You are on page 1of 15

Macam Macam Tarian Tunggal Nusantara

Nama : Zarin Raffinet Kelas : 8-J No .Absen : 20

Tari Gatot kaca Gandrung


Jikika dibanding dengan masyarakat lain di Jawa Timur, tampaknya komunitas Using memiliki seni tradisi yang lebih banyak dan beragam. Sebut saja beberapa diantaranya; Gandrung, Jinggoan, Mocoan, Kuntulan, dan Angklung. Masing-masing jenis seni ini pun memiliki maknanya sendiri-sendiri. Dari semuanya mungkin Gandrung menempati posisi yang istimewa. Begitu istimewanya, sehingga pemerintah Kabupaten Banyuwangi mengukuhkan Gandrung sebagai maskot Kabupaten yang terletak di ujung timur Propinsi Jawa Timur itu, menggantikan lambang sebelumnya; ular berkepala Gatot Kaca. Pengukuhan itu diprakarsai sendiri oleh Bupati Banyuwangi, Samsul Hadi, bertepatan dengan hari jadi Kabupaten Banyuwangi, 18 Desember 2002 yang lalu. Soal penetapan Gandrung sebagai maskot Banyuwangi tidaklah tanpa kontroversi. Anggota DPRD dari PPP menolak dengan keras keputusan ini, karena menurut mereka, gandrung tidak sesuai dengan Islam, padahal mayoritas masyarakat Banyuwangi pemeluk Islam. Pandangan politisi dari PPP ini mendapat tanggapan serius dari kalangan budayawan yang menganggap bahwa Gandrung tidak melanggar norma-norma Islam, dan justru kesenian inilah yang khas Banyuwangi. Para budayawan juga menganggap bahwa Gandrung mengandung nilai-nilai simbolis perjuangan wong Blambangan sekaligus identik dengan jati diri orang Using dan juga merepresentasikan karakter orang Using yang berakhlak aclak, ladak, dan bingkak (sok tahu, arogan dan tak mau tahu urusan orang lain).

Sebagai tari pergaulan, gandrung tentu saja sangat popular, walaupun dalam beberapa hal mirip dengan tayub, gambyong, jogged, lengger, teledhek, dan ketuk tilu di kalangan masyarakat Jawa, Sunda, Madura Pendalungan. Secara historis, Gandrung tak dapat dilepaskan dari Seblang, sebuah kesenian yang sarat ritual yang keberadaannya terbatas hanya di dua tempat yang terletak di sebelah barat Banyuwangi, yakni desa Bakungan dan desa Olehsari. Pentas Seblang diselenggarakan setahun sekali sebagai upacara ritual bersih desa atau selamatan desa dalam rangka menolak bala, keselamatan warga desa, penyembuhan, kesuburan, dan mengusir roh-roh jahat yang mengganggu ketentraman warga desa. Meskipun unsur hiburan dalam gandrung tampak menonjol, namun di dalamnya terdapat muatan kepercayaan kolektif yang sangat kuat.

Sandi

Kekhasan Gandrung Banyuwangi tampak pada lirik lagunya yang berbahasa Using. Sementara tarigamelan mengesankan perpaduan Jawa-Bali adalah tampilan yang membedakan dari kesenian kesenian Jawa dan Sunda. Gending-gending yang dinyanyikan berkarakter perjuangan. Lirik lagu-lagu tersebut menggambarkan etos perjuangan rakyat Blambangan sejak zaman VOC. Di dalamnya banyak menggunakan simbol yang hanya dimengerti oleh masyarakat Banyuwangi.

Menurut cerita lisan, kesenian gandrung muncul bersamaan dibangunnya kota Banyuwangi pada saat pemerintahan Mas Alit. Antara lain dikisahkan: Setelah perang Bayu usai, Jaksanegara mengundurkan diri sebagai bupati. Atas usul patih Blambangan yang mendapat sebutan Ki Juru kunci, kompeni menunjuk Mas Alit yang ada di Bangkalan sebagai bupati pada tanggal 7 Desember 1773. Sebelum Mas Alit dilantik sebagai bupati dengan gelar Raden Tumenggung Wiraguna pada tanggal 1 Februari 1774, ia mengusulkan agar ibukota Blambangan dipindahkan. Kompeni menyetujui dengan menawarkan tiga tempat, yaitu Kotta, Ulupangpang, dan Pakusiram. Namun Mas Alit menolak dan menawarkan membuat kota baru di sebelah utara dengan membabad hutan Purwaganda. Setelah dilantik Mas Alit mulai mengerahkan tenaga membabat hutan Purwaganda yang kemudian dikenal dengan nama kota Banyuwangi. Bersamaan dengan dibangunnya kota Banyuwangi muncul kesenian yang diberi nama gandrung.

Sejarah mencatat peristiwa puputan (perang habis-habisan) yang heroik itu terjadi di Bayu, Kecamatan Songgon Banyuwangi. Peristiwa ini amat bersejarah sehingga dijadikan sebagai hari lahir Kabupaten Banyuwangi (meski masih menjadi kontroversi hingga sekarang). Peperangan ini pulalah yang melegendakan nama Sayu (Mas Ayu) Wiwit sebagai tokoh pejuang wanita dari Banyuwangi yang menjadi inspirasi munculnya Tarian Seblang. Bahkan oleh sebagian masyarakat, arwah Sayu Wiwitlah yang dipercaya telah menuntun penari Seblang, terutama pada bagian puncaknya ketika penari Seblang sedang melantunkan gending Sukma Ilang.

Perang Bayu sendiri terjadi ketika VOC berkeinginan untuk menancapkan dominasinya di bagian timur Pulau Jawa sebagai upaya untuk merebut Bali. Watak imperialis yang diperlihatkan oleh VOC tentu saja membangkitkan perlawanan dari rakyat Blambangan yang dipimpin oleh Pangeran Jagapati alias Rempeg. Tetapi akhirnya Blambangan jatuh ke tangan VOC setelah benteng pertahanan di Bayu berhasil dikuasai. Episode inilah yang dilukiskan oleh Hasan Ali sebagai satu tragedi bagi sejarah rakyat Blambangan. Peperangan ini memakan korban tidak kurang dari 60.000 orang rakyat dari jumlah keseluruhan masyarakat Blambangan yang waktu itu tidak sampai 65.000 orang tulis Hasan Ali dalam Sekilas Puputan Bayu: Tonggak Sejarah Hari Jadi Banyuwangi.

Betapapun sakitnya kekalahan dalam perang itu, amat lebih sakit lagi melihat kenyataan bahwa yang memerangi rakyat Blambangan saat itu adalah saudara-saudara sesama pribumi dari Jawa dan Madura yang diperalat oleh VOC, tambah Hasan Ali yang juga ayah artis Emilia Contessa dan kakek artis Denada ini. Karena itu, sambung Hasan Ali, Kekecewaan masyarakat Using sempat membuat suku Using menutup diri terhadap komunitas luar. Bahkan dari kekecewaan sejarah itulah nama Using dipergunakan untuk mengidentifikasi masyarakat Blambangan.

Konon, akibat perang Bayu, sebagian besar pasukan melarikan diri ke hutan atau menyingkir ke pedalaman. Dalam jangka waktu yang lama, mereka bertahan di hutan, melakukan perang gerilya. Komunikasi diantara para gerilyawan dapat terjalin berkat partisipasi gandrung lanang yang pada awal pemunculannya digunakan sebagai media perjuangan. Para gandrung lanang menari sambil membawakan lagu-lagu perjuangan (bahasa sandi) mendatangi tempat-tempat yang dihuni rakyat Blambangan untuk memberi informasi tentang keberadaan tentara Belanda. Selain itu mereka juga mempengaruhi dan menganjurkan rakyat Blambangan agar meninggalkan hutan, keluar dari tempat persembunyiannya untuk segera membentuk masyarakat baru.

Pada masa pemerintahan Mas Alit, kesenian Gandrung banyak mengalami perubahan baik dalam tata busana, instrumen musik, maupun lagu-lagu (gending-gending) paju untuk mengiringi tari dan seni pencak silat. Perubahan juga terjadi pada primadona gandrung, yang semula diperankan oleh pria kemudian diganti perempuan. Pola pementasan gandrung terdiri atas: Jejer, Paju, Seblang-seblang. Musik iringan gending jejer yang semula gegap-gempita beralih menjadi irama lembut dan penari mulai melantunkan tembang Padha Nonton sebagai lagu wajib. Gending Padha Nonton terdiri atas delapan bait dengan tiga puluh dua baris. Biasanya gending dilagukan delapan baris saja dan untuk melagukan delapan baris berikutnya selalu dimainkan dua atau tiga lagu sebagai selingan. Dalam gending selingan banyak dipadati pantun-pantun daerah setempat yang disebut basanan dan wangsalan, seperti tampak dalam syarir Padha Nonton berikut:

Padha nonton

Pundhak sempal ring lelurung

Ya pedhite, pundhak sempal

Lambeyane para putra

Para putra

Kejala ring kedhung liwung

Ya jalane jala sutra

Tampange tampang kencana

Kembang Menur

Melik-melik ring bebentur

Sun siram-siram alum

Sunpethik mencirat ati

Lare angon

Gumuk iku paculana

Tandurana kacang lanjaran

Sak unting kanggo perawan

Kembang gadhung

Sak gulung ditawa sewu

Nora murah nora larang

Kang nawa wong adol kembang

Sumbarisena ring Tenmenggungan

Sumiring payung agung

Lambayano membat mayun

Kembang abang

Selebrang tiba ring kasur

Mbah Teji balenana

Sunenteni ring paseban

Ring paseban

Dhung Ki Demang mangan nginum

Selerengan wong ngunus keris

Gendam gendhis kurang abyur

Gending Padha Nonton sebenarnya puisi yang menggambarkan perjuangan untuk membangkitkan semangat rakyat Blambangan melawan segala bentuk penjajahan. Meskipun demikian, keindahan syairnya juga mampu menciptakan ritme vokal untuk mengiringi tari penghormatan sebagai ucapan selamat datang bagi para tamu, seperti halnya tarian gambyong pada awal pertunjukan tayub atau Kidung Salamat pada pertunjukan jaipong. Pesan perjuangan penuh makna simbolis ini dituangkan melalui kata-kata sandi. Makna pesan inilah yang kemudian menjadi dasar perwatakan masyarakat Using dalam menciptakan identitasnya.

Perlawanan

Kesenian Gandrung, tidak lain adalah gambaran perlawanan kebudayaan sebuah masyarakat. Perlawanan terhadap berbagai ancaman, baik yang bersifat fisik maupun pencitraan negatif yang berulang kali terjadi dalam kesejarahan masyarakat Using. Dalam konteks pencitraan, misalnya tampak bagaimana sejarah nasional menggambarkan sosok Ronggolawe yang memberontak karena menjadi korban intrik internal di lingkaran Prabu Wijaya, Raja Majapahit pertama. Nasib Ronggolawe berakhir sebagai pemberontak di bumi Sadeng. Padahal, masyarakat setempat mencatat nama Ronggolawe sebagai tokoh yang berperan sangat besar dalam membantu Prabu Brawijaya mendirikan kerajaan Majapahit. (Dan nasib serupa pun dialami oleh tokoh-tokoh Majapahit sejamannya: Lembu Sora dan Nambi).

Masyarakat dan budaya Using secara historis adalah masyarakat Blambangan, sebuah kerajaan di wilayah ujung timur Pulau Jawa. Sedangkan lahirnya kota Banyuwangi, sebagai nama kabupaten erat kaitannya dengan kerajaan Blambangan yang pada awalnya lebih merupakan bagian dari kerajaan Majapahit. Tapi daerah yang dikenal subur bahkan merupakan lumbung padi Majapahit, kemudian menjelma menjadi pusat kekuatan oposisi yang dalam versi Majapahit maupun kerajaan Jawa Kulon sesudahnya selalu dikategorikan sebagai konsentrasi pemberontak dan memuncak dalam peperangan Paregreg (1401-1404). Perang Paregreg sendiri mengilhami penulis cerita perang antara Damarwulan dan Menakjinggo yang kemudian sering dilakonkan dalam pertunjukan Ketropak Mataram dan Jinggoan Banyuwangi dalam versi yang berlawanan. Jika dalam Ketropak Mataram Menakjinggo ditampilkan sebagai pemberontak, penindas rakyat, bertubuh cacat, maka di Jinggoan Banyuwangi ia ditampilkan sebagai pahlawan, gagah berani, tampan, dan memeperdulikan nasib rakyatnya.

Semua gambaran negatif tentang Minak Jinggo (Bre Wirabumi) itu ditolak keras oleh Budayawan Banyuwangi, Hasan Ali. Itu tidak benar. Salah besar kalau Bre Wirabumi dikatakan buruk muka. Dia

ngganteng, hanya saja memang ada goresan-goresan luka di wajahnya. Itupun karena pertempurannya dengan Kebo Marcuet. Dan ia berangkat ke Majapahit bukan dengan maksud memberontak, tapi sekedar ingin menagih janji Majapahit.

Senada dengan Hasan Ali, Andang CY, seorang seniman kawakan Banyuwangi menuturkan, Menak Jinggo sesungguhnya adalah pahlawan masyarakat Banyuwangi. Pertama, ketika dia menumpas Kebo Marcuet yang lalim. Kedua, ketika ia mengangkat senjata melawan Majapahit yang menurutnya telah mengingkari janji untuk menghadiahinya Putri Kencono Wungu setelah mengalahkan Kebo Marcuet. Nyatanya, Menak Jinggo dikalahkan oleh Damarwulan, seorang anak bekel (tukang kuda) yang kemudian memperistri Putri Kencono Wungu. Bahkan, kekalahan Menak Jinggo inipun berlanjut sampai pada penulisan sejarah tentangnya.

Hikmah

Sebagai satu daerah strategis untuk berinteraksi dengan Nusantara bagian timur, sejak dulu Blambangan tidak lepas dari incaran kerajaan-kerajaan besar di Jawa, termasuk Mataram Islam. Tercatat beberapa kali Sultan Agung melancarkan ekspedisinya untuk menaklukkan Blambangan, bersaing dengan Kerajaan Buleleng Bali. Meskipun gagal, usaha penaklukan ini toh telah menyakitkan perasaan masyarakat Blambangan.

Bisa jadi, letak Banyuwangi sebagai perlintasan antar kebudayaan yang menjadikannya menjadi ajang klaim dan perebutan wilayah geografis membawa hikmah tersendiri bagi pengembangan kebudayaan Using. Pergesekan kebudayaan sebagai implikasi dari pertarungan perebutan geografis telah mendewasakan produk kebudayaan Using sehingga menjadi sangat fleksibel terhadap unsur-unsur kebudayaan dari luat. Maka corak produk kebudayaan masyarakat Usingsebagaimana juga halnya kebudayaan Jawasesungguhnya kental dengan nuansa sinkretik dan akulturatif.

Orang tentu dapat melihat bagaimana maskot Kabupaten Banyuwangi sebelum Gandrung adalah ular naga berkepala Gatotkaca. Ular Naga adalah makhluk dalam mitologi Cina. Sementara Gatotkaca adalah adopsi yang dilakukan seniman wayang era Demak (Sunan Kudus dan Kalijaga) terhadap cerita Mahabarata dari India. Atau hadrah Kuntulan, Barongan Using, Angklung Caruk dan masih sangat banyak lagi.

Tari Jaipong
Jaipongan adalah sebuah aliran seni tari yang lahir dari kreativitas seorang seniman Berasal dari Bandung, Gugum Gumbira. Perhatiannya pada kesenian rakyat yang salah satunya adalah Ketuk Tilu menjadikannya mengetahui dan mengenal betul perbendaharan pola-pola gerak tari tradisi yang ada pada Kliningan/Bajidoran atau Ketuk Tilu. Gerak-gerak bukaan, pencugan, nibakeun dan beberapa ragam gerak mincid dari beberapa kesenian di atas cukup memiliki inspirasi untuk mengembangkan tari atau kesenian yang kini dikenal dengan nama Jaipongan. Sebagai tarian pergaulan, tari Jaipong berhasil dikembangkan oleh Seniman Sunda menjadi tarian yang memasyarakat dan sangat digemari oleh masyarakat Jawa Barat (khususnya), bahkan populer sampai di luar Jawa Barat. Menyebut Jaipongan sebenarnya tak hanya akan mengingatkan orang pada sejenis tari tradisi Sunda yang atraktif dengan gerak yang dinamis. Tangan, bahu, dan pinggul selalu menjadi bagian dominan dalam pola gerak yang lincah, diiringi oleh pukulan kendang. Terutama pada penari perempuan, seluruhnya itu selalu dibarengi dengan senyum manis dan kerlingan mata. Inilah sejenis tarian pergaulan dalam tradisi tari Sunda yang muncul pada akhir tahun 1970-an yang sampai hari ini popularitasnya masih hidup di tengah masyarakat.

Tari Jaipongan Jawa Barat Sejarah Tari Jaipong Sebelum bentuk seni pertunjukan ini muncul, ada beberapa pengaruh yang melatarbelakangi bentuk tari pergaulan ini. Di Jawa Barat misalnya, tari pergaulan merupakan pengaruh dari Ball Room, yang biasanya dalam pertunjukan tari-tari pergaulan tak lepas dari keberadaan ronggeng dan pamogoran. Ronggeng dalam tari pergaulan tidak lagi berfungsi untuk kegiatan upacara, tetapi untuk hiburan atau cara gaul. Keberadaan ronggeng dalam seni pertunjukan memiliki daya tarik yang mengundang simpati kaum pamogoran. Misalnya pada tari Ketuk Tilu yang begitu dikenal oleh masyarakat Sunda, diperkirakan kesenian ini populer sekitar tahun 1916. Sebagai seni pertunjukan rakyat, kesenian ini hanya didukung oleh unsur-unsur sederhana, seperti waditra yang meliputi rebab, kendang, dua buah kulanter, tiga buah ketuk, dan gong. Demikian pula dengan gerak-gerak tarinya yang tidak memiliki pola gerak yang baku, kostum penari yang sederhana sebagai cerminan kerakyatan.

Seiring dengan memudarnya jenis kesenian di atas, mantan pamogoran (penonton yang berperan aktif dalam seni pertunjukan Ketuk Tilu / Doger / Tayub) beralih perhatiannya pada seni pertunjukan Kliningan, yang di daerah Pantai Utara Jawa Barat (Karawang, Bekasi, Purwakarta, Indramayu, dan Subang) dikenal dengan sebutan Kliningan Bajidoran yang pola tarinya maupun peristiwa pertunjukannya mempunyai kemiripan dengan kesenian sebelumnya (Ketuk Tilu / Doger / Tayub). Dalam pada itu, eksistensi tari-tarian dalam Topeng Banjet cukup digemari, khususnya di Karawang, di mana beberapa pola gerak Bajidoran diambil dari tarian dalam Topeng Banjet ini. Secara koreografis tarian itu masih menampakan pola-pola tradisi (Ketuk Tilu) yang mengandung unsur gerak-gerak bukaan, pencugan, nibakeun dan beberapa ragam gerak mincid yang pada gilirannya menjadi dasar penciptaan tari Jaipongan. Beberapa gerak-gerak dasar tari Jaipongan selain dari Ketuk Tilu, Ibing Bajidor serta Topeng Banjet adalah Tayuban dan Pencak Silat.

Tari Merak
Tari Merak merupakan salah satu ragam tarian kreasi baru yang mengekspresikan kehidupan binatang, yaitu burung merak. Tata cara dan geraknya diambil dari kehidupan merak yang diangkat ke pentas oleh Seniman Sunda Raden Tjetje Somantri.

Merak yaitu binatang sebesar ayam, bulunya halus dan dikepalanya memiliki seperti mahkota.Kehidupan merak yang selalu mengembangkan bulu ekornya agar menarik burung merak wanita meninspirasikan R. Tjetje Somantri untuk membuat tari Merak ini. Dalam pertunjukannya, ciri bahwa itu adalah terlihat dari pakaian yang dipakai penarinya memiliki motif seperti bulu merak. Kain dan bajunya menggambarkan bentuk dan warna bulu-bulu merak; hijau

biru dan/atau hitam.Ditambah lagi sepasang sayapnya yang melukiskan sayap atau ekor merak yang sedang dikembangkan. Gambaran merak bakal jelas dengan memakai mahkota yang dipasang di kepala setiap penarinya. Tarian ini biasanya ditarikan berbarengan, biasanya tiga penari atau bisa juga lebih yang masingmasing memiliki fungsi sebagai wanita dan laki-lakinya. Iringan lagu gendingnya yaitu lagu Macan Ucul biasanya. Dalam adegan gerakan tertentu terkadang waditra bonang dipukul di bagian kayunya yang sangat keras sampai terdengar kencang, itu merupakan bagian gerakan sepasang merak yang sedang bermesraan. Dari sekian banyaknya tarian yang diciptakan oleh Raden Tjetje Somantri, mungkin tari Merak ini merupakan tari yang terkenal di Indonesia dan luar negeri.Tidak heran kalau seniman Bali juga, diantaranya mahasiswa ASKI Denpasar menciptakan tari Manuk Rawa yang konsep dan gerakannya hampir mirip dengan tari Merak

Tari Gambyong

Tari Gambyong

A. Deskripsi Tari Gambyong adalah suatu tarian yang disajikan untuk penyambutan tamu atau mengawali suatu resepsi perkawinan. Biasanya penarinya rata-rata masih muda dan berparas cantik. Sebagai suatu bentuk performance art, tari Gambyong menyajikan santapan estetis tersendiri bagi siapa saja yang menyaksikan sehingga sangat cocok untuk dijadikan objek wisata seni budaya. Awal mula istilah Gambyong tampaknya berawal dari nama seorang penari taledhek. Penari yang bernama Gambyong ini hidup pada zaman Sunan Paku Buwana IV di Surakarta. Penari taledhek yang bernama Gambyong juga disebutkan dalam buku Cariyos Lelampahanipun karya Suwargi R.Ng. Ronggowarsito (tahun 1803-1873) yang mengungkapkan adanya penari ledhek yang bernama Gambyong yang memiliki kemahiran dalam menari dan kemerduan dalam suara sehingga menjadi pujaan kaum muda pada zaman itu.

Koreografi tari Gambyong sebagian besar berpusat pada penggunaan gerak kaki, tubuh, lengan, dan kepala. Gerak kepala dan tangan yang halus dan terkendali merupakan spesifikasi dalam tari Gambyong. Arah pandangan mata yang bergerak mengikuti arah gerak tangan dengan memandang jari-jari tangan menjadikan faktor dominan gerak-gerak tangan dalam ekspresi tari Gambyong. Hal ini dapat diamati pada gerak ukel asta (memutar pergelangan tangan) sebagai format gerak yang sering dilakukan. Gerak kaki pada saat sikap berdiri dan berjalan mempunyai korelasi yang harmonis. Sebagai contoh, pada gerak srisig (berdiri dengan jinjit dan langkah kecil-kecil), nacah miring (kaki kiri bergerak ke samping, bergantian atau disusul kaki kanan di letakkan di depan kaki kiri), kengser (gerak kaki ke samping dengan cara bergeser/posisi telapak kaki tetap merapat ke lantai). Gerak kaki yang spesifik pada tari Gambyong adalah gerak embat atau entrag, yaitu posisi lutut yang membuka karena mendhak (merendah) bergerak ke bawah dan ke atas. Penggarapan pola lantai pada tari Gambyong dilakukan pada peralihan rangkaian gerak, yaitu pada saat transisi rangkaian gerak satu dengan rangkaian gerak berikutnya. Sedangkan perpindahan posisi penari biasanya dilakukan pada gerak penghubung, yaitu srisig, singget ukel karna, kengser, dan nacah miring. Selain itu dilakukan pada rangkaian gerak berjalan (sekaran mlaku) ataupun gerak di tempat (sekaran mandheg). B. Keistimewaan Tari Gambyong sebagai tarian wanita mempunyai regulasi-regulasi dalam implementasi geraknya sehingga privasi geraknya tampak dibatasi. Hal ini dilakukan agar sifat kewanitaan yang halus selalu dapat dipertahankan atau ditonjolkan. Dalam tarian wanita jarang ditemukan luapan emosi, tetapi harus selalu lembut, halus, dan sopan. Sifat wanita yang ideal dan luhur ini selalu dihormati dengan ungkapan seni yang halus. Oleh karena itu, tidak ada gerak lengan yang lebih tinggi dari bahu, tidak pernah ada gerak meloncat, dan kedua paha selalu rapat. Bentuk torso (badan) wanita yang halus dan kelenturan anggota badannya menyempurnakan garis-garis kewanitaan menjadi sangat indah. Ini dapat tercapai dengan naluri dan budi pekerti yang halus. Perkembangan tari Gambyong tidak terlepas dari nilai estetis yang mengungkapkan keluwesan, kelembutan, dan kelincahan wanita. Nilai estetis ini terdapat pada keharmonisan dan keselarasan antara gerak dan ritme, khususnya antara gerak dan irama kendang. Sinergitas antara gerak dan ritme ini menjadikan tari Gambyong tampil lebih sigrak (tangkas). Nilai estetis tari Gambyong akan muncul apabila penarinya juga menjiwai dan mampu mengekspresikan dengan perfek sehinga muncul ungkapan tari yang erotis-sensual. Busana dan rias pada tari Gambyong mempunyai peran yang mendukung ekspesi tari dan faktor penting untuk suksesnya penyajian. Bentuk rias corrective make up yang menghasilkan wajah cantik dan tampak alami, menarik untuk dilihat. Sementara itu, busana tari Gambyong yang disebut angkinan atau kembenan menjadikan lekuk-lekuk tubuh penari tampak terbentuk. Dengan demikian, bagian-bagian tubuh yang digerakkan kelihatan

jelas sehingga gerak seperti ogek lambung yang bervolume kecil dapat tampak lebih jelas. Bentuk busana ini memungkinkan juga memberikan keleluasaan gerak sesuai dengan manifestasi dan kelincahan Tari Gambyong. Dengan penggunaan kain yang diwiru, maka pada saat berjalan atau bergerak, lipatan kain (wiron) itu akan membuka dan menutup serta kelihatan hidup sehingga dapat memperkuat impresif kenesnya. Maka, busana yang dianggap sesuai dengan ekspresi tari Gambyong adalah busana angkinan dengan gelung gedhe. Bagian bahu dibuat terbuka, bahkan kadang-kadang payudara dinaikkan sehingga tampak montok dengan sebutan glathik mungup (lekukan payudara, tampak seperti burung gelathik muncul). Perkembangan busana tari Gambyong yang beragam saat ini lebih terkesan dekoratif dan kurang memerhatikan kemungguhan (kesesuaian) tari. Meskipun demikian, perkembangan busana itu tetap membuat penyajian tari Gambyong semakin beragam dan menarik. Penyajian tari Gambyong akan dapat mencapai nilai estetis apabila dilakukan oleh penari yang memiliki basis tari yang kuat. Kemantapan sajian tari dari seorang penari dipengaruhi oleh latar belakang budaya yang membentuk diri penari, di samping faktor kebiasaan dan kematangan. Kebiasaan dan kematangan pada tari Gambyong akan membentuk penari itu menjadi penari yang luluh atau menyatu dengan tari yang disajikan. Karena disadari penari tidak sekadar bergerak secara fisik saja, tetapi yang lebih penting adalah mampu mengungkapkan intuisi lewat gerak yang dinamis dan proporsional. Tari Gambyong memiliki daya tarik yang sangat kuat karena estetika gerak-geraknya yang bersifat erotis. Motif-motif geraknya merupakan gerak-gerak nonrepresentatif (tan wadhag) atau gerak-gerak yang sangat distilisasi sehingga tari tersebut mempunyai yang lebih luas bagi penonton atau penikmat. Selain itu, motif-motif gerak yang bervariasi dengan tempo gerak yang cepat serta cekatan menjadikan tari Gambyong lebih dinamis. Juga karena spesifiknya motif-motif gerak tarinya yang disebabkan oleh tuntutan untuk dapat menimbulkan kesan erotis menjadikan penyajian tari Gambyong menarik untuk dinikmati para penonton atau penikmat.

C. Lokasi Tari Gambyong bisa dinikmati di Kota Madya Surakarta.

D. Akses Untuk menukmati Tari Gambyong, wisatawan dapat hadir pada acara resepsi pernikahan yang menggunakan adat Surakarta yang asli, atau menghadiri pagelaran seni tari yang diselenggarakan Keraton Surakarta.

E. Harga Tiket Untuk menikmati Tari Gambyong wisatawan tidak perlu membayar tiket (gratis).

Tari topeng Klana

Tari topeng Klana adalah gambaran seseorang yang bertabiat buruk, serakah, penuh amarah dan tidak bisa mengendalikan hawa nafsu, namun tarinya justru paling banyak disenangi oleh penonton. Sebagian dari gerak tarinya menggambarkan seseorang yang tengah marah, mabuk, gandrung, tertawa terbahak-bahak, dan sebagainya. Lagu pengiringnya adalah Gonjing yang dilanjutkan dengan Sarung Ilang. Struktur tarinya seperti halnya topeng lainnya, terdiri atas bagian baksarai (tari yang belum memakai kedok) dan bagian ngedok (tari yang memakai kedok). Beberapa dalang topeng, misalnya Rasinah dan Menor (Carni), membagi tarian ini menjadi dua bagian. Bagian pertama, adalah tari topeng Klana yang diiringi dengan lagu Gonjing dan sarung Ilang. Bagian kedua, adalah Klana Udeng yang diiringi lagu Dermayonan. Tari topeng Klana sering pula disebut topeng Rowana. Sebutan itu mengacu pada salah satu tokoh yang ada dalam cerita Ramayana, yakni tokoh Rahwana. Secara kebetulan, karakternya sama persis dengan tokoh Klana dalam cerita Panji. Di Cirebon, topeng Klana dan Rowana kadang-kadang diartikan sebagai tarian yang sama, namun bagi beberapa dalang topeng, misalnya Sujana dan Keni dari Slangit; Sutini dari Kalianyar dan Tumus dari Kreo; membedakan kedua tarian tersebut, hanya kedoknya saja yang sama. Jika kedok Klana yang ditarikan itu memakai kostum irah-irahan atau makuta Rahwana di bagian kepalanya dan di bagian punggungnya memakai badong atau praba, maka itulah yang disebut topeng Rowana. Kostumnya jauh berbeda dengan topeng Klana dan kelihatan sangat mirip dengan kostum tokoh Rahwana dalam wayang wong.

Dalam pertunjukan topeng hajatan, yakni setelah tari topeng tersebut selesai, penari biasanya melakukan nyarayuda atau ngarayuda, yakni meminta uang kepada para penonton, tamu undangan, pemangku dan panitia hajat, para pedagang, dan lain-lain. Ia berkeliling seraya mengasong-asongkan kedok yang dipegang terbalikbagian dalamnya terbuka dan bagian wajahnya menghadap ke bawah dan kedok berubah fungsi menjadi wadah uang. Mereka memberikan uang seikhlasnya tanpa merasa ada suatu paksaan. Setelah merasa cukup, penari kembali ke panggung dan sebagai rasa terima kasih, ia kembali mempersembahkan beberapa gerakan tari topeng Klana, sebagai tarian ekstra. Nyarayuda atau ngarayuda adalah sebuah pesan moral atau simbol yang mengingatkan kita tentang bagaimana sebaiknya berkehidupan di masyarakat. Klana adalah seorang raja yang kaya raya, yang tak kurang suatu apapun, namun ia masih merasa kekurangan, merasa segalanya belum cukup, sehingga ia tetap berusaha untuk mengambil sebanyak-banyaknya harta tanpa memperdulikan apakah itu hak atau batil. Itulah sebenarnya pesan yang ingin disampaikan nyarayuda, yang artinya bukan sematamata mengemis. Hidup, sebaiknya lebih banyak memberi daripada lebih banyak meminta. Itulah pesan yang ingin disampaikan.

You might also like