You are on page 1of 3

Pengajaran Bahasa Inggris di SD Oleh: Djuwari Dosen STIE Perbanas Surabaya Jika dilihat di pasaran atau toko-toko buku,

maka sudah banyak terbitan buku bahasa Inggris untuk SD. Tidak semua guru Bahasa Inggris di SD memahami mana buku yang baik untuk dipakai pegangan siswa-siswinya. Ini bisa dilihat misalnya kesalahan tata bahasa, ejaan, dan bahkan gambar-gambar yang cenderung ambigius, memiliki lebih dari satu interpretasi. Ini terjadi khusus buku yang tidak berwarna. Celakanya soal ujian SD yang dibuat dinas pendidikan secara sentral di tingkat kabupaten masih berkualitas buruk. Jika diamati sejarah proses pengajaran Bahasa Inggris di sekolah-sekolah memang mempunyai cerita tersendiri. Masuknya bahasa Inggris dalam kurikulum sekolah awalnya dimulai di Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA). Belum tuntas permasalahan keberhasilan pengajaran bahasa Inggris di sekolah lanjutan tersebut, kini bahasa tersebut sudah diajarkan di Sekolah Dasar (SD). Sejarah masuknya mata pelajaran bahasa Inggris dalam kurikulun SD mengalami jalan terjal. Dari pihak birokrat di jaman Orde Baru, keberatannya adalah faktor jiwa anak. Pada usia dini, jika sudah diajarkan bahasa bahasa Inggris maka anak akan menjadi kebarat-baratan. Di samping itu, anak baru tahap mulai menguasai bahasa Indonesia akan terkendala dengan bahasa asing. Pada tahun 1993, seminar internasional TEFLIN (Teachers of English as Foreign Language in Indonesia) diadakan di IKIP Padang. Saat itu terjadi perdebatan para ahli bahasa. Kelompok yang kontra menyatakan, bahwa Bahasa Inggris tidak bisa diajarkan di SD karena faktor jiwa anak pada taraf penguasaan bahasa nasional. Mereka juga beralasan, bahwa belum ada kesiapan penyediaan tenaga pendidik dan sarana penunjang. Jika dipaksakan, maka akan membahayakan anak. Mengajar Bahasa Inggris pada anak usia dini itu lebih riskan jika tidak dengan proses pengajaran yang benar. Kelompok yang pro mengatakan, bahwa Bahasa Inggris akan lebih baik jika diajarkan sejak umur dini. Dalam teori psikolinguistik dinyatakan, bahwa anak usia dini justru akan lebih mudah belajar bahasa asing dibanding orang yang sudah dewasa khususnya sebelum proses lateralization (proses pembelahan fungsi otak kiri dan kanan). Tentang pembelahan fungsi otak tersebut, ada yang berpendapat dimulai umur 13 tahun tapi ada juga berpendapat pada usia lima tahun. Bagi orang dewasa dikatakan lebih sulit karena mereka sudah terinternalisasi sistem bahasa pertama (bahasa ibu). Mereka merujuk juga pendapat Kreshen (1981), tentang input hypothesis, bahwa sistem bahasa pertama cenderung berpengaruh pada proses pemerolehan bahasa asing. Tetapi kedua kubu tersebut sama sama memahami, bahwa Bahasa Inggris eksistensinya sangat penting. Ini bisa dirasakan jika terkait dengan keperluan berbagai referensi buku ilmu pengetahuan dan deplomasi internasional. Mereka juga sepakat, bahwa mengajarkan bahasa Inggris sebagai bahasa asing pada anak usia dini butuh perhatian yang lebih serius. Harus ada tenaga pengajar yang mumpuni dan kondisi sekolah yang baik terkait pengajaran bahasa asing.

Tentang persediaan tanaga pengajar, maka disadari bahwa untuk di SMP dan SMA saja masih belum tentu terpenuhi secara nasional. Oleh karena itu, Bahasa Inggris di SD jelas belum ada paparan pemenuhan persyaratan sebagaimana pengajaran bahasa Inggris untuk usia dini. Tampaknya ada kesan, bahasa Inggris di SD sekadar gengsi. Dengan memberikan materi bahasa Inggris di SD itu sudah dianggap mengikuti tuntutan jaman. Perlu diingat, bahwa mengajarkan ilmu pada anak usia dini sangat riskan jika semua persyaratan yang mendasar tidak dipenuhi. Perhatian Dinas Pendidikan Dinas pendidikan (dindik) yang terkait dengan kurikulum harus cermat. Lihat di lapangan agar didapat masukan untuk dijadikan bahan pertimbangan pembuatan kebijakan. Sudahkah guru-guru Bahasa Inggris di SD memberikan materi dan mengelola kelas dalam PBM sesuai dengan tuntutan persyaratan pengajaran bahasa Inggris? Jika dilihat di pasaran atau toko-toko buku, maka sudah banyak terbitan buku bahasa Inggris untuk SD. Tidak semua guru Bahasa Inggris di SD memahami mana buku yang baik untuk dipakai pegangan siswa-siswinya. Ini bisa dilihat misalnya kesalahan tata bahasa, ejaan, dan bahkan gambar-gambar yang cenderung ambigius, memiliki lebih dari satu interpretasi. Ini terjadi khusus buku yang tidak berwarna. Celakanya soal ujian SD yang dibuat dinas pendidikan secara sentral di tingkat kabupaten masih berkualitas buruk. Teks bacaan Bahasa Inggris SD kelas empat dalam soal Ulangan Akhir Semester masih ada kesalahan tatabahasa dan bahkan ejaan. Khusus tentang pilihan ganda, siswa disuruh memilih satu jawaban sesuai gambar tapi membingungkan. Ini karena kertas ulangannya adalah hitam putih. Gambar pemadam kebakaran, misalnya, karena berwarna hitam putih, maka api yang menjilat terlihat seperti gambar rumput/tanaman bunga. Di sampingnya, ada seorang pemadam kebakaran membawa semprotan tapi tampak seperti gunting. Maka jika ditebak, bisa saja siswa menjawab tukang kebun. Padahal kunci jawaban adalah pemadam kebakaran (fireman). Gambar hitam putih terkesan diambil hanya fotokopi dari berbagai buku. Ini mengindikasikan tidak adanya perencanaan pembuatan soal yang matang. Seharusnya ada kisi-kisi, kemudian ranah atau domain menyangkut kemampuan apa yang harus diukur. Tampak belum adanya tim pengawas atau reviewer yang memahami teknik pembuatan alat tes (language testing). Intinya, buku untuk siswa sekadar borong saja dan bukanya diamati mutu penulisan materi dan tesnya. Oleh karena itu, jangan heran kalau banyak dijumpai dalam sebuah buku materi pelajaran Bahasa Inggris terdapat kesalahan tatabahasa dan ejaan. Padahal ada buku Bahasa Inggris berwarna yang ditulis secara profesional dengan ilustrasi gambar berwarna sehinga membantu interpretasi anak . Kondisi seperti ini bisa saja guru hanya memilih buku yang harganya lebih murah dan tentunya sudah kesepakatan dengan penerbitnya. Ternyata, yang dikhawatirkan oleh para ilmuwan bahasa lima belas tahun yang lalu sekarang menjadi kenyataan, yaitu belum siapnya tenaga dan sarana prasarana PBM di sekolah. Jika bahasa Inggris diberikan pada anak usian dini/ siswa SD dengan kondisi yang

memprihatinkan, jelas cenderung meracuni karena akan terjadi proses penanaman konsep bahasa yang salah (fosilization). Khusus di daerah, sebaiknya bahasa Inggris di SD dijadikan ekstra kurikuler saja, misalnya kegiatan percakapan (conversation). Jika tidak, maka konsekuensinya dengan penyediaan tenaga pengajar yang berkualitas. Seragamkan saja buku Bahasa Inggris SD karena ujiannya secara sentral oleh dinas pendidikan di setiap kabupaten. Dindik harus menyediakan buku gratis yang ditulis oleh penulis profesional yang berkualitas baik dengan ilustrasinya gambar berwarna. Berilah guruguru bahasa Inggris pelatihan pembuatan alat tes dan penulisan teks bahasa Inggris yang baik untuk siswa SD. Menanamkan konsep bahasa asing serba tanggung pada anak usia dini justru membebani mereka ketika dewasa karena mereka sudah menginternalisasi konsep yang salah. Jangan sampai nanti terulang lagi ada lawakan bahasa Inggris, untuk mengatakan Badan saya tidak enak (sakit), My body is not delicious. Seorang pengemudi mobil bercerita Saya tekan remnya , I pushed the brake tetapi remnya tidak makan, but it didn't eat. Karena bannya sudah tidak ada kembangannya, because the tires do not have flowers. Sumber: Harian Surya, 13 Februari 2008

You might also like