You are on page 1of 1

Nama Mata pelajaran Kelas / Semester Hari / Tanggal

: : : :

Haris Fadillah Bahasa Indonesia XB / I (Ganjil) Jum'at / 3 November 2007

Kalender dan Jam


Malam itu, jam yang berada di dinding kamar kembali membuka percakapan dengan kalender yang digantungkan tepat di bawahnya. Kamar itu bercat kehijauan. Tiga kali empat meter. Ada sebuah jendela di dinding selatan dengan gorden dobel. Dinding utara ditempeli rak buku. Tentu saja, isinya bukan hanya buku tetapi segala macam: kaset, semprotan nyamuk, disket, cd, pokoknya segala macam. Dekat jendela ada sebuah ranjang yang merapat ke dinding timur. Ketika percakapan itu dimulai, lelaki penghuni kamar yang suka susah tidur di ranjang itu sedang tidak ada di sana. Kalender memang terkenal keras kepala, tetapi jam selalu berusaha meyakinkannya tentang hakikat waktu. Waktu itu fana, kata kalender. Disobek begitu saja, tidak akan pernah bisa ditangkap lagi. Orang menyobekku dan memanfaatkanku sebagai bungkus roti atau apa pun, katanya, hanya untuk menghilangkan jejak yang pernah dilaluinya dengan sangat tergesa. Telunjuk orang, katanya, selalu bergeser dari tanggal ke tanggal yang sangat rapat jaraknya. Kalau sudah menunjuk ke suatu tanggal, lalu sama sekali tidak berniat untuk memperhatikan yang sebelumnya. Tetapi jam berpendapat lain. Waktu itu abadi, katanya. Kalau jarum jarumku bergetar, mereka bergerak dari angka ke angka tetapi tetap saja di porosnya. Karena abadi, ia tidak bisa ditunda atau dibatalkan apalagi dihentikan; pendeknya, tidak akan ada yang pernah bisa menangkap waktu dan memenjarakannya untuk disiksa atau diadili, dirayu atau pun diapakan saja, tegasnya. Kalender dan jam juga bertengkar tentang apakah waktu bisa ditunggu, soalnya ramai orang berbicara mengenai menunggu waktu. Kalau bisa ditunggu, kata kalender maka yang menunggu itu mempunyai jarak dengan waktu, yakni berada di luar waktu, itu hal yang mustahil. Tetapi jam mengatakan bahwa segala yang dialami semesta ini sedang menunggu waktu dan sekaligus berada di dalamnya. Semua benda di dalam ruangan itu tidak pernah sepenuhnya mengerti manfaat pembicaraan itu dan lebih memilih diam agar suasana tidak menjadi lebih riuh lagi. Lelaki itu, jika ia sedang di rumahnya , ia suka menguping pembicaraan itu. Walaupun ia mendengarnya, tetapi ia tak pernah bisa memahaminya. Menghayatinya, mungkin. Pada saat-saat tertentu ia memang merasa terganggu oleh cekcok itu, oleh karenanya ia sangat sering susah tidur. Ia pun akhirnya pergi ke dokter untuk konsultasi, tetapi dokter hanya memberikan beberapa obat tidur. Malam itu juga, yakni ketika lelaki itu tidak berada di kamarnya, terdapat sekuntum bunga wijayakusuma yang sedang mekar tepat di bawah jendela. Bunga itu memang diberi jatah untuk mekar pada malam hari oleh waktu. Jika lelaki itu sedang di kamarnya, ia suka menyingsingkan gorden dan menyaksikan peristiwa yang menakjubkan itu. Bunga yang mekar itu seperti merasakan hidup yang nyerinya hampir tak tertahankan, yang hanya bisa dihayati dan dipahami oleh jam dan kalender. Kalender dan jam pun memperdebatkan masalah itu. Itu proses kelahiran, kata jam. Bukan, kata kalender, itu upacara kematian. Kamar pun menjadi gaduh. Buku buku yang ada dirak dan semua barang yang ada di ruangan itu mulai buka mulut. Mereka semua meminta agar perdebatan itu dihentikan saja karena membuang waktu. Membuang-buang waktu ? Malahan perdebatan itu menjadi semakin heboh dan tak berujung. Sayang sekali lelaki itu sedang tidak ada di rumahnya. Ia tidak menyaksikan bagaimana bunga yang telah lama dirawatnya itu mekar di awal malam dan mengatup lagi serta menjadi layu menjelang pagi harinya. Ia juga tidak mendengar bagaimana jam dan kalender itu bertengkar dengan sengit. Tetapi kapankah si lelaki itu kembali? tak ada yang tahu.

You might also like