nyeri, berlanjut sampai abad ke-19, yang akhirnya menyatakan bahwa pusat nyeri adalah di otak. Begitu pula tentang bermacam-macam obat mulai dari poium, ramu-ramuan dan lain sebagainya sampai ditemukannya morfin (dari opium). Cara psikologis juga dicoba untuk menghilangkan nyeri mulai dari cara magis sampai daya hipnotis. Sampai saat ini obat-obat penghilang rasa nyeri terus diteliti dengan hasil berbagai macam obat yang efek sampingnya makin berkurang. Nyeri adalah masalah bagi pasien dalam semua kelompok usia. Studi secara konsisten menunjukkan nyeri yang tidak ditangani dengan baik. Studi klasik oleh Marks dan Sachar melaporkan bahwa 73% pasien medis yang dirawat di rumah sakit mengalami nyeri sedang sampai berat walaupun telah mendapatkan analgesik narkotik parenteral. Danovan, Dillon, dan McGuire menemukan bahwa 353 pasien rawat inap medis mengalami nyeri, dan 58% mengatakan bahwa rasa nyerinya luar biasa. Studi ini menemukan bahwa nyeri ditanyakan atau dicatat pada kurang dari setengah pasien-pasien tersebut. Kurang dari 1% dari 4000 makalah tentang nyeri yang diterbitkan setiap tahunnya memfokuskan pada lansia. Studi yang ada secara konsisten menunjukkan bahwa penanganan nyeri adalah suatu masalah. Penggunaan analgesik menurun seiring bertambahnya usia, dan lansia menambah sejumlah kecil nyeri pada saat masuk ke klinik. Suatu studi pada penghuni rumah

perawatan lansia melaporkan bahwa 83% mengalami nyeri, banyak yang berada pada tingkat berat. Prevalensi nyeri kronis meningkat pada lansia. Pada sebagian besar lansia, nyeri merupakan masalah yang akan mempengaruhi aktivitas kegiatan seharihari dan kualitas hidupnya. Nyeri juga merupakan keadaan yang sangat mengganggu dan menyebabkan penyakit lain menjadi lebih parah (Warfields 1991; Park and Fulton 1991). Pada lansia assesment dan pengobatan yang diteliti pada penderita nyeri kronis dapat memberi hasil yang memuaskan (Park B and Fulton 1991). Pada penelitian didapatkan 66% lansia yang dirawat di nursing home (panti rawat wredha) menderita nyeri kronis dan dari 66% ini 34% tidak terdeteksi sebelumnya. Para lansia sering tidak melaporkan rasa nyeri dan tanda-tanda lain yang berkaitan dengan nyeri. Keengganan ini mugkin dikarenakan adanya anggapan bahwa rasa nyeri itu umum didapatkan pada umur-umur lansia atau ada rasa khawatir bahwa dokter mungkin akan menganggap remeh rasa nyeri tersebut bila dibandingkan dengan keluhan-keluhan lainnya. Sering pula terdapat lansia yang menganggap nyeri merupakan tanda-tanda mendekatnya ajal, atau merupakan gejala yang lebih serius, sehingga justru membuat lansia merasa takut untuk melaporkan kepada dokter. Terdapat beberapa alasan mengapa nyeri dan kurangnya masalah penanganan nyeri dapat menjadi masalah bagi lansia. Pertama, prevalensi kondisi yang menyakitkan dan penyakit sering terjadi pada usia tua. Lebih dari 50% kanker di Amerika Serikat terjadi pada orang yang berusia lebih dari 65 tahun, dan 60 sampai 80% pasien dengan kanker mengalami nyeri sedang sampai berat. Nyeri artritis terjadi pada lebih dari setengah jumlah seluruh lansia dengan osteoartritis yang menyebabkan lebih banyak nyeri kronis daripada kondisi yang lain. Jenis nyeri lain yang sering terjadi pada lansia adalah sakit kepala, nyeri punggung bagian bawah, dan nyeri tajam dan menusuk, nyeri neuropatik terbakar (misalnya fantom ekstremitas, neuropati diabetes, neuralgia pascaherpetik, neuralgia trigeminal, dan kausalgia).
B. Tujuan

1. Tujuan Umum

Setelah menyelesaikan makalah ini diharapkan kelompok dapat memahami dan mengaplikasikan asuhan keperawatan lansia dengan nyeri
2. Tujuan Khusus

Setelah menyelesaikan makalah ini kelompok dapat memahami tentang :


a. Pengertian Nyeri b. Klasifikasi Nyeri c. Etiologi Nyeri d. Patofisologi Nyeri e. Penatalaksanaan Nyeri f. Asuhan Keperawatan Nyeri pada Lansia

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Nyeri

Nyeri adalah sensasi subjektif rasa tidak nyaman yang biasa nya berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual atau potensial. Nyeri adalah suatu mekanisme protektif bagi tubuh.ia timbul bilamana jaringan sedang rusak dan ia menyebabkan individu tersebut bereaksi untuk menghilangkan rangsang nyeri tersebut. Nyeri adalah suatu sensori subjektif dan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan berkaitan dengan kerusakan jaringan yang aktual atau potensial atau yang dirasakan dalam kejadian- kejadian dimana terjadi kerusakan. Nyeri adalah suatu sensasi yang disebabkan karena rusaknya jaringan, bisa dikulit sampai jaringan yang paling dalam. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa, nyeri sering dijumpai pada penderita lansia biasanya sering diterapi secara paliatif, bahkan dengan manajemen yang sering tidak adekuat (Monti DA,1998). Nyeri yang kronis biasanya berpengaruh pada fungsi fisiologis berupa bertambahnya penderitaan dan menurunnya kualitas hidup.
B. Klasifikasi Nyeri 1. Jenis nyeri menurut durasi a. Nyeri akut

Nyeri akut terjadi setelah cedera akut, penyakit atau intervensi bedah dan memiliki awitan yang cepat, dengan intensitas yang bervariasi ( ringan sampai berat) dan berlangsung untuk waktu singkat. Nyeri akut adalah nyeri yang berlangsung kurang dari 6 bulan nyeri yang mereda setelah intervensi atau penyembuhan. Nyeri akut biasanya mendadak dan berkaitan dengan masalah spesifik yang memicu individu untuk segera bertindak menghilangkan nyeri dan menghilang apabila faktor internal dan eksternal yang merangsang reseptornya di hilangkan. Nyeri akut ditandai oleh peningkatan frekuensi jantung, peningkatan tanda- tanda vital, wajah meringis, menarik diri, dan menangis. Terjadi

dilatasi pupil dan pengeluaran keringat. Individu yang mengalami nyeri akut biasanya berfokus pada nyerinya.
b. Nyeri Kronis

Nyeri kronis adalah Nyeri yang berlangsung lama, intensitasnya bervariasi dan biasanya lebih dari 6 bulan. Kata kronis berasal dari kata yunani yang berarti waktu dan di hubungkan dengan rasa nyeri yang menetap dan biasanya terus-menerus,bukan yang berlangsung sewaktu-waktu. Karakteristik nyeri kronis adalah area nyeri tidak mudah diidentifikasi, intensitas nyeri sukar di turunkan, rasa nyerinya biasanya meningkat, sifatnya kurang jelas dan kemungkinan kecil untuk sembuh/ hilang,biasa terjadi perubahan kepribadian dan penurunan berat badan. Nyeri kronis dapat di kategorikan menjadi dua, yaitu:
1)

Nyeri kronis maligna

Nyeri ini dapat digambarkan sebagai nyeri yang berhubungan dengan kanker atau penyakit progresif lainnya.
2)

Nyeri kronis non maligna

Nyeri ini biasanya dikaitkan dengan nyeri akibat kerusakan jaringan non progresif atau telah mengalami penyembuhan.
2. Menurut Tempat 1) 1)

Periferal Pain Superfisial pain (nyeri permukaan/ kulit) Nyeri kulit berasal dari struktur- struktur superfisial kulit dan jaringan subcutis. Stimulus yang efektif untuk menimbulkan nyeri di kulit dapat berupa rangsangan mekanis, suhu, kimiawi, atau listrik. Jika kulit yang terlibat nyeri dirasakan sebagai menyengat, tajam, mengiris,atau seperti terbakar ; tetapi apabila pembuluh darah ikut berperan menimbulkan nyeri, sifat nyeri menjadi berdenyut.

2)

Deep Pain ( nyeri somatik dalam) Nyeri somatik dalam mengacu pada nyeri yang berasal dari Otot,

tendon, ligamentum, tulang, sendi, dan arteri. Struktur- struktur ini memiliki lebih sedikit reseptor nyeri sehingga lokalisasi nyeri sering tidak jelas. Nyeri dirasakan lebih difus dari pada nyeri kulit dan cenderung menyebar ke daerah di sekitarnya
3)

Nyeri Visera Nyeri visera mengacu pada nyeri yang berasal dari organ- organ

tubuh. Reseptor nyeri visera terletak di dinding otot polos organorgan berongga ( lambung, kandung empedu, saluran empedu, ureter, kandung kemih) dan di kapsul organ- organ padat ( hati, pankreas, ginjal). Mekanisme utama yang menimbulkan nyeri visera adalah peregangan atau distensi abnormal dinding atau kapsul organ, iskemia, dan peradangan. Struktur- struktur lain yang dapat di regangkan misalnya, kandung empedu, saluran empedu, atau ureter, dapat menimbulkan nyeri kolik, sering akibat spasme otot polos. Nyeri visera di salurkan melalui serat simpatis, dan parasimpatis Simtem Saraf Otonom. Aferen visera biasanya adalah serat tife C, dan sensasi nyeri yang di hasilkan biasanya memiliki kualitas tumpul atau pegal. Impuls nyeri dari visera thorak dan abdomen hampir secara eksklusif di hantarkan melalui sistem saraf simpatis; impils berjalan di saraf simpatis melalui ganglion simpatis tanpa bersinap, dan kemudian mencapai saraf spinal melalui ramus komunikans alba dan kemudian ke ganglion akar dorsal
4)

Reffered Pain ( Nyeri Alihan) Nyeri alih di definisikan sebagai nyeri yang berasal dari salah

satu daerah di tubuh tetapi di rasakan terletak di daerah lain. Nyeri visera sering di alihkan ke dermatom( daerah kulit) yang di persarafi oleh segmen medula spinalis yang sama dengan viskus yang nyeri tersebut. Teori tentang nyeri alih yaitu teori konvergensi/ proyeksi ( Fields, Martin,2001) yang menjelaskan tentang dua tife aferen

yang masuk ke segmen spinal ( dari kulit dan struktur otot dalam dan visera) berkovergensi ke sel- sel proyeksi sensorik yang sama ( misalnya, sel proyeksi spinotalamikus). contoh umum nyeri alih: appendicitis acut. Nyeri visera appendic peregangan lumen atau spasme otot nyeri aferen viseral medula spinalis segmen thoraks 10(T10) naik melalui pleksus mesentrikus superior dan saraf splanknikus minoris rasa pegal atau kram samar di sekitar pusar yang di persarafi oleh nervus interkostalis X ( somatik) kemudian , nyeri berpindah ke kuadran kanan bawah abdomen( tempat apendiks yang meradang yang di persarafi oleh nervus torasikus XII dan nervus spinalis lumbalis I ( T12 sampai L1) disini nyeri terasa tajam dan memiliki lokalisasi yang jelas di atas peritonium yang mengalami iritasi karena impuls langsung melalui nervus spinalis ( jalur somatik atau parietal)
b. Central Pain

Nyeri yang terjadi karena perangsangan pada susunan saraf pusat, spinal cord, batang otak.
1) Nyeri Neuropatik

Nyeri yang di sebabkan karena kerusakan atau disfungsi sistem saraf perifer. Nyeri ini sering memiliki kualitas seperti terbakar, perih, atau seperti sengatan listrik. Pasien dengan nyeri neuropati menderita akibat instabilitas sistem saraf otonom. Dengan demikian, nyeri sering bertambah parah oleh stres emosi atau fisik ( dingin, kelelahan). Dan mereda setelah relaksasi, karena itu , pasien mungkin tidur secara normal walaupun terasa nyeri.
2) Phantom Limb Pain

Sensasi perih, pins and needles ( parestesia), atau yang lebih jarang seperti terbakar, atau remuk di ekstermitas yang tidak dimiliki lagi oleh pasien ( karena telah di amputasi. Nyeri di karenakan

terjepitnya serat nyeri di jaringan parut puntung tungkai yang menyebabkan terbentuknya impuls- impuls ektopik.
3) Psichogenic Pain

Nyeri yang di rasakan tanpa penyebab organik, tetapi akibat dari trauma psikologis.
C. Etiologi Nyeri 1. Trauma a. Mekanik : rasa nyeri timbul akibat ujung- unjung saraf bebas

mengalami kerusakan. Misalnya akibat benturan, gesekan, luka dan lainlain.


b. Thermis : nyeri pinggul karena ujung saraf reseptor mendapat

rangsangan akibat panas, dingin, misalnya karena api dan air.


c. Khemis : timbul karena kontak dengan zat kimia yang bersifat asam

atau basa kuat.


d. Elektrik : timbul karena pengaruh aliran listrik yang kuat mengenai

reseptor rasa nyeri yang menimbulkan kekejangan otot dan luka bakar
2. Neoplasma a. Jinak b. Ganas 3. Peradangan

Nyeri terjadi karena kerusakan ujung- ujung saraf reseptor akibat adanya peradangan atau terjepit oleh pembengkakan, Misanya abses.
4. Gangguan sirkulasi darah dan kelainan pembuluh darah 5. Trauma psikologis

D. Persepsi Nyeri pada manusia

Persepsi nyeri pada manusia dapat di bagi menjadi 3 jenis, yaitu :


1.

Nyeri cepat yang terasa setempat,menusuk,cepat menghilang seperti

misalnya tertusuk jarum.

2.

Nyeri yang perlahan timbulnya,berlangsung lama,tak jelas lokasinya Nyeri viseral atau nyeri dalam yang timbul karena terangsangnya

di sertai reaksi autonom dan psikis yang di sebut nyeri membara.


3.

alat-alat dalam.Nyeri primer yang di ikuti nyeri sekunder dapat di sertai reaksi refleks somatis berupa gerakan menarik bagian badan yang nyeri ,rintihan ,teriakan.selain itu dapat pula timbul reaksi autonom berupa takikardi, hipertensi,hiperpne dan reaksi psikis seperti gelisah,resah,agresi,frustasi.
E. Mekanisme Nyeri 1. Fisiologi Nyeri Menurut Torrance & Serginson (1997)

Ada tiga jenis sel saraf dalam proses penghantaran nyeri, yaitu:
a. sel syaraf aferen atau neuron sensori, b. serabut konektor atau interneuron dan c. sel saraf eferen atau neuron motorik.

Sel-sel syaraf

ini mempunyai reseptor pada ujung nya yang

menyebabkan impuls nyeri dihantarkan ke sum-sum tulang belakang dan otak. Reseptor-reseptor ini sangat khusus dan memulai impuls yang merespon perubahan fisik dan kimia tubuh. berespon terhadap stimulus nyeri disebut Reseptor-reseptor yang nosiseptor. Stimulus pada

jaringan akan merangsang nosiseptor melepaskan zat-zat kimia, yang terdiri dari prostaglandin, histamin, bradikinin, leukotrien, substansi p, dan enzim proteolitik. Zat-zat kimia ini akan mensensitasi ujung syaraf dan menyampaikan impuls ke otak (Torrance & Serginson, 1997).
2. Menurut Smeltzer & Bare (2002)

Kornu dorsalis dari medula spinalis dapat dianggap sebagai tempat memproses sensori. Serabut perifer berakhir disini dan serabut traktus sensori asenden berawal disini. Juga terdapat interkoneksi antara sistem neural desenden dan traktus sensori asenden. Traktus asenden berakhir pada otak bagian bawah dan bagian tengah dan impuls-impuls dipancarkan ke korteks serebri. Agar nyeri dapat diserap secara sadar, neuron pada

sistem asenden harus diaktifkan. Aktivasi terjadi sebagai akibat input dari reseptor nyeri yang terletak dalam kulit dan organ internal. Terdapat yang ketika diaktifkan, interkoneksi neuron dalam kornu dorsalis

menghambat atau memutuskan taransmisi informasi yang menyakitkan atau yang menstimulasi nyeri dalam jaras asenden. Seringkali area ini disebut gerbang. Kecenderungan alamiah gerbang adalah membiarkan semua input yang menyakitkan dari perifer untuk mengaktifkan jaras asenden dan mengaktifkan nyeri. Namun demikian, jika kecendrungan ini berlalu tanpa perlawanan, akibatnya sistem yang ada akan menutup gerbang. Stimulasi dari neuron inhibitor sistem asenden menutup gerbang untuk input nyeri dan mencegah transmisi sensasi nyeri. Setelah berada di medula spinalis, sebagian besar serabut nyeri bersinaps di neuron pada kornu dorsal dari segmen tempat serabut nyeri masuk. Informasi mengenai stimulus nyeri di kirim oleh salah satu dari dua jaras
a.

asenden

ke

otak

tractus

neospinotalamus

atau

trakrus

paleospinotalamus. Traktus Neospinotalamus/ Jalur cepat Informasi/ stimulus


spina ( serabut A) mencetuskan

potensial aksi serabut traktus neospinotalamus otak Talamus sinyal dikirim ke kortek somatosensorik tempat lokasi nyeri lokasi nyeri terlokalisir dengan baik interpretasi sinyal nyeri sacara sadar.
b.

Traktus paleospinotalamus/ jalur Lambat Informasi spina serabut C dan A serabut traktus

paleospinotalamus otak daerah retikular batang otak dan daerah mesensepalon ( area grisea periakueduktus) aktivasi hipotalamus dan sistem limbik memlpengaruhi fungsi area yang mengontrol emosi
nyeri terlokalisasi dengan buruk dan menyebabkan distres emosional

akibat nyeri.
3.

Gating Nyeri di medula spinalis dan otak Gating adalah kemampuan daerah otak bagian atas untuk memengaruhi tranmisi nyeri di medula spinalis. Neuron descenden yang mempengaruhi

transmisi nyeri datang dari kortek serebri, hipotalamus, sistem limbik, dan terutama area grisea periakueduktus.
a. Interpretasi Teori Gerbang

Menjelaskan mengenai bagaimana harapan personal dan budaya, mood, dan rasa takut dapat mempengaruhi persepsi dan toleransi nyeri individu.dengan menekankan kemampuan jaras descenden untuk memengaruhi persepsi nyeri dengan teknik distraksi atau tehnik relaksasi dapat mengurangi nyeri. ketika neuron A besar yang membawa informasi taktil kulit di stimulasi bersamaan dengan saat serabut A dan C menyalurkan stimulus nyeri, aktivasi spinal traktus neospinotalamikus dan paleospinotalamikus menjadi berkurang yang disebabkan oleh inhibisi lateral sel- sel di spina dorsal oleh neuron A yang besar. Contoh gating penyaluran stimulasi nyeri adalah pada saat Menggosok kepala atau kulit setelah sesuatu cedera menstimulasi serabut A yang besar dan menimbulkan beberapa derajat analgesia.
b. Endorfin, Enkefalin, dan Serotonin

Respon analgetik terjadi akibat produksi dan pelepasan opiat endogen oleh sistem saraf pusat, yaitu ; endorfin dan enkafalin. Serotonin dan analgesia.
1)

neurotranmiter lainnya juga berperan menimbulkan

Enkafalin adalah peptida kecil yang dilepaskan di medula

spinalis dari neuron yang turun dari area gresia periakueduktus. Enkefalin menyebabkan inhibisi prasinaps serabut tipe C dan A di spina untuk mengurangi penyaluran stimulus nyeri keluar medulaspinalis. Enkefalin terdapat di sistem limbik dan hipotalamus
2)

Endorfin dan Serotonin bekerja sebagai neurotransmiter di

otak untuk mengurangi penyaluran dan persepsi nyeri. hipofisis melepaskan endorfin sebagai respons terhadap olah raga berat dan selama pengalaman nyeri, misalnya persalinan. Endorfin juga mempengaruhi mood, nyeri yang berkepanjangan terbukti mengurangi kadar endorfin, sehingga menimbulkan keputusasaan dan penderitaan yang terlihat pada individu yang mengalami nyeri

kronis. Serotonin di hasilkan di otak dan dilepaskan dari serabut descenden yang bersinaps di medula spinalis. Obat- obat yang meningkatkan kadar serotonin otak, misalnya antidepresan, trisiklik, mengurangi persepsi nyeri.

4. Teori tentang terjadinya rangsangan nyeri ( Barbara C.Long,1989),

diantaranya :
a. Teori Pemisahan ( specificity theory)

Rangsangan sakit medula spinalis ( spinal cord) melalui kurnodorsalis yang bersinaps di daerah posterior naik ke Traktus lissur & menyilang di garis median ke sisi lainnya dan berakhir di korteks sensoris tempat rangsangan nyeri tersebut di teruskan.
b. Teori Pola ( Pattern Theory)

Rangsangan nyeri masuk melalui akar ganglion dorsal medula spinalis merangsang aktivitas sel T mengalibatkan respon yg

merangsang ke bagian yang lebih tinggi( kortek serebri) kontraksi menimbulkan persepsi dan otot berkontraksi menimbulkan nyeri (persepsi yang dipengaruhi oleh modalitas respon dari reaksi sel T )
c. Teori Pengendalian Gerbang ( Gate Control Theory)

Nyeri tergantung dari kerja serat saraf- saraf besar & kecil, yang keduanya berada dalam akar ganglio dorsalis, rangsangan pada serat saraf besar akan meningkatkan aktivitas substansia gelatinosa yang mengakibatkan tertutupnya pintu mekanisme sehingga aktivitas sel T terhambat menyebabkan hantaran rangsangan itu terhambat. Rangsangan serat besar dapat langsung merangsang kortek serebri.hasil persepsi ini akan dikembalikan ke dalam medula spinalis melalui serat eferen dan reaksinya dan mempengaruhi aktivitas sel T. Rangsangan pada serat kecil akan mengahmbat aktivitas substansia gelatinosa dan membuka pintu mekanisme, sehingga merangsang aktivitas sel T yang selanjutnya akan mengahantarkan rangsangan nyeri.
d. Teori Transmisi dan Inhibisi

Adanya stimulus pada nosireseptor melalui transmisi impuls-impils saraf, sehingga transmisi impuls nyeri menjadi efektif, oleh neuron transmiter yang spesifik. Kemudian, inhibisi impuls nyeri menjadi efektif oleh impuls- impuls pada serabut- serabut besar yang memblok impuls- impuls pada serabut lamban dan endogen opiate sistem supresif.

F. Penilaian Klinis Nyeri

Penilaian klinis nyeri di perlukan untuk memahami pengalaman nyeri klien dan mengidentifikasi kausa atau penyebab sehingga nyeri dapat dihilangkan. Karakteristik nyeri:
1. Lokasi Nyeri

Untuk mengetahui apakah nyeri bersifat superfisial atau dalam. Nyeri dari lesi superfisial biasanya tidak menimbulkan masalah karena penyebab

dan akibat sudah jelas. Lokasi yang tepat menjadi sangat penting pada nyeri dalam yang beralih ke suatu dermatom saat terdapat keterlibatan struktur somatik dalam atau visera. Yang perlu di ketahui mengenai lokasi nyeri , meliputi :
a. Dimana terasa nyeri? b. Apakah nyeri menyebar? c. Apakah nyeri di permukaan atau di dalam?

2. Cara Awitan

Merupakan faktor penting untuk menilai nyeri, nyeri yang memiliki awitan yang mendadak dan hampir langsung mencapai puncak intensitas menunjukan ruptur jaringan. Nyeri infark miokardium atau ruptur ulkus peptikum dapat timbul dengan cara ini. Pertanyaan berkaitan dengan cara awitan, meliputi :
a. Kapan nyeri dimulai ? b. Apakah nyeri timbul mendadak atau perlahan? c. Apakah ada kejadian tertentu yang tampaknya menimbulkkan nyeri

saat nyeri tersebut dimulai ?


3. Pola Penentuan Waktu, Frekuensi, Durasi

Memberikan informasi penting, nyeri karena postur timbul setelah aktivitas berkepanjangan ( biasanya sore/ malam hari dan menghilang pada dengan istirahat. Sedangkan nyeri arthritis paling parah pada gerakangerakan pertama setelah inaktivitas lama ( biasannya pagi hari saat bangun tidur). Lesi tulang yang menimbulkan nyeri, seperti kanker metastatik, kemungkinan besar paling mengganggu pada malam hari.tidak semua nyeri bersifat konstan. Nyeri intermiten yang terjadi beberapa kali sehari juga dapat sangat mengganggu. Serangan dapat berlangsung beberapa detik, jam atau hari dan dapat memengaruhi kemampuan pasien berfungsi secara normal). Nyeri substernum yang berlangsung kurang dari 15 menit yang hilang dengan istirahat atau nitrogliserin adalah khas untuk angina vektoris,

tetapi apabila nyeri berlangsung lebih dari 15 menit, maka mungkin sudah terjadi infark miokardium. Pertanyaan menyangkut hal ini, meliputi :
a. Kapan nyeri timbul ( pagi,siang, malam) ? b. Seberapa sering nyeri timbul ? c. Apakah nyeri terus menerus, atau hilang- timbul ? d. Seberapa lama nyeri menetap ?

4. Faktor yang memperberat dan memperingan

Faktor berkaitan dengan mekanisme nyeri. nyeri yang berkaitan dengan bernafas, menelan,atau defekasi menyebabkan perhatian terfokus masingmasing pada sistem pernafasan, esofagus dan usus bagian bawah. Nyeri yang ditimbulkan oleh aktivitas dan mereda setelah beberapa menit istirahat mengisyaratkan iskemia ( misalnya angina pektoris, klaudikasio intermiten). Nyeri yang terjadi beberapa jam setelah makan dan hilang dengan ingesti makanan atau antasid merupakan ciri ulkus duodenum. Nyeri yang meningkat atau berubah oleh rangsangan kulit dapat di sebabkan oleh penyakit atau cedera di jaras- jaras sensorik di SST atau SSP ( misalnya kausalgia, sindrom talamus). Pertanyaan berkaitan dengan faktor ini, meliputi:
a. Apa yang kira- kira memicu nyeri ? b. Apa yang menyebabkan nyeri bertambah parah ( misalnya gerakan,

atau perubahan posisi, batuk atau mengejan, minum atau makan )?


c. Apa yang menyebabkan nyeri berkurang ( misalnya, beristirahat,

tidur,merubah

posisi

misalnya

berdiri,

duduk,

baring,

atau

membungkuk, makanan, atau antasid ) ?


5. Kualitas

Kualitas nyeri dapat dinilai dengan cara meminta pasien menjelaskan nyeri dengan kata-kata mereka sendiri( misalnya, tumpul, berdenyut, tertusuk atau terbakar)
6. Intensitas

Seberapa hebat nyerinya ( minta pasien mengukur nyeri menggunakan skala analog visual atau verbal sebelum dan sesudah pengobatan)
7. Gejala Terkait

Apakah ada masalah lain yang di timbulkan oleh nyeri ( misalnya anoreksia, mual, muntah, insomnia) ?
8. Efek Pada Gaya Hidup a. Apakah nyeri mengganggu aktivitas anda di rumah, pekerjaan, atau interaksi

sosial normal ?
b. Apakah nyeri mengganggu keseharian hidup anda ( misalnya, makan, tidur,

aktivitas seksual, menyetir) ?


9. Metode Untuk Mengurangi Nyeri a. Apa yang pernah dapat menolong mengurangi nyeri anda? b. Apa yang tidak bermanfaat untuk mengurangi nyeri anda?

10. Tingkatan Skala Nyeri

Alat bantu yang paling sering di gunakan untuk menilai intensitas atau keparahan nyeri pasien adalah bentuk Skala Analog Visual (SAV) yang terdiri dari sebuah garis horisontal yang dibagi secara rata menjadi 10 segmen dengan nomor 0 sampai 10.
a. Skala Numerik

10

b. Skala Wong Beker Faces Pain Rating scale

Digunakan pada anak dan orang dewasa yang mengalami gangguan kognitif, yang menggantikan angka dengan kontinum wajah tersenyum sampai menangis.

1
Tidak Sakit sakit

1-2
lebih sakit sedikit

3-4
lebih

5-6
sakit lagi

7-8
jauh lebih sakit sakit

9-10
sekali

G. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Nyeri 1. Usia

Menurut Potter & Perry (1993) usia adalah variabel penting yang mempengaruhi nyeri terutama pada anak dan orang dewasa. Perbedaan perkembangan yang ditemukan antara kedua kelompok umur ini dapat mempengaruhi bagaimana anak dan orang dewasa bereaksi terhadap nyeri. Anak-anak kesulitan untuk memahami nyeri dan beranggapan kalau apa yang dilakukan perawat dapat menyebabkan nyeri. Anak-anak yang belum mempunyai kosakata yang banyak, mempunyai kesulitan mendeskripsikan secara verbal dan mengekspresikan nyeri kepada orang tua atau perawat. Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalami kerusakan fungsi (Tamsuri, 2007). Pada lansia memilki kemampuan untuk menginterpretasikan nyeri dan dapat mengalami komplikasi dengan keberadaan berbagai penyakit disertai gejala samar yang mungkin mengenai bagian tubuh yang sama. Tidak semua lansia mengalami gangguan kognitif, namun ketika seorang lansia mengalami bingung, maka ia akan mengalami kesulitan untuk mengingat pengalaman nyeri dan memberi penjelasan yang rinci. Seorang perawat harus menggunakan teknik komunikasi yang sederhana dan tepat untuk membantu anak dalam membantu anak dalam memahami dan mendeskripsikan nyeri. Sebagai contoh, pertanyaan kepada anak,

Beritahu saya dimana sakitnya? atau apa yang dapat saya lakukan untuk menghilangkan sakit kamu?. Hal-hal diatas dapat membantu mengkaji nyeri dengan tepat. Perawat dapat menunjukkan serangkaian gambar yang melukiskan deskripsi wajah yang berbeda, seperti tersenyum, mengerutkan dahi atau menangis. Anak-anak dapat menunjukkan gambar yang paling tepat untuk menggambarkan perasaan mereka.
2. Jenis Kelamin

Gill (1990) mengungkapkan laki-laki dan wanita tidak mempunyai perbedaan secara signifikan mengenai respon mereka terhadap nyeri. Masih diragukan bahwa jenis kelamin merupakan faktor yang berdiri sendiri dalam ekspresi nyeri. Misalnya anak laki-laki harus berani dan tidak boleh menangis dimana seorang wanita dapat menangis dalam waktu yang sama. Penelitian yang dilakukan Burn, dkk.
3. Budaya

Keyakinan dan nilai-nilai budaya mempengaruhi cara individu mengatasi nyeri. Individu mempelajari apa yang diharapkan dan apa yang diterima oleh kebudayaan mereka. Hal ini meliputi bagaimana bereaksi terhadap nyeri (Calvillo & Flaskerud, 1991). Beberap kebudayaan yakin bahwa memperlihatkan nyeri adalah sesuatu yang alamiah, kebudayaan yang lain cenderung untuk melatih perilaku individu belajar dari pengalaman nyeri. Nyeri memiliki makna tersendiri pada individu dipengaruhi oleh latar belakang budayanya (Davidhizar et all, 1997, Marrie, 2002). Nyeri biasanya menghasilkan respon efektif yang diekspresikan berdasarkan latar belakang budaya yang berbeda. Ekspresi nyeri dapat dibagi kedalam dua kategori yaitu tenang dan emosi (Davidhizar et all, 1997, Marrie, 2002) pasien tenang umumnya akan diam berkenaan dengan nyeri, mereka memiliki sikap dapat menahan nyeri. Sedangkan pasien yang emosional akan berekspresi secara verbal dan akan menunjukkan tingkah laku nyeri dengan merintih dan menangis (Marrie,

2002). Nilai-nilai budaya perawat dapat berbeda dengan nilai-nilai budaya pasien dari budaya lain. Harapan dan nilai-nilai budaya perawat dapat mencakup menghindari ekspresi nyeri yang berlebihan, seperti menangis atau meringis yang berlebihan. Pasien dengan latar belakang budaya yang lain bisa berekspresi secara berbeda, seperti diam seribu bahasa ketimbang mengekspresikan nyeri klien dan bukan perilaku nyeri karena perilaku berbeda dari satu pasien ke pasien lain. Mengenali nilai-nilai budaya yang memiliki seseorang dan memahami mengapa nilai-nilai ini berbeda dari nilai-nilai kebudayaan lainnya membantu untuk menghindari mengevaluasi perilaku pasien berdasarkan harapan dan nilai budaya seseorang. Perawat yang mengetahui perbedaan budaya akan mempunyai pemahaman yang lebih besar tentang nyeri pasien dan akan lebih akurat dalam mengkaji nyeri dan respon-respon perilaku terhadap nyeri juga efektif dalam menghilangkan nyeri pasien (Smeltzer& Bare, 2003). Universitas Sumatera Utarad.
4. Pengalaman masa lalu dengan nyeri

Seringkali individu yang lebih berpengalaman dengan nyeri yang dialaminya, makin takut individu tersebut terhadap peristiwa menyakitkan yang akan diakibatkan. Individu ini mungkin akan lebih sedikit mentoleransi nyeri, akibatnya ia ingin nyerinya segera reda sebelum nyeri tersebut menjadi lebih parah. Reaksi ini hampir pasti terjadi jika individu tersebut mengetahui ketakutan dapat meningkatkan nyeri dan pengobatan yang tidak adekuat. Pengalaman nyeri sebelumnya tidak selalu berarti bahwa individu tersebut akan menerima nyeri dengan lebih mudah pada masa yang akan datang. Apabila individu sejak lama sering mengalami serangkaian episode nyeri tanpa pernah sembuh atau menderita nyeri yang berat, maka ansietas atau rasa takut dapat muncul. Apabila individu tidak pernah merasakan nyeri, maka persepsi pertama nyeri dapat mengganggu koping terhadap nyeri. Efek yang tidak diinginkan yang diakibatkan dari pengalaman sebelumnya menunjukkan pentingnya perawat untuk waspada terhadap

pengalaman masa lalu pasien dengan nyeri. Jika nyerinya teratasi dengan tepat dan adekuat, individu mungkin lebih sedikit ketakutan terhadap nyeri dimasa mendatang dan mampu mentoleransi nyeri dengan baik (Smeltzer & Bare, 2002).
5. Efek plasebo

Efek plasebo terjadi ketika seseorang berespon terhadap pengobatan atau benar tindakan lain karena sesuatu harapan bahwa pengobatan tersebut benar bekerja. Menerima pengobatan atau tindakan saja sudah keefektifan medikasi atau intervensi lainnya. Seringkali

merupakan efek positif. Harapan positif pasien tentang pengobatan dapat meningkatkan makin banyak petunjuk yang diterima pasien tentang keefektifan intervensi, makin efektif intervensi tersebut nantinya. Individu yang diberitahu bahwa suatu medikasi diperkirakan dapat meredakan nyeri hampir pasti akan mengalami peredaan nyeri dibanding dengan pasien yang diberitahu bahwa medikasi yang didapatnya tidak mempunyai efek apapun. Hubungan pasien perawat yang positif dapat juga menjadi peran yang amat penting dalam meningkatkan efek plasebo (Smeltzer & Bare, 2002).

6. Keluarga dan Support Sosial

Faktor lain yang juga mempengaruhi respon terhadap nyeri adalah kehadiran dari orang terdekat. Orang-orang yang sedang dalam keadaan nyeri sering bergantung pada keluarga untuk mensupport, membantu atau melindungi. Ketidakhadiran keluarga atau teman terdekat mungkin akan membuat nyeri semakin bertambah. Kehadiran orangtua merupakan hal khusus yang penting untuk anak-anak dalam menghadapi nyeri (Potter & Perry, 1993).
7. Pola koping

Individu yang memiliki lokus kendali internal mempersepsikan diri mereka sebagai individu yang dapat mengendalikan lingkungan mereka dan

hasil akhir dari suatu peristiwa, seperti nyeri (Gil, 1990 dalam Potter and Perry, 1997). Sebaliknya, individu yang memiliki lokus kendali eksternal, mempersepsikan faktor-faktor lain didalam lingkungan mereka. Ketika seseorang mengalami nyeri dan menjalani perawatan di rumah sakit adalah hal yang sangat tak tertahankan. Secara terus-menerus klien kehilangan kontrol dan tidak mampu untuk mengontrol lingkungan Penting untuk mengerti sumber koping termasuk nyeri. Klien sering menemukan jalan untuk mengatasi efek nyeri baik fisik maupun psikologis. individu selama nyeri. Sumber-sumber koping ini seperti berkomunikasi dengan keluarga, latihan dan bernyanyi dapat digunakan sebagai rencana untuk mensupport klien dan menurunkan nyeri klien. Sumber koping lebih dari sekitar metode teknik. Seorang klien mungkin tergantung pada support emosional dari anak-anak, keluarga atau teman. Meskipun nyeri masih ada tetapi dapat meminimalkan kesendirian. Kepercayaan pada agama dapat memberi kenyamanan untuk berdoa, memberikan banyak kekuatan untuk mengatasi ketidaknyamanan yang datang (Potter & Perry, 1993).

H. Penatalaksanaan Nyeri 1.

Tindakan Non Medikasi


a. Mengurangi faktor yang dapat menambah nyeri : 1)

Ketidakpercayaan, pengakuan perawat akan rasa nyeri yang

di derita pasien dapat mengurangi nyeri. hal ini dapat dilakukan melalui pernyataan verbal, mendengarkan dengan penuh perhatian mengenai keluhan nyeri pasien, dan mengatakan kepada pasien bahwa perawat mengkaji rasa nyeri pasien agar dapat lebih memahami tentang nyerinya.
2)

Kesalahpahaman,

mengurangi

kesalahpahaman

pasien

tentang nyerinya akan mengurangi nyeri. hal ini dilakukan dengan memberitahu paien bahwa nyeri yang dialami sangat individual dan hanya pasien yang tahu secara pasti tentang nyerinya.

3)

Ketakutan , memberikan informasi yang tepat dapat

mengurangi ketakutan pasien dengan menganjurkan pasien untuk mengekspresikan bagaimana mereka menangani nyeri .
4)

Kelelahan, dapat memperberat nyeri. untuk mengatasinya,

kembangkan pola aktivitas yang dapat memberikan istirahat yang cukup.


5)

Kebosanan , dapat meningkatkan rasa nyeri. untuk

megurangi nyeri dapat digunakan pengalih perhatian yang bersifat terapiutik. Beberapa tehnik pengalih perhatian adalah bernafas pelan dan berirama, memijat secara perlahan, menyanyi berirama, aktif mendengarkan musik, membayangkan hal- hal yang menyenangkan, dsb.
b. Stimulasi dan masase kutaneus

Masase adalah stimulasi kutaneus tubuh secara umum, sering dipusatkan pada punggung dan bahu. Masase tidak secara spesifik menstimulasi reseptor tidak nyeri pada bagian reseptor yang sama seperti reseptor nyeri, tetapi dapat mempunyai dampak melalui sistem kontrol desenden. Masase dapat membuat pasien lebih nyaman karena masase membuat relaksasi otot.
c. Teori gate control telah menjelaskan, bertujuan untuk menstimulasi

serabut- serabut yang menstransmisikan sensasi tidak nyeri memblok atau menurunkan transmisi impuls nyeri.

d. Terapi es (dingin) dan panas. 1)

Terapi es dapat menurunkan prostaglandin, yang memperkuat

sensitivitas reseptor nyeri dan subkutan lain pada tempat cedera dengan menghambat proses inflamasi. Agar efektif, es harus diletakkan pada tempat cedera segera setelah terjadi cedera, (Cohen, 1989 dalam Suddart dan Brunner, 1997).

2)

Penggunaan panas mempunyai keuntungan meningkatkan

aliran darah ke suatu area dan kemungkinan dapat turut menurunkan nyeri dengan mempercepat penyembuhan. Namun penggunaan panas kering dengan lampu pemanas tidak seefektif penggunaan es.
e. Stimulasi saraf elektris transkutan / Transcutan electric nerve

stimulation (TENS)
1)

Transcutaneus elektrical stimulator ( TENS) ; digunakan

untuk mengendalikan stimulus manual daerah nyeri tertentu dengan menempatkan beberapa elektroda di luar.
2)

Percutaneus implanted spinal cord epidural stimulator

merupakan alat stimulator sumsum tulang belakang dan epidural yang di implant di bawah kulit dengan transistor timah penerima yang dimaksudkan ke dalam kulit pada daerah epidural dan columna vertebrae.
3)

Stimulator columna vertebrae, sebuah stimulator dengan

stimulus alat penerima transiitor di cangkok melalui kantong kulit intraclavicula atau abdomen, yaitu elektroda di tanam melalui pembedahan pada dorsum sumsum tulang belakang.
f. Distraksi

Distraksi mencakup memfokuskan perhatian pasien pada sesuatu selain pada nyeri, misalnya dengan cara kunjungan dari keluarga dan teman-teman pasien. Melihat film layar lebar dengan suarasur r ound. Tidak semua pasien mencapai peredaan nyeri melalui distraksi. Distraksi diduga dapat menurunkan persepsi nyeri dengan menstimulasi sistem kontrol desenden, yang mengakibatkan lebih sedikit stimuli nyeri yang ditransmisikan ke otak.
g. Tehnik relaksasi

Menganjurkan pasien untuk menarik nafas dalam dan mengisi paruparu dengan udara, menghembuskannya secara perlahan, melemaskan

otot- otot tangan, kaki, perut, dan punggung, serta mengulangi hal yang sama sambil terus berkonsentrasi sehingga di dapat rasa nyaman, tenang, dan rileks.

h. Imajinasi terbimbing

Menggunakan imajinasi seseorang dalam suatu cara yang dirancang secara khusus untuk mencapai efek positif tertentu. Imajinasi

terbimbing menyebabkan relaksasi otot dan pikiran dimana efeknya hampir sama dengan penggunaan tehnik relaksasi dengan metode yang berbeda.

i. Hipnosis

Tehnik ini mungkin membantu dalam memberikan peredaan nyeri terutama dalam situasi sulit. Mekanisme bagaimana kerjanya hiposis tidak jelas tetapi tidak jelas tetapi tidak tampak diperantarai oleh sistem endorfin (Moret et.all, 1991 dalam Suddart and Brunner, 1997).
2. a.

Tindakan Medikasi Analgesik misalnya asetaminofen dapat mengurangi nyeri ringan,kemungkinan besar dengan menghambat produksi prostaglandin atau zat lain yang menyebabkan reseptor nyeri. Macam- macam obat analgesik :
1)

Opioid (narkotika) Terdapat pengertian yang keliru mengenai efek analgesik opioid

pada usia lanjut dan golongan usia lainnya. Ketakutan akan terjadinya adiksi dan efek samping (terutama pada usia lanjut) seperti sedasi, konfusio, gangguan keseimbangan, konstipasi, konsentrasi berkurang dan nausea. Akan tetapi perlu diketahui bahwa efek analgesik biasanya sudah tercapai dengan dosis dibawah dosis yang menyebabkan adiksi, dan pemberian dengan titrasi serta pengawasan yang baik, efek penyembuhan nyeri dapat dicapai tanpa

efek samping berarti. Asosiasi Internasional untuk studi tentang nyeri telah memberikan panduan untuk pemakaian golongan obat ini (Workman BS, 1998). Kodein, sendiri atau dalam kombinasi dengan parasetamol cukup efektif untuk mengontrol nyeri sedang sampai berat. Penggunaannnya dibatasi oleh efek analgesik atap (ceiling effect) dan efek samping konstipasi. Apabila nyeri belum terkontrol dengan dosis 60 mg fosfat kodein tiap 4-6 jam, dianjurkan untuk menggantinya dengan analgesik yang lebih kuat. Oksi-kodon, merupakan obat analgesik opioid yang lebih kuat dibanding kodein. Ditoleransi dengan lebih baik, dengan efek samping konstipasi yang lebih sedikit dan jangka kerja yang lebih panjang. Terdapat bentuk oral maupun supositoria. Bila dengan pemberian oral 4x10 mg belum dapat mengontrol nyeri, perlu penggantian dengan morfin. Morfin, merupakan obat yang sangat baik untuk mengontrol nyeri kronik berat dan tersedia dalam berbagai bentuk sediaan. Opioid sangat efektif untuk menghilangkan nyeri pasca operatif dan nyeri berat lainnya. Narkotik, misalnya morfin,dapat mengurangi nyeri hebat. morfin mengikat reseptor opiat di sistem syaraf pusat dan mengubah persepsi nyeri. Blok saraf dengan injeksi obat atau pembedahan kadang-kadang dapat di gunakan untuk mengatasi nyeri hebat.
a) Farmakodinamika

Opioid menimbulkan efek primernya terhadap susunan saraf pusat dan organ menimbulkan yang mengandung otot polos. Opioid rasa mengantuk eforia, depresi analgesia,

pernapasan terkait dosis, gangguan respons adrenokorteks terhadap stres (pada dosis tinggi), dan penurunan tahana perifer (dilatasi arteriol dan venosa) dengan sedikit atau tanpa efek terhadap indeks jantung. Efek terapiutik opioid pada edema paru merupakan akibat sekunder dari peningkatan pada dasar

kapasitansi. Efek konstipasi opioid timbul akibat induksi dari kontraksi non propulsif melalui traktus gastro intestinal. Opioid dapat menyebabkan spasme traktus biliaris dan peningkatan tekanan duktus biliaris komunis diatas kadar pra obat. Depresi reflek batuk adalah melalui efek langsung terhadap pusat batuk dalam medula. Opioid mengurangi aliran darah ke otak dan tekanan intra kranial. Dapat menimbulkan mual dan muntah dengan mengaktifasi zona pemicu kemoreseptor. Opioid melepaskan histamin dan dapat menyebabkan pruritus setelah pemberian oral atau sistemik. Perubahan modulasi sensorik sebagai akibat sekunder pengikatan langsung opioid pada reseptor opiatdalam medula oblongata dapat merupakan mekanisme terjadinya pruritus setelah pemberian epidural / intratekal. Analgesia intra artikuler terjasi sebagai akibat sekunder pengikatan opioid dengan reseptor opiat dalam sinovium.
b) Farmakokinetika -

Awitan aksi; IV < 1 menit, IM 1-5 menit, SK 15-30 Efek puncak; IV 5-20 menit, IM 30-60 menit, SK 50Lama aksi; IV, IM, SK, 2-7 jam, oral 6-12 jam dan Interaksi / toksisitas; efek depresi SSP dan sirkulasi

menit, oral 15-60 menit dan epidural spinal 15-60 menit.


-

90 menit, oral 30-60 menit dan epidural / spinal 90 menit.


-

epidural / spinal 90 menit.


-

dipotensiasi oleh alkohol, sedatif, antihistamin, fenotiazin, butirofenon, inhibitor MAO dan antidepresan trisiklik. Dapat mengurangi efek diuretik pada pasien dengan gagal jantung kongestif. Anelgesia dipertinggi dan diperpanjang oleh agonis alfa-2. Penambahan epineprin dan morpin intratekal / epidural menimbulkan peningkatan efek samping dan perpanjangan blok motorik.

c) Efek samping -

Kardiovaskuler; Hipotensi, hipertensi, bradikardi,

aritmia, kekakuan dinding dada. Pulmoner; Bronkospame dan laringospasme.


-

SSP; penglihatan kabur, sinkope, euforia dan disforia. Urinaria; retensi urine, efek anti diuretik dan spasme Gastrointestinal; spasme traktus biliaris, konstipasi,

ureter.
-

anoreksia, mual, muntah dan penundaan pengosongan lambung.


-

Mata; miosis Muskuloskletal; kekakuan dinding dada. Alergi; pruritus dan urtikaria.

2)

Non Steroid Anti Inflamasi Drugs (NSAID) Sangat efektif untuk menghilangkan nyeri pasca operatif dan

nyeri berat lainnya. Sangat baik digunakan pada pasien yang rentan terhadap efek pendepresi pernapasan dari opioid atau mengalami toleransi terhadap opioid karena penggunaan jangka panjang. Obat anti- inflamasi nonsteroid,misalnya aspirin dan ibufrofen,atau steroid dapat di gunakan untuk nyeri ringan sampai sedang.obatobatan ini menghambat produksi prostaglandin,baik secara lokal di tempat cedera maupun di sistem syaraf pusat. Obat AINS merupakan analgesik efektif dengan daya anti-inflamasi. Obat ini sering digunakan pada artritis dan nyeri muskuloskeletal serta keluhan nyeri lain yang berdasar atas peradangan. Dikatakan bahwa golongan obat ini merupakan golongan obat terbanyak ke-4 yang diresepkan pada usia lanjut. Untuk pemakaian pada usia lanjut, harus diperhatikan bahwa ekskresi ginjal sudah menurun, oleh karena itu obat AINS yang diekskresikan lewat ginjal (diflunisal, indometasin, naproksen dan ketoprofen) harus diberikan dengan hati-hati.

Berbagai obat AINS mengadakan interaksi dengan obat-obat lain yang sering banyak digunakan pada usia lanjut, diantaranya: digoksin, warfarin, fenitoin, valproat dan litium. Untuk mengantisipasi hal ini, lakukan monitor kadar obat dalam plasma.
a) Farmakodinamika

NSAID memperlihatkan aktivitas analgesik, anti inflamasi dan anti piretika. NSAID diduga dapat menurunkan nyeri dengan menghambat produksi prostaglandin dari jaringan yang mengalami trauma atau inflamasi, yang menghambat reseptor nyeri untuk menjadi sensitif terhadap stimulus menyakitkan sebelumnya. NSAID juga mempunyai suatu aksi sentral. Pada dosis klinis tidak terdapat perubahan yang bermakna pada jantung atau parameter hemodinamik. NSAID menghambat agregasi trombosit dan memperpanjang masa perdarahan. NSAID ditoleransi dengan baik oleh banyak pasien. Namun, mereka yang mengalami kerusakan fungsi ginjal dapat membutuhkan dosis yang lebih kecil dan harus dipantau ketat terhadap efek sampingnya.
b) Farmakokinetika -

Awitan aksi; IV < 1 menit, IM < 10 menit dan oral < Efek puncak; IV / IM / oral 1-3 jam.

1 jam.
-

Lama aksi; IV / IM / oral 3-7 jam.


-

Interaksi dan toksisitas; efek dipotensiasi dengan Risiko perdarahan ditingkatkan dengan

pemberian bersama salisilat, peningkatan toksisitas litium, metotreksat. pemberian bersama dengan antikoagulan atau terapi heparin dosis rendah. Dapat mencetuskan gagal ginjal pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal, gagal jantung atau disfungsi hati, pasien dengan terapi diuretik dan manula.
c) Efek samping

Kardiovaskuler; vasodilatasi, pucat, angina Pulmoner; dispnoe, asma SSP; rasa mengantuk, ulserasi, pusing, sakit kepala, dispepsia,

berkeringat, depresi dan euforia.


-

Gastrointestinal;

perdarahan,

mual, muntah, diare dan nyeri gastrointestinalis.


-

Dermatologi; pruritus dan urtikaria. Efek samping lain yang dapat terjadi antara lain

konfusio, tinnitus, agitasi dan retensi cairan (hati-hati pada penderita hipertensi, gagal ginjal dan penyakit jantung kongestif). Seperti juga pengobatan pada usia lanjut umumnya, harus diperhatikan bahwa terapi dengan obat AINS tidak harus diberikan selamanya, dan secara periodik harus diadakan reviu. Apabila inflamasi sudah terkontrol, fisioterapi mungkin dapat mempertahankan fungsi tubuh dan pemberian analgesik sederhana mungkin sudah cukup untuk mengobati nyeri ringan yang timbul.

3)

Anti-konvulsan Karbamasepin, valproat sodium dan fenitoin seringkai

digunakan pada nyeri neuropatik. Pada usia lanjut, nyeri pascaherpetika, nyeri pasca stroke dan nyeri neuropati perifer sering terdapat dan obat anti-konvulsan ini seringkali lebih efektif dibanding analgesik untuk mengontrolnya. Kesemua obat tersebut di eliminasi secara lambat pada lansia, dengan efek samping sentral berupa sedasi, konfusio dan penurunan konsentrasi.
4)

Antidepresan Nyeri kronik seringkali didapatkan dalam bentuk campuran

dengan depresi klinik, yang mungkin timbul sekunder akibat nyeri yang menetap yang sering kali mengakibatkan imobilisasi dan

ketergantungan. Depresi dapat diterapi dengan obat anti-depresan dan/atau psikoterapi. Antidepresan jenis trisiklik walaupun bukan terapi pilihan untuk depresi pada lansia karena efek samping antikolinergiknya, sering digunakan untuk nyeri neuropatik.
5)

Obat-obat lain Kapsaisin (zat aktif dari cabe/lombok) merupakan obat topikal

yang digunakan untuk nyeri neuropatik. Obat ini berdaya menurunkan substansi P di terminal saraf, suatu neuro-transmiter yang bertanggung jawab atas transmisi nyeri. Kapsaisin mungkin berefek baik pada nyeri neuropatik neuralgia pasca herpetika, nyeri neuropatik perifer dan pada beberapa luka saraf. Meksiletin, Obat ini menunjukkan hasil baik pada beberapa penderita nyeri neuropatik, akan tetapi penggunaannya pada usia lanjut dibatasi oleh efek sampingnya pada jantung. Klonidin, Obat ini kadang-kadang digunakan untuk nyeri neuropatik, akan tetapi efektivitasnya rendah. Efek samping membatasi penggunaannya, dan pada usia lanjut jarang sekali digunakan.
6)

Plasebo
a) Farmakodinamika

Efeknya

terjadi

ketika

seseorang

berespon

terhadap

pengobatan atau tindakan lain karena suatu harapan bahwa pengobatan atau tindakan tersebut akan memberikan hasil bukan karena tindakan atau pengobatan tersebut benar-benar bekerja.
b) Farmakokinetika

Efek plasebo timbul dari produksi alamiah (endogen) endorfin dalam sistem kontrol desenden. Efek ini merupakan respon fisiologis sejati yang dapat diputar balik oleh nalokson.
c) Efek samping

Efek plasebo bukan suatu indikasi bahwa seseorang tidak mengalami nyeri, sebaliknya adalah suatu respon fisiologis yang nyata. Plasebo tidak boleh digunakan untuk menguji kejujuran seseorang tentang nyeri atau sebagai pengobatan garis depan. Respon positif terhadap plasebo, menurunkan nyeri jangan pernah diinterpretasikan sebagai suatu indikasi bahwa nyeri yang dialami pasien tidak nyata. Pasien jangan pernah diberikan suatu plasebo sebagai suatu pengganti analgetika. Meskipun plasebo dapat menghasilkan analgetik.
7)

Terapi musik Terapi musik adalah keahlian menggunakan musik atau elemen oleh seseorang terapis untuk meeningkatkan,

musik

mempertahankan dan mengembalikan kesehatan mental, fisik, emosional dan spiritual. Dalam kedokteran, terapi musik disebut sebagai terapi pelengkap (Complementary Medicine), Potter juga mendefinisikan terapi musik sebagai teknik yang digunakan untuk penyembuhan suatu penyakit dengan menggunakan bunyi atau irama tertentu. Jenis musik yang digunakan dalam terapi musik dapat disesuaikan dengan keinginan, seperti musik klasik, instrumentalia, dan slow musik (Potter, 2005 dikutip dari Erfandi, 2009). Menurut Willougnby (1996), musik adalah bunyi atau nada yang menyenangkan untuk didengar. Musik dapat keras, ribut, dan lembut yang membuat orang senang mendengarnya. Orang cenderung untuk mengatakan indah terhadap musik yang disukainya. Musik ialah bunyi yang diterima oleh individu dan berbeda bergantung kepada sejarah, lokasi, budaya dan selera seseorang.
a) Manfaat Musik

Menurut Spawnthe Anthony (2003), musik mempunyai manfaat sebagai berikut:

(1)

Efek mozart, adalah salah satu istilah untuk efek yang bisa dihasilkan sebuah musik yang dapat meningkatkan intelegensia seseorang

(2)

Refresing , pada saat pikiran seeorang lagi kacau atau jenuh, dengan mendengarkan musik walaupun sejenak, terbukti dapat menenangkan dan menyegarkan pikiran kembali,

(3)

Motivasi , hal yang hanya bisa dilahirkan dengan feeling tertentu. Apabila ada motivasi, semangatpun akan muncul,

(4)

Terapi , berbagai penelitian dan literatur menerangkan tentang manfaat musik untuk kesehatan, baik untuk kesehatan fisik maupun mental, beberapa penyakit yang dapat ditangani dengan musik antara lain: kanker, stroke, dimensia, nyeri, gangguan kemampuan belajar, dan bayi prematur.

b) Karakteristik terapeutik music

Menurut Robbert (2002)

dan

Greer

(2003),

musik

mempengaruhi persepsi dengan cara:


(1)

Distraksi , yaitu pengalihan pikiran dari nyeri, musik

dapat mengalihkan konsentrasi klien pada hal-hal yang menyenangkan


(2) Relaksasi , musik menyebabkan pernafasan menjadi lebih

rileks dan menurunkan denyut jantung, karena orang yang mengalami nyeri denyut jantung meningkat,

(3) Menciptakan rasa nyaman, pasien yang berada pada ruang

perawatan dapat merasa cemas dengan lingkungan yang asing baginya dan akan merasa lebih nyaman jika mereka mendengar musik yang mempunyai arti bagi mereka.Terapi musik adalah penggunaan musik untuk relaksasi, mempercepat penyembuhan, meningkatkan fungsi mental dan menciptakan rasa sejahtera.
(4) Musik dapat mempengaruhi fungsi-fungsi fisiologis, seperti

respirasi, denyut jantung dan tekanan darah (Greer, 2003).


(5) Musik juga dapat menurunkan kadar hormon kortisol yang

meningkat pada saat stres.


(6) Musik juga merangsang pelepasan hormon endorfin, hormon

tubuh yang memberikan perasaan senang yang berperan dalam penurunan nyeri (Berger, 1992). Menurut Greer (2003), keunggulan terapi musik yaitu: lebih murah daripada analgesia, prosedur non-invasif, tidak melukai pasien, tidak ada efek samping, penerapannya luas, bisa diterapkan pada pasien yang tidak bisa diterapkan terapi secara fisik untuk menurunkan nyeri. Menurut Potter (2005 dikutip dari Erfandi, 2009), musik dapat digunakan untuk penyembuhan, musik yang dipilih pada umumnya musik lembut dan teratur seperti instrumentalia/ musik klasik mozart. Beberapa keadaan yang menyebabkan penanganan nyeri tidak adekuat dan tidak efektif adalah (Park and Fulton, 1991) :
1.

Kekurangan pengetahuan atau perhatian pada kontrol nyeri


a. Kurang pengetahuan tentang patofisiologi nyeri b. Ketidaktahuan tentang obat-obat analgesik atau cara-cara alternatif

lain yang meningkatkan efektifitas obat-obat yang ada

c. Kurangnya ketrampilan dalam cara pemberian obat analgetik secara

regional
2. 3.

Kekeliruan asessment nyeri dan penyembuhannya Kekeliruan dalam komunikasi

Oleh karena rasa nyeri yang tak tertahankan, penderita sering menekankan perlunya analgesik kepada para medis yang bertanggung jawab merawatnya.
4.

Ketakutan akan adiksi

Ketakutan adiksi ini membuat para staf medis memberikan pengobatan yang kurang adekuat, antara lain tidak berani memberikan obat golongan opioid.
5.

Ketakutan efek samping obat

Ketakutan ini menjadikan para staf tidak berani menaikkan dosis yang kurang pada pasien.
6.

Takut akan menjadi masking effect

Pendapat bahwa penderitaan adalah suatu yang berharga. Hal ini membuat staf medis mempunyai pendapat bahwa sakit tersebut sangat bermanfaat bagi penyembuhan pasien.
7.

Aspek Hukum

Terutama penggunaan obat-obat dari golongan opium atau psikotropika. Ketika memilih intervensi untuk membantu pasien mengatasi nyeri, perhatikan hal-hal berikut ini :
1. Pilih intervensi farmakologis yang tepat untuk tingkat nyeri pasien. 2. Antisipasi efek merugikan akibat pengguanaan obat, khususnya pada lansia,

dan atasi efek merugikan tersebut dengan cepat.


3. Lakukan pengkajian status pasien secara berkala dan seksama untuk

menentukan pendekatan yang optimal untuk mencapai kenyamanan.


4. Nyatakan dan bahas pentingnya factor-faktor psikososial mengenai persepsi

nyeri pasien dan maknanya.


5. Ungkapkan rasa empati dan perhatian terhadap pasien yang mengalami

nyeri.

I.

Pencegahan Dan Mengatasi Rasa Nyeri Lansia adalah subjek terhadap nyeri akut dari infeksi, pembedahan, dan trauma. Masalah-masalah keseimbangan, vertigo, ketidakstabilan sendi, kelemahan otot, dan penurunan ketajaman penglihatan merupakan predisposisi bagi lansia untuk mengalami kecelakaan. Hal yang penting untuk mencegah dan mengatasi rasa nyeri adalah mempertahankan kesehatan yang optimal. Nutrisi, hidrasi, tidur, dan aktivitas perlu ditingkatkan.

1. Pencegahan primer

2. Pencegahan Sekunder

Pelaksanaan Asuhan Keperawatan.

3. Pencegahan Tersier

Perawat Sebagai Advokat dan Edukator Pasien Posisi perawat dalam merawat lansia yang mengalami nyeri meliputi menjadi model peran untuk orang lain untuk memeriksa sikap dan prasangka pasien pada nyeri. Perawat menjadi advokat dengan mengajarkan kepada lansia dan keluarganya untuk mengharapkan pengurangan nyeri yang adekuat. Pemerintah telah mengembangkan pedoman praktik klinis untuk nyeri akut, nyeri punggung bagian bawah, dan nyeri kanker melalui lembaga Health Care and Policy and Research. Standar-standar ini, jika secara konsisten digunakan, akan memiliki dampak yang signifikan pada masalah nyeri. Perawat harus mengetahui sumber-sumber yang tersedia untuk nyeri dan penatalaksanaannya untuk membantu lansia yang mengalami nyeri. Nyeri bukan dan tidak boleh menjadi bagian normal dari penuaan. Melalui advokasi dan pengajaran, upaya perawat dan upaya berbagai pihak

untuk mengurangi nyeri adalah langka pertama dalam melawan masalah nyeri pada lansia.

8) Asuhan Keperawatan Nyeri pada Lansia a) Pengkajian

Sebagian

besar

profesional

kesehatan

hanya

memiliki

sedikit

pengetahuan tentang prevalensi nyeri pada lansia karena kurangnya pengkajian dan dokumentasi. Untuk dapat ditangani, nyeri terlebih dahulu harus diidentifikasi dan didokumentasikan. Banyak orang percaya bahwa nyeri tidak dapat dihindarkan seiring dengan penuaan. Lansia dapat menyangkal rasa nyeri yang dirasakan karena takut menderita kanker, pengobatan medis, biaya, menjadi beban keluarga, atau kemungkinan diinstitusionalisasi.Tersedia beberapa alat yang sangat membantu untuk mengkaji nyeri. Salah satu alat yang paling nyaman digunakan adalah skala intensitas nyeri 0 sampai 10. Skala memberikan suatu pemahaman yang lebih objektif tentang nyeri seseorang. Skala tersebut biasanya dengan mudah dapat digunakan dalam berbagai situasi. Grafik wajah-wajah nyeri dan gambar grafik tubuh juga merupakan alat yang sangat berguna. Lansia harus diminta untuk menggambarkan kualitas nyeri dengan menggunakan kata-katanya sendiri. Perawat dapat meminta pasien untuk menentukan apa yang membuat nyeri terasa lebih baik atau yang membuatnya lebih buruk. Anjurkan pasien untuk menunjuk ke daerah nyeri atau menandai lokasinya pada grafik tubuh. Jika lansia mengalami nyeri akut, hanya pertanyaan esensial yang harus ditanyakan. Seringnya memposisikan pasien atau imobilisasi dapat memperberat nyeri. Pertanyaan yang tepat adalah sebagai berikut:
a. Kapan nyeri dimulai? b. Bagaimana kualitasnya, termasuk intensitas? c. Apa yang telah dilakukan untuk mengatasinya? d. Kapan hal itu terjadi?

e. Apakah anda mengalami nyeri kronis? f.

Di mana itu?

g. Bagaimana kualitasnya?

Untuk melakukan pengkajian nyeri yang lengkap, perawat harus menanyakan kepada klien tentang riwayat medisnya. Sering kali, ketika pasien berada dalam keadaan nyeri, ia mungkin pergi ke beberapa dokter dan menerima berbagai jenis resep. Perawat harus menemukan pengobatan yang digunakan oleh pasien, baik yang diresepkan maupun yang dibeli bebas. Jika terdapat penyakit penyerta, ada resiko terjadi toksisitas dan reaksi sensitivitas karena asupan obat-obat yang tidak sesuai. Apakah pasien menggunakan obat-obat tradisional untuk nyeri? Bagaimana nyeri mempengaruhi kualitas kehidupan klien? Aktivitas? Fungsi sosial? Apakah pasien mengalami depresi karena rasa nyerinya? Perawat harus membangun rasa percaya dengan cara pada awalnya membiarkan pasien mengetahui bahwa perawat percaya. Perawat harus tampak tidak tergesa-gesa dalam pengkajian, memberikan waktu pada pasien untuk berespon. Perawat harus menghadap kepada orang tersebut, berbicara perlahan-lahan dan jelas. Pasien mungkin memiliki masalah kognitif ringan atau berat, dan mungkin menunjukkan masalah penglihatan atau pendengaran. Perawat harus siap untuk membaca atau menunjukkan pertanyaan atau menggambarkan skala nomor kepada pasien. Evaluasi pengurangan rasa nyeri yang telah dicapai sangat penting untuk mencegah nyeri memuncak melebihi tingkat yang dapat ditoleransi. Perawat tidak dapat bergantung pada pasien dalam melaporkan pengurangan nyeri yang tidak adekuat karena ia percaya bahwa pengurangan nyeri yang telah dicapai adalah yang terbaik atau permintaan bantuan yang lain mungkin ditolak. Pasien harus dianjurkan untuk mengatakan rasa nyerinya dan membiarkan pemberi perawatan, anggota keluarga, atau dokter mengetahui jika nyeri tidak terkendali. Namun, perawat tidak boleh menjanjikan kepada pasien bahwa nyeri dapat dihilangkan sepenuhnya. Tujuannya adalah untuk

menurunkan nyeri sampai pada tingkat yang dapat ditoleransi dan tingkat fungsional. Kesulitan dalam pengkajian nyeri dapat terjadi pada lansia yang tidak dapat mengungkapkan sesuatu secara verbal, koma, atau konfusi. Perilakuperilaku tertentu dapat mengekspresikan nyeri seperti mengerang, kegelisahan, atau penarikan diri. Juga, perawat harus waspada bahwa setiap kondisi atau penanganan yang oleh pasien yang dapat berbicara dikatakan sebagai penyebab nyeri mungkin juga menjadi penyebab nyeri pada lansia yang tidak dapat berbicara dalam situasi yang hampir sama. Reaksi terhadap penanganan nyeri mungkin sama tidak bergantung pada apakah dia bisa atau tidak bisa mengungkapkan nyeri secara verbal. Contoh kondisi ini adalah mengatur posisi pasien dengan fraktur atau kontraktur, mengganti balutan, dan pemberian makanan melalui slang. Pasien tersebut harus diobati walaupun mereka tidak dapat mengungkapkan nyerinya.

b) Diagnose Keperawatan i.

Nyeri akut yang berhubungan dengan fraktur femur dengan pen

intratrokanter
ii. Nyeri kronis yang berhubungan dengan arthritis rheumatoid

c) Intervensi keperawatan i.

Dengan Farmakologis Analgesik secara nyeri. kontinu merupakan salah terapi satu utama alasan dalam terbesar

penatalaksanaan

Sayangnya,

penanganan nyeri yang tidak tepat di negara maju adalah akibat kurangnya pengetahuan tentang farmakologi analgesik. Untuk mencapai pengendalian nyeri yang optimal melalui penggunaan analgesik, seseorang harus memahami prinsip-prinsip dasar dari pemberian analgesik. Walaupun prinsip-prinsip ini diterapkan untuk semua pasien

yang merasa nyeri, ada beberapa hal khusus yang harus diperhatikan tentang penggunaan analgesik untuk lansia. Tiga jenis pengobatan yang biasa digunakan untuk mengendalikan nyeri: analgesik nonopioid (mis: asetaminofen/tylenol dan aspirin), opioid (mis: NSAID), dan adjuvan. Adjuvan bukan merupakan analgesik yang sebenarnya, tetapi zat tersebut dapat membantu jenisjenis nyeri tertentu, terutama nyeri kronis.
1)

Non-Opioid Asetaminofen (Tylenol) dan aspirin adalah dua jenis analgesic

nonopioid (non-narkotik) yang paling sering digunakan. Obat-obat ini bekerja terutama pada tingkat perifer untuk mengurangi nyeri. Efek analgesic dari obat-obat tersebut sama (1000 mg/dosis adalah optimal) tetapi efek anti inflamasinya bervariasi. Obat ini biasanya tidak bisa membantu menangani nyeri inflamasi seperti arthritis rheumatoid atau osteoarthritis karena asetaminofen memiliki sedikit efek antiinflamasi. Walaupun asetaminofen secara umum aman, dan mudah dibeli, obat ini memiliki efek samping utama, yaitu hepatotoksik. Pemberian penjelasan kepada pasien dan keluarganya oleh perawat adalah hal yang krusial. Banyak analgesic mengandung asetaminofen yang tidak disadari oleh pasien (Darvocet N100, Vicoden, Lortab, Tylox). Pasien dapat juga menggunakan asetaminofen yang dibeli bebas dengan salah menganggap bahwa obat tersebut tidak membahayakan. Perawat harus memantau dosis harian asetaminofen untuk memastikan dosisnya kurang dari 4000 mg/hari. Aspirin adalah salah satu obat antiinflamasi nonsteroid (NonSteroid Anti-Inflamatory Drugs [NSAID]). Penghilang nyeri yang bernilai untuk banyak tipe nyeri, NSAID bekerja dengan menghambat sintesis prostaglandin, mediator penting dalam nyeri dan inflamasi. Obat-obat NSAID sangat efektif dalam menurunkan nyeri dan inflamasi pada banyak kondisi yang umum terjadi pada lansia: arthritis rheumatoid, osteoarthritis, nyeri punggung dan leher,

nyeri pascaoperasi, sakit gigi, dan nyeri yang bermetastasis pada tulang. NSAID bukannya tanpa efek samping, yang paling sering adalah gangguan pada gastrointestinal. Kemungkinan efek samping lain termasuk perdarahan gastrointestinal (dua pertiganya asimptomatik sebelum terjadi perdarahan), retensi cairan dan komplikasi ginjal. Perawat khususnya harus waspada terhadap kemungkinan efek ginjal dari NSAID, yang cenderung terjadi pada pasien-pasien dengan gagal jantung kongestif atau penyakit hati atau mereka yang menggunakan diuretic. Pemantauan fungsi ginjal secara ketat pada semua pasien yang menggunakan NSAID secara rutin merupakan hal yang penting. Pantau pasien yang menggunakan NSAID jangka panjang untuk mengetahui adanya efek yang tidak diinginkan apakah mereka mengalami nyeri gastrointestinal atau edema? Anjurkan klien untuk melakukan pemeriksaan feses rutin untuk mengkaji adanya darah samar, fungsi ginjal, dan hati. Beberapa NSAID dianjurkan untuk lansia karena obat-obat tersebut kurang menyebabkan iritasi GI: salsalat (Disalcid), kolin magnesium trisalisilat (Trisilate), diflunisal (Dolobid), dan nabumeton (Relafen). Jika terjadi maslah GI, misoprostol (Cytotex) dapat diberikan untuk melawan efek samping NSAID pada gastrointestinal. Piroksikam (Feldene) adalah NSAID dengan waktu paruh panjang yang dapat menimbulkan akumulasi masalah, terutama pada orang yang mengakami disfungsi hepar atau ginjal. Indometasin (Indocin) adalah NSAID lain yang tampaknya memiliki peningkatan efek pada ginjal. Kedua NSAID ini tidak dianjurkan untuk lansia. Ketika memulai pengobatan NSAID pada lansia dengan NSAID, dokter sering meresepkan setengah sampai dua pertiga dari dosis yang dianjurkan. Dosis kemudian ditingkatkan secara perlahanlahan (setiap minggu) sampai tercapai dosis yang dianjurkan. Semua obat nonopioid memilki efek tertinggi. Ketika dosis optimal telah dicapai pasien tersebut tidak akan mengalami pengurangan nyeri

lagi, hanya efek sampingnya saja. Jika NSAID telah diberikan dalm percobaan yang adekuat (2 sampai 3 minggu) dan pengurangan nyeri pada pasien belum tercapai, dokter perlu diberitahukan. Pasien kemudian dapat diberikan NSAID dalam kelas yang berbeda sampai tercapai kombinasi optimal yang dapat memberikan pengurangan nyeri tanpa efek samping yang mengganggu. NSAID adalah penghilang nyeri yang sangat berharga untuk berbagai tipe nyeri yang sering terjadi pada lansia. Perawat memiliki tanggung jawab besar untuk mengajarkan pada pasien dan keluarga tentang hal-hal yang penting yang menyangkut pengobatan ini.
2)

Opioid Analgesic opioid (narkotik) bekerja dengan cara melekatkan diri

pada reseptor-reseptor nyeri spesifik di dalam SSP. Opioid direkomendasikan untuk nyeri sedang sampai berat. Terdapat dua jenis opioid: analgesic agonis murni (jenis morfin) dan campuran agonis antagonis pentazocin (Talwin), nalbufin (Nubain), dan butorfanol (Stadol). Agonis murni memiliki tempat yang penting dalam meredakan nyeri. Obat-obat ini berbeda terutama dalam potensi, durasi kerja, dan efek sampingnya pada lansia. Agonis murni memiliki keuntungan dengan tersedianya dalam berbagai rute dan variasi, dan efek analgesiknya tidak memiliki batas atas. Morfin adalah analgesic opioid standar diantara jenis lain yang dibandingkan. Morfin, oksikodon (Oxycontin), dan hidromorfon (Dilaudid) dianjurkan diberikan secara oral untuk lansia yang sedang dalam keadaan nyeri berat. Fenatanil (koyo Duragesik) sangat berguna untuk pasien rawat inap yang memiliki penyakit berat atau kronis yang tidak dapat menelan. Kodein dan Oksikodon (Percodan, Tylox) dianjurkan untuk nyeri ringan sampai sedang. Dolofin (Methadone) dan levorfanol (Levodromoran) harus dihindari untuk lansia karena obat-obat ini memiliki waktu paruh yang panjang dan

dapat berakumulasi dan menyebabkan sedasi berlebihan dan masalah-masalah SSP yang lain. Opioid efektif untuk hampir semua tipe nyeri. Sebagian besar literatur nyeri merekomendasikan dimulai dengan dosis rendah dan berjalan perlahan-lahan ketika memilih dosis awal opioid untuk lansia. Efek Samping Melakukan observasi terhadap interaksi dan tanda-tanda toksisitas merupakan hal yang krusial untuk dilakukan karena adanya perubahan fisiologis yang dihubungkan dengan penuaan dan masalah dari kondisi multiple yang mungkin sedang ditangani. Tanda-tanda dari reaksi yang tidak diinginkan mungkin tidak dikenali karena tanda-tanda tersebut menggambarkan tanda-tanda gangguan pada lansia seperti konfusi, tremor, depresi, kelemahan, konstipasi, dan hilangnya nafsu makan. Konstipasi dan mual atau muntah adalah dua efek samping opioid yang sering terjadi. Motilitas GI dapat berkurang, yang mengakibatkan konstipasi. Mual adalah efek samping opioid yang salah dianggap sebagai reaksi alergi. Untuk pemberian opioid yang terjadwal secara teratur sepanjang waktu, terutama dengan nyeri kanker atau nyeri kronis yang lain, obat antiemetic harus diberikan sampai mual berkurang. Sedasi adalah kemungkinan efek samping yang lain. Depresi pernafasan adalah efek samping opioid yang umumnya ditakuti. Namun, depresi pernafasan jarang terlihat pada pasien yang menggunakan opioid dalam waktu lama karena nyeri atau stress (atau keduanya) merupakan stimulus untuk bernafas. Pasien tidaka akan mengalami depresi pernafasan pada saat terjaga. Lansia lebih sensistif terhadap aksi dan efek samping obat, terutama hipnotik dan opioid. Ukuran tubuh dan volume tubuh total

telah berkurang. Sebagai akibat dari berkurangnya klirens hepatic dan renal, durasi aksi obat menjadi lebih lama, sehingga memberikan kesempatan kadar toksik terakumulasi di dalam tubuh. Dehidrasi dan hemokonsentrasi yang menyertainya, yang umum terjadi pada lansia, semakin memperberat masalah ini. Selain itu, kadar albumin serum menurun, yang memengaruhi pengikatan protein terhadap berbagai jenis obat, termasuk narkotika. Secara umum dosis obat-obat yang berikatan dengan protein harus dikurangi pada awalnya dan dititrasi sampai pengurangan rasa nyeri dapat dicapai dengan aman. Prinsip-prinsip Pemberian Analgesik Cara terbaik untuk penatalaksanaan nyeri adalah untuk mencegah nyeri sebelum nyeri tersebut bertambah berat. Pasien harus diajarkan untuk menggunakan obat nyeri pada jadwal yang teratur untuk mencapai kadar obat yang adekuat dalam darah. Sayangnya, sebagian besar analgesic diminta sesuai kebutuhan. Seringkali pasien tidak mengetahui bahwa mereka harus meminta obat nyeri atau seberapa sering mereka dapat memintanya. Sekali lagi, pengajaran adalah komponen vital dari penatalaksanaan nyeri yang adekuat. Rute Oral Rute oral adalah rute yang dipilih untuk anlagesik. Sebagian besar analgesic tersedia dan bekerja efektif ketika diberikan secara oral, dalam dosis yang adekuat, dan sebelum intensiatas nyeri memuncak. Rute oral lebih murah dan mudah untuk digunakan daripada rute yang lain. Jika klien tidak mampu menelan tetapi menggunakan slang nasograstik atau gastrotomi untuk memasukkan makanan, analgesic oral harus diberikan melalui slang tersebut. Injeksi IntraMuscular dan Subcutan

Injeksi adalah cara terburuk untuk penatalaksanaan nyeri, terutama nyeri kronis, nyeri jangka panjang. Pemberian injeksi sangat menyakitkan, dapat menyebabkan masalah dengan absorpsi, memiliki waktu aksi yang pendek, kemungkinan dapat menyebabkan kerusakan otot atau syaraf, dan harus diberikan oleh orang lain. Penuaan memengaruhi cara tubuh memproses obatobatan. Massa otot dan jaringan subkutan menurun, demikian pula halnya dengan volume darah yang bersirkulasi. Kecepatan absorpsi mungkin tidak dapat diperkirakan bila obat diberikan secara intramuscular atau subkutan. Opioid yang disimpan dilokasi suntikan mungkin tidak akan sepenuhnya diabsorpsi samapai setelah dosis kedua diberikan, kemungkinan mengakibatkan depresi pernapasan atau sedasi yang berlebihan. Masalah absorpsi ini lebih sering terlihat pada paisen-pasien dengan nyeri akut daripada pasienpasien dengan nyeri kronis. Sebagian besar orang percaya bahwa injeksi adalah cara terbaik untuk menghilangkan nyeri karena memiliki awitan aksi yang cepat tetapi aksi tersebut tidak berlangsung lama. Pasien yang mengalami nyeri harus dianjurkan untuk menggunakan obat melalui oral secara teratur pada waktu yang telah ditentukan daripada menerima injeksi yang menyakitkan. Rute Rectal Rute rectal masih merupakan rute yang jarang digunakan untuk pemberian analgesic. Rute rectal harus direkomendasikan bila seorang pasien tidak dapat menggunakan analgesic oral. Morfin, hidromorfon, dan oksimorfon adalah supositoria yang tersedia saat ini. Obat-obat ini pada umumnya bertahan sekitar 4 sampai 5 jam, dan sebagian besar pasien dapat denagn mudah menggunakannya sendiri. Jika pasien tidak dapat diberikan analgesic melalui oral, mereka dapat dengan mudah meletakkan analgesic tersebut dalam kapsul gelatin dan menggunakannya melalui rectal. Pasien harus memeriksakannya kepada ahli farmasi atau dokternya sebelum

melakukan hal tersebut. Namun, rute ini tidak boleh digunakan untuk pasien yang mengakami trombositopenia. Koyo Fentanil Rute noninfasif lain yang sangat berguna adalah koyo transdermal yang mengandung opioid fentanil (Duragesik). Masalah-masalah yang berkaitan dalam pemberian dosis telah terlihat dengan rute pemberian ini, dan terdapat keterlambatan awitan selama 12 jam. Koyo tesebut dalah anlgesik 72 jam, tetapi sebagian besar pasien memerlukan sesuatu untuk penanganan nyeri. Pasien perlu dipantau selama 24 sampai 36 jam setelah koyo dilepas. Karena duragesik sangat mahal dan hanya sedikit studi tentang penggunannya pada lansia, obat ini tidak dianjurkan sebagai terapi lini pertama untuk pasien yang mampu menggunakan analgesic secara oral. Adjuvant Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, adjuvant adalah obat yang bukan analgesic tetapi masih memiliki peran penting dalam mengurangi nyeri. Obat ini dapat digunakan sendiri atau dikombinasikan dengan analgesic lain. Obat-obat ini dianjurkan terutama untuk nyeri kronis. Antidepresan trisiklik telah ditemukan efektif untu nyeri neuropati, yang disebabkan oleh kerusakan saraf pada SSP. Contoh dari nyeri neuropati adalah nyeri fantom pada tungkai, neuropati diabetic, neuralgia trigeminal, kausalgia, dan nyeri pasca stroke. Tipe nyeri neuropati lain yang sering terjadi pada lansia adalah neuralgia pasca herpatik atau herpes zoster. Nyeri neuropati dapat menjadi salah satu tipe nyeri yang sulit untuk ditangani. Pasienpasien menggambarkan nyeri ini sangat kuat dan membakar. Obat anti konvulsan, karbamazepin (Tegretol) telah diketahui efektif dalam menangani nyeri neuropati.

Antidepresan trisiklik harus diberikan sekali sehari pada jam-jam tidur karena sedasi adalah efek samping yang sering terjadi. Dosis awal harus sangat rendah (10 mg). dosis untuk mengurangi nyeri lebih rendah daripada dosis yang dibutuhkan untuk mengurangi depresi. Efek samping lain dari antikolinergik yang dapat terjadi adlah pandangan kabur, mulut kering, retensi urin, dan hipotensi. Kewaspadaan yang sangat tinggi harus dilakukan ketika obat-obatan ini harus diberikan kepada pasien yang mengalami glaucoma sudut sempit, atau retensi urin. Nortripsepin (Pamelor) menyebabkan sedikit sedasi dan doksepin (Sinequan) memiliki lebih sedikit efek antikolinergis daripada trisiklik, sehingga kedua obat antidepresan ini direkomendasikan untuk lansia. Lansia yang mengalami nyeri harus menghindari penggunaan obat-obatan sedative hipnotik karena obat-obat ini tidak membantu untuk mengurangi nyeri. Obat-obat ini dapat mendepresi SSP, yang dapat mempengaruhi keamanan klien, terutama jika ia menggunakan analgesic opioid. Instruksi untuk Lansia yang Menggunakan NSAID :
1)

Pastikan untuk memberikan NSAID dalam masa percobaan

yang adekuat (2-3 minggu) sebelum memutuskan apakah obat itu efektif atau tidak
2)

Jangan pernah menggunakan lebih dari satu NSAID pada

satu waktu (termasuk aspirin)


3)

Ikuti dengan uji feses rutin untuk mengetahui darah samar

dan tes fungsi ginjal dan hati


4) 5)

Jangan menggunakan NSAID dengan steroid Minum NSAID dengan makanan atau susu untuk mencegah

gangguan pada GI
6)

Informasikan dokter Anda jika terjadi efek yang tidak

diinginkan

Anjuran untuk Penatalaksanaan Farmakologis terhadap tipe-tipe nyeri yang sering terjadi pada lansia : Tipe Nyeri Nyeri inflamasi (arthritis rematoid, osteoarthritis) Nonopioid Salah satu dari NSAID berikut ini:
1. Clinoril 2. Trilisate 3. Disalcid 4. Dolobid 5. Ecotrin 6. Rimadyl

Opioid

Adjuvan Antidepresan trisiklik seperti Pamelor atau Sinequan (Untuk semua tipe nyeri yang terdapat dalam daftar, gunakan Endep dan Elavil secara hatihati, karena lebih banyak efek antikolinergik yang terlihat)

(Untuk semua tipe nyeri yang terdaftar, hindari Feldene dan Indocin) Nyeri Kanker Salah satu dari NSAID di atas, terutama jika terdapat metastasis tulang Morfin oral atau dilaudid oral (Untuk semua tipe nyeri yang terdaftar, hindari Demerol, metadon, Talwin, Nubain,

Antidepresan trisiklik seperti Pamelor atau Sinequan

Stadol) Nyeri punggung bagian bawah Salah satu dari Oksikodon oral Antidepresan Pamelor atau Sinequan Nyeri neuropati (pascastroke, neuropati diabetic, neuralgia pascaherpetik, nyeri fantom ekstemitas, causalgia, neuralgia trigeminal) Kodein oral, oksikodon oral, morfin oral, Dilaudid oral Antikonvulsan seperti Tegretol dan antidepresan trisiklik seperti Pamelor atau Sinequan. Anestesi topical (krim EMLA, capsaicin, Lidocaine) Clonidine Baclofen

NSAID di atas

oral, kodein trisiklik seperti

Penatalaksanaan Nyeri secara Farmakologis Pada Lansia


1)

Buat catatan harian tentang nyeri Anda dan apa yang Gunakan obat yang diresepkan untuk nyeri sesuai dengan Giunakan aspirin atau obat anti-inflamasi non-narkotik

membuatnya terasa lebih baik atau lebih buruk


2)

waktunya pada jadwal yang telah ditetapkan


3)

lainnya bersama makanan atau susu untuk menurunkan perubahanperubahan akibat gangguan lambung
4)

Informasikan kepada perawat atau dokter tentang semua obat

yang Anda gunakan (baik yang diresepkan maupun yang dibeli bebas)

5)

Cegah efek samping konstipasi yang umum terjadi, jika

menggunakan narkotik, dengan cara meningkatkan cairan dan serat dalam diet Anda
6)

Jangan khawatir akan adiksi jika Anda menggunakan Laporkan adanya efek yang tidak diinginkan dari pengobatan Beritahu perawat atau dokter jika nyeri terjadi di antara Tetaplah seaktif mungkin Ingat, Anda berkuasa atas nyeri Anda, hanya Anda yang

narkotuk untuk mengurangi nyeri


7)

kepada perawat atau dokter


8)

jadwal penggunaan obat untuk nyeri


9) 10)

mengetahui bagaimana rasanya

ii. Intervensi Non Invasif

Walaupun nyeri terutama ditangani melalui penggunaan obat-obatan, beberapa teknik noninvasive dapat juga membantu mengendalikan nyeri: masase, relaksasi dan imajinasi, stimulasi saraf dengan listrik transkutan (Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation [TENS]), penggunaan kompres panas atau dingin, sentuhan terapeutik, meditasi, hipnotis, dan akupresur. Teknik-teknik ini pada umumnya aman, tersedia dengan mudah, dan dapat dilakukan di rumah atau dalam lingkungan fasilitas perawatan akut. Terdapat beberapa hal yang penting untuk diingat ketika menggunakan terapi panas atau dingin atau TENS untuk lansia yang mengalami nyeri. Kewaspadaan diperlukan ketika menggunakan terapi panas atau dingin pada pasien dengan riwayat penyakit vaskuler atau diabetes. Luka bakar atau kerusakan jaringan akibat es dapat terjadi dengan mudah pada seseorang dengan penurunan sensasi atau penurunan tingkat kesadaran. TENS dikontraindikasikan pada lansia

yang menggunakan pacu jantung karena stimulasi listrik dapat mengganggu kerja alat pacu jantung jenis-jenis tertentu.
1)

Strategi Relaksasi Latihan-latihan ini dirancang untuk membuat seseorang yang

cemas, stress menjadi relaks. Latihan ini dapat mengurangi nyeri secara efektif dengan cara melawan komponen stress. Strategi relaksasi termasuk imajinasi terbimbing, relaksasi otot progresif, dan pengobatan. Perawat dapat dengan mudah mengajarkan pasien untuk melakukan bentuk latihan relaksasi yang sederhana seperti napas dalam dan memfokuskan pada suatu objek. Bentuk latihan relaksasi singkat ini dapat efektif untuk mengontrol nyeri jangka pendek, dan nyeri tipe prosedural. Karena lansia kaya dengan pengalaman hidup, teknik distraksi yang sederhana dapat dilakukan dengan cara meminta pasien untuk mengingat masa-masa bahagia di masa lalu, dengan melihat album foto, dan dengan menceritakan cerita-cerita dalam kaset rekaman. Teknik apapun yang aman dan mudah untuk dilakukan sendiri oleh pasien sangat bermanfaat untuk penatalaksanaan nyeri.

d) Rencana Asuhan Keperawatan i.

Diagnosis Keperawatan : Nyeri akut yang berhubungan dengan fraktur

femur dengan pen intratrokanter Hasil yang diharapkan Pasien akan mengatakan Tindakan Keperawatan adanya
1)

Kaji laporan nyeri pasien, ketahui

pengurangan nyeri secara jelas.

lokasi, intensitas dengan menggunakan skala nyeri 0-10, setiap 2 jam


2)

Ajarkan pasien untuk meminta obat

nyeri kapanpun ia memerlukannya sebelum nyeri menjadi berat

3)

Berikan pengobatan analgesic setiap Pantau keefektifan analgesik dan

3-4 jam sesuai waktunya untuk 48 jam


4)

status kesadaran. Beri tahu dokter jika analgesik tidak efektif


5)

Sangga tungkai yang dioperasi dengan yang tepat menggunakan

kesejajaran
6)

gulungan trokanter dan bantal Hindari fleksi pada tubuh Pantau bukti-bukti komplikasi Bantu pasien untuk menggunakan relaksasi, meliputi imajinasi
7) 1)

Pasien menggunakan cara alternative untuk mengurangi stress yang berhubungan.

strategi
2)

terbimbing dan relaksasi otot progresif Pertahankan keseimbangan cairan Bantu pasien untuk istirahat dan elektrolit yang adekuat
3)

dengan menutup tirai dan pintu. Berikan catatan pada pintu pasien yang menyatakan Pasien sedang beristirahat sampai ___

ii.

Diagnosis Keperawatan : Nyeri kronis yang berhubungan dengan

arthritis rheumatoid Hasil yang diharapkan Pasien menyatakan bahwa nyeri dapat ditolerir dalam skala 0-10. Tindakan Keperawatan
1) Kaji nyeri dalam skala 0-10 setiap 3-

4 jam
2) Minta pasien atau keluarga atau

keduanya untuk membuat catatan atau laporan tertulis tentang intensitas nyeri
3) Anjurkan pasien untuk menggunakan

obat sebelum nyeri bertambah berat

4) Bantu pasien atau keluarga atau

keduanya untuk memasang bidai dan mengobservasi atau untuk mencegah daerah yang tertekan
5) Bantu dengan mandi air hangat atau

shower
6) Tinjau ulang gaya hidup dalam

hubungannya dengan sumber-sumber stress yang dapat dihindari dan hal-hal yang dapat memperberat nyeri
7) Pastikan istirahat, nutrisi, dan hidrasi

yang adekuat
8) Dukung

orang

tersebut

untuk

menggunakan berdoa, Pasien mempertahankan fungsi sendi meditasi,

tindakan-tindakan relaksasi, atau

mekanisme koping yang positif seperti distraksi 1) Bantu pasien menggunakan NSAID dengan makanan dalam dosis dan interval yang ditentukan
2) Kaji rasa mual dan efek samping lain 3) Pastikan

sebanyak mungkin.

bahwa

latihan

yang

diperintahkan dilakukan secara benar


4) Minta pasien atau keluarga atau

keduanya untuk mendemonstrasikan latihan-latihan yang harus dilakukan setelah keluar dari rumah sakit
e) Dokumentasi Yang Esensial (1)

Nyeri Akut

Nyeri akut harus dikaji dan digambarkan pada interval yang teratur dan bila terdapat perubahan dalam lokasi atau kualitasnya, hal-hal berikut harus dicatat :
-

Lokasi dan pergerakan Penampilan lokasi Intensitas pada skala 0-10, dengan 0=tidak ada nyeri dan

10=nyeri terburuk
-

Pengurangan nyeri atau kenyamanan pada skala 0-10, dengan

0=nyeri hilang dan 10=tidak ada pengurangan nyeri


-

Alat-alat bantu yang digunakan pasien Tindakan-tindakan pengurangan nyeri yang dilakukan Keefektifan intervensi pada skala 0-10

(2)

Nyeri Kronis Nyeri kronis harus dikaji dan digambarkan satu kali sehari dan bila terdapat perubahan kejadian atau kualitasnya.
-

Lokasi dan pergerakan Intensitas pada skala 0-10, dengan 0=tidak ada nyeri dan

10=nyeri terburuk
-

Pengurangan nyeri atau kenyamanan pada skala 0-10, dengan

0=nyeri hilang dan 10=tidak ada pengurangan nyeri


-

Alat-alat bantu yang digunakan pasien Apa yang memperberat nyeri Apa yang membuat nyeri lebih baik Efeknya pada tidur, nafsu makan dan mobilitas Tindakan-tindakan pereda nyeri yang dilakukan Keefektifan intervensi pada skala 0-10

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

Nyeri pada lansia dapat mempengaruhi berbagai aspek kehidupan, fisik dan psikologis. Penanganan nyeri pada lansia, tergantung dari lokasi, lamanya nyeri tersebut berlangsung dan berbagai faktor lain yang mempengaruhi. Penanganan rasa nyeri ini harus dilakukan secara adekuat. Nyeri akut harus diselesaikan segera, dan penanganan nyeri kronis harus dilakukan secara hati-hati. Penanganan nyeri tersebut harus dilakukan dengan assessment yang sering melibatkan disiplin lain: psikiater, occupational therapist dan dibawah pimpinan seorang geriatrist dari penyakit dalam. Terapi nyeri dapat dengan cara pemberian obat secara oral, injeksi, perilaku, operasi dan lain-lain yang melibatkan disiplin ilmu lain.

DAFTAR PUSTAKA Brunner & suddath. 2001. Buku Ajar Bedah Medikal Bedah. Vol 3. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran. EGC. Corwin, EJ., 2009, Buku saku Patofisologi, Jakarta: EGC Engram, Barbara. 1998. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah .Vol.2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran. EGC. Hidayat, A. AA., 2009, Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia aplikasi konsep dan proses keperawatan, buku I, Jakarta: Salemba medika. Jaimel Stockslager, Lisschaeffer. 2008. Askep Geriatrik . Edisi 2. Jakarta: EGC Martono, Hadi dan Krispranarka. 2010. Buku Ajar Boedhi-Darmojo Geriatri, Ilmu Kesehatan Usia Lanjut. Jakarta: Balai Penerbit FKUI Mickey Stanley, Patricia Gauntlett Beare. 2007. Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Edisi 2. Jakarta: EGC Potter &Perry, 2005, Buku Ajar Fundamental Keperawatan, volume 2, Edisi 4, Jakarta: EGC. Price, Sylvia Anderson.1990. Patologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. R.Siti Maryam, Mia Fatma Ekasari, dkk. 2008. Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya. Jakarta: Salemba Medika Soejono. H.C.H. 2001. Gejala dan Tanda Penyakit pada Lanjut Usia, Subbag, Geriatri Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI-RSUPN Ciptomangunkusumo S.Thamher, Noorkasiani. 2009. Kesehatan Usia Lanjut dengan Pendekatan Asuhan Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika

You might also like