You are on page 1of 31

Konsep Dasar Analisis Kestabilan Lereng

Saifuddin Arief ariefs1@inco.com

1. Pendahuluan
Lereng adalah permukaan bumi yang membentuk sudut kemiringan tertentu dengan bidang horisontal. Lereng dapat terbentuk secara alamiah karena proses geologi atau karena dibuat oleh manusia. Lereng yang terbentuk secara alamiah misalnya lereng bukit dan tebing sungai, sedangkan lereng buatan manusia antara lain yaitu galian dan timbunan untuk membuat jalan raya dan jalan kereta api, bendungan, tanggul sungai serta tambang terbuka. Beberapa contoh lereng buatan diperlihatkan dalam gambargambar berikut ini.

Gambar 1. Bendungan tipe urukan

Konsep Dasar Analisis Kestabilan Lereng 2

Gambar 2. Jalur kereta api

Gambar 3. Timbunan untuk jalan raya

Konsep Dasar Analisis Kestabilan Lereng 3

Gambar 4. Tambang terbuka

Suatu longsoran adalah keruntuhan dari material (tanah atau batuan) yang membentuk lereng sehingga terjadi pergerakan massa tanah ke bawah dan ke luar. Longsoran dapat terjadi dengan berbagai cara, secara perlahan-lahan atau mendadak serta dengan ataupun tanpa tanda-tanda yang terlihat.

Pemicu terjadinya longsoran dapat terjadi secara alamiah, seperti gempa bumi, atau sebagai akibat dari aktivitas manusia, misalnya penggalian untuk pembuatan jalan raya. Longsoran terjadi apabila gaya-gaya yang cenderung menyebabkan material pada lereng untuk bergerak ke bawah, seperti gaya gravitasi, gaya yang diakibatkan oleh tekanan air, pembebanan pada permukaan lereng, lebih besar dari pada kemampunan material pada lereng untuk mencegah terjadinya longsoran.

Analisis kestabilan lereng harus berdasarkan model yang akurat mengenai kondisi material bawah permukaan, kondisi air tanah dan pembebanan yang mungkin bekerja pada lereng. Tanpa sebuah model geologi yang memadai, analisis hanya dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan yang kasar sehingga kegunaan dari hasil analisis dapat dipertanyakan.

Konsep Dasar Analisis Kestabilan Lereng 4

Tujuan dari analisis kestabilan lereng antara lain adalah sebagai berikut: Membuat rancangan lereng yang aman dan ekonomis. Merupakan dasar bagi rancangan ulang lereng setelah mengalami longsoran. Memperkirakan kestabilan lereng selama konstruksi dilakukan dan untuk jangka waktu yang panjang. Mempelajari kemungkinan terjadinya longsoran, baik pada lereng buatan maupun lereng alamiah. Menganalisis penyebab terjadinya longsoran dan cara memperbaikinya. Mempelajari pengaruh gaya-gaya luar pada kestabilan lereng.

Setelah gempa bumi, longsoran merupakan bencana alam yang paling banyak mengakibatkan kerugian materi maupun kematian. Kerugian yang dapat ditimbulkan oleh suatu longsoran antara lain yaitu rusaknya lahan pertanian, rumah, bangunan, jalur transportsi serta sarana komunikasi. Contoh dari dampak longsoran diberikan pada Gambar 5 dan Gambar 6.

Gambar 5. Longsoran yang menyebabkan ratusan orang meninggal dunia.

Konsep Dasar Analisis Kestabilan Lereng 5

Gambar 6. Longsoran yang mengakibatkan terputusnya jalan raya.

2. Lereng Alami
Lereng alami yang telah berada dalam kondisi yang stabil selama puluhan atau bahkan ratusan tahun dapat runtuh secara tiba-tiba sebagai akibat dari adanya perubahan kondisi lingkungan, antara lain seperti perubahan bentuk topografi, kondisi air tanah, adanya gempa bumi maupun pelapukan. Kadang-kadang keruntuhan tersebut juga dapat disebabkan oleh adanya aktivitas konstruksi seperti pembuatan jalan raya, jalan kereta api, saluran air dan bendungan.

Terdapat beberapa kesulitan yang dihadapi dalam analisis kestabilan lereng alami karena beberapa hal sebagai berikut: kesulitan untuk mendapatkan data-data yang diperlukan dalam analisis yang memadai. tingginya tingkat ketidakpastian mengenai mekanisme longsoran yang mungkin terjadi serta proses-proses penyebabnya.

Beberapa pertimbangan yang harus dilakukan dalam analisis kestabilan lereng alami antara lain yaitu menentukan apakah longsoran yang mungkin terjadi merupakan

Konsep Dasar Analisis Kestabilan Lereng 6

longsoran yang pertama kali atau longsoran yang terjadi pada bidang geser yang sudah ada serta kemungkinan terjadinya longsoran apabila dibuat suatu pekerjaan konstruksi atau penggalian pada lereng.

3. Lereng Buatan
3.1 Timbunan Analisis kestabilan lereng timbunan biasanya lebih mudah dilakukan dan mempunyai ketidakpastian yang lebih rendah daripada analisis kestabilan lereng alami dan galian. Hal ini disebabkan karena material yang digunakan untuk timbunan dapat dipilih dan dikontrol dengan baik.

Untuk timbunan dari material yang takberkohesi, seperti kerikil, pasir atau lanau, parameter yang mempengaruhi kestabilan timbunan yaitu: sudut gesek, berat satuan tanah, tekanan air pori dan sudut kemiringan lereng. Longsoran yang terjadi pada timbunan tipe ini biasanya merupakan gelinciran translasional atau gelinciran rotasional yang dangkal. Tekanan air pori yang diakibatkan oleh rembesan akan mengurangi kestabilan timbunan, sehingga seringkali dalam analisis diasumsikan permukaan air tanah berada pada permukaan lereng dan rembesan sejajar dengan permukaan lereng. Kondisi ini biasanya terjadi pada hujan yang sangat deras dan lama.

Kestabilan lereng timbunan dari material yang berkohesi seperti lempung, pasir berlempung, tergantung pada beberapa faktor sebagai berikut: sudut gesek, kohesi, berat jenis tanah, tekanan air pori dan geometri lereng. Longsoran yang biasanya terjadi pada jenis timbunan ini adalah gelinciran yang dalam dengan permukaan yang menyentuh bagian atas dari lapisan keras yang berada di bawah timbunan.

Untuk timbunan yang dibuat di atas material yang mempunyai kekuatan geser lemah, selain kekuatan geser material timbunan maka juga harus dipertimbangkan kekuatan

Konsep Dasar Analisis Kestabilan Lereng 7

geser material pondasi. Timbunan dapat mengalami retakan-retakan tarik pada permukaannya apabila terjadi penurunan pada material pondasi yang diakibatkan oleh penambahan beban. Penurunan juga dapat menyebabkan keruntuhan sebagai akibat dari ketidakcocokan tegangan-regangan diantara timbunan dengan pondasi di bawahnya. Untuk menghindari hal ini dapat dibuat beberapa perkuatan pada timbunan atau jika memungkinan dengan membuang material lunak pada pondasi.

Tabel 1. Kondisi Kestabilan Lereng Timbunan dan Galian


Kondisi Metode Analisis Pengujian Kekuatan geser Tekan takterkekang (Unconfined compression) Kestabilan jangka pendek atau akhir konstruksi Tegangan total Triaksial takterkonsolidasi-takterdrainase (Unconsolidated-Undrained, UU) Triaksial terkonsolidasi-takterdrainase (Consolidated-Undrained, CU) tanpa pengukuran tekanan air pori Geser langsung (Direct shear) Triaksial terkonsolidasi terdrainase Kestabilan jangka panjang Tegangan efektif (Cconsolidated-Drained ,CD) Triaksial terkonsolidasi-takterdrainase (Consolidated-Undrained, CU) dengan pengukuran tekanan air pori Triaksial terkonsolidasi-takterdrainase Penurunan muka air tanah secara mendadak Tegangan total (Unconsolidated-Undrained, UU) Triaksial terkonsolidasi-terdrainase (Consolidated-

Undrained, CU) tanpa pengukuran tekanan air


pori

Kestabilan timbunan harus ditentukan untuk beberapa kondisi sebagai berikut: Kestabilan jangka pendek atau akhir konstruksi Kestabilan jangka panjang Penurunan muka air tanah mendadak

Konsep Dasar Analisis Kestabilan Lereng 8

Metode analisis dan pengujian untuk menentukan parameter kekuatan geser dari ketiga kondisi tersebut diberikan pada Tabel 1. Kestabilan lereng jangka pendek dapat juga dianalisis dengan menggunakan konsep tegangan efektif jika lereng dapat terdrainase dengan cepat.

Kestabilan timbunan akan berfluktuasi selama proses kontruksi dilakukan dan juga setelah konstruksi selesai. Hal ini diakibatkan karena terdapat perubahan kekuatan geser material pada timbunan yang disebabkan oleh perubahan tekanan air pori dan perubahan beban yang bekerja pada timbunan. Ilustrasi dari kondisi kestabilan timbunan di atas tanah lempung diberikan pada Gambar 7.

Gambar 7. Kondisi kestabilan timbunan di atas tanah lempung

Kestabilan lereng timbunan akan berkurang apabila tinggi timbunan dinaikkan karena lereng akan semakin tinggi sehingga beban pada pondasi juga bertambah. Sebagai akibatnya maka kestabilan jangka pendek atau kestabilan pada akhir konstruksi

Konsep Dasar Analisis Kestabilan Lereng 9

timbunan biasanya merupakan kondisi kestabilan yang paling kritis dan lebih menentukan daripada kestabilan jangka panjang. Setelah timbunan selesai dibuat maka faktor keamanan akan bertambah seiring dengan bertambahnya umur timbunan karena adanya konsolidasi pada timbunan dan berkurangnya tekanan air pori sehingga kekuatan geser timbunan akan bertambah. 3.2 Galian Tujuan dari rancangan lereng galian adalah untuk menentukan tinggi dan sudut kemiringan lereng yang optimum sehingga lereng tetap stabil dalam jangka waktu yang diinginkan. Nilai faktor keamanan yang dipersyaratkan dalam rancangan lereng galian ditentukan oleh beberapa faktor antara lain yaitu rentang waktu dari penggunaan galian, lereng permanen atau sementara, stabilisasi yang diperlukan dan dampak yang ditimbulkan apabila terjadi longsoran. Parameter-parameter diperlukan dalam analisis kestabilan lereng galian antara lain yaitu: geometri lereng, kekuatan geser, berat satuan, dan tekanan air pori.

Galian dapat dibuat dengan sudut kemiringan tunggal atau menggunakan sudut kemiringan yang bervariasi sesuai dengan tipe material yang digali. Misalnya untuk lereng yang terdiri dari material tanah dan batuan, sudut kemiringan lereng pada lapisan batuan dapat dibuat lebih terjal daripada sudut kemiringan lereng pada lapisan tanah. Penggalian lereng juga dapat dilakukan secara berjenjang dengan menggunakan berm untuk setiap interval ketinggian. Apabila penggalian dilakukan secara berjenjang maka harus dilakukan analisis untuk kestabilan lereng secara keseluruhan maupun lereng tunggal pada setiap jenjang.

Bentuk longsoran yang terjadi pada galian dengan material yang homogen biasanya berupa sebuah busur lingkaran. Untuk galian pada material yang tidak homogen bentuk longsorannya akan dipengaruhi oleh distribusi kekuatan geser dalam lereng dan biasanya bidang runtuhnya bukan berupa sebuah busur lingkaran.

Konsep Dasar Analisis Kestabilan Lereng 10

Kestabilan lereng galian juga harus ditentukan untuk beberapa kondisi sebagai berikut: Kestabilan jangka pendek atau akhir konstruksi Kestabilan jangka panjang Penurunan muka air tanah mendadak Metode analisis dan pengujian kekuatan geser untuk ketiga kondisi tersebut diberikan pada Tabel 1. Kestabilan lereng jangka pendek dapat juga dianalisis dengan menggunakan konsep tegangan efektif apabila air pada lereng dapat terdrainasi dengan cepat.

Gambar 8. Kondisi kestabilan galian pada tanah lempung

Kestabilan jangka panjang dari lereng galian biasanya lebih menentukan dari pada kestabilan jangka pendek atau pada saat akhir konstruksi. Hal ini karena setelah galian selesai dibuat, tekanan air pori akan meningkat, tanah akan mengembang dan menjadi lebih lemah sehingga kekuatan geser tanah berkurang dan kondisi kestabilan lereng

Konsep Dasar Analisis Kestabilan Lereng 11

juga berkurang. Apabila galian dibuat pada material yang mempunyai permeabilitas yang tinggi maka kondisi kestabilan lereng pada saat akhir konstruksi dan kestabilan untuk jangka panjang dianggap sama. Variasi kondisi kestabilan ini ditunjukkan pada Gambar 8.

4. Tipe Tipe Longsoran


Longsoran dapat diklasifikasikan menurut jenis pergerakan massa runtuh, tipe material dan kecepatan longsoran. Berdasarkan pergerakan massa runtuhnya longsoran dapat diklasifikasikan sebagai gelinciran (sliding), runtuhan (falling), gulingan (toppling), aliran (flowing). Berdasarkan tipe materialnya, longsoran dapat dibedakan menjadi dua yaitu longsoran batuan dan longsoran tanah.

Gelinciran (sliding) merupakan pergerakan massa ke arah bawah dan ke luar yang disebabkan oleh tegangan geser yang bekerja pada permukaan runtuh melebihi tahanan geser yang dimiliki oleh material pada permukaan runtuh. Dua tipe utama dari longsoran tipe gelinciran yaitu rotasional dan translasional.

Gelinciran rotasional (rotational sliding) merupakan longsoran dengan bidang runtuh yang cekung ke atas. Bentuk bidang runtuh tersebut seringkali dihampiri sebagai busur lingkaran, gabungan dari busur lingkaran dengan bidang planar, atau gabungan dari beberapa garis lurus. Longsoran dengan bidang runtuh berbentuk busur lingkaran biasanya sering terjadi pada tanah yang homogen. Untuk tanah yang tidak homogen, bentuk bidang runtuh yang paling mungkin terjadi adalah bidang runtuh yang bukan busur lingkaran. Gelinciran rotasional juga dapat terjadi pada batuan yang telah mengalami proses pelapukan dan alterasi yang kuat ataupun pada timbunan dari batuan-batuan yang dihasilkan oleh kegiatan penambangan.

Gelinciran translational (translational sliding) yaitu gelinciran yang terjadi dengan bidang runtuh yang berupa bidang planar. Gelinciran translasional antara lain dapat terjadi pada lapisan tanah tipis yang berada di atas material yang sangat kokoh, seperti

Konsep Dasar Analisis Kestabilan Lereng 12

lereng timbunan dari material takberkohesi. Longsoran translasional juga dapat terjadi pada lereng di mana terdapat bidang lemah yang mempunyai jurus yang sejajar dengan permukaan lereng serta sudut kemiringan yang lebih besar dari pada sudut gesek material.

Gambar 9. Sketsa longsoran tipe gelinciran rotasional

Gambar 10. Sketsa longsoran tipe gelinciran translasional

Runtuhan (fall) merupakan jatuhnya bongkahan batuan yang terlepas dari lereng yang terjal. Bongkahan batuan tersebut dapat jatuh melayang di udara, memantul beberapa kali pada permukaan bumi, mengelinding atau kombinasi dari beberapa bentuk pergerakan tersebut. Massa batuan jatuh tersebut mempunyai energi kinetik dan

Konsep Dasar Analisis Kestabilan Lereng 13

kecepatan yang sangat tinggi. Keruntuhan tipe ini juga dapat didahului oleh tipe keruntuhan lainnya seperti gelinciran dan gulingan.

Gambar 11. Sketsa longsoran tipe runtuhan

Gulingan (topple) adalah tergulingnya beberapa blok-blok batuan yang diakibatkan oleh momen guling yang bekerja pada blok-blok batuan tersebut. Longsoran tipe ini biasanya terjadi pada lereng-lereng terjal atau bahkan vertikal yang memiliki bidang takmenerus yang hampir tegak lurus. Momen guling tersebut dihasilkan oleh berat blok batuan dan juga dapat diakibatkan oleh gaya hidrostatik dari air yang mengisi pada bidang takmenerus.

Gambar 12. Sketsa Longsoran Tipe Gulingan

Konsep Dasar Analisis Kestabilan Lereng 14

Pada longsoran tipe aliran (flow), material bergerak ke arah bawah lereng seperti suatu cairan. Beberapa bentuk longsoran antara lain yaitu rayapan, aliran tanah, aliran debris. Longsoran tipe gelinciran dapat berubah secara bertahap menjadi suatu aliran apabila terjadi perubahan kadar air dan kecepatan selama pergerakan material.

Gambar 13. Sketsa Longsoran Tipe Aliran

Rayapan mempunyai kecepatan pergerakan yang sangat lambat, biasanya merupakan pergerakan secara menerus ke bawah lereng dari batuan lepas yang menutupi batuan dasar. Tanda-tanda terjadinya rayapan antara lain yaitu pohon yang melengkung dan miring, tiang listrik yang miring serta jalan atau pagar yang bergeser dari posisi awalnya.

Gambar 14. Sketsa Longsoran Tipe Rayapan

Konsep Dasar Analisis Kestabilan Lereng 15

Kadangkala tipe pergerakan massa runtuh merupakan kombinasi dua atau lebih dari beberapa tipe longsoran seperti gelinciran dan jatuhan, gelinciran dan aliran. Tipe pergerakan massa runtuh yang komplek terjadi karena adanya perubahan bentuk pergerakan massa runtuh selama massa runtuh bergerak dan berpindah dari tempat asalnya ke tempat lain yang lebih rendah.

Longsoran juga dapat diklasifikasikan berdasarkan kecepatan pergerakannya massa runtuhnya, seperti yang diperlihatkan pada Tabel 2.

Tabel 2. Klasifikasi Longsoran Menurut Kecepatan Pergerakan Massa Runtuh (Varnes, 1978)

Konsep Dasar Analisis Kestabilan Lereng 16

5. Faktor-Faktor Yang Dapat Menyebabkan Terjadinya Longsoran


Gaya-gaya yang bekerja pada lereng secara umum dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu gaya-gaya yang cenderung untuk menyebabkan material pada lereng untuk bergerak ke bawah dan gaya-gaya yang menahan material pada lereng sehingga tidak terjadi pergerakan atau longsoran.

Berdasarkan hal tersebut, Terzaghi (1950) membagi penyebab-penyebab terjadinya longsoran menjadi dua kelompok yaitu: 1. Penyebab-penyebab eksternal yang menyebabkan naiknya gaya geser yang bekerja sepanjang bidang runtuh, antara lain yaitu: Perubahan geometri lereng Penggalian pada kaki lereng Pembebanan pada puncak atau permukaan lereng bagian atas. Gaya vibrasi yang ditimbulkan oleh gempa bumi atau ledakan. Penurunan muka air tanah secara mendadak 2. Penyebab-penyebab internal yang menyebabkan turunnya kekuatan geser material, antara lain yaitu: Pelapukan Keruntuhan progressive Hilangnya sementasi material, Berubahnya struktur material

Akan tetapi menurut Varnes (1978) terdapat sejumlah penyebab internal maupun eksternal yang dapat menyebabkan naiknya gaya geser sepanjang bidang runtuh maupun menyebabkan turunnya kekuatan geser material, bahkan kedua hal tersebut juga dapat dipengaruhi secara serentak.

Terdapatnya sejumlah tipe longsoran menunjukkan beragamnya kondisi yang dapat menyebabkan lereng menjadi tidak stabil dan proses-proses yang memicu terjadinya longsoran, yang secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi empat yaitu kondisi

Konsep Dasar Analisis Kestabilan Lereng 17

material (tanah atau batuan), proses geomorphologi, perubahan sifat fisik dari lingkungan dan proses yang ditimbulkan oleh aktivitas manusia. Daftar singkat dari faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya longsoran diberikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Daftar dari Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Longsoran

Konsep Dasar Analisis Kestabilan Lereng 18

Kondisi material bukan merupakan penyebab terjadinya longsoran melainkan kondisi yang diperlukan agar longsoran dapat terjadi. Meskipun material pada lereng mempunyai kekuatan geser yang cukup lemah, longsoran tidak akan terjadi apabila tidak ada proses-proses pemicu longsoran yang bekerja. Proses-proses pemicu terjadi longsoran dapat terjadi secara alami maupun oleh aktivitas manusia.

Terdapat beberapa faktor alami yang dapat memicu terjadinya longsoran antara lain yaitu hujan lebat, erosi, pelapukan dan gempa bumi. Hujan dengan intensitas yang cukup tinggi sehingga menyebabkan permukaan air tanah naik, kekuatan geser berkurang, berat massa gelinciran bertambah besar. Erosi pada lereng dapat menyebabkan tergerusnya kaki lereng sehingga sudut kemiringan lereng bertambah terjal atau erosi dapat merusak struktur penahan yang berada pada kaki lereng. Pelapukan adalah suatu proses alami yang dapat merubah sifat kekuatan material sehingga menjadi lebih lemah dan mudah runtuh. Proses pelapukan dapat terjadi secara mekanik maupun kimiawi. Gempa bumi akan menyebabkan goncangan pada tanah sehingga kekuatan material akan berkurang atau bahkan hilang serta akan menambah resultan gaya geser yang bekerja pada lereng.

Aktivitas manusia yang memicu terjadinya longsoran pada umumnya berkaitan dengan pekerjaan konstruksi dan kegiatan yang merubah sudut kemiringan lereng serta kondisi air permukaan dan air tanah. Perubahan sudut kemiringan lereng antara lain disebabkan oleh kegiatan pertanian, galian dan timbunan untuk konstruksi jalan raya, konstruksi gedung, konstruksi jalan raya, serta operasi tambang terbuka. Apabila aktivitas-aktivitas tersebut dikerjakan atau dirancang dengan sembarangan maka longsoran dapat terjadi karena beban yang bekerja pada lereng melebihi tahanan geser yang dimiliki oleh lereng. Perubahan pada saluran irigasi atau limpasan permukaan dapat menyebabkan berubahnya kondisi drainase permukaan, tingkat erosi semakin tinggi, ataupun dapat menaikkan permukaan air tanah. Kenaikan permukaan air tanah dapat menyebabkan bertambahnya tekanan air pori dan berkurangnya kekuatan geser sehingga dapat memicu longsoran.

Konsep Dasar Analisis Kestabilan Lereng 19

6. Pengaruh Beberapa Macam Faktor Terhadap Kondisi Kestabilan


Kestabilan suatu lereng akan bervariasi sepanjang waktu. Hal ini antara lain disebabkan adanya musim hujan dan musim kering sehingga terdapat perubahan musiman dari permukaan air tanah atau terjadi perubahan kekuatan geser material yang diakibatkan oleh proses pelapukan. Penurunan kestabilan lereng dapat juga terjadi secara drastis apabila terjadi perubahan yang tiba-tiba, seperti hujan lebat dengan intensitas yang tinggi, erosi pada kaki lereng atau pembebanan pada permukaan lereng. Ilustrasi yang menggambarkan adanya variasi atau perubahan kondisi kestabilan diperlihatkan pada Gambar 15.

Gambar 15. Variasi dari Faktor Keamanan Terhadap Waktu

Kondisi kestabilan lereng berdasarkan tahapan kondisi kestabilannya dapat dibagi menjadi tiga tahap sebagai berikut: Sangat stabil, pada tahap ini lereng mempunyai tahanan yang cukup besar untuk mengatasi gaya-gaya yang menyebabkan lereng menjadi tidak stabil. Cukup stabil, pada kondisi lereng lereng mempunyai kekuatan yang tahanan yang sedikit lebih besar daripada gaya-gaya yang menyebabkan lereng menjadi tidak stabil serta terdapat kemungkinan untuk terjadi keruntuhan

Konsep Dasar Analisis Kestabilan Lereng 20

lereng pada suatu waktu apabila gaya-gaya yang menyebabkan terjadinya longsoran mencapai suatu nilai tertentu. Tidak stabil, lereng dinyatakan berada dalam kondisi tidak apabila telah terdapat pergerakan secara kontinu atau berselang-seling.

Pembagian ketiga tahapan kondisi kestabilan tersebut sangat berguna dalam mempelajari penyebab-penyebab ketidakstabilan lereng dan membaginya menjadi dua berdasarkan fungsinya yaitu: Faktor-faktor penyebab pendahuluan yaitu faktor-faktor yang dapat

menyebabkan lereng menjadi rentan terhadap longsoran sehingga merubah kondisi kestabilan lereng dari sangat aman menjadi cukup aman. Faktor-faktor pemicu longsoran yaitu faktor-faktor yang memicu sehingga terjadi pergerakan pada lereng atau lereng mengalami longsoran. Faktor pemicu akan menurunkan kondisi kestabilan lereng dari cukup aman menjadi tidak stabil.

7. Data-Data Untuk Analisis Kestabilan Lereng


Secara umum data yang diperlukan untuk analisis kestabilan lereng yaitu: Topografi Sifat geoteknis material Kondisi geologi Kondisi air tanah Pembebanan pada lereng

Topografi Supaya penyelidikan lapangan dapat dilakukan dengan baik maka harus terdapat peta yang cukup akurat yang menunjukkan letak dari lubang-lubang bor untuk penyelidikan kondisi bawah permukaan, daerah pemetaan struktur geologi serta lokasi dari penampang melintang yang dianalisis.

Konsep Dasar Analisis Kestabilan Lereng 21

Sifat material Sifat material yang diperlukan dalam analisis kestabilan lereng yaitu parameter kekuatan geser dan berat satuan material. Parameter kekuatan geser merupakan sifat material terpenting karena faktor keamanan dinyatakan dalam bentuk perbandingan kekuatan geser yang tersedia dan kekuatan geser yang diperlukan, sehingga penentuan parameter kekuatan geser harus seakurat mungkin. Parameter kekuatan geser terdiri dari komponen yaitu kohesi dan sudut geser. Untuk analisis lereng yang telah mengalami longsoran harus diperhatikan tentang kekuatan geser sisa.

Berdasarkan kondisi pengujian di laboratorium atau di lapangan terdapat dua tipe kekuatan geser material yaitu: kekuatan geser takterdrainase dan kekuatan geser terdrainase. Kekuatan geser takterdrainase digunakan apabila analisis kestabilan lereng dilakukan dengan pendekatan tegangan total, sedangkan kekuatan geser terdrainase digunakan apabila analisis kestabilan lereng dilakukan dengan pendekatan tegangan efektif.

Geologi Beberapa kondisi geologi yang diperlukan dalam analisis kestabilan lereng, yaitu: tipe mineral pembentuk material lereng, bidang-bidang diskontinuitas dan perlapisan, tingkat intensitas pelapukan, kedalaman pelapukan, sejarah dari keruntuhan sebelumnya dan keadaan tegangan di tempat.

Tipe longsoran yang mungkin terjadi sangat dipengaruhi oleh kondisi geologi dari bidang-bidang takmenerus pada daerah yang dipelajari. Berikut ini adalah sketsa dari beberapa bentuk tipe longsoran dan kondisi bidang-bidang takmenerus yang mempengaruhinya.

Konsep Dasar Analisis Kestabilan Lereng 22

Gambar 16. Pengaruh Kondisi Bidang-bidang takmenerus terhadap Tipe-tipe Longsoran

Konsep Dasar Analisis Kestabilan Lereng 23

Biasanya data geologi yang tersedia jumlah terbatas sehingga dapat menghasilkan beragam interpretasi. Oleh sebab itu kondisi geologi harus selalu diamati selama pekerjaan konstruksi berlangsung dengan mempertimbangkan kemungkinan adanya perubahan rancangan lereng apabila kondisi geologi yang aktual ternyata berbeda dengan kondisi geologi yang diasumsikan. Kondisi geologi yang diasumsikan dalam perancangan harus ditampilkan dalam penampang melintang.

Air tanah Kondisi air tanah merupakan salah satu parameter terpenting dalam analisis kestabilan lereng, karena seringkali terjadi longsoran yang diakibatkan oleh kenaikan tegangan air pori yang berlebih. Tekanan air pori tidak diperlukan apabila dilakukan analisis kestabilan dengan tegangan total. Gaya hidrostatik pada permukaan lereng yang diakibatkan oleh air yang menggenangi permukaan lereng juga harus dimasukkan dalam perhitungan kestabilan lereng, karena gaya ini mempunyai efek perkuatan pada lereng.

Pada umumnya keberadaan air akan mengurangi kondisi kestabilan lereng yang antara lain karena menurunkan kekuatan geser material sebagai akibat naiknya tekanan air pori, bertambahnya berat satuan material, timbulnya gaya-gaya rembesan yang ditimbulkan oleh pergerakan air.

Untuk analisis kestabilan pada lereng yang mempunyai dampak tinggi terhadap keselamatan manusia, perancang sebaiknya mempertimbangkan kondisi air tanah yang terburuk. Selain faktor curah hujan yang sangat tinggi, kondisi air tanah yang berbahaya terhadap kestabilan lereng juga dapat disebabkan oleh kebocoran saluran irigasi, tersumbatnya sistem drainase serta retakan-retakan tarik yang terisi oleh tanah.

Pembebanan pada lereng Data lain yang diperlukan dalam analisis kestabilan lereng yaitu gaya-gaya luar yang bekerja pada permukaan lereng, seperti beban dinamik dari lalu-lintas, beban statik dari bangunan atau timbuna di atas lereng, peledakan. Gaya-gaya luar ini harus

Konsep Dasar Analisis Kestabilan Lereng 24

dimasukkan dalam perhitungan karena mempunyai efek mengurangi kondisi kestabilan lereng.

Geometri Lereng Data geometri lereng yang diperlukan yaitu data mengenai sudut kemiringan dan tinggi lereng. Geometri lereng alami dapat ditentukan dengan membuat penampang vertikal berdasarkan peta topografi. Sedangkan untuk lereng buatan, geometri lereng ditentukan dari desain lereng yang akan dibuat.

Dari semua data yang dibutuhkan dalam analisis kestabilan lereng, data mengenai kekuatan geser dan kondisi air tanah merupakan data yang terpenting dan mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap keakuratan dan keterpercayaan hasil perhitungan analisis kestabilan lereng. Sayangnya penentuan kedua data tersebut secara akurat dan dapat mewakili kondisi yang sebenarnya di lapangan merupakan hal yang sulit untuk dilakukan oleh sebab itu untuk kedua macam data tersebut seringkali digunakan pendekatan yang konservatif.

8. Efek Tiga Dimensi


Pada umumnya kestabilan lereng dianggap sebagai persoalan dua dimensi dengan mengasumsikan bahwa lereng berada dalam kondisi regangan bidang, sehingga bidang gelinciran dianggap mempunyai lebar yang takterhingga. Sehingga asumsi regangan bidang hanya sesuai untuk penampang yang terletak pada bagian tengah bidang gelinciran. Untuk bagian-bagian sisi pinggir bidang gelinciran asumsi tersebut tidak dapat dipenuhi.

Analisis tiga dimensi pada umumnya akan menghasilkan faktor keamanan yang relatif lebih besar dibanding apabila analisis dilakukan dengan metode dua dimensi dengan nilai perbedaan yang bervariasi dari 0% sampai 40 %. Hal ini disebabkan karena pada analisis dua dimensi, pengaruh dari sisi-sisi pinggir bidang runtuh tidak dimasukkan dalam perhitungan faktor keamanan.

Konsep Dasar Analisis Kestabilan Lereng 25

Berikut ini adalah contoh analisis tiga dimensi untuk longsoran dari timbunan limbah di bukit Kettleman, California. Analisis dua dimensi dari berbagai penampang melintang menghasilkan nilai faktor keamanan yang bervariasi dari 0.85 sampai 1.36, sementara itu analisis tiga dimensi menghasilkan nilai faktor keamanan 1.06.

Gambar 17. Contoh Analisis Tiga Dimensi untuk Longsoran

Secara umum analisis kestabilan lereng menggunakan pendekatan dua dimensi cukup memadai untuk perancangan lereng karena memberikan faktor keamanan yang konservatif. Analisis kestabilan lereng dengan menggunakan pendekatan tiga dimensi disarankan dipergunakan dalam analisis balik dari lereng yang mengalami longsoran. Kekuatan geser yang diperoleh dari perhitungan analisis balik selanjutnya dapat dipergunakan dalam perancangan perbaikan lereng yang runtuh maupun untuk perancangan lereng baru pada daerah yang memiliki kondisi yang hampir sama. Apabila efek tiga dimensi tidak dimasukkan dalam analisis balik maka dapat mengakibatkan nilai kekuatan geser yang dihasilkan terlalu tinggi dari nilai yang sebenarnya.

Analisis tiga dimensi juga sangat berguna dalam analisis kestabilan lereng yang mempunyai topografi yang komplek, lereng dengan kondisi air tanah yang cukup komplek, lereng dengan material yang memiliki kekuatan geser yang berbeda cukup

Konsep Dasar Analisis Kestabilan Lereng 26

berarti antara material pada bidang runtuh dan material diatasnya. Hal ini dikarenakan analisis tiga dimensi dapat memasukkan adanya variasi spasial tersebut ke dalam perhitungan faktor keamanan.

9. Analisis Balik
Longsoran merupakan hal yang sering terjadi dalam kegiatan operasional penambangan maupun konstruksi sipil. Apabila hal tersebut terjadi maka seringkali dilakukan analisis balik untuk memperkirakan kekuatan geser material pada saat terjadinya longsoran. Hasil yang diperoleh kemudian dibandingkan dengan hasil pengujian kekuatan geser di laboratorium untuk mendapatkan parameter kekuatan geser yang dapat dipercaya dapat perhitungan analisis kestabilan lereng selanjutnya. Gambar 17 adalah contoh hasil perhitungan analisis balik.

Analisis balik dapat menjadi suatu alat yang sangat efektif dalam mengivestigasi parameter kekuatan geser tanah atau batuan. Akan tetapi bagaimanapun juga harus berhati-hati terhadap beberapa kesulitan tersembunyi dalam analisis balik yang meliputi asumsi dasar yang menganggap massa tanah atau batuan adalah homogen, perkiraan mengenai geometri lereng dan bidang gelinciran serta kondisi tekanan air pori pada saat terjadinya longsoran. Pada umumnya semua hal tersebut jarang dapat dicapai atau dipenuhi.

Konsep Dasar Analisis Kestabilan Lereng 27

Gambar 17. Analisis balik pada suatu longsoran di Folkestone Warren, U.K

Lokasi bidang runtuh biasanya hanya diketahui dibeberapa titik saja sehingga harus dilakukan suatu interpolasi untuk mendapat suatu bidang runtuh. Pendekatan ini dapat menimbulkan suatu kesalahan dalam perhitungan analisis balik. Apabila bidang runtuh yang diperkirakan lebih dalam dari yang sebenarnya maka akan menghasilkan nilai kohesi yang lebih tinggi dan nilai sudut gesek yang lebih rendah dan hasil yang sebaliknya apabila perkiraan bidang runtuh lebih dangkal dari bidang runtuh yang sebenarnya.

Konsep Dasar Analisis Kestabilan Lereng 28

Data-data mengenai tekanan air pori biasanya hanya sedikit dan tidak akurat bahkan tekanan air pori pada saat terjadinya keruntuhan hampir selalu tidak diketahui. Apabila tekanan air pori lebih tinggi dari nilai yang sebenarnya maka akan menghasilkan nilai parameter kuat geser yang lebih tinggi juga.

Daftar Pustaka
1. Abramson, L.W., Lee, T.S., Sharma, S., and Boyce, G.M., 1996. Slope Stability and Stabilization Methods. John Wiley & Sons Inc. 2. Arellano, D., Stark, T.D. 2000. Importance of Three-Dimensional Slope Stability Analyses in Practice. Slope Stability2000. Proceedings of Sessions of GeoDenver 2000. Geotechnical Special Publication No. 101. Hal. 18-31 3. Atkinson, L.E. 2000. The Role and Mitigation of Groundwater in Slope Stability, dalam Slope Stability in Surface Mining (Hustrulid, W.A, McCarter, M.K, dan Van Zyl, D.J.A, editor), hal. 89-96. SME, Colorado. 4. Bell R. & Glade T. (2004): Quantitative risk analysis for landslides - Examples from Bldudalur, NW-Iceland.- Natural Hazard and Earth System Science 4(1): 117-131 5. Bishop, A.W. 1955. The Use the Slip Circle in the Stability Analysis of Slopes. Geotechnique, Vol. 5, No. 1, hal 7-17. 6. Bommer, J.J dan Rodriguez, C.E. 2002. Earthquake-induced Landslides in Central America. Engineering Geology, Vol. 63, hal. 189-220. 7. Broadbent, C.D., dan Zavodni, Z.M. 1982. Influence of Rock Structure on Stability, Stability in Surface Mining, Volume 3, (Brawner, C.O., editor), hal. 7-18, New York, SME. 8. Call, R.D., dan Savely, J.P. 1990. Open Pit Rock Mechanics, dalam Surface Mining 2nd ed, (Kennedy, B.A.. editor). AIME. 9. Chandler, R. J. (1974). Lias Clay: The Long-Term Stability of Cutting SlopesGeotechnique 24, No. 1,21-38. 10. Clayton C.R.I., Matthews M.C., Simons N.E. 1995. Site Investigation.Second Edition. Blackwell Science, Oxford. 584 pp.

Konsep Dasar Analisis Kestabilan Lereng 29

11. Coggan, J.S., Stead, D. dan Eyre, J.M. 1998. Evaluation of Techniques for Quarry Slope Stability Assessment. Trans. Instn Min. Metall. (Sect. B: Appl. earth sci.) 107, hal B139-147. The Institution of Mining and Metallurgy. 12. Craig, R. F. 1995. Soil Mechanics 5th Ed.. Chapman & Hall, London. 13. Cruden, D.M., & Varnes, D.J. (1996), Landslide Types and Processes Ch.3 in Landslides. Investigation and Mitigation, Eds Turner, A.K. and Schuster, R.L. Special Report 247, Transport Research Board, National Research Council, Washington D.C. 14. Das, B.M. 1990. Principles of Geotechnical Engineering, 2nd Ed. PWS-KENT, Boston. 15. Dinis da Gama, C., 1982. Back Analysis of Slope Failure in the Cercado Uranium Mine, Stability in Surface Mining, Volume 3, (Brawner, C.O., editor), hal. 745-771, New York, SME. 16. Duncan, J.M., dan Buchignani, A.L. 1975. An Engineering Manual for Slope Stability Studies, Department of Civil Engineering, Institute of Transportation and Traffic Engineering, University of California, Berkeley. 17. Duncan, J.M, Stark, T.D. 1992. Soil Strength form Back Analysis of Slope Failure. Stability and Performance of Slopes and Embankments II, Vol. 2. (Editor: Seed, R.B, Boulanger, R.W), ASCE. hal. 890-904. 18. Dunn, I.S., Anderson, L.R., dan Kiefer, F.W. 1980. Fundamentals of Geotechnical Analysis. John Wiley & Sons, New York. 19. Fell, R., Hungr, O., Lerouil, S., Riemer, W. 2000. Keynote Lecture Geotechnical Engineering of The Stability of Natural Slopes, and Cuts and Fills in Soil. GeoEng2000, An International Conference on Geotechnical & Geological Engineering. 19-24 November 2000 Melbourne, Australia. 20. Franca, P. 1997. Analysts of Slope Stability Using Limit Equilibrium and Numerical Methods With Case Examples From The Aguas Claras Mine, Brazil. M.Sc Thesis, Department of Mining Engineering, Queen's University, Kingston, ontario, Canada 21. Geotechnical Engineering office. 2000. Geotechnical Manual for Slopes 2nd Edition. Civil Engineering Department. The Government of The Hong Kong

Konsep Dasar Analisis Kestabilan Lereng 30

Special Administrative Region, Fourth Reprint. 22. Giani, G. P., 1992. Rock Slope Stability Analysis, Balkema, Rotterdam. 23. Glade T. & Crozier M.J. (2005): The nature of landslide hazard and impact.- in: Glade T., anderson M. & Crozier M. (Eds): Landslide hazard and risk.- Wiley, Chichester 43-74. 24. Goodman, R.E., Introduction to Rock Mechanics, 2nd Ed, John Wiley & Sons, New York, 1989. 25. Goodman, R.E, dan Kieffer D.S. Behavior of Rock in Slopes. Journal of Geotechnical and Geoenvironmental Engineering, Vol. 126, No. 8, August 2000, hal.675-684. 26. Gostelow, T.P. 1991. Properties of Soils Relevant to Natural Slope Stability. in Proceeding Environmental and Quality of Life: Natural Hazards and Engineering Geology - Prevention and Control of Landslides and Other Mass Movement (Editor: AlmeidaTeixeira, M.E, dkk). Brussels, Commision of the European Communities, 1991. hal. 37-51. 27. Gostelow, T.P. 1991. Rainfall and Landslides. in Proceeding Environmental and Quality of Life: Natural Hazards and Engineering Geology - Prevention and Control of Landslides and Other Mass Movement (Editor: AlmeidaTeixeira, M.E, dkk). Brussels, Commision of the European Communities, 1991. hal. 139-161. 28. Hoek, E., dan Bray, J.W. 1981. Rock Slope Engineering 3rd Ed., Institution of Mining and Metallurgy, London. 29. Huang, Y. H. 1993. Stability Analysis of Earth Slopes. Van Nostrand Reinhold, New York. 30. Hudson, J.A. 1989. Rock Mechanics in Engineering Practice, Butterworths, London. 31. Irfan, T.Y. 1998. Structurally Controlled Landslides in Saprolitic Soils in Hongkong. Geotechnical and Geological Engineering, Vol. 16, hal. 215-238. Chapman & Hall. 32. Iverson, R.M. 2000. Landslide Triggering by Rain Infiltration. Water Resources Research, Vo. 36, No. 7, hal. 1897-1910, July.

Konsep Dasar Analisis Kestabilan Lereng 31

33. Kenney, T.C. 1984. Properties and Behaviour of Soil Relevant to Slope Instability. Dalam Slope Instability (Editor: Brunsden, D. dan Prior, D.B), hal.27-65. 34. Morgenstern, N.R., dan Price, V.E. 1965. The Analysis of the Stability of General Slip Surfaces. Geotechnique, Vol. 15, hal. 79-93. 35. Popescu, M.E. 2002. Landslide Causal Factors and Landslide Remediatial Options. Keynote Lecture, Proceedings 3rd International Conference on Landslide, Slope Stability & Safety of Infra-Stuctures, Singapore, hal. 61-81. 36. Sjberg, J. 1991. Analysis of Large Scale Rock Slopes. Department of Civil and Mining Engineering, Division of Rock Mechanics. Lule University of Technology, Swedia. 37. Skempton, A.W. 1964. Fourth Rankine Lecture: Long term stability of clay slopes. Geotechnique. Vol, 14, No.2, 77-101. 38. Sowers, G.F. 1979. Introductory Soil Mechanics and Foundations: Geotechnical Engineering, 4thEd. MacMillan, New York. 39. Stark, T.D., Eid, H.T. 1998. Performance of Three-Dimensional Slope Stability Methods in Practice. Journal Geotechnical and Geoenvironmental

Engineering. Vo. 124, No. 11, Hal. 1049-1060. 40. Sugalang, Siagian, Y.O.P. dan Nitihardjo, S. 2000. Landslide Disaster in Indonesia. ITIT Project. Research on Landslide Assessment and Hazard Mapping in Asia., Report of International Research and Development Cooperation, hal. 5-10. http://staff.aist.go.jp/s.tsuchida/itit/f_report 41. Tsidzi, K.E.N. 1997. An Engineering Geological Approach to Road Cutting Slope Design in Ghana. Geotechnical and Geological Engineering, Vol. 15, hal. 3145.

You might also like