You are on page 1of 1

Pontianak Post Online | Aktualisasi Hikmah Berkurban

http://www.pontianakpost.com/index.php?mib=berita.detail&id=117522

Selasa, 23 Oktober 2012 , 12:40:00

Aktualisasi Hikmah Berkurban


Oleh : Dr. Mahmudi Asyari Tidak sedikit orang yang ketika memaknai ajaran berkurban sangat parsial dalam arti bahwa mereka terpaku kepada drama formal dari penyembelihan hewan di hari Idul Adha dan tiga hari tasyarik sesudahnya itu. Seharusnya, menurut saya, antusiasme terhadap pengamalan ajaran itu tidak dilepaskan dari perintah Allah dalam sebuah ayat Al Quran yang maksudnya bahwa sejatinya manusia tidak terbedaya karena rasa kecintaan kepada anak dan harta dari mengingat Allah. Pengaitan hal itu penting agar antusiasme terhadap pengamalan ajaran itu tidak terjebak pada ritual rutin yang akan senantiasa seperti itu tiap tahunnya. Atau hanya terjebak kepada pemaknaan bahwa ibadah itu terpisah dari motivasi untuk solider kepada sesama anak manusia terlebih mereka yang sedang sangat membutuhkan pertolongan. Mengingat (zikr) kepada Allah tentu tidak sebatas memantuk-mantukkan kepala atau menggelengkan kepada ke kanan dan ke kiri sembari mengumat-ngamitkan lisan, tapi juga harus mencermati sekeliling sembari meyakini bahwa itu semua ciptaan-Nya. Ketika seseorang ingat sekelilingnya sebagai makhluk Allah sudah pasti akan mengingat Allah. Akan tetapi, bisa jadi ketika hanya menyibukkan diri dengan berkumat-kamit tersebut, seorang manusia lantaran sangat menikmati zikr lupa akan sekelilingnya. Dengan demikian, perintah agar tidak terbedaya (tertipu) itu bukan semata dalam konteks tidak mengingat Allah, tapi juga tidak peduli dengan sekeliling sebagai sesama ciptaan (makhluk) Allah yang semestinya berdasarkan kekuatan mengingat-Nya itu lahir solidaritas antarsesama. Berkaitan hal itu, menurut saya, pengaitan pemaknaan kurban dengan perintah zikir sangat relevan agar pengamalan ajar kurban tidak berhenti di level mengalirkan darah hewan dan bagi-bagi daging yang ujung-ujungnya terlepas maknanya nyate bareng anak yatim atau sejuta dhuafa adalah eksploitasi kepada mereka di mana sejatinya dengan hikmah yang senantiasa didengungkan mereka sedikit demi sedikit tidak jadi pengamen daging kurban. Oleh sebab itu, menurut saya, pengaliran darah hewan itu sejatinya diletakkan sebagai awal jihad untuk berzikir solidaritas terhadap sesama anak manusia agar yang berada di garis bawah tidak semakin berat menghadapi hidup. Dan, itu sangat mungkin jika energi untuk m kurban itu diarahkan kepada pembangunan anak bangsa yang lebih berkualitas. Akan tetapi, jika pemaknaan ibadah itu sebatas seperti itu tiap tahun tentu hanya mematenkan pemandangan orang antri dan eksploitasi mereka yang semestinya tahun berikutnya tidak antri lagi. Pemaknaan ke arah pembangunan solidaritas itu semakin tidak mendapatkan kendala manakala ajaran yang dipraktikkan Ibrahim itu dicermati kembali terkait kenapa Khalil Allah itu kemudian diuji imannya oleh Allah agar mengurbankan anaknya. Dalam sejumlah literatur disebutkan bahwa ia sebelum mendapat keturunan selalu rajin mengingat Allah termasuk sangat rajin berkurban dengan bilangan hewan yang untuk saat ini tentu sangat banyak. Akan tetapi, ketika doa dikabulkan dan ia mendapatkan keturunan, mempunyai kesenangan baru yang sedikit mulai membuat lalai sebagai hamba Allah. Ketika rasa cinta kepada anak sebagai harta tidak bernilai, Allah mengujinya dengan memerintah menyembelih anaknya. Untuk melaksanakan itu tentu berat itulah sebabnya ia perlu waktu yang akhirnya sampai kepada keyakinan bahwa memang Allah yang memerintahkan. Pemaknan terhadap hal itu tentu tidak seharusnya hanya terpaku penyembelihan hewan. Maka dari itu, lihatlah kedermawan Ibrahim sebelum mempunyai anak yang tidak pernah lalai dari berkurban yang dagingnya dibagikan kepada sesama. Artinya, ketika ia mulai sedikit lalai berkurban, kedermawanannya berkurang. Itulah sebabnya, ia diberi shock teraphy agar sifat-sifat kedermawanannya kembali pulih dan harta dan anaknya tidak menjadikan Nabi Allah itu terberdaya. Oleh sebab itu, jika kemudian orang yang telah berkurban hewan kemudian merasa bahwa dalam rangka menjalankan hikmahnya, kemudian lebih memilih untuk berpaling kepada pemberian pertolongan kepada anak-anak terancam tidak sekolah dan orang-orang lemah menurut saya bersangkutan justru naik kelas, karena tidak lagi berkutat dengan hikmah semata. Sejumlah orang mampu masih khawatir untuk tidak menjadi pelaku hikmah sehingga lebih memilih mengulangi memotong hewan lantaran kecaman Nabi yang melarang untuk mendekati masjid jika tidak mau berkurban pada saat dirinya mampu untuk itu. Jika masalahnya diletakkan tidak semata-memata mengalirkan darah melainkan sebuah perintah agar tidak cinta berlebihan kepada harta khususnya tentu tidak masalah, karena menolong manusia juga ada hadis Nabi yang menegaskan. Sehingga, jika kondisinya memang lebih banyak orang yang harus ditolong dengan menjamin kelangsungan pendidikan atau memberikan modal usaha, tidak bisa dikatakan melanggar perintah Nabi, melainkan sebuah bentuk pengamalan kepada ajaran beliau yang sesuai konteks dinilai lebih mendatangkan maslahah. Meskipun berbeda, marilah kita contoh Umar yang oleh sahabat lantaran tidak mau memasuki daerah yang dilanda penyakit menular diingatkan sebagai pelanggar takdir. Umar menjawab bahwasanya ia berpaling dari sebuah takdir kepada takdir yang lain. Sejatinya, sikap Umar itu menjadi contoh bagaimana memandang mana yang lebih mendatangkan kemaslahatan bagi manusia. Oleh sebab itu, sejatinya jika sekitarnya banyak anak tidak membayar SPP sementara seseorang lebih memilih untuk membeli sapi kurban, menurut saya, sikap itu adalah bentuk tidak memahami semangat ajaran kurban. Apa dikira mereka bisa melunasi SPP dengan menerima daging kurban? Berkaitan dengan hal itu, ketika seseorang sudah antusias berkurban hewan sejatinya tidak lagi berbicara hikmah, karena aktualisasinya ke dalam gerakan kemanusiaan jauh lebih berkemaslahatan bagi umat manusia. **

1 of 1

23/10/2012 17:48

You might also like