You are on page 1of 2

PERAN PBB TERHADAP TERORISME INTERNASIONAL Anomali PBB dalam Memerangi Terorisme

SEJAK genderang perang melawan terorisme internasionl yang dilancarkan AS, pasca-Tragedi WTC 11 September 2001, banyak anomali dimainkan oleh lembaga pencipta perdamaian Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) yang berulang tahun ke-57 pada hari ini. PBB (United Nation Organization) yang berdiri setelah Perang Dunia II berakhir ternyata dalam praktiknya tidak bisa berbuat adil untuk semua negara angggota yang sekarang ini berjumlah 192, dengan masuknya Swiss sebagai anggota terbaru. Bila dinilai prestasi PBB, maka lembaga internasional ini hanya mampu mencegah perang berskala besar, tetapi tidak mampu mencegah perang berskala kecil yang sporadis. Sedangkan Dewan Keamanan (DK) PBB yang diharapkan menjadi ujung tombak bagi upaya menciptakan dunia yang bebas konflik, malahan menjadi alat negara-negara besar (anggota tetap DK) untuk memaksimalkan national interest masing-masing. Hal inilah yang menjadi permasalahan mengapa PBB tidak bisa berkerja optimal. Bagi PBB Tragedi WTC, Tragedi Bali 12 Oktober 2002, dan serangan teroris lainnya adalah sebuah pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Sebab, para teroris sekarang telah menjadikan masyarakat sipil sebagai target operasi mereka. Akan tetapi, peran PBB yang mengeluarkan beberapa resolusi untuk memerangi terorisme internasional ternyata bias dan tidak bisa berjalan efektif. Hal ini menjadi anomali PBB dalam memerangi terorisme internasional yang akhir-akhir ini membuat dunia tegang. Anomali Setidaknya ada lima faktor penyebab mengapa terjadi anomali peran yang dijalankan PBB dalam misi memerangi terorisme internasional. Pertama, PBB hanya memerangi teroris yang dilakukan organisasi nonstate, teroris skala kecil. Sedangkan teroris yang dimainkan negara (state terrorism) jauh lebih berbahaya bagi perdamaian dunia. Padahal timbulnya baik teroris lokal maupun internasional lebih banyak dipicu oleh perilaku state terrorist yang sering memaksakan kehendak dan kepentingannya terhadap negara-negara kecil, kelompok, organisasi, dan negara berkembang serta kelompok keagamaan yang memunyai pandangan berbeda tentang tata dunia baru. Kedua, donimannya AS dan negara-negara Barat dalam tubuh PBB, terutama di DK PBB, menjadikan lembaga ini seakan-akan milik AS dan sekutunya. Sejak perang dingin berakhir pada 1990-an, AS mampu mengendalikan PBB. Sedangkan Rusia dan RRC yang diharapkan memainkan peran mengimbangi sikap AS yang progresif, ternyata lebih suka absen jika AS memaksakan kehendaknya. Lihat AS yang tidak melakukan tindakan militer terhadap Israel yang terus memburu para pejuang Palestina. Padahal bila dikaji lebih dalam Israel-anak emas AS di Timur Tengah-adalah negara sponsor utama terorisme dan antidemokrasi. Ketiga, adanya DK PBB yang memunyai anggota tetap lima negara dengan Hak vetonya merupakan sebuah sistem yang dirancang pasca-PD II, adalah sebuah kelemahan utama lembaga internasional terbesar ini ketika tantangan dan perubahan dunia telah lebih kompleks dan bervariasi. Keempat, tidak mandirinya PBB, telah mengakibatkan lembaga internasional yang bermarkas di New York ini menjadi tidak independen lagi. Ingat 75% dana operasional untuk menggerakkan PBB adalah dana sumbanan AS. Jadi adalah wajar bila AS sangat menguasai lembaga ini. Kelima, tidak ada wakil negara-negara Islam dan negara-negara berkembang di DK PBB telah menjadikan bias setiap policy PBB. Umat Islam yang berjumlah lebih dari satu miliar di muka bumi adalah sebuah contoh tidak berimbangnya akomodasi PBB. Hal ini juga dirasakan oleh umat lainnya. Jika PBB ingin tetap bewibawa di mata anggotanya maka ide restrukturisasi dan demokratisasi lembaga ini harus segera diwujudkan. Jika tidak, aksi terorisme sebagai menifestasi dan sikap politik orang frustasi akan menghantui PBB dan dunia internasional.

Restrukturisasi dan demokratisasi


PBB sebagai organisasi internasional diharapkan mampu membawa dunia tidak terjebak dalam perang berkepanjangan serta mampu menjadikan dunia lebih adil, makmur, dan tidak adanya bangsa, suku yang masih hidup dalam alam penjajahan. DK PBB yang seharusnya bertanggung jawab atas perdamaian dunia ternyata telah dikuasai satu negara. Memang ada lima anggota tetap DK PBB (AS, Rusia, Inggris, Prancis, dan RRC), akan tetapi para anggota tersebut mulai mementingkan negaranya sendiri daripada negara-negara yang baru merdeka.

AS sebagai negara adidaya tunggal dan tempat markas PBB ternyata mempunyai pengaruh yang sangat luar biasa. Sehingga dalam setiap keputusan politik, terutama yang menyangkut keamanan internasional, AS selalu mengatasnamakan PBB. Misalnya bagaimana PBB memberikan restu kepada AS untuk melakukan sanksi baik yang bersifat ekonomi, politik, maupun militer terhadap Irak. Begitu juga kebijakan AS yang pro-Israel, akhirnya mendapatkan restu PBB. Ada lima strategi jangka panjang untuk membebaskan PBB dari sandera AS. Pertama, perlu membangan anggota Dewan Keamanan tetap, sehingga negara-negara dunia ketiga, dunia Islam, wakil dari Afrika dan Amerika Latin memunyai posisi yang cukup kuat dalam menyuarakan aspirasinya. Kedua, untuk menjaga independensi PBB, maka markas PBB yang berada di New York , AS , dipindah ke negara yang netral. Sebab dengan bermarkas di salah satu negara bagian AS, maka AS akan dengan mudah menguasai PBB. Berdasarkan bukti di lapangan para karyawan PBB sekarang ini, 75% adalah warga AS. Ketiga, penghilangan hak veto bagi anggota tetap DK PBB. Hak veto yang dirancang untuk melakukan gerak cepat dalam melakukan aksi terhadap Negara tertentu yang melanggar kesepakatan internasional ternyata tidak produktif. Sebab, negara-negara yang memunyai hak veto sering menggunakannya Ketika negara sendiri dan sekutunya melanggar hukum, norma, dan kesepakatan internasional. Keempat, perlunya penambahan anggota dewan keamanan tidak tetap yang selama ini hanya sepuluh negara. Jika anggota dewan keamanan tidak tetap ditambah menjadi lima belas atau dua puluh, maka proses pembuatan keputusan politik keamanan, militer dalam sidang DK PBB bisa lebih objektif dan benar-benar untuk masa depan dunia ke arah yang lebih baik. Kelima, perlunya kampanye internasional tentang pembentukan tata dunia baru yang sesuai dengan tuntutan zaman. PBB sebagai manifestasi tata dunia hasil Perang Dunia II, sekarang sudah tidak mampu memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat internasional. Oleh karena itu, PBB harus direformasi sehingga lembaga ini tetap berwibawa di mata anggotanya baik itu berasal dari negara-negara maju, Eropa, Asia , Afrika, Amerika Selatan.

Sikap AS
Sebagai negara pemenang dalam perang dingin, AS sekarang ini adalah negara adidaya (superpower) tunggal, yang seakan-akan bebas melakukan apa saja terhadap negara lain. Seruan AS terhadap dunia internasional untuk memerangi terorisme sejak Tragedi WTC lebih banyak bermuatan politik dan ekonomi daripada menyebarkan nilainilai HAM, dan demokrasi. Bagi AS terorisme internasional yang identik dengan gerakan Islam fundamental yang menentang dominasi Barat adalah sebuah kesalahan yang fatal di mata umat Islam di seluruh penjuru dunia. Sebab, Islam adalah agama perdamaian, menentang kekerasan, dan ingin membangun dunia sebagai tempat yang nyaman, damai bagi manusia dari berbagai bangsa. Apalagi pola hubungan konflik yang dikedepankan AS akhir-akhir ini Menambah permasalahan global dan membawa dunia ke arah perang baru. Akan tetapi AS tidak menyadari, bahwa masyarakat internasional sekarang ini sudah mulai curiga di balik kampanye AS tentang HAM, demokrasi ke seluruh dunia. AS selalu mengaku pelindung, penyebar, dan pengabdi demokrasi dan HAM, Akan tetapi praktik politik luar negeri AS, terutama di masa pemerintahan George Walker Bush sudah tidak sejalan dengan nilai-nilai demokrasi. Sikap AS yang ingin menyerang Irak, menuduh Kuba, Korut, dan Iran sebagai poros setan adalah bukti AS sekarang ini sudah tidak menghargai demokrasi yang berinti kepada bagaimana kita bisa menghargai pendapat, dan pandangan orang dan bangsa lain. Setelah perang dingin usai, AS telah menggunakan lembaga-lembaga internasional dan regional sebagai alat untuk memaksimalkan kepentingan nasional bangsa AS. Lihat bagaimana dominasinya AS di DK PBB, IMF, NATO, APEC adalah bukti bahwa Negara Paman Sam tersebut telah menggunakan lembaga-lembaga internasional sebagai alat untuk kepentingan pribadi. Oleh karena itu, mulai sekarang ini harus diadakan kampanye di dunia internasional untuk reformasi PBB, IMF, World Bank, IMF, APEC, sehingga organisasi yang memunyai visi terhadap kemajuan bersama negara-negara di dunia tersebut tidak berjalan melenceng dari rel yang telah ditetapkan. Bila hal ini tidak dilakukan mungkin jangan berharap dunia yang kita huni bersama ini bisa bebas dari teror dan ancaman perang.

You might also like