You are on page 1of 13

BAB I PENDAHULUAN

I.

Latar Belakang Masalah Pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia dapat dilacak

dalam konstitusi NKRI. Dalam UUD 1945 terdapat dua nilai dasar yang dikembangkan yakni, nilai unitaris dan nilai desentralisasi teritorial. Nilai dasar unitaris diwujudkan dalam pandangan bahwa Indonesia tidak akan mempunyai kesatuan pemerintahan lain didalamnya yang bersifat Negara. Artinya kedaulatan yang melekat pada rakyat, bangsa dan negara Republik Indonesia tidak akan terbagi di antara kesatuan-kesatuan pemerintahan. Sementara itu nilai dasar desentralisasi teritorial diwujudkan dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah dalam bentuk otonomi daerah. Dikaitkan dengan dua nilai dasar konstitusi tersebut, penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia terkait erat dengan pola pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat dengan pemerintahan daerah. Hal ini karena dalam penyelenggaraan desentralisasi selalu terdapat dua elemen penting, yaitu pembentukan daerah otonom dan penyerahan kekuasaan secara hukum dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus bagianbagian tertentu urusan pemerintahan. Sesuai dengan UUD 1945, karena Indonesia adalah Eenheidstaat, maka di dalam lingkungannya tidak dimungkinkan adanya daerah yang bersifat staat juga. Ini berarti bahwa sebagai pembatas besar dan luasnya daerah otonom dan hubungan kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah adalah menghindari daerah otonom menjadi negara dalam negara. Dengan demikian pembentukan daerah otonom dalam rangka desentralisasi di Indonesia memiliki ciri-ciri : a. b. Daerah otonom tidak memiliki kedaulatan atau semi kedaulatan layaknya di negara federal. Daerah otonom tidak memiliki Povouir Constituant.

c. d.

Desentralisasi dimanifestasikan dalam bentuk penyerahan atau pengakuan atas urusan pemerintahan. Penyerahan atau pengakuan urusan pemerintahan seperti yang tersebut diatas utamanya terkait dengan pengaturan dan pengurusan kepentingan masyarakat setempat (lokalitas) sesuai dengan prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Dengan demikian jelaslah bahwa desentralisasi merupakan instrumen

dicapainya tujuan bernegara dalam kerangka kesatuan bangsa yang demokratis. Dalam konteks UUD 1945, selalu harus diperhatikan keseimbangan antara kebutuhan untuk menyelenggarakan desentralisasi dengan kebutuhan memperkuat kesatuan nasional. Dalam mewujudkan terselenggaranya otonomi daerah yang nyata, dinamis, serasi, dan bertanggung jawab maka prinsip-prinsip otonomi daerah adalah : a. b. masyarakat. c. d. Serasi, berarti urusan dilaksanakan sesuai dengan arah, dan kebijaksanaan pemerintah pusat. Bertanggung jawab, berarti tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada dan berlaku. Ada dua tujuan utama yang ingin dicapai melalui kebijakan desentralisasi yaitu : 1. Tujuan politik, yaitu akan memposisikan pemerintah daerah sebagai medium pendidikan politik bagi masyarakat di tingkat lokal dan secara agregat akan berkontribusi pada pendidikan politik secara nasional untuk mempercepat terwujudnya civil society. 2. Tujuan administratif, yaitu akan memposisikan pemerintah daerah sebagai unit pemerintahan di tingkat lokal yang berfungsi untuk menyediakan pelayanan masyarakat secara efektif, efisien dn ekonomis. Yang nyata, berarti urusan pemerintah yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan pembangunan. Dinamis, berarti sesuai dengan perkembangan dan dinamika

Dari tujuan politis dan administratif diatas, maka misi utama dari keberadaan pemerintah daerah adalah bagaimana mensejahterakan masyarakat melalui penyediaan pelayanan publik secara efektif, efisien, dan ekonomis serta melalui cara-cara yang demokratis. Untuk mampu menjalankan fungsinya secara optimal, sedikitnya ada tujuh elemen utama yang membentuk pemerintah daerah, yaitu : 1. Adanya urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah. Urusan tersebut merupakan isi otonomi yang menjadi dasar bagi kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. 2. 3. Adanya kelembagaan yang merupakan perwadahan dari otonomi yang diserahkan kepada daerah. Adanya personil, yaitu pegawai yang mempunyai tugas untuk menjalankan urusan otonomi yang menjadi isi rumah tangga daerah yang bersangkutan. 4. 5. Adanya sumber-sumber keuangan untuk membiayai pelaksanaan otonomi daerah. Adanya unsur perwakilan yang merupakan perwujudan dari wakil-wakil rakyat yang telah mendapatkan legitimasi untuk memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah. 6. 7. Adanya manajemen pelayanan publik agar dapat berjalan secara efisien, efektif, ekonomis dan akuntabel. Adanya pengawasan, supervisi, monitoring dan evaluasi yang efektif dan efisien. Ketujuh elemen diatas secara integrasi merupakan suatu sistem yang membentuk Pemerintahan Daerah. Untuk itu maka penataan pemerintah daerah akan selalu berkaitan dengan penataan ketujuh elemen diatas. Penataan haruslah bersifat terpadu dan menyeluruh. Ditinjau dari sudut hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah akan tercermin dari hubungan ketujuh elemen diatas. Dari setiap elemen akan tampak bagaimana hubungan pusat dengan daerah. Namun secara umum hubungan antara pusat dan daerah adalah :

1.

Pemeritah Pusat yang mengatur hubungan antara Pusat dan Daerah yang dituangkan dalam peraturan perundangan yang bersifat mengikat kedua belah pihak. Namun dalam pengaturan hubungan tersebut haruslah memperhatikan aspirasi Daerah sehingga tercipta sinergi antara kepentingan Pusat dan Daerah.

2.

Bahwa tanggung jawab akhir dari penyelenggaraan urusan-urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah adalah menjadi tanggung jawab Pemerintah pusat karena dampak akhir dari penyelenggaraan urusan tersebut akan menjadi tanggung jawab negara.

3.

Peran Pusat dalam kerangka otonomi daerah akan benyak bersifat menentukan kebijakan makro, melakukan supervisi, monitoring, evaluasi, kontrol dan pemberdayaan, sehingga Daerah dapat menjalankan otonominya secara optimal. Sedangkan peran daerah akan lebih banyak bersifat pelaksanaan otonomi tersebut. Dalam melaksanakan otonominya Daerah berwenang membuat kebijakan Daerah. Kebijakan yang diambil Daerah adalah dalam batas-batas otonomi yang diserahkan kepadanya dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi.

II.

Rumusan Masalah Secara empiris banyak terjadi friksi (gesekan) dan ketegangan antar

tingkatan pemerintahan berkaitan dengan kewenangan tersebut. Ada tiga jenis friksi, yaitu : A. 1. Friksi antara Pusat da Daerah yang terjadi diantaranya adalah : Masalah kewenangan pertanahan antara Pusat dengan Kabupaten/Kota ditandai dengan adanya Dinas Pertanahan milik Daerah dan Kantor Pertanahan yang masih menginduk kepada Pusat. 2. Masalah kewenangan Pelabuhan Laut, Pelabuhan Udara, Kehutanan, Perkebunan, Pertambangan, dan kewenangan Pengelolaan Sumber Daya Nasional yang ada di daerah yang bersangkutan. 3. Masalah kewenangan Tenaga Kerja Asing.

B. adalah : 1. 2.

Friksi antara Kabupaten/Kota dengan Propinsi, diantaranya Masalah kewenangan atas ijin HPH Hutan, Penambangan Pasir Masalah hierarkhi otonomi antara Kabupaten/Kota denga Masalah ijin bagi Bupati/Walikota kepada Gubernur dalam hal Masalah pengelolaan Pariwisata. Friksi antara Kabupaen/Kota itu sendiri, diantaranya : 1. ikan. 2. Masalah pelarangan pendatang tanpa tujuan jelas. Masalah batas laut yang menimbulkan bentrok dalam pengkapan

Laut, Ijin Pengadaan Garam, Pertambangan. Propinsi. 3. 4. C. mengikuti kegiatan keluar daerah.

BAB II PEMBAHASAN MASALAH Permasalahan-permasalahan yang timbul seperti yang tersebut pada Bab sebelumnya itu disebabkan oleh adanya pengaturan-pengaturan baru yang diatur dalam UU No. 22 Tahun 1999. Dengan dianutnya otonomi luas sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 7 ayat 2 dan Pasal 9, daerah cenderung menafsirkannya secara apa adanya dan menganggap bahwa semua kewenangan diluar kewenangan Pusat adalah menjadi kewenangan Daerah. Sedangkan pada sisi lain, Departemen Sektoral di Pusat juga berpegang pada UU sektoral masing-masing. Sebagai contoh Departemen Kehutanan berpegang pada UU No. 41 Tahun 1999 yang mengatur mengenai kewenangan kehutanan. Permasalahan timbul karena substansi kewenangan pada UU No. 22 Tahun 1999 dengan UU No. 41 Tahun 1999 berbeda pengaturannya. Akibatnya terjadilah friksi antara Pusat dengan Daerah. Friksi pada dasarnya berpangkal dari siapa yang mempunyai kewenangan secara hukum atas hal yang disengketakan tersebut. Motiv utama yang mendorong bukanlah persoalan untuk memberikan pelayanan masyarakat pada hal yang disengketakan tersebut, namun lebih pada bagaimana menguasai sumber-sumber pandapatan yang dihasilkan dari kewenangan yang disengketakan tersebut. Daerah menganggap bahwa dengan adanya otonomi luas maka kebutuhan uang mereka menjadi tidak terbatas. Sedangkan PAD dan DAU terbatas sehingga hal tersebut menarik mereka untuk menambah sumber-sumber penerimaan dari penguasaan obyek-obyek yang dapat menghasilkan tambahan penerimaan daerah. Sedangkan

Pusat berpendapat obyek tersebut adalah menyangkut kepentingan nasional, sehingga menganggap perlunya penguasaan Pusat atas obyek tersebut. Daerah berpegang pada Pasal 7 ayat 1, Pasal 11 dan Pasal 119 UU No. 22 tahun 1999, sedangkan Pusat juga berpegang pada Pasal 7 ayat 2 UU No. 22 Tahun 1999 sebagai kewenangan atas sumber-sumber perekonomian nasional. Dari analisis diatas terdapat kontradiksi dalam tataran normatif terutama kewenangan dalam perekonomian negara. Pasal 7 ayat 2 UU No. 22 Tahun 1999 menyatakan kewenangan dalam perekonomian negara menjadi domain kewenangan bidang lain yang menjadi kewenangan pusat. Sedangkan Pasal 119 ayat 1 menyatakan bahwa kewenangan Kabupaten/Kota berlaku juga di kawasan otorita, kawasan pelabuhan, kawasan bandar udara, kawasan perumahan, kawasan industri, kawasan perkebunan, kawasan pertambangan, kawasan kehutanan, kawasan pariwisata, kawasan jalan bebas hambatan dan kawasan lain yang sejenis. Departemen Sektoral berpegang pada Pasal 7 ayat 2 ditambah dengan UU yang mengatur sektor itu sendiri, sedangkan Daerah berpegang pada Pasal 119 ayat 1 UU No. 22 Tahun 1999. Analisis yang lebih fundamental mengindikasikan bahwa adanya unit pemerintahan daerah adalah untuk melayani kebutuhan masyarakat (public service). Ini berarti tiap daerah akan mempunyai keunikan sendiri-sendiri baik dari aspek penduduk, maupun karakter goegarfisnya. Masyarakat pantai yang bermata pencaharian utama di perikanan akan berbeda dengan masyarakat pegunungan, ataupun masyarakat pedalaman. Masyarakat daerah pedesaan akan berbeda kebutuhannya dengan masyarakat daerah perkotaan. Apabila keberadaan Pemerintah Daerah adalah untuk melayani kebutuhan masyarakat, konsekuensinya adalah bahwa urusan yang dilimpahkanpun semestinya berbeda pula dari satu daerah dengan daerah yang lain sesuai dengan perbedaan karakter geografis dan mata pencaharian utama penduduknya. Sangat tidak logis apabila di sebuah kota sekarang ini masih dijumpai adanya urusan-urusan pertanian, perikanan, peternakan dan urusan lain yang berkaitan dengan kegiatan primer. Pada dasarnya kebutuhan rakyat dapat dikelompokkan dalam dua hal, yaitu :

1. 2.

Kebutuhan dasar, seperti air, kesehatan, pendidikan, lingkungan, keamanan, dan sebagainya. Kebutuhan pengembangan usaha masyarakat, seperti pertanian, perkebunan, perdagangan, industri, dan sebagainya. Daerah dalam konteks otonomi harus mempunyai kewenangan untuk

mengurus urusan-urusan yang berkaitan dengan kedua kelompok kebutuhan diatas. Kelompok kebutuhan dasar adalah hampir sama di seluruh Indonesia, hanya gradasi kebutuhannya saja yang berbeda. Sedangkan kebutuhan pengembangan usaha masyarakat sangat erat kaitannya dengan karakter daerah, pola pemanfaatan lahan dan mata pencaharian penduduk. Berbeda dengan negara maju dimana pembangunan usaha masyarakat sudah dijalankan oleh pihak swasta, maka di Indonesia sebagai negara berkembang, peran pemerintah masih sangat diharapkan untuk menggerakkan usaha masyarakat. Untuk itu kewenangan untuk menggerakkan usaha atau ekonomi masih sangat diharapkan dari pemerintah. Pemerintah daerah di negara maju lebih ber-orientasi menyediakan kebutuhan dasar masyarakat. Untuk itu, maka pemerintah daerah di Indonesia mempunyai kewenangan (otonomi) untuk menyediakan pelayanan kebutuhan dasar dan pelayanan pengembangan usaha ekonomi masyarakat lokal. UU No. 22 Tahun 1999 pada dasarnya memberikan otonomi luas kepada daerah. Pasal 7 ayat 1 dan Pasal 11 ayat 1 memberikan urusan otonomi yang luas kepada daerah. Sedangkan Pasal 11 ayat 2 menyatakan kewenangan wajib yang harus dilakukan oleh daerah. Dalam kewenangan wajib terlihat bahwa terdapat kecenderungan menyeragamkan otonomi daerah tanpa membedakannya dalam kewenangan untuk menjalankan pelayanan dasar dan kewenangan menjalankan pelayanan pengenbangan sektor unggulan yang menjadi usaha ekonomi masyarakat. Urusanurusan seperti pertanian, perdagangan, industri tidak semestinya diwajibkan pada daerah-daerah yang tidak mempunyai potensi unggulan atau usaha utama masyarakat di suatu daerah.

Dalam memberikan otonomi untuk pelayanan kebutuhan dasar dan pelayanan pengembangan usaha ekonomi masyarakat, ada tiga hal yang perlu dipertimbangkan, yaitu : 1. Akuntabilitas, bahwa penyerahan urusan tersebut akan menciptakan akuntabilitas Pemerintah daerah kepada masyarakat. Ini berarti bagaimana mendekatkan pelayanan tersebut kepada masyarakat. Makin dekat unit pemerintahan yang memberikan pelayanan kepada masyarakat akan makin mendukung akuntabilitas. 2. Efisiensi, bahwa penyerahan urusan tersebut akan menciptakan efisiensi, efektifitas dan ekonomis dalam penyelenggaraannya. Ini berkaitan dengan skala ekonomis dalam pemberian pelayanan tersebut. Untuk itu harus terdapat kesesuaian antara skala ekonomis dengan daerah pelayanan. Masalahnya adalah sejauh mana skala ekonomis tersebut sesuai dengan batasbatas wilayah administrasi Pemerintah Daerah yang sudah ada. Makin luas wilayah pelayanan yang diperlukan untuk mencapai skala ekonomis akan makin tinggi otoritas yang diperlukan. Bandara dan pelabuhan yang menangani antar propinsi adalah menjadi tanggung jawad nasional. 3. Eksternalitas, adalah dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan yang memerlukan pelayanan tersebut. Eksternalitas sangat terkait dengan akuntabilitas. Makin luas eksternalitas yang ditimbulkan akan makin tinggi otoritas yang diperlukan untuk menangani urusan tersebut. Contoh, sungai atau hutan yang mempunyai eksternalitas regional semestinya menjadi tanggung jawab propinsi untuk mengurusnya. Konsekuensi dari pendekatan tersebut adalah bahwa untuk pelayananpelayanan yang bersifat dasar maupun pelayanan untuk pengembangan usaha ekonomi masyarakat atas pertimbangan efisiensi, akuntabilitas dan eksternalitas yang bersifat lokal semestinya menjadi urusan Kabupaten/Kota, yang bersifat lintas Kabupaten/Kota menjadi urusan Propinsi dan yang lintas Propinsi menjadi kewenangan Pusat. Untuk mencegah suatu daerah menghindari suatu urusan yang sebenarnya esensial untuk daerah tersebut, maka perlu adanya penentuan atau standar urusan-

urusan dasar atau pokok yang harus dilakukan oleh suatu daerah sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat seperti pendidikan, kesehatan, kebersihan lingkungan, sebagaimana dinyatakan dalan Pasal 11 UU No. 22 Thun 1999. Akar dari masalah yang muncul selama ini adalah kesalahan dalam persepsi otonomi. Otonomi sering kali dikaitkan dengan auto money, dan bukan pada pelayanan masyarakat. Akibatnya konsep kewenangan lebih dikaitkan dengan keuangan, yaitu hak daerah untuk menggali sumber-sumber keuangan yang dihasilkan oleh kewenangan tersebut dan bukan kewenangan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Akibat dari persepsi tersebut, maka terjadilah rebutan kewenangan antar tingkatan pemerintahan dengan justifikasinya masingmasing dan semuanya akan bermuara pada terlantarnya pelayanan rakyat. Agar daerah dapat menentukan isi otonomi yang sesuai dengan kebutuhan warganya, maka diperlukan adanya penilaian atas isi otonomi daerah untuk melaksanakan pelayanan kebutuhan dasar dan kewenangan untuk pelayanan pengembangan usaha ekonomi masyarakat. Dengan demikian daerah akan terhindar untuk melakukan urusan-urusan yang kurang relevan dengan kebutuhan warganya dan tidak terperangkap untuk melakukan urusan-urusan atas pertimbangan pendapatan semata.

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN I. Kesimpulan Dari uraian diatas maka ada sedikitnya tujuh elemen pokok yang membentuk pemerintahan daerah yaitu : urusan, kelembagaan, personil, keuangan, perwakilan, manajemen pelayanan dan pengawasan. Ketujuh variabel tersebut merupakan pilar-pilar utama dari setiap bentuk pemerintahan daerah. Penguatan terhadap ketujuh dimensi tersebut merupakan prasyarat dalam penguatan pemerintahan daerah. Pendekatan yang bersifat sepotong-potong tidak akan memecahkan persoalan otonomi secara keseluruhan. Penguatan pada salah satu atau beberapa aspek dan melupakan aspek lainnya tidak akan pernah efektif menuntaskan penguatan otonomi daerah secara keseluruhan. Dalam UU No. 22 Tahun 1999 merupakan momentum yang sangat baik untuk memacu reformasi Pemerintahan daerah menuju Pemerintahan daerah yang efektif, efisien, ekonomis dan akuntabel. Juga lebih dapat memenuhi kebutuhan dasar dari masyarakat dan juga dari pelayanan-pelayan publik yang dibutuhkan oleh masyarakat. II. Saran Agar otonomi daerah dapat berjalan secara optimal, maka dari aspek kewenangan ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan :

1.

Perlu adanya penyesuaian terhadap pengaturan-pengaturan yang tumpang tindih dan bertentangan tentang suatu kewenangan. Langkah pertama adalah menyempurnakan aturan-aturan yang kontradiktif yang ada dalam UU No. 22 Tahun 1999 sendiri seperti kontradiksi antara Pasal 7 ayat 2 dengan Pasal 119, karena kalau dibiarkan berlarut akan berakibat fatal. Langkah berikutnya adalah menghilangkan kontradiksi antar UU yang mengatur hal yang sama seperti UU No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan dengan UU No. 22 Tahun 1999 tentang otonomi luas. Pasal 133 UU No. 22 Tahun 1999 memerintahkan agar UU sektoral melakukan penyesuaian dengan UU No. 22 Tahun 1999.

2.

Secara lebih mendasar pembagian kewenangan antar tingkatan pemerintahan adalah dengan memperhatikan skala ekonomi, akuntabilitas dan eksternalitas. Betapapun luasnya otonomi yang diberikan ke daerah haruslah berkorelasi dengan pelayanan riil yang dibutuhkan masyarakat. Konsekuensinya perlu adanya penataan ulang kewenangan antara Pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kota dengan memperhatikan kriteria diatas.

DAFTAR PUSTAKA Sunarno, Dr. H Siswanto. 2006. Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika. Suwandi, DR. Made. 2002. Konsepsi Dasar otonomi Daerah Indonesia. Jakarta. Widjaja, Prof. Drs H.A.W. 1998. Percontohan Otonomi Daerah di Indonesia. Jakarta : Rineka Cipta.

You might also like