You are on page 1of 13

PENDEKATAN KONSEP SAINS TEKNOLOGI MASYARAKAT (STM) DALAM PEMBELAJARAN

MATA KULIAH

: PENGAJARAN BIOLOGI

Oleh: NUNI RISMAYANTI NURQALBI (1200981) RANTI AN NISAA (12012090) BIOLOGI 1B

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA BANDUNG 2012

PENDEKATAN KONSEP SAINS TEKNOLOGI MASYARAKAT (STM) DALAM PEMBELAJARAN


1. Sejarah Perkembangan STM Istilah STS untuk pertama kali diciptakan oleh John Ziman dalam bukunya Teaching and Learning About Science and Society. Ziman mencoba mengungkapkan bahwa konsep-konsep dan proses-proses sains yang diajarkan seharusnya relevan dengan kehidupan siswa sehari-hari (Galib, 2001). Yager dan Roy (Galib, 2001) menyatakan sejarah singkat STS sebagai berikut. Mulai tahun 1970, beberapa universitas di AS, Cornell, Penn State, Stanford, dan SUNYStock Brook, secara resmi memulai program yang menawarkan pelajaran pada bidang studi yang sekarang disebut STS/STM. Hal yang sama juga dilakukan pada konsorsium universitas di Inggris. Kemudian secara berangsur beberapa negara dan lembaga lain bekerja sama, menjadi penelitian utama universitas, dan sekitar 100 lembaga menjadikan STM sebagai bidang akademik. Sebagai suatu momentum perkembangan STM, pada tahun 1977 muncul sebuah proyek yang disebut Norris Harms Project Synthesis dengan empat tujuan utama, yaitu: (1) mempersiapkan siswa untuk menggunakan sains bagi pengembangan hidup dan mengikuti perkembangan dunia teknologi; (2) mengajar para siswa untuk mengambil tanggung jawab dengan isu-isu teknologi/masyarakat; (3) mengidentifikasi tubuh pengetahuan fundamental sehingga siswa secara tuntas memperoleh kepandaian dengan isu-isu STM; dan (4) memberikan suatu gambaran yang akurat kepada siswa tentang peersyaratan dan kesempatan dalam karir yang tersedia dalam bidang STM. Setelah proyek tersebut dilaporkan pada tahun 1981 (Harms dan Yager dalam Galib, 2001), The National Science Teachers Association (NSTA), berinisiatif melakukan suatu penelitian untuk meningkatkan mutu program pendidikan sains. Dalam hal itu, STM merupakan salah satu bidang penelitian awal pada tahun 1982-1983 dan juga tahun 1986. Sejak itu, STM menjadi fokus bagi sekolah sains untuk mengidentifikasi tujuan-tujuan baru, kurikulum baru, modul-modul, strategi pembelajaran yang baru, dan bentuk-bentuk baru untuk evaluasi. Hal itu telah digunakan dalam pembaruan pendidikan sains di Iowa sejak dimulai suatu program Chautauqua NSTA-NSF pada tahun 1983 (Yager dalam King). Dan sekarang, sudah lebih dari 1.700 guru, khususnya pada kelas 4-9 telah mengembangkan dan memperkenalkan modul-modul STM dalam ruang kelas sains mereka. Dalam tahun 1990 di AS, STM telah diperkenalkan pada 2000 fakultas dan 1000 SLTA dalam bentuk pelajaran (Harms dan Yager dalam Galib, 2001). Pendekatan STM merupakan merupakan pendekatan pembelajaran, dikembangkan berdasarkan pada filosofis kontruktivisme baru diperkenalkan di Indonesia pada awal tahun 1990-an yang telah diuji coba dan dilakukan di berbagai sekolah di Jawa Barat dan daerah lain di Indonesia (http://pelangi.dit-pp.go.id). 2. Hakikat Pendekatan STM Salah satu hakekat pendidikan adalah proses mengarahkan anak pada pertumbuhan yang makin sempurna. Melalui pendidikan anak diharapkan dapat diarahkan secara

terprogram untuk mencapai penguasaan pengetahuan, keterampilan, dan sikap tertentu demi tugas-tugas profesional dan hidup. Dalam hal ini, pendidikan mengarahkan anak pada hal yang bersifat occupation-oriented atau training for life. Pendidikan sains memiliki peran yang penting dalam menyiapkan anak memasuki dunia kehidupannya. Sains pada hakekatnya merupakan sebuah produk dan proses. Produk sains meliputi fakta, konsep, prinsip, teori dan hukum. Sedangkan proses sains meliputi cara-cara memperoleh, mengembangkan dan menerapkan pengetahuan yang mencakup cara kerja, cara berfikir, cara memecahkan masalah, dan cara bersikap. Oleh karena itu, sains dirumuskan secara sistematis, terutama didasarkan atas pengamatan eksperimen dan induksi. Sains melandasi perkembangan teknologi, sedangkan teknologi menunjang perkembangan sains. Sains terutama digunakan untuk aktivitas discovery dalam upaya memperoleh penjelasan tentang objek dan fenomena alam serta untuk aktivitas invention (penemuan) berupa rumus-rumus. Sedangkan teknologi merupakan aplikasi sains yang terutama dalam kegiatan invention, berupa alat-alat atau barang-barang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Dalam hal ini, pengembangan sains tidak selalu dikaitkan dengan aspek kebutuhan masyarakat, sedangkan pengembangan teknologi selalu dikaitkan dengan kebutuhan masyarakat. Dengan demikian sains, teknologi dan masyarakat merupakan bagian yang tak terpisahkan Dalam kurikulum pendidikan nasional tahun 2006, pendidikan sains merupakan kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi. Pemberian mata pelajaran sains bagi anak dimaksudkan untuk memperoleh kompetensi ilmu pengetahuan dan teknologi serta membudayakan berpikir ilmiah secara kritis, kreatif dan mandiri. Prinsip pengembangan kurikulum didasarkan bahwa peserta didik memiliki posisi sentral untuk mengembangkan kompetensinya agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mendukung pencapaian tujuan tersebut pengembangan kompetensi peserta didik harus disesuaikan dengan potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik serta tuntutan lingkungan. Dalam realitasnya, ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang secara dinamis. Semangat dan isi kurikulum mendorong peserta didik untuk mengikuti dan memanfaatkan secara tepat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Menjamin relevansi dengan kebutuhan kehidupan, termasuk di dalamnya kehidupan kemasyarakatan, dunia usaha dan dunia kerja. Oleh karena itu, pengembangan keterampilan pribadi, keterampilan berpikir, keterampilan sosial, keterampilan akademik, dan keterampilan vokasional mutlak harus dilaksanakan. Dengan demikian, pembelajaran sains semestinya dapat dikaitkan dengan pengalaman keseharian anak. Sebagai bagian dari anggota masyarakat, anak dapat dibiasakan untuk menemukan masalah dalam lingkungan lokal maupun secara global, dan merumuskan solusi ilmiah yang mengaitkan dengan konsep sains yang sedang dipelajarinya. Pembelajaran sains dapat berekspansi keluar dari sekedar mempelajari pengetahuan menuju ke penggunaan pengetahuan dan keterampilan dalam menyelesaikan masalah-masalah praktis yang dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-sehari. Ketika

keberadaan sains menjadi lebih dekat dengan diri dan kehidupan anak, pembelajaran sainspun akan menjadi menarik dan lebih diminati oleh anak untuk dipelajari. Dari pemikiran di atas, dapat dikemukakan bahwa tantangan pembelajaran sains saat ini adalah perlu menyesuaikan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta dapat mengantisipasi masalah-masalah sosial yang berkaitan dengan sains dan teknologi. Untuk kepentingan itu, pembelajaran sains perlu dikaitkan dengan aspek teknologi dan masyarakat. Pembelajaran yang mengkaitkan sains dengan teknologi dan masyarakat, dikenal dengan pembelajaran dengan pendekatan sains, teknologi dan Masyarakat (STM) atau Science, Technology and Society (STS). Sains merupakan suatu tubuh pengetahuan (body of knowledge) dan proses penemuan pengetahuan. Teknologi merupakan suatu perangkat keras ataupun perangkat lunak yang digunakan untuk memecahkan masalah bagi pemenuhan kebutuhan manusia. Sedangkan masyarakat adalah sekelompok manusia yang memiliki wilayah, kebutuhan, dan norma-norma sosial tertentu. Sains, teknologi dan masyarakat satu sama lain saling berinteraksi (Widyatiningtyas, 2009). Menurut Widyatiningtyas (2009), pendekatan STM dapat menghubungkan kehidupan dunia nyata anak sebagai anggota masyarakat dengan kelas sebagai ruang belajar sains. Proses pendekatan ini dapat memberikan pengalaman belajar bagi anak dalam mengidentifikasi potensi masalah, mengumpulkan data yang berkaitan dengan masalah, mempertimbangkan solusi alternatif, dan mempertimbangkan konsekuensi berdasarkan keputusan tertentu. Pendekatan Sains Teknologi dan Masyarakat (STM) dalam pandangan ilmu-ilmu sosial dan humaniora, pada dasarnya memberikan pemahaman tentang kaitan antara sains teknologi dan masyarakat, melatih kepekaan penilaian peserta didik terhadap dampak lingkungan sebagai akibat perkembangan sains dan teknologi (Poedjiadi, 2005). Menurut Raja (2009), keputusan yang dibuat oleh masyarakat biasanya memerlukan penggunaan teknologi untuk melaksanakannya. Bahkan, masyarakat dan ilmu pengetahuan menggunakan teknologi sebagai sarana untuk menyimpan informasi. Peranan penting yang dimiliki oleh teknologi dapat berfungsi sebagai sarana tindakan dan penyidikan dalam pendekatan STM. Data juga menyiratkan sifat ilmu pengetahuan sebagai sebuah bidang di semua masyarakat. STM berusaha menjembatani antara ilmu dan masyarakat, sehingga ilmu yang diperoleh di bangku sekolah akan sangat terasa manfaatnya apabila diterapkan dalam masyarakat.

Gambar 1. Hungerford, Volk & Ramsey (Galib, 2001) menggambarkan keterkaitan sains, teknologi, dan masyarakat dalam suatu paradigma interaksi

Gambar di atas menunjukkan bahwa sains-teknologi-masyarakat sangat erat keterkaitannya. Dalam hal itu, Dimyati (Galib, 2001) menyatakan bahwa teknologi dan sains tidak pernah terpisah. Karena itu, menurut Hoolbrool, memahami sains hanya sebagai suatu kesatuan konsep-konsep atau prinsip-prinsip, berarti memisahkan sains dari teknologi, dan sains hanya dipandang sebagai ilmu murni ketimbang sebagai mata pelajaran yang dapat diterapkan. Pernyataan tersebut mengandung suatu makna bahwa siswa yang telah belajar konsep-konsep sains perlu didorong untuk menggunakan/menerapkannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, misalnya untuk menghasilkan teknologi dan menjelaskan fenomena/peristiwa-peristiwa alam yang dijumpai. 3. Landasan Pendekatan STM Menurut Rusmansyah (2003) dalam Aisyah (2007), pendekatan STM dilandasi oleh tiga hal penting yaitu: a. Adanya keterkaitan yang erat antara sains, teknologi dan masyarakat. b. Proses belajar-mengajar menganut pandangan konstruktivisme, yang pada pokoknya menggambarkan bahwa anak membentuk atau membangun pengetahuannya melalui interaksinya dengan lingkungan. c. Dalam pengajarannya terkandung lima ranah, yang terdiri atas ranah pengetahuan, ranah sikap, ranah proses sains, ranah kreativitas, dan ranah hubungan dan aplikasi. 4. Tujuan Pembelajaran STM Tujuan dari pendekatan STM ini adalah menghasilkan peserta didik yang cukup memiliki bekal pengetahuan, sehingga mampu mengambil keputusan penting tentang masalah-masalah dalam masyarakat serta mengambil tindakan sehubungan dengan keputusan yang telah diambilnya. Menurut Yager, tujuan pembelajaran STM adalah sebagai berikut: a. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk membandingkan dan mengkontraskan sains dan teknologi serta menghargai bagaimana sains dan teknologi memberikan kontribusi pada pengetahuan dan pengaruh baru. b. Memberikan contoh-contoh dari masa lalu dan sekarang mengenai perubahanperubahan yang sangat besar dalam bidang sains dan teknologi yang dibawa masyarakat, pertambahan ekonomi, dan proses-proses politik. c. Memberikan/menawarkan pandangan global pada hubungan sains dan teknologi pada masyarakat, menunjukkan dampaknya pada pengembangan bangsa dan ekologi bumi. 5. Karakteristik STM Yager (1992), mendefinisikan STM yaitu mencakup tujuan kurikulum, assesmen dan khususnya mengenai pengajaran. Yager dan kawan-kawan mengembangkan pendekatan STM, model yang dikembangkan Yager dan kawan-kawan itu dikenal dengan Model Chautauqua Iowa yang dilaksanakan sejak tahun 1983 yang dikoordinasi oleh NSTA. Pada tahun 1983-1986 Yager dan kawan-kawannya bekerja sama dengan 30-50 guru setiap tahunnya. STM memiliki 11 karakteristik (Yager dalam Sukri, 2000):

a. Identifikasi masalah-masalah setempat/lokal yang memiliki kepentingan dan dampak. b. Penggunaan sumber daya setempat/lokal (manusia dan benda) untuk mencari informasi yang dapat digunakan dalam memecahkan masalah. c. Keikutsertaan yang aktif dari siswa dalam mencari informasi yang dapat diterapkan untuk memecahkan masalah-masalah dalam kehidupan sehari-hari. d. Penambahan/perpanjangan belajar di luar kelas dan sekolah. e. Fokus kepada dampak dari sains dan teknologi terhadap siswa. f. Suatu pandangan bahwa konten sains bukan hanya konsep-konsep yang harus dikuasai siswa dalam tes. g. Penekanan dalam keterampilan proses dimana siswa dapat menggunakannya dalam memecahkan masalah. h. Penekanan pada kesadaran karir yang berkaitan dengan sains dan teknologi. i. Kesempatan bagi siswa untuk mencoba berperan sebagai warga negara atau anggota masyarakat dimana ia mencoba untuk memecahkan isu-isu yang telah diidentifikasi j. Identifikasi dampak sains dan teknologi di masa depan. k. Kebebasan atau otonomi dalam proses belajar. 6. Ranah Pembelajaran STM Menurut Yagger (1994), penilaian terhadap proses pembelajaran yang menggunakan pendekatan STM dapat dilakukan dengan menggunakan lima domain, yaitu: a. Konsep, yang meliputi penguasaan konsep dasar, fakta dan generalisasi. Domain ini memfokuskan pada muatan sains, tujuan-tujuan sains untuk mengelompokkan alam yang teramati ke dalam unit-unit yang teratur untuk studi dan penjelasan hubungan-hubungan fisika dan biologi dari pengajaran sains yang melibatkan siswa belajar konsep-konsep utama dari sains. Domain konsep meliputi fakta-fakta, informasi, hukum-hukum, prinsip-prinsip, penjelasan-penjelasan keberadaan sesuatu dan teori yang digunakan oleh sains. b. Proses, penggunaan proses ilmiah dalam menemukan konsep atau penyelidikan. Proses-proses sains berhubungan dengan bagaimana saintis berpikir dan bekerja, yaitu menggambarkan dimensi sains. Proses-proses sains telah diidentifikasikan oleh The American Association for the Advancement of Science (AAAS) dalam pengembangan Science a Process Approach (1963), yaitu ada 15 keterampilan proses yang meliputi: 1) mengobservasi, 2) menggunakan ruang/waktu, 3) mengklasifikasi, 4) mengelompokkan dan mengorganisasi, 5) menggunakan bilangan, 6) mengkuantifikasi, 7) mengukur, 8) mengkomunikasikan, 9) menginferensi, 10) memprediksikan,

11) mengendalikan dan mengidentifikasi variabel, 12) menginterpretasikan data, 13) merumuskan hipotesis, 14) memberikan definisi secara operasional, 15) melaksanakan eksperimen. c. Aplikasi, penggunaan konsep dan proses dalam situasi yang baru atau dalam kehidupan. Domain ini meliputi mengaplikasikan konsep-konsep dan keterampilan dalam memecahkan masalah sehari-hari, memahami prinsip-prinsip ilmiah dan prinsipprinsip teknologi yang terdapat dalam rumah tangga, menggunakan proses-proses ilmiah dalam memecahkan masalah yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, memahami dan menilai laporan media masa dalam kehidupan sehari-hari, memahami dan menilai laporan media masa mengenai perkembangan pengetahuan, mengambil keputusan yang berhubungan dengan kesehatan pribadi, gaji dan gaya hidup yang didasari oleh pengetahuan konsep-konsep ilmiah daripada emosi, mengintegrasikan sains dengan subjek-subjek lain, mengambil tindakan khusus yang dirancang untuk memecahkan masalah dan atau memberi kontribusi untuk pemecahan masalah yang dihadapi secara lokal, nasional, maupun internasional dan terlibat dalam kegiatankegiatan di masyarakat. d. Kreativitas, pengembangan kuantitas dan kualitas pertanyaan, penjelasan, dan tes untuk memvalidasi penjelasan secara personal. Kemampuan manusia yang terpenting dalam domain ini diantaranya meliputi visualisasi, menghasilkan gambaran mental, menggabungkan objek-objek dan ide-ide dalam cara-cara baru, memecahkan masalah dan teka-teki, memprediksi konsekuensikonsekuensi yang mungkin, menyarankan alasan-alasan yang mungkin, mendesain alat atau mesin, dan menghasilkan ide-ide yang tidak biasa. e. Sikap, mengembangkan perasaan positif dalam sains, belajar sains, guru sains dan karir sains. Domain sikap meliputi pengembangan sikap-sikap terhadap sains pada umumnya, kelas sains, kegunaan belajar sains, dan untuk guru terbentuknya pengembangan sikap-sikap positif terhadap diri sendiri (sikap dapat mengerjakan sesuatu), eksplorasi emosi manusia, mengembangkan kepekaan dan rasa hormat terhadap perasaanperasaan orang lain, mengekspresikan perasaan dengan cara-cara yang konstruktif, mengambil keputusan mengenai nilai-nilai perorangan, mengambil keputusan mengenai isu-isu lingkungan sosial dan mengeksplorasi argumen dalam sudut pandang yang berbeda mengenai isu-isu yang ada. 7. Implementasi pendekatan STM dalam Pembelajaran Model pembelajaran STM yang diajukan oleh Yager meliputi empat fase pembelajaran, yaitu fase invitasi/undangan/inisiasi, eksplorasi, mengusulkan penjelasan dan solusi, dan mengambil tindakan. a. Fase Invitasi Pada Preservice teachers (PSTs), guru melakukan brainstorming dan menghasilkan beberapa kemungkinan topik untuk penyelidikan. Topik dapat bersifat

global atau lokal, tetapi harus merupakan minat siswa dan memberikan wilayah yang cukup untuk penyelidikan bagi siswa. Menurut Aisyah (2007), Apersepsi dalam kehidupan juga dapat dilakukan, yaitu mengaitkan peristiwa yang telah diketahui siswa dengan materi yang akan dibahas. Dengan demikian, tampak adanya kesinambungan pengetahuan, karena diawali dengan hal-hal yang telah diketahui siswa sebelumnya dan ditekankan pada keadaan yang ditemui dalam kehidupan sehari-hari. b. Fase Eksplorasi Pada tahap ini, guru dan siswa mengidentifikasi daerah kritis penyelidikan. Data-data dan informasi dapat dikumpulkan melalui pertanyaan-pertanyaan atau wawancara, kemudian menganalisis informasi tersebut. Data dan informasi dapat pula diperoleh melalui telekomunikasi, perpustakaan dan sumber-sumber dokumen publik lainnya. Dari sumber-sumber informasi, siswa dapat mengembangkan penyelidikan berbasis ilmu pengetahuan untuk menyelidiki isu-isu yang berkaitan dengan masalah ini. Pemahaman tentang hujan asam, misalnya, dilakukan dalam laboratorium untuk menyelidiki sifat-sifat asam dan basa. Penyelidikan ini memberikan pemahaman dasar untuk pengembangan, pengujian hipotesis, dan mengusulkan tindakan (Dass, 1999 dalam Raja, 2009). Menurut Aisyah (2007), tahap kedua ini merupakan proses pembentukan konsep yang dapat dilakukan melalui berbagai pendekatan dan metode. Misalnya pendekatan keterampilan proses, pendekatan sejarah, pendekatan kecakapan hidup, metode demonstrasi, eksperimen di labolatorium, diskusi kelompok, bermain peran dan lainlain. Pada akhir tahap kedua, diharapkan melalui konstruksi dan rekonstruksi siswa menemukan konsep-konsep yang benar atau konsep-konsep para ilmuan. Selanjutnya berbekal pemahaman konsep yang benar siswa melanjutkan analisis isu atau masalah yang disebut aplikasi konsep dalam kehidupan. c. Fase Mengusulkan Penjelasan dan Solusi Pada tahap ini, siswa mengatur dan mensintesis informasi yang mereka telah kembangkan sebelumnya dalam penyelidikan. Proses ini termasuk komunikasi lebih lanjut dengan para ahli di lapangan, pengembangan lebih lanjut, memperbaiki, dan menguji hipotesis mereka, dan kemudian mengembangkan penjelasan tentatif dan proposal untuk solusi dan tindakan. Hasil tersebut kemudian dilaporkan dan disajikan kepada rekan-rekan kelas untuk menggambarkan temuan, posisi yang diambil, dan tindakan yang diusulkan (Dass, 1999 dalam Raja, 2009). Menurut Aisyah (2007), apabila selama proses pembentukan konsep dalam tahap ini tidak tampak, ada miskonsepsi yang terjadi pada siswa, demikian pula setelah akhir analisis isu dan penyelesaian masalah, guru tetap harus melakukan pemantapan konsep melalui penekanan pada konsep-konsep kunci yang penting diketahui dalam bahan kajian tertentu. Hal ini dilakukan karena konsep-konsep kunci yang ditekankan pada akhir pembelajaran akan memiliki retensi lebih lama dibandingkan dengan kalau tidak dimantapkan atau ditekankan oleh guru pada akhir pembelajaran.

d. Fase Mengambil Tindakan Berdasarkan temuan yang dilaporkan dalam fase ketiga, siswa menerapkan temuan-temuan mereka dalam beberapa bentuk aksi sosial. Jika tindakan ini melibatkan masyarakat sebagai pelaksana, misalnya membersihkan daerah berbahaya, anak dapat menghubungi pejabat publik yang dapat mendukung pikiran dan temuan mereka. Anak menyajikan informasi ini kepada rekan-rekan kelas mereka. Proposal ini akan dimasukkan sebagai tindakan follow up (Dass, 1999 dalam Raja, 2009).

Sumber: Carin 1997:74 dan Horsley, 1990: 59

Gambar 2. Sintaks pembelajaran IPA dengan model STM

Dalam pembelajaran dengan pendekatan STM ini banyak metode mengajar yang dapat digunakan guru. Metode yang dapat digunakan misalnya diskusi, bermain peran, studi kasus, eksperimen, survey dan studi lapangan. Penggunaan metode-metode tersebut menekankan pada keterlibatan siswa secara aktif dalam belajar. Untuk mengetahui keberhasilan siswa dengan pendekatan STM tetap diadakan pengujian dan penilaian terhadap siswa. Mungkin pengujian hasil belajar siswa agak sulit pelaksanaannya karena meliputi banyak aspek dan bahkan menyangkut beberapa bidang studi baik sains maupun non-sains. Langkah yang perlu dilakukan dalam penilaian siswa adalah merumuskan tujuan umum dan tujuan khusus. Kemudian merumuskan kelebihan-kelebihan yang akan diperoleh siswa setelah mempelajari suatu topik dalam pendekatan STM itu. Perumusan tujuan hendaknya meliputi 5 domain (konsep, proses, aplikasi, kreativitas, dan sikap). 8. Keunggulan dan Kelemahan Pendekatan STM Menurut Wahyudi, dkk dalam Munawarah (2004 : 7) ada beberapa keunggulan yang dapat diperoleh dari pendekatan Sains Teknologi Masyarakat (STM) yaitu: a. Keunggulan pendekatan STM jika ditinjau dari segi tujuan

Meningkatkan keterampilan inquiry dan pemecahan masalah, di samping keterampilan proses. Menekankan cara belajar yang baik yang mencakup ranah kognitif, afektif dan psikomotorik. Menekankan sains dalam keterpaduan inter dan intra bidang studi. b. Keunggulan pendekatan STM jika ditinjau dari segi pembelajaran menekankan keberhasilan siswa menggunakan berbagai strategi menyadarkan guru bahwa kadang-kadang dirinya tidak selalu berfungsi sebagai sumber informasi. c. Keunggulan pendekatan STM ditinjau dari segi evaluasi ada hubungan antara tujuan, proses dan hasil belajar perbedaan antara kecakapan, kematangan serta latar belakang siswa juga diperhatikan. kualitas efisiensi dan keefektifan serta fungsi program juga dievaluasi. Guru juga termasuk yang dievaluasi usahanya yang terus menerus dalam membantu siswa. Sedangkan kelemahan STM, yaitu: a. Kurangnya bahan pengajaran yang dimiliki guru, sehingga proses pembelajaran tidak berjalan dengan lancar. Disarankan untuk guru memperluas wawasannya dengan banyak membaca buku atau bertanya kepada nara sumber b. Memerlukan sedikit tambahan waktu jika dibandingkan dengan pembelajaran biasa. Oleh karena itu, guru harus merinci secara cermat pembagian waktu pembelajaran agar tidak menyita waktu untuk pokok bahasan lain. c. Dibutuhkan dana tambahan untuk menerapkan model STM dalam pembelajaran, sementara anggaran yang tersedia sangat terbatas, maka harus dicari jalan keluarnya. Beberapa hal yang dapat dijadikan rekomendasi jika hendak menggunakan model pembelajaran STM ini, yaitu: a. Perlu dibuat materi penunjang oleh para pakar yang tersedia sebagai booklets atau leaflets b. Perlu membiasakan berdiskusi dengan teman sejawat guru untuk mencari isu di lapangan c. Model STM yang ideal cukup dilaksanakan sekali dalam satu semester saja melalui topic yang sesuai d. Kaitan antara STM perlu sering dikemukakan pada peserta didik. 9. Problematika Pendekatan STM dalam Pembelajaran Mitchener & Anderson (1989) dalam Raja (2009), melaporkan hasil penelitian tentang perspektif guru dalam penyusunan dan pelaksanaan sebuah pembelajaran dengan pendekatan STM bahwa guru memiliki hambatan dalam penerapan pendekatan ini dan menunjukkan kekhawatiran berupa concerns over (kekhawatiran), discomfort with grouping (ketidaknyamanan dengan pengelompokan), uncertainties about evaluation (ketidakpastian tentang evaluasi), and confusion over the teachers role (kebingungan

peran guru), waktu, biaya, kompetensi guru, dan komunikasi dengan stakeholder. Hasilhasil temuan tersebut akan berguna dalam menyelenggarakan program pengembangan guru. a. Concerns over (kekhawatiran) Kekhawatiran terhadap konten dapat terjadi karena persentasi waktu yang rendah bagi peran guru dalam transfer pengetahuan kepada anak. Guru lebih banyak berperan dalam mengarahkan pengetahuan anak pada upaya penemuan masalah dan konseptualisasi berdasarkan disiplin ilmu. Penanaman konsep lebih banyak dilakukan pada momen-momen tertentu secara tepat, sehingga memiliki tingkat retensi yang lebih lama. b. Discomfort with grouping (ketidaknyamanan dengan pengelompokan) Bagi sekolah dengan populasi siswa yang tinggi dalam kelas, dapat menjadi masalah tersendiri bagi guru. Jika kelompok yang dibentuk dalam kelas banyak, guru akan kewalahan dalam pendampingan kelompok dan pembimbingan kajian masalah. Sedangkan ketika kelompok dikurangi (populasi dalam kelompok tinggi) konsekuensinya dapat terjadi peran yang tidak efektif bagi anak. Sehingga penggunaan pendekatan STM, harus dirancang untuk melibatkan pihak lain dalam proses pembelajaran. c. Confusion over the teachers role (kebingungan peran guru), Kompetensi guru sangat penting dalam pembelajaran STM, terutama dalam penguasaan materi inti, problem solving dan hubungan interpersonal. Umumnya guru belum memiliki pengetahuan yang baik tentang pendekatan STM sehingga penerapan pendekatan ini masih sangat jarang ditemukan. Selain itu, paradigma guru dalam menginterpretasikan dan mengembangkan kurikulum, masih berbasis konten sehingga guru merasa dituntut untuk menyampaikan materi tepat pada waktunya dan lupa berinovasi dalam pembelajaran (Aisyah, 2007). d. Waktu, biaya, kompetensi guru, dan komunikasi dengan stakeholder (orang tua, masyarakat, dan birokrat). Waktu merupakan faktor penting untuk menentukan materi-materi apa yang akan diajarkan pada siswa. Pelaksanaan seluruh fase pembelajaran pada konten tertentu, kadang-kadang membutuhkan waktu yang panjang sehingga memerlukan analisa yang baik untuk memilih dan mengalokasikan waktu untuk implementasinya. Siswa membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mengumpulkan data dari narasumber secara mendetail. Oleh karena itu, siswa harus kerjasama dengan baik antar anggota kelompok agar data yang diperoleh dapat maksimal. Beberapa sekolah memilih waktu di sore hari atau jalur ekstrakurikuler untuk penerapan STM agar tidak terganggu dengan aktivitas belajar yang lain. Bahkan, gelar kasus (show case) yang dilanjutkan dengan refleksi diri, biasanya dilaksanakan pada akhir semester (Aisyah, 2007). Biaya merupakan faktor yang penting dalam implementasi STM. Biaya dibutuhkan untuk mendukung pelaksanaan pembelajaran dengan pendekatan STM dari mulai identifikasi masalah, sampai pelaksanaan gelar kasus (show case). Umumnya, pihak sekolah belum mengalokasikan biaya untuk kegiatan pembelajaran STM. Oleh karena itu, pihak sekolah khususnya hendaknya memberi dorongan moril

maupun materil untuk terselenggaranya penerapan STM ini. Dalam hal dorongan materil, dapat dirintis pembiayaan penerapan metode ini secara swadaya (Aisyah, 2007). Menurut Aisyah (2007), hambatan lain dalam penerapan pendekatan ini adalah siswa belum terbiasa untuk berpikir kritis dan belajar mengambil pengalaman di lapangan, sehingga dibutuhkan kesabaran dan ketekunan guru untuk mengarahkan dan membimbing siswa dalam pembelajaran. Untuk menerapkan pendekatan ini, peranan guru dimulai dari perencanaan pengajaran, pengelola pengajaran, penilai hasil belajar, motivator dan pembimbing. Pendekatan STM menuntut kompetensi pedagogik, kompetensi professional, kompetensi sosial dan kompetensi kepribadian yang baik. Kerja sama antara sekolah dengan lembaga-lembaga terkait diperlukan pada saat siswa merencanakan untuk mengunjungi lembaga tertentu atau meninjau kawasan yang menjadi tanggung jawab lembaga tertentu. Misalnya mengunjungi rumah sakit daerah, observasi pada pabrik produk bahan makanan dan sebagainya. Untuk kelancaran kegiatan, anak perlu dibekali surat pengantar dari sekolah, atau sekolah melakukan pemrosesan izin ke lembaga yang terkait sebelum kegiatan dilaksanakan. Selain itu, komunikasi dengan orang tua perlu diintensifkan. Orang tua perlu diberi pemahaman sehingga seluruh aktivitas anak yang menyita waktu dapat dimaklumi atau mendapat support dari orang tua (Aisyah, 2007). 10. Hubungan Antara Model Pembelajaran STM dengan LIFE SKILL Kecakapan hidup diperkenalkan pada masyarakat bersamaan dengan pelaksanaan kurikulum 2004 sehingga seolah-olah pendekatan ini baru dalam pelaksanaannya, padahal telah ada sebelumnya. Di dalam model pembelajaran STM ada suatu metode yang mendukung life skill yaitu metode proyek. Metode ini telah dikembangkan sejak tahun 70an yang melatih siswa untuk kreatif dalam memilih, merancang, dan memanipulasi alat untuk menghasilkan suatu produk yang berkaitan dengan konsep-konsep yang telah diberikan pada siswa. Disebutkan dalam model pembelajaran STM bahwa semua individu mempunyai kalbu dan ratio yang merupakan dasar untuk melakukan suatu sikap tindakan nyata. Yang dimaksud dengan tindakan nyata adalah harapan akan terbentuknya kecakapan hidup siswa setelah diberikan suatu pembelajaran dengan menggunakan model STM.

Kesimpulan 1. Pendekatan STM pada hakekatnya dimaksudkan untuk menjembatani kesenjangan antara kemajuan iptek, membanjirnya informasi ilmiah dalam dunia pendidikan, dan nilai-nilai iptek itu sendiri dalam kehidupan siswa sehari-hari sebagai anggota masyarakat. 2. Implementasi pendekatan STM, dapat dilakukan melalui empat fase yaitu invitasi, eksplorasi, mengusulkan penjelasan dan solusi, dan mengambil tindakan. 3. Problematika dalam penerapan pendekatan dapat berupa concerns over (kekhawatiran), discomfort with grouping (ketidaknyamanan dengan pengelompokan), uncertainties

about evaluation (ketidakpastian tentang evaluasi), and confusion over the teachers role (kebingungan peran guru), waktu, biaya, kompetensi guru, dan komunikasi dengan stakeholder. DAFTAR PUSTAKA http://www.sarjanaku.com/2011/03/pendekatan-stm-sains-teknologi.html http://biologipedia.blogspot.com/2010/05/stm.html Makalah Pendidikan Disampaikan dalam Perkuliahan Pengembangan Bahan Ajar Biologi Sekolah Lanjutan di Sekolah Pascasarjana UPI Tahun 2007

You might also like