You are on page 1of 23

Mohammad Abid Kamalsyah 1106019445 1.

Keluarga Islami Mayoritas manusia tentu mendambakan kebahagiaan, menanti ketentraman dan ketanangan jiwa. Tentu pula semua menghindari dari berbagai pemicu gundah gulana dan kegelisahan. Terlebih dalam lingkngan keluarga. Ingatlah semua ini tak akan terwujud kecuali dengan iman kepada Alloh, tawakal dan mengembalikan semua masalah kepadaNya, disamping melakukan berbagai usaha yang sesuai dengan syari'at. Pentingnya Keharmonisan Keluarga Yang paling berpengaruh buat pribadi dan masyarakat adalah pembentukan keluarga dan komitmennya pada kebenaran. Alloh dengan hikmahNya telah mempersiapkan tempat yang mulia buat manusia untuk menetap dan tinggal dengan tentram di dalamnya. FirmanNya: "dan diantara tanda-tanda kekuasanNya adalah Dia mencipatakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya dan diajadikanNya diantara kamu rasa kasih sayang. Sungguh pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir." (Ar Rum: 21) Ya.supaya engkau cenderung dan merasa tentram kepadanya (Alloh tidak mengatakan: 'supaya kamu tinggal bersamanya'). Ini menegaskan makna tenang dalam perangai dan jiwa serta menekankan wujudnya kedamaian dalam berbagai bentuknya. Maka suami istri akan mendapatkan ketenangan pada pasangannya di kala datang kegelisahan dan mendapati kelapangan di saat dihampiri kesempitan. Sesungguhnya pilar hubungan suami istri adalah kekerabatan dan pershabatan yang terpancang di atas cinta dan kasih sayang. Hubungan yang mendalam dan lekat ini mirip dengan hubungan seseorang dengan dirinya sendiri. Al Qur'an menjelaskan: "Mereka itu pakaian bagimu dan kamu pun pakaian baginya." (Al Baqarah: 187) Terlebih lagi ketika mengingat apa yang dipersiapkan bagi hubungan ini misalnya; penddidikan anak dan jaminan kehidupan, yang tentu saja tak akan terbentuk kecuali

dalam atmosfir keibuan yang lembut dan kebapakan yang semangat dan serius. Adakah di sana komunitas yang lebih bersih dari suasana hubungan yang mulia ini? Pilar Peyangga Keluarga Islami 1. Iman dan Taqwa Faktor pertama dan terpenting adalah iman kepada Alloh dan hari akhir, takut kepada Dzat Yang memperhatikan segala yang tersembunyi serta senantiasa bertaqwa dan bermuraqabbah (merasa diawasi oleh Alloh) lalu menjauh dari kedhaliman dan kekeliruan di dalam mencari kebenaran. "Demikian diberi pengajaran dengan itu, orang yang beriman kepada Alloh dan hari akhirat. Barang siapa yang bertaqwa kepada Alloh niscaya Dia kan mengadakan baginya jalan keluar. Dan Dia kan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangkasangkanya. Dan barang siapa yang bertaqwa kepada Alloh niscaya Alloh akan mencukupkan keperluannya." (Ath Thalaq: 2-3) Di antara yang menguatkan tali iman yaitu bersungguh-sungguh dan serius dalam ibadah serta saling ingat-mengingatkan. Perhatikan sabda Rasululloh: "Semoga Alloh merahmati suami yang bangun malam hari lalu shalat dan membangunkan pula istrinya lalu shalat pula. Jika enggan maka dipercikkannya air ke wajahnya. Dan semoga Alloh merahmati istri yang bangun malam hari lalu shalat dan membangunkan pula suaminya lalu shalat pula. Jika enggan maka dipercikkannya air ke wajahnya." (HR. Ahmad, Abu Dawud, An Nasa'i, Ibnu Majah). Hubungan suami istri bukanlah hubungan duniawi atau nafsu hewani namun berupa interaksi jiwa yang luhur. Jadi ketika hubungan itu shahih maka dapat berlanjut ke kehidupan akhirat kelak. FirmanNya: "Yaitu surga 'Adn yang mereka itu masuk di dalamnya bersama-sama orang yang shaleh dari bapak-bapaknya, istri-istrinya dan anak cucunya." (Ar Ra'du: 23)

2. Hubungan Yang Baik Termasuk yang mengokohkan hal ini adalah pergaulan yang baik. Ini tidak akan tercipt a kecuali jika keduanya saling mengetahui hak dan kewajibannya masing-masing. Mencari kesempurnaan dalam keluarga dan naggotanya adalah hal mustahil dan merasa frustasi daklam usha melakukan penyempurnan setiap sifat mereka atau yang lainnya termasuk sia-sia juga. 3. Tugas Suami Seorang suami dituntut untuk lebih bisa bersabar ketimbang istrinya, dimana istri itu lemah secara fisik atau pribadinya. Jika ia dituntut untuk melakukan segala sesuatu maka ia akan buntu. Teralalu berlebih dalam meluruskannya berarti membengkokkannya dan

membengkokkannya berarti menceraikannya. Rasululloh bersabda: "Nasehatilah wanita dengan baik. Sesungguhnya mereka diciptakan dari tulang rusuk dan bagian yang bengkok dari rusuk adalah bagian atasnya. Seandainya kamu luruskan maka berarti akan mematahkannya. Dan seandainya kamu biarkan maka akan terus saja bengkok, untuk itu nasehatilah dengan baik." (HR. Bukhari, Muslim) Jadi kelemahan wanita sudah ada sejak diciptakan, jadi bersabarlah untuk menghadapinya. Seorang suami seyogyanya tidak terus-menerus mengingat apa yang menjadi bahan kesempitan keluarganya, alihkan pada beberapa sisi kekurangan mereka. Dan perhatikan sisi kebaikan niscaya akan banyak sekali. Dalam hal ini maka berperilakulah lemah lembut. Sebab jika ia sudah melihat sebagian yang dibencinya maka tidak tahu lagi dimana sumber-sumber kebahagiaan itu berada. Alloh berfirman; "Dan bergaullah bersama mereka dengan patut. Kemudian jika kamu tidak menyukai mereka maka bersabarlah Karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu padahal Aloh menjadikannya kebaikan yang banyak." (An Nisa': 19) Apabila tidak begitu lalu bagaimana mungkin akan tercipta ketentraman, kedamaian dan cinta kasih itu: jika pemimpin keluarga itu sendiri berperangai keras, jelek pergaulannya,

sempit wawasannya, dungu, terburu-buru, tidak pemaaf, pemarah, jika masuk terlalu banyak mengungkit-ungkit kebaikan dan jika keluar selalu berburuk sangka. Padahal sudah dimaklumi bahwa interaksi yang baik dan sumber kebahagiaan itu tidaklah tercipta kecuali dengan kelembutan dan menjauhakan diri dari prasangka yang tak beralasan. Dan kecemburuan terkadang berubah menjadi prasangka buruk yang menggiringnya untuk senantiasa menyalah tafsirkan omongan dan meragukan segala tingkah laku. Ini tentu akan membikin hidup terasa sempit dan gelisah dengan tanpa alasan yang jelas dan benar.

4. Tugas Istri Kebahagiaan, cinta dan kasih sayang tidaklah sempurna kecuali ketika istri mengetahui kewajiban dan tiada melalaikannya. Berbakti kepada suami sebagai pemimpin, pelindung, penjaga dan pemberi nafkah. Taat kepadanya, menjaga dirinya sebagi istri dan harta suami. Demikian pula menguasai tugas istri dan mengerjakannya serta memperhatikan diri dan rumahnya. Inilah istri shalihah sekaligus ibu yang penuh kasih sayang, pemimpin di rumah suaminya dan bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Juga mengakui kecakapan suami dan tiada mengingkari kebaikannya. Untuk itu seyogyanya memaafkan kekeliruan dan mangabaikan kekhilafan. Jangan berperilaku jelek ketika suami hadir dan jangan mengkhianati ketika ia pergi. Dengan ini sudah barang tentu akan tercapai saling meridhai, akan langgeng hubungan, mesra, cinta dan kasih sayang. Dalam hadits: "Perempuan mana yang meninggal dan suaminya ridha kepadanya maka ia masuk surga." (HR. Tirmidzi, Hakim, Ibnu Majah) Maka bertaqwalah wahai kaum muslimin! Ketahuilah bahwa dengan dicapainya keharmonisan akan tersebarlah semerbak kebahagiaan dan tercipta suasana yang kondusif bagi tarbiyah.

Selain itu tumbuh pula kehidupan di rumah yang mulia dengan dipenuhi cinta kasih dan saling pengertian anatar sifat keibuan yang penuh kasih sayang dan kebapakan yang tegas, jauh dari cekcok, perselisihan dan saling mendhalimi satu sama lain. Juga tak ada permusuhan dan saling menyakiti.

Pengertian dan Karakteristik Keluarga Sakinah, Mawaddah Wa Rahmah Keluarga merupakan tampat dibentuk dan berkembangnya kepribadian yang paling pokok dari seorang anak yang kemudian akan diterapkannya dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam tahap inilah peran kelaurga sangat penting dalam menanamkan kepribadian bagi seseorang termasuk dalam penyikapan terhadap sesuatu dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal keluarga seringkali terdengar sebutan keluarga sakinah, mawaddah, wa rahmah. Sakinah artinya tentram, yaitu adanya kepercayaan dalam berumah tangga, dan saling memahami sifat pasangan masing-masing. Keluarga sakinah menunjukan keluarga yang tenang dan damai. Mawaddah artinya cinta, yang merupakan tahapan berikutnya yang dirasakan pada pasangan. Cinta yang didasarkan atas rasa cinta kepada Allah SWT. Keluarga mawaddah menunjukan keluarga yang saling mencitai dan menyayangi. Rahmah artinya rahmat, merupakan akhir dari segala perasaan. Dalam tahap ini yaitu menjalankan pernikahan dengan benar-benar sehingga memproleh ridha Allah SWT. Dalam garis besar tujuan keluarga yaitu menjadi tempat yang tenang dan harmonis sebagai tempat lahirnya keturunan yang baik yang kemudian menajadi bagian masyarakat yang membangun. Sementara fungsi dari keluarga selain untuk mengikat cinta satu sama lain juga sebagai pembentuk generasi penerus keluarga. Dalam hal kekerasan terhadap jemaah Ahmadiyah yang terjadi adalah bagaimana peran keluarga sebagai pembentuk pribadi seorang anak yang akan tumbuh di tengah masyarakat, karena yang terjadi yaitu sebuah perilaku sekelompok orang merespon dengan tidak baik suatu keadaan. Perilaku kerasan terhadap jemaah Ahmadiyah dapat dihindari jika setiap individu memiliki bekal kepribadian yang baik. Di dalam keluarga ada pembagian peran untuk mencapai tujuannya. Seorang ayah sebagai kepala keluarga

menjadi peran sentral dalam pembentukan karakter keluarga yang akan diturunkan kepada anak. Anak kelak akan tumbuh dan berkembang pula di masyarakat dan merepresentatifkan apa yang dia dapat dalam keluarga. Apabila sebuah keluarga dapat membangun pribadi yang kuat dan baik maka setiap individu dapat menerapkan hal yang ditanamkan dalam keluarga diantaranya yaitu jiwa kritis dan kedamaian. Dalam keluarga sebaiknya ditanamkan bagaimana kehidupan dengan masyarakat yang plural sehingga bisa terwujud pribadi yang saling menghargai tanpa adanya main hakim sendiri. Meskipun Ahmadiyah sudah terbukti sebagai agama menyimpang diimbangi dengan adanya keputusan petinggi negeri ini, namun Indonesia merupakan negara hukum yang semuanya telah tercatat dan tersusun. Disinilah peran kelauarga yang sangat penting sehingga hal-hal seperti di atas tidak terulang kembali. Sejatinya prilaku seseorang yang diperlihatkan adalah cerminan bagaimana keluarga membentuknya. Disinilah peran penting sebuah kelaurga dalam pengkarakteran seseorang karena pohon yang baik akan menumbuhkan buah yang baik, begitupula sebaliknya pohon yang buruk akan memiliki buah yang buruk. Selain pendidikan formal yang diberikan, baiknya keluarga juga menanamkan dengan kuat pendidikan agama dan sosial kemasyarakatan.

Fungsi dan Tujuan Keluarga


FungsiKeluarga Fungsi keluarga adalah bertanggung jawab dalam menjaga dan menumbuh kembangkan anggotaanggotanya. (Suprihatin, G, dkk., 1992).9 Pemenuhan kebutuhan para anggota sangat penting, agar mereka dapat mempertahankan kehidupannya, yang berupa 1) pemenuhan kebutuhan pangan, sandang, papan dan kesehatan untuk pengembangan fisik dan sosial, 2) kebutuhan akan pendidikan formal, informal dan nonformal dalam rangka mengembangakan intelektual, sosial, mental, emosional dan spritual. Apabila kebutuhan dasar anggota keluarga dapat dipenuhi, maka kesempatan untuk berkembang lebih luas lagi dapat diwujudkan, yang akan memberikan kesempatan individu maupun keluarga mampu merealisasikan diri lebih luas lagi dalam berbagai aspek kehidupan mereka, misal aspek budaya, intelektual dan aspek sosial. Adapun kebutuhan manusia tersebut terbagi ke dalam 1) kebutuhan makan, minum dan seks, 2) kebutuhan akan rasa aman, 3) kebutuhan kasih sayang, 4) kebutuhan akan penghargaan dan 5) kebutuhan untuk

mengembangkan kemampuan potensi diri sendiri dan aktualisasi diri. 10 Bila ditinjau berdasarkan Peraturan Pemerintah RI. no 21 tahun 1994 mengenai penyelenggaraan pembangunan keluarga sejahtera, telah dirumuskan delapan fungsi keluarga sebagai jembatan menuju terbentuknya sumberdaya pembangunan yang handal dengan ketahanan keluarga yang kuat dan mandiri, yaitu: 1) Fungsi Keagamaan Dalam keluarga dan anggotanya fungsi ini perlu didorong dan dikembangkan agar kehidupan keluarga sebagai wahana persemaian nilai-nilai luhur budaya bangsa untuk menjadi insan agamis yang penuh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. 2) Fungsi Sosial Budaya Fungsi ini memberikan kesempatan kepada keluarga dan seluruh anggotanya untuk mengembangkan kekayaan budaya bangsa yang beraneka ragam dalam satu kesatuan, sehingga dalam hal ini diharapkan ayah dan ibu untuk dapat mengajarkan dan meneruskan tradisi, kebudayaan dan sistem nilai moral kepada anaknya. 3) Fungsi Cinta kasihHal ini berguna untuk memberikan landasan yang kokoh terhadap hubungan anak dengan anak, suami dengan istri, orang tua dengan anaknya serta hubungan kekerabatan antar generasi, sehingga keluarga menjadi wadah utama bersemainya kehidupan yang penuh cinta kasih lahir dan batin. Cinta menjadi pengarah dari perbuatan-perbuatan dan sikap-sikap yang bijaksana. 4) Fungsi Melindungi Fungsi ini dimaksudkan untuk menambahkan rasa aman dan kehangatan pada setiap anggota keluarga. 5) Fungsi Reproduksi Fungsi yang merupakan mekanisme untuk melanjutkan keturunan yang direncanakan dapat menunjang terciptanya kesejahteraan manusia di dunia yang penuh iman dan takwa. 6) Fungsi Sosialisasi dan Pendidikan Fungsi yang memberikan peran kepada keluarga untuk mendidik keturunan agar bisa melakukan penyesuaian dengan alam kehidupannya di masa yang akan datang. 7) Fungsi Ekonomi Sebagai unsure pendukung kemandirian dan ketahanan keluarga. Fungsi Pembinaan Lingkungan Memberikan kepada setiap keluarga kemampuan menempatkan diri secara serasi, selaras, seimbang sesuai dengan daya dukung alam dan lingkungan yang berubah secara dinamis.

Membentuk Keluarga Islami Bagaimanakah wujud keluarga Islami itu? Bayangan anda tentang suami isteri yang bertingkah laku bagai malaikat serta rahmat Allah yang senantiasa melimpahi kebutuhan hidup mereka tentu bukanlah gambaran yang benar. Ajaran Islam sendiri merupakan ajaran yang dirancang bagi manusia yang memiliki berbagai kelemahan dan kekurangan dan siap diterapkan dalam berbagai keadaan yang menyertai hidup manusia. Ada beberapa hal yang patut anda perhatikan dalam upaya menumbuhkan keluarga bahagia menurut ajaran Islam atau dalam menghadapi berbagai persoalan, diantaranya:

1. Fikrah yang jelas Pemikiran Islami tentang tujuan-tujuan dakwah dan kehidupan keluarga merupakan unsur pentng dalam perkawinan. Ini adalah syarat utama.Keluarga islami bukanlah keluarga yang tenang tanpa gejolak. Bukan pula keluarga yang berjalan di atas ketidakjelasan tujuan sehingga melahirkan kebahagiaan semu. Kalaulah Umar bin Khattab menggebah para pedagang di pasar yang tidak memahami fiqih (perdagangan), maka layak dipandang sebagai sebuah kekeliruan besar seseorang yang menikah namun tak memahami dengan jelas apa hakekat pernikahan dalam Islam dan bagaimana kaitannya dengan kemajuan dakwah. 2. Kontinuitas tarbiyah Tarbiyah (pendidikan) merupakan kebutuhan asasi setiap manusia. Para suami yang telah aktif dalam medan dakwah biasanya akan mudah mendapatkan hal ini. Namun, isteri juga memiliki hak yang sama. Penyelenggaraannya merupakan tanggung jawab suami khususnya, kaum lelaki muslim umumnya. Itulah sebabnya Rasulullah SAW meluluskan permintaan talim (pengajaran) para wanita muslimah yang datang kepada beliau. Beliau memberikan kesempatan khusus bagi pembinaan wanita dan kaum ibu (ummahaat). Perbedaan perlakuan tarbiyah antara suami dan isteri akan membuat timpang pasangan itu dan akibatnya tentu kegoncangan rumah tangga. 3. Mengharapkan rahmat Allah Ketenangan dan kasih sayang dalam keluarga merupakan rahmat Allah yang diberikan kepada hamba-hambaNya yang Salih. Rintangan-rintangan menuju keadaan itu datang tidak saja dari faktor internal manusia, namun juga dapat muncul dari faktor eksternal termasuk gangguan syaitan dan jin. Karena itu, hubungan vertikal dengan al Khaliq harus dijaga sebaik mungkin melalui ibadah dan doa. Nabi SAW banyak mengajarkan doa-doa yang berkaitan dengan masalah keluarga.

Membangun Masyarakat Islami Karena masyarakat Islami itu sendiri merupakan kumpulan individu muslim maka itu langkah pertama yang bisa dilakukan setelah perbaikan pada diri sendiri adalah menjadikan rumah tangga, istri, dan anak-anak kita menjadi rumah tangga, istri dan anak-anak muslim (sebagai masyarakat kecil); kemudian kerabat terdekat.

Tentunya untuk mencapai masyarakat Islami tidak bisa dilakukan dengan sekejap mata, harus dibangun setahap demi setahap. Dan masyarakat Islami yang tercipta tersebut juga bukan merupakan suatu masyarakat yang sifatnya temporal saat ini saja tetapi justru merupakan masyarakat Islami yang kekal sampai akhir penghujung jaman. Maka janganlah kamu menyeru (menyembah) Tuhan yang lain di samping Allah, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang diazab. Dan berilah peringatan kepada kerabatkerabatmu yang terdekat. Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang beriman (Asy-Syuara: 213-215). Hai orang-orang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhapat apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang doperintahkan (At Tahrim: 6). Sabda Rasul Saw: Seorang anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Diharapkan dengan hadirnya masyarakat kecil (keluarga) yang Islami dapat menjadi pondasi bagi bangunan masyarakat Islami. Kalau diibaratkan masyarakat Islami itu sebagai sebuah bangunan tentunya akan berdiri kokoh bila pondasi yang menopanganya kokoh dan kuat. Keluarga yang Islami dapat menghasilkan anak keturunan yang dapat memlihara, melanjutkan dan meneruskan risalah Islam. Karakteristik Masyarakat Islami Pada dasarnya untuk mengukur atau menilai masyarakat yang saat ini ada, apakah termasuk sebagai suatu masyarakat Islami atau bukan, tidak boleh hanya didasarkan atas jumlah mayoritas penduduknya yang muslim. Belum tentu dengan jumlah penduduk muslim yang banyak itu, corak kehidupannya didasarkan oleh suatu nilai-nilai Islam, bisa jadi justru bertentangan dengan nilainilai Islam. Mereka sekedar mengambil sebagian kecil dan mencampakan sebagian besar lainya. Mereka berpuasa di bulan Ramadhan hanya sekedar menahan lapar dan dahaga, sementara aspek pengekangan hawa nafsu dilupakan. Mereka berpegang pada nilai-nilai yang sifatnya lahiriah saja tanpa mempedulikan dan menghayati aspek ruhiahnya. Pada masyarakat seperti ini, perbuatan taqlid (mengekor) pada peradaban jahiliyah, leluhur atau peradaban barat sudah menjadi hal yang lumrah. Sehingga bila

suatu waktu dimunculkan suatu konsep atau amalan yang bersumberkan pada Islam, dianggapnya sebagai suatu hal yang aneh dan tidak sesuai dengan perkembangan jaman. Akhirnya, nilai-nilai kehidupan Islami dianggap suatu yang asing dan perlu perlu dijauhi. Selanjutnya juga kita tidak bisa menilai suatu masyarakat Islami berdasarkan pada penerapan syariat bidang hukum saja yang selanjutnya dijadikan azas berdirinya suatu negara Islam. Di negara-negara yang menyatakan sebagai negara islam, banyak kecenderungan munculnya tindakan yang berlebihan terhadap setiap anggota masyarakat sehingga memunculkan rasa tertekan dalam menjalankan syariat Islam. Dan pada akhirnya tanpa dibarengi dengan upaya penerapan nilai Islam yang meliputi aspek aqidah, syariah dan akhlak, dikhawatirkan nantinya akan memunculkan respon penolakan terhadap syariat Islam sendiri atau menjalankan nilai-nilai Islam hanya sebagai formalitas belaka. Proses peningkatan kesadaran atas kehendak sendiri untuk menjalankan seluruh ajaran islam menjadi hal yang penting. Karena pada dasarnya tidak ada unsur paksaan dalam menjalankan ajaran Islam ini. Semuanya diserahkan kembali pada masing-masing individu untuk bertanggung jawab terhadap apa yang telah diperbuatnya. Masyarakat Islami sebenarnya merupakan masyarakat yang Rabbani, insani, akhlaqi dan masyarakat yang seimbang (tawazun). Suatu kehidupan yang diarahkan oleh aqidah Islamiyah dan dibersihkan dengan ibadah, dituntun oleh pemahaman yang shahih, digerakkan oleh semangat yang menyala, terikat dengan moralitas dan adab Islamiyah, serta diwarnai oleh nilai-nilai Islam. Diatur oleh. hukum Islam dalam perekonomian, seni, politik dan seluruh segi kehidupannya. Dan orang-orang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang munkar, melaksanakan shalat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah. Sungguh, Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana. (At Taubah: 71). Setiap anggota masyarakat Islami akan selalu siap tolong-menolong dalam kebaikan dan ketaatan kepada Allah Taala dan Rasul-Nya. Di jaman Rasulullah hal itu jelas terlihat seperti menolong biaya orang yang akan menikah, sesama muslimah meminjamkan pakaian bagus agar saudarinya juga bisa hadir di shalat Idul Fitri atau Idul Adha, meminjamkan uang tanpa bunga. Jadi bukan menolong orang karena ada maksud-maksud tertentu atau ingin meraih keuntungan yang lebih besar.

Kegiatan amar ma`ruf dan mencegah perbuatan yang mengarah pada kemunkaran senantiasa dilakukan oleh setiap anggota masyarakat. Ibaratnya seperti halnya rumah, setiap ada genteng pecah secepatnya diperbaiki sehingga kebocoran saat hujan yang dapat menyebabkan kerusakan yang lebih parah dapat dicegah. Demikian juga mencegah bila ada anggota yang berbuat sesuatu yang dianggap dapat merusak bangunan. Dalam kegiatan amar ma`ruf dan mencegah perbuatan munkar tersebut hendaknya dilakukan dengan cara yang paling baik. Bahwa masyarakat dewasa ini dalam interaksinya tidak bisa lepas dari koridor geografis negara yang menghasilkan konsekwensi munculnya pemerintahan, peraturan dan pemimpin. Dengan sendirinya pemerintahan-pemimpin dan system peraturan/perundangan yang Islami akan memberikan bahkan melindungi suatu kehidupan masyarakat Islami. Dari pengalaman lalu sudah membuktikan bahwa akan sulit untuk menjalankan seluruh aspek kehidupan yang Islami bila pemimpin dan system perundangan jauh dari nilai-nilai Islam walaupun masyarakatnya menginginkan hal tersebut. Selanjutnya menjadi tugas bersama dari setiap anggota masyarakat untuk menghasilkan suatu pemerintahan, pemimpin dan system perundangan yang Islami. 2. Pranata Sosial Masjid dan Fungsinya bagi Masyarakat

Sesungguhnya orang-orang yang melabuhkan cintanya kepada Allah di masjid adalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap menegakkan shalat, menunaikan zakat, dan ia tidak pernah diselimuti rasa takut kepada siapapun dan di manapunkecuali kepada Allah. Mereka itulah orang-orang berhasil menjuluk dan mendapatkan petunjuk (QS. At-Taubah ayat 18). Kini, kita sudah abad ke-21. Sebuah abad yang ditenggarai oleh para pakar penuh tantangan baik internal maupun eksternal. Selain itu, abad ke-21 juga sarat dengan berbagai ciri. Selaku umat Islam, hendaknya ciri yang mencuat ke permukaan itu dapat kita koreksi dan kita luruskan. Dengan ungkapan lain, kita upayakan agar ciri- ciri masyarakat moderen yang negatif dapat kita ubah menjadi ciri masyarakat moderen yang ideal serta bertumpu pada nilai dan ajaran Alquran dan Sunnah Rasul. Nabi bersabda: Aku tinggalkan untukmu dua pusaka. Jika kamu berpegang teguh pada yang dua itu, kamu tidak akan tergelincir ke jurang kesesatan selama-lamanya (HR. BukhariMuslim).

Beberapa ciri masyarakat moderen yang perlu kita sikapi antara lain: Pertama, sebagian kita kadang terjerembab pada pola hidup maddiyah atau materialistis, hedonis dan pragmatis. Indikasinya, betapa segelintir anak manusia mengukur segala sesuatu, bahkan seluruh denyut kehidupannya dengan hal-hal yang bersifat material/bendawi. Sehingga mengapunglah istilah: time is money (waktu itu adalah uang). Kalau di kantor muncul pula istilah jabatan kering dan jabatan basah, dan atau jabatan mata air dan jabatan air mata. Kalau mencari minantu atau pendamping hidup, orang kini cenderung menilai dari penampilan lahiriah bahkan berapa gaji atau pendapatannya tiap bulan. Padahal Nabi Muhammad SAW juga bersabda: Nikahi (carilah pendamping hidup itu) dengan empat kriteria: boleh karena hartanya (wa limaliha), boleh karena kecantikan/kegagahannya (wa lijamaliha), dan boleh karena keturunannya (wa linasabiha), dan yang lebih penting karena agamanya (wa lidiniha). Utamakanlah agamanya, niscaya kamu akan beruntung (Hadits shahih lagi mutawatir). Kedua, betapa sekarang sebagian cucu Adam terperangkap dengan pola hidup individualistis. Kehidupan kolektif, rasa kebersamaan, rasa kekeluargaan dan semangat gotong-royong (egalitarianisme) sepertinya kian memudar dan kian sirna, dan diganti dengan cara hidup nafsi-nafsi. Silaturrahmi dan rasa senasip-sepenaggungan antar sesama semakin kering. Ironisnya, hal demikian tidak hanya meruyak di kota-kota metropolitan. Tapi belakangan juga menjalar dan menyelusup hingga ke desa-desa, nagari dan dusun. Ketiga, belakangan muncul pula ke permukaan semacam relativisasi norma agama, norma moral, dan norma etika. Kadangbaik-buruk, halal-haram, hak dan batil tidak lagi dipegangi lewat patokan-patokan agama, tetapi disigi bahkan dilegitimasi dengan konteks situasional. Situasi harus tunduk kepada konteks. Sehingga kadang dalam suatu hari di daerah tertentu dianggap tabu, pada hari dan konteks masyarakat lain kebijakan atau gejala tabu bisa juga berubah-sontak. Misalnya belakangan ini mengapung ke permukaan satu teori moral yang amat sangat nista, rendah, hina, menjijikkan, dan tidak manusiawi. Apa pula itu? Teori Segelas Air Minum (A Glass of Water Theory). Teori ini menyebutkan bahwa kebutuhan biologis/seksual pada manusia dipandang sebagai kebutuhan terhadap segelas air di kala

haus. Katanya, kapan dan di mana saja, kalau memang perlu, mengapa tidak. Jelas, relativisasi dari masyarakat moderen ini dampaknya amat sangat luar biasa. Akibat yang menyembul ke permukaanyang namanya kumpul kebo, gonta-ganti pasangan, berselingkuheufemisme dari bahasa Al quran, yaitu zina, kian berkecambah di mana-mana! Dan, yang membuat banyak orang terhenyak, zina baik yang berkategori khafi (ringan) maupun yang termasuk zina jali (zina berat/sebenar-benar zina)tidak saja meruyak di kota-kota besar, tapi menjalar sampai ke desa/nagari. Naudzubillahi min dzalik! Amma bad! Agar kita tidak terjebak ke dalam kawah materialisme, individualisme, hedonisme dan relativisasi nilai dan ajaran agama. Maka, satu-satunya jalan atau wasilah yang mesti ditempuh adalah kembali pada pangkuan Dinul Islam secara universal (kaffah). Caranya? Menggantungkan hati di masjid merupakan salah satu kaifiat yang amat jitu. Sebab, akrab dengan mesjid selain mendatangkan ketenangan bathiniyah, ia sekaligus merupakan wahana untuk meningkatkan wawasan ke-islaman. Makanya, di zaman Nabi, masjid tidak hanya sebagai tempat sujud. Lebih dari itu, masjid juga berfungsi sebagai pusat kegiatan segala denyut nadi kehidupanmeliputi: hal-ihwal sosial, politik, ekonomi, budaya dan peradaban anak manusia. Bahkan taktik dan strategi perangdalam kerangka jihad fi sabilillah (menegakkan agama Allah), dianyam oleh Nabi Muhammad SAW di masjid! Oleh sebab itu, selaku orang muslim, kita mesti haqqul yakin bahwa yang bisa menyelamatkan kita hanyalah masjid. Sebab, masjid itu sangat luar biasa fungsinya dalam membangun pradaban sebuah masyarakat. Masjid sesunggunya suatu tempat yang betul-betul memberikan pendidikan pribadi meliputi: pendidikan politik, pendidikan moral, pendidikan budaya, pendidikan karakteryang sangat aktual belakangan ini, dan bahkan pendidikan ekonomi (makro dan mikro). 3. Kerukunan Umat Beragama A. UHKUWAH ISLAMIYAH

a. Pengertian dan Hakikat Ukhuwah atau persaudaraan dalam Islam bukan saja mencirikan kualitas ketaatan seseorang terhadap ajaran Allah dan Rasul-Nya, tetapi juga sekaligus merupakan salah satu kekuatan perekat sosial untuk memperkokoh kebersamaan. Fenomena kebersamaan ini dalam banyak hal dapat memberikan inspirasi solidaritas sehingga tidak ada lagi jurang yang dapat memisahkan silaturahmi di antara sesamanya. Meskipun demikian, dalam perjalanan sejarahnya, bangunan kebersamaan ini seringkali terganggu oleh godaan-godaan kepentingan yang dapat merusak keutuhan komunikasi dan bahkan mengundang sikap dan prilaku yang saling berseberangan. Karena itu, semangat ukhuwah ini secara sederhana dapat terlihat dari ada atau tidak adanya sikap saling memahami untuk menumbuhkan interaksi dan komunikasi. Ukhuwah

Islamiyah sendiri menunjukkan jalan yang dapat ditempuh untuk membangun komunikasi di satu sisi, dan di sisi lain, ia juga memberikan semangat baru untuk sekaligus melaksanakan ajaran sesuai dengan petunjuk al-Qur'an serta teladan dari para Nabi dan Rasul-Nya. Sekurangsekurangnya ada dua pernyataan Nabi SAW, yang menggambarkan persaudaraan yang Islami. Pertama, persaudaraan Islam itu mengisyaratkan wujud tertentu yang dipersonifikasikan ke dalam sosok jasad yang utuh, yang apabila salah satu dari anggota badan itu sakit, maka anggota lainnya pun turut merasakan sakit. Kedua, persaudaraan Islam itu juga mengilustrasikan wujud bangunan yang kuat, yang antara masing-masing unsur dalam bangunan tersebut saling memberikan fungsi untuk memperkuat dan memperkokoh. Ilustrasi pertama menunjukkan pentingnya unsur solidaritas dan kepedulian dalam upaya merakit bangunan ukhuwah menurut pandangan Islam. Sebab Islam menempatkan setiap individu dalam posisi yang sama. Masing-masing memiliki kelebihan, lengkap dengan segala kekurangannya. Sehingga untuk menciptakan wujud yang utuh, diperlukan kebersamaan untuk

dapat saling melengkapi. Sedangkan ilustrasi berikutnya menunjukkan adanya faktor usaha saling tolong menolong, saling menjaga, saling membela dan saling melindungi. Pernyataan al-Qur'an: Innama al-mu'minuuna ikhwatun (sesungguhnya orang-orang mu'min itu bersaudara) memberikan kesan bahwa orang mu'min itu memang mestinya bersaudara. Sehingga jika sewaktu-waktu ditemukan kenyataan yang tidak bersaudara, atau adanya usaha-usaha untuk merusak persaudaraan, atau bahkan mungkin adanya suasana yang membuat orang enggan bersaudara, maka ia berarti bukan lagi seorang mu'min. sebab penggunaan kata "innama" dalam bahasa Arab menunjukkan pada pengertian "hanya saja." Tuntutan normatif seperti tertuang dalam al-Qur'an di atas memang seringkali tidak menunjukkan kenyataan yang diinginkan. Kesenjangan ini terjadi, antara lain, sebagai akibat dari semakin memudarnya penghayatan terhadap pesan-pesan Tuhan khususnya berkaitan dengan tuntutan membina persaudaraan. Bahkan, lebih celaka lagi apabila umat mulai berani memelihara penyakit ambivalensi sikap: antara pengetahuan yang memadai tentang al-Qur'an di satu sisi, dengan kecenderungan menolak pesan-pesan yang terkandung di dalamnya di sisi lain, hanya karena terdesak tuntutan pragmatis, khususnya menyangkut kepentingan sosial, politik ataupun ekonomi. Karena itu, bukan hal yang mustahil, jika seorang pemuka agama sekalipun, rela meruntuhkan tatanan ukhuwah hanya karena pertimbangan kepentingan-kepentingan primordial. Karena tarik menarik antara berbagai kepentingan itulah, sejarah umat Islam selain diwarnai sejumlah prestasi yang cukup membanggakan, juga diwarnai oleh sejumlah konflik yang tidak kurang memprihatinkan. Nilai-nilai ukhuwah tidak lagi menjadi dasar dalam melakukan interaksi sosial dalam bangunan masyarakat tempat hidupnya sehari-hari. Konflik yang bersumber pada masalah-masalah yang tidak prinsip menurut ajaran, dapat membongkar bangunan kebersamaan dalam seluruh tatanan kehidupannya. Perbedaan interprestasi tentang

imamah pada akhir periode kepemimpinan shahabat, misalnya, telah berakibat pada runtuhnya kebesaran peradaban Islam yang telah lama dirintis bersama. Lalu sejarah itu pun berlanjut, seolah ada keharusan suatu generasi untuk mewarisi tradisi konflik yang mewarnai generasi sebelumnya. Akhirnya, nuansa kekuasaan pada masa-masa berikutnya hampir selalu diwarnai oleh politik "balas dendam" yang tidak pernah berujung. Al-Qur'an memang memberikan peluang kepada ummat manusia untuk bersilang pendapat dan berbeda pendirian. Tetapi alQur'an sendiri sangat mengutuk percekcokan dan pertengkaran. Interprestasi terhadap ayat-ayat yang mujmal (umum), pemaknaan terhadap keterikatan sesuatu ayat dengan asbab nuzul, atau sesuatu hadits dengan asbab wurud-nya, seringkali melahirkan adanya sejumlah perbedaan. Lebih-lebih jika perbedaan itu telah memasuki wilayah ijtihadiyah. Dalil-dalil dzanny yang biasa menjadi rujukan beramal memang memiliki potensi untuk melahirkan perbedaan. Tetapi perbedaan itu sendiri seharusnya dapat melahirkan hikmah, baik dalam bentuk kompetisi positif, mempertajam daya kritis, maupun dalam membangun semangat mencari tahu sesuai dengan anjuran memperbanyak ilmu. Sayangnya, dalam kenyataan, perbedaan itu justru seringkali melahirkan hancurnya nilai-nilai ukhuwah, hanya karena ketidaksiapan untuk memahami cara berpikir yang lain, atau karena keengganan menerima perbedaan sebagai buah egoisme yang tidak sehat. Dan, yang lebih celaka lagi, apabila potensi konflik itu telah dipengaruhi variabelvariabel politik dan ekonomi seperti apa yang saat ini tengah dialami oleh bangsa kita yang semakin lelah ini. Ikatan agama telah pudar oleh kepentingan kekuasaan. Kehangatan persaudaraan pun semakin menipis karena desakan-desakan materialisme ataupun kepentingan primordialisme. Perbedaan paham politik sangat potensial untuk melahirkan suasana ketidakakraban yang cenderung membawa kepada suasana batin yang tidak menunjang tegaknya ukhuwah. Demikian juga perbedaan tingkah kekayaan sering melahirkan kecemburuan yang juga

sangat potensial untuk mengundang suasana bathin yang tidak menunjang tegaknya ukhuwah. Subhanallah, ukhuwah kini telah menjadi barang antik yang sulit dinikmati secara bebas dan terbuka. Karena ukhuwah memang hanya akan dapat terwujud apabila masyarakat sudah mampu memiliki dan menghayati prinsip-prinsip tasamuh (toleransi), sekaligus terbuka untuk melakukan tausiyah (saling mengingatkan). dalam bentuknya yang maksimal - kelompok di mana dia dapat bergantung kepadanya. Kebutuhan untuk berkelompok ini merupakan naluri yang alamiah, sehingga kemudian muncullah ikatan-ikatan - bahkan pada manusia purba sekalipun. Kita mengenal adanya ikatan keluarga, ikatan kesukuan, dan pada manusia modern adanya ikatan profesi, ikatan negara, ikatan bangsa, hingga ikatan peradaban dan ikatan agama. Juga sering kita dengar adanya ikatan berdasarkan kesamaan species, yaitu sebagai homo erectus (manusia), atau bahkan ikatan sebagai sesama makhluk Allah. Islam sebagai sebuah peradaban - terlebih sebagai sebuah din - juga menawarkan bahkan memerintahkan/menganjurkan adanya sebuah ikatan, yang kemudian kita kenal sebagai ukhuwah Islamiah. Dalam Wawasan Al Qur'an, Dr. Quraish Shihab menulis bahwa ukhuwah (ukhuwwah) yang biasa diartikan sebagai "persaudaraan", terambil dari akar kata yang pada mulanya berarti "memperhatikan". Makna asal ini memberi kesan bahwa persaudaraan mengharuskan adanya perhatian semua pihak yang merasa bersaudara Dalam kajian ini, kedua makna tersebut saya gunakan sehingga ukhuwah islamiah diartikan sebagai "persaudaraan antar sesama muslim yang diajarkan oleh Islam dan bersifat Islami". Dengan definisi yang 'lengkap' ini, pertanyaan what, who dan how tentang ukhuwah Islamiah ini secara general telah terjawab. Dalam kaitannya dengan hali ini, Allah berfirman:

Artinya: "Sesungguhnya orang-orang mu'min adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat." (Al Hujurat:10) Juga di dalam sebuah hadits dari Ibnu Umar ra yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim. b. Tahapan Implementasi Dalam rangka mewujudkan ukhuwah Islamiah - bahkan juga dalam rangka menjalin hubungan dalam maknanya yang umum - ada beberapa tahapan konseptual yang perlu diperhatikan. Secara garis besar tahapan tersebut dapat dibagi menjadi: 1. Ta'aruf Ta'aruf dapat diartikan sebagai saling mengenal. Dalam rangka mewujudkan ukhuwah Islamiyah, kita perlu mengenal orang lain, baik fisiknya, pemikiran, emosi dan kejiwaannya. Dengan mengenali karakter-karakter tersebut, Dalam Surat Al Hujurat, Allah berfirman:

)(

Artinya: "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal." (Al Hujurat:13)

Ta'aruf ini perlu kita lakukan dari lingkungan yang terdekat dengan kita. Dengan keluarga, dengan lingkungan sekolah atau tempat bekerja, hingga berta'aruf dalam komunitas yang lebih luas, seperti dalam komunitas KMII.

2. Tafahum Pada tahap tafahum (saling memahami), kita tidak sekedar mengenal saudara kita, tapi terlebih kita berusaha untuk memahaminya. Sebagai contoh jika kita telah mengetahui tabiat seorang rekan yang biasa berbicara dengan nada keras, tentu kita akan memahaminya dan tidak menjadikan kita lekas tersinggung. Juga apabila kita mengetahui tabiat rekan lain yang sensitif, tentu kita akan memahaminya dengan kehati-hatian kita dalam bergaul dengannya. Perlu diperhatikan bahwa tafahum ini merupakan aktivitas dua arah. Jadi jangan sampai kita terus memposisikan diri ingin difahami orang tanpa berusaha untuk juga memahami orang lain.

3. Ta'awun Ta'awun atau tolong-menolong merupakan aktivitas yang sebenarnya secara naluriah sering (ingin) kita lakukan. Manusia normal umumnya telah dianugerahi oleh perasaan 'iba' dan keinginan untuk menolong sesamanya yang menderita kesulitan - sesuai dengan kemampuannya. Hanya saja derajat keinginan ini berbeda-beda untuk tiap individu. Artinya: "Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya." (Al Maaidah:2)

Juga dalam hadits Ibnu Umar di atas ("al muslimu akhul muslimi ..."), seterusnya disebutkan bahwa siapa yang memperhatikan kepentingan saudaranya itu maka Allah memperhatikan kepentingannya, dan siapa yang melapangkan satu kesulitan terhadap sesama muslim maka Allah akan melapangkan satu dari beberapa kesulitannya nanti pada hari qiyamat, dan barangsiapa yang meneymbukan rahasia seorang muslim maka Allah

menyembunyikanrahasianya nanti pada hari qiyamat. Dalil naqli di atas memberi encouragement bahkan perintah kepada orang beriman untuk tolong-menolong, yang dibatasi hanya dalam masalah kebajikan dan taqwa. Bentuk tolongmenolong ini bisa dilakukan dengan saling mendo'akan, saling menasihati, juga saling membantu dalam bentuk amal perbuatan. Kalaupun tidak turut berperang, kita dapat ikut menyediakan bekal menghadapi peperangan, misalnya. Dalam masalah-masalah yang jelas kesalahannya, kita dilarang untuk saling memberikan pertolongan. Contoh ringan yang mungkin pernah kita alami saat masih sekolah, misalnya memberi contekan saat ulangan. Mungkin saat itu kita merasa sungkan untuk menolak memberi 'pertolongan'. Dan contoh yang lebih berat mungkin akan sering kita jumpai seiring dengan semakin dewasanya kita dan semakin kompleksnya permasalahan yang kita hadapi. Jadi kita seharusnya berterima kasih jika ada yang menegur kita, bahkan mencegah kita dengan kekuatan manakala kita sedang berbuat kesalahan.

4. Takaful Takaful ini akan melahirkan perasaan senasib dan sepenanggungan. Di mana rasa susah dan sedih saudara kita dapat kita rasakan, sehingga dengan serta merta kita memberikan pertolongan.

Dalam sebuah hadits Rasulullah memberikan perumpamaan yang menarik tentang hal ini, yaitu dengan mengibaratkan orang beriman - yang bersaudara - sebagai satu tubuh. B. UKHUWAH INSANIYAH Dalam diri manusia yang rendah terdapat keterikatan material, ketika tidak menggapai syiar kebebasan yang ada dalam jiwanya dan terikat oleh materi yang mendorong kehambaannya pada materi, mereka bertemu dan bersatu dalam kebutuhan materi yang sama. Koloni yang membentuk jiwa-jiwa mati sering bertemu satu sama lain. Mereka ini dengan sendirinya berkelompok menurut kecondongan hawa nafsunya. Fenomena konglomerasi yang kita saksikan di berbagai negara menunjukkan hal itu. Ketika manusia terikat sedemikian rupa oleh materi yang ada dalam benaknya, maka itu tidak lebih dari angka-angka statistik fluktuasi harga yang sedemikian rupa berpengaruh pada diri mereka disebut budak hartanya. Sebab harta ketika sedemikian besarnya, maka kehilangannya sama saja dengan hilangnya seluruh semangatnya, motivasi bahkan orientasinya. Fenomena kumpulan para usahawan yang bersekongkol dalam menindas orang-orang lemah yang biasanya dilakukan pemilik kapital besar menunjukkan masyarakat materialis budakbudak harta dan bendawi ini. Mereka tak lebih dari binatang-binatang yang hina, yang apabila kehilangan harta benda penyatu ikatan mereka, maka mereka saling melaknat dan mencaci satu sama lain. Kasus mega skandal Bapindo menunjukkan hal ini. Ketika pengikat, penjaga status mereka tetap ada, yaitu kredit-profit dan suap, hubungan mereka tampak sedemikian mesra. Masyarakat yang melihatnya menjadi segan dan kadang memuji koruptor-koruptor berhias emas permata dan jabatan. Apakah yang terjadi dengan robeknya hubungan mereka ? yaitu saat emosi mereka tak terpenuhi lagi sehingga kutukan dan saling tuduh, yang justru muncul pada saat tidak

ada musuh sejahat rekan-rekan mereka yang sebelumnya demikian mesra. Saksi, sumpah palsu dan berbagai cara diupayakan untuk menenangkan dan menyelamatkan diri serta meluluskan egoismenya. Perhatikan dengan binatang yang bertarung satu sama lain, apa beda mereka dengan binatang ? kebinatangan yang sebagiannya kemudian mampu menutup sejarah dihadapan orangorang bodoh (jahil) dan awam. Namun para ulama tentunya merasa jijik dengan jiwa kebinatangan ini dan bersegera menjauhkan diri. Bagaimana dengan kita ? aadakah kita memandang saudara kita dengan pertimbangan materi ? sehingga kita melebihkan si kaya sambil merendahkan simiskin ? Jika demikian, maka kita sepenuhnya terpaku pada nilai-nilai material yang mengikat diri kita satu sama lain. Semoga Allah menjauhkan kita dari jiwa kebinatangan atau kekerdilan seperti itu. Terkadang hubungan fisikal ini demikian menjenuhkannya. Mereka menggaji yang menduduki posisi tinggi merasa paling berotoritas dan tanpa kematangan ilmu dan kebijaksanaan sedikitpun berlaku semena-mena. Alangkah kejinya mereka itu. Terlebih lagi setelah menjustifikasi diri atas nama agama. Terdapat pertanyaan mendasar, apakah kemudian melandasi ukhuwah ditengah-tengah mereka dengan menafikan hubungan ekonomis ? jawabnya jelas tidak, namun Islam menolak jika faktor utama persatuan Islam dengan fokus atau dasar ekonomi. Jelas masyarakat yang menjadikan materi sebagai pengikat diantara mereka, akan bergerak kearah materi. Dalam falsafah tujuan penciptaan telah dijelaskan hal ini.

DAFTAR PUSTAKA http://www.scribd.com/doc/32273248/UKWAH-ISLAMIYAH-dan-UKWAHINSANIYAH DIAKSES 23 MEI 2012 http://www.harianhaluan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1255 9:fungsi-masjid-dan-masyarakat-modern&catid=12:refleksi&Itemid=82 DIAKSES 23 MEI 2012 http://radarkarawangnews.blogspot.com/2010/07/lembaga-ekonomi-modern-dankoperasi.html DIAKSES 23 MEI 2012 http://www.harianhaluan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1255 9:fungsi-masjid-dan-masyarakat-modern&catid=12:refleksi&Itemid=82 DIAKSES 23 MEI 2012 http://www.scribd.com/doc/39679491/Upaya-Pembentukan-Keluarga-Islami-DanMasyarakat-Islami DIAKSES 23 MEI 2012 http://www.grii-andhika.org/ringkasan_kotbah/2000/20001001.htm DIAKSES 23 MEI 2012

You might also like