You are on page 1of 27

Pengertian

Depresi

Depresi adalah suatu keadaan yang menekan, berbahaya, dan memerlukan perawatan aktif yang dini. Depresi didefinisikan sebagai suatu afek distoria, atau kehilangan minat atau kesenangan terhadap semua atau sebagian aktifitas maupun kegiatan yang lazim dilakukan. Dari sudut pandang psikologi depresi dianggap sebagai unipolar, karena gangguan ini terjadi hanya pada satu arah atau nkutub emosional kebawah. Salah satu bentuk stress yang dapat menimbulkan gangguan kejiwaan selain kecemasan adalah depresi. Baik kecemasan maupun depresi kedua-duanya mempunyai gejala-gejala gangguan fungsi dari organ-organ tubuh yang dipersarafi oleh system saraf otonom seperti pernapasan, peredaran darah, pencernaan, seksual, dan sebagainya. Gejala fisik maupun psikis pada kecemasan dan depresi sering kali tumpang tindih, tak ada satu batasan jelas, sehingga seseorang yang mengalami sters dapat diartikan bahwa orang itu memperlihatkan berbagai keluhan-keluhan fisik, kecemasan juga depresi. Menurut Hawari (2001), depresi adalah salah satu bentuk gangguan kejiwaan pada alam perasaan yaitu afektif dan mood, yang ditandai dengan kemurungan, kelesuan, ketiadaan gairah hidup, perasaan tidak berguna, putus asa, dan sebagainya. Secara lengkap gambaran depresi adalah sebagai berikut: 1. Afek disforik, yaitu perasaan murung, sedih, gairah hidup menurun, tidak ada semangat, merasa tidak berdaya. 2. Perasaan bersalah, berdosa, penyesalan. 3. Nafsu makan berkurang 4. Berat badan menurun. 5. Konsentrasi dan daya ingat menurun. 6. Gangguan tidur seperti insomnia (sulit/tidak dapat tidur) atau sebaliknya hipersomnia (terlalu banyak tidur). Gangguan ini sering kali disertai dengan mimpi-mimpi yang tidak menyenangkan. 7. Agitasi dan redatasi psikomotor (gaduh gelisah atau lemah tidak berdaya) 8. Hilangnya rasa senang, semangat dan minat, tidak suka lagi melakukan hobi, kreatifitas menurun, dan produktifitas menurun. 9. Gangguan seksual (libido menurun) 10. Pikiran-pikiran tentang kematian dan bunuh diri.

Pengertian Depresi

Depresi merupakan salah satu gangguan alam perasaan yang ditandai dengan perasaan sedih yang berlebihan, murung, tidak bersemangat, merasa tidak berharga, merasa kosong, dan tidak ada harapan, berpusat pada kegagalan dan menuduh diri, dan sering disertai iri dan pikiran bunuh diri, klien tidak berminat pada pemeliharaan

Diri dan aktivitas sehari-hari. (Kelliat, B.A, 1996)

Etiologi Depresi

Etiologi depresi yang pasti belum diketahui. Beberapa faktor yang diketahui berkaitan dengan terjadinya depresi:

1. Berbagai penyakit fisik

2. Faktor psikis

3. Faktor sosial dan lingkungan

4. Faktor obat

5. Faktor usia

6. Faktor genetik

Depresi Sebagai Bagian dari Gangguan Alam Perasaan

Kelainan fundamental dan kelompok gangguan alam perasaan yang membedakan dengan kelompok gangguan kejiwaan lainnya adalah adanya perubahan suasana perasaan (mood), biasanya ke arah depresi (dengan atau tanpa anxietas yang menyertainya), atau ke arah elasi. Perubahan efek ini biasanya disertai dengan suatu perubahan pada keseluruhan tingkat aktifitas, dan kebanyakan gejala lainnya adalah sekunder terhadap perubahan itu, atau mudah dipahami hubungannya dengan perubahan tersebut. (Muslim, 2001)

Tabel 2.3 Klasifikasi Gangguan Perasaan (mood) (Rusdi, Jakarta, 2001)

Kode F.32. F.32.0 F.32.00 F.32.01 F.32.1 F.32.10 F.32.11 F.32.2 F.32.3 F.32.8 F.32.9 F.33 F.33.0 F.33.00 F.33.01 F.33.1 F.33.01 F.33.11 F.33.2 F.33.3 F.33.4 F.33.8 F.33.9

Jenis Gangguan Suasana Perasaan (mood) Episode depresi Episode depresi ringan Tanpa gejala somatik Dengan gejala somatik Episode depresi sedang Tanpa gejala somatik Dengan gejala somatik Episode depresi berat tanpa gejala psikotik Episode depresi berat dengan gejala psikotik Episode depresi lainnya Episode depresi yang tidak tergolongkan (unspecified) Gangguan depresi berulang Gangguan depresi berulang, episode kini ringan Tanpa gejala somatik Dengan gejala somatik Gangguan depresi berulang, episode kini sedang Tanpa gejala somatik Dengan gejala somatik Gangguan depresi berulang, episode kini berat tanpa gejala psikotik Gangguan depresi berulang, episode kini berat dengan gejala psikotik Gangguan depresi berulang, kini di atas remisi Gangguan depresi berulang lainnya Gangguan depresi berulang yang tidak tergolongkan (unspecified)

Gejala dan Penegakan Diagnosis Depresi

Untuk menegakkan diagnosa depresi seseorang, maka yang dipakai pedoman adalah ada tidaknya gejala utama dan gejala penyerta lainnya, lama gejaa yang muncul, dan ada tidaknya episode depresi ulang (Rusdi Maslim, 2001). Sebagaimana tersebut berikut ini :

1. Gejala utama pada derajat ringan, sedang dan berat

1) Afek depresi

2) Kehilangan minat dan kegembiraan

3) Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan yang mudah lelah (rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja) dan menurunnya aktivitas.

2. Gejala penyerta lainnya:

1) Konsentrasi dan perhatian berkurang

2) Harga diri dan kepercayaan diri berkurang

3) Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna

4) Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis

5) Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri

6) Tidur terganggu

7) Nafsu makan berkurang

Untuk episode depresi dan ketiga tingkat keparahan tersebut diperlukan masa sekurang-kurangnya 2 minggu untuk penegakkan diagnosis, akan tetapi periode lebih pendek dapat dibenarkan jika gejala luar biasa beratnya dan berlangsung cepat.

Kategori diagnosis depresi ringan (F.32.0), sedang (F.32.1) dan berat (F.32.2) hanya digunakan untuk episode depresi tunggal (yang pertama). Episode depresi berikutnya harus diklasifikasikan di bawah salah satu diagnosis gangguan depresi berulang (F.33).

1) Pedoman Diagnostik Episode Depresi Ringan

(1) Sekurang-kurangnya harus ada 2 dan 3 gejala utama depresi seperti tersebut di atas

(2) Ditambah sekurang-kurangnya 2 dari gejala lainnya

(3) Tidak boleh ada gejala yang berat diantaranya lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya sekitar 2 minggu

(4) Hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial yang biasa dilakukannya.

2) Pedoman Diagnostik Episode Depresi Sedang

(1) Sekurang-kurangnya harus ada 2 dan 3 gejala utama

(2) Ditambah sekurang-kurangnya 3 atau 4 dari gejala lainnya

(3) Lamanya seluruh episode berlangsung minimum 2 minggu

(4) Menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan, dan urusan rumah tangga.

3) Pedoman Diagnostik Episode Depresi Berat Tanpa Gejala Psikotik

(1) Semua 3 gejala utama depresi harus ad

(2) Ditambah sekurang-kurangnya 4 dari gejala lainnya dan beberapa diantaranya harus berintensitas berat

(3) Bila ada gejala penting (misal retardasi psikomotor) yang menyolok, maka pasien mungkin tidak mau atau tidak mampu untuk melaporkan banyak gejalanya secara rinci. Dalam hal demikian, penilaian secara menyeluruh terhadap episode depresi berat masih dapat dibenarkan.

(4) Sangat tidak mungkin pasien akan mampu meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan atau urusan rumah tangga, kecuali pada taraf yang sangat terbatas.

4) Pedoman Diagnostik Episode Depresi Berat dengan Gejala Psikotik

Episode depresi berat yang memenuhi kriteria menurut No. 3 di atas (F.32.2) tersebut di atas, disertai waham, halusinasi atau stupor depresi.Waham biasanya melibatkan ide tentang dosa, kemiskinan atau malapetaka yang mengancam dan pasien merasa bertanggung jawab atas hal itu. Halusinasi auditorik atau alfatorik biasanya berupa suara yang menghina atau menuduh, atau bau kotoran. Retardasi psikomotor yang berat dapat menuju pada stupor.

Depresi sebagai Bagian dari Reaksi Kehilangan

Murray (1991) menyatakan bahwa kehilangan, berpisah dengan barang, orang, status, sesuatu yang dicintainya, atau tempat dimana ia berada adalah faktor pencetus terjadinya depresi. Kehilangan dapat berupa kehilangan yang nyata atau aktual ataupun yang dirasakan sementara ataupun menetap.

E. Kubler Ross (1998), menyatakan bahwa reaksi kehilangan ada 5 tahap, yaitu :

1. Deniel

2. Anger

3. Bergaining

4. Depresi

5. Accpetance

Istrumen Pemeriksaan Tingkat Depresi

Menurut Mengel dan Scwibert (2001), hingga saat ini belum ada preparat biokimia yang handal untuk pemeriksaan depresi yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat depresi seseorang.

Tingkat depresi dibagi menjadi empat tingkatan (Beck Depression Inventory):

1. Skor <11 = Tidak ada depresi

2. Skor 11-15 = Depresi ringan

3. Skor 16-25 = Depresi sedang

4. Skor > 25 = Depresi berat

Siapa yang tak kenal dengan istilah di atas. Depresi seringkali dialami oleh banyak orang. Tak hanya anak muda saja yang pernah mengalaminya, tetapi orang tua juga bahkan sampai anak kecil pun bisa mengalami apa yang disebut dengan depresi. Secara lengkap apa yang disebut dengan depresi ini adalah gangguan suasana hati atau perasaan sedih, kecewa, kesepian dll yang berdampak negatif bagi kehidupan. Orang yang mengalami depresi biasanya menarik diri dari lingkungan maupun aktivitas, kehilangan gairah dan kenikmatan hidup dan merasakan gangguan fisik seperti sakit, lelah, gangguan tidur, gangguan pencernaan dan berbagai gangguan fisik lainnya. Siapa Saja Yang Mengalami Depresi? Seperti yang telah tertulis di atas bahwa depresi dapat dialami oleh siapapun, sedangkan waktunya juga tidak tentu. Berikut ini adalah mereka yang dapat mengalami depresi : 1. Orang tua, umumnya mengalami depresi karena masalah fisik, harga diri rendah, pensiun,pendapatan kurang, kesepian, kehilangan pasangannya. 2. Dewasa pertengahan, lebih sering mengalami depresi disbanding kelompok umur lainnya. Pemicunya biasanya adalah tujuan yang tak dapat diraih, kuliah tak selesai, skripsi mengambang, tak punya pacar, tak diterima kerja dll. 3. Remaja, perubahan secara fisik, psikologis dan social relatif cepat. Seringkali menyebabkan gangguan suasana hati dan tuntutan kehidupan yang semakin tinggi. 4. Anak-anak, biasanya disebabkan karena konflik keluarga sendiri namun ini gejalanya cepat hilang sehingga tak sampai menimbulkan dampak yang berarti. 5. Pasangan menikah, lebih mudah mengalami depresi karena konflik internal dalam pernikahan. 6. Perempuan, banyak asumsi mengatakan perempuan mudah mengalami stress sehingga rentan terhadap depresi disbanding dengan laki-laki. Faktor Penyebab Depresi

1. Tipe kepribadian : individu yang tergantung hidupnya, tertutup (introvert), pasif, rendah harga dirinya, kritik berlebihan pada dirinya dan punya pola pikir cenderung negatif. 2. Pengaruh lingkungan : rendahnya dukungan dari keluarga, sekolah dan lingkungan sosial, pekerjaan yang tidak kondusif, konflik, kehilangan orang yang dicintai dan peristiwa kehidupan menekan (trauma). 3. Fungsi biokimia tubuh : gangguan suasana hati dipengaruhi oleh ketidakseimbangan zat kimia di otak. 4. Genetik : depresi tak bersifat bawaan tetapi ada kecenderungan pada beberapa penderita, tipe depresi berkaitan dengan faktor biokimia yang bersifat bawaan. Tipe Depresi 1. Depresi ringan, merupakan tipe depresi yang paling umum. Tipe ini berlangsung singkat dan tidak mempengaruhi aktivitas secara serius. Biasanya dicetuskan oleh berbagai peristiwa tidak menyenangkan yang menimbulkan frustasi dan stress. Treatmen medis umumnya tak diperlukan karena penderita biasanya hanya membutuhkan suasana baru. 2. Depresi sedang, ditandai dengan perasaan putus asa. Gejala yang timbul serupa dengan depresi ringan namun intensitasnya lebih kuat dan berlangsung lebih lama. Pencetusnya adalah peristiwa yang menekan seperti kehilangan orang yang dicintai, kehilangan pekerjaan, atau kemerosotan karir dl. Penderita masih sadar akan suasana hatinya yang tidak enak, namun tak mampu mengatasinya. Aktivitas sehari-hari masih bisa dilakukan. 3. Depresi berat, ditandai dengan kehilangan minat dengan dunia luar dan perubahan perilaku yang serius dalam jangka lama, diikuti dengan penarikan diri dari kehidupan nyata dan muncul ide atau upaya bunuh diri. Di samping itu juga muncul delusi dan halusinasi. Penyebabnya adalah adanya ketidakseimbangan zat kimia di otak. Gejala-gejala Depresi 1. Perubahan sikap dan perilaku : perilaku penderita umumnya lambat, murung, mengabaikan penampilan dan tanggung jawab, kehilangan nafsu, gelisah, aktivitas dan ingatan menurun, tak mampu konsentrasi, lekas marah dan sering mengeluh tentang hal-hal yang dikerjakan. 2. Perbedaan cara pandang dan perasaan : emosinya datar, tak mampu menemukan kesenangan, putus asa, kehilangan hasrat seksual, kehilangan kehangatan denga keluarga atau teman-teman,perasaan menyalahkan diri sendiri, kehilangan harga diri dan kadang memiliki pikiran untuk bunuh diri.

3. Keluhan fisik tanpa sebab organik : gangguan tidur, kelelahan kronis, kekurangan energi, sakit kepala, sakit pinggang, gangguan pencernaan (perut mual, tak mampu mencerna, maag, perubahan kebiasaan buang air besar) dll gangguan fisik. Treatmen Depresi Depresi dapat diobati dan disembuhkan, banyak orang merasa baik kembali dalam beberapa minggu setelah menjalani pengobatan serius dengan treatmen yang ditentukan. Ada bebarapa treatmen yang biasanya dilakukan kepada penderita depresi antara lain : 1. Pengobatan secara medis, biasanya diberikan pada orang yang mengalami depresi berat selama 3-4 minggu. Obat yang diberikan berupa : antidepressant (untuk memperbaiki kekurangan zat kimia tertentu di otak), minor transquilizers (untuk mengurangi rasa takut, cemas dan gangguan perasaan yang lain) dan stimulan (untuk membantu memperbaiki ketidakseimbangan zat kimia di otak). 2. Psikoterapi, tujuannya untuk membentu penderita dengan memberikan dorongan agar dapat menemukan penyebab yang mendasari terjadinya depresi sehingga menjadi lebih sadar dan dapat mengatasi masalahnya dengan baik. Metode ini dapat berupa konseling pribadi, kelompok atau massal. 3. ECT (terapi kejutan listrik), terkadang digunakan untuk menyembuhkan depresi yang sangat berat terutama jika berbagai terapi tak bisa menolong penderita. Efek samping dari terapi ini sifatnya sementara seperti lesu dan kehilangan ingatan. Biaya treatmen umumnya lebih murah ketimbang penderitaan dan permasalahan yang diakibatkan oleh penderita depresi yang sangat berat. Oleh karena itu depresi harus dikenali dengan melihat gejalanya, penyebabnya, tipe dan treatmen yang tepat. Kemudian mencari tahu dimana bantuan bisa diperoleh guna mengatasinya bantuan kepada ahlinya sangat dianjurkan bagi penderita depresi yang sangat berat. Jangan sampai depresi menghancurkan hidup kita dan keluarga kita. Dimana Bantuan Bisa Didapatkan? Untuk membantu penderita depresi pihak keluarga atau yang bersangkutan bisa memperolehnya pada mereka yang berprofesi sebagai psikolog (memiliki keahlian pada pemeriksaan psikologis dan menyembuhkan gangguan emosional dan psikologis), psikiater (dokter spesialis jiwa yang dapat mendiagnosa penyakit, konsultasi dan memberikan resep obat), konselor termasuk perawat penyakit jiwa, rohaniawan, pekerja sosial yang terlatih dalam bidang ini. Selain mereka yang tersebut di atas dapat juga meminta bantuan ke rumah sakit umum, rumah sakit jiwa, klinik kesehatan jiwa dan biro konsultasi psikologis. Biasanya institusi ini telah menyediakan tenaga ahli yang terlatih dan ahli menangani depresi.

Tips Mengatasi Depresi 1. Pergi ke dokter untuk memeriksakan diri secara keseluruhan dan bicarakan gejala yang muncul sehingga memperoleh penanganan yang tepat. 2. Istirahat dari rutinitas, lakukan aktivitas yang menyenangkan, rekreasi, bersilaturrahmi ke keluarga, relaksasi dll 3. Bicarakan (sharing) setiap ada masalah dengan teman atau rekan atau siapa saja yang paling memahami Anda. 4. Latihan relaksasi untuk mengurangi ketegangan dan rutinitas hidup kemudian tidur yang cukup. 5. Pahami perasaan Anda sendiri untuk menemukan masalah dan pikirkan solusi yang tepat. 6. Kelola dan atasi stress yang berlebihan, khususnya saat mengalami perasaan sedih, marah dan sebagainya karena sebuah peristiwa. Kadang orang sering menganggap bahwa stress sama dengan depresi. Kenyataannya sangat berlainan sebab stress hanyalah merupakan salah satu penyebab terjadinya depresi. Jadi bisa dikatakan bahwa depresi lebih dari sekedar stress, penanganannya pun lebih rumit dan kompleks. Stress bermuara ke arah depresi sedang depresi adalah akibat lanjut dari stress yang berat. Di halaman sebelah sini bisa Anda simak lebih lengkap mengenai stress.

Depresi setelah melahirkan atau Postnatal depression (PND) adalah jenis depresi yang dialami oleh beberapa wanita setelah melahirkan. Depresi setelah melahirkan biasanya terjadi pada minggu ke-4 sampai minggu ke-6 setelah melahirkan, meskipun pada beberapa kasus dapat terjadi setelah beberapa bulan melahirkan. Seringkali tidak ada penyebab jelas yang dapat menimbulkan depresi tersebut, meskipun demikian perlu untuk dipahami bahwa meskipun sang ibu mengalami depresi setelah melahirkan, bukan berarti ia tidak mencintai atau menyayangi sang buah hati.

Untuk mengetahui lebih jelas lagi mengenai depresi setelah melahirkan tersebut, dapat dibaca pada artikel di bawah ini.

Terdapat banyak gejala yang menggambarkan terjadinya depresi setelah melahirkan atau Postnatal depression (PND) seperti : suasana hati yang rendah, merasa tidak bisa menghadapi atau kesulitan untuk tidur. Meskipun demikian, banyak wanita yang tidak sadar perihal gejala tersebut, sehingga sangat penting bagi suami, anggota keluarga lain, teman bahkan dokter yang menangani untuk mengenali gejala depresi setelah melahirkan sedini mungkin sehingga dapat segera ditangani.

Banyak yang mengira depresi setelah melahirkan hanya sekedar baby blues syndrome, yaitu jenis depresi ringan yang tidak perlu dikhawatirkan. Padahal kenyataannya depresi setelah melahirkan juga dapat menjadi berat yang bahkan dapat membahayakan nyawa ibu ataupun si buah hati. Untuk mengetahui lebih jelas perbedaannya dapat dilihat di bawah ini.

Baby blues syndrome Baby blues syndrome adalah jenis depresi ringan yang terjadi setelah melahirkan, biasanya terjadi pada hari ke-3 hingga hari ke-10 setelah kelahiran bayi. Baby blues syndrome sendiri dapat berlangsung mulai dari hitungan jam hingga hari. Saat mengalami Baby blues syndrome. Biasanya ibu akan merasakan dorongan untuk selalu menangis & mudah marah, tetapi untuk hal ini tidak diperlukan suatu terapi medis. Bisa dikatakan bahwa Baby blues syndrome, banyak dialami oleh ibu yang baru melahirkan, bahkan lebih dari setengah ibu yang melahirkan akan mengalami hal tersebut.

Baby blues syndrome Pada beberapa kasus yang jarang, bentuk depresi yang lebih berat atau disebut juga dengan penyakit kejiwaan setelah melahirkan (postnatal psychosis) dapat terjadi. Seperti halnya gejala depresi berat lainnya, maka pada postnatal psychosis, sang ibu dapat mengalami delusi (mempercayai sesuatu yang tidak benar), halusinasi (melihat atau mendengar sesuatu yang tidak nyata) atau bahkan keinginan kuat untuk bunuh diri. Wanita yang mengalami postnatal psychosis juga biasanya tidak menyadari bahwa dirinya mengalami hal tersebut. Meskipun demikian penyakit kejiwaan (postnatal psychosis) ini merupakan penyakit mental yang serius & dapat dipicu oleh perubahan kimia & hormon dalam tubuh setelah melahirkan. Jika seseorang mengalami postnatal psychosis, maka sangat penting untuk berkonsultasi dengan dokter sesegera mungkin. Karena kondisi postnatal psychosis tersebut dapat membahayakan keadaan dirinya sendiri ataupun sang buah hati.

Depresi setelah melahirkan dapat mempengaruhi wanita dengan bermacam cara. Gejala yang timbul biasanya akan terlihat setelah melahirkan & dapat berlangsung dalam hitungan bulan, atau bahkan pada kasus yang lebih berat dapat berlangsung selama > dari 1 tahun.

Gejala dari depresi setelah melahirkan atau Postnatal depression (PND) dapat terlihat seperti dibawah ini :

Rendahnya suasana hati dalam periode waktu yang panjang (> 1 minggu) Sering terlihat mudah marah Mudah / sering menangis Mengalami serangan panik atau merasa seperti terperangkap dalam hidup Sulit untuk berkonsentrasi Kurang motivasi Kurang perhatian terhadap diri sendiri & sang buah hati Merasa kesepian Merasa bersalah, ditolak atau tidak penting Merasa mengalami beban yang sangat berat Merasa tidak dapat menghadapi masalah Merasa kesulitan untuk tidur atau selalu merasa lelah Adanya gejala fisik akibat merasa tegang seperti sakit kepala, nyeri pada perut atau pandangan yang kabur Kurangnya nafsu makan Kurangnya gairah seksual

Meskipun demikian, bila mengalami gejala seperti tersebut diatas, bukan berarti seseorang mengalami depresi setelah melahirkan atau Postnatal depression (PND), karena gejala-gejala tersebut umum ditemui pada wanita. Depresi setelah melahirkan sendiri dapat mempengaruhi kehidupan sehari-hari, ada yang menjadi tidak dapat merawat bayinya, ada yang merasa terlalu cemas untuh bahkan keluar rumah atau berhubungan dengan teman.

Banyak ibu yang tidak menyadari bahwa mereka mengalami depresi setelah melahirkan, sehingga tidak menceritakan hal-tersebut kepada keluarga atau teman. Dalam hal ini peran suami, keluarga atau teman sangat penting untuk membantu mendeteksi secara dini gejala tersebut sehingga dapat cepat untuk ditangani.

Penyebab terjadinya depresi setelah melahirkan sendiri masih belum terlalu jelas, karena hal tersebut bukan disebabkan oleh faktor tunggal melainkan kombinasi dari beberapa faktor. Depresi secara umum sendiri biasanya disebabkan karena adanya kejadian yang emosional atau yang berkaitan dengan stres, seperti pindah rumah, hubungan yang kandas atau meninggalnya anggota keluarga atau teman dekat & melahirkan bayi.

Stres saat melahirkan bayi juga dapat meningkatkan resiko untuk mengalami depresi setelah melahirkan. Selain itu ada faktor-faktor lainnya seperti :

Depresi saat hamil Kecemasan mengenai tanggung jawab setelah memiliki bayi Proses persalinan yang sulit Kurangnya dukungan di rumah Kecemasan mengenai status hubungan Masalah keuangan Tidak ada ada keluarga atau teman yang mendampingi Mempunyai riwayat masalah kesehatan mental sebelumnya Mempunyai masalah kesehatan fisik akibat melahirkan, seperti anemia atau inkontinensia urin (kesulitan untuk menahan buang air kecil).

Selain itu, mempunyai bayi juga dapat merubah kebiasaan hidup sebelumnya & dapat menjadi pengalaman yang melelahkan & cukup menimbulkan stres. Kemudian faktor genetik (keturunan) & perubahan hormon tubuh juga dapat menjadi pemicu untuk timbulnya depresi setelah melahirkan ini.

Untuk mencegah supaya tidak timbul depresi setelah melahirkan, maka tips-tips berikut ini dapat dicoba untuk dilakukan :

Cukup istirahat & melakukan relaksasi sesering mungkin Berolahraga ringan secara teratur Jangan lupa jaga juga asupan makan, karena kadar gula darah yang rendah dapat membuat kita merasa lebih buruk Makan makanan yang sehat & seimbang Jangan berusaha untuk melakukan sesuatu bersamaan. Sebaiknya buat daftar apa yang ingin dikerjakan & buat tujuan yang realistik Bila merasa cemas / gelisah, bicarakan dengan suami, keluarga atau teman dekat Jangan putus asa, depresi setelah melahirkan dapat terjadi pada siapa saja, sehingga tidak perlu menyalahkan diri sendiri.

Yang perlu diingat adalah, sebagian besar orang yang mengalami depresi dapat dipulihkan sepenuhnya, sehingga jangan merasa terlalu cemas akan hal tersebut.

Kekecewaan yang mendalam dan terus terbenam dalam benak sangat berpotensi menimbulkan depresi. Siapa pun, dari golongan atau ras manapun dan usia berapa pun sangat mungkin mengalami depresi.

Pengalaman buruk, pengalaman yang mengecewakan, kehilangan sesuatu baik yang bersifat abstrak maupun konkrit berpotensi menimbulkan depresi. Kecelakaan, kehilangan barang yang disayang, kehilangan pekerjaan, kehilangan jabatan, mengalami tuduhan negatif seperti dituduh maling atau menghamili anak orang, kehilangan seseorang yang dicintai akibat meninggal, umumnya memunculkan rasa kecewa.

Meski ada suatu takaran ilmiah, namun batasan depresi mungkin tidak dapat dirumuskan secara pasti. Sebagai bagian dari jiwa atau psikis, depresi dapat didefiniskan sebagai penyertaan komponen psikologis dan komponen somatik.

Komponen psikologis dapat disebutkan antara lain rasa sedih, susah, rasa tak berguna, gagal, kehilangan, tak ada harapan, putus asa, penyesalan, dll.. Sedangan komponen somatik, seperti anoreksia, konstipasi, kulit lembab atau rasa dingin, tekanan darah dan nadi menurun.

Dalam psikologi, depresi merupakan salah satu jenis dari sekian banyak jenis gangguan mental. American Psychiatric Association memberi batasan gangguan mental sebagai gejala atau pola dari tingkah laku psikologi yang tampak secara klinis terjadi pada seseorang yang berhubungan dengan keadaan distres atau gejala yang menyakitkan. Sementara itu, depresi sebagai salah satu bagian dari gangguan jiwa diberi batasan sebagai rasa sakit yang mendalam atas terjadinya sesuatu yang tidak menyenangkan sehingga memunculkan perasaan putus asa, tidak ada harapan, sedih, kecewa, dengan ditandai adanya perlambatan gerak dan fungsi tubuh.Secara umum depresi terbagi atas tiga jenis yaitu normal grief reaction, endogenous depression, dan neurotic depression.

Normal grief reaction disebut sebagai reaksi normal atas kehilangan. Jenis ini dapat disebut juga sebagai exogenous atau depresi aktif. Depresi ini terjadi berasal dari faktor luar. Biasanya sebagai reaksi dari kehilangan sesuatu atau seseorang seperti misalnya pensiun, meninggalnya seseorang yang dikasihi dan dicintai.

Faktor penyebab yang berasal dari dalam namun belum jelas sumbernya dapat disebut sebagai endegenous depression. Gangguan hormonal, gangguan fisik pada organ tubuh seperti gangguan otak atau susunan syaraf. Munculnya gangguan ini seringkali secara pelahan dan bertahap.

Neurotic depression atau depresi neurotik terjadi jika depresi reaktif tidak dapat terselesaikan dengan baik dan tuntas. Depresi ini merupakan respon terhadap stres dan kecemasan yang telah berlangsung lama. Menemukan penyebab depresi tidaklah mudah. Sejumlah penyebab dapat muncul dan berlangsung pada saat yang sama. Umumnya, kehilangan disebut sebagai penyebab terbanyak terjadinya depresi. Dapat disebutkan empat macam kehilangan yaitu kehilangan abstrak,

kehilangan konkrit, kehilangan khayali, dan kehilangan sesuatu yang belum tentu hilang. Kehilangan abstrak dapat disebutkan seperti misalnya kehilangan harga diri, kehilangan kasih sayang, harapan, ambisi, dll.

Kehilangan konkrit antara lain kehilangan orang yang disayang, kehilangan barang, kehilangan hewan peliharaan, dll. Sedang kehilangan khayali berupa kehilangan yang bersifat khayal seperti merasa tidak disukai dan diterima dalam suatu lingkungan, merasa dipergunjingkan orang. Sementara itu, kehilangan sesuatu yang belum tentu hilang seperti misalnya menunggu hasil tes kesehatan, menunggu hasil ujian, menunggu pengumuman kelulusan, dsb.

Namun, beberapa gejala dapat dikenali sebagai pencetus dan penyerta depresi. Secara fisik mengalami gangguan seperti gerakan menjadi lamban, tidak dapat tidur nyenyak, napsu makan berkurang, gairah seksual dapat menurun dan meningkat secara tiba-tiba atau malahan hilang sama sekali, pusing, mulut terasa kering, jantung berdebar cepat, dll.

Gejala lain depresi dapat disebut seperti misalnya kehilangan perspektif hidup. Pandangan hidup, pandangan terhadap pekerjaan, pandangan terhadap keluarga menjadi kabur. Umumnya, pandangan terhadap dunia cenderung melihat sebagai suatu kekalahan, kerugian, dan penghinaan. Pada diri cenderung menganggap diri kurang baik, tidak layak, dan tidak berharga. Terhadap masa depan dirasakan penuh kesukaran, kerugian, dan frustasi.

Perasaan yang sering berubah dan sulit dikendalikan dikenali juga sebagai gejala depresi. Perasaan putus asa, kehilangan harapan, sedih, cemas, rasa bersalah, apatis, marah, sering muncul tidak menentu dan menciptakan suasana hampa dan mati. Seseorang menderita depresi dapat ditandai dari gejala psikologis yang ada seperti kehilangan harga diri dari orang lain, ingin melarikan diri dari masalah, dan muncul perasaan yang sangat peka. Bahkan penderita depresi yang akut muncul pikiran dilusi yang sangat merugikan. Dilusi berupa pertanyaan kecemasan seperti seseorang akan membunuh saya, seseorang akan meracuni saya, dan sebagainya

Gejala-gejala depresi : Depresi, kesedihan dan perasaan negatif dapat kita alami dari waktu ke waktu. Berikut adalah daftar gejala-gejala depresi yang paling umum. Jika anda mempunyai lebih dari satu akan gejala-gejala tersebut secara terus menerus, sangat mungkin anda sedang mengalami depresi. - Kesedihan yang menetap, kecemasan, atau perasaan "kosong" - Pesimis dan merasa putus asa - Merasa bersalah, tidak layak - Kehilangan semangat atau kesenangan pada aktifitas di mana orang lain dapat menikmatinya, termasuk seks - Energi yang menurun, kelelahan (Fatique), menjadi "lamban" - Sulit berkonsentrasi, mengingat, membuat keputusan - Insomnia, bangun tidur lebih cepat, atau terlalu banyak tidur - Kehilangan selera makan dan atau berat badan, atau terlalu banyak makan dan berat badan bertambah - Pikiran-pikiran tentang kematian atau bunuh diri, mencoba bunuh diri - gelisah - Gejala sakit fisik yang menetap dan tidak kunjung sembuh, seperti sakit kepala, sakit punggung, digestive disorder, dan sakit yang kronis lainnya Langkah pertama yang harus seseorang ambil jika mengalami episode depresiv tanpa penyebab yang jelas,cobalah mendapatkan evaluasi dari dokter medis. Ada banyak masalah fisik yang dapat disebabkan oleh gejala-gejala depresi, salah satu yang paling umum adalah thyroid disorders (lihat Hipotiroid dan hipertiroid) Artikel terkait : Gejala-gejala depresi : Depresi, kesedihan dan perasaan negatif dapat kita alami dari waktu ke waktu. Berikut adalah daftar gejala-gejala depresi yang paling umum. Jika anda mempunyai lebih dari satu akan gejala-gejala tersebut secara terus menerus, sangat mungkin anda sedang mengalami depresi. - Kesedihan yang menetap, kecemasan, atau perasaan "kosong"

- Pesimis dan merasa putus asa - Merasa bersalah, tidak layak - Kehilangan semangat atau kesenangan pada aktifitas di mana orang lain dapat menikmatinya, termasuk seks - Energi yang menurun, kelelahan (Fatique), menjadi "lamban" - Sulit berkonsentrasi, mengingat, membuat keputusan - Insomnia, bangun tidur lebih cepat, atau terlalu banyak tidur - Kehilangan selera makan dan atau berat badan, atau terlalu banyak makan dan berat badan bertambah - Pikiran-pikiran tentang kematian atau bunuh diri, mencoba bunuh diri - gelisah - Gejala sakit fisik yang menetap dan tidak kunjung sembuh, seperti sakit kepala, sakit punggung, digestive disorder, dan sakit yang kronis lainnya Langkah pertama yang harus seseorang ambil jika mengalami episode depresiv tanpa penyebab yang jelas,cobalah PSIKODINAMIKA Depresi a. Definisi Depresi Webster Dictionary (dalam Maurus, 2009, h. 23) mengartikan depresi sebagai suatu kondisi emosional yang bersifat normal atau patologis, yang ciri khasnya ialah rasa kecil hati, rasa tidak mampu, dan sebagainya. Tidak jauh beda dengan pengertian tersebut adalah pengertian dalam bidang klinis (dalam Maurus, 2009, h. 24) yang menyatakan bahwa depresi adalah rasa sedih yang dalam dan menyakitkan, biasanya disertai dengan rasa bersalah dan mengasihani diri sendiri. Sedangkan menurut APA (dalam Nevid, dkk., 2005, h. 230), diagnosis dari gangguan depressive mayor (major depressive disorder) (juga disebut depresi mayor) didasarkan pada munculnya satu atau lebih episode mayor tanpa adanya riwayat episode manik (manic) atau hipomanik (hypomanic). Dalam episode depresi mayor, orang tersebut mengalami salah satu di antara mood depresi (merasa sedih, putus asa atau terpuruk) atau kehilangan minat/rasa senang dalam semua atau berbagai aktivitas untuk periode waktu paling sedikit 2 minggu. Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa depresi adalah kondisi atau keadaan emosional berupa episode mood depresif yang ditandai dengan perasaan sedih, terpuruk, putus

asa, rasa bersalah, mengasihani diri sendiri, dan kehilangan minat dalam berbagai aktivitas untuk periode waktu paling sedikit dua minggu. b. Jenis-Jenis Depresi Para psikolog dan psikiater (dalam Maurus, 2009, h. 24) membedakan dua jenis depresi. Jenis pertama, depresi reaktif, adalah depresi yang ditimbulkan oleh faktor eksternal yang bisa saja hanya terjadi sekali dan sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Depresi semacam ini dapat diatasi secara mudah melalui saran yang membangkitkan semangat, teman yang menyenangkan, simpati dari orang yang tercinta, penghiburan, kepedulian dari keluarga, dll. Jenis kedua, depresi endogenous, adalah depresi yang muncul dari dalam pikiran. Depresi ini berhubungan dengan beberapa faktor bikimia tubuh. Depresi endogenous dapat dipandang sebagai gejala neurosis atau psikosis. Dari dua jenis depresi di atas, yaitu yang berasal dari dalam dan dari luar, terdapat beberapa ahli yang membagi depresi endogenous menjadi dua sehingga menjadi tiga jenis. Kartono (2002, h. 161) menyatakan bahwa pada umumnya orang membedakan tiga jenis depresi, yaitu: Depresi reaktif Adalah depresi sebagai reaksi dari suatu bencana dalam hidup yang merupakan trauma psikis, dan langsung muncul sesudah trauma tadi berlangsung; biasanya disebabkan oleh karena pasien ditinggalkan oleh orang-orang yang dikasihinya. Supratiknya (1995, h. 68) memasukkan depresi reaktif ke dalam gangguan afektif ringan. Salah satu jenis gangguan penting yang termasuk dalam kategori ini adalah depresi normal, yakni dukacita (grief) atau kepedihan. Gangguan ini merupakan proses psikologis mengikuti pengalaman kehilangan (loss) sesuatu yang berharga, seperti kematian seorang kekasih, putus cinta, perceraian, kehilangan pekerjaan, dan sebagainya. Seseorang yang dilanda depresi normal semacam ini biasanya menunjukkan beberapa ciri atau tanda sebagai berikut: tidak bereaksi terhadap peristiwa-peristiwa lain yang secara normal akan membangkitkan respons yang kuat, tenggelam dalam fantasi tentang situasi yang menimbulkan kepuasan, tetapi sudah berlalu, dan akhirnya kembali mampu memberikan respons terhadap dunia luar, kesedihan berkurang, gairah bangkit kembali, dan kembali melibatkan diri dalam aktivitas sehari-hari. Dengan kata lain, depresi reaktif melibatkan tiga variabel psikologis pokok, yaitu (a) ketergantungan, dimana penderita merasa butuh bantuan atau dukungan dari orang lain, (b) kritik diri, dimana penderita membesar-besarkan kesalahan atau kekurangan yang ada pada dirinya, dan (c) inefficacy, yaitu perasaan tidak berdaya. Depresi neurotis Adalah depresi yang timbul disebabkan oleh mekanisme pertahanan diri dan mekanisme pelarian diri yang keliru, dan muncul kemudian banyak konflik-konflik intrapsikis. Depresi neurotis bisa timbul oleh sebab-sebab yang sepele/remeh danm peristiwa biasa, yang pada orang normal dan sehat tidak mungkin bisa memunculkan depresi. Pada orang-orang neurotis dengan struktur kepribadian yang rapuh dan labil, depresi mudah muncul. Supratiknya (1995, h. 68) menggolongkan depresi neurotik ke dalam gangguan afektif neurotik. Dalam kasus ini penderita bereaksi terhadap situasi yang menekan kesedihan dan kepatahan hati yang luar biasa dan (sering) tidak dapat dipulihkan sesudah sekian lama. Secara lebih rinci, penderita gangguan ini akan menunjukkan ciri-ciri sebagai berikut: putus asa, sedih, tak bersemangat, tingkat kecemasan tinggi, aktivitas diri berkurang, selera dan gairah menghilang, prakarsa menghilang, mengeluh sulit berkonsentrasi, susah tidur serta suka terjaga di tengah

malam dan tidka dapat tertidur kembali, merasakan keluhan-keluhan somatik tertentu, merasa tegang, gelisah, dan menunjukkan sikap bermusuhan terhadap lingkungan sosial, tidak mampu mengerjakan tugas-tugas dan senang memandang dengan tatapan kosong. Depresi psikogen Adalah depresi yang disebabkan salah masak/olah yang patologis sifatnya dari peirstiwa dan pengalaman-pengalaman sendiri, oleh pribadi yang bersangkutan. Menurut Supratiknya (1995. h. 68), depresi psikogen masuk ke dalam golongan gangguan psikosis afektif. Gangguan ini berbeda dengan depresi neurotik hanya dalam dua hal. Pertama, gangguan ini mempengaruhi keseluruhan kepribadian penderita. Kedua, penderita kehilangan kontak dengan realitas. Ada beberapa jenis yang termasuk ke dalam kategori psikosis afektif (Supratiknya, 1995, h. 86), yaitu: (a) Gangguan depresi mayor subakut Ciri-ciri: semangat hidup menghilang, aktivitas mental maupun fisik menjadi lamban, dibutuhkan uasaha keras untuk melaksanakan pekerjaan, diliputi perasaan tidak berharga, gagal, berdosa, dan bersalah, kehilangan selera makan, sehingga berat badan menurun dan terserang gangguan pencernaan, berbicara dengan suara monoton dan sangat hemat kata-kata, senang duduk sendiri mengenang masa lalu, kurang memiliki harapan di masa depan, tidak menunjukkan kesan mengalami disorientasi, mengungkapkan keluhan-keluhan somatik berupa pusing, lelah, sembelit, dan susah tidur. (b) Gangguan depresi mayor akut Ciri-ciri: berangsur-angsur menjadi tidak aktif, cenderung mengisolasi diri, tidak mau berbicara, dan sangat lamban memberikan respons, merasa bersalah dan tidak berharga, serta serba menuduh atau mempersalahkan diri, gelisah, senang mondar-mandir dan meremas-remas tangan, merasa bertanggung jawab atas aneka bencana atau musibah yang terjadi dalam masyarakat, merasa telah berbuat dosa yang membuat celaka orang lain, merasa otak atau bagian-bagian lain tubuhnya lenyap, putus asa, kadang-kadang disertai halusinasi. (c) Stupor depresif atau mutisme Yakni keadaan diam mematung, dengan ciri-ciri: sama sekali tidak responsif dan tidak aktif, tidak bisa turun dari tempat tidur dan sama sekali acuh tak acuh terhadap segala sesuatu yang berlangsung di sekitarnya, menolak makan dan berbicara, serta harus ditolong jika ingin buang air, mengalami disorientasi terhadap waktu, tempat, dan orang, mengalami halusinasi adn delusi. c. Aspek-Aspek Depresi Depresi terdiri dari beberapa aspek (Nevid, dkk., 2005, h. 230), yaitu: Emosional Perubahan pada mood (periode terus-menerus dari perasaan terpuruk, depresi, sedih, atau muram) Penuh airmata atau menangis Meningkatnya iritabilitas (mudah tersinggung), kegelisahan, atau kehilangan kesabaran. Motivasi perasaan tidak termotivasi, atau memiliki kesulitan untuk memulai (kegiatan) di pagi hari atau bahkan sulit bangun dari tempat tidur Menurunnya tingkat partisipasi sosial atau minat pada aktivitas sosial Kehilangan kenikmatan atau minat dalam aktivitas menyenangkan Menurunnya minat pada seks

Gagal untuk berespons pada pujian atau reward Perilaku motorik Bergerak atau berbicara dengan lebih perlahan dari biasanya Perubahan dalam kebiasaan tidur (tidur terlalu banyak atau terlalu sedikit, bangun lebih awal dari biasanya dan merasa kesulitan untuk kembali tidur di pagi buta disebut mudah terbangun di pagi buta) Perubahan dalam selera makan (makan terlalu banyak atau terlalu sedikit) Perubahan dalam berat badan (bertambah atau kehilangan berat badan) Berfungsi secara kurang efektif daripada biasanya di tempat kerja atau di sekolah Kognitif Kesulitan berkonsentrasi atau berpikir jernih Berfikir negatif mengenai diri sendiri dan masa depan Perasaan bersalah atau menyesal mengenai kesalahan di masa lalu Kurangnya self-esteem atau merasa tidak adekuat Berfikir akan kematian atau bunuh diri d. Faktor Penyebab Depresi Azhim (2008, h. 3-5) menyebutkan faktor penyebab depresi bisa bersifat internal maupun eksternal. Adapaun faktor-faktor penyebab depresi tersebut adalah: Sebab-sebab eksternal (yang datang dari luar diri manusia) (a) Sebab lingkungan Penyebabnya adalah kejadian-kejadian yang terjadi di dunia. Misalnya, kehilangan sesuatu yang terjadi di dunia. Misalnya, kehilangan sesuatu yang amat berharga, baik orang tercinta, harta benda, maupun kedudukan sosial. Orang yang kehilangan sesuatu yang amat dicintainya akan melewati tahap-tahap tertentu dalam merespons rasa kehilangan tersebut. Tahap pertama, pengingkaran atau rasa tidak percaya atas kehilangan tersebut. Tahap kedua, ketidakpercayaan itu semakin bertambah, sehingga tidak lagi merasakannya. Tahap ketiga, tahap menangis dan kegundahan hati serta hilangnya selera untuk makan, berhubungan seks, atau lainnya. Di samping juga bentuk-bentuk gejala depresi atau kesedihan yang ringan dan sejenisnya. (b) Obat-obatan Beberapa penelitian membuktikan bahwa sebagian obat-obatan dapat mengakibatkan perubahan kimiawi di dalam otak, yang bisa mengakibatkan efek samping berupa depresi. Di antara contoh obat-obatan tersebut adalah obat-obatan untuk tekanan darah tinggi, liver, dan rematik. (c) Narkoba Berhenti dari mengonsumsi obat-obatan psikotropika, sebagaimana minuman beralkohol, dapat menyebabkan timbulnya depresi. Bahkan, itu terkadang sampai berkaitan juga dengan upaya bunuh diri. Begitu juga halnya dengan obat-obatan yang mempunyai fungsi agar tubuh bisa selalu terjaga dari rasa kantuk yang biasa digunakan oleh para remaja atau sopir-sopir mobil angkutan untuk membuat mereka selalu terjaga di sepanjang jalan. Obat-obatan ini memiliki bahan amfetamin. Jika orang berhenti mengonsumsi amfetamin, bisa timbul depresi, sehingga ia akan dan mengonsumsinya lagi untuk menghilangkan rasa depresi tersebut. Begitu seterusnya, hingga orang yang kecanduan ini akan selamanya tidak dapat keluar dari ketergantungannya terhadap obat-obatan. Sebab-sebab Internal (yang berkaitan dengan faktor keturunan atau susunan sel otak, atau juga

penyakit-penyakit organik): (d) Faktor Keturunan Studi medis menetapkan bahwa sebagian manusia berpotensi menderita depresi. Sebagian orang yang sakit memiliki keluarga atau kerabat yang terjangkit depresi. Hal ini bukan berarti bahwa setiap orang yang terkena penyakit depresi akan menularkannya kepada kerabat dekat atau anakanaknya. (e) Penyakit-penyakit Organik Misalnya, kekurangan hormon kelenjar gondok. Hal ini akan mengakibatkan timbulnya penyakit depresi. Begitu juga kekurangan beberapa vitamin, seperti vitamin B 12. (f) Sebab-sebab yang Tidak Diketahui Terkadang manusia menderita kesedihan tanpa diketahui penyebabnya yang jelas. Kebanyakan penyakit ini tidak hanya timbul lantaran pengarug dari satu sebab saja, tetapi juga lantran reaksi dari beberapa sebab keseluruhan, yaitu yang bersifat eksternal dan internal yang satu sama lainnya dapat menyebabkan timbulnya depresi. e. Perspektif Teoretis Tentang Depresi Depresi melibatkan sebuah interaksi yang kompleks antara pengaruh biologis dengan psikososial (Cui & Vaillant, 1997). Pemahaman penuh mengenai penyebab gangguan depresi masih di luar jangkauan. Nevid, Rathus, dan Greene (2005, h. 240-254) mengidentifikasi berbagai kontributor penting dari gangguan mood, terutama depresi, yaitu: Stres dan Depresi Peristiwa kehidupan yang penuh tekanan seperti kehilangan orang yang dicintai, putusnya hubungan romantis, lamanya hidup menganggur, sakit fisik, masalah dalam pernikahan dan hubungan, kesulitan ekonomi, tekanan di pekerjaan atau rasisme dan diskriminasi meningkatkan risiko berkembangnya gangguan mood atau kambuhnya sebuah gangguan mood, terutama depresi mayor (Greenberger dkk., 2000; Kendler, Thornton, & Gardner, 2000; Monroe dkk., 2001). Pada suatu sampel penelitian, peneliti menemukan bahwa dalam sekitar empat dari lima kasus depresi mayor diawali oleh peristiwa kehidupan yang penuh tekanan (Mazure, 1998). Orang juga cenderung menjadi depresi ketika mereka menanggung sendiri tanggung jawab dari peristiwa yang tidak diinginkan (Hammen & De Mayo, 1982). Namun, hubungan antara stres dan depresi tidaklah jelas. Peristiwa kehidupan yang penuh tekanan dapat berkontribusi pada depresi, dan simptom depresi dalam diri mereka sendiri dapat bersifat menekan atau menyebabkan munculnya sumber-sumber tambahan pada stres, seperti perceraian atau kehilangan pekerjaan (Cui & Vaillant, 1997; Daley dkk., 1997). Meski stres berimplikasi pada depresi, tidak semua orang yang mengalami stres menjadi depresi. Faktor-faktor seperti ketrampilan coping, bawaan genetis, dan ketersediaan dukungan sosial memberikan kontribusi pada kecenderungan depresi saat mengahdapi kejadian yang penuh tekanan (USDHHS, 1999a). Teori Psikodinamik Teori psikodinamika klasik mengenai depresi dari Freud (1917/1957) dan pengikutnya meyakini bahwa depresi mewakili kemarahan yang diarahkan ke dalam diri sendiri dan bukan terhadap orang-orang yang dikasihi. Rasa marah dapat diarahkan kepda self setelah mengalami kehilangan yang sebenarnya atau ancaman kehilangan dari orang-orang yang dianggap penting ini. Freud mempercayai bahwa berduka (mourning), atau rasa berkabung yang normal adalah proses yang sehat karena dengan berduka seseorang akhirnya dapat melepaskan dirinya sendiri secara psikologis dari seseorang yang hilang karena kematian, perpisahan, perceraian, atau alasan lain.

Namun, rasa duka yang patologis tidak mendukung perpisahan yang sehat. Malahan hal ini akan memupuk depresi yang tak berkesudahan. Rasa duka yang patologis cenderung terjadi pada orang yang memiliki perasaan ambivalen (ambivalent) yang kuat suatu kombinasi dari perasaan positif (cinta) dan negatif (marah, permusuhan)- terhadap orang yang telah pergi atau ditakutkan kepergiannya. Teori Humanistik Menurut kerangka kerja humanistik, orang menjadi depresi saat mereka tidak dapat mengisi keberadaan mereka dengan makna dan tidak dapat membuat pilihan-pilihan autentik yang menghasilkan self-fulfillment. Kemudian dunia dianggap sebagai tempat yang menjemukan. Pencarian orang akan makna memberikan warna dan arti bagi kehidupan mereka. Perasaan bersalah dapat timbul saat orang percaya bahwa mereka tidak membangkitkan potensi-potensi mereka. Seperti teoretikus psikodinamika, teoretikus humanistik juga berfokus pada hilangnya selfesteem yang dapat muncul saat orang kehilangan teman atau anggota keluarga, ataupun mengalami kemunduran atau kehilangan dalam pekerjaan. Orang cenderung menghubungkan identitas personal dan rasa self-worth dengan peran-peran sosial sebagai orangtua, pasangan, pelajar, atau pekerja. Bila identitas peran ini hilang, melalui kematian seorang pasangan, perginya anak-anak untuk kuliah, atau hilangnya suatu pekerjaan, sense of purpose dan selfworth dapat terguncang. Depresi adalah konsekuensi yang sering terjadi dari kehilangan yang seperti itu. Terutama jika orang mendasarkan self-esteem pada peran pekerjaan atau kesuksesan. Teori Belajar Teoretikus belajar lebih memfokuskan faktor-faktor situasional, seperti kehilangan reinforcement positif. Seseorang memiliki kinerja terbaik saat tingkat reinforcement sepadan dengan usaha yang dilakukan. Perubahan pada frekuensi atau efektivitas reinforcement dapat mengubah keseimbangan sehingga kehidupan menjadi tidak berharga. Reinforcement dan depresi. Teoretikus belajar Peter Lewinsohn (dalam Nevid, dkk., 2005, h. 243) menyatakan bahwa depresi dihasilkan dari ketidakseimbangan antara output perilaku dan input reinforcement yang berasal dari lingkungan. Kurangnya reinforcement untuk usaha seseorang dapat menurunkan motivasi dan menyebabkan perasaan depresi. Ketidakaktifan dan penarikan diri dari lingkungan sosial menghilangkan kesempatan untuk mendapatkan reinforcement, dan reinforcement yang berkurang akan memperburuk penarikan diri. Hal ini menjadi semacam lingkaran setan. Teori transaksi. Interaksi antara orang yang depresi dengan orang lain dapat membantu menjelaskan pengurangan yang dialami kelompok pertama dalam hal reinforcement positif. Teori interaksional dikembangkan oleh psikolog James Coyne (dalam Nevid dkk., 2005, h. 244) yang menyatakan bahwa penyesuaian pada kehidupan bersama dengan orang yang depresi dapat sangat menekan hingga semakin lama reinforcement yang diberikan pasangan atau anggota keluarga kepada orang yang depresi tersebut menjadi semakin berkurang. Teori Kognitif Teoretikus kognitif menghubungkan antara asal mula dan bertahannya depresi dengan cara-cara bagaimana seseorang melihat dirinya sendiri dan dunia di sekitarnya. Teori kognitif Aaron Beck. Seorang teoretikus kognitif paling berpengaruh, psikiater Aaron Beck (dalam Nevid, dkk., 2005, h. 245), menghubungkan pengembangan depresi dengan adopsi dari cara berpikir yang bias atau terdistorsi secara negatif di awal kehidupan. Beck mengembangkan teori tentang segita kognitif dari depresi (cognitive triad of depression). Segitiga kognitif mencakup keyakinan-keyakinan negatif mengenai diri sendiri (contoh: saya

tidak berguna), keyakinan negatif mengenai lingkungan atau dunia secara umum (contoh: sekolah ini menyebalkan), dan keyakinan negatif mengenai masa depan (contoh: tidak akan pernah ada yang berakhir sukses untuk saya). Teori kognitif meyakini bahwa orang yang mengadopsi cara berpikir yang negatif ini memiliki risiko yang lebih besar untuk menjadi depresi bila dihadapkan pada pengalaman hidup yang menekan atau mengecewakan. Segi Tiga Kognitif dari Depresi (Aaron Beck) Pandangan negatif tentang diri sendiri Memandang diri sendiri sebagai tidak berharga, penuh kekurangan, tidak adekuat, tidak dapat dicintai, dan sebagai kurang memiliki ketrampilan yang dibutuhkan untuk mencapai kebahagiaan Pandangan negatif tentang lingkungan Memandang lingkungan sebagai memaksakan tuntutan yang berlebihan dan atau memberikan hambatan yang tidak mungkin diatasi, yang terus menerus menyebabkan kegagalan dan kehilangan Pandangan negatif tentang masa depan Memandang masa depan sebagai tidak ada harapan dan meyakini bahwa dirinya tidak punya kekuatan untuk mengubah hal-hal menjadi lebih baik. Harapan orang ini terhadap masa depan hanyalah kegagalan dan kesedihan yang berlanjutr serta kesulitan yang tidak pernah usai Beck memandang konsep-konsep negatif mengenai self dan dunia ini sebagai cetakan mental atau skema-skema kognitif yang diadopsi saat masa kanak-kanak atas dasar pengalamanpengalaman belajar di masa awal. Kecenderungan untuk membesar-besarkan pentingnya kegagalan kecil adalah sebuah contoh dari suatu kesalahan dalam berpikir yang disebut Beck sebagai distorsi kognitif. Ia percaya bahwa distorsi kognitif membentuk tahapan-tahapan untuk depresi di saat menghadapi kehilangan personal atau peristiwa hidup yang negatif. Psikiater David Burns (dalam Nevid, dkk., 2005, h. 245-247) menyusun sejumlah distorsi kognitif yang diasosiasikan dengan depresi, yaitu: Cara berpikir semua atau tidak sama sekali (all or nothing thinking) Memandang kejadian-kejadian sebagai hitam dan putih, sebagai semua tentangnya baik atau semua tentangnya buruk. perfeksionisme adalah sebuah contoh dari cara berpikir semua atau tidak sama sekali. Orang yang perfeksionis menilai semua hasil yang berada di luar kesuksesan yang sempurna sebagai kegagalan sepenuhnya. Generalisasi yang berlebihan Mempercayai bahwa bila suatu peristiwa negatif terjadi, maka hal itu cenderung akan terjadi lagi pada situasi yang serupa di masa depan. Seseorang dapat menginterpretasikan suatu kejadian negatif tunggal sebagai sesuatu yang membayangi rangkaian peristiwa-peristiwa negatif yang tidak berakhir. Filter mental Berfokus hanya pada detail-detail negatif dari suatu peristiwa, dan dengan sendirinya menolak unsurunsur positif dari semua yang pernah dialami. Beck menyebut distorsi kognitif ini sebagai abstraksi selektif (selective abstraction), yang berarti individu secara selektif mengambil detaildetail negatif dari berbagai peristiwa dan mengabaikan unsur-unsur positifnya. Kemudian individu tersebut akan mendasarkan self-esteemnya pada kelemahan dan kegagalan yang dipersepsikan dan bukan pada unsur-unsur positifnya. Mendiskualifikasikan hal-hal positif Ini mengacu pada kecenderungan untuk memilih kalah dari kemenangan yang hampir terjadi

dengan menetralisasi atau tidak mengakui pencapaian-pencapaian diri sendiri. Tergesa-gesa membuat kesimpulan Membentuk interpretasi negatif mengenai suatu peristiwa, meskipun kekurangan bukti. Dua contoh dari gaya berpikir ini adalah membaca pikiran dan kesalahan tukang ramal. Dalam membaca pikiran, seseorang secara ceroboh tergesa-gesa membuat kesimpulan bahwa orang lain tidak menyukai atau tidak menghargainya. Kesalahan tukang ramal melibatkan prediksi bahwa sesuatu yang buruk akan segera terjadi pada diri sendiri. Orang tersebut meyakini bahwa prediksi dari kesialan ini berdasarkan fakta meskipun tidak ada bukti yang mendukung. Membesar-besarkan dan mengecilkan Membesar-besarkan atau mengkatastrofekan, mengacu pada kecenderungan untuk membuat gunung dari kerikil-kerikil untuk membesar-besarkan pentingnya peristiwa-peristiwa negatif, kekurangan pribadi, ketakutan, atau kesalahan. Mengecilkan adalah seperti bayangan pada cermin, suatu tipe dari distorsi kognitif dimana seseorang mengecilkan atau memandang rendah kebaikan-kebaikannya. Penalaran emosional Mendasarkan penalaran pada emosi. Seseorang menginterpretasikan perasaan dan peristiwa berdasarkan emosi dan bukan pada pertimbangan-pertimbangan yang adil terhadap bukti. Pernyataan-pernyataan keharusan Menciptakan perintah personal atau self-commandments keharusan-keharusan atau semestinya-semestinya. Dengan menciptakan harapan yang tidak realistis dapat menyebabkan seseorang menjadi depresi saat gagal mencapainya. Memberi label dan salah melabel Menjelaskan perilaku dengan melekatkan label negatif pada diri sendiri dan orang lain. Melakukan personalisasi Hal ini mengacu pada kecenderungan untuk mengasumsikan bahwa diri sendiri bertanggung jawab atas maslah dan perilaku orang lain dan bukan menyadari bahwa penyebab lain bisa saja terlibat. Teori ketidakberdayaan (atribusional) yang dipelajari. Model ketidakberdayaan yang dipelajri (learned helplessness) mengajukan pandangan bahwa orang dapat menjadi depresi karena ia belajar untuk memandang dirinya sendiri sebagai tidak berdaya dalam mengontrol reinforcement-reinforcement di lingkungannya atau untuk mengubah kehidupannya menjadi lebih baik. Orang yang pertama kali menyusun konsep ketidak berdayaan yang dipelajari, Martin Seligman (dalam Nevid, dkk., 2005, h. 250-251) menyatakan bahwa orang belajar untuk memandang dirinya sebagai tidak berdaya karena pengalaman-pengalamannya. Seligman dan kolega-koleganya mengubah teori ketidakberdayaan dalam kerangka konsep psikologi sosial atau gaya atribusional (atributional style). Saat kekecewaan atau kegagalan muncul, seseorang mungkin menjelaskannya dalam berbagai cara yang memiliki berbagai karakteristik. Seseorang dapat menyalahkan diri sendiri (suatu atribusi internal) atau dapat menyalahkan situasi yang dihadapi (suatu atribusi eksternal). Seseorang dapat melihat pengalaman buruk sebagai kejadian-kejadian yang melekat dengan karakteristik kepribadian (atribusi stabil) atau sebagai peristiwa yang terpisah (atribusi tidak stabil). Seseorang dapat melihatnya sebagai bukti masalah yang lebih luas (suatu atribusi global) atau sebagai suatu bukti dari kelemahan tertentu yang terbatas (suatu atribusi spesifik). Berdasarkan ketiga tipe atribusi di atas, maka orang yang paling rentan terhadap depresi adalah orang-orang yang memliki keyakinan: Faktor-faktor internal, atau keyakinan bahwa kegagalan merefleksikan ketidakmampuan pribadi,

dan bukan faktor-faktor eksternal. Faktor-faktor global, atau keyakinan bahwa kegaga;an merefleksikan seluruh kesalahan dalam kepribadian dan bukan faktor-faktor spesifik. Faktor-faktor stabil, atau keyakinan bahwa kegagalan merefleksikan faktor kepribadian yang menetap dan bukan faktor-faktor yang tidak stabil. Faktor-Faktor Biologis Faktor-faktor biokimia dan abnormalitas otak dalam depresi. Penelitian awal mengenai dasar penyebab biologis dari depresi berfokus pada berkurangnya tingkat neurotransmitter dalam otak. Suatu padnangan yang dipegang secara luas saat ini adalah bahwa depresi melibatkan ketidakteraturan dalam (1) jumlah reseptor pada neuron penerima, tempat dimana neurotransmitter berkumpul (memiliki terlalu banyak atau terlalu sedikit); atau (2) dalam sensitivitas reseptor bagi neurotransmitter tertentu (Yatman, dkk., dalam Nevid, dkk., 2005, h. 253). Metode lain dari penelitian berfokus pada kemungkinan abnormalitas dalam korteks prafrontal (prefrontal cortex), area dari lobus frontal yang terletak di depan area motorik. Peneliti menemukan bukti dari aktivitas metabolisme yang lebih rendah dan ukuran korteks prafrontal yang lebih kecil dari pada kelompok kontrol yang sehat (Damasio dalam Nevid, dkk., 2005, h. 253). Korteks prafrontal terlibat dalam pengaturan neurotransmitter yang dipercaya terlibat dalam gangguan mood, termasuk seretonin dan norepinephrine. DAFTAR PUSTAKA Atwater, E. 1983. Psychology of Adjustment. Singapore: Prentice-Hall, Inc. Azhim, Said Abdul. 2008. Cara Islami Mencegah dan Mengobati Gangguan Otak, Stres dan Depresi. Jakarta: Qultum Media

You might also like