You are on page 1of 23

BAB I ILUSTRASI KASUS Identitas Pasien : Nama Jenis kelamin Umur Agama Pekerjaan Pendidikan Tgl. Masuk RS No.

Rekam Medik Anamnesis Keluhan Utama Keluar air bewarna bening sejak jam 11.00 (4 jam yang lalu) Riwayat Kehamilan Sekarang Pasien mengaku hamil 9 bulan. HPHT 18 Desember 2011 (sesuai kehamilan lebih kurang 36 minggu), HPL 25 September 2012. Pasien melakukan ANC teratur setiap bulan di Puskesmas. Pasien sudah pernah melakukan pemeriksaan USG 2 kali, terakhir pada 20 Juli 2012, dikatakan janin normal. Gerak janin aktif. Pasien mengaku keluar air bening sejak 4 jam SMRS, mules (+), keluar lendir (+), darah (+), perut bagian bawah kadang nyeri (+). Selama kehamilan pasien mengaku tidak pernah keputihan dan keluhan seperti demam, sakit kepala, mual, muntah, nyeri ulu hati dan pandangan kabur disangkal. Riwayat Penyakit Dahulu Hipertensi, DM, penyakit paru, penyakit jantung, alergi obat dan makanan disangkal Riwayat Penyakit Keluarga Hipertensi, DM, penyakit paru, penyakit jantung, alergi obat dan makanan disangkal : Ny S : Perempuan : 35 tahun : Islam : Ibu Rumah Tangga : SMP : 1 September 2012 : 061111

Sekarang adalah kehamilan yang ke tiga (G2P1A0) Kehamilan I Riwayat melahirkan bayi aterm, BBLR 2900 gram Kehamilan II Kehamilan saat ini Riwayat Pernikahan

Menikah 1 kali saat usia 28 tahun Suami menikah 1 kali pada usia 30 tahun Riwayat Menstruasi Menarche umur 15 tahun, haid teratur, siklus 30 hari, selama 6-7 hari, ganti pembalut 3x, nyeri haid (+). Riwayat KB : Pemeriksaan Fisik (IGD, 1 September 2012, pukul 15.00) Status Generalis Keadaan Umum Tanda vital Pernapasan 20 x/menit Mata Jantung Paru Abdomen Ekstremitas Status Obstetrikus Pemeriksaan Leopold : Leopold I : Didapatkan bagian fundus teraba bagian yang lunak. Yang kemungkinan adalah bokong Leopold II : Didapatkan bagian yang luas dan datar di sebelah kanan yang berarti punggung bayi berada di sebelah kanan : konjungtiva pucat, sklera tidak ikterik : BJ I-II normal, Murmur (-), Gallop (-) : BN veskuler, Rh -/-, Wh -/: buncit sesuai kehamilan : akral hangat, perfusi perifer cukup, edema +/+ inferior : baik, kompos mentis : TD 170/100 mmHg, Nadi 96 x/menit, Suhu 36,5oC,

Leopold III : Dirasakan bagian yang keras disebelah bawah. Yang menandakan bayi terletak pada presentasi kepala. Leopold IV : Didapatkan bahwa kepala sudah masuk ke pintu atas panggul 4/5 TFU 29 cm, DJJ : 135 denyut/menit HIS ireguler VT Laboratorium Hb : 10,5 gr/dl Gol darah : B Protein urin : (-) Leukosit urin : 6-10 /LPK Diagnosis G2P1A0 hamil 36 minggu presentasi kepala tunggal hidup, inpartu kala 1 fase laten dengan KPD 4 jam dan Hipertensi Gestasional. Rencana Diagnosis

: porsio sedang, posterior, 1-2 cm, ketuban(-), kepala Hodge I-II.

Observasi tanda vital, his, denyut jantung janin/jam Cek DL, urinalisis, Gol. Darah, GDS

Rencana Terapi 1. Rencana awal partus pervaginam 2. Infus D5% 20 tpm 3. Antibiotik Ceftriaxon 2 x 1 g 4. Nifedipin tab 3x10mg. Follow up Infus D5% + oksitosin 5 unit drip maks 28 tpm. Awasi TTV, kontraksi rahim, bundle ring, dan gawat janin.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1. Definisi Ketuban Pecah Dini (KPD) Ketuban pecah dini adalah ketuban yang pecah spontan yang terjadi pada sembarang usia kehamilan sebelum persalinan di mulai. Ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum in partu, yaitu bila pembukaan primipara kurang dari 3 cm dan pada multipara kurang dari 5 cm. Prinsip dasar, ketuban dinyatakan pecah dini bila terjadi sebelum proses persalinan berlangsung. Ketuban pecah prematur pada kehamilan preterm yaitu pecahnya membran chorio-amniotik sebelum onset persalinan pada usia kehamilan kurang dari 37 minggu atau disebut juga Preterm Premature Rupture Of Membrane = Preterm Prelabour Rupture Of Membrane = PPROM. Ketuban pecah dini disebabkan oleh karena berkurangnya kekuatan membrane atau meningkatnya tekanan intrauterine atau oleh kedua faktor tersebut. Berkurangnya kekuatan membrane disebabkan oleh adanya infeksi yang dapat berasal dari vagina dan serviks. Penanganan ketuban pecah dini memerlukan pertimbangan usia gestasi, adanya infeksi pada komplikasi ibu dan janin dan adanya tanda-tanda persalinan. II.2. Insidensi Beberapa peneliti melaporkan hasil penelitian mereka dan didapatkan hasil yang bervariasi. Insidensi KPD berkisar antara 8 - 10 % dari semua kehamilan. Hal yang menguntungan dari angka kejadian KPD yang dilaporkan, bahwa lebih banyak terjadi pada kehamilan yang cukup bulan dari pada yang kurang bulan, yaitu sekitar 95%, sedangkan pada kehamilan tidak cukup bulan atau KPD pada kehamilan preterm terjadi sekitar 34 % semua kelahiran prematur. KPD merupakan komplikasi yang berhubungan dengan kehamilan kurang bulan dan mempunyai kontribusi yang besar pada angka kematian perinatal pada bayi yang kurang bulan. Pengelolaan KPD pada

kehamilan kurang dari 34 minggu sangat komplek, bertujuan untuk menghilangkan kemungkinan terjadinya prematuritas dan RDS. II.3. Etiologi Walaupun banyak publikasi tentang KPD namun penyebabnya masih belum diketahui dan tidak dapat ditentukan secara pasti. Beberapa laporan menyebutkan faktor-faktor yang berhubungan erat dengan KPD, namun faktor-faktor mana yang lebih berperan sulit diketahui. Kemungkinan yang menjadi faktor predesposisi adalah: 1. Infeksi yang terjadi secara langsung pada selaput ketuban maupun asenden dari vagina atau infeksi pada cairan ketuban bisa menyebabkan terjadinya KPD. 2. Servik yang inkompetensia, kanalis sevikalis yang selalu terbuka oleh karena kelainan pada servik uteri (akibat persalinan, curetage). 3. Tekanan intra uterin yang meninggi atau meningkat secara berlebihan (overdistensi uterus) misalnya trauma, hidramnion, gemelli. 4. Trauma oleh beberapa ahli disepakati sebagai faktor predisposisi atau penyebab terjadinya KPD. Trauma yang didapat misalnya hubungan seksual, pemeriksaan dalam, maupun amnosintesis menyebabakan terjadinya KPD karena biasanya disertai infeksi. 5. Kelainan letak, misalnya sungsang, sehingga tidak ada bagian terendah yang menutupi pintu atas panggul (PAP) yang dapat menghalangi tekanan terhadap membran bagian bawah. 6. Keadaan sosial ekonomi 7. Faktor lain Akibat golongan darah ibu dan anak yang tidak sesuai dapat menimbulkan Faktor disproporsi antar kepala janin dan panggul ibu. Faktor multi graviditas, merokok dan perdarahan antepartum. Defisiesnsi gizi dari tembaga atau asam askorbat (Vitamin C). kelemahan bawaan termasuk kelemahan jaringan kulit ketuban.

II.4. Diagnosa

Menegakkan diagnosa KPD secara tepat sangat penting. Karena diagnosa yang positif palsu berarti melakukan intervensi seperti melahirkan bayi terlalu awal atau melakukan seksio yang sebetulnya tidak ada indikasinya. Sebaliknya diagnosa yang negatif palsu berarti akan membiarkan ibu dan janin mempunyai resiko infeksi yang akan mengancam kehidupan janin, ibu atau keduanya. Oleh karena itu diperlukan diagnosa yang cepat dan tepat. Diagnosa KPD ditegakkan dengan cara : 1. Anamnesa Penderita merasa basah pada vagina, atau mengeluarkan cairan yang banyak secara tiba-tiba dari jalan lahir. Cairan berbau khas, dan perlu juga diperhatikan warna, keluanya cairan tersebut, his belum teratur atau belum ada, dan belum ada pengeluaran lendir darah. 2. Inspeksi Pengamatan dengan mata biasa akan tampak keluarnya cairan dari vagina, bila ketuban baru pecah dan jumlah air ketuban masih banyak, pemeriksaan ini akan lebih jelas. 3. Pemeriksaan dengan spekulum. pemeriksaan dengan spekulum pada KPD akan tampak keluar cairan dari orifisium uteri eksternum (OUE), kalau belum juga tampak keluar, fundus uteri ditekan, penderita diminta batuk, megejan atau megadakan fornik anterior. 4. Pemeriksaan dalam Didapat cairan di dalam vagina dan selaput ketuban sudah tidak ada lagi. Mengenai pemeriksaan dalam vagina dengan tocher perlu dipertimbangkan, pada kehamilan yang kurang bulan yang belum dalam persalinan tidak perlu diadakan pemeriksaan dalam. Karena pada waktu pemeriksaan dalam, jari pemeriksa akan mengakumulasi segmen bawah rahim dengan flora vagina yang normal. Mikroorganisme tersebut bisa dengan cepat menjadi patogen. Pemeriksaan dalam vagina hanya dilakaukan kalau KPD yang sudah dalam persalinan atau yang dilakukan induksi persalinan dan dibatasi sedikit mungkin. 5. Pemeriksaan Penunjang
6

manuver valsava, atau bagian

terendah digoyangkan, akan tampak keluar cairan dari ostium uteri dan terkumpul pada

Pemeriksaan laboraturium

Cairan yang keluar dari vagina perlu diperiksa: warna, konsentrasi, bau dan pH nya. Cairan yang keluar dari vagina ini kecuali air ketuban mungkin juga urine atau sekret vagina. Sekret vagina ibu hamil pH: 4-5. a. Tes Lakmus (tes Nitrazin), jika krtas lakmus merah berubah menjadi biru menunjukkan adanya air ketuban (alkalis). pH air ketuban 7 7,5, darah dan infeksi vagina dapat mengahsilakan tes yang positif palsu. b. Mikroskopik (tes pakis), dengan meneteskan air ketuban pada gelas objek dan dibiarkan kering. Pemeriksaan mikroskopik menunjukkan gambaran daun pakis. Pemeriksaan ultrasonografi (USG) pemeriksaan ini dimaksudkan untuk melihat jumlah cairan ketuban dalam kavum uteri. Pada kasus KPD terlihat jumlah cairan ketuban yang sedikit. Namun sering terjadi kesalahan pada penderita oligohidromnion. Walaupun pendekatan diagnosis KPD cukup banyak macam dan caranya, namun pada umumnya KPD sudah bisa terdiagnosis dengan anamnesa dan pemeriksaan sedehana.

Gambar 1. Ketuban pecah II.5. Komplikasi Komplikasi yang timbul akibat KPD bergantung pada usia kehamilan. Dapat terjadi infeksi maternal maupun neonatal, persalinan premature, hipoksia karena kompresi tali

pusat, deformitas janin, meningkatnya insiden seksio sesarea, atau gagalnya persalinan normal. Persalinan Prematur Setelah ketuban pecah biasanya segera disusul oleh persalinan. Periode laten bergantung umur kehamilan. Pada kehamilan aterm 90% terjadi dalam 24 jam setelah ketuban pecah. Pada kehamilan antara 28-34 minggu 50% persalinan dalam 24 jam. Pada kehamilan kurang dari 26 minggu persalinan terjadi dalam 1 minggu. Infeksi Insiden infeksi ibu dan anak meningkat pada KPD. Pada ibu terjadi korioamnionitis. Pada bayi dapat terjadi septicemia, pneumonia, omfallitis. Umumnya terjadi korioamnionitis sebelum janin terinfeksi. Pada KPD premature, infeksi lebih sering dari pada aterm. Secara umum insiden infeksi sekunder pada KPD meningkat sebanding dengan lamanya periode laten. Hipoksia dan Asfiksia Dengan pecahnya ketuban terjadi oligohidramnion yang menekan tali pusat sehingga terjadi asfiksia atau hipoksia. Terdapat hubunga antara terjadinya gawat janin dan derajat oligohidramnion, semakin sedikit air ketuban, janin semakin gawat. Sindrom Deformitas Janin KPD yang terjadi terlalu dini menyebabkan pertumbuhan janin terhambat, kelainan disebabkan kompresi muka dan anggota badan janin, serta hipoplasia pulmonary. II.6. Penatalaksanaan Ketuban pecah dini termasuk dalam kehamilan beresiko tinggi. Kesalahan dalam mengelola KPD akan membawa akibat meningkatnya angka morbiditas dan mortalitas ibu maupun bayinya. Penatalaksaan KPD masih dilema bagi sebagian besar ahli kebidanan, selama beberapa masalah yang masih belum terjawab. Kasus KPD yang cukup bulan, kalau segera mengakhiri kehamilan akan menaikkan insidensi bedah sesar, dan kalau menunggu persalinan spontan akan menaikkan insidensi chorioamnionitis. Kasus KPD yang kurang bulan kalau menempuh cara-cara aktif harus dipastikan bahwa tidak akan
8

terjadi RDS, dan kalau menempuh cara konservatif dengan maksud untuk memberi waktu pematangan paru, harus bisa memantau keadaan janin dan infeksi yang akan memperjelek prognosis janin. Penatalaksanaan KPD tergantung pada umur kehamilan. Kalau umur kehamilan tidak diketahui secara pasti segera dilakukan pemeriksaann ultrasonografi (USG) untuk mengetahui umur kehamilan dan letak janin. Resiko yang lebih sering pada KPD dengan janin kurang bulan adalah RDS dibandingkan dengan sepsis. Oleh karena itu pada kehamilan kurang bulan perlu evaluasi hati-hati untuk menentukan waktu yang optimal untuk persalinan. Pada umur kehamilan 34 minggu atau lebih biasanya paruparu sudah matang Chorioamnionitis yang diikuti dengan sepsis pada janin merupakan sebab utama meningginya morbiditas dan mortalitas janin. Pada kehamilan cukup bulan, infeksi janin langsung berhubungan dengan lama pecahnya selaput ketuban atau lamanya perode laten. Kebanyakan penulis sepakat mengambil 2 faktor yang harus dipertimbangkan dalam mengambil sikap atau tindakan terhadap penderita KPD yaitu umur kehamilan dan ada tidaknmya tanda-tanda infeksi pada ibu. II.6.1. Penatalaksanaan KPD pada kehamilan aterm (> 37 Minggu) Beberapa penelitian menyebutkan lama periode laten dan durasi KPD keduanya mempunyai hubungan yang bermakna dengan peningkatan kejadian infeksi dan komplikasi lain dari KPD. Jarak antara pecahnya ketuban dan permulaan dari persalinan disebut periode latent = L.P = lag period. Makin muda umur kehamilan makin memanjang L.P-nya. Pada hakekatnya selaput ketuban yang pecah akan menginduksi persalinan dengan sendirinya. Sekitar 70-80 % kehamilan genap bulan akan melahirkan dalam waktu 24 jam setelah selaput ketuban pecah, bila dalam 24 jam setelah selaput ketuban pecah belum ada tanda-tanda persalinan maka dilakukan induksi persalinan, dan bila gagal dilakukan bedah caesar.

Pemberian antibiotik profilaksis dapat menurunkan infeksi pada ibu. Walaupun antibiotik tidak berfaeadah terhadap janin dalam uterus namun pencegahan terhadap chorioamninitis lebih penting dari pada pengobatanya, sehingga pemberian antibiotik profilaksis perlu dilakukan. Waktu pemberian antibiotik hendaknya diberikan segera setelah diagnosis KPD. Beberapa penulis menyarankan bersikap aktif (induksi persalinan) segera diberikan atau ditunggu sampai 6-8 jam dengan alasan penderita akan menjadi inpartu dengan sendirinya. Dengan mempersingkat periode laten durasi KPD dapat diperpendek sehingga resiko infeksi dan trauma obstetrik karena partus tindakan dapat dikurangi. Pelaksanaan induksi persalinan perlu pengawasan yang sangat ketat terhadap keadaan janin, ibu dan jalannya proses persalinan berhubungan dengan komplikasinya. Pengawasan yang kurang baik dapat menimbulkan komplikasi yang fatal bagi bayi dan ibunya atau proses persalinan menjadi semakin kepanjangan. Induksi dilakukan dengan mempehatikan bishop score jika > 5 induksi dapat dilakukan, sebaliknya < 5, dilakukan pematangan servik, jika tidak berhasil akhiri persalinan dengan seksio sesaria. II.6.2. penatalaksanaan KPD pada kehamilan preterm (< 37 minggu) Pada kasus-kasus KPD dengan umur kehamilan yang kurang bulan tidak dijumpai tanda-tanda infeksi pengelolaanya bersifat koservatif disertai pemberian antibiotik yang adekuat sebagai profilaksi. Penderita perlu dirawat di rumah sakit, ditidurkan dalam posisi trendelenberg, tidak perlu dilakukan pemeriksaan dalam untuk mencegah terjadinya infeksi dan kehamilan diusahakan bisa mencapai 37 minggu, obat-obatan uteronelaksen atau tocolitic agent diberikan juga tujuan menunda proses persalinan. Tujuan dari pengelolaan konservatif dengan pemberian kortikosteroid pada penderita KPD kehamilan kurang bulan adalah agar tercapainya pematangan paru, jika selama menunggu atau melakukan pengelolaan konservatif tersebut muncul tandatanda infeksi, maka segera dilakukan induksi persalinan tanpa memandang umur kehamilan.

10

Induksi persalinan sebagai usaha agar persalinan mulai berlangsung dengan jalan merangsang timbulnya his ternyata dapat menimbulkan komplikasi-komplikasi yang kadang-kadang tidak ringan. Komplikasi-komplikasi yang dapat terjadi gawat janin sampai mati, tetani uteri, ruptura uteri, emboli air ketuban, dan juga mungkin terjadi intoksikasi. Kegagalan dari induksi persalinan biasanya diselesaikan dengan tindakan bedah sesar. Seperti halnya pada pengelolaan KPD yang cukup bulan, tidakan bedah sesar hendaknya dikerjakan bukan semata-mata karena infeksi intrauterin tetapi ada indikasi obstetrik yang lain, misalnya kelainan letak, gawat janin, partus tak maju, dan lain-lain. Selain komplikasi-kompilkasi yang dapat terjadi akibat tindakan aktif. Ternyata pengelolaan konservatif juga dapat menyebabakan komplikasi yang berbahaya, maka perlu dilakukan pengawasan yang ketat. Sehingga dikatakan pengolahan konservatif adalah menunggu dengan penuh kewaspadaan terhadap kemungkinan infeksi intrauterin. Sikap konservatif meliputi pemeriksaan leukosit darah tepi setiap hari, pemeriksaan tanda-tanda vital terutama temperatur setiap 4 jam, pengawasan denyut jamtung janin, pemberian antibiotik mulai saat diagnosis ditegakkan dan selanjutnya setiap 6 jam. Pemberian kortikosteroid antenatal pada preterm KPD telah dilaporkan secara pasti dapat menurunkan kejadian RDS. The National Institutes of Health (NIH) telah merekomendasikan penggunaan kortikosteroid pada preterm KPD pada kehamilan 3032 minggu yang tidak ada infeksi intramanion. Sediaan terdiri atas betametason 2 dosis masing-masing 12 mg i.m tiap 24 jam atau dexametason 4 dosis masing-masing 6 mg tiap 12 jam.

11

12

III. HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN III. 1 DEFINISI Hipertensi dalam Kehamilan adalah penyebab kematian utama ketiga pada ibu hamil setelah perdarahan dan infeksi. Bagaimana suatu peristiwa kehamilan dapat memicu atau memperberat hipertensi merupakan pertanyaan yang masih belum memperoleh jawaban yang memuaskan. Angka kejadian Hipertensi dalam Kehamilan kira-kira 3.7 % seluruh kehamilan. III. 2 ANGKA KEJADIAN DAN FAKTOR RESIKO Angka kejadian HDK pada umumnya sekitar 5% dari seluruh kehamilan. Faktor resiko :
1. Usia : HG sering terjadi pada pasien nullipara dan usia tua (> 35 tahun)

2. Kehamilan kembar 3. Paritas


4. Ras : sering terjadi pada afro-america

5. Predisposisi genetik
6. Faktor lingkungan : kebiasaan hidup

III. 3 ETIOLOGI Teori yang dianggap dapat menjelaskan etiologi dan patofisiologi PE harus dapat menjelaskan kenyataan bahwa HDK seringkali terjadi pada : 1. Mereka yang terpapar pada villi chorialis untuk pertama kalinya ( pada nulipara ) 2. Mereka yang terpapar dengan villi chorialis yang berlimpah ( pada kehamilan kembar atau mola ) 3. Mereka yang sudah menderita penyakit vaskular sebelum kehamilan. 4. Penderita dengan predisposisi genetik Hipertensi .

13

Menurut Sibai (2003), faktor-faktor yang berpotensi sebagai etiologi : Penyebab hipertensi dalam kehamilan hingga kini belum diketahui dengan jelas. Banyak teori telah dikemukakan tentang terjadinya hipertensi dalam kehamilan, tetapi tidak ada satu pun teori tersebut yang dianggap mutlak benar. Teori-teori yang sekarang banyak dianut adalah : 1. Teori kelainan vaskularisasi plasenta 2. Teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel 3. Teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin 4. Teori adaptasi kardiovaskular genetik 5. Teori defisiensi gizi 6. Teori inflamasi 1. Teori Kelainan Vaskularisasi Plasenta Pada kehamilan normal, rahim dan plasenta mendapat aliran darah dari cabangcabang arteri uterina dan arteri ovarika. Kedua pembuluh darah tersebut menembus miometrium berupa arteri arkuata dan arteri arkuata mamberi cabang arteri radialis. Arteria radialis menembus endometrium menjadi arteri basalis dan arteri basalis memberi cabang arteri spiralis. Pada hamil normal, dengan sebab yang belum jelas, terjadi invasi trofoblas ke dalam lapisan otot arteria spiralis, yang menimbulkan degenerasi lapisan otot tersebut sehingga terjadi dilatasi arteri spiralis. Invasi trofoblas juga memasuki jaringan sekitar arteri spiralis, sehingga jaringan matriks menjadi gembur dan memudahkan lumen arteri spiralis mengalami distensi dan dilatasi. Distensi dan vasodilatasi lumen arteri spiralis ini memberi dampak penurunan tekanan darah, penurunan resistensi vaskular, dan peningkatan aliran darah pada daerah utero plasenta. Akibatnya, aliran darah ke janin cukup banyak dan perfusi jaringan juga menningkat, sehingga dapat menjamin pertumbuhan janin dengan baik. Proses ini dinamakan remodeling arteri spiralis. Pada hipertensi dalam kehamilan tidak terjadi invasi sel-sel trofoblas pada lapisan otot arteri spiralis dan jaringan matriks sekitarnya. Lapisan otot arteri spiralis menjadi tetap kaku dan keras sehingga lumen arteri spiralis tidak memungkinkan mengalami distensi dan vasodilatasi. Akibatnya, arteri spiralis
14

relatif mengalami vasokonstriksi, dan terjadi kegagalan remodeling arteri spiralis, sehingga aliran darah uteroplasenta menurun, dan terjadilah hipoksia dan iskemia plasenta. Dampak iskemia plasenta akan menimbulkan perubahan-perubahan yang dapat menjelaskan patogenesis HDK selanjutnya. 2. a. Teori Iskemia Plasenta, Radikal Bebas, dan Disfungsi Endotel Iskemia plasenta dan pembentukan oksidan/radikal bebas Plasenta yang mengalami hipoksia dan iskemia akan menghasilkan oksidan (radikal bebas). Oksidan adalah senyawa penerima elektron atau atom/molekul yang mempunyai elektron yang tidak berpasangan. Salah satu oksidan penting yang dihasilkan plasenta iskemia adalah radikal hidroksil yang sangat toksis, khususnya terhadap membran sel endotel pembuluh darah. Adanya radikal hidroksil dalam darah mungkin dahulu dianggap sebagai toksin yang beredar dalam darah, maka dulu hipertensi dalam kehamilan disebut toxaemia. Radikal hidroksil akan merusak membran sel, yang mengandung banyak asam lemak tidak jenuh menjadi peroksida lemak. Peroksida lemak selain akan merusak membran sel, juga akan merusak nukleus, dan protein sel endotel. b. Peroksida lemak sebagai oksidan pada hipertensi dalam kehamilan Pada hipertensi kehamilan telah terbukti bahwa kadar oksidan, khususnya peroksida lemak meningkat, sedangkan antioksidan, misal vitamin E pada hipertensi dalam kehamilan menurun, sehingga terjadi dominasi kadar oksidan peroksida lemak yang relatif tinggi. Membran sel endotel lebih mudah mengalami kerusakan oleh peroksida lemak, karena letaknya langsung berhubungan dengan aliran darah dan mengandung banyak asal lemak tidak jenuh. Asam lemak tidak jenuh sangat rentan terhadap oksidan radikal hidroksil, yang akan berubah menjadi peroksida lemak. c. Disfungsi endotel Kerusakan membran sel endotel mengakibatkan terganggunya fungsi endotel, bahkan rusaknya seluruh struktur sel endotel. Keadaan ini disebut disfungsi endotel, dan akan terjadi :

15

Gangguan metabolisme prostaglandin, karena salah satu fungsi sel endotel, dalah memproduksi prostaglandin, yaitu menurunnya produksi prostasiklin (PGE2) : suatu vasodilator kuat.

Agregasi sel-sel trombosit pada daerah endotel yang mengalami kerusakan. --Agregasi sel trombosit ini untuk menutup tempat-tempat di lapisan endotel yang rusak. Agregasi trombosit memproduksi tromboksan (TXA2) : suatu vasokonstriktor kuat. Dalam keadaan normal perbandingan kadar prostasiklin/tromboksan lebih tinggi kadar prostasiklin. Pada preeklampsia kadan tromboksan lebih tinggi dari kadar prostasiklin sehingga terjadi vasokonstriksi, dengan terjadi kenaikan tekanan darah.

Perubahan khas pada sel endotel kapilar glomerulus (glomerular endotheliosis. Peningkatan permeabilitas kapilar.Peningkatan produksi bahan-bahan vasopresor, yaitu endotelin. Kadar NO (vasodilator) menurun, sedangkan endotelin (vasokonstriktor) meningkat.

3.

Peningkatan faktor koagulasi.

Teori Intoleransi Imunologik antara ibu dan janin Dugaan bahwa faktor imunologik berperan terhadap terjadinya hipertensi dalam

kehamilan terbukti dengan fakta sebagai berikut : Primigravida mempunyai risiko lebih besar terjadinya hipertensi dalam kehamilan jika dibandingkan dengan multigravida. Ibu multipara yang kemudian menikah lagi mempunyai risiko lebih besar terjadinya hipertensi dalam kehamilan jika dibandingkan dengan suami yang sebelumnya. Seks oral mempunyai risiko lebih rendah terjadinya hipertensi dalam kehamilan. Lamanya periode hubungan seks sampai saat kehamilan ialah makin lama periode ini, makin kecil terjadinya hipertensi dalam kehamilan. Pada perempuan hamil normal, respon imun tidak menolak adanya hasil konsepsi yang bersifat asing. Hal ini disebabkan adanya human leukocyte antigen protein G (HLA-G), yang berperan penting dalam modulasi respons imun, sehingga si ibu tidak menolak hasil konsepsi (plasenta). Adanya HLA-G pada plasenta dapat melindungi trofoblas janin dari lisis oleh sel Natural Killer (NK) ibu. Pada plasenta hipertensi dalam kehamilan, terjadi penurunan ekspresi HLA-G. berkurangnya HLA-G di desidua daerah plasenta, menghambat invasi
16

trofoblas ke dalam desidua. Invasi trofoblas sangat penting agar jaringan desidua menjadi lunak, dan gembur sehingga memudahkan terjadinya dilatasi arteri spiralis. HLA-G juga merangsang produksi silikon, sehingga memudahkan terjadinya reaksi inflamasi. Kemungkinan terjadi immune-Maladaption pada preeklampsia. 4. Teori adaptasi kardiovaskular Pada hamil normal pembuluh darah refrakter (tidak peka) terhadap bahan-bahan vasopresor, sehingga dibutuhkan kadar vasopresor yang lebih tinggi untuk menimbulkan respons vasokontriksi. Hal ini terjadi akibat dilindungi oleh adanya sintesis prostaglandin pada sel endotel pembuluh darah. Pada hipertensi dalam kehamilan kehilangan daya refrakter terhadap bahan vasokonstriktor, dan ternyata terjadi peningkatan kepekaan terhadap bahan-bahan vasokonstriktor. Artinya daya refrakter pembuluh darah terhadap bahan vasopresor hilang sehingga pembuluh darah menjadi sangat peka terhadap bahan vasopresor. Penelitian membuktikan kepekaan terhadap bahan vasopresor terjadi pada trimester I. 5. Teori Genetik Ada faktor keturunan dan familial dengan model gen tunggal. Genotip ibu lebih menentukan terjadinya hipertensi dalam kehamilan secara familial jika dibandingkan dengan genotip janin. Telah terbukti bahwa pada ibu yang mengalami preeklampsia, 26% anak perempuannya akan mengalami preeklampsia pula, sedangkan hanya 8% anak menantu mengalami preeklampsia. 6. Teori Defisiensi Gizi (Teori diet) Penelitian yang penting yang pernah dilakukan di Inggris ialah penelitian tentang pengaruh diet pada preeklampsia beberapa waktu sebelum pecahnya Perang Dunia II. Suasana serba sulit mendapat gizi yang cukup dalam persiapan perang menimbulkan kenaikan insiden hipertensi dalam kehamilan. Minyak ikan mengandung banyak asam lemak tidak jenuh yang dapat menghambat produksi tromboksan, menghambat aktivasi trombosit, dan mencegah vasokonstriksi pembuluh darah. Beberapa peneliti juga menganggap bahwa defisiensi kalsium pada diet perempuan hamil mengakibatkan risiko terjadinya preeklampsia/eklampsia. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ibu

17

hamil yang diberi suplemen kalium cukup, kasus yang mengalami preeklampsia adalah 14% sedang yang diberi glukosa 17%.

(Cunningham FG et al : Hypertensive Disorder In Pregnancy in Williams Obstetrics , 22nd ed, McGraw-Hill, 2005) III. 4 TERMINOLOGI dan KLASIFIKASI Hipertensi Gestasional adalah terminologi untuk menggambarkan adanya hipertensi berkaitan dengan kehamilan yang sifatnya new-onset. Klasifikasi berdasarkan National High Blood Pressure Education Program (NHBPEP) tahun 2000 :
1. HG-Hipertensi Gestasional ( istilah sebelumnya adalah pregnancy induced

hypertension yang mencakup pula hipertensi transien) 2. PE-Pre Eklampsia 3. E-Eklampsia 4. Pre Eklampsia super imposed pada Hipertensi Kronis 5. HK-Hipertensi Kronis (Cunningham FG et al : Hypertensive Disoder In Pregnancy in Williams Obstetrics , 22nd ed, McGraw-Hill, 2005 )
18

III. 5 DIAGNOSIS Hipertensi adalah suatu keadaan dimana tekanan darah istirahat 140/90 mmHg. Kriteria edema pada PE sudah tidak digunakan lagi oleh karena selain subjektif dan juga tidak mempengaruhi out-come perinatal. III. 5a Diagnosis Hipertensi Dalam Kehamilan 1. Hipertensi Gestasional

TD-Tekanan darah 140/90 mmHg terjadi pertama kali dalam kehamilan. Tidak terdapat Proteinuria, Tekanan darah kembali normal dalam waktu < 12 minggu pasca persalinan. Diagnosa akhir hanya dapat ditegakkan pasca persalinan. Dapat disertai dengan gejala PE Berat : nyeri epgastrium atau trombositopenia.

2. Preeclampsia KRITERIA MINIMUM


TD 140/90 mmHg pada kehamilan > 20 minggu Proteinuria 300 mg/24 jam atau 1+ dispstick

PRE-EKLAMPSIA BERAT ( PE disertai dengan satu atau lebih gejala berikut dibawah ini) : 1. TD 160/110 mmHg pada kehamilan > 20 minggu 2. Proteinuria 2.0 g/24 jam 2+ (dispstick) 3. Serum Creatinine > 1.2 mg/dL (kecuali bila sebelumnya sudah abnormal ) 4. Trombosit < 100.0000 / mm3 5. Microangiopathic hemolysis ( increase LDH )
6. Peningkatan ALT atau AST

7. Nyeri kepala atau gangguan visual persisten 8. Nyeri epigastrium 3. Eklampsia

Kejang yang tidak diakibatkan oleh sebab lain pada penderita pre eklampsia
19

4. Superimposed Preeklampsia ( pada hipertensi kronik )

Proteinuria new onset 300 mg / 24 jam pada penderita hipertensi yang tidak menunjukkan adanya proteinuria sebelum kehamilan 20 minggu. Peningkatan TD atau kadar proteinuria secara tiba tiba atau trombositopenia < 100.000/mm3 pada penderita hipertensi dan proteinuria sebelum kehamilan 20 minggu.

5. Hipertensi Kronis

TD 140 / 90 mmHg sebelum kehamilan atau sebelum kehamilan 20 minggu dan tidak terkait dengan penyakit trofoblas gestasional HT terdiagnosa pertama kali setelah kehamilan 20 minggu dan menetap sampai > 12 minggu pasca persalinan.

ALT = Alanin aminotranferase AST = Aspartate aminotranferase LDH = Lactate Dehydrogenase (Cunningham FG et al : Hypertensive Disoder In Pregnancy in Williams Obstetrics , 22nd ed, McGraw-Hill, 2005 )

BAB III PEMBAHASAN KASUS

20

Pasien Ny. S 35 tahun (G2P1A0) mengaku hamil 9 bulan. HPHT 18 Desember 2011 (sesuai kehamilan 36 minggu 4 hari), HPL 25 September 2012. Pasien melakukan ANC teratur setiap bulan di Puskesmas. Pasien sudah pernah melakukan pemeriksaan USG 2 kali terakhir pada 20 Juli 2011 dikatakan janin dalam kondisi baik. Gerak janin aktif. Pasien mengaku keluar cairan bening sejak 4 jam SMRS, mules (+), keluar lendir (+), darah (+). Pada pasien lalu dilakukan pemeriksaan fisik terdapat edem minimal pada ekstremitas bawah. Tanda-tanda vital didapatkan TD : 170/100. Keadaan umum dan status generalisnya dalam batas normal. Permasalahan : 1. Hipertensi Dalam Kehamilan Dalam kasus pasien ini, pasien termasuk dalam kriteria hipertensi gestasional, karena sebelumnya pasien tidak mempunyai riwayat tekanan darah tinggi dan tekanan darah tinggi baru muncul setelah usia kehamilan 20 minggu serta tanpa adanya proteinuria dalam pemeriksaan urin pasien. Penyebab dari hipertensi dalam kehamilan pada pasien ini belum pasti sesuai dengan teori yang sudah ada. 2. Ketuban Pecah Dini Pecahnya selaput ketuban sebelum ada tanda-tanda persalinan. Terdapat faktor yang menyebabkan pecahnya ketuban, pada pasien ini dapat dilihat dari faktor infeksi dan trauma, infeksi pada pasien ini bisa disebabkan karena adanya Infeksi di saluran kemih dimana infeksi tersebut dapat bersifat assending. ISK ditegakkan berdasarkan pemeriksaan lab dan keluhan pasien. trauma dapat disebabkan karena hubungan seksual selama kehamilan. 3. Induksi Persalinan sebagai cara terminasi kehamilan pasien ini Pada pasien dilakukan induksi persalinan, dengan pemberian oksitosin 10 IU dalam 1000 ml cairan D5 (tiap 500 ml 5 unit), dengan pemberian awal 8 tpm dinaikkan 4 tpm setiap 15 menit maksimal 28 tpm, hal ini dilakukan setelah sesuai indikasi janin (KPD) dan indikasi ibu (Hipertensi) dan pasien memenuhi syarat bishop score >5, tidak ada kontraindikasi seperti CPD, riwayat SC, plasenta previa, malpresentasi janin dll.
21

Pada saat induksi harus dipantau TTV, kontraksi uterus, bundle ring, dan gawat janin. Induksi dikatakan gagal jika 12 jam pemberian oksitosin drip belum ada tanda-tanda inpartu.

DAFTAR PUSTAKA
1. Prawirohardjo S. Ilmu Kebidanan. edisi ke-4. Cetakan I. 2008.

Jakarta:

Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.


22

2. Cunningham, FG, et al. Obstetri Williams. Edisi ke-21. 2006. Jakarta : EGC

Penerbit Buku Kedokteran.


3. Saifudin, Abdul Bari, et al. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan

Maternal dan Neonatal. 2002. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo
4. Seputar Kedokteran dan Linux, Ketuban Pecah Dini, di unduh dari

http://medlinux.blogspot.com/2009/02/ketuban-pecah-dini-kpd.html. Lenteraimpian, Ketuban Pecah Sebelum Waktunya (KPSW) atau Ketuban Pecah Dini (KPD) atau Ketuban Pecah Prematur (KPP), diunduh dari http://lenteraimpian.wordpress.com/2010/02/27/ketuban-pecah-sebelumwaktunya-kpsw-atau-ketuban-pecah-dini-kpd-atau-ketuban-pecah-prematurkpp/ Aprillia, Yesie, Bd. Ketuban Pecah Dini (KPD) atau Premature Rupture of The Membrane (PROM) diunduh dari http://www.bidankita.com/index.php? option=com_content&view=article&id=216:ketuban-pecah-dini-kpd-ataupremature-rupture-of-the-membrane-prom&catid=47:all-aboutchildbirth&Itemid=2
5. http://adulgopar.files.wordpress.com/2009/12/ketuban-pecah-dini.pdf.

23

You might also like