You are on page 1of 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Teknologi Pengolahan Minimal (Minimally Procesing)

Proses minimum (minimally processed) produk hortikultura merupakan usaha penyiapan dan penanganan produk untuk mempertahankan kesegaran alaminya dan lebih mudah digunakan oleh konsumen. Tujuan utama proses minimum produk hortikultura adalah mempertahankan kesegaran produk tanpa menurunkan mutu gizi dan menjamin umur simpan produk memadai untuk areal konsumen tertentu. Penyiapan dan penanganan produk tersebut meliputi pembersihan (cleaning), pencucian (washing), trimming/peeling, coring, slicing, shredding, dan pengkemasan. Beberapa istilah digunakan untuk process minimum produk hortikultura, seperti proses ringan (lightly processed), proses sebagian (partially processed), proses segar (fresh processed), dan proses awal (preprepared). Berkembangnya proses minimum produk hortikultura disebabkan oleh kebutuhan masyarakat akan produk buah-buahan dan sayuran segar yang lebih mudah untuk digunakan maupun dikonsumsi. Beberapa contoh produk proses minimum yang dijumpai di pasaran adalah potongan buah yang dikemas (satu jenis maupun campuran), durian yang sudah dikupas, kentang yang sudah dikupas dan dipotong-potong, potongan sayuran, bawang putih yang sudah dikupas, dan produk lainnya. Produk proses minimum banyak dijumpai di pasar-pasar swalayan, rumah makan cepat saji (salad dan buah-buahan), dan jasa catering. Meningkatnya permintaan akan produk hortikultura segar memberi pengaruh pada meningkatnya pasar akan produk proses minimum. Proses minimum berdampak pada meningkatnya perishabilitas produk hortikultura, sehingga diperlukan teknik-teknik penanganan proses minimum untuk memperpanjang umur simpan produk. Untuk penigkatan sanitasi, penyiapan, dan penanganan produk hortikultura dengan proses minimum memerlukan pengetahuan mengenai ilmu dan teknologi pangan, dan fisiologi pasca panen. (Semadi Antara, Nyoman : 2007).

B. Faktor - Faktor Penyebab Kerusakan Mutu Buah dan Sayur

Kerusakan buah dan sayur telah dimulai sejak buah dan sayur tersebut dipanen. Penyebab utama kerusakan buah dan sayur adalah (1) pertumbuhan dan aktivitas mikroorganisme; (2) Aktivitas enzim dalam buah dan sayur; (3) suhu baik suhu tinggi maupun suhu rendah; (4) udara khususnya oksigen; (5) kadar air dan kekeringan; (6) cahaya; dan (7) serangga, parasit serta pengerat. Pengawetan buah dan sayur pada dasarnya adalah tindakan untuk memperkecil atau menghilangakan faktor-faktor perusak tersebut. Setelah dipanen buah dan sayur tetap melakukan fisiologis sehingga dapat disebut sebagai jaringan yang masih hidup. Adanya aktifitas fisiologis menyebabkan buah dan sayur akan terus mengalami perubahan yang tidak dapat dihentikan, hanya dapat diperlambat sampai batas tertentu. Tahap akhir dari perubahan pasca panen adalah kelayuan untuk produk nabati atau pembusukan pada produk hewani. Susut losses kualitas dan kuantitas buah dan sayur terjadi sejak pemanenan hingga dikonsumsi. Besarnya susut sangat tergantung pada jenis dan cara penanganannya selepas panen. Untuk mengurangi susut ini petani/pedagang (1) harus mengetahui factor biologis dan lingkungan yang berpengaruh terhadap terjadinya kerusakan, (2) menguasai teknik penanganan pasca panen yang dapat menunda kelayuan atau kebusukan dan menjaga kualitas pada tingkatan tertentu yang mungkin dicapai. Untuk mengurangi susut yang terjadi setelah pemanenan, pada prinsipnya dapat dilakukan dengan cara memanipulasi factor biologis atau factor lingkungan dimana produk pertanian tersebut disimpan. Faktor-faktor biologis terpenting yang dapat dihambat pada bahan seperti buah-buahan dan sayuran adalah : respirasi, produksi etilen, transpirasi, dan faktor morfologis/anatomis, faktor lain yang juga penting untuk diperhatikan adalah senantiasa menghindarkan komoditi terhadap suhu atau cahaya yang berlebihan, dan kerusakan patologis atau kerusakan fisik. Meskipun mutu merupakan konsep yang sangat luas, yakni karakteristikkarakteristik yang ada pada suatu produk yang menjadi penentu terhadap penerimaan konsumen atas suatu produk (Pardede, 2005), tetapi secara singkat

dapat dikatakan mutu adalah karakteristik yang tepat sesuai dengan keinginan konsumen. Khususnya untuk buah dan sayur segar, dan sekaligus pada buah dan sayur olahan minimalis, komponen mutu yang menjadi perhatian utama konsumen antara lain: penampilan secara visual, tekstur yang berhubungan dengan apa yang diindera di mulut (mouth-feel), cita rasa -khususnya yang berhubungan dengan rasa dan aroma-, kandungan gizi dan faktor keamanan bila dikonsumsi (Lin & Zhao, 2007; Lozano, 2006). Dari segi sensoris, konsumen lebih menitikberatkan pada pertimbangan warna, flavor dan tekstur. Ketiganya merupakan karakteristik sayuran yang berhubungan erat dengan kondisi fisiologi bahan dan kondisi mikrobiologis pada bahan. Demikian juga halnya dengan kandungan gizi serta keamanan pada buah dan sayur olahan minimalis erat hubungannya dengan kondisi mikrobiologis bahan. C. Penyimpanan Buah dan Sayur Olahan Minimalis dalam Lingkungan Atmosfir Termodifikasi Dalam penyimpanannya makanan buah dan sayur olahan minimalis biasanya dikemas dalam keadaan tertutup dalam kemasan yang semipermiabel. Secara umum pengemasan dalam atmosfir termodifikasi (modified atmosphere; MA) adalah teknologi pengemasan di mana kondisi atmosfir sekeliling produk berbeda dengan komposisi normal udara (Francis et al., 1999). Bahan pengemas yang biasa digunakan adalah berbagai lapisan tipis (plastik polimer) yang permiabel. Dalam hal produk pengemasan buah dan sayuran olahan minimalis, komposisi udara/gas dalam kemasan termodifikasi oleh masih berlangsungnya proses respirasi oleh jaringan buah/sayuran, yang dikenal dengan modifikasi atmosfir pasif. Tergantung pada aktifitas respirasi, temperatur penyimpanan dan karakteristik permiabilitas dari bahan pengemas, kondisi atmosfir sekeliling produk akan mengalami suatu titik equilibrium. Kondisi ini akan efektif dalam menghambat mekanisme pembusukan, sekaligus mempengaruhi proses respirasi itu sendiri. Pengemasan atmosfir termofikasi yang aktif, yakni dengan mengatur komposisi gas dalam kemasan dengan konsentrasi tertentu juga umum dilakukan

dalam pengemasan olahan minimalis (Lozano, 2006). Metoda modifikasi atmosfir aktif akan berpengaruh terhadap harga. Dalam kemasan yang demikian, buah ataupun sayuran masih melakukan respirasi yang dengan sendirinya masih melakukan modifikasi atmosfir di lingkungan kemasan. Kandungan gas-gasnya berobah, misalnya: Oksigen dari 21% menjadi 25%, sedangkan karbondioksida (CO2) dari 0,03% meningkat menjadi 310%. Komposisi udara yang terbentuk ini akan memperlambat respirasi, memperlambat dan menurunkan perkembangan mikroflora, serta menunda kematangan fisiologis. Akan tetapi, apabila komposisi udara/gas O2 dan CO2 di luar toleransi dari suatu bahan/produk tertentu, kondisi ini akan mendorong terjadinya respirasi anaerobik yang menghasilkan aroma dan flavor yang tidak menyenangkan serta kondisi fisiologis yang tidak baik. Pada prakteknya MA juga dapat dikombinasikan dengan pemberian gas nitrogen.
D. Penyimpanan Dingin pada Buah dan Sayur Olahan Minimalis

Sistem pengemasan MA dikombinasikan dengan penyimpanan dingin merupakan praktek penyimpanan yang umum dilakukan pada makanan siap konsumsi Penyimpanan dingin sangat dianjurkan karena dapat menekan laju degradasi enzimatik yang mengakibatkan pelunakan jaringan buah dan sayuran, mengurangi laju kehilangan air yang mengakibatkan kelayuan, menurunkan laju pertumbuhan mikroorganisma, serta menurunkan laju produksi etilen (Lozano, 2006). Penyimpanan dingin untuk produk buah dan sayur olahan minimalis, umumnya dilakukan pada temperatur 2 5 oC dan dibawah pengawasan yang ketat. Lebih jauh, seharusnya dalam outlet-outlet makanan, cepat saji olahan minimalis seperti salad juga harus disimpan pada kisaran temperatur tersebut. Faktor temperatur penyimpanan ini sangat menentukan kondisi mikrobiologis produk olahan minimalis karena memengaruhi pertumbuhan mikroorganisme pada sayuran siap konsumsi seperti ditemukannya populasi mikroorganisma mesophylic yang meskipun sangat rendah pada chicory. Perlu menjadi perhatian, bahwa temperatur yang dipakai/ditetapkan dapat menahan perkembangan jenis bakteri pembusuk yang aerobik (karena oksigen

berkurang). Tetapi karena sebagian diantaranya adalah kompetitor (pesaing) alami dari mikroflora patogen (penyebab penyakit), sehingga tertahannya pertumbuhan bakteri pembusuk aerobik justru menjadi peluang perkembangan mikroflora yang patogen akibat hilangnya pesaing. Dalam penampakannya bisa saja tidak terjadi indikasi kebusukan tetapi sudah ditumbuhi bakteri patogen. Pengemasan MA akan memperpanjang masa simpan, yang berarti pula memperpanjang waktu yang tersedia untuk mikroflora patogen untuk tumbuh dan berkembang sehingga penyimpanan yang melewati batas waktu akan menyebabkan kenaikan populasi yang cukup nyata. Meskipun level oksigen (2 5 %) di dalam kemasan (pada suhu 4oC) normalnya dapat menghambat mikroba yang obligat anaerob Clostridium botulinum, tetapi jika terjadi kenaikan temperatur ekstrim keadaan bisa menjadi anaerob sebagai akibat dari kenaikan laju respirasi. Ini menciptakan kondisi yang cocok untuk pertumbuhan dan produksi toksin oleh Clostridium botulinum. Sebagai catatan, penggunaan N2 pada pengemasan MA menurunkan respirasi tetapi dapat mendorong pertumbuhan Listeria. Kandungan nutrisi buah dan sayuran olahan minimalis lebih banyak ditekankan pada kandungan vitamin. Pada wortel yang diolah minimalis serta disimpan pada 1oC dalam kemasan BOPP/LDPE (biaxially orientated polypropylene/low-density polyehtylene) tidak terjadi penurunan kandungan vitamin C selama penyimpanan 21 hari baik dalam kondisi pengemasan dengan vakum, modified atmosfir ataupun atmosfir biasa (Pilon, 2006). Penelitian yang sama pada sayuran paprika hijau ditemukan sedikit penurunan vitamin C, dan hal ini sama ketika mereka bandingkan dengan penelitian Benedetti dkk., 2002. yang meneliti paprika hijau olahan minimalis yang dikemas dalam plastik PVC (polyvinylchloride) pada suhu 5oC. Sementara penelitian pada kol china ditemukan penurunan vitamin C hingga 13 % pada penyimpanan 4oC, dan pencucian tidak membawa efek nyata terhadap kandungan vitamin C (Klieber and Franklin, 2000).

B. Pembahasan (Tedy Tarudin NIM 1000684)

1. Perubahan Warna Berdasarkan tabel hasil pengamatan menunjukkan adanya beberapa perubahan fisik pada buah, salah satunya adalah perubahan warna. Perubahan warna yang berdasarkan data adalah perubahan warna pada belimbing setelah penyimpanan selama 4 hari menunjukkan adanya perubahan warna yang lebih kontras dibandingkan dengan kondisi awal, pada buah naga, melon, dan mangga perubahan warna yang terjadi adalah menjadi lebih pucat dibandingkan pada awal. Pada buah apel dan pir perubaahan warna yang terjadi adalah menjadi kecoklatan. Sedangkan pada buah strawberri tidak terjadi perubahan warna yang signifikan melainkan sama seperti pada saat awal. Perubahan warna pada buah naga, melon, dan mangga mengalami pemucatan warna disebabkan karena pengemasan vakum tersebut, karena pengemasan vakum dapat menghambat masuknya cahaya ke dalam buah. Cahaya memberi kontribusi besar karena terjadi penurunan kualitas warna, khususnya pada permukaan dimana terjadi pemotongan. Pemaparan produk terhadap cahaya selama penyimpanan, baik secara berkesinambungan maupun terputus mengakibatkan penurunan kualitas warna yang semakin cepat (Cervera dkk, 2007). Semakin tinggi permiabilitas dari plastik film semakin cepat penurunan mutu warna terjadi, khususnya di daerah permukaan potongan. Perubahan warna pada buah apel dan pir yang menjadi kecoklatan karena adanya pencoklatan enzimatis. Reaksi pencoklatan enzimatis tersebut terjadi pada saat kulit buah apel dan pir di kupas sehingga daging buah kontak langsung dengan udara luar, karena pada bagian daging buah apel dan pir banyak mengandung asam fenolik. Menurut Irtwange (2006) pencoklatan enzimatis tidak terjadi pada sel yang utuh, karena pada saat itu senyawa-senyawa fenolik di dalam vakuola sel masih terpisah dari enzim PPO di dalam sitoplasma. Ketika jaringan mengalami kerusakan baik fisik maupun adanya aktivitas mikroba yang merusak dinding sel, akan terjadi penetrasi oksigen ke dalam jaringan yang sudah mengalami kerusakan akibat dari aktivitas mikroba tersebut, maka enzim dan senyawa-senyawa fenolik bereaksi, sehingga melanin terbentuk. Menurut Watada (1999) pencoklatan disebabkan oleh terjadi pelunakan pada buah dan sayuran setelah di panen, dimana oksigen akan berpenetrasi ke bagian daging yang terbuka. Ketika oksigen berada dalam jaringan, enzim PPO yang berada di kloroplast segera mengoksidasi gugus fenol yag secara alami sudah tersedia dalam jaringan. Proses oksidasi ini mengubah gugus fenol menjadi o-quinone, yang berfungsi sebagai precusor terbentukya warna coklat. O-quinones kemudian menghasilkan warna coklat. Jika ketersediaan oksigen dalam atmosfir kemasan lebih sedikit, maka nilai kecerahan akan lebih tinggi. Terhambatnya penetrasi oksigen kedalam produk menyebabkan terhambatnya oksidasi senyawa fenol yang menyebabkan pembentukan warna coklat.

2. Perubahan Rasa

Berdasarkan hasil pengamatan perubahan rasa yang terjadi pada komoditas buahbuahan yang mengalami perlakuan minimallly processing selama 4 hari menunjukkan pada buah belimbing, apel, dan pir mengalami peningkatan rasa manis. Pada buah naga, strawberri, dan melon perubahannya adalah rasa manis yang mengalami penurunan. Pada buah nanas perubahan rasa yang terjadi adalah menjadi asam setelah mengalami perlakuan minimally processing, sedangkan pada buah mangga tidak mengalami perubahan melainkan sama seperti pada saat awal. Meningkatnya rasa manis pada buah belimbing, apel, dan pir dipengaruhi karena adanya proses penyimpanan karena pada saat proses penyimpanan terjadi perubahan biokimia dimana pati mengalami perubahan menjadi gula sehingga buah belimbing, apel, dan pir mengalami peningkatan rasa manis. Perubahan rasa pada nanas mengalami asam karena dipengaruhi oleh sedikitnya kadar pati dalam nanas tersebut sehingga produksi gula yang dihasilkannya pun tidak ada melainkan meningkatnya asam-asam organik. 3. Perubahan Tekstur Berdasarkan hasil pengamatan perubahan tekstur terjadi pada hampir semua buah yang mengalami perlakuan minimally processing kecuali buah naga dan apel yang tidak mengalami perubahan tekstur. Pada buah belimbing, strawberri, pir, melon, mangga, dan nanas mengalami pelunakan tekstur jika dibandingkan dengan kondisi awal. Perubahan tekstur yang dialami disebabkan oleh terbuangnya lapisan luar buah pada saat proses pengupasan dan pemotongan serta pembuangan bagian-bagian yang tidak dibutuhkan sehingga terjadi kerusakan sel dan jaringan dimana dapat menurunkan daya tahan buah untuk dapat disimpan lebih lama. Tingkat kekerasan buah dan sayuran segar tergantung pada keberadaan protopektin. Protopektin akan mengalami degradasi menjadi pektin, asam pektinat dan asam D-galakturonat yang larut air, akibatnya tegangan permukaan menurun dan tekstur menjadi lembek. Menurut Lamikanra et al. (2003) kerusakan atau pemecahan pektin menjadi senyawa lain akibat dari aktifnya enzim-enzim pektin estrase dan poligalakturonase. Pemecahan atau kerusakan tersebut menyebabkan berubahnya tekstur yang tadinya keras menjadi lunak. Penurunan nilai tekstur pada buah dengan perlakuan minimally processing menjadi lunak. Hal ini disebabkan bahwa selama penyimpanan dengan tersedianya oksigen terjadi peningkatan respirasi. Pada proses respirasi terjadi perombakan makro molekul menjadi senyawa yang lebih sederhana seperti gula, sehingga buah dan sayuran menjadi lunak.

4. Perubahan Aroma

Berdasarkan hasil pengamatan aroma yang mengalami perlakuan minimally processing mengalami perubahan aroma yang signifikan. Aroma pada buah naga, strawberri,melon, pir, apel, dan mangga mengalami penurunan aroma jika dibandingkan pada hari pertama. Pada nanas aroma yang dihasilkan menjadi lebih menyengat, dan pada belimbing aromanya tetap. Penurunan aroma pada buah naga, strawberri,melon, pir, apel, dan mangga disebabkan oleh proses dekomposisi yang berjalan lebih cepat ataupun difusi ester (Talens et al .,2003).

C. Kesimpulan (Tedy Tarudin 1000684)

Minimally processing merupakan suatu teknologi pengolahan buah dan sayur secara minimal yang bertujuan untuk mempertahankan kesegaran buah dan mempertahankan mutu buah. Dengan adanya proses ini membantu konsumen, karena pada produk yang mengalami perlakuan minimally processing sudah mengalami pengupasan dan pemotongan. Secara umum pengolahan minimally processing meliputi dari pemilihan bahan baku yang berkualitas, pembuangan bagian yang tidak diinginkan serta pencucian pendahuluan, pengirisan sesuai bentuk yang diinginkan, penghilangan sisa air, pengemasan, lalu penyimpanan dingin. tetapi pengolahan minimally processing dapat terjaga kesegaran dan mutunya hanya beberapa hari saja.

Daftar Pustaka (Tedy Tarudin 1000684)

Kencana, Pande Ketut Diah Kencana, dkk. 2009. Pengaruh Konsentrasi Oksigen Terhadap Karakteristik Rebung Fresh-Cut Selama Penyimpanan Suhu Kamar. Dalam Jurnal ISBN: 978-602-8659-02-4 Pardede, Erika. 2009. Buah dan Sayur Olahan secara Minimalis. Dalam jurnal Vol. 17 No. 3 Hal. 245 254. Santoso, 2006. Teknologi Pengawetan Bahan Segar. Laboratorium Kimia Pangan FAPERTANUWIGA MALANG. Malang. Semadi Antara, Nyoman. 2007. Proses Minimum untuk Meningkatkan Nilai Tambah Produk Hortikultura. Dalam prosiding Seminar Nasional Peningkatan Keuntungan Ritel Produk Hortikultura Segar Melalui Praktek Penanganan Pascapanen dan Keamanan Pangan yang Baik. Fakultas Teknologi Pertanian Unud, Kampus Bukit Jimbaran, Bali. Sugiar, Iglas Er. 2010. Teknologi Olah Minimal Pengaturan Gas & Suhu Pada Penyimpanan Buah Apel. Makalah. Program Studi Ilmu gizi Fakultas Kedokteran. UNDIP. Semarang.

Utama, I Made S. 2009. Penanganan Pascapanen Buah dan Sayuran segar. Dalam Forum Konsultasi Teknologi Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Bali. Bali

You might also like