You are on page 1of 21

1 PERANAN KECERDASAN EMOSIONAL TERHADAP PEMULIHAN DIRI DARI TRAUMA KEMATIAN ORANGTUA PADA REMAJA YATIM PIATU DI ISTANA

ANAK YATIM BATU LICIN KALIMANTAN SELATAN Asmiani Fawziah Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat Adolescence are storm and stress period, there are many psychological events in the period, such as lost their parents. The negative impact of lost parent events that caused by death parents is trauma. One way to treat the death parents trauma is self healing. Self healing are influenced by external and internal conditions of individuals, such as emotional intelligence. Factors that may affect to the self healing are age and gender. The purpose of this study were to determine the role of emotional intelligence to self healing of death parents trauma and to know the differences of self healing trauma based on age and gender. Subjects were orphaned teenagers who have experienced trauma as many as 100 people (consisting of 50 men and 50 women aged 12-16 years and 17-20 years). Methods of data collection were used emotional intelligence scale, self healing scale and trauma

questionnaire. Data analysis were done by regression and ANOVA with two pathways analysis. Based on data analysis from regression test was known that there was the role of emotional intelligence to self healing of death parents trauma with effective contribution was 80.2% . The results of ANOVA with two pathways analysis to show the value of Fcount > Ftable (4.030> 3.935), that means there were differences of self healing trauma both men and women, where the self healing in men better than in women. In addition, the self healing trauma in subjects age 17-20 years better than in subjects age 12-16 years with the value Fcount> Ftable (3.937> 3.935). R Squared value is 0.074 explains that there was an interaction variable of age and gender to self healing of death parents trauma is equal to 7.4%. Keywords: Emotional intelligence, self healing, death parents trauma, teens.

2 Masa remaja adalah masa badai dan stres, banyak terjadi peristiwa psikologis pada masa tersebut, salah satunya kehilangan orangtua. Dampak negatif dari peristiwa kehilangan orangtua yang disebabkan kematian adalah trauma. Salah satu cara untuk mengatasi trauma kematian orangtua adalah melakukan pemulihan diri. Pemulihan diri dari trauma dipengaruhi oleh kondisi eksternal dan internal individu, salah satunya kecerdasan emosional. Faktor yang mungkin mempengaruhi pemulihan diri dari trauma adalah usia dan jenis kelamin. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peranan kecerdasan emosional terhadap pemulihan diri dari trauma kematian orangtua dan mengetahui perbedaan pemulihan diri dari trauma kematian orangtua ditinjau berdasarkan usia dan jenis kelamin. Subjek dalam penelitian ini adalah remaja yatim piatu yang pernah mengalami trauma sebanyak 100 orang (terdiri dari 50 laki-laki dan perempuan dengan usia 12-16 tahun dan 17-20 tahun). Metode pengumpulan data adalah menggunakan skala kecerdasan emosional, skala pemulihan diri dan kuesioner trauma. Analisis data dilakukan dengan teknik uji regresi dan anova dua jalur. Berdasarkan analisis data dari uji regresi diketahui bahwa ada peranan kecerdasan emosional terhadap pemulihan diri dari trauma kematian orangtua dengan sumbangan efektif sebesar 80,2 %. Hasil uji analisis varians dua jalur nilai Fhitung > Ftabel (4,030 > 3,935) artinya ada perbedaan pemulihan diri dari trauma kematian orangtua antara laki-laki dan perempuan, dimana pemulihan diri laki-laki lebih baik daripada perempuan. Selain itu, pemulihan diri pada subjek usia 17-20 tahun lebih baik daripada subjek usia 12-16 tahun dengan nilai Fhitung > Ftabel (3,937 > 3,935). Nilai R Squared sebesar 0,074 menjelaskan bahwa ada interaksi variabel usia dan jenis kelamin terhadap pemulihan diri dari trauma kematian orangtua yaitu sebesar 7,4 %.

Kata Kunci : Kecerdasan emosional, pemulihan diri, trauma kematian orangtua, remaja.

3 Remaja adalah harapan baik bagi orangtua, bangsa maupun negara yang memiliki peranan penting untuk pembangunan bangsa Indonesia di masa depan. Masa remaja adalah masa badai dan stres, banyak terjadi peristiwa psikologis pada masa tersebut (Santrock, 2002), salah satunya adalah peristiwa kehilangan orangtua. Orangtua mempunyai peranan penting bagi kehidupan remaja. Kehilangan orangtua dapat disebabkan oleh faktor perceraian, ekonomi, dan kematian yang akan berdampak bagi remaja yang ditinggalkan. Studi pendahuluan di Istana Anak Yatim Batu Licin, berdasarkan hasil wawancara dengan pengelola Istana Anak Yatim Batu Licin menyatakan bahwa remaja yatim piatu ketika pertama kali datang menunjukkan ekspresi mengalami kesedihan, sering termenung dan malas melakukan aktivitas (Fawziah, 2011). Hasil penelitian Bruce (2002) menyebutkan bahwa dampak negatif dari peristiwa kehilangan orangtua yang disebabkan kematian adalah mengalami kesedihan, grief (perasaan sedih mendalam yang menimbulkan keputusasaan) dan trauma. Antony & Barlow (2002) menyebutkan bahwa kematian orangtua adalah salah satu faktor risiko terjadinya trauma. Trauma dapat mengakibatkan remaja menjadi depresi dan berpengaruh pada kehidupan pribadinya (APA, 2000). Salah satu cara untuk mengatasi trauma kematian orangtua agar tidak menimbulkan dampak negatif bagi individu adalah melakukan pemulihan diri. Pemulihan diri dari trauma kematian orangtua adalah pemulihan diri secara integritas akibat peristiwa kematian orangtua yang terjadi pada individu (Mollica, 2006). Pemulihan diri dari trauma dipengaruhi oleh kondisi ekternal dan internal individu. Kondisi eksternal dipengaruhi oleh dukungan sosial (Ginanjar, 2009). Sementara itu, kondisi internal dipengaruhi oleh tiga macam faktor kecerdasan yang dimiliki setiap individu, yaitu kecerdasan intelektual, kecerdasan spiritual dan kecerdasan emosional (Agustian, 2002). Kecerdasan emosional adalah bagian dari aspek personal yang dimiliki oleh setiap individu yang berbeda antara satu individu dengan individu yang lainnya. Kecerdasan

4 emosional menjadi titik berat dalam penelitian ini karena kecerdasan emosional sangat penting untuk proses perkembangan individu (Goleman, 2002). Individu yang memiliki kecerdasan emosional tinggi dapat mengontrol dan mengatur emosi dengan baik sehingga akan menjadi pribadi yang dapat menyelesaikan permasalahan, menjadi pribadi yang efektif untuk meraih tujuan dan akan meningkatkan produktifitas terhadap sesama (Patton, 2000). Faktor yang mungkin mempengaruhi pemulihan diri dari trauma adalah usia dan jenis kelamin. Perbedaan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan juga menimbulkan perbedaan dalam perilaku, terutama dalam mengontrol emosi dan pemecahan masalah (Yuniarrahmah, 2009). Sejalan dengan Yuniarrahmah, usia dan jenis kelamin mempengaruhi kematangan individu dalam menyelesaikan masalah (Papalia, Olds & Feldman, 2007). Selain itu, Santrock (2002) juga mengemukakan bahwa kemampuan mengontrol dan mengatur emosi pada perempuan lebih baik daripada laki-laki. Berdasarkan penjelasan yang telah disebutkan sebelumnya, yang menjadi pertanyaan pada penelitian yaitu (1) apakah ada peranan kecerdasan emosional terhadap pemulihan diri dari trauma kematian orangtua pada remaja yatim piatu di Istana Anak Yatim Batu Licin Kalimantan Selatan? (2) apakah ada perbedaan pemulihan diri dari trauma kematian orangtua antara remaja yatim piatu usia 12-16 tahun dan 17-20 tahun di Istana Anak Yatim Batu Licin Kalimantan Selatan? (3) apakah ada perbedaan pemulihan diri dari trauma kematian orangtua antara remaja yatim piatu laki-laki dan perempuan di Istana Anak Yatim Batu Licin Kalimantan Selatan? (4) apakah ada interaksi antara usia dan jenis kelamin terhadap pemulihan diri dari trauma kematian orangtua pada remaja yatim piatu di Istana Anak Yatim Batu Licin Kalimantan Selatan?. Pemulihan Diri dari Trauma Kematian Orangtua Pemulihan diri pertama kali dikemukakan oleh seorang psikiater muda Amerika Abram Kardiner pada tahun 1922. Abram Kardiner mengemukakan bahwa pemulihan diri

5 perlu dilakukan agar mencegah dan mengatasi dampak yang ditimbulkan oleh trauma. Kardiner menyebutkan bahwa pemulihan diri adalah proses rekonstruksi psikologis dari kejadian ekternal yang mengakibatkan trauma (dalam Herman, 1977). Pemulihan diri adalah proses perbaikan diri secara integritas akibat peristiwa eksternal individu (Mollica, 2006). Pemulihan diri adalah proses pemulihan diri secara internal dan integritas dari peristiwa eksternal yang terjadi pada individu. Trauma kematian orangtua adalah luka batin
yang terjadi pada individu akibat suatu peristiwa kematian orangtua sehingga muncul efek negatif. Jadi pemulihan diri dari trauma kematian orangtua adalah proses pemulihan diri secara internal dan integritas dari peristiwa kematian orangtua yang terjadi pada individu.

Aspek pemulihan diri (Ginanjar, 2009) adalah (1) Keyakinan agama, hal terpenting yang membantu individu untuk mampu melewati masa-masa sulit akibat trauma psikologis adalah keyakinan agama. (2) Kondisi internal, kondisi internal mempengaruhi dalam proses pemulihan diri dari trauma individu. Kondisi internal seperti efikasi diri, motivasi dan karakteristik kepribadian serta kecerdasan-kecerdasan yang dimiliki oleh individu : kecerdasan intelektual, kecerdasan spiritual dan kecerdasan emosional. (3) Dukungan sosial, pada bulan-bulan pertama setelah peristiwa terjadi, dukungan sosial dari sahabat dan keluarga sangat membantu individu dalam menghadapi gejolak emosi. (4) Kegiatan aktualisasi diri, proses pemulihan diri dari trauma difasilitasi oleh adanya kegiatan-kegiatan yang merupakan sarana aktualisasi diri. Duncan (2004) mengemukakan aspek penting dalam proses pemulihan diri adalah (1) Memiliki motivasi internal bahwa peristiwa traumatik itu harus dipulihkan. (2) Melakukan kegiatan kegiatan yang membuat peristiwa traumatik dapat dilupakan. (3) Melakukan relaksasi diri. Mollica (dalam Wall, 2008) menyebutkan bahwa proses pemulihan diri ditentukan oleh sumber trauma dan tingkatan trauma yang dialami individu. Keane dan Thomas (dalam Daniel, Stauser & Pamela, 2006) menyebutkan bahwa kemampuan seseorang untuk mengatasi

6
menyingkap peristiwa traumatik dipengaruhi oleh kondisi eksternal dan internal. Kondisi ekternal seperti dukungan sosial, lingkungan, sumber trauma dan intensitas trauma. Kondisi

internal seperti kepribadian, fungsi kognitif, ada tidaknya kondisi psikologis sebelumnya ,
kapasitas perilaku, kecerdasan yang dimiliki oleh individu. Kecerdasan yang mempengaruhi proses pemulihan diri adalah kecerdasan intelektual, spiritual dan emosional.

Kecerdasan Emosional Patton (2000) memberi definisi mengenai kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk menggunakan emosi secara efektif untuk mencapai tujuan membangun produktif dan meraih keberhasilan. Salovey (dalam Goleman, 2002) menyebutkan kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang untuk mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati) dan kemampuan untuk membina hubungan (kerjasama) dengan orang lain. Jadi, dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang dalam menggunakan emosinya secara tepat dan efektif untuk meraih keberhasilan dan mencapai tujuan yang produktif. Salovey (dalam Goleman, 2002) menempatkan kecerdasan pribadi Gardner dalam definisi dasar tentang kecerdasan emosional yang dicetuskannya dan memperluas kemampuan tersebut menjadi lima kemampuan utama, yaitu : a. Mengenali Emosi Diri Mengenali emosi diri sendiri merupakan suatu kemampuan untuk mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Kemampuan ini merupakan dasar dari kecerdasan emosi, para ahli psikologi menyebutkan kesadaran diri sebagai metamood, yakni kesadaran seseorang akan emosinya sendiri. Kesadaran diri memang belum menjamin penguasaan emosi, namun merupakan salah satu prasyarat penting untuk mengendalikan emosi sehingga individu mudah menguasai emosi. b. Mengelola Emosi

7 Mengelola emosi merupakan kemampuan individu dalam menangani perasaan agar dapat terungkap dengan tepat atau selaras, sehingga tercapai keseimbangan dalam diri individu. Menjaga agar emosi yang merisaukan tetap terkendali merupakan kunci menuju kesejahteraan emosi. c. Memotivasi Diri Sendiri Kecerdasan emosi harus dilalui dengan dimilikinya motivasi dalam diri individu, yang berarti memiliki ketekunan untuk menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati, serta mempunyai perasaan motivasi yang positif, yaitu antusianisme, gairah, optimis dan keyakinan diri. d. Mengenali Emosi Orang Lain Kemampuan untuk mengenali emosi orang lain disebut juga empati. Kemampuan seseorang untuk mengenali orang lain atau peduli, menunjukkan kemampuan empati seseorang. e. Membina Hubungan Kemampuan dalam membina hubungan merupakan suatu keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan antar pribadi. Keterampilan dalam berkomunikasi merupakan kemampuan dasar dalam keberhasilan membina hubungan. Goleman (2002) menyebutkan faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi yaitu lingkungan keluarga dan lingkungan non-keluarga (masyarakat). Walgito (2002) membagi faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi menjadi dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. 1. Faktor internal adalah apa yang ada dalam diri individu yang mempengaruhi kecerdasan emosinya. Faktor internal ini memiliki dua sumber yaitu segi jasmani (fisik) dan segi psikologis.

8 2. Faktor eksternal adalah stimulus dan lingkungan dimana kecerdasan emosi berlangsung. Faktor eksternal meliputi: 1) Stimulus itu sendiri, kejenuhan stimulus merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan seseorang dalam memperlakukan kecerdasan emosi tanpa distorsi dan 2) Lingkungan atau situasi khususnya yang melatarbelakangi proses kecerdasan emosi. Objek lingkungan yang melatarbelakangi merupakan kebulatan yang sangat sulit dipisahkan. Peranan Usia terhadap Pemulihan Diri dari Trauma Kematian Orangtua Soemanto (2003) memasukkan usia ke dalam salah satu aspek yang mempengaruhi perkembangan individu dan bertambahnya usia individu akan menumbuhkan kapasitas pribadinya untuk mengatasi suatu persoalan. Proses pemulihan diri dari trauma kematian orangtua pada remaja yatim piatu dipengaruhi oleh kondisi internal (Keane & Thomas, dalam Daniel, Stauser & Pamela, 2006). Kondisi internal dipengaruhi oleh kecerdasan emosional. Selain itu, kondisi internal juga dipengaruhi oleh usia (Papalia, Olds & Feldman, 2007). Usia mempengaruhi kematangan individu dalam menyelesaikan masalah (Papalia, Olds & Feldman, 2007). Semakin bertambah usia individu, maka semakin matang juga fungsi-fungsi fisiologis dan akan diikuti oleh semakin berkembangannya fungsi-fungsi psikologis terutama dalam mengatur emosi dan proses penyelesaian masalah (Yuniarrahmah, 2009). Peranan Jenis Kelamin terhadap Pemulihan Diri dari Trauma Kematian Orangtua Jenis kelamin mengacu pada dimensi biologis sebagai laki atau perempuan. Proses pemulihan diri dari trauma kematian orangtua pada remaja yatim piatu dipengaruhi oleh kondisi internal (Keane & Thomas, dalam Daniel, Stauser & Pamela, 2006). Kondisi internal dipengaruhi oleh kecerdasan emosional. Selain itu, kondisi internal juga dipengaruhi oleh jenis kelamin (Papalia, Olds & Feldman, 2007).

9 Jenis kelamin mempengaruhi kematangan individu dalam menyelesaikan masalah (Papalia, Olds & Feldman, 2007). Perbedaan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan juga menimbulkan perbedaan dalam perilaku, terutama dalam mengontrol emosi dan pemecahan masalah (Yuniarrahmah, 2009). Selain itu, Santrock (2002) juga mengemukakan bahwa kemampuan mengontrol dan mengatur emosi pada perempuan lebih baik daripada laki-laki. Peranan Kecerdasan Emosional terhadap Pemulihan Diri dari Trauma Kematian Orangtua pada Remaja Yatim Piatu Kematian orangtua merupakan contoh peristiwa yang berhubungan dengan gejala trauma (APA, 2000). Gejala trauma dapat diatasi dengan pemulihan diri agar trauma yang
dialami tidak berkepanjangan dan tidak menimbulkan efek yang negatif pada kehidupan individu. Gejala trauma dapat terjadi pada siapa saja, baik itu anak, remaja, ataupun dewasa. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Andrykowski, Cardova & Miller (2008) mengatakan bahwa

gejala trauma yang terjadi pada anak dan remaja lebih mengkhawatirkan daripada gejala trauma
yang terjadi pada dewasa jika ditinjau dari dampak yang ditimbulkan oleh gejala trauma tersebut.

Gejala trauma dapat mempengaruhi kondisi internal individu (Andrykowski, Cardova & Miller, 2008). Salah satu faktor yang mempengaruhi pemulihan diri dari trauma adalah kondisi internal (Keane & Thomas, dalam Daniel, Stauser & Pamela, 2006). Kondisi internal individu dipengaruhi tiga aspek kecerdasan, salah satunya kecerdasan emosional (Agustian, 2002). Kondisi internal juga dipengaruhi oleh usia dan jenis kelamin (Papalia, Olds & Feldman, 2007). Usia dan jenis kelamin mempengaruhi kematangan individu dalam menyelesaikan masalah (Papalia, Olds & Feldman, 2007). Semakin bertambah usia individu, maka semakin matang juga fungsi-fungsi fisiologis dan akan diikuti oleh semakin berkembangannya fungsi-fungsi psikologis terutama dalam mengatur emosi dan proses penyelesaian masalah. Perbedaan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan juga

menimbulkan perbedaan dalam perilaku, terutama dalam mengontrol emosi dan pemecahan

10 masalah (Yuniarrahmah, 2009). Selain itu, Santrock (2002) juga mengemukakan bahwa kemampuan mengontrol dan mengatur emosi pada perempuan lebih baik daripada laki-laki.
Berdasarkan penjelasan yang telah disebutkan sebelumnya, maka ada peranan kecerdasan emosional terhadap pemulihan diri dari trauma kematian orangtua dan ada perbedaan pemulihan diri dari trauma kematian orangtua jika ditinjau dari usia dan jenis kelamin.

Usia Kecerdasan Emosional Pemulihan Diri dari Trauma Kematian Orangtua Jenis Kelamin Gambar 1 : Kerangka Pemikiran Mengenai Peranan Kecerdasan Emosional terhadap Pemulihan Diri dari Trauma Kematian Orangtua Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan empat variabel yaitu kecerdasan emosional sebagai variabel bebas, pemulihan diri dari trauma kematian orangtua sebagai variabel terikat, usia dan jenis kelamin sebagai variabel moderator. Populasi penelitian adalah remaja yatim piatu. Sampel penelitian adalah remaja yatim piatu di Istana Anak Yatim Batu Licin Kalimantan Selatan yang diambil menggunakan teknik purposive random sampling dengan karakteristik laki-laki atau perempuan berusia 12 20 tahun yang ayah dan ibunya meninggal dunia dan pernah mengalami trauma kematian orangtua yang diukur melalui kriteria diagnosis gejala trauma DSM IV-TR. Data penelitian dikumpulkan lewat instrumen pengumpulan data berupa skala kecerdasan emosional untuk data primer yang mengukur kecerdasan emosional, skala pemulihan diri dari trauma kematian orangtua untuk data primer yang mengukur pemulihan diri dari trauma kematian orangtua, dan kuesioner trauma kematian orangtua untuk mengetahui apakah subjek penelitian pernah mengalami trauma atau tidak.

11 Skala kecerdasan emosional dan skala pemulihan diri dari trauma kematian orangtua diuji validitasnya menggunakan teknik analisis corrected item-total correlation dan uji reliabilitas menggunakan teknik alpha cronbach. Hasil uji analisis validitas skala kecerdasan emosional diperoleh 42 butir aitem valid dari jumlah 60 butir aitem semula, dengan koefisien korelasi aitem totalnya berkisar antara rbt = 0,213 sampai dengan rbt = 0,462 dan hasil uji reliabilitas skala menunjukkan alpha sebesar 0,870. Sementara itu, hasil uji validitas skala pemulihan diri dari trauma kematian orangtua diperoleh 40 butir aitem valid dari jumlah 60 butir aitem semula, dengan koefisien korelasi aitem totalnya berkisar antara rbt = 0,229 sampai dengan rbt = 0,539 dan hasil uji reliabilitas skala menunjukkan alpha sebesar 0,876. Untuk lebih memperkuat validitas dan reliabilitas alat ukur, peneliti menggunakan analisis faktor alat ukur pada kedua skala. Hasil analisis faktor skala kecerdasan emosional menunjukkan Bartletts Test of Sphericity signifikan pada taraf 0,000 (< 0,5), dan pengukuran ketepatan Kaiser-Meyer-Olkin (KMO) = 0,711 (> 0,7) dengan Persentasi komulatif varians = 63,162 % (< 60 %). Hasil analisis faktor skala pemulihan diri dari trauma kematian orangtua menunjukkan Bartletts Test of Sphericity signifikan pada taraf 0,000 (<0,5), dan pengukuran ketepatan Kaiser-Meyer-Olkin (KMO) = 0,741 (>0,7) dengan Persentasi komulatif varians = 61,617 % (<60 %). Hasil analisis menunjukkan bahwa skala kecerdasan emosional dan skala pemulihan diri dari trauma kematian orangtua memang berdasarkan dari komponen yang unidimensional faktor-faktor yang terbentuk pada hasil analisis faktor ini memang terdiri dari indikator-indikator penyusunnya, dan tidak benar-benar terpisah satu dengan lainnya. Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah analisis regresi linear sederhana dan analisis varians dua jalur dengan menggunakan SPSS versi 19 for Windows. Analisis regresi digunakan untuk mengukur peranan kecerdasan emosional terhadap pemulihan diri dari trauma kematian orangtua. Analisis varians dua jalur digunakan untuk mencari perbedaan pemulihan diri dari trauma kematian orangtua berdasarkan usia dan jenis kelamin.

12 Hasil Penelitan Subjek pada penelitian ini adalah 300 subjek dengan rincian dapat dilihat pada tabel 1. Berdasarkan hasil kuesioner, dari 196 remaja yang mengisi kuesioner secara lengkap hanya 143 remaja yang pernah mengalami trauma. 143 remaja tersebut kemudian dipilih secara random untuk menjadi subjek penelitian. Subjek pada penelitian ini adalah remaja yatim piatu di Istana Anak Yatim Batu Licin Kalimantan Selatan yang terdiri dari 50 orang laki-laki dan 50 orang perempuan yang berusia antara 12-20 tahun dan pernah mengalami trauma kematian orangtua yang diukur melalui kuesioner trauma dari DSM IV TR APA Edition. Tabel 1 : Rincian Subjek Penelitian No 1 2 Kategori Subjek Mengisi Uji Coba Alat Ukur Mengisi Kuesioner Trauma Jumlah Skala yang dibagikan 100 200 300 Skala yang terisi lengkap 90 196 284

No 1 2

Tabel 2 : Jumlah Subjek yang Pernah Mengalami Trauma Tidak Pernah Trauma Pernah Trauma Usia Laki-Laki Perempuan Laki-Laki Perempuan 12-16 tahun 11 12 31 43 17-20 tahun 13 17 32 37 24 29 63 80 Jumlah 53 143

Jumlah 97 99 196

Sebelum melakukan uji statistik data penelitian, peneliti melakukan norma kategorisasi subjek skor kecerdasan emosional dan pemulihan diri dari trauma kematian orangtua. Hasil norma kategorisasi untuk skala kecerdasan emosional adalah pada tabel 3 dan untuk skala pemulihan diri dari trauma kematian orangtua adalah pada tabel 4. Tabel 3. Kategorisasi Skala Kecerdasan Emosional N o 1 2 3 4 5 Kategori X 94,5 94,4 < 115,5 115,5 < X 136,5 136,5 < X 157,5 157,5 < X Jumlah Tingkat Sangat Rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi Laki-Laki 12-16 17-20 0 0 1 2 15 10 7 13 2 0 25 25 Perempuan 12-16 17-20 1 0 3 3 16 18 5 4 0 0 25 25 Jmlh 1 9 59 29 2 100

(%) 1 9 59 29 2 100

13

N o 1 2 3 4 5

Tabel 4. Kategorisasi SkalaPemulihan Diri dari Trauma Kematian Orangtua Laki-Laki Perempuan Kategori Tingkat Jmlh (%) 12-16 17-20 12-16 17-20 Sangat Rendah 0 0 1 0 1 1 X 90 Rendah 3 2 3 0 8 8 90 < 110 Sedang 11 12 15 10 48 48 110 < X 130 Tinggi 8 9 6 11 34 34 130 < X 150 150 < X Sangat Tinggi 3 2 0 4 9 9 Jumlah 25 25 25 25 100 100 Setelah melakukan kategorisasi subjek, peneliti melakukan uji asumsi dasar yaitu uji

normalitas, uji linearitas dan uji homogenitas. Hasil uji normalitas menunjukkan nilai signifikansi untuk seluruh variabel lebih besar dari 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa populasi data kecerdasan emosional, pemulihan diri dari trauma kematian orangtua, jenis kelamin dan usia berdistribusi normal. Hasil uji linearitas menunjukkan nilai signifikansi sebesar 0,000, karena signifikansi kurang dari 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa antara variabel pemulihan diri dan kecerdasan emosional terdapat hubungan yang linear. Hasil uji homogenitas menunjukkan signifikansi variabel kecerdasan emosional dan pemulihan diri dari trauma kematian orangtua > 0,05 sehingga data adalah homogen. Pada penelitian ini, uji regresi linear sederhana dilakukan untuk mengetahui peranan kecerdasan emosional terhadap pemulihan diri dari trauma kematian orangtua. Berdasarkan tabel 5, dapat diketahui persamaan regresinya yaitu Y = 3,267 + 0,935X. Tabel 5. Hasil Uji Regresi Linear Sederhana Model Konstanta Kecerdasan Emosi Beta 3,267 0,935 t 0,528 19,929 Signifikansi 0,000 0,000

Berdasarkan persamaan regresi tersebut, artinya : Pertama, konstanta sebesar 3,267, artinya jika kecerdasan emosional (X) nilainya adalah 0, maka pemulihan diri (Y) nilainya sebesar 3,267. Kedua, koefisien regresi variabel kecerdasan emosional (X) sebesar 0,935, artinya jika kecerdasan emosional mengalami kenaikan 1, maka pemulihan diri akan

14 mengalami peningkatan sebesar 0,935. Ketiga, koefisien bernilai positif artinya terjadi hubungan positif antara kecerdasan emosional dengan pemulihan diri dari trauma kematian orangtua, semakin tinggi kecerdasan emosional maka semakin tinggi pula pemulihan diri dari trauma kematian orangtua atau semakin rendah kecerdasan emosional maka semakin rendah pula pemulihan diri dari trauma kematian orangtua. Berdasarkan tabel 5, thitung > ttabel (19,929 > 1,984) sehingga Ho ditolak yang artinya ada peranan kecerdasan emosional secara signifikan terhadap pemulihan diri dari trauma kematian orangtua dengan sumbangan efektif kecerdasan emosional terhadap pemulihan diri dari trauma kematian orangtua mempunyai peranan sebesar 80,2 %. Tabel 6. Hasil Uji Analisis Varians Dua Jalur Variabel F Usia Jenis Kelamin 3,937 4,030 R Square : 0,074 Usia x Jenis Kelamin 4,341

Dalam penelitian ini uji anova dua jalur digunakan untuk mengetahui perbedaan skor pemulihan diri jika dilihat berdasarkan usia dan jenis kelamin. Hasil uji analisis varians dua jalur pada tabel 6 dari tabel usia menunjukkan hasil uji perbedaan (uji F) yaitu nilai Fhitung > Ftabel, sehingga ada perbedaan yaitu 3,937 > 3,935. Pada variabel jenis kelamin menunjukkan hasil uji perbedaan (uji F) yaitu nilai Fhitung > Ftabel, sehingga ada perbedaan yaitu 4,030 > 3,935. Interaksi usia dan jenis kelamin menunjukkan hasil uji perbedaan (uji F) yaitu nilai Fhitung > Ftabel, yaitu 4,341 > 3,935. Nilai R Squared sebesar 0,074 menjelaskan bahwa interaksi variabel usia dan jenis kelamin terhadap pemulihan diri dari trauma kematian orangtua adalah sebesar 7,4 %. Pembahasan Berdasarkan dari tabel 3, diketahui bahwa subjek penelitian mempunyai kecerdasan emosional yang relatif sedang (sebanyak 59 %), 29 % yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi, dan 2 % memiliki kecerdasan emosional yang sangat tinggi. Kecerdasan

15 emosional menujukkan kematangan seseorang yang sejalan dengan usia, dimana semakin matang usia seseorang maka semakin tinggi kecerdasan emosionalnya (Patton, 2000). Kecerdasan emosional yang dimiliki oleh subjek penelitian yang berusia remaja adalah sedang, hal ini dikarenakan adanya faktor internal dan eksternal dari subjek penelitian tersebut. Faktor internal yang mempengaruhi kecerdasan emosionalnya adalah faktor psikologis, individu yang mengalami trauma cenderung memiliki ketidakstabilan emosi. Faktor eksternal yang mempengaruhi kecerdasan emosionalnya adalah lingkungan, lingkungan Istana Anak Yatim Batu Licin Kalimantan Selatan adalah lingkungan yang mengedepankan aspek religiustias yang tinggi, sehingga dapat meningkatkan kecerdasan emosional individu yang ada dilingkungan tersebut. Berdasarkan dari tabel 4, diketahui bahwa pemulihan diri dari trauma kematian orangtua pada subjek penelitian sebesar 48 % sedang, 34 % tinggi, dan 9 % sangat tinggi. Hal ini dkarenakan remaja yatim piatu yang mengalami trauma dan menjadi subjek penelitian secara tidak langsung telah melakukan pemulihan diri jika ditinjau dari dua aspek pemulihan diri. Aspek pemulihan diri tersebut adalah keyakinan agama dan kegiatan aktulisasi. Remaja yatim piatu di Istana Anak Yatim Batu Licin Kalimantan Selatan melakukan berbagai aktivitas-aktivitas berbasis keagamaan yang tinggi dan dipantau oleh pengelola Istana Anak Yatim Batu Licin Kalimantan Selatan. Hasil uji regresi linear menunjukkan bahwa semakin tinggi kecerdasan emosional maka semakin tinggi juga pemulihan diri dari trauma kematian orangtua. Selain itu, ada peranan kecerdasan emosional terhadap pemulihan diri dari trauma kematian orangtua sebesar 80,2 %. Kecerdasan emosional merupakan salah satu kecerdasan yang dimiliki oleh setiap individu dengan range yang berbeda-beda. Bar-On seperti dikutip oleh Stein dan Book (2002) mengemukakan bahwa kecerdasan emosional adalah serangkaian kemampuan, kompetensi dan kecakapan non-kognitif, yang

16 mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil mengatasi tuntutan dan tekanan lingkungan. Selain itu, kecerdasan emosional adalah salah satu aspek yang mempengaruhi kondisi internal individu. Ginanjar (2007) menyebutkan bahwa kondisi internal individu merupakan aspek dari pemulihan diri individu, termasuk di dalamnya pemulihan diri dari trauma kematian orangtua. Patton (2000) menyebutkan bahwa individu yang memiliki kecerdasan emosional tinggi dapat mengontrol dan mengatur emosi dengan baik akan menjadi pribadi yang dapat menyelesaikan permasalahan, menjadi pribadi yang efektif untuk meraih tujuan dan akan meningkatkan produktifitas terhadap sesama. Hasil penelitian Stys & Brown (2004) menyebutkan bahwa kecerdasan emosional yang tinggi dapat meningkatkan produktivitas individu, khususnya dalam bekerja dan hubungan sosial. Sejalan dengan Patton, Stys dan Brown, hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa kecerdasan emosional sangat memiliki peranan terhadap pemulihan diri dari trauma kematian orangtua yang mencapai sebesar 80,2 %, sehingga hanya 19,8 % saja yang dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diteliti dalam penelitian. Tingginya peranan kecerdasan emosional terhadap pemulihan diri dari trauma kematian orangtua dikarenakan kecerdasan emosional memiliki lima aspek yang berguna untuk meningkatkan produktivitas individu. Lima aspek tersebut adalah mengenali emosi diri sendiri, mengenali emosi orang lain, memotivasi diri, mengelola emosi, dan membina hubungan. Aspek aspek tersebut sangat berperan terhadap pemulihan diri dari trauma kematian orangtua. Trauma kematian orangtua yang dialami oleh remaja yang menjadi subjek penelitian ini harus diatasi lebih lanjut agar tidak menimbulkan dampak yang berkelanjutan, sehingga dilakukan pemulihan diri. Pemulihan diri memiliki aspek aspek yang berhubungan dengan kecerdasan emosional yang dimiliki oleh seseorang. Sehingga kecerdasan emosional memang sangat diperlukan untuk proses pemulihan diri. Aspek pertama dalam pemulihan diri adalah

17 keyakinan agama, keyakinan agama yang tinggi akan membuat individu merasa tenang sehingga emosipun akan lebih baik daripada individu yang tidak memiliki keyakinan agama yang tinggi (Oktaviani, 2010). Sejalan dengan Oktaviani, hasil penelitian Relawu (dalam Nurhayati, 2007) juga menunjukkan bahwa keyakinan agama (religiusitas) berhubungan dengan kecerdasan emosional. Aspek kedua dalam pemulihan diri adalah kondisi internal yang didalamnya terdapat area kecerdasan emosional. Aspek ketiga adalah dukungan sosial, dukungan sosial dari keluarga dan kerabat baik itu berupa dukungan moral dan material akan membuat individu merasa tidak sendiri dan memiliki kecerdasan emosi yang lebih baik daripada yang tidak mendapatkan dukungan sosial (Sarafino, 1998). Sementara itu, aspek keempat dalam pemulihan diri adalah kegiatan aktualisasi, kecerdasan emosional yang tinggi membuat individu lebih produktif dalam melakukan aktivitas (Stys & Brown, 2004). Berdasarkan dari keempat aspek dalam pemulihan diri, maka kecerdasan emosional yang tinggi sebaiknya dimiliki oleh individu agar proses pemulihan diri dari trauma kematian orangtua menjadi efektif. Hasil uji analisis varians dua jalur yang dilakukan untuk mengetahui perbedaan pemulihan diri dari trauma kematian yang ditinjau berdasarkan usia dan jenis kelamin menunjukkan adanya perbedaan pemulihan diri dari trauma kematian orangtua. Berdasarkan usia, terdapat perbedaan skor pemulihan diri dari trauma kematian orangtua pada usia 12-16 tahun dan 17-20 tahun. Usia 17-20 tahun memiliki pemulihan diri dari trauma kematian orangtua yang lebih baik jika dibandingkan usia 12-16 tahun. Hal ini sejalan dengan pendapat Papalia, Olds & Feldman (2007) yang mengatakan bahwa usia mempengaruhi kematangan individu dalam menyelesaikan masalah. Soemanto (2003) mengatakan bahwa semakin bertambah usia individu, maka semakin matang juga fungsi-fungsi fisiologis dan akan diikuti oleh semakin berkembangannya fungsifungsi psikologis terutama dalam mengatur emosi dan proses penyelesaian masalah. Bonano,

18 dkk (2007), menyatakan bahwa bertambahnya pengalaman hidup yang dialami individu seiring dengan bertambahnya usia, membuat individu tersebut mampu mengidentifikasi dan menghadapi berbagai macam stressor termasuk akibat trauma kematian orangtua. Perbedaan pemulihan diri dari trauma kematian orangtua juga terjadi jika ditinjau berdasarkan jenis kelamin. Laki-laki memiliki skor pemulihan diri dari trauma kematian orangtua yang lebih tinggi daripada perempuan. Hasil penelitian Yuniarrahmah (2009) menyebutkan bahwa perbedaan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan juga menimbulkan perbedaan dalam perilaku, terutama dalam mengontrol emosi dan pemecahan masalah. Laki-laki memiliki skor pemulihan diri yang lebih tinggi daripada perempuan karena menurut Mancini & Bonano (2006) dan Rinaldi (2010) bahwa laki-laki lebih mudah bangkit dari keterpurukan dibandingkan dengan perempuan. Hasil penelitian lainnya menemukan bahwa adanya perbedaan jenis kelamin dalam merespon bencana (Major, 1999). Hasil penelitian Karanci, dkk (1999) tentang kemampuan menyesuaikan diri terhadap gempa menemukan bahwa pria sering menggunakan pendekatan penyelesaian masalah dan mempunyai sikap optimis dibandingkan wanita, sedangkan perempuan menggunakan pola ketidakberdayaan dibandingkan laki-laki. Berdasarkan hasil uji analisis varians dua jalur, diketahui bahwa ada interaksi antara usia dan jenis kelamin terhadap pemulihan diri dari trauma kematian orangtua sebesar 7,4 %.
Kesimpulan dan Saran

Kesimpulan dari penelitian ini adalah pertama, ada peranan kecerdasan emosional terhadap pemulihan diri dari trauma kematian orangtua pada remaja yatim piatu di Istana Anak Yatim Batu Licin Kalimantan Selatan sebesar 80,2 %. Kedua, ada perbedaan pemulihan diri dari trauma kematian orangtua antara remaja yatim piatu usia 12-16 tahun dan 17-20 tahun di Istana Anak Yatim Batu Licin Kalimantan Selatan. Usia 17-20 tahun memiliki

19 pemulihan diri dari trauma kematian orangtua yang lebih baik daripada usia 12-16 tahun karena faktor kematangan dan pengalaman. Ketiga, ada perbedaan pemulihan diri dari trauma kematian orangtua antara remaja yatim piatu laki-laki dan perempuan di Istana Anak Yatim Batu Licin Kalimantan Selatan. Laki-laki memiliki pemulihan diri dari trauma kematian orangtua yang lebih baik daripada perempuan karena faktor kognitif laki-laki dan perempuan berbeda. Keempat, ada interaksi antara usia dan jenis kelamin terhadap pemulihan diri dari trauma kematian orangtua. Interaksi usia dan jenis kelamin terhadap pemulihan diri dari trauma kematian orangtua adalah sebesar 7,4 %. Saran yang dapat diberikan dari penelitian ini adalah : 1. Bagi remaja yang mengalami trauma kematian orangtua : Melakukan pemulihan diri dengan memperhatikan berbagai aspek yang berhubungan dengan peningkatan kecerdasan emosional seperti menjalin relasi dengan sesama, melakukan kegiatan aktualisasi yang dapat mengurangi perasaan sedih dan trauma, dan meningkatkan keyakinan agama serta mengembangkan motivasi untuk menjadi lebih baik lagi. 2. Bagi Istana Anak Yatim Batu Licin Kalimantan Selatan : melakukan pembinaan secara khusus atau konseling bagi remaja yatim piatu yang mengalami trauma kematian orangtua. Hal ini dapat dilakukan dengan peningkatan aktivitas keagamaan atau aktivitas lainnya yang dapat membantu remaja yatim piatu untuk pemulihan diri. 3. Bagi penelitian selanjutnya adalah melakukan penelitian dengan menggunakan variabel lainnya yang dapat mempengaruhi pemulihan diri seperti karakteristik kepribadian, lokus kontrol, dan religiusitas. Daftar Pustaka Agustian, A.G. 2002. Emotional Spiritial Quotient. Jakarta : Penerbit Arga. Andrykowski, M.A., Cardova, M.J., & Miller, T.W. 2008. Posttraumatic Stress Disorder After Treatment for Breast Cancer : Prevalence of Diagnosis and Use of The PTSD Checklist Civilion Lerson (PCC-L) as on Screening Instrument. Journal of Consulting and Clinical Psychology, No. 1, Vol 66, 586-590.

20

Antony, M.M & Barlow, D.H. 2002. Psychological Disorder. New York : The Guilford Press. APA. 2000. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, Fourth Edition. New York : APA Publisher. Bonano, G.A., Galea, S., Bucciarelli, A., & Vlahov, D. 2007. What psychological resilience after disaster? The role of demographics, resources and life stress. Journal of Counsulting and Clinical Psychology vol 75 pp 671-682. Bruce, C. A. 2002. The Grief Process for Patient, Family, and Physician. JAOA Journal, No. 9, Vol. 102. Diakses pada 30 Oktober 2011 dari http://passion4japan.net. Daniel, C.L., Strauser, D.R., & Pamela, L. 2006. Trauma Symptoms: Relationship With Career Thoughts, Vocational Identity,and Developmental Work Personality. The Career Development Quarterly Journal, No. 4,Vol . 54, 346 357. Diakses 14 September 2011 dari http://sagepub.com. Duncan, K.A. 2004. Healing from the Trauma of Childhood Sexual Abuse. London : Greenwood Publishing Group. Fawziah, A. 2011. Studi Pendahuluan. Ginanjar, A.S. 2009. Proses Healing Pada Istri yang Mengalami Perselingkuhan Suami. Makara, Sosial Humaniora, Vol. 13, No. 1, 66-76. Goleman, D. 2002. Emotional Intelligence, Kecerdasan Emosional.Mengapa EQ Lebih Penting daripada IQ. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. Herman, J. 1997. Trauma and Recovery. New York : Basic Book. Karanci, N.A., Alkan, N., Aksit, B., Sucuoglo, H., and Balta, E. 1999. Gender Differences in Psychological Distress, Coping, Social Support, and Related Variables Following The 1995 Dinar (Turkey) Earthquake North America. Journal of Psychology vol 1 pp 189204. Major, A.M. 1999. Gender Differences in Risk and Communication Behavior: Response To The New Madrid Earthquake Prediction. International Journal of Mass Emergency and Disasters vol 17 pp 313-338. Mancini, D.A., and Bonano, A.G. 2006. Resilience in The Face of Potential Trauma: Clinical Practices and Illustrations. Journal of Clinical Psychology vol 62 pp 971-985. Mollica, R. 2006. Healing Invisible Wounds:Paths to Hope and Recovery in a Violentworld. New York : Harcourt. Nurhayati, T. Perkembangan Rasa Keagamaan Pada Remaja. Jurnal Al-Tarbiyah, Edisi XX, Vol 1. Hal 58-60.

21 Octaviani, K. 2010. The Relationship Between the Religiousity in Youth With Emotional Maturity at MAN 1 Bekasi. Laporan Penelitian, diterbitkan. Diakses pada tanggal 20 Januari 2012 dari http://library.gunadarma.ac.id. Papalia, D.E., Olds, S.W., & Feldman, R.D. 2007. Human Development (8th ed.) New York : McGraw-Hill Companies, Inc. Patton, P. 2000. Emotional Intelligence. Alih Bahasa: Zaini Dahlan. Jakarta: Pustaka Delapratasa Rinaldi. 2010. Riseliensi Pada Masyarakat Kota Padang Ditinjau Dari Jenis Kelamin. Jurnal Psikologi Vol 3, No 2, Hal 99-105. Rosenblooms, D., Williams, M.B., & Watkins, B.E. 2010. Life After Trauma, A Workbook for Healing. New York : The Guilford Press. Santrock, J.W. 2002. Life Span Development, Psikologi Perkembangan. Jakarta : Erlangga. Sarafino,E.P. 1998. Health Psychology: Biopsychosocial Interaction. John USA: Wiley & Sons. Soemanto, W. 2003. Psikologi Pendidikan. Jakarta : PT. Rineka Cipta. Stys, Y. & Brown, S.L. 2004. A Review of the Emotional Intelligence Literature and Implications for Corrections. Laporan penelitian, diterbitkan. Canada : Correctional servis of Canada. Diakses pada tanggal 27 November 2011, dari http://highwire.org. Walgito, B. 2002. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta : Penerbit Andi. Wall, R.B., 2008. Healing from War and Trauma : A Buddhist Perspective and the Harvard Program in the Refugee Trauma. Jounal of the Sociology of Self-Knowledge, Vol. VI, No. 3, 105-112. Yuniarrahmah, E. 2009. Faktor-Faktor Penentu Kesiapan Anak Masuk Sekolah Dasar. Tesis, tidak diterbitkan. Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.

You might also like