You are on page 1of 21

SISTEM HANKAMNAS

ARTI HANKAMNAS
Hankamnas diartikan sebagai pertahanan

keamanan negara yang merupakan salah satu fungsi pemerintahan Negara,yang mencakup upaya dalam bidang pertahanan yang ditujakan terhadap segala ancaman dari luar negri dan upaya dalam bidang keamanan yang ditujukan terhadap ancaman dari dalam negri,bukan hanya upaya dari satu atau dua golongan saja melainkan merupakan upaya dari ABRI dan seluruh lapisan masyarakat / rakyat Indonesia sebagai sumber dasar kekuatan pertahanan keamanan Negara.

TUJUAN HANKAMNAS
Tujuan Hankamnas (neg) adalah untuk

menjamin tetap tegaknya Negara kesatuan RI berdasarkan pancasila dan UUD 1945 terhadap segala ancaman baik dari luar negri maupun dari dalam negri dan tercapainya tujuan nasional.

TUGAS POKOK
Hankamnas bertugas pokok: 1. Mempertahankan, mengamankan, dan menyelamatkan pancasila dan undang-undang dasar 1945. 2. Mempertahankan dan mengamankan segala hasil perjuangan yang telah dicapai dibidang politik, ekonomi, social-budaya,agama, dan militer. 3. Mempertahankan dan mengamankan kemerdekaan, kedaulatan dan integrasi Negara, wilayah dan bangsa Indonesia. 4. Mempertahankan dan mengamankan nilai-nilai kehidupan kepentingan-kepentingan nasional lainya.

FUNGSI
Hankamnas (neg)berfungsi untuk: Memelihara dan meningkatkan ketahanan nasional dengan menanamkan serta memupuk kecintaan pada tanah air, kesadaran berbangsa dan bernegara Indonesia. 2. Membangun, memelihara, dan mengembangkan secara terpadu dan terarah segenap komponen kekuatan pertahanan keamanan Negara. 3. Mewujudkan seluruh kepulauan nusantara beserta yuridiksi nasionalnya sebagai satu kesatuan pertahanan keamanan Negara dalam rangka perwujudan wawasan nusantara.
1.

SEJARAH PERJUANGAN
SEJARAH PERJUANGAN BANGSA INDONESIA Setelah tanggal 17 Agustus 1945, perjalanan sejarah perjuanganbangsa Indonesia untuk mewujudkan suatu kemerdekaan yang sempurna belum sepenuhnya berakhir. Hal ini disebabkan juga karena pada saat itu Belanda belum mau mengakui kemerdekaan Indonesia, mereka masih mengklaim bahwa Indonesia merupakan wilayah Kerajaan Belanda. Dari sinilah berbagai macam perjuangan bersenjata dilakukan oleh para tokoh bangsa ini demi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kondisi ini tentunya menjadikan sebuah sejarah tersendiri bagi perkembangan bangsa Indonesia. Belanda merupakan salah satu negara yang mengisi sejarahperjuangan bangsa Indonesia dalam merebut kemerdekaan. Sejarah yang dibuat oleh Belanda karena menjajah negara ini tentunya dapat kita rasakan saat ini. Dahulu kala para penjajah Belanda telah membuat kemarahan hampir seluruh rakyat Indonesia yang tidak mau terjadi sejarah yang sama yaitu penjajahan kembali oleh Belanda. Kemarahan itu diwujudkan juga dalam bentuk bentuk perlawanan bersenjata. Di berbagai tempat di Indonesia terjadi kontak senjata antara rakyat Indonesia dan tentara Belanda yang memboncengi tentara Sekutu. Di Bandung, Ambarawa, Surabaya serta di beberapa tempat di Sumatera, Bali, Kalimantan, dan Sulawesi terjadi pertempuran dashyat yang melibatkan berbagai elemen masyarakat.

Sejarah Perjuangan Bersenjata di Bandung


Berita

penyerahan Jepang kepada Sekutu dan proklamasi kemerdekaan telah beberapa minggu diketahui rakyat Bandung. Para pejuang dan laskar di daerah Bandung berinisiatif melucuti dan mengambil senjata dari gudang-gudang milik Jepang secara damai. Pertempuran yang tidak seimbang ini memaksa para pejuang dan laskar mengundurkan diri dari pertempuran langsung. Untuk menghindari konflik langsung antara pasukan Sekutu dan para pejuang, Sekutu mengusulkan kepada pemerintah RI agar Bandung dibagi dua wilayah, yaitu jalur kereta api di sebelah utara sebagai wilayah Sekutu dan jalur kereta api di sebelah selatan sebagai wilayah RI. Kesepakatan ini memaksa para pejuang meninggalkan Bandung Utara pada tanggal 24 November 1945 dengan berat hati. Sambil hijrah ke Selatan, para pejuang membumihanguskan Bandung Utara. Sejarah inilah yang hingga saat ini membuat Bandung sebagai kota lautan api.

Sejarah Perjuangan Bersenjata di Ambarawa


Pertempuran di Ambarawa terjadi antara pemuda

Indonesia melawan sekutu. Latar belakang peristiwa ini dimulai ketika pasukan sekutu yang diboncengi oleh NICA berusaha membebaskan orang-orang Belanda yang ditahan Jepang. Setelah bebas, para tawanan kemudian dipersenjatai.

Kejadian ini juga terjadi di Magelang dan Ambarawa.

Insiden baru berakhir ketika Presiden Soekarno mengadakan perundingan dengan Jenderal Bethell. Namun hasil perudingan ternyata dilanggar oleh pihak sekutu. Insiden pun meluas menjadi pertempuran antara TKR melawan sekutu. Akhirnya, pada tanggal 21 November 1945, pasukan Sekutu berhasil dipukul mundur dan bertahan di Semarang.

Sejarah Perjuangan Bersenjata di Surabaya


Pertempuran Surabaya berawal dari mendaratnya pasukan Sekutu yang diboncengi pasukan Belanda pada akhir Oktober 1945. Melalui perundingan dengan tokoh-tokoh masyarakat Surabaya dan melucuti tentara Jepang. Namun pada malam hari tanggal 26 Oktober 1945, Sekutu menyerang penjara Kalisosok. Tentara sekutu membebaskan Kolonel Huiyer, seorang perwira Belanda beserta tentara Belanda lainnya yang ditawan RI. Bahkan keesokan harinya Sekutu menyebarkan pamflet yang berisi perintah agar rakyat Surabaya menyerahkan senjata yang dirampas dari Jepang. Atas tindakan Sekutu rakyat Surabaya melakukan serangan umum terhadap kedudukan Sekutu di Surabaya. Pertempuran baru berakhir setelah Presiden Soekarno yang datang atas permintaan Sekutu dapat meyakinkan rakyat Surabaya bahwa Sekutu datang hanya untuk melucuti tentara Jepang. Namun, situasi tenang itu hanya berlangsung sebentar sebab ternyata pasukan sekutu terus memperkuat diri. Karena tidak ada tanggapan maka Sekutu menggempur Surabaya. Pertempuran Surabaya yang melibatkan hampir seluruh penduduk Surabaya itu berlangsung selama tiga minggu. Akibatnya, ribuan korbanmeninggal, luka-luka, dan gelombang pengungsi ke luar kota. Sejarah ini pula yang menyebabkan kota Surabaya disebut sebagai kota pahlawan.

Sejarah Perjuangan Bersenjata di Sumatera


Perang kemerdekaan terjadi di hampir di seluruh Sumatera

antara tahun 1945 sampai 1946. Salah satu perang yang mengguncangkan Sekutu adalah pertempuran Medan (Medan Area). Pertempuran ini bermula ketika para pejuang mulai merebut persenjataan Jepang yang seharusnya diserahkan kepada sekutu. Rakyat medan menolaknya sehingga terjadi bentrokan keduanya. Sekutu kemudian membuat batasan kekuasaan secara sepihak. Dengan tekad mempertahankan kota Medan mereka membubuhkan tanda tangan pada secarik kertas sebagai tanda setuju melakukan pertahanan dan berikrar bersama. Selain di Medan pertempuran terjadi di Aceh, Padang, dan Bukittinggi. Di Aceh, Sekutu mengerahkan pasukan pasukan Jepang untuk menghadapi para pejuang. Terjadilah pertempuran yang dikenal Peristiwa Krueng Panjo/Bireun. Para pejuang Aceh dipimpin oleh Residen Aceh, yakni Teuku Nyak Arief.

Sejarah Perjuangan Bersenjata di Bali


Tidak lama setelah mendengar berita proklamasi

kemerdekaan, rakyat Bali dikejutkan dengan kedatangan Sekutu. Sekutu datang dengan diboncengi pasukan Belanda. Situasi pun semakin buruk setelah Belanda ingin membentuk Indonesia Timur. Kemudian Sekutu melakukan gempuran secara besar-besaran dengan menggunakan pesawat tempur. Pemimpin pasukan Letkol I Gusti Ngurah Rai memerintahkan para pejuang untuk mengadakan perang puputan yang artinya secara habis-habisan. Letkol I Gusti Ngurah Rai akhirnya gugur bersama dengan anak buahnya.

Sejarah Perjuangan Bersenjata di Kalimantan


Perjuangan bersenjata di Kalimantan dilaksanakan dengan

bantuan personel dari Jawa. Sejak bulan November 1945 hingga Februari 1946 dikirim beberapa pasukan personel dari Jakarta, Tegal, Panarukan, dan Pekalongan. Pasukan tersebut dikirim ke kota kota di Kalimantan. Pasukan tersebut bertugas membantu laskar pejuang setempat menegakan kekuasaan RI. banyak yang gagal. Sebagian para pejuangnya merupakan para pemuda yang belajardi Jawa. Dari semua pejuang itu hanya sedikit personel yang berhasil bergabung dengan pejuang setempat dan melakukan perlawanan terhadap sekutu.

Namun keberadaannya diketahui oleh Sekutu sehingga

Sejarah Perjuangan Bersenjata di Sulawesi

Dr. Sam Ratulangi ditunjuk oleh pemerintah pusat sebagai Gubernur Sulawesi dengan tugas pokok menegakan kekuasaan RI di wilayah Sulawesi. Sam Ratulangi ditangkap sekutu sebelum ia berhasil menghimpun segenap kekuatan rakyat Sulawesi. Penagkapannya memicu kemarahan laskar pejuang. Dibawah pimpinan Ranggong Daeng Romo, Makaraeng Daeng Djarung dan Robert Wolter Monginsidi, mereka berjuang untuk mengusir pasukan sekutu. Dalam pertempuran dashyat Ranggong Daeng Romo gugur, 28 Februari 1947. Sementara itu Wolter Mongonsidi ditangkap oleh Belanda dan dihukum mati. Kematiannya tidak menyurutkan semangat perjuangan rakyat. Mereka terus melakukan perlawanan gerilya. Dengan dipimpin oleh Mayor Andi Matalata, rakyat terus melakukan perlawanan gerilya. Gangguan yang dilancarkan secara terus menerus oleh rakyat sangat merepotkan Belanda sehingga dibawah pimpinan Kapten Raymond Westerling, melakukan pembersihan dengan cara membunuh rakyat Sulawesi Selatan yang dicurigai mendukung laskar.

2. HAKEKAT PERANG
Bangsa Indonesia yang berfalsafah dan berideologi Pancasila menganut paham tentang perang dan damai berdasarkan : Bangsa Indonesia cinta damai, akan tetapi lebih cinta kemerdekaan. Dengan demikian wawasan nasional bangsa Indonesia tidak mengembangkan ajaran kekuasaan dan adu kekuatan karena hal tersebut mengandung persengketaan dan ekspansionisme. Ekspansi: Perluasan sosial yang berbeda

3. PERKEMBANGAN SISHANKAMRATA
Keberadaan doktrin pertahanan Sishankamrata merupakan bagian dari UndangUndang (UU) Nomor 20 Tahun 1982, kemudian Panitia Ad-Hoc I Badan Pekerja (BP) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) telah menyepakati untuk memasukkan doktrin ini dalam pasal 30 pada proses amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Dengan demikian keberadaan doktrin pertahanan tersebut menjadi semakin tinggi dalam sistem sistem perundang-undangan di Indonesia. Secara konstitusional jelaslah bahwa sistem pemerintahan yang akan dianut Indonesia adalah menghargai civilian supremacy dalam hubungan sipil-militer. Militer hanya memainkan peran profesional untuk menghadapi ancaman yang bersifat militer dan berasal dari luar. Keputusan mengenai penggunaan kekuatan militer berada di tangan kepemimpinan sipil. TNI bukan merupakan institusi politik, dan fungsi TNI pun dapat dibedakan secara tegas antara keadaan negara dalam perang atau damai, meskipun hal ini dapat pula menimbulkan persoalan apabila secara hitam putih diterapkan pada sebuah masyarakat yang menghadapi ancaman yang kompleks, baik eksternal maupun internal, sehingga pemaknaan objective civilian control adalah minimalisasi intervensi militer dalam politik dan sebaliknya juga minimalisasi intervensi politik ke dalam tubuh militer.

Doktrin Sistem Pertahanan dan Kamanan Rakyat Semesta (Sishankamrata), menempatkan keberadaan masyarakat dalam konteks kesiapan menghadapi ancaman fisik dari luar Indonesia. Orientasi war readiness ini terasa kental sekali dalam Doktrin Sistem Pertahanan dan Kamanan Rakyat Semesta (Sishankamrata), sebagai sebuah corak yang jelas dari pemikiran kaum realis. Hal ini merupakan hal yang bisa dipahami jika melihat pengalaman perang yang dialami Indonesia. Pengalaman perang ini dialami Indonesia mendorong aktor militer untuk menimbulkan suatu wacana melibatkan masyarakat sipil dalam menghadapi peperangan memperkuat posisi dan peran angkatan bersenjata.
Wacana ini berusaha untuk membentuk pemahaman bahwa TNI merupakan suatu entitas yang lahir dengan sendirinya (self-creating entity) dan memiliki kemanunggalan dengan rakyat. Sejarah pergerakan dan perjuangan untuk kemerdekaan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia menunjukkan proses pembentukan unsur kemiliteran yang berangkat dari milisi sipil. keberadaan Sishankamrata sebagai sistem pertahanan negara, telah menempatkan posisi keamanan negara lebih tinggi dari keamanan individu warga negara. Melihat keamanan dalam konteks negara ini telah mendistorsi pengertian keamanan itu sendiri yang berarti membebaskan orang-orang baik sebagai individu maupun kelompok dari ancaman sosial, ekonomi, fisik, politik maupun hambatan-hambatan lain yang menghalanginya dari segala tindakan yang diinginkannnya .

Wacana ini berpengaruh besar terhadap pembentukan strategi pertahanan negara, yaitu aktor militer selalu melibatkan partisipasi rakyat dalam perumusan strategi pertahanan negara. Ini terlihat jelas dari Pasal 4 Ayat 1, UU No 20/1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia yang menyatakan bahwa "Hakikat pertahanan keamanan negara adalah perlawanan rakyat semesta..." Operasionalisasi dari perlawanan rakyat semesta tersebut dilaksanakan dengan sistem pertahanan keamanan rakyat semesta (sishankamrata) (Pasal 4 Ayat 1 UU No 20/1982). Doktrin Sishankamrata ini menempatkan rakyat sebagai "sumber kekuatan bangsa yang menjadi kekuatan dasar upaya pertahanan negara" (Pasal 2 UU No 20/1982). Upaya pertahanan ini memiliki komponen perlawanan rakyat semesta yang diwujudkan dengan "mempersenjatai rakyat secara psikis dengan ideologi Pancasila dan secara fisik dengan keterampilan bela negara yang diselenggarakan oleh pemerintah" (Pasal 9 UU No 20/1982). Walaupun UU No.20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia telah mengalami perubahan mengikuti perkembangan zaman, akan tetapi keberadaan doktrin Sishankamrata tetap dipertahankan sebagai inti dari perlawanan yang melibatkan seluruh warga negara Indonesia (Pasal 1 ayat 2 UU No. 3 tahun 2002) . Dan sifat keterlibatan warga negara dalam pertahanan negara adalah hak dan wajib untuk turut serta (pasal 9 ayat 1 UU No.3 tahun 2002).

4. POLA PENGGUNAAN KEKUATAN HANKAMRATA


Potensi kekerasan militer yang dapat muncul dari Doktrin Sishankamrata adalah pertama, pelibatan rakyat secara luas dalam komponen pertahanan keamanan mencabut imunitas yang dijamin oleh Geneva Conventions. Hague Conventions (1907) dan Geneva Conventions (1926) didesain untuk memasukkan unsur-unsur kemanusiaan dalam perilaku berperang. Di mana dalam dua konvensi tersebut diatur tentang prilaku berperang dalam konteks symmetrical warfare dalam hal ini berkaitan dengan kesamaan cara berperang dan aturan berperang. Selain itu kedua konvensi ini mengatur tentang pemilahan antara combatant (orang yang dapat terlibat atau dilibatkan dalam peperangan) dan non-combatant (mereka yang tidak terlibat atau dilibatkan dalam peperangan). Dengan demikian kedua konvensi ini memberikan imunitas kepada kelompok masyarakat (perempuan, anakanak dan manula) untuk tidak terlibat atau menjadi korban dalam peperangan. Pencabutan imunitas ini akan membunuh lebih banyak masyarakat sipil (terutama anak-anak, perempuan, dan para manula) yang sebenarnya memiliki hak untuk tidak terlibat dalam pertempuran dan peperangan.

Pelibatan rakyat secara luas juga tidak secara transparan menerangkan bagaimana program pelatihan akan dilakukan. Masalah yang akan muncul adalah jika ada agresi terhadap Indonesia, maka negara agresor dapat menganggap rakyat Indonesia sebagai kekuatan tempur yang harus diperangi. Mobilisasi masyarakat ini akan menempatkan kelompok-kelompok marjinal seperti halnya perempuan dan anak-anak yang merupakan bagian dari kelompok non-combatant pada posisi yang tidak menguntungkan. Hal ini antara lain berkaitan kemampuan mereka dalam berperang minim, sehingga seringkali mereka lebih mudah menjadi korban dalam peperangan.
Kedua, Doktrin Sishankamrata cenderung mengabaikan syarat proporsionalitas. Salah satu bentuk kerugian perang yang jarang mendapat perhatian serius adalah "kerusakan" segi psikis masyarakat yang tidak siap menerima trauma-trauma yang timbul akibat perang. Kerugian perang di sisi mental ini memiliki beberapa gradasi mulai dari demoralisasi, kelelahan mental, timbulnya perasaan dendam yang mendalam, ketakutan pada pemerintah, konflik keluarga hingga kerusakan mental yang serius. Syarat proporsionalitas menuntut aktor militer untuk mempertimbangkan kemungkinan munculnya kerugian di atas mengingat situasi perang total (total war) yang terdapat dalam Doktrin Sishankamrata memungkinkan negara lawan untuk melancarkan psywar (Propagandan dan agitasi) untuk meruntuhkan home-front.

Ketiga, Doktrin Sishankamrata juga memungkinkan TNI untuk membengkokkan konsep demokratis supremasi sipil menjadi supremasi rakyat. Hal ini mengindikasikan bahwa TNI tidak perlu selalu tunduk kepada keputusan eksekutif jika itu dirasa tidak sejalan dengan apa yang dianggap TNI sebagai suara rakyat.

Keempat, Doktrin Sishankamrata akan menimbulkan konflik horisontal antarkomponen masyarakat jika pertikaian yang terjadi bukan antara negara namun antara negara melawan suatu gerakan separatis atau konflik antara kelompok dalam masyarakat. Hal lain yang perlu diangkat adalah untuk kasus konflik internal pemisahan sipil-militer cenderung sulit dilakukan sehingga aktor militer cenderung untuk melakukan teror-teror sistematis untuk menciptakan trauma-trauma psikologis yang akan mematikan keinginan pihak lawan untuk bertempur .
Terakhir, Doktrin Sishankamrata membutuhkan dukungan penuh dan luas dari berbagai komponen masyarakat. Dukungan ini bisa didapat dengan membentuk perasaan identitas kolektif yang bersifat instan yang menempatkan emosi-emosi kaum chauvinis seperti patriotisme dan rasa bangga terhadap sejarah perjuangan bangsa yang mengarah kepada pembentukan rasa kebangsaan yang kuat. Dengan kata lain, aktor militer akan berusaha untuk "merekayasa" nasionalitas bangsanya melalui proses indoktrinasi yang sistematis. Indoktrinasi ini cenderung membunuh nilai-nilai yang dirasa tidak kondusif dengan kebutuhan pembentukan ideologi negara. Eliminasi nilai-nilai ini pada akhirnya menghilangkan kemampuan masyarakat lokal untuk mengembangkan alternatifalternatif resolusi konflik .

Berdasarkan paparan di atas, keberadaan Sishankamrata sebagai sistem pertahanan negara, telah menempatkan posisi keamanan negara lebih tinggi dari keamanan individu warga negara. Melihat keamanan dalam konteks negara ini telah mendistorsi pengertian keamanan itu sendiri yang berarti membebaskan orang-orang baik sebagai individu maupun kelompok dari ancaman sosial, ekonomi, fisik, politik maupun hambatan-hambatan lain yang menghalanginya dari segala tindakan yang diinginkannnya.
Selain itu pendekatan militerisme dalam keamanan nasional telah mengaburkan keberadaan ancaman lain yang lebih besar terhadap individu-individu, seperti halnya kemiskinan, hutang luar negeri, pertumbuhan populasi penduduk yang pesat, lingkungan hidup dan keterbatasan sumberdaya, yang pada akhirnya akan mengancam kehidupan dan keamanan manusia, yang sebanding dengan ancaman yang ditimbulkan oleh peperangan.
Selain itu Doktrin Sishankamrata, telah mengarahkan pembentukan sipil yang militersitik dan menempatkan standar-standar militer untuk keikutsertaan masyarakat dalam upaya bela negara . Dalam masyarakat dan negara yang patriarki, institusi militer selalu diidentifikasikan dengan maskulinitas, di mana kemudian institusi militer dioperasikan melalui atribut-atribut maskulin . Sehingga ketika Doktrin Sishankamrata bergerak dalam kerangka militer maka standar-standar maskulinlah yang akan diterapkan termasuk kepada para perempuan yang mungkin dilibatkan secara paksa.

You might also like