You are on page 1of 12

MAKALAH KERUKUNAN DALAM ISLAM

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

Disusun Oleh :

Amalia Aza Riska Luthfi Helvida Mutiara Ayu Ulansari Sri Lestari Vera Alkathirie TINGKAT FAKULTAS/JURUSAN

: : : : : : :

12630054 12630066 12630013 12630053 12630025 SEMESTER 1 EKONOMI/AKUNTANSI

PEMERINTAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA DINAS PENDIDIKAN UNIVERSITAS BOROBUDUR Jl.Raya Kalimalang No.1 Jakarta Timur, Telp/Fax : (021) 8613868, 8613872

PENDAHULUAN Rukun dari Bahasa Arab ruknun artinya asas-asas atau dasar, seperti rukun Islam. Rukun dalam arti adjektiva adalah baik atau damai. Kerukunan hidup umat beragama artinya hidup dalam suasana damai, tidak bertengkar, walaupun berbeda agama. Kerukunan adalah kata yang sering sekali dipakai untuk kampanye perdamaian di tengah ancaman kerusuhan dan kekerasan sosial. Sepintas lalu banyak yang mempertukarkan atau menganggap sama antara kata rukun dan damai (kerukunan dan kedamaian). Sebenarnya, kerukunan memiliki makna yang jauh lebih dalam dan karenanya sangat dibutuhkan untuk mengatasi persoalan konflik dan kekerasan. Kata rukun pada dasarnya bermakna fondasi atau pilar. Ia bukan sekedar hidup damai dan harmoni. Kata yang berasal dari bahasa Arab ini sering digunakan ketika menyebut frase rukun iman atau rukun Islam. Rukun pada frase-frase itu merujuk pada makna fondasi, pilar, atau tiang. Pada frase rukun iman, misalnya, tidak dimaksudkan sebagai upaya untuk mendamaikan prinsip-prinsip keimanan dalam Islam. Percaya kepada Tuhan, Nabi, Kitab Suci, hari akhir, dan ketentuan Tuhan adalah prinsip-prinsip utama yang tidak saling bertentangan. Demikian pula pada frase rukun Islam. Membaca dua kalimat syahadat, salat, puasa, zakat, dan naik haji bagi yang mampu bukanlah hal-hal yang bisa berkonflik dan harus didamaikan. Kata rukun di sana bermakna fondasi. Kedalaman makna dari kata rukun inilah yang tampaknya menjadi alasan kenapa dua wilayah pemerintahan disebut sebagai rukun warga dan rukun tetangga. Di sini tampak bahwa kerukunan tidak hanya dimaknai sebagai hidup dalam damai dan saling menghargai. Lebih dari itu, kerukunan dimaknai sebagai fondasi bagi kehidupan bersama.

Kerukunan Dalam Islam


Hingga saat ini, perjalanan sejarah kehidupan manusia masih sulit terhindar dari konflik. Dan inorisnya, kelompok-kelompok yang terlibat dalam konflik acap kali membawa bendera agama atau aliran dalam agama, sehingga tidak terhindarkan adanya sebuah kesimpulan bahwa telah terjadi konflik antar pemeluk dalam satu agama atau konflik antar umat beragama. Kemudian kesimpulan tersebut digeneralisasi menjadi sebuah thesis bahwa adanya konflik agama disebabkan oleh keberagaman agama. Oleh karena itu, agama harus dijadikan satu atau agama sebaiknya ditiadakan agar tidak ada konflik lagi. Kesimpulan seperti ini pernah dilontarkan oleh pemikir Islam Muhammad Ibn Zakaria al-Razi (865-934) Kesimpulan ini tidak saja salah arah, tetapi juga sangat membahayakan bagi keberadaan agama-agama, termasuk agama Islam. Sebenarnya, jika dikaji secara teliti dan mendasar, meletusnya apa yang disebut dengan konflik agama, terutama konflik agama yang berskala besar, tidak hanya dipicu oleh kesadaran teologis yang sempit, tetapi juga dipicu oleh kesadaran primordialisme sosiologis, politis, dan ekonomis. Dan bahkan sebenarnya kesadaran jenis kedua yang menjadi faktor utama meletusnya sebuah konflik, kemudian kesadaran teologis diikutsertakan dalam konflik tersebut sebagai alat untuk mempermudah menarik simpati masyarakat yang seagama dan sebagai strategi yang efektif untuk memobilisasi massa. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa meletusnya konflik agama bukan disebabkan oleh agama itu sendiri atau bukan disebabkan keberagaman agama semata, tetapi disebabkan oleh tingkat pemahaman umat beragama terhadap ajaran agamanya dan faktor-faktor lain di luar agama. Maka tingkat pemahaman keagamaan yang tinggi dan konprehensip menjadi power yang sangat dahsat bagi umat beragama untuk mencegah dan meredam meletusnya konflik agama. Kebenaran agama yang bersifat absolut di satu sisi, keyakinan dan klaim umat beragama bahwa agamanya yang paling benar di sisi yang lain memang menjadi potensi yang tidak kecil yang mengarah kepada munculnya konflik agama, tetapi kedua sisi tersebut didesain bukan untuk memicu konflik agama, tetapi untuk melahirkan gaerah keagamaan bagi umat beragama. Bahkan Al-Quran melarang keras umat Islam melakukan tindakan-tindakan yang merendahkan agama lain, apalagi merugikan dan merusaknya. Penjelasan ini terdapat dalam Al-Quran Surat Al-Anam ayat 108 yang berbunyi: Dan janganlan kamu memaki sembahansembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melapaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitahukan kepada mereka apayang dahulu mereka kerjakan .

Dari uraian singkat di atas, penulis ingin kemukakan bahwa dalam perspektif Islam, kerukunan hidup beragama bukan sebatas dimaknai bagaimana perilaku keagamaan umat beragama tidak memicu lahirnya konflik agama yang secara konseptual direalisasikan dalam bentuk perilaku sosial, seperti menghormati agama orang lain dan tidak meng-Islam-kan secara paksa orang yang sudah beragama (QS. 109: 1-6), (QS.2:256), tetapi kerukunan dalam hidup beragama juga diartikan bahwa pemeluk agama non-Islam juga bagian dari umat Islam. Kerukunan dalam arti yang kedua ini teraktualisasi dalam konsep ukhwah Wathaniyah dan ukhwah insaniyah.

A. Makna Ukhuwah Wathaniyah


Konsep ukhwah wathaniyah, sebagai aktualisasi dari kerukunan dalam arti yang kedua, secara jelas dijabarkan dalam Shahifah Madinah atau konstitusi negara Madinah oleh banyak pengamat agama, sosial, dan politik Shahifah ini disebut konstitusi modern. Dalam Shahifah tersebut dijelaskan bahwa masyarakat Madinah yang terdiri dari beberapa suku dan agama sebagai umatan whidah (satu umat) yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama, seperti saling membantu dan saling melindungi antarsesama warga Madinah tanpa melihat asal agama dan suku. Hal ini dapat dilihat pada pasal 25 berbunyi Kaum Yahudi dari awf adalah satu umat dengan mukminin. Bagi kaum Yahudi agama mereka, dan bagi kaum muslimin agama mereka. Juga (kebebasan ini berlaku) bagi sekutu-sekutu dan diri mereka sendiri, kecuali bagi yang dzalim dan jahat. Hal demikian akan merusak diri dan keluarganya, dan pada pasal 37 yang berbunyi Bagi kaum Yahudi ada kewajiban biaya, dan bagi kaum muslimin ada kewajiban biaya. Mereka (Yahudi dan Muslimin) bantu membantu dalam menghadapi musuh piagam ini. Mereka saling memberi saran dan nasihat. Memenuhi janji lawan adalah khianat. Seseorang tidak menanggung hukuman akibat (kesalahan) sekutunya. Pembelaan diberikan kepada yang teraniaya. (lihat Muhammad Hamidullah, Majmuah al-Wasaiq al-siyasiyyah li alAhd al-Nabawyy wa al-Khalifah al-Rasyidah; 1969, 39-47) Bahwa pemeluk agama non-Islam adalah sebagai bagian dari umat Islam sehingga disebut umatan whidah juga dapat dipahami dari Sabda Rasulullah yang berbunyi: Barangsiapa yang mengganggu ( hadits lain menyakiti ) kaum dzimmi, maka ia telah mengganggu aku (al-Hadits). Makna yang terkandung dalam hadits tersebut adalah bahwa di luar masalah teologi, kaum dzimmi (Kaum Dzimmi atau kafir Dzimmi merupakan istilah yang banyak digunakan dalam dunia fiqh, termasuk fiqh al-siyasi. Dalam kajan fiqh, kafir Dzimmi didevinisikan sebagai kelompok masyarakat non-Muslim yang hidup ditengah-tengah umat Islam dan bersedia menjalankan sistem aturan yang ada,

seperti membayar Jazyah (upeti). Dalam kajian sosial, kaum Dzimmi mungkin dapat dipahami sebagai simbolisasi dari sebauh komponen masyarakat non Muslim yang berprilaku baik, taat terhadap sistem aturan yang ada dalam masyarakat, serta berperan aktif dalam kehidupan masyarakat) tidak saja bagian umat Islam, bahkan bagian dari kehidupan Rasulullah. Rasululllah menilai bahwa kaum Dzimmi juga turut berperan mewujudkan masyarakat madani yang dirintis oleh Rasulullah sendiri. Maka mengganggu kaum Dzimmi, berarti menciderai atau merusak masyakarat madani. Di sini Rasulullah mengajarkan kepada kita bahwa dalam kehidupan bermasyarakat, semua komponen-komponen masyarakat yang ada mempunyai andil yang tidak kecil dalam membangun sistem kehidupan. Maka rusaknya atau tidak berfungsinya salah satu komponen masyarakat, akan mengganggu atau bahkan merusak sistem kehidupan yang ada. Oleh karena itu, barangsiapa yang merusak suatu unsur dalam masyarakat yang sudah baik, berarti secara tidak langsung ia telah merusak sistem kehidupan itu sendiri. Dalam hadits tersebut, Rasulullah seakan-akan ingin mengatakan bahwa dalam kehidupan bermasyarakat, terjadi apa yang disebut dengan inter independensi, saling membutuhkan dan saling ada ketergantungan. Jika inter independensi menjadi sebuah prinsip dalam kehidupan bermasyarakat yang tidak boleh tidak harus dipegang teguh oleh setiap anggota dan komponen masyarakat, maka memahami arti kerukunan hidup beragama adalah bagaimana antarumat beragama dapat saling melindungi, memelihara dan mengamankan, bahkan dalam kondisi-kondisi tertentu mungkin dapat meningkatkan sesuatu yang bersifat psikologis, sosiologis, profan-material duniawi yang dimiliki oleh setiap umat beragama. Pemahaman kerukunan hidup beragama seperti ini akan bersifat aktif dan dinamis, seiring dengan dinamika kehidupan itu sendiri. Dan secara ontologis, pemahaman kerukuanan seperti itu juga besar kemungkinan dapat menyentuh persoalan-persoalan mendasar yang dihadapi oleh setiap umat beragama, seperti membangun struktur dan tata nilai kehidupan yang lebih beradab dan humanis.

B. Makna Ukhuwah Islaminyah


Kerukunan umat Islam di Indonesia harus berdasarkan atas semangat ukhuwah Islamiyyah (persaudaraan sesama muslim). Kata ukhuwah berarti persaudaraan, maksudnya perasaan simpati dan empati antar dua orang atau lebih. Masing-masing pihak memiliki satu kondisi atau perasaan yang sama, baik suka maupun duka, baik senang maupun sedih. Jalinan perasaan itu menimbulkan sikap timbal balik untuk saling membantu pihak lain yang mengalami kesulitan, serta sikap untuk saling membagi kesenangan kepada pihak lain bila salah satu pihak menemukan kesenangan. Ukhuwah atau persaudaraan berlaku sesame umat islam,

yang di sebut Ukhuwah islamiyah dan berlaku pula pada semua umat manusia secara universal tanpa membedakan agama, suku, dan aspek-aspek lainnya, yang disebut Ukhuwah insaniyah. Persaudaraan sesama muslim, berarti saling menghormati dan saling menghargai relativitas masing-masing sebagai sifat dasar kemanusiaan, seperti perbedaan pemikiran, sehingga tidak menjadi penghalang untuk saling membantu atau menolong karena di antara mereka terikat oleh satu keyakinan dan jalan hidup, yaitu Islam. Agama islam memberikan petunjuk yang jelas untuk menjaga agar persaudaraan sesama muslim dapat terjalin dengan kokoh sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Hujarat 49: 10-12 yang artinya : (10) sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat, (11) Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olok) lebih baik dari wanita ( yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan jangan pula kamu panggilmemanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah beriman dan barang siapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang dhalim, (12) Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian dari kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah SWT. Sesungguhnya Allah maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.

C. Makna Ukhuwah Insaniyah


Konsep Persaudaraan sesame manusia, Ukhuwah Insaniyah, dilandasi oleh ajaran bahwa sesame umat manusia adalah makhluk Allah. Sekalipun Allah memberikan petunjuk kebenaran melalui ajaran islam, tetapi Allah juga memberikan kebebasan kepada setiap manusia untuk memilih jalan hidup berdasarkan pertimbangan rasionya. Oleh karena itu sejak awal penciptaan, Allah tidak tetapkan manusia sebagai satu umat, padahal Allah bisa bila mau. Itulah fitrah manusia, sebagaimana Allah jelaskan dalam QS. Al-Maidah (5):48 yang artinya : Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat, tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu. Prinsip kebebasan itu menghalangi pemaksaan suatu agama oleh otoritas manusia, bahkan Rsulpun dilarang melakukannya, sebagaimana firman Allah dalam QS. Yunus 10:99 yang artinya : Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di

muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supanya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya? Dalam QS. Al-Baqarah (2): 256 Allah juga berfirman : Tidak ada paksaan untuk memasuki agama (Islam), sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari pada jalan yang salah. Senada dengan makna ayat tersebut, dalam QS> al-Kahfi (18):29 Allah berfirman: Dan katakanlah: Kebenaran itu dating dari Tuhanmu, maka barang siapa yang ingin beriman hendaklah ia beriman dan barang siapa yang ingin kafir biarlah ia kafir. Konsep Ukhwah Insaniyah sebagai aktualisasi dari kekurukan yang termasuk dalam arti kedua dapat kita temukan dalam Sabda Rasulullah saw. yang disampaikan ketika beliau sedangkan menjalankan ibadah haji di Arafah (Makkah) yang berbunyi: Wahai manusia, sesungguhnya jiwa, harta dan harga dirimu semua adalah mulia seperti mulia hari (Arafah) ini, tanah suci Makkah ini, dan bulan (haji) ini. Dalam hadits tersebut, Rasulullah mengawalinya dengan kata wahai manusia bukan dengan kata wahai orang-orang Islam atau orang-orang yang beriman. Dalam hadits tersebut, tampak dengan jelas, bahwa Rasulullah mempunyai komitmen kemanusiaan yang bersifat universal dan sangat tinggi. Hal ini tampak jelas pada pandangan Nabi Muhammad yang secara tegas menyamakan kemuliaan jiwa dan harga diri manusia dengan kemulian tanah Suci Makkah dan bula Haji. Jiwa dan harga diri manusia merupakan simbolisasi dari unsur-unsur internal dan bersifat inheren pada setiap diri manusia. Pada dasarnya, setiap manusia mendambakan kedekatan kepada Tuhan, kejujuran, keadilan, kedamaian, kebenaran yang bersemayam dalam jiwanya dan menolak hal-hal yang bersifat kebalikannya. Semua ini menjadi titik temu untuk menyatukan umat beragama yang satu dengan lainnya. Dalam konteks ini, tidak dibenarkan oleh Islam, membenci, apalagi menyakiti atau membunuh seseorang hanya alasan berbeda agama. Dan AlQuran sendiri hampir tidak pernah mengecam manusia, tetapi yang dikecam AlQuran adalah sifat-sifat manusianya, seperti term al-mujrmn, al-munfiqn, alkfirn dll. Berbeda dengan konsep Ukhwah Wathiyah, dimana pemaknaan Kerukunan Hidup Beragama ditekankan kepada dimensi sosialnya karena manusia (baca umat beragama) ditempatkan sebagai makhluk sosial, dalam konsep Ukhwah Insaniyah, pemaknaannya ditekankan kepada pemahaman eksistensi manusia sebagai makhluk Tuhan yang secara individual mempunyai banyak kesamaan nilai-nilai antara manusia yang satu dengan lainnya.

D. Kerukunan Beragama di Zaman Rasulullah


Dalam Al-Quran Surat Al-Baqarah 256 Allah berfirman :

Artinya:Tidak ada paksaan untuk (memasuki.) agama (Islam) Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada yang salah. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut [162] dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Menurut riwayat Ibnu Jurair dari Said yang bersumber dari Ibnu Abbas, asbabun nuzul ayat diatas adalah : Hushain dari Golongan Anshar suku Bani Salim yang mempunyai dua orang anak yang beragama Nasrani, sedang dia sendiri beragama Islam. Ia bertanya kepada Nabi saw. : "bolehkah saya paksa kedua anak itu, karena mereka tidak taat kepadaku, dan tetap ingin beragama Nasrani?", maka turunlah ayat diatas. Kemudian dalam surat Al-Hajj 17 Allah berfirman :

Artinya: Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang -orang Yahudi, orang-orang Nasrani, orang orang Shabiin (orang-orang yang mengikuti syariat Nabi-Nabi zaman dahulu atau orang-orang yang menyembah dewa-dewa,orang-orang Majusi, orangorang musyri) Allah memberikan keputusan diantara mereka dihari kiamat. Sesungguhnya Allah atas segala sesuatu menjadi saksi (Mengetahui). Dalam Islam, kemerdekaan beragama adalah merupakan salah satu azaz dalam pengembangan dan penyiarannya dan pemaksaan sama sekali tidak dapat dibenarkan. Baik itu berupa pemaksaan pisik (ancaman pisik) maupun berupa pemaksaan mental (pemboikotan ekonomi). Demikian konsep kemerdekaan beragama yang diterapkan (diajarkan) oleh Rasulullah saw dan para pemimpin Islam (Khulafaur Rasyidin), bahkan terhadap para tawanan perangpun Islam tidak pernah memaksakan mereka untuk memeluk agama Islam, dan peperangan yang dilaksakan Islam hakekatnya adalah untuk mempertahankan kebebasan beragama.

Karena peperangan dilakukan adalah terhadap mereka yang menghalangi pelaksanaan penyiaran Islam (defensive), bukan berupa expansive. Persamaan derajat manusia (Equality) Disamping memproklamirkan kemerdekaan beragama, Islam juga memproklamirkan persamaan derajat manusia. Tidak ada perbedaan antara pimpinan dengan yang dipimpin; antara Kepala Negara dan Rakyat Jelata; juga tidak ada perbedaan antara bangsa Kulit Putih dengan bangsa Kulit Hitam. Manusia secara keseluruhannya adalah makhluk Allah, yang diciptakan-Nya dari asal yang satu yaitu Nabi Adam as., hanya ketaqwaan jua yang membedakan manusia disisiNya, sebagaimana firman Allah pada surat An-Nisa;1 : Artinya: Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhan mu yang telah menjadikan kamu dari seorang diri, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan dari keduanya Allah memperkembang-biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak Dan firman Allah pada surat Al-Hujuraat;13 :

Artinya: Hai sekalian manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. Jika Allah sebagai Zat Yang Maha Tinggi memandang semua manusia sama, hanya ketaqwaan yang membedakannya, maka sungguh sangat tak logis jika manusia mengadakan pengkotak-kotakan sendiri antar sesamanya. TM. Hasbi AshShiddieqy, dalam tulisannya menjelaskan (1977: 47): ...manusia semuanya dalam Syari'at Islam sama rata walaupun mereka berbeda-beda bangsa dan kabilah, sama rata dalam menghadapi hak, sama rata dalam memikul kewajiban, sama rata dalam bertanggung jawab. Semua mereka dalam hal yang demikian sama dengan gigi sisir tidak panjang yang satu dari yang lain dan tidak kurang yang satu dari yang lain. Dengan prinsip persamaan dimaksud, Syari'at Islam tidak membenarkan untuk mengambil hak orang lain untuk menentukan dan memilih agama yang akan

dianutnya. Karena itu sungguh tepat sekali apa yang dinyatakan oleh Khalifa Abdul Hakim dalam tulisannya (1953: 208) : Yang paling mendasar dari pada konstitusi (Islam) adalah menjamin persamaan dan kemerdekaan warga negara dalam segala bidang. Semua warga negara yang Non Muslim diberikan hak untuk menyelesaikan perkara-perkara diantara mereka menurut hukum perseorangan (personal law) mereka sendiri, sepanjang mereka tidak melanggar nilai-nilai dasar hak azazi manusia. Toleransi beragama (Tolerance of Religious) Toleransi beragama dalam Islam ditegakkan atas dasar kemerdekaan beragama, persamaan dan keadilan. Rasulullah saw, telah meletakkan toleransi beragama sebagai salah satu prinsip dari Negara Islam yang didirikannya setelah hijrah, ke Madinah (Yatsrib). Tiga agama besar saat itu Yahudi, Nasrani dan Majusi (Zaroaster) telah mendapat pengakuan hak-haknya dari pemerintahan Islam saat itu. Terhadap agama Nasrani tercermin dari tindakan Rasulullah saw. mengirim dan menerima utusan dari berbagai Raja dan Kabilah, dalam rangka pertukaran pendapat masalah agama. Terhadap agama Majusi, Rasulullah telah memberikan pengakuan kepada seorang Kepala Pedupaan sucinya Farrukh putera Syakhsan demikian pula telah diberikan perlindungan terhadap pemeluk agama Majusi. Terhadap golongan Yahudi, pengakuan hak-haknya dapat dilihat dalam naskah proklamasi Negara Islam Pertama : ... Pasal 25 sampai 35 (11 pasal) membuat pengakuan hak-hak warganegara untuk berbagai suku bangsa Yahudi, walaupun pada waktu pernyataan proklamasi ini belum ikut memberikan kesetiaannya. Diakui pula hak kebebasan mereka untuk memeluk dan menjalankan ajaran-ajaran agamanya, kecuali kalau mengganggu ketertiban umum. tiap-tiap pelanggaran atas ketertiban umum berarti memanggil kerusakan atas dirinya dan atas keluarganya (Ahmad: 79)

E. Konsep Toleransi dalam Islam


Berdasarkan pengertian toleransi, toleransi mengarah kepada sikap terbuka dan mau mengakui adanya berbagai macam perbedaan, baik dari sisi suku bangsa, warna kulit, bahasa, adat-istiadat, budaya, bahasa, serta agama. Ini semua merupakan fitrah dan sunnatullah yang sudah menjadi ketetapan Tuhan. Landasan dasar pemikiran ini adalah firman Allah dalam QS. Al-Hujurat ayat 13. Toleransi dalam beragama bukan berarti kita hari ini boleh bebas menganut agama tertentu dan esok hari kita menganut agama yang lain atau dengan bebasnya mengikuti ibadah dan ritualitas semua agama tanpa adanya peraturan yang mengikat. Akan tetapi, toleransi beragama harus dipahami sebagai bentuk pengakuan kita akan adanya agama-agama lain selain agama kita dengan segala

bentuk system, dan tata cara peribadatannya dan memberikan kebebasan untuk menjalankan keyakinan agama masing-masing. Konsep toleransi yang ditawarkan Islam sangatlah rasional dan praktis serta tidak berbelit-belit. Namun, dalam hubungannya dengan keyakinan (akidah) dan ibadah, umat Islam tidak mengenal kata kompromi. Ini berarti keyakinan umat Islam kepada Allah tidak sama dengan keyakinan para penganut agama lain terhadap tuhan-tuhan mereka. Demikian juga dengan tata cara ibadahnya. Bahkan Islam melarang penganutnya mencela tuhan-tuhan dalam agama manapun. Maka kata tasamuh atau toleransi dalam Islam bukanlah barang baru, tetapi sudah diaplikasikan dalam kehidupan sejak agama Islam itu lahir. Karena itu, agama Islam menurut hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, Rasulullah saw. pernah ditanya tentang agama yang paling dicintai oleh Allah, maka beliau menjawab: al-Hanafiyyah as-Samhah (agama yang lurus yang penuh toleransi), itulah agama Islam. Toleransi dibagi menjadi 3; 1. Negatif

Isi ajaran dan penganutnya tidak dihargai. Isi ajaran dan penganutnya hanya dibiarkan saja karena menguntungkan dalam keadaan terpaksa. Contoh PKI atau orang-orang yang beraliran komunis di Indonesia pada zaman Indonesia baru merdeka. 2. Positif

Isi ajaran ditolak, tetapi penganutnya diterima serta dihargai. Contoh Anda beragama Islam wajib hukumnya menolak ajaran agama lain didasari oleh keyakinan pada ajaran agama Anda, tetapi penganutnya atau manusianya Anda hargai. 3. Ekumenis

Isi ajaran serta penganutnya dihargai, karena dalam ajaran mereka itu terdapat unsur-unsur kebenaran yang berguna untuk memperdalam pendirian dan kepercayaan sendiri. Contoh Anda dengan teman Anda sama-sama beragama Islam atau Kristen tetapi berbeda aliran atau paham. Dalam kehidupan beragama sikap toleransi ini sangatlah dibutuhkan, karena dengan sikap toleransi ini kehidupan antar umat beragama dapat tetap berlangsung dengan tetap saling menghargai dan memelihara hak dan kewajiban masing-masing.

DAFTAR PUSTAKA
Alamsyah Ratu Perwiranegara, "Di Dalam Negara Pancasila Agama Akan Berkembang Subur", Gema, No.6 Tahun ke-II Juli/Agustus 1981 (Majalah Bulanan Depag). Barmawie Umarie, Materia Akhlak, CV. Pamadhani, Semarang, 1967. Hasbullah Bakry, Problematik Hukum Islam Dan Negara Islam, Wiwijaya, Jakarta, 1968. Khalifa Abdul Hakim, Islamic Ideologi, The Institute of Islamic Culture, Lahore. Muhammad Asad (Leopold Weis), Undang Undang Politik Islam, Terj.Oemar Amir Hoesin dan Amiruddin Djamil, Pustaka, Jakarta. Muhammad Hamidullah, The Moslem Conduct of State, Shaikh Muhammad Ashraf, Lahore. M. Isa Sarul, "Pengantar Ilmu Fikih". Al-Fatah, No.2 Tahun ke-II, Januari 1971. Oesman Mansoer, Islam Dan Kemerdekaan Beragama, CV. Nur Cahaya, Yogyakarta, 1980. Qamaruddin et.al., Asbabun Nuzul, Latar Belakang Historis Turunnya Ayat Ayat AlQur"an, CV. Diponegoro, Bandung, 1975. Sobhi Mahmassani, Filsafat Hukum Dalam Islam, Alih Bahasa Ahmad Soedjono, PT,Al Maarif, Bandung, 1977. Sayid Sabiq, Aqidah Islam , Terjemahan Moh. Abday Rathomy, CV.Diponegoro, Bandung, 1974. Sukanto M.M,, Orde Tertib Hidup Beragama, CV. Ramadhani, Semarang, 1978. T'.M.Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1975. Hukum Antar Golongan Dalam Fiqh Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1971. W. A. Gerungan, Psychologi Sosial Sebuah Ringkasan, PT, Eresco, Jakarta-Bandung, 1974. Zainal Abidin Fikry, "Peranan Ilmu Tafsir Dalam Penggalian Hukum Islam, Al-Fatah No.4/5 Tahun ke-II/III, Desember 1971. Zainal Abidin Ahmad, Membentuk Negara Islam, Wijaya, Jakarta, 1956.

You might also like