You are on page 1of 26

I.

Pendahuluan

1.1. Apa itu Liberalisme

liberal diambil dari bahasa Latin liber, free. Liberalisme secara


etimologis berarti falsafah politik yang menekankan nilai kebebasan individu
dan peran negara dalam melindungi hak-hak warganya. Liberalisme adalah
sebuah ideologi, pandangan filsafat, dan tradisi politik yang didasarkan pada
pemahaman bahwa kebebasan adalah nilai politik yang utama.
Liberalisme lahir dari sistem kekuasaan sosial dan politik sebelum
masa Revolusi Prancis berupa sistem merkantilisme, feodalisme, dan gereja
roman Katolik. Liberalisme pada umumnya meminimalkan campur tangan
negara dalam kehidupan sosial. Sebagai satu ideologi, liberalisme bisa
dikatakan berasal dari falsafah humanisme yang mempersoalkan kekuasaan
gereja di zaman renaissance dan juga dari golongan Whings semasa
Revolusi Inggris yang menginginkan hak untuk memilih raja dan membatasi
kekuasaan raja. Mereka menentang sistem merkantilisme dan bentuk-bentuk
agama kuno dan berpaderi.
Liberalisme antistatis, seperti yang diperjuangkan oleh Frederic
Bastiat, Gustave de Molinari, Herbert Spencer, dan Auberon Herbert, adalah
aliran ekstrem yang dikenal dengan anarkhisme (tidak ada pemerintahan)
ataupun minarkisme (pemerintahan yang kecil yang hanya berfungsi sebagai
the nightwatchman state. Liberalisme selalu menentang sistem kenegaraan
yang didasarkan pada hukum agama. Oxford English Dictionary
menerangkan bahwa perkataan liberal telah lama ada dalam bahasa Inggris
dengan makna sesuai untuk orang bebas, besar, murah hati dalam seni
liberal.
Pada awalnya, liberalisme bermaksud bebas dari batasan bersuara
atau perilaku, seperti bebas menggunakan dan memiliki harta, atau lidah
yang bebas, dan selalu berkaitan dengan sikap yang tidak tahu malu.
Bagaimanapun, bermula pada 1776-1788, oleh Edward Gibbon, perkataan
2

liberal mulai diberi maksud yang baik, yaitu bebas dari prasangka dan
bersifat toleran. Maka pengertian liberal pun akhirnya mengalami perubahan
arti dan berkembang menjadi kebebasan secara intelektual, berpikiran luas,
murah hati, terus terang, sikap terbuka dan ramah.
Prinsip dasar liberalisme adalah keabsolutan dan kebebasan yang
tidak terbatas dalam pemikiran, agama, suara hati, keyakinan, ucapan, pers
dan politik dan juga kemudian berkembang di bidang ekonomi.
Dalam liberalisme budaya, paham ini menekankan hak-hak pribadi yang
berkaitan dengan cara hidup dan perasaan hati.Liberalisme budaya secara
umum menentang keras campur tangan pemerintah. Belanda, dari segi
liberalisme budaya, mungkin negara yang paling liberal di dunia. Sedangkan
liberalisme ekonomi mendukung kepemilikan harta pribadi dan menentang
peraturan-peraturan pemerintah yang membatasi hak-hak terhadap harta
pribadi. Paham ini bermuara pada kapitalisme melalui pasar bebas.
Secara umum, liberalisme mencita-citakan suatu masyarakat yang
bebas, dicirikan oleh kebebasan berpikir bagi para individu. Paham
liberalisme menolak adanya pembatasan, khususnya dari pemerintah dan
agama. Liberalisme menghendaki adanya, pertukaran gagasan yang bebas,
ekonomi pasar yang mendukung usaha pribadi (private enterprise) yang
relatif bebas, dan suatu sistem pemerintahan yang transparan, dan menolak
adanya pembatasan terhadap pemilikan individu. Oleh karena itu paham
liberalisme lebih lanjut menjadi dasar bagi tumbuhnya kapitalisme.
Dalam masyarakat modern, liberalisme akan dapat tumbuh dalam
sistem demokrasi, hal ini dikarenakan keduanya sama-sama mendasarkan
kebebasan mayoritas. Bandingkan Oxford Manifesto dari Liberal
International: "Hak-hak dan kondisi ini hanya dapat diperoleh melalui
demokrasi yang sejati. Demokrasi sejati tidak terpisahkan dari kebebasan
politik dan didasarkan pada persetujuan yang dilakukan dengan sadar,
bebas, dan yang diketahui benar (enlightened) dari kelompok mayoritas,
yang diungkapkan melalui surat suara yang bebas dan rahasia, dengan
menghargai kebebasan dan pandangan-pandangan kaum minoritas.
3

1.2. Apa itu Liberalisme Ekonomi

Usaha masing-masing orang untuk memperjuangkan kemajuan dan


kepentingan dirinya sendiri akan dengan sendirinya menghasilkan
kesejahteraan dan kemajuan bagi seluruh masyarakat. Demikianlah inti
paham Adam Smith tentang the invisible hand, “tangan tak kelihatan” yang –
sesuai paham “keselarasan yang ditetapkan sebelumnya” (oleh Tuhan, lih.
Leibniz) – akan mengarahkan usaha-usaha individual pada kemajuan dan
kepentingan bersama.
Liberalisme ekonomis merupakan ajaran yang melahirkan kapitalisme.
Ajaran ini meniupkan semboyan “laissez faire, laissez aller”, yang
membiarkan pasar berjalan sendiri. Liberalisme menuntut orang agar bebas
berdagang (menentang bea cukai), memilih tempat berproduksi dan bekerja,
juga bebas mengadakan perjanjian kerja dan ekonomis lainnya. Negara
diharapkan sedikit mungkin mengintervensi permainan bebas tawaran dan
permintaaan baik di pasar komoditi maupun di pasar kerja.
Laissez-faire [lɛse fɛr]) adalah sebuah frase bahasa Perancis yang
berarti "biarkan terjadi" (secara harafiah "biarkan berbuat"). Istilah ini berasal
dari diksi Perancis yang digunakan pertama kali oleh para psiokrat di abad
ke 18 sebagai bentuk perlawanan terhadap intervensi pemerintah dalam
perdagangan. Laissez-faire menjadi sinonim untuk ekonomi pasar bebas
yang ketat selama awal dan pertengahan abad ke-19. Secara umum, istilah
ini dimengerti sebagai sebuah doktrin ekonomi yang tidak menginginkan
adanya campur tangan pemerintah dalam perekonomian. Pendukung doktrin
ini berpendapat bahwa suatu perekonomian perusahaan swasta (private-
enterprise economy) akan mencapai tingkat efesiensi yang lebih tinggi dalam
pengalokasian dan penggunaan sumber-sumber ekonomi yang langka dan
akan mencapai pertumpuhan ekonomi yang lebih besar bila dibandingkan
dengan perekonomian yang terencana secara terpusat (centrally planned
economy). Pendapat ini didasarkan pada pemikiran bahwa kepemilikan
pribadi atas sumber daya dan kebebasan penuh untuk menggunakan
4

sumber daya tersebut akan menciptakan dorongan kuat untuk mengambil


risiko dan bekerja keras. Sebaliknya, birokrasi pemerintah cenderung
mematikan inisiatif dan menekan perusahaan.
Dalam pandangan laissez-faire, kewajiban negara bukanlah
melakukan intervensi untuk menstabilkan distribusi kekayaan atau untuk
menjadikan sebuah negara makmur untuk melindungi rakyatnya dari
kemiskinan, melainkan bersandar pada sumbangan dan sistem pasar.
Laissez faire juga menyatakan bahwa pemerintah tidak boleh memberi hak
khusus dalam bisnis. Misalnya, penganut dari laissez-faire mendukung ide
yang menyatakan bahwa pemerintah tidak boleh membuat monopoli legal
atau menggunakan kekuasaan dan paksaan untuk merusak monopoli de
facto. Pendukung dari laissez-faire juga mendukung ide perdagangan bebas
dalam artian negara tidak boleh melakukan proteksi, seperti tarif dan subsidi,
di wilayah ekonominya.
Pada masa awal dari teori ekonomi Eropa dan Amerika, kebijakan
laissez-faire terbentuk konflik dengan merkantilisme, yang telah menjadi
sistem dominan di Britania raya, Spanyol, Perancis dan negara Eropa
lainnya pada masa kejayaannya. Istilah laissez-faire sering digunakan
bergantian dengan istilah "pasar bebas". Beberapa menggunakan laissez-
faire untuk merujuk pada perilaku "biarkan terjadi, biarkan lewat" dalam hal-
hal di luar ilmu ekonomi. Laissez-faire dihubungkan dengan Liberalisme
klasik, libertarianisme dan Obyektivisme. Asalnya dikenalkan dalam bahasa
Inggris tahun 1774, oleh George Whatley, dalam buku Principles of Trade.

Liberalisme memperjuangkan pembebasan petani dari kekuasaan


tuan tanah, mendorong industrialisasi, pembagian kerja, perdagangan bebas
antar-negara. Namun ia tidak menolak seluruhnya peran negara – meskipun
mengambil alih paham “laissez faire” yang lebih moderat dari kaum Fisiokrat
(aliran ekonomi di Perancis abad ke-18 yang menuntut kebebasan ekonomi
total, melawan merkantilisme, tetapi atas dasar pengandaian bahwa hanya
pekerjaan pertanian dapat menciptakan nilai ekonomis baru). Negara
5

bertugas menciptakan syarat-syarat institusional minimal agar sistem


ekonomi pasar dapat berjalan.
Liberalisme ekonomi dengan tegas ditolak oleh Paus Leo XIII karena
tidak menjamin keadilan sosial. Penekanan yang terlampau ekslusif terhadap
kebebasan inilah yang menghasilkan kesenjangan ekonomi yang begitu
mencolok. Bahkan buruh termasuk dalam kalkulasi ekonomis, sehingga
dijadikan komoditi dalam bentuk lain. Masalah-masalah struktural: keadilan
sosial, pembangunan infrastruktur nasional dan internasional, dan, sejak
paruh kedua abad ini, pemeliharaan keutuhan lingkungan hidup semakin
tidak mampu ditanganinya. Kebebasan mengadakan perjanjian
memungkinkan munculnya monopoli, kartel, trust dan bentuk-bentuk
penyelewengan lain terhadap prinsip kebebasan ekonomis.
Liberalisme ekonomi sekarang merubah wajahnya dalam bentuk
“neoliberalisme” atau, menurut cara bicara di Amaerika Serikat, lebih dikenal
sebagai Neo-Konservatisme (“Neokon”). Sebagai tuntutan moral bagi
kehidupan bersama yang beradab, liberalisme ekonomi mengabaikan
solidaritas masyarakat, yang di tengah-tengahnya terdapat banyak warga
miskin.Di satu pihak liberalisme berjasa mengakhiri ekonomi feodal dan
tradisional yang tidak sesuai lagi dengan kondisi-kondisi masyarakat yang
penuh ketidakadilan. Ia menghasilkan dinamika ekonomi modern yang
memungkinkan pengatasan masalah kemiskinan dan mendasarkan tingkat
hidup masyarakat modern.
Maka liberalisme ekonomi, berbeda dengan liberalisme politik, tidak
seluruhnya berhasil memperoleh akseptasi dalam faham kenegaraan dan
kemasyarakatan modern. Jelaslah bahwa negara harus menjalankan tugas-
tugas penataan yang tidak diharapkan oleh liberalisme.
Ekonomi liberal adalah teori ekonomi yang diuraikan oleh tokoh-tokoh
penemu liberal klasik seperti Adam Smith atau French Physiocrats Sistem
ekonomi liberal tersebut mempunyai kaitannya dengan "kebebasan alami"
yang dipahami oleh tokoh-tokoh ekonomi liberal klasik tersebut. Konsep dari
6

ekonomi liberal ialah bergerak kearah suatu sistem ekonomi pasar bebas
dan sistem berpaham perdagangan bebas.
Sistem ekonomi liberal klasik adalah suatu filosofi ekonomi dan politis.
Mula-mula ditemukan pada suatu tradisi penerangan atau keringanan yang
bersifat membatasi batas-batas dari kekuasaan dan tenaga politis, yang
menggambarkan pendukungan kebebasan individu.Teori itu juga bersifat
membebaskan individu untuk bertindak sesuka hati sesuai kepentingan
dirinya sendiri dan membiarkan semua individu untuk melakukan pekerjaan
tanpa pembatasan yang nantinya dituntut untuk menghasilkan suatu hasil
yang terbaik, yang cateris paribus, atau dengan kata lain, menyajikan suatu
benda dengan batas minimum dapat diminati dan disukai oleh masyarakat
(konsumen).
Garis berpaham ekonomi liberal telah pernah dipraktikan oleh
sekolah-sekolah di Austria dengan berupa demokrasi di masyarakat yang
terbuka. Paham liberalisme kebanyakan digunakan oleh negara-negara di
benua Eropa dan Amerika. Seperti halnya di Amerika Serikat, paham liberal
dikenali dengan sebutan mild leftism estabilished.
Dalam bidang ekonomi liberalisme merupakan reaksi terhadap
struktur-struktur sosial dan ekonomi tradisional. Paham ini mendasarkan diri
pada etika utilitaristik: kesejahteraan masyarakat diyakini sebagai hasil
penjumlahan kesejahteraan masing-masing individu.

1.2.1. Ciri ekonomi liberal


• Semua sumber produksi adalah milik masyarakat individu.
• Masyarakat diberi kebebasan dalam memiliki sumber-sumber
produksi.
• Pemerintah tidak ikut campur tangan secara langsung dalam kegiatan
ekonomi.
• Masyarakat terbagi menjadi dua golongan, yaitu golongan pemilik
sumber daya produksi dan masyarakat pekerja (buruh).
7

• Timbul persaingan dalam masyarakat, terutama dalam mencari


keuntungan.
• Kegiatan selalu mempertimbangkan keadaan pasar.
• Pasar merupakan dasar setiap tindakan ekonomi.
• Biasanya barang-barang produksi yang dihasilkan bermutu tinggi.

1.2.2. Keuntungan dan kelemahan dari ekonomi liberal

Keuntungan
Ada beberapa keuntungan dari suatu sistem ekonomi liberal, yaitu:
• Menumbuhkan inisiatif dan kreasi masyarakat dalam mengatur
kegiatan ekonomi, karena masyarakat tidak perlu lagi menunggu
perintah/komando dari pemerintah.
• Setiap individu bebas memiliki untuk sumber-sumber daya produksi,
yang nantinya akan mendorong partisipasi masyarakat dalam
perekonomian.
• Timbul persaingan semangat untuk maju dari masyarakat.
• Menghasilkan barang-barang bermutu tinggi, karena adanya
persaingan semangat antar masyarakat.
• Efisiensi dan efektivitas tinggi, karena setiap tindakan ekonomi
didasarkan motif mencari keuntungan.

Kelemahan
Selain ada keuntungan, ada juga beberapa kelemahan daripada sistem
ekonomi liberal, adalah:
• Terjadinya persaingan bebas yang tidak sehat.
• Masyarakat yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin.
• Banyak terjadinya monopoli masyarakat.
8

• Banyak terjadinya gejolak dalam perekonomian karena kesalahan


alokasi sumber daya oleh individu.
• Pemerataan pendapatan sulit dilakukan, karena persaingan bebas
tersebut.

Negara-negara yang menganut paham liberal di Asia antara lain


adalah India, Iran, Israel, Jepang, Korea Selatan, Filipina, Taiwan, Thailand
dan Turki. Saat ini banyak negara-negara di Asia yang mulai berpaham
liberal, antara lain adalah Myanmar, Kamboja, Hong Kong, Malaysia dan
Singapura.

1.3. Liberalisme di Indonesia

Di bawah rejim kolonial, ekonomi daerah Indonesia dikuasai oleh


perusahaan- perusahaan besar Belanda. Kegiatan ekonomi yang besar
terdapat di sektor perkebunan yang dikelola oleh sejumlah onderneming.
Bidang perdagangan dilaksanakan oleh lima perusahaan besar. Kegiatan-
kegiatan itu semata-mata ditujukan untuk ekspor. Keuntungan dari kegiatan
ini merupakan akumulasi modal bagi Kerajaan Belanda, sementara rakyat
daerah Indonesia terus menerus diperas tenaganya. Sistim ekonomi kolonial
yang penuh penghisapan ini terlanjur dilihat sebagai sistim ekonomi liberal.
Maka liberalisme menjadi kata yang kotor dalam perbendaharaan Indonesia.
Apa-apa yang berbau liberal secara naluriah segera hendak dicampakkan.
Sindrom kolonial ini barangkali memang begitu kuat sehingga selama
50-an tahun setelah merdeka liberalisasi ekonomi hanya bisa terlaksana
secara setengah hati. Perumusan kebijakan di Indonesia, dan di banyak
negara berkembang lain, sampai hari ini masih terus dihadapkan pada
pertanyaan yang tidak mendapatkan jawaban yang tegas: “ Apakah ada
alternatif terhadap sistim ekonomi liberal?” Berbagai jawaban bisa dicatat.
Misalnya: “Barangkali tidak ada, tetapi sistim itu tidak tepat untuk dipakai.”
Atau: “Tentu harus ada alternatifnya, tetapi masih harus ditemukan.” Maka
9

upaya menangani persoalan ekonomi menjadi penuh ambivalensi, sarat ilusi


dan umumnya gagal menciptakan kelembagaan ekonomi.
Yang diartikan dengan kelembagaan ekonomi adalah norma, prinsip
dan aturan serta lembaga-lembaga yang menetapkan rambu-rambu dan
menjaga agar rambu-rambu itu tidak dilanggar. Kegagalan membangun
kelembagaan ekonomi menyebabkan ekonomi dikelola oleh kemauan orang,
yang menggunakan wewenang karena mempunyai kekuatan politik, karena
memegang senjata, atau karena menduduki jabatan birokrasi yang strategis.
Maka pengelolaan ekonomi terutama ditujukan untuk kepentingan
orang bersangkutan atau kelompoknya dan bukan untuk kepentingan
masyarakat. Alhasil, justru suatu sistim penghisapan yang terbentuk, dan
lebih buruk lagi sebab penghisapan itu dilakukan oleh sesama bangsa
sendiri.
Bila ambivalensi dan ilusi itu dapat dihilangkan, dan suatu sistim
ekonomi liberal diadopsi sepenuh hati, akan segera tampak rambu-rambu
apa yang perlu ditetapkan dan lembaga-lembaga ekonomi apa harus
dibangun untuk menjadi agar rambu-rambu yang ada tidak dilanggar sambil
terus-menerus memperbarui rambu-rambu itu. Sebab kehidupan ekonomi
penuh dengan dinamika, baik karena teknologi dan inovasi, mau pun karena
proses integrasi ekonomi secara regional dan global. Oleh sebab itu,
kebijakan persaingan barangkali memang merupakan bagian integral dari
proses liberalisasi dan globalisasi. Selain itu, suatu sistim pengaman sosial
bisa diciptakan untuk mengatasi dampak negatif dari perubahan ekonomi
dan siklus bisnis.
Liberalisme ekonomi berarti jaminan adanya kebebasan bagi semua
insan ekonomi untuk menentukan sendiri apa yang akan dikonsumsi, apa
yang akan diproduksi, bagaimana memproduksinya, dan untuk
memperdagangkannya. Sistim ini tidak membenarkan bahwa seorang petani
diharuskan menanam suatu komoditi pertanian tertentu dan diharuskan pula
untuk menjualnya kepada orang atau lembaga tertentu. Liberalisme bukan
tanpa aturan. Bahkan aturan dan pengaturan merupakan keharusan yang
10

disepakati bersama. Tanpa aturan dan pengaturan kebebasan seseorang


bisa mengurangi kebebasan orang lain, dan ini bertentangan dengan jiwa
dari liberalisme ekonomi.
Seperti halnya dengan kehamilan, liberalisme ekonomi tidak bisa
setengah-setengah. Liberalisasi ekonomi membebaskan insan ekonomi dari
cengkeraman yang berkuasa. Liberalisasi ekonomi juga tidak bisa
dilaksanakan setengah hati. Bagi ekonomi Indonesia, yang berangkat dari
keadaan yang sangat statis di waktu lalu, proses liberalisasi tidak bisa
dirampungkan dalam semalam. Barangkali memang dibutuhkan suatu
pentahapan (sequencing). Analisa kebijakan ekonomi menganjurkan suatu
urut-urutan liberalisasi atas pertimbangan ekonomi. Pertimbangan ekonomi
politik menyatakan bahwa urut-urutan itu mensyaratkan pula suatu political
conditioning agar liberalisasi itu mungkin dilakukan (feasible). Jadi,
desirability dan feasibility harus bergandengan tangan. Hanya dengan modal
ini liberalisasi bisa dilaksanakan dengan sepenuh hati.
Liberalisasi sepenuh hati mungkin hanya merupakan angan-angan.
Analisa Andrew Rosser (2002) menyangsikan bahwa persyaratan politik dan
sosial bagi liberalisasi sudah terpenuhi di Indonesia. Liberalisasi mungkin
memang akan terjadi terutama karena tekanan-tekanan keadaan, terlepas
dari kenyataan apakah masyarakat telah siap menerimanya atau tidak. Itu
lah mungkin inti cerita liberalisasi ekonomi di Indonesia. Deregulasi ekonomi
yang dilaksanakan sejak pertengahan tahun 1980-an dipaksanakan oleh
keadaan. Berbagai koreksi kebijakan sebelumnya telah diambil untuk
mengatasi kemerosotan dalam daya saing non-migas sebagai akibat dari
Dutch disease karena lonjakan harga minyak. Mata uang didevaluasi secara
tajam pada tahun 1978, 1983 dan 1986. Tetapi dengan tiga devaluasi itu
terlihat bahwa upaya tersebut jauh dari memadai. Yang diperlukan adalah
suatu perubahan struktural, dan untuk itu diperlukan liberalisasi. Karena kata
liberalisasi dianggap kotor, maka digunakan deregulasi yang saat itu lebih
bisa diterima (Sadli, 2002). Tantangan jaman, tantangan dari luar, khususnya
11

globalisasi merupakan dorongan kuat bagi Indonesia untuk terus


melaksanakan liberalisasi.
II. Liberalisme Pembangunan Ekonomi di Indonesia

2.1. Sebelum Reformasi

Masa sebelum Reformasi marupakan suatu masa dimana bangsa


Indonesia dipimpin oleh seorang Presiden yang Otoriter dan bertangan besi,
dimana bangsa ini dipimpinnya selama kurang lebih 32 tahun lamanya. Pada
masa sebelum reformasi atau masa pemerintahan Presiden Soeharto
dengan pemerintahan orde barunya, pembangunan dilakukan disegala lini
dengan fokus utama pada pembangunan sarana dan prasarana
pembangunan yang bisa dinikmati oleh masyarakat luas. Akan tetapi,
pembangunan yang begitu gencarnya tidak didukung oleh sistem
pemerintahan dan kepemimpinan yang memadai, yang berdampak pada
adanya kesenjangan pembangunan antara provinsi, daerah, kota maupun
dengan daerah pedesaan dan pelosok, dan ini timbul sebagai akibat dari
sentralisasi pembangunan yang tidak mengena sampai ke pelosok negeri ini.
Pembangunan yang dilakukan pada masa sebelum reformasi sangat
rentan terhadap KKN dan dibarengi dengan tidak adanya kebebasan
masyarakat atau lembaga lainnya untuk menyuarakan kemaunan atau
ketidak setujuan atau protes dan ketidak puasan mereka terhadap
pemerintah. Tidak adanya kebebasan dan iklim infestasi yang sehat
mengakibatkan kurangnya pemerataan pembangunan, sebagai akibat dari
KKN yang memberi peluang yang sangat besar kepada keluarga, kerabat
dan kroni-kroni dari pemerintah yang berkuasa pada saat itu untuk bisa
menguasai dan melakukan monopoli atas semua aktivitas dan proyek yang
bersangkutan dengan infestasi dan pembangunan Indonesia pada masa itu.
Hal ini kemudian mendorong adanya konglomerasi-konglomerasi yang timbul
dan berasar dari orang-orang atau kalangan terdekat tadi.
12

Kongglomerasi, monopoli dan penguasaan infestasi pembangunan


merupakan hal yang sangat bertentangan dengan semangat liberalisme
pembangunan ekonomi yang menuntut adanya kebebasan dan mengurangi
campurtangan pemerintah, dan memberi kebebasan bagi masyarakat untuk
bisa mengelola aset atau kemampuan yang dimilikinya untuk dapat
berkembang dan berusaha dalam dunia atau iklim bisnis yang sehat. Dengan
demikian maka tentunya daerah daerah pada masa sebelum reformasi akan
susah untuk berkembang terutama daerah-daerah diluar pulau Jawa yang
letaknya jauh dari Jakarta. Dengan adanya kongglomerasi dan monopoli atas
infestasi dan pembangunan tersebut, maka pemerintah atau pengusaha
daerah yang berada didaerah akan sulit untuk mengembangkan dirinya
untuk bisa mengembangkan usahanya atau membangu daerahnya untuk
paling tidak bisa menyamai pembangunan di daerah Pulau Jawa. Dengan
demikian juga dapat kita lihat pada masa itu betul-betul pemimpin dan
pemerintahan berjalan dengan otoriter dan kebijakan-kebijakan
pembangunannya tidak mengena sampai ke pelosok Indonesia tetapi
kebijakan-pembangunan tersebut hanya dinikmati oleh daerah tertentu dan
individu-individu tertentu.
Memang harus kita akui bahwa Indonesia sempat menjadi atau
dijuluki macan Asia yang sangat di segani dikawasan asia tenggara pada
tahun 1996-1997, dimana pada saat itu Indonesia merupakan salah satu
negara tujuan investasi dunia yang cukup menjanjikan. Akan tetapi berjalan
dengan bergulirnya waktu, dibarengi dengan krisis yang melanda Dunia dan
juga Asia, termasuk Indonesia didalamnya, maka hancurlah perekonomian
Indonesia dan sangat terpuruh sehingga mengakibatkan banyaknya infestor
baik dalam maupun luar negeri yang lari ke luar negeri meninggalkan
Indonesia. Dasar ekonomi yang lemah dan tidak kuat sebagai dampak dari
kongglomerasi dan pembangunan yang tidak merata mengakibatkan
runtuhnya kongglomerasi tersebut dan menimbulkan banyaknya penutupan
operasi perusahaan-perusahaan kongglomerasi tersebut dan mengakibatkan
timbulnya banyak pengangguran yang terus meningkat. Kondisi krisis ini
13

mendorong dan memangsa masyarakat dan tokoh-tokoh reformis untuk


meneriakan reformasi dan pembaharuan disemua aspek, dan seperti yang
kita ketahui, dengan adanya keberanian untuk meneriakkan reformasi dan
pembaharuan itu maka runtuhlah pemerintahan yang berkuasa pada saat itu,
dan menurunkan Soeharto dari kursi kepresidenannya.

2.2. Masa Sesudah Reformasi

Pada masa sesudah reformasi, pemerintahan mulai ditata dan


dijalankan sesuai dengan arah dan semangat reformasi, yang menginginkan
adanya perubahan dan pembaharuan disegala bidang dan aspek kehidupan.
Pada awalnya dibentuk Kabinet Reformasi Pembangunan yang
menjalankan tugasnya pada saat negara sedang dilanda krisis ekonomi,
sosial, dan politik. Sebagai bagian dari upaya untuk mengatasi dampak
krisis tersebut, telah dilakukan serangkaian upaya dan langkah yang pada
saat bersamaan juga merupakan upaya untuk mewujudkan demokrasi
ekonomi. Hal yang mendasar dalam kaitan ini adalah upaya untuk
memberdayakan ekonomi rakyat.
Selanjutnya, dalam pelaksanaan demokrasi ekonomi harus
dihindarkan terjadinya penumpukan aset dan pemusatan ekonomi pada
seorang, sekelompok orang atau perusahaan yang tidak sesuai dengan
prinsip keadilan dan pemerataan.
Pemusatan kekuatan ekonomi atau penguasaan aset nasional pada
sekelompok anggota masyarakat tertentu dalam bentuk monopoli dan
oligopoli telah menimbulkan ketimpangan dan kesenjangan sosial ekonomi.
Ketimpangan struktur penguasaan aset ekonomi produktif akhirnya
mengakibatkan terjadinya ketimpangan dalam berbagai aspek kehidupan,
baik sosial, budaya, politik maupun aspek kemasyarakatan lainnya. Oleh
karena itu bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat telah disusun
UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat. Undang-undang yang akan berlaku efektif mulai 5 Maret
14

2000 tersebut pada pokoknya bertujuan untuk mewujudkan iklim usaha yang
kondusif melalui pengaturan persaingan yang sehat, sehingga menjamin
adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha
besar, menengah dan kecil. Untuk mendukung pelaksanaan UU
tersebut, pemerintah membentuk komisi pengawas persaingan usaha,
menyusun petunjuk dan peraturan pelaksanaan serta akan
menyelenggarakan sosialisasi UU. Dalam rangka pengembangan
perekonomian yang kompetitif dan efisien dilakukan berbagai penghapusan
bentuk restriksi perdagangan antara lain penghapusan berbagai bentuk tata
niaga dan hambatan impor bagi barang-barang yang dipergunakan untuk
kegiatan produksi terutama yang bertujuan ekspor. Untuk itu, beberapa
peraturan perundangan yang menghambat efisiensi perekonomian telah
dicabut ataupun disempurnakan, antara lain: Keppres No. 42 tahun 1996
tentang Pembuatan Mobil Nasional; Keppres No. 20 tahun 1992 tentang Tata
Niaga Cengkeh hasil Produksi Dalam Negeri; dan Keppres No. 50 tahun
1995 tentang Badan Urusan Logistik.
Dalam kaitan dengan kekuatan dan peran pelaku ekonomi,
demokrasi ekonomi akan tercermin pada struktur ekonomi nasional yang
lebih seimbang antara usaha dengan berbagai skala. Dalam hal ini
diupayakan agar terwujud pengusaha menengah yang kuat dan besar
jumlahnya, serta terbentuknya keterkaitan dan kemitraan yang saling
menguntungkan antar pelaku ekonomi yang meliputi usaha kecil,
menengah dan koperasi, usaha besar swasta dan Badan Usaha Milik
Negara. Usaha kecil, menengah dan koperasi (UKMK) diberi prioritas dan
dibantu dalam mengembangkan usaha serta segala kepentingan
ekonominya agar dapat mandiri, terutama dalam pemanfaatan sumber
daya alam dan akses kepada sumber dana.
Dalam upaya mempercepat pemulihan dan pertumbuhan ekonomi
nasional, diperlukan penanaman modal asing yang sekaligus diharapkan
dapat menjalin keterkaitan usaha dengan pelaku ekonomi rakyat. Dalam
kaitan ini, untuk mengembalikan kepercayaan dunia usaha ditempuh
15

kebijakan antara lain: penghapusan kewajiban memiliki surat persetujuan


prinsip dalam pelaksanaan realisasi dan rekomendasi dalam permohonan
persetujuan penanaman modal; pelimpahan kewenangan kepada
daerah dalam hal penilaian dokumen AMDAL. Untuk lebih memberikan
kemudahan kepada investor, titik pelayanan perijinan diperbanyak dengan
memberikan kewenangan yang lebih besar kepada BKPMD dan perwakilan
RI di luar negeri. Bagi penanam modal dalam rangka PMDN dapat
mengajukan aplikasi dan memperoleh persetujuan investasi dari BKPMD
atau BKPM tanpa adanya batasan nilai investasi. Demikian juga dalam
rangka PMA, aplikasi dapat diajukan dan mendapatkan persetujuan
investasi di Perwakilan RI di luar negeri atau BKPMD atau BKPM. Dengan
demikian untuk menarik PMA ke Indonesia peran Perwakilan Indonesia di
luar negeri ditingkatkan tidak hanya di bidang promosi namun juga
mencakup pelayanan penerimaan aplikasi dan pemberian persetujuan
PMA. Pihak investor diberikan kebebasan untuk memilih unit pelayanan
sesuai dengan kebutuhannya. Pedoman dalam tatacara penanaman modal
dalam rangka PMA dan PMDN juga disempurnakan. Penanaman modal
juga diberi kelonggaran perpanjangan waktu penyelesaian proyek yang
terhambat akibat adanya krisis ekonomi.
Di bidang ketenagakerjaan, upaya perlindungan hak-hak
pekerja khususnya mengenai kebebasan berserikat dan berorganisasi
dilakukan melalui reformasi peraturan perundang-undangan, termasuk
meratifikasi ketentuan atau konvensi ILO. Pemerintah telah meratifikasi
empat kelompok konvensi ILO yaitu: konvensi tentang kebebasan
berserikat, konvensi tentang larangan kerja paksa, konvensi tentang
larangan diskriminasi, dan konvensi tentang pekerja anak. Selain itu,
dalam upaya memberikan iklim kerja yang lebih baik bagi seluruh
masyarakat, juga diperbaiki Undang-undang ketenagakerjaan, dengan
diterbitkannya UU No. 25/1997 pada waktu itu.
Sejalan dengan semangat reformasi, pada tahun 2001, pemerintah
mengeluarkan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yang mana
16

memberi kebebasan kepada daerah-daerah untuk dapat mengembangkan


dirinya dan membuat kebijakan serta melaksanakan pembangunan
didaerahnya masing-masing. Dengan adanya desentralisasi atau
otonomisasi daerah ini, maka daerah bisa lebih bebas dan leluasa
melakukan pembangunan berdasarkan potensi yang dimilikinya dan tentunya
hal ini lebih terarah dan lebih mengena dan bermanfaat bagi daerah-daerah
tersebut, selain untuk mengejar ketertinggalan pembangunan dari daerah-
daerah yang sudah maju, juga untuk dapat membuktikan dan menyatakan
eksistensi dan jati diri daerah masing-masing untuk nantinya bisa bersaing
dengan sehat dan sama-sama membangun Indonesia tercinta.
Dengan adanya otonomisasi, maka daerah-daerah sudah mulai
sedikit demi sedikit membangun daerahnya dan bangkit dari ketertinggalan
dan keterpurukan pembangunan dan ekonomi. Sejalan dengan ini, bangsa
Indonesia sedikit demi sedikit juga mulai terlebas dari belenggu krisis multi
dimensi termasuk krisis ekonomi, maka bangsa Indonesia mulai menjalankan
dan menegakkan demokrasi dengan memberikan kebebasan bagi
masyarakatnya untuk dapat memilih sendiri anggota DPR/MPR dan juga
Presiden secara langsung dengan diadakannya PEMILU yang sangat bebas
dan demokratis. Dengan terpilihnya anggota DPR/MPR dan Presiden yang
demokratis, maka demokratisasi yang juga melambangkan liberalisme dalam
menentukan sikap dan pilihan sudah terjadi dan diharapkan bisa terus
dipertahankan dan bahwa diusahakan lebih demokratis lagi.
Dengan adanya pemerintahan yang demokratis, maka tentunya tida
ada satu pihak atau kalangan tertentu yang berkuasa atau memerintah serta
membuat peraturan sesuai kemaunnya sendiri. Pemerintahan yang
demokratis memberikan kesempatan dan kebebasan untuk mayarakat dan
kalangan dunia usaha untuk dapat mengembangan dirinya dan usahanya
kearah atau sesuai dengan bidangnya masing-masing, tetapi tentunya harus
mematuhi hukum danperuntdangan yang berlaku. Dengan adanya
demokratisasi ini, maka sangat membuka peluang untuk terciptanya iklim
17

bisnis dan usaha yang kondusif yang bisa menjadi peluang kita untuk
meningkatkan perekonomian bangsa ini.
Dengan adanya peningkatan derajat ekonomi dan pembangunan,
maka akan membuka peluang bagi peningkatan permintaan demokrasi yang
besar dari masyarakat, dengan harapan pemerintahan yang lebih demokratis
akan lebih dapat meningkatkan pembangunan ekonomi menuju suatu kondisi
ekonomi dan pembangunan yang lebih baik lagi.
18

III. Liberalisme Ekonomi Perdagangan dan Globalisasi.

3.1. Liberalisasi Ekonomi dan Perdagangan

Kebijakan Persaingan (competition policy) kini sudah menjadi agenda


internasional. Terdapat desakan kuat agar aturan main yang diterapkan
dalam berbagai ekonomi menjamin terjadinya persaingan yang sehat, yaitu
terjadinya level playing field, di mana aturan yang sama dikenakan pada
semua pemain. Desakan serupa ini timbul karena proses globalisasi. Bahkan
dengan semakin maraknya international mergers and acquisition (M&A) lahir
usulan untuk merumuskan dan menerapkan suatu international competition
policy, sebab dikhawatirkan bahwa kebijakan nasional di bidang persaingan
tidak dapat mengatasi persoalan oligopoli di pasar internasional yang
diakibatkan oleh proses M&A itu.
Merumuskan dan menerapkan kebijakan persaingan bukan sesuatu
yang mudah. Indonesia merupakan salah satu dari sejumlah kecil negara
berkembang yang menerapkan kebijakan persaingan. Penerapan ini
merupakan bagian dari program reformasi ekonomi yang digariskan dalam
program pemulihan ekonomi yang didukung oleh IMF.
Perdebatan mengenai perlu tidaknya Indonesia mempunyai kebijakan
persaingan sudah lewat. Barangkali persoalannya terletak pada
penyempurnaannya dan kemampuan untuk melaksanakannya
(enforcement). Namun yang menarik untuk diketahui adalah bahwa ketika
persoalan kebijakan persaingan ini mulai dibicarakan di Indonesia ada
pendapat bahwa barangkali jalan yang lebih mudah untuk menciptakan iklim
persaingan di dalam negeri adalah dengan membuka (meliberalisasi) pasar.
Sebab sebagian terbesar masalah persaingan terjadi karena sejumlah
19

industri (atau perusahaan) memperoleh perlakuan khusus, dan umumnya


perlakuan khusus ini berbentuk proteksi terhadap persaingan impor atau
membatasi entry ke dalam industri yang bersangkutan. Maka langkah
pertama yang perlu diambil oleh Indonesia adalah melanjutkan liberalisasi
perdagangan dan investasi. Bila upaya ini dilakukan secara konsisten maka
penerapan kebijakan persaingan bisa dilaksanakan di kemudian hari.
Selain itu, kebijakan liberalisasi perdagangan (dan investasi) juga
dilihat sebagai cara untuk meningkatkan daya saing ekonomi. Peningkatan
daya saing suatu ekonomi bisa dilakukan melalui berbagai cara. Ada
pemikiran yang mengatakan bahwa sebenarnya peningkatan daya saing
terutama merupakan tantangan bagi masing-masing perusahaan dan upaya
yang dilakukan haruslah pada tingkat perusahaan. Kerjasama internasional,
misalnya dengan membentuk suatu aliansi strategis (strategic alliance),
merupakan salah satu cara yang kini banyak dilakukan, terutama antara
perusahaan-perusahaan dari negara-negara maju. Tetapi berbagai bentuk
kerjasama internasional juga dilakukan pada tingkat negara (ekonomi) untuk
meningkatkan daya saing, artinya meningkatkan kemampuan penetrasi
pasar. Pembentukan kawasan perdagangan bebas (free trade area -- FTA)
seringkali dilihat sebagai upaya untuk saling meningkatkan akses pasar di
antara pesertanya. Kini terdapat kecenderungan pembentukan kesepakatan
perdagangan bebas secara bilateral, tetapi kesepakatan serupa ini
sebenarnya tidak meningkatkan daya saing melainkan mendapatkan
perlakuan khusus dalam akses pasar. Perlakuan khusus ini jelas-jelas
merugikan negara lain karena menimbulkan apa yang disebut sebagai trade
diversion. Perlu kiranya dicatat pula bahwa dalam banyak kesepakatan (FTA)
bilateral atau regional terdapat klausul mengenai persaingan dan kebijakan
persaingan.
Berbagai kajian menunjukkan bahwa bagi negara berkembang, kunci
utama untuk melakukan penetrasi pasar adalah daya saing harga. Hal ini
merupakan kenyataan yang sulit dibantah, dan mungkin telah menjadi suatu
“kebenaran”. Maka upaya nasional maupun internasional untuk
20

meningkatkan daya saing, sesedikitnya pada tahap permulaan hingga


kehadiran di suatu pasar menjadi cukup mapan, adalah dengan
mempertajam daya saing harga produk. Negara-negara ASEAN bersepakat
untuk membentuk kawasan perdagangan bebas, AFTA (ASEAN Free Trade
Area), dengan tujuan untuk meningkatkan daya saing kawasan secara
keseluruhan di pasar dunia. Langkah ini merupakan jawaban kawasan
terhadap tantangan globalisasi.
Indonesia sangat terlibat dalam upaya regional ini dan berbagai
prakarsa regionalisasi lain, dan barangkali keterlibatan ini dapat
membantunya mempertahankan momentum liberalisasi yang seringkali
menghadapi tentangan besar di dalam negeri, baik karena mengganggu
kepentingan kelompok usaha tertentu maupun karena salah kaprah dalam
pemikiran.

3.2. Lberalisasi Ekonomi dan Globalisasi

Globalisasi sendiri adalah sesuatu yang menakutkan. Ada


kemungkinan, “globaphobia” itu terutama disebabkan oleh karena globalisasi
telah dijadikan kambing hitam. Pejabat pemerintah dan kalangan politisi
menggunakan globalisasi sebagai alasan untuk menutupi ketidakmampuan
mereka dalam mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat. Hal
ini tidak hanya terjadi di negara berkembang tetapi juga di negara maju.
Dalam kurun waktu beberapa tahun ini banyak yang telah terjadi, di
dunia, di kawasan Asia, dan di Indonesia sendiri. Pada tingkat global dan
regional proses integrasi telah semakin laju. Yang melintasi batas-batas
negara bukan hanya arus barang dan jasa, orang, uang dan modal, tetapi
juga teknologi, informasi, dan bahkan juga gagasan. Dunia telah menjadi
satu. Kesemua jenis arus itu sulit dibendung masuk atau keluar. Kemajuan
teknologi bisa mengatasi hambatan-hambatan dalam perdagangan. Dan
memang, hambatan-hambatan itu sendiri sudah semakin dikurangi. Semua
21

ekonomi membuka diri, ada yang cepat dan ada yang lebih lambat
melakukannya.
Dampak positif dari globalisasi umumnya tidak diberitakan. Sementara
itu dampak negatifnya biasanya menjadi berita besar. Para demonstran di
Seattle untuk menantang pertemuan WTO bertujuan untuk mewartakan
dampak negatif yang besar dari globalisasi terhadap lingkungan, kura-kura,
hak azasi manusia, dan pekerja anak.
Dalam globalisasi ada yang diuntungkan dan ada yang dirugikan.
Dengan perkataan lain, ada yang menang dan ada yang kalah. Yang
dirugikan dan kalah biasanya berteriak keras. Ada kalanya kekalahan ini
dirasakan oleh seluruh industri yang berada di suatu daerah, misalnya
industri tenun di Majalengka. Tentu saja dampak ini sangat tampak. Pihak
yang diuntungkan dan menang biasanya sangat tersebar, tidak
terkonsentrasi, dan seringkali tidak tahu bahwa keuntungan itu diperoleh dari
globalisasi.
Bagi dunia dan kawasan Asia, on balance, barangkali keuntungan
yang diperoleh dari globalisasi lebih besar daripada kerugian. Bagi kawasan
Afrika keadaannya adalah yang sebaliknya. Di Asia pun masih ada kantong-
kantong kemiskinan, tetapi secara rata-rata tingkat kesejahteraan
masyarakat di Asia telah mengalami peningkatan yang pesat.
Bila demikian, pemanfaatan globalisasi harus diikuti oleh upaya untuk
mengatasi dampak negatif dari globalisasi secara sadar dan terarah. Dalam
kaitan ini orang berbicara mengenai sustainable globalization, yaitu
globalisasi yang berkelanjutan. Artinya, globalisasi dapat terus berlanjut
karena didukung oleh semua. Antara lain, hal ini dapat dilakukan dengan
merentangkan suatu jaring pengaman. Tetapi di samping tindakan yang
bersifat “defensif” itu agenda utama bagi suatu masyarakat untuk mengambil
bagian dalam globalisasi adalah upaya untuk terus menerus
mengembangkan sumber daya manusianya (SDM). Dalam hubungan ini
orang berbicara tentang globalization from below.
22

Tetapi yang paling pokok adalah perlunya re-orientasi dalam


wawasan. Pembangunan nasional atau pembangunan bangsa bukan
sesuatu yang bersifat agregatif tetapi pembangunan bagi manusianya.
Keamanan (security) bukan lagi hanya masalah negara (state security) tetapi
keamanan bagi manusianya (human security).
Globalisasi tidak lah harus dirasakan sebagai sesuatu yang
menakutkan. Kita tidak bisa terus menerus hidup dalam ketakutan sebagai
globalisasi akan terus berlanjut. Globalisasi merupakan tantangan, yaitu
tantangan untuk merubah orientasi. Ini bukan tantangan mudah, tetapi ia
seharusnya berada dalam kendali manusia. Kini telah berkembang ekonomi
baru (the new economy) tetapi politik yang dilaksanakan tetap saja masih
kuno. Itu lah yang harus berubah. Salah satu pencerminan dan manifestasi
dari perubahan ini akan terlihat dalam perbaikan penadbiran (governance)
yang kini masih sangat buruk.
Globalisasi bukan suatu gejala baru. Dunia telah mengalami berbagai
gelombang globalisasi. Di lihat dari segi ini, dunia telah menunjukkan
kemampuan untuk mengatasinya. Biarpun demikian, proses globalisasi
memang tidak dapat dianggap enteng. Bahkan di negara-negara maju dan
masyarakat yang sudah maju kini dicari jalan untuk dapat mengatasi
globalisasi baru (new globalism) yang ditandai oleh meningkatnya peran dan
pengaruh dari pasar finansial internasional.
Yang menarik untuk diperhatikan adalah bahwa di Asia Tenggara yang
menjadi ujung tombak globalisasi bukanlah dunia usahanya. Tetapi,
pemrakarsa dan promotor globalisasi ekonomi adalah pemerintahnya.
Adalah pemerintah di negara-negara ini yang menerapkan kebijakan untuk
mengintegrasikan ekonominya ke dalam ekonomu dunia, semula melalui
kebijakan pembangunan yang berorientasi ekspor yang didukung oleh
kebijakan untuk menarik masuk PMA. Secara bertahap mereka juga
membuka pasar dalam negerinya. Ini merupakan cerita lama yang tidak perlu
dielaborasi di sini. Yang seringkali dilupakan adalah bahwa kebijakan
globalisasi ini dijalankan seiring dengan kebijakan untuk menggalang
23

kerjasama ekonomi regional. Kebijaksanaan ini didasarkan pada kejakinan


bahwa setiap negara akan mendapatkan hasil yang lebih baik apabila
melakukan integrasi ekonomi ini secara bersama-sama daripada
melakukannya secara sendiri-sendiri. Itulah sebabnya regionalisme ekonomi
di Asia Tenggara berorientasi ke luar. Oleh karena pola perdagangan negara-
negara Asia Tenggara lebih bersifat ekstra-regional dan hanya seperlimanya
merupakan perdagangan intra-regional, maka tidak mengherankan mengapa
mereka menganut konsep “regionalisme terbuka” atau open regionalism.
Negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, telah
melaksanakan globalisasi ekonomi dengan melakukan liberalisasi ekonomi,
masing-masing menurut kecepatan yang berbeda dengan memperhitungkan
komitmen mereka dalam WTO, APEC atau AFTA. Tentu saja implementasi
dari kebijakan ini tidaklah selalu berjalan mulus. Di setiap negara selalu
terdapat kelompok kepentingan yang menentang liberalisasi. Di banyak
negara kelompok kepentingan yang kuat biasanya adalah mereka yang
mempunyai hubungan dekat dengan pemerintah. Ketika crony capitalism dan
KKN mulai menyelinap masuk, maka tentangan terhadap liberalisasi itu
semakin kuat dan semakin sulit untuk dikalahkan. Suatu negara disebut
sebagai effective state bila dapat menahan tekanan-tekanan dari kelompok
kepentingan itu. Kerjasama regional menjadi penting artinya bila dapat
membantu membendung tekanan-tekanan dari kelompok-kelompok
kepentingan tersebut. Sementara itu, kelompok yang lemah dan
termarginalisasi dalam masyarakat umumnya tidak bisa meneriakkan
kepentingan mereka dan tidak mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi
kebijakan pemerintah.
Sebagai pemrakarsa dan promotor kebijakan globalisasi, pemerintah
di kebanyakan negara Asia Tenggara memberikan perhatian pada
penyesuaian tahap pertama saja. Penyesuaian tahap pertama ini
menyangkut proses dan upaya membuka ekonomi melalui suatu pentahapan
(sequencing) dari liberalisasi dengan tujuan untuk meningkatkan daya saing
internasionalnya. Penyesuaian ini melibatkan kebijakan yang ditujukan untuk
24

meningkatkan daya tarik ekonomi yang bersangkutan sebagai tempat


produksi bagi pasar global.
Hingga terjadi krisis finansial di kawasan kita ini umumnya dianggap
bahwa negara-negara Asia Tenggara cukup berhasil dalam melaksanakan
penyesuaian tahap pertama ini. Tetapi mereka belum dianggap berhasil
melakukan penyesuaian tahap kedua, yaitu untuk mengatasi dampak
perubahan ekonomi, sosial dan politik dari pembukaan ekonomi, yang juga
berpengaruh atas persepsi tentang dan keadaan keamanan pada berbagai
tingkatan: individual, kelompok masyarakat, bangsa, dan kawasan yang lebih
luas. Namun demikian, kelambatan dan kekurangan dalam melakukan
penyesuaian tahap kedua itu kurang diperhatikan berhubung ekonomi
mengalami pertumbuhan yang tinggi. Krisis finansial ini telah berguna untuk
membuka mata kita mengenai kelemahan dalam kebijakan pembangunan.
Persoalan globalisasi adalah persoalan yang rumit. Tetapi justru oleh
karena itu globalisasi harus ditangani. Kita tidak dapat mengambil sikap
menentang globalisasi kecuali bila kita mempunyai kekuatan, atau dapat
mengembangkan kekuatan, untuk menghentikannya. Ada kemungkinan
proses globalisasi dapat diperlambat atau bahkan dihentikan bila sejumlah
negara di dunia sepakat untuk melakukannya, yaitu bila dapat dicapai
persetujuan untuk membuka ekonomi mereka secara terbatas saja.
Pembukaan terbatas ini tidak hanya berlaku untuk arus barang dan jasa
serta modal dan keuangan tetapi juga arus manusia, teknologi dan informasi
serta gagasan baru.
Kesepakatan internasional untuk membuka ekonomi secara terbatas
tampaknya sulit akan dicapai. Ukuran batas-batas tidak dapat dirumuskan
dengan jelas dan perundingan untuk itu akan memakan waktu lama. Ada
negara-negara yang melihat dan merasakan keuntungan besar dari
globalisasi, tetapi bagi sejumlah negara lain globalisasi dinilai sebagai
ancaman. Maka masing-masing negara harus menentukan sendiri apa yang
akan dilakukan, yaitu bagaimana dan berapa cepat membuka ekonomi
25

secara bertahap dan terencana. Inilah esensi dari penanganan globalisasi


yang perlu dirumuskan dalam suatu “strategi globalisasi”.
Pada tahun 1980an yang lalu Indonesia dan negara-negara ASEAN
menyikapi perkembangan internasional, khususnya ekonomi internasional,
dengan menerapkan suatu strategi globalisasi. Dalam hubungan ini yang
pertama-tama dilakukan adalah penyesuaian ekonomi, yaitu dengan
menerapkan deregulasi dan liberalisasi, untuk dapat memanfaatkan peluang-
peluang yang diberikan oleh pasar dunia. Strategi globalisasi ini adalah
strategi untuk melakukan integrasi ke dalam ekonomi dunia. Dalam waktu
yang singkat negara-negara ini mengalami peningkatan yang pesat dalam
“indeks integrasi” mereka. Indeks integrasi ini mencerminkan besarnya nilai
perdagangan internasional terhadap kegiatan ekonomi (PDB atau produk
domestik bruto), bagian dari ekspor barang manufaktur dalam keseluruhan
ekspor, besarnya penanaman modal asing (PMA) terhadap PDB, dan
kemampuan negara tersebut menarik modal dari luar (selain PMA).
26

DAFTAR PUSTAKA

1. Rahardjo Adisasmita, 2008, Ekonomi Politik, Universitas Hasanuddin,


Makasar.
2. Rahardjo Adisasmita, 2008, Ekonomi Finansial Global, Universitas
Hasanuddin, Makasar.
3. www.bapenas.go.id
4. www.csis.or.id
5. www.ekonomirakyat.org
6. www.fiskal.depkeu.go.id
7. www.jurnal-ekonomi.org
8. www.plato.stanford.ude
9. www.sinarharapan.org
10. id.wikipedia.org
11. en.wikipedia.org

You might also like