You are on page 1of 18

Dalam sejarah pasar modal Indonesia, kegiatan jual beli saham dan obligasi di mulai pada abad ke 19.

Menurut buku effectengids yang dikeluarkan oleh verreniging voor den effectenhandel pada tahun 1939, jual beli efek telah berlangsung sejak 1880, pada tanggal 14 Desember 1912, amserdamse effectenbueurs mendirikan cabang bursa efek di Batavia. Di tingkat asia bursa efek tersebut merupakan yang tertua ke-empat setelah Bombay, Hongkong, dan Tokyo.

Aktivitas yang sekarang di identikkan sebagai aktivitas pasar modal sudah di mulai sejak tahun 1912 di Jakarta. Aktivitas ini pada waktu itu dilakukan oleh orang-orang Belanda, di Batavia yang di kenal sebagai Jakarta sekarang. Sekitar awal abad ke-19 pemerintah kolonial Belanda mulai membangun perkebunan secara besar-besaran di Indonesia. Sebagai salah satu sumber dana adalah dari para penabung yang telah di kerahkan sebaik-baiknya.

Para penabung tersebut terdiri dari orang-orang Belanda dan Eropa lainya yang penghasilannya sangat jauh lebih tinggi dari penghasilan penduduk pribumi. Atas dasar itulah maka pemerintah kolonial waktu itu mendirikan pasar modal. Setelah mengadakan persiapan, maka akhirnya berdiri secara resmi pasar modal di Indonesia yang terletak di Batavia (Jakarta) pada tanggal 14 Desember 1912 yang bernama Vereniging Voor De Effectenhandel (bursa efek) dan langsung memulai perdagangan.

Efek yang di perdagangkan pada saat itu adalah saham dan obligasi perusahaan milik perusahaan Belanda serta pemerintah Hindia Belanda. Bursa Batavia dihentikan pada perang dunia yang pertama dan di buka kembali pada tahun 1925 dan menambah jangkauan aktivitasnya dengan membuka bursa paralel di Surabaya dan Semarang. Dan aktivitas ini terhenti pada perang dunia kedua.

Setahun setelah pemerintah belanda mengakui kedaulatan RI, tepatnya pada tahun 1950, obligasi Republik Indonesia dikeluarkan oleh pemerintah. Peristiwa ini menandai mulai aktifnya kembali Pasar Modal Indonesia. Didahului dengan terbitnya Undang-Undang Darurat No.13 tanggal 1 September 1951, yang kelak ditetapkan sebagai Undang-Undang No.15 tahun 1952 tentang bursa, pemerintah RI membuka kembali bursa efek di Jakarta pada tanggal 31 Juni 1952, setelah terhenti 12 tahun.

Adapun penyelenggaranya diserahkan pada Perserikatan Perdagangan Uang dan Efek-efek (PPUE) yang terdiri dari 3 Bank Negara dan beberapa makelar efek lainnya dengan Bank Indonesia sebagai penasihat. Aktivitas ini semakin meningkat sejak Bank Industri Negara mengeluarkan pinjaman obligasi berturut-turut pada tahun 1954, 1955 dan 1956. Para pembeli obligasi banyak warga Negara Belanda, baik perorangan maupun badan hukum.

Menjelang akhir era 50-an, terlihat kelesuan dan kemunduran perdagangan di bursa. Hal ini disebabkan oleh politik konfrontasi yang dilancarkan pemerintah RI terhadap Belanda sehingga mengganggu hubungan ekonomi kedua Negara dan mengakibatkan banyak warga Negara belanda meninggalkan Indonesia. Perkembangan tersebut makin parah sejalan dengan memburuknya hubungan RI dengan Belanda mengenai sengketa Irian Jaya.

Dan memuncaknya aksi pengambil-alihan semua perusahaan Belanda di Indonesia.sesuai dengan Undang-undang Nasional No 86 Tahun 1958. Kemudian disusul oleh Badan Nasional Perusahaan Belanda (BANAS) pada tahun 1960 yaitu mengeluarkan larangan bagi bursa efek untuk memperdagangkan semua efek dari perusahaan Belanda yang beroperasi di Indonesia.

Pada tahun 1977, bursa saham kembali dibuka dan ditangani oleh Badan Pelaksana Pasar Modal (Bapepam), institusi baru dibawah Departemen Keuangan. Untuk merangsang emisi, pemerintah memberikan keringanan atas pajak perseroan sebesar 10% 20% selama 5 tahun sejak perusahaan yang bersangkutan go public. Selain itu, untuk investor WNI yang membeli saham melalui pasar modal tidak dikenakan pajak pendapatan atas capital again, pajak atas bunga, dividen, royalty, dan pajak rekayasa atas nilai saham / bukti penyertaan modal.

Pada tahun 1988, pemerintah melakukan deregulasi di sektor keuangan dan perbankan termasuk pasar modal, yang mempengaruhi perkembangan pasar modal yaitu antara lain Pakto 27 tahun 1988 dan Pakdes 20 tahun 1988.

Pada tanggal 13 Juli 1992, bursa saham di swastanisasi menjadi PT Bursa Efek Jakarta. Swastanisasi bursa saham menjadi PT BEJ ini mengakibatkan beralihnya fungsi Bapepam menjadi Badan Pengawas Pasar Modal.

Sejarah dan Perkembangan Pasar Modal Pasar Modal pada hakekatnya adalah pasar yang tidak berbeda jauh dengan pasar tradisional yang selama ini kita kenal, dimana ada pedagang, pembeli, dan juga tawar menawar harga. Pasar modal dapat juga diartikan sebagai sebuah wahana yang mempertemukan pihak yang membutuhkan dana

dengan pihak yang menyediakan dana sesuai dengan aturan yang ditetapkan oleh lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal telah menggariskan bahwa Pasar Modal mempunyai posisi yang strategis dalam pembangunan ekonomi nasional. Pertumbuhan suatu Pasar Modal sangat tergantung pada dari kinerja perusahaan efek. Untuk mengkoordinasikan modal, dukungan teknis, dan sumber daya manusia dalam pengembangan Pasar Modal diperlukan suatu kepemimpinan yang efektif. Perusahaan-perusahaan harus menjalin kerjasama yang erat untuk menciptakan pasar yang mampu menyediakan berbagai jenis produk dan alternatif investasi bagi masyarakat. Untuk mengenmbangkan prasarana industri Efek diperlukan investasi yang besar. Investasi tersebut tergantung pada keuntungan ekonomis yang dapat diperoleh para usahawan. Faktor-faktor yang dapat mengurangi jumlah investasi yang dapat diperlukan untuk membangun prasarana dan mengurangi biaya operasi perusahaan efek, akan mendorong perkembangan Pasar Modal melalui peningkatan kelangsungan hidup Perusahaan Efek. Perkembangan dimaksud dapat dicapai apabila faktor-faktor tersebut juga mampu menghasilkan layanan dan alternatif investasi yang aman dan berkualitas tinggi terutama dalam memberikan pelayanan yang optimal kepada para investor sehingga perkembangannya nanti akan sangat mempengaruhi minat dari para calon investor baru yang ingin coba-coba berinvestasi di Pasar Modal. Dalam sejarah Pasar Modal Indonesia, kegiatan jual beli saham dan obligasi dimulai pada abad 19. Menurut buku Effectengids yang dikeluarkan oleh Verreniging voor den Effectenhandel pada tahun 1939, jual beli efek telah berlangsung sejak 1880. Pada tanggal 14 Oktober 1912, Amaserdamse Effectenbueurs mendirikan cabang bursa efek di Batavia. Di tingkat Asia, bursa Batavia tersebut merupakan yang tertua keempat setelah Bombay, Hongkong dan Tokyo. a. Zaman Penjajahan Sekitar awal abad ke-19 pemerintah kolonial Belanda mulai membangun perkebunan secara besarbesaran di Indonesia. Sebagai salahsatu sumber dana adalah dari para penabung yang telah dikerahkan sebaik-baiknya. Para penabung tersebut terdiri dari orang-orang Belanda dan Eropa lainnya yang penghasilannya sangat jauh lebih tinggi dari penghasilan penduduk pribumi. Atas dasar itulah, maka pemerintahan kolonial waktu itu mendirikan Pasar Modal. Setelah mengadakan persiapan, maka akhirnya berdiri secara resmi Pasar Modal di Indonesia yang terletak di batavia (Jakarta) pada tanggal 14 Desember 1912 dan bernama Verreniging voor den Effectenhandel (Bursa Efek), dan langsung memulai perdagangan.

Pada saat awal terdapat terdapat 13 anggota bursa yang aktif (makelar) yaitu: Fa. Duniop & Kolf; Fa Gijselman & Steup; Fa. Monod & Co.; Fa. Adree Witansi & Co; Fa. A.W. Deeleman; Fa. H. Jul Joostensz; Fa. Jeannette Walen; Fa.Wiekert & V.D Linden; Fa. Walbrink & Co; Fa. Vermeys & Co; Fa. Cruyff dan Fa. Gebroeders. Sedangkan Efek yang diperjualbelikan adalah saham dan obligasi perusahaan/perkebunan Belanda yang beroperasi di Indonesia, obligasi yang diterbitkan pemerintah (propinsi dan kotapraja), sertifikat saham perusahaan-perusahaan Amerika yang diterbitkan oleh kantor administrasi di negeri Belanda serta efek perusahaan Belanda lainnya. Perkembangan Pasar Modal di Batavia tersebut begitu pesat sehingga menarij masyarakat kota lainnya. Untuk menampung minat tersebut, pada tanggal 11 Januari 1925 di kota Surabaya dan 1 Agustus 1925 di Semarang resmi didirikan bursa. Anggota bursa di Surabaya waktu itu adalah: Fa. Duniop & Kolf; Fa Gijselman & Steup; Fa. Van Velsen; Fa. Beaukkerk & Co. Dan N. Koster. Sedangkan anggota bursa di Semarang waktu itu adalah: Fa. Dunlop & Koff; Fa Gijselman & Steup; Fa. Monod & Co; Fa. Companien & Co; serta Fa. P.H. Soeters & Co. Perkembangan Pasar Modal waktu itu cukup menggembirakan yang terlihat dari nilai efek yang tercatat mencapai NIF 1,4 milyar (jika di Indeks dengan harga beras yang disubsidi pada tahun 1982, nilainya adalah Rp. 7 Trilyun) yang berasal dari 250 macam efek. b. Perang Dunia II Pada permulaan tahun 1939 keadaan suhu politik di Eropa menghangat. Melihat keadaan ini, pemerintah Hindia Belanda mengambil kebijaksanaan untuk memusatkan perdagangan Efek-nya di Batavia serta menutup Bursa Efek di Surabaya dan di Semarang. Namun pada tanggal 17 Mei 1940 secara keseluruhan kegiatan perdagangan efek ditutup dan dikeluarkan peraturan yang menyatakan bahwa semua efek-efek harus disimpan dalam bank yang ditunjuk oleh Pemerintah Hindia Belanda. Penutupan ketiga bursa efek tersebut sangat mengganggu likuiditas efek, menyulitkan para pemilik efek, dan berakibat pula pada penutupan kantor-kantor pialang serta pemutusan hubungan kerja. Selain itu juga mengakibatkan banyak perusahaan dan perseorangan enggan menanam modal di Indonesia. Dengan demikian, dapat dikatakan, pecahnya Perang Dunia II menandai berakhirnya aktivitas Pasar Modal pada zaman penjajahan Belanda. c. Masa Tahun 1952-1958 Setahun setelah pemerintahan Belanda mengakui kedaulatan RI, tepatnya pada tahun 1950, obligasi Republik Indonesia dikeluarkan oleh pemerintah. Peristiwa ini menandai mulai aktifnya kembali Pasar

Modal Indonesia. Didahului dengan diterbitkannya Undang-undang Darurat No.13 tanggal 1 September 1951, yang kelak ditetapkan sebagai Undang-undang No.15 tahun 1952 tentang Bursa, pemerintah RI membuka kembali Bursa Efekdi Jakarta pada tanggal 31 Juni 1952, setelah terhenti selama 12 tahun. Adapun penyelenggaraannya diserahkan kepada Perserikatan Perdagangan Uang dan Efek-efek (PPUE) yang terdiri dari 3 bank negara dan beberapa makelar efek lainnya dengan Bank Indonesia sebagai penasihat. Sejak itu Bursa Efek berkembang dengan pesat, meskipun efek yang diperdagangkan adalah efek yang dikeluarkan sebelum Perang Dunia II. Aktivitas ini semakin meningkat sejak Bank Industri Negara mengeluarkan pinjaman obligasi berturut-turut pada tahun 1954,1955, dan 1956. Para pembeli obligasi banyak warga negara belanda, baik perseorangan maupun Badan Hukum. Semua anggota diperbolehkan melakukan transaksi abitrase dengan luar negeri terutama dengan Amsterdam. d. Masa Konfrontasi Namun keadaan ini hanya berlangsung sampai pada tahun 1958, karena mulai saat itu terlihat kelesuan dan kemunduran perdagangan di Bursa. Hal ini diakibatkan politik konfrontasi yang dilancarkan pemerintah RI terhadap Belanda, sehingga mengganggu hubungan ekonomi kedua negara dan mengakibatkan banyak warga negara Belanda meninggalkan Indonesia. Perkembangan tersebut makin parah sejalan dengan memburuknya hubungan RI dengan Belanda mengenai sengketa Irian Jaya dan memuncaknya aksi pengambil-alihan semua perusahaan Belanda di Indonesia, sesuai dengan Undangundang Nasionalisasi No. 86 Tahun 1958. Kemudian disusul dengan instruksi dari Badan Nasionalisasi Perusahaan Belanda (BANAS) pada tahun 1960, yaitu larangan bagi Bursa Efek Indonesia untuk memperdagangakan semua efek dari perusahaan Belanda yang beroperasi di Indonesia, termasuk semua Efek yang bernominasi mata uang Belanda, makin memperparah perdagangan efek di Indonesia. Tingakat inflasi yang cukup tinggi pada waktu itu semakin menggoncang dan mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap Pasar Uang dan Pasar Modal, juga terhadap mata uang rupiah yang mencapai puncaknya pada tahun 1966. Penurunan ini mengakibatkan nilai nominal saham dan obligasi menjadi rendah sehingga tidak menarik lagi bagi investor. Hal ini merupakan pasang surut Pasar Modal Indonesia pada zaman Orde Lama. e. Babak Baru Pasar Modal Tahun 1977 Langkah demi langkah diambil oleh pemerintah Orde Baru untuk mengembalikan kepercayaan rakyat terhadap nilai mata uang Rupiah. Disamping pengerahan dana dari masyarakat melalui tabungan dan deposito, pemerintah terus mengadakan persiapan khusus untuk membentuk Pasar Modal. Dengan Surat Keputusan Direksi BI No. 4/16 Keputusan Direktur tanggal 26 Juli 1968 di BI dibentuk Tim Persiapan Pasar Uang (PU)

Dan Pasar Modal (PM). Hasil penelitian tim menyatakan bahwa benih dari Pasar Modal di Indonesia sebenarnya sudah ditanam pemerintah sejak tahun 1952, tetapi karena situasi politik dan masyarakat masih awam tentang Pasar Modal, maka pertumbuhan efek di Indonesia sejak tahun 1958 s/d 1976 mengalami kemunduran. Setelah tim menyelesaikan tugasnya dengan baik, maka dengan surat keputusan Keu-Menkeu No. Kep25/MK/IV/1/72 tanggal 13 Januari 1972 tim dibubarkan, dan pada tahun 1976 dibentuk Bapepam (Badan Pembina Pasar Modal) dan PT. Danareksa. Bapepam bertugas membantu Menteri Keuangan yang diketuai oleh Gubernur Bank Sentral. Dengan dibentuknya Bapepam, maka terlihat kesungguhan dan intensitas untuk membentuk kembali PU dan PM. Selain sebagai pembantu menteri keuangan, Bapepam juga menjalankan fungsi ganda yaitu sebagai pengawas dan pengelola Bursa Efek. Pada tanggal 10 Agustus 1977 berdasarkan kepres RI No. 52 tahun 1976 psar modal diaktifkan kembali dan go publiknya beberapa perusahaan. Pada zaman Orde Baru inilah perkembangan Pasar Modal dapat dibagi menjadi dua, yaitu tahun 1977 s/d 1987 dan tahun 1987 s/d sekarang. Perkembangan Pasar Modal selama tahun 1977 s/d tahun 1987 mengalami kelesuan meskipun pemerintah telah memberikan fasilitas kepada perusahaan-perusahaan yang memanfaatkan dana dari Bursa Efek. Fasilitas-fasilitas yang diberikan antara lain fasilitas perpajakan untuk merangsang masyarakat agar mau terjun dan aktif di Pasar Modal. Tersendatnya perkembangan Pasar Modal selama periode itu disebabkan oleh beberapa masalah antara lain mengenai prosedur emisi saham dan obligasi yang terlalu ketat, adanya batasan fluktuasi saham dan lain sebagainya. Untuk mengatasi masalah itu pemerintah mengeluarkan berbagai deregulasi yang berkaitan dengan perkembangan pasar modal, yaitu Paket Kebijaksanaan Desember 1987, Paket Kebijaksanaan Oktober 1988, Paket Kebijaksanaan Desember 1988. - Pakdes 1987 Pakdes 1987 merupakan penyederhanaan persyaratan proses emisi saham dan obligasi, dihapuskannya biaya yang sebelumnya dipungut oleh Bapepam, seperti biaya pendaftaran emisi efek. Selain itu dibuka pula kesempatan bagi pemodal asing untuk membeli efek maksimal 49% dari total emisi. Pakdes 87 juga menghapus batasan fluktuasi harga sajam di bursa efek dan memperkenalkan bursa paralel. Sebagai pilihan bagi emiten yang belum memenuhi syarat untuk memasuki bursa efek. - Pakto 88 Pakto 88 ditujukan pada sektor perbankan, nbamun mempunyai dampak terhadap perkembangan pasar modal. Pakto 88 berisikan tentang ketentuan 3 L (Legal, Lending, Limit),

dan pengenaan pajak atas bunga deposito.Pengenaan pajak ini berdampak positif terhadap perkembangan pasar modal di Indonesia. - Pakdes 88 Pakdes 88 pada dasarnya memberikan dorongan yang lebih jauh pada pasar modal dengan membuka peluang bagi swasta untuk menyelenggarakan bursa.

Perkembangan dan Sekuritas Pasar Modal BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sejarah dan Perkembangan Pasar Modal Indonesia 2.1.1 Perode Zaman Penjajahan Periode Zaman Penjajahan. Tahun 1912 adalah tahun pertama pasar modal di Indonesia. Waktu itu pasar modal didirikan oleh pemerintah India Belanda (Netherlands Indies), di Jakarta dengan tujuan untuk menghimpun dana guna menunjang ekspansi usaha perkebunan milik orang-orang Belanda di Indonesia. Dalam sejarah Pasar Modal Indonesia, kegiatan jual beli saham dan obligasi dimulai pada abad-19. Menurut buku Effectengids yang dikeluarkan oleh Verreniging voor den Effectenhandel pada tahun 1939, jual beli efek telah berlangsung sejak 1880. Pada tanggal 14 Desember 1912, Amserdamse Effectenbueurs mendirikan cabang bursa efek di Batavia. Di tingkat Asia, bursa Batavia tersebut merupakan yang tertua ke-empat setelah Bombay, Hongkong, dan Tokyo. Munculnya pasar modal di Indonesia secara resmi diawali dengan didirikannya Vereniging voor de Effectenhandel pada tanggal 14 Desember 1912. Perkembangan pasar modal pada waktu itu cukup menggembirakan, sehingga pemerintah kolonial Belanda terdorong untuk membuka bursa efek di kota lain, yaitu di Surabaya pada tanggal 11 Januari 1925 dan di Semarang pada tanggal 1 Agustus 1925. Sekitar awal abad ke-19 pemerintah kolonial Belanda mulai membangun perkebunan secara besarbesaran di Indonesia. Sebagai salah satu sumber dana adalah dari para penabung yang telah dikerahkan sebaik-baiknya. Para penabung tersebut terdiri dari orang-orang Belanda dan Eropa lainnya yang penghasilannya sangat jauh lebih tinggi dari penghasilan penduduk pribumi.Atas dasar itulah maka pemerintahan kolonial waktu itu mendirikan pasar modal. Setelah mengadakan persiapan, maka akhirnya berdiri secara resmi pasar modal di Indonesia yang terletak di Batavia (Jakarta) pada tanggal 14 Desember 1912 dan bernama Vereniging voor de Effectenhandel (bursa efek) dan langsung memulai

perdagangan. Pada saat awal terdapat 13 anggota bursa yang aktif (makelar) yaitu : Fa. Dunlop & Kolf; Fa. Gijselman & Steup; Fa. Monod & Co.; Fa. Adree Witansi & Co.; Fa. A.W. Deeleman; Fa. H. Jul Joostensz; Fa. Jeannette Walen; Fa. Wiekert & V.D. Linden; Fa. Walbrink & Co; Wieckert & V.D. Linden; Fa. Vermeys & Co; Fa. Cruyff dan Fa. Gebroeders. Sedangkan Efek yang diperjual-belikan adalah saham dan obligasi perusahaan/perkebunan Belanda yang beroperasi di Indonesia, obligasi yang diterbitkan Pemerintah (propinsi dan kotapraja), sertifikat saham perusahaan-perusahaan Amerika yang diterbitkan oleh kantor administrasi di negeri Belanda serta efek perusahaan Belanda lainnya. Perkembangan pasar modal di Batavia tersebut begitu pesat sehingga menarik masyarakat kota lainnya. Untuk menampung minat tersebut, pada tanggal 11 Januari 1925 di kota Surabaya dan 1 Agustus 1925 di Semarang resmi didirikan bursa. Anggota bursa di Surabaya waktu itu adalah : Fa. Dunlop & Koff, Fa. Gijselman & Steup, Fa. V. Van Velsen, Fa. Beaukkerk & Cop, dan N. Koster. Sedangkan anggota bursa di Semarang waktu itu adalah : Fa. Dunlop & Koff, Fa. Gijselman & Steup, Fa. Monad & Co, Fa. Companien & Co, serta Fa. P.H. Soeters & Co. Perkembangan pasar modal waktu itu cukup menggembirakan yang terlihat dari nilai efek yang tercatat yang mencapai NIF 1,4 milyar (jika di indeks dengan harga beras yang disubsidi pada tahun 1982, nilainya adalah + Rp. 7 triliun) yang berasal dari 250 macam efek. 2.1.2 Periode Perang Dunia II Pada permulaan tahun 1939 keadaan suhu politik di Eropa menghangat dengan memuncaknya kekuasaan Adolf Hitler. Melihat keadaan ini, pemerintah Hindia Belanda mengambil kebijaksanaan untuk memusatkan perdagangan Efek-nya di Batavia serta menutup bursa efek di Surabaya dan di Semarang. Namun pada tanggal 17 Mei 1940 secara keseluruhan kegiatan perdagangan efek ditutup dan dikeluarkan peraturan yang menyatakan bahwa semua efek-efek harus disimpan dalam bank yang ditunjuk oleh Pemerintah Hindia Belanda. Penutupan ketiga bursa efek tersebut sangat mengganggu likuiditas efek, menyulitkan para pemilik efek, dan berakibat pula pada penutupan kantor-kantor pialang serta pemutusan hubungan kerja. Selain itu juga mengakibatkan banyak perusahaan dan perseorangan enggan menanam modal di Indonesia. Dengan demikian, dapat dikatakan, pecahnya Perang Dunia II menandai berakhirnya aktivitas pasar modal pada zaman penjajahan Belanda 2.1.3 Periode Orde Lama 2.1.3.1 Aktif Kembali Setahun setelah pemerintahan Belanda mengakui kedaulatan RI, tepatnya pada tahun 1950, obligasi Republik Indonesia dikeluarkan oleh pemerintah. Peristiwa ini menandai mulai aktifnya kembali Pasar Modal Indonesia. Didahului dengan diterbitkannya Undang-undang Darurat No. 13 tanggal 1 September 1951, yang dikeluarkan oleh Menteri kehakiman (Lukman Wiradinata) dan Menteri keuangan (Prof.DR. Sumitro Djojohadikusumo).yang kelak ditetapkankan sebagai Undang-undang No. 15 tahun 1952 tentang Bursa, pemerintah RI membuka kembali Bursa Efek di Jakarta pada tanggal 31 Juni 1952, setelah

terhenti selama 12 tahun. Adapun penyelenggaraannya diserahkan kepada Perserikatan Perdagangan Uang dan Efek-efek (PPUE) yang terdiri dari 3 bank negara dan beberapa makelar Efek lainnya dengan Bank Indonesia sebagai penasihat. Instrumen yang diperdagangkan: Obligasi Pemerintah RI (1950) Sejak itu Bursa Efek berkembang dengan pesat, meskipun Efek yang diperdagangkan adalah Efek yang dikeluarkan sebelum Perang Dunia II. Aktivitas ini semakin meningkat sejak Bank Industri Negara mengeluarkan pinjaman obligasi berturut-turut pada tahun 1954, 1955, dan 1956. Para pembeli obligasi banyak warga negara Belanda, baik perorangan maupun badan hukum. Semua anggota diperbolehkan melakukan transaksi abitrase dengan luar negeri terutama dengan Amsterdam.

2.1.3.2 Periode Masa Konfrontasi Namun keadaan ini hanya berlangsung sampai pada tahun 1958, karena mulai saat itu terlihat kelesuan dan kemunduran perdagangan di Bursa. Hal ini diakibatkan politik konfrontasi yang dilancarkan pemerintah RI terhadap Belanda sehingga mengganggu hubungan ekonomi kedua negara dan mengakibatkan banyak warga negara Belanda meninggalkan Indonesia. Perkembangan tersebut makin parah sejalan dengan memburuknya hubungan Republik Indonesia dengan Belanda mengenai sengketa Irian Jaya dan memuncaknya aksi pengambil-alihan semua perusahaan Belanda di Indonesia, sesuai dengan Undang-undang Nasionalisasi No. 86 Tahun 1958. Kemudian disusul dengan instruksi dari Badan Nasionalisasi Perusahaan Belanda (BANAS) pada tahun 1960, yaitu larangan bagi Bursa Efek Indonesia untuk memperdagangkan semua Efek dari perusahaan Belanda yang beroperasi di Indonesia, termasuk semua Efek yang bernominasi mata uang Belanda, makin memperparah perdagangan Efek di Indonesia. Tingkat inflasi pada waktu itu yang cukup tinggi ketika itu, makin menggoncang dan mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap pasar uang dan pasar modal, juga terhadap mata uang rupiah yang mencapai puncaknya pada tahun 1966. Penurunan ini mengakibatkan nilai nominal saham dan obligasi menjadi rendah, sehingga tidak menarik lagi bagi investor. Hal ini merupakan pasang surut Pasar Modal Indonesia pada zaman Orde Lama 2.1.4 Periode Orde Baru. Langkah demi langkah diambil oleh pemerintah Orde Baru untuk mengembalikan kepercayaan rakyat terhadap nilai mata uang rupiah. Disamping pengerahan dana dari masyarakat melalui tabungan dan deposito, pemerintah terus mengadakan persiapan khusus untuk membentuk Pasar Modal. Dengan surat keputusan direksi BI No. 4/16 Kep-Dir tanggal 26 Juli 1968, di BI di bentuk tim persiapan (PU) Pasar Uang dan (PM) Pasar Modal. Hasil penelitian tim menyatakan bahwa benih dari PM di Indonesia sebenarnya sudah ditanam pemerintah sejak tahun 1952, tetapi karena situasi politik dan masyarakat masih awam tentang pasar modal, maka pertumbuhan Bursa Efek di Indonesia sejak tahun 1958 s/d 1976 mengalami kemunduran. Setelah tim menyelesaikan tugasnya dengan baik, maka dengan surat keputusan Kep-Menkeu No. Kep25/MK/IV/1/72 tanggal 13 Januari 1972 tim dibubarkan, dan pada tahun 1976 dibentuk Bapepam (Badan

Pembina Pasar Modal) dan PT Danareksa. Bapepam bertugas membantu Menteri Keuangan yang diketuai oleh Gubernur Bank Sentral.Dengan terbentuknya Bapepam, maka terlihat kesungguhan dan intensitas untuk membentuk kembali PU dan PM. Selain sebagai pembantu menteri keuangan, Bapepam juga menjalankan fungsi ganda yaitu sebagai pengawas dan pengelola bursa efek. Pada tanggal 10 Agustus 1977 berdasarkan kepres RI No. 52 tahun 1976 pasar modal diaktifkan kembali dan go publik-nya beberapa perusahaan. bursa Efek atau pasar modal diresmikan kembali oleh Presiden Soeharto. BEJ dijalankan dibawah BAPEPAM (Badan Pelaksana Pasar Modal). Tanggal 10 Agustus diperingati sebagai HUT Pasar Modal. Pengaktifan kembali pasar modal ini juga ditandai dengan go public PT Semen Cibinong sebagai emiten pertama. Pada jaman orde baru inilah perkembangan PM dapat di bagi menjadi 2, yaitu tahun 1977 s/d 1987 dan tahun 1987 s/d sekarang. Perkembangan pasar modal selama tahun 1977 s/d 1987 mengalami kelesuan meskipun pemerintah telah memberikan fasilitas kepada perusahaan-perusahaan yang memanfaatkan dana dari bursa efek. Fasilitas-fasilitas yang telah diberikan antara lain fasilitas perpajakan untuk merangsang masyarakat agar mau terjun dan aktif di Pasar Modal. Tersendatnya perkembangan pasar modal selama periode itu disebabkan oleh beberapa masalah antara lain mengenai prosedur emisi saham dan obligasi yang terlalu ketat, adanya batasan fluktuasi harga saham dan lain sebagainya. Untuk mengatasi masalah itu pemerintah mengeluarkan berbagai deregulasi yang berkaitan dengan perkembangan pasar modal, yaitu Paket Kebijaksanaan Desember 1987, Paket Kebijaksanaan Oktober 1988, dan Paket Kebijaksanaan Desember 1988. Pakdes 87 Pakdes 1987 merupakan penyederhanaan persyaratan proses emisi saham dan obligasi, dihapuskannya biaya yang sebelumnya dipungut oleh Bapepam, seperti biaya pendaftaran emisi efek. Selain itu dibuka pula kesempatan bagi pemodal asing untuk membeli efek maksimal 49% dari total emisi. Pakdes 87 juga menghapus batasan fluktuasi harga saham di bursa efek dan memperkenalkan bursa paralel. Sebagai pilihan bagi emiten yang belum memenuhi syarat untuk memasuki bursa efek. Pakto 88 Pakto 88 ditujukan pada sektor perbankkan, namun mempunyai dampak terhadap perkembangan pasar modal. Pakto 88 berisikan tentang ketentuan 3 L (Legal, Lending, Limit), dan pengenaan pajak atas bunga deposito. Pengenaan pajak ini berdampak positif terhadap perkembangan pasar modal. Sebab dengan keluarnya kebijaksanaan ini berarti pemerintah memberi perlakuan yang sama antara sektor perbankan dan sektor pasar modal. Pakdes 88 Pakdes 88 atau paket Desember 1988 pada dasarnya memberikan dorongan yang lebih jauh pada pasar modal dengan membuka peluang bagi swasta untuk menyelenggarakan bursa. Hal ini memudahkan investor yang berada di luar Jakarta Di samping ketiga paket kebijakan ini terdapat pula peraturan mengenai dibukanya izin bagi investor

asing untuk membeli saham di bursa Indonesia yang dituangkan dalam Keputusan Menteri Keuangan No. 1055/KMK.013/1989. Investor asing diberikan kesempatan untuk memiliki saham sampai batas maksimum 49% di pasar perdana, maupun 49 % saham yang tercatat di bursa efek dan bursa paralel. Setelah itu disusul dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Keuangan No. 1548/KMK.013/1990 yang diubah lagi dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 1199/KMK.010/1991. Dalam keputusan ini dijelaskna bahwa tugas Bapepam yang semula juga bertindak sebagai penyelenggara bursa, maka hanya menjadi badan regulator. Selain itu pemerintah juga membentuk lembaga baru seperti Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), Kliring dan Penjaminan Efek Indonesia (KPEI), reksadana, serta manajer Investasi. Keadaan setelah kebijakan deregulasi itu dikeluarkan benar-benar berbeda. Pasar modal menjadi sesuatu yang menggemparkan, karena investasi di bursa efek berkembang sangat pesat. Banyak perusahaan antri untuk dapat masuk bursa. Para investor domestik juga ramai-ramai ikut bermain di bursa saham. Selama tahun 1989 tercatat 37 perusahaan go public dan sahamnya tercatat (listed) di Bursa Efek Jakarta. Sedemikian banyaknya perusahaan yang mencari dana melalui pasar modal, sehingga masyarakat luas pun berbondong-bondong untuk menjadi investor. Perkembangan ini berlanjut dengan swastanisasi bursa, yakni berdirinya PT. Bursa Efek Surabaya, Pada tanggal 16 Juni 1989 Bursa Efek Surabaya (BES) mulai beroperasi dan dikelola oleh Perseroan Terbatas milik swasta yaitu PT Bursa Efek Surabaya. Bursa Efek Surabaya (BES) mulai beroperasi dan dikelola oleh Perseroan Terbatas milik swasta yaitu PT Bursa Efek Surabaya. BES merupakan bursa efek swasta pertama di Indonesia, yang didirikan berdasarkan SK Menteri Keuangan Nomor 645/KMK.010/1989, oleh Menteri Keuangan waktu itu JB Sumarlin. Pendirian BES dimaksudkan untuk mendukung perkembangan ekonomi wilayah Indonesia bagian timur, dengan mengembangkan industri pasar modal di Surabaya dan Jawa Timur. Dan ditujukan untuk perusahaan-perusahaan kecil. Produk BES meliputi saham, obligasi (baik swasta maupun pemerintah), serta reksadana (LQ45 futures, Dow Futures, dan Japan Futures).Dan pada tanggal 13 Juli 1992 berdiri PT. Bursa Efek Jakarta yang menggantikan peran Bapepam sebagai pelaksana bursa. Tanggal ini diperingati sebagai HUT BEJ. 2.1.5 Periode Otomatisasi. Pada bulan Mei tahun 1995: Sistem Otomasi perdagangan di BEJ dilaksanakan dengan sistem computer JATS (Jakarta Automated Trading Systems). Akibat dari perubahan yang menggembirakan ini adalah semakin tumbuhnya rasa kepercayaan investor terhadap keberadaan pasar modal Indonesia. Hal ini ditindaklanjuti oleh pemerintah dengan mengeluarkan peraturan berupa Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 yang berlaku efektif sejak tanggal 1 Januari 1996. Undang-undang ini dilengkapi dengan peraturan organiknya, yakni Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal, serta Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 1995 tentang Tata Cara Pemeriksaan di Bidang Pasar Modal. Dari regulasi yang dikeluarkan periode ini mempunyai ciri khas yakni, diberikannya kewenangan yang cukup besar dan luas kepada Bapepam selaku badan pengawas. Amanat yang

diberikan dalam UU Pasar Modal secara tegas menyebutkan bahwa Bapepam dapat melakukan penyelidikan, pemeriksaan, dan penyidikan jika terjadi kejahatan di pasar modal.Pada tanggal 22 Juli 1995, BES merger dengan Indonesian Parallel Stock Exchange (IPSX), sehingga sejak itu Indonesia hanya memiliki dua bursa efek: BES dan BEJ. 2.1.6 Periode Krisis Moneter hingga Sekarang Periode ini adalah periode ketika Indonesia dilanda krisis moneter. Krisis yang terjadi dimulai dari penurunan nilai mata uang negara-negara Asia, termasuk Indonesia, terhadap dolar mengakibatkan melemahnya pasar modal. Pada tahun 2000 Sistem Perdagangan Tanpa Warkat (scripless trading) mulai diaplikasikan di pasar modal Indonesia. Pada tahun 2002 BEJ mulai mengaplikasikan sistem perdagangan jarak jauh (remote trading). Tujuannya adalah untuk efisiensi dan kemudahan para investor yang ingin menginvestasikan sahamnya di perusahaan yang ada di BEJ. Pada tahun 2007 Bursa Efek Jakarta (BEJ) melakukan merger dengan Bursa Efek Surabaya (BES) dan berubah namanya menjadi Bursa Efek Indonesia (BEI). Pemerintah berharap bahwa dengan dilakukannya penggabungan kedua bursa tersebut, seluruh aktifitas perekonomian bangsa Indonesia bisa terkait dengan kegiatan-kegiatan di pasar modal dan bisa ditampung melalui satu nama, yaitu Bursa Efek Indonesia (BEI). Pada saat ulang tahunnya yang ke-31 tahun Bursa Efek Indonesia meresmikan Pusat Informasi Pasar Modal (PIPM) di Padang, Sumatera Barat, yang dilakukan oleh Asisten II Gubernur Sumatera Barat, Suryadarma Sabirin didampingi oleh Direktur Utama PT Bursa Efek Indonesia, Erry Firmansyah. BEI optimis dengan dibukanya PIPM Padang akan semakin membuka wacana masyarakat setempat mengenai pasar modal sebagai alternatif investasi dan prioritas utama pendanaan. PIPM tersebut sekaligus melengkapi PIPM yang telah ada, yakni PIPM Makassar, PIPM Riau, PIPM Balikpapan, PIPM Palembang, PIPM Pekalongan, PIPM Manado, PIPM Jember dan PIPM Pontianak. Hingga sekarang Bursa Efek Indonesia masih berdiri demi mendukung perekonomian Indonesia dengan berbagai produknya yang semakin berkembang yaitu diantaranya saham, produk turunan, reksa dana ,obligasi dan pasar modal syariah. 2.2 Sekuritas yang Diperdagangkan di Pasar Modal Sekuritas adalah surat berharga seperti saham dan obligasi yang boleh diperdagangkan di pasar modal atau di luar pasar modal.Sekuritas adalahPasar Modal (CAPITAL MAREKT SECURITIES) terdiri dari instrument dengan usia lebih dari 1 tahun hingga tak terbatas (tanpa waktu jatuh tempo). Terbagi atas : a. Sekuritas Tersedia untuk Dijual (Available for Sale Security) Sekuritas ini bisa berbentuk utang atau berbentuk ekuitas yang tidak dapat diklasifikasikan sebagai sekuritas yang dipegang sampai jatuh tempo atau ekuitas yang diperdagangkan di pasar modal. Sekuritas ini termasuk investasi jangka pendek yang diharapkan dapat dijual dalam waktu satu tahun atau kurang. Sekuritas ini dilaporkan dengan nilai pasarnya di neraca. Perbedaan antara harga pasar dengan harga pokoknya disebut dengan unrealized holding gain or loss.

b. Sekuritas Dipegang Sampai Jatuh Tempo (Held to Maturities Securities) Adalah sekuritas utang yang dipegang oleh pembeli sampai jatuh tempo. Sekuritas yang akan jatuh tempo dalam satu tahun dicatat dengan harga perolehannya dan dilaporkan sebagai investasi jangka pendek pada neraca. c. Sekuritas Utang (Debt Security) Adalah utang jangka pendek yang memperlihatkan keterkaitan antara kreditor dengan entitas yang mengeluarkan sekuritas dan individu atau entitas yang memegang sekuritas. Sekuritas utang yang dikeluarkan perusahaan adalah obligasi dan sekuritas utang yang dikeluarkan pemerintah adalah surat utang negara. Contohnya seperti Obligasi, Commercial paper (surat berharga komersial) d. Sekuritas Modal (Equity Security) Sekuritas modal adalah wakil kepemilikan dalam suatu bisnis. Contoh paling umum dari sekuritas ini adalah saham biasa perusahaan. e. Sekuritas Perdagangan (Trading Security) Sekuritas ini bisa dalam bentuk utang (debt) atau modal (equity) yang mana manajemen bermaksud memperdagangkannya untuk mencari keuntungan contohnya obligasi dengan bunga tetap. Adapun jenis-jenis sekuritas yang diperdagangkan di BEJ adalah : 1) Saham Biasa adalah bukti kepemilikan atas suatu perusahaan. Dividen yang diterima tidak tetap 2) Saham Preferen merupakan saham yang akan menerima dividen dalam jumlah tetap 3) Obligasi merupakan surat tanda hutang jangka panjang yang diterbitkan oleh perusahaan maupun pemerintah 4) Obligasi Konversi adalah obligasi yang dapat dikonversi (ditukar) menjadi saham biasa pada waktu tertentu atau sesudahnya 5) Sertifikasi Right merupakan sekuritas yang memberikan hak kepada pemiliknya untuk membeli saham baru dengan harga tertentu 2.2.1 Saham Saham (stock) merupakan salah satu instrumen pasar keuangan yang paling popular. Menerbitkan saham merupakan salah satu pilihan perusahaan ketika memutuskan untuk pendanaan perusahaan. Pada sisi yang lain, saham merupakan instrument investasi yang banyak dipilih para investor karena saham mampu memberikan tingkat keuntungan yang menarik. Saham dapat didefinisikan sebagai tanda penyertaan modal seseorang atau pihak (badan usaha) dalam suatu perusahaan atau perseroan terbatas. Dengan menyertakan modal tersebut, maka pihak tersebut memiliki klaim atas pendapatan perusahaan, klaim atas asset perusahaan, dan berhak hadir dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Pada dasarnya, ada dua keuntungan yang diperoleh investor dengan membeli atau memiliki saham 1. Dividen Dividen merupakan pembagian keuntungan yang diberikan perusahaan dan berasal dari keuntungan yang dihasilkan perusahaan. Dividen diberikan setelah mendapat persetujuan dari pemegang saham

dalam RUPS. Jika seorang pemodal ingin mendapatkan dividen, maka pemodal tersebut harus memegang saham tersebut dalam kurun waktu yang relatif lama yaitu hingga kepemilikan saham tersebut berada dalam periode dimana diakui sebagai pemegang saham yang berhak mendapatkan dividen.Dividen yang dibagikan perusahaan dapat berupa dividen tunai artinya kepada setiap pemegang saham diberikan dividen berupa uang tunai dalam jumlah rupiah tertentu untuk setiap saham atau dapat pula berupa dividen saham yang berarti kepada setiap pemegang saham diberikan dividen sejumlah saham sehingga jumlah saham yang dimiliki seorang pemodal akan bertambah dengan adanya pembagian dividen saham tersebut. 2. Capital Gain Capital Gain merupakan selisih antara harga beli dan harga jual. Capital gain terbentuk dengan adanya aktivitas perdagangan saham di pasar sekunder. Misalnya Investor membeli saham ABC dengan harga per saham Rp 3.000 kemudian menjualnya dengan harga Rp 3.500 per saham yang berarti pemodal tersebut mendapatkan capital gain sebesar Rp 500 untuk setiap saham yang dijualnya. Sebagai instrument investasi, saham memiliki risiko, antara lain: 1. Capital Loss Merupakan kebalikan dari Capital Gain, yaitu suatu kondisi dimana investor menjual saham lebih rendah dari harga beli. Misalnya saham PT. XYZ yang di beli dengan harga Rp 2.000,- per saham, kemudian harga saham tersebut terus mengalami penurunan hingga mencapai Rp 1.400,- per saham. Karena takut harga saham tersebut akan terus turun, investor menjual pada harga Rp 1.400,- tersebut sehingga mengalami kerugian sebesar Rp 600,- per saham. 2. Risiko Likuidas Perusahaan yang sahamnya dimiliki, dinyatakan bangkrut oleh Pengadilan, atau perusahaan tersebut dibubarkan. Dalam hal ini hak klaim dari pemegang saham mendapat prioritas terakhir setelah seluruh kewajiban perusahaan dapat dilunasi (dari hasil penjualan kekayaan perusahaan). Jika masih terdapat sisa dari hasil penjualan kekayaan perusahaan tersebut, maka sisa tersebut dibagi secara proporsional kepada seluruh pemegang saham. Namun jika tidak terdapat sisa kekayaan perusahaan, maka pemegang saham tidak akan memperoleh hasil dari likuidasi tersebut. Kondisi ini merupakan risiko yang terberat dari pemegang saham. Untuk itu seorang pemegang saham dituntut untuk secara terus menerus mengikuti perkembangan perusahaan. Di pasar sekunder atau dalam aktivitas perdagangan saham sehari-hari, harga-harga saham mengalami fluktuasi baik berupa kenaikan maupun penurunan. Pembentukan harga saham terjadi karena adanya permintaan dan penawaran atas saham tersebut. Dengan kata lain harga saham terbentuk oleh supply dan demand atas saham tersebut. Supply dan demand tersebut terjadi karena adanya banyak faktor, baik yang sifatnya spesifik atas saham tersebut (kinerja perusahaan dan industri dimana perusahaan tersebut bergerak) maupun faktor yang sifatnya makro seperti tingkat suku bunga, inflasi, nilai tukar dan faktor-faktor non ekonomi seperti kondisi sosial dan politik, dan faktor lainnya. Berikut ini merupakan jenis-jenis saham :yang dilihat dari berbagai fungsi :

1. Ditinjau dari hak tagih a. Saham biasa (common stocks). Merupakan saham yang menempatkan pemiliknya paling akhir terhadap pembagian dividen dan hak pembagian kekayaan pada waktu likuidasi b. Saham preferen (preferred stocks). Merupakan saham yang memiliki karakteristik gabungan antara saham biasa dengan obligasi, karena bisa menghasilkan dividen secara tetap seperti halnya pendapatan bunga obligasi. 2. Ditinjau dari cara peralihannya a. Saham atas unjuk (bearer stocks). Merupakan saham tidak tertulis nama pemiliknya, agar mudah dipindahtangankan dari satu investor ke investor lainnya. b. Saham atas nama (registered stocks). Merupakan saham yang ditulis dengan jelas siapa nama pemiliknya, di mana cara peralihannya, harus melalui prosedur tertentu. 3. Ditinjau dari kinerja perdagangan a. Saham dengan reputasi tinggi (blue-chips stock). b. Saham pendapatan (income stock). c. Saham pertumbuhan (growth stock). d. Saham spekulatif (speculative stock). e. Saham musiman (cyclical stock). 2.2.1.1 Saham Biasa Saham biasa adalah saham dimana hak kepemilikan sekuritas terhadap entitas dimana orang yang memiliki akan mempunyai hak sebagai berikut: 1. Hak kontrol, pemegang saham mempunyai hak untuk mengontrol siapa yang akan memimpin perusahaannya. 2. Hak Menerima Pembagian Keuntungan, pemegang saham berhak mendapat bagian dari keuntungan perusahaan.Pembagian dividen untuk saham biasa dilakukan setelah perusahaan membayarkan dividen untuk saham preferen. 3. Hak Preemptive, Hak untuk mendapatkan presentasi kepemilikan yang sama jika perusahaan mengeluarkan tambahan lembar saham untuk tujuan melindungi hak kontrol dari pemegang saham lama dan melindungi harga saham lama dari kemerosotan nilai 2.2.1.2 Saham Preferen Saham Preferen, merupakan saham yang mempunyai sifat gabungan (hybrid) antara obligasi dan saham biasa. Saham ini tidak ada waktu jatuh tempo (namun ada beberapa saham preferen yang dapat dicall) dan memberikan dividen. Bunga obligasi dan dividen saham preferen relative lebih stabil, namun dividen saham biasa relative berfluktuasi Karakteristik saham preferen : 1. Pemegang saham preferen mempunyai hak terlebih dahulu dibandingkan pemegang saham biasa 2. Pemegang saham preferen memiliki hak dividen kumulatif, hak menerima dividen tahun-tahun sebelumnya yang belum dibayarkan sebelum pemegang saham biasa menerima dividennya.

3. Mempunyai hak terlebih dahulu atas aktiva perusahaan dibandingkan dengan hak yang dimiliki oleh saham biasa saat terjadi likuidasi. Macam-macam Saham Preferen : 1. Convertible Preferred Stock 2. Callable Preferred Stock 3. Floating atau Adjustable-rate Preferred Stock (ARP) 2.2.2 Obligasi Obligasi merupakan surat utang jangka menengah-panjang yang dapat dipindahtangankan yang berisi janji dari pihak yang menerbitkan untuk membayar imbalan berupa bunga pada periode tertentu dan melunasi pokok utang pada waktu yang telah ditentukan kepada pihak pembeli obligasi tersebut. Karakteristik Obligasi : 1. Nilai Nominal (Face Value) adalah nilai pokok dari suatu obligasi yang akan diterima oleh pemegang obligasi pada saat obligasi tersebut jatuh tempo. 2. Kupon (the Interest Rate) adalah nilai bunga yang diterima pemegang obligasi secara berkala (kelaziman pembayaran kupon obligasi adalah setiap 3 atau 6 bulanan) Kupon obligasi dinyatakan dalam annual prosentase. 3. Jatuh Tempo (Maturity) adalah tanggal dimana pemegang obligasi akan mendapatkan pembayaran kembali pokok atau Nilai Nominal obligasi yang dimilikinya. Periode jatuh tempo obligasi bervariasi mulai dari 365 hari sampai dengan diatas 5 tahun. Obligasi yang akan jatuh tempo dalam waktu 1 tahun akan lebih mudah untuk di prediksi, sehingga memilki resiko yang lebih kecil dibandingkan dengan obligasi yang memiliki periode jatuh tempo dalam waktu 5 tahun. Secara umum, semakin panjang jatuh tempo suatu obligasi, semakin tinggi Kupon / bunga nya. Penerbit / Emiten (Issuer) Mengetahui dan mengenal penerbit obligasi merupakan faktor sangat penting dalam melakukan investasi Obligasi Ritel. Mengukur resiko / kemungkinan dari penerbit obigasi tidak dapat melakukan pembayaran kupon dan atau pokok obligasi tepat waktu (disebut default risk) dapat dilihat dari peringkat (rating) obligasi yang dikeluarkan oleh lembaga pemeringkat seperti (PEFINDO) PT Pemeringkat Efek Indonesia atau Kasnic Indonesia. Pembeli Obligasi menanggung setidaknya 3 macam resiko, yaitu : 1. risiko bunga dan nominal yg tidak terbayar (default risk) 2. risiko obligasi sulit dijual kembali (liquidity risk) 3. risiko harga pasar obligasi turun karena kenaikan suku bunga pasar (interest rate risk) Jenis-jenis Obligasi ada 2, yaitu : 1. Jenis obligasi berdasarkan bunga dan jangka waktunya : a. Obligasi dengan bunga tidak tetap (mengambang) b. Obligasi tanpa pembayaran bunga (zero-coupon bond) c. Obligasi yang dapat ditarik oleh penerbitnya sebelum waktu jatuh tempo (callable bond) d. Obligasi yang dapat dikonversi menjadi saham biasa (convertible bond)

e. Obligasi yang ditarik sebelum jatuh tempo serta dapat dikonversi menjadi saham biasa (callable convertible bond) 2. Jenis Obligasi yang diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia :berdasarkan perusahaan yang mengeluarkan obligasi a. Corporate Bonds : obligasi yang diterbitkan oleh perusahaan, baik yang berbentuk badan usaha milik negara (BUMN), atau badan usaha swasta. b. Government Bonds : obligasi yang diterbitkan oleh pemerintah. c. Retail Bonds: obligasi yang diperjual belikan dalam satuan nilai nominal yang kecil, baik corporate bonds maupun government bonds. Berbeda dengan harga saham yang dinyatakan dalam bentuk mata uang, harga obligasi dinyatakan dalam persentase (%), yaitu persentase dari nilai nominal. Ada 3 (tiga) kemungkinan harga pasar dari obligasi yang ditawarkan, yaitu: 1. Par (nilai Pari) : Harga Obligasi sama dengan nilai nominal Misal: Obligasi dengan nilai nominal Rp 50 juta dijual pada harga 100%, maka nilai obligasi tersebut adalah 100% x Rp 50 juta = Rp 50 juta. 2. At premium (dengan Premi) : Harga Obligasi lebih besar dari nilai nominal Misal: Obligasi dengan nilai nominal RP 50 juta dijual dengan harga 102%, maka nilai obligasi adalah 102% x Rp 50 juta = Rp 51 juta. 3. At discount (dengan Discount) : Harga Obligasi lebih kecil dari nilai nominal Misal: Obligasi dengan nilai nominal Rp 50 juta dijual dengan harga 98%, maka nilai dari obligasi adalah 98% x Rp 50 juta = Rp 49 juta. 2.2.2.1 Obligasi Konversi Obligasi konversi atau yang dikenal juga dengan nama convertible bond, adalah suatu jenis obligasi yang dapat dikonversikan menjadi saham dari perusahaan penerbit obligasi dan biasanya pada rasio pertukaran yang sudah ditentukan terlebih dahulu pada penerbitan obligasi tersebut. Ini merupakan sekuriti hibrida yaitu suatu sekuriti yang terdiri dari dua unsur yaitu utang dan ekuitas. Walaupun demikian biasanya obligasi konversi ini memiliki tingkat suku bunga kupon yang rendah dimana pemegang obligasi diangap telah menerima kompensasi berupa suatu kesempatan untuk menukarkan atau mengkonversikan obligasinya dengan saham biasa dengan harga yang lebih rendah dari harga saham tersebut dipasaran. Dari sisi penerbit obligasi konversi maka keuntungan yang diperolehnya yaitu pembayaran bunga yang lebih rendah, namun sebagai kompensasi keuntungan tersebut maka penerbit juga akan mengalami dilusi saham sewaktu pemegang obligasi melakukan konversi obligasinya ke saham baru. Jenis-jenis obligasi konversi 1. Obligasi tukar atau biasa dikenal dengan nama Exchangeable convertibles adalah suatu obligasi dimana saham yang menjadi aset dasar obligasi tersebut adalah merupakan saham dari perusahaan yang berbeda dari perusahaan penerbit obligasi. 2. Obligasi wajib konversi atau biasa disebut Mandatory convertibles adalah obligasi jangka pendek dan biasanya memiliki imbal hasil tinggi yang wajib dikonversikan menjadi saham biasa berdasarkan harga

pasaran yang berlaku pada saat konversi. 3. Obligasi konversi bersyarat atau lebih dikenal dengan istilah Contingent convertibles (co-co) yang merupakan obligasi konversi dengan persyaratan bahwa investor hanya diperkenankan untuk melakukan konversi obligasinya menjadi saham perusahaan apabila harga saham yang berlaku dipasar modal mencapai persentase tertentu diatas harga konversi. Contohnya : suatu obligasi konversi bersyarat dengan nilai saham perushaan yang menjadi ast dasarnya senilai Rp. 1.000 pada saat penerbitan obligasi. premi konversi 30% dan syarat pemicu konversi 120%, maka obligasi tersebut dapat dikonversikan ke saham dengan nilai konversi per sahamnya adalah Rp 1.300 hanya apabila harga saham dipasaran berada diatas harga Rp. 1.560 (120% dari 1.300) dalam suatu masa yang ditentukan yang biasanya dalam masa 20 hari sebelum akhir kwartal. Fitur konversi bersyarat atau "co-co" ini sering digunakan oleh penerbit obligasi sebab saham yang menjadi aset acuan atau aset dasar obligasi tidak perlu dimasukkan menjadi perhitungan dilusi Rasio laba terhadap saham beredar (earning per share) selama saham tersebut diperdagangkan dibawah harga konversi bersyarat. Sebaliknya pada obligasi konversi tanpa syarat mengakibatkan terjadinya dilusi saham beredar yang dengan demikian mengurangi rasio laba terhadap saham beredar . Akibat dari dilusi saham beredar ini dihitung dengan menggunakan metode "as-if-converted", yang menggunakan nilai EPS konservatif. Perubahan yang terjadi pada Prinsip akuntansi umum atau Generally Accepted Accounting telah menghilangkan perlakuan khusus pada obligasi konversi bersyarat ini sehingga jenis obligasi ini tidak populer lagi dikalangan penerbit obligasi. 4. Obligasi konversi saham preferen atau dikenal juga dengan istilah Convertible preferred stock adalah seperti obligasi biasa namun memiliki peringkat senioritas lebih rendah dalam struktur permodalan. 2.2.3 Sertifikat Right Sertifikat right adalah sekuritas yang memberikan hak kepada pemiliknya untuk membeli saham baru dengan harga tertentu. Penerbitan right oleh perusahaan meiliki tujuan untuk menghemat biaya emisi dan juga untuk menambah jumlah lembar saham yang diperdagangkan di bursa, harganya naik cukup besar apabila terjadi oversubcribed yang cukup banyak (berarti banyak permintaan yang tidak terpenuhi di pasar sekunder). Setelah itu harga saham mungkin naik turun, tergantung pada pasar. Kenaikan atau penurunan saham tidak lagi berpengaruh kepada perusahaan yang menerbitkan saham tersebut, tetapi akan mempengaruhi kemakmuran para pemodal.

You might also like