You are on page 1of 8

Nama : MELDA Nim : 1101178 (Pendas A)

Dosen : Prof. Dr. Wina Sanjaya, M.Pd Kajian Kurikulum dan Pembelajaran Pendidikan Dasar Pembelajaran Bermakna di Pendidikan Dasar Beberapa Masalah Mengapa mesti kembali mengkaji dan terus mengkaji pendidikan, terutama
pendidikan dasar? Padahal dengan kondisi yang ada dan terus berupaya diperbaiki oleh pemerintah melalui kebijakannya, siswa-siswa lulusan pendidikan dasar yang meneruskan ke jenjang pendidikan menengah dan kemudian jenjang pendidikan tinggi tidak terdapat masalah yang timbul secara serius di masyarakat. Dengan kondisi pendidikan dasar sekarang juga sudah dapat mencetak siswa sekolah menengah dan mahasiswa yang berprestasi dan mampu menjadi penggerak perubahan sosial dan intelektual lebih baik. Dengan kata lain, realitas empiris menyatakan: sudah banyak intelektual, aktivis, professor, wirausahawan, politisi, negarawan, yang lahir, walau dengan kondisi pendidikan dasar seperti sekarang ini. Jika begitu, dapat pula diajukan argumen: dengan kondisi pendidikan dasar masa kolonial dan awal-awal kemerdekaan yang tentu tidak lebih baik dari kondisi sekarang, atau bahkan lebih memprihatinkan, ternyata juga dapat menghasilkan orang-orang hebat, lalu untuk apa pendidikan dasar perlu diperbaiki? Di sinilah kemudian petanyaan yang patut diajukan adalah: apakah realita pendidikan dasar kita sudah sesuai dengan hakikat pendidikan itu sendiri? Dari pertanyaan ini akan muncul pertanyaan lanjutan, yakni apakah tujuan dari diadakannya pendidikan dasar? Pertanyaan kritis yang juga muncul sebagaimana diungkapkan oleh Freire (dalam Apple, Gandin, dan Hypolito, 2006: 234) adalah: apa?, mengapa?, bagaimana?, untuk tujuan apa?, bagi siapa? dan sejenisnya. Jawaban-jawaban yang muncul tentu meniscayakan mengkaji lebih dalam mengenai siapa dan apa pun yang terlibat dan terkait dengan pendidikan dasar, termasuk anak atau siswa, guru, lingkungan sekolah, masyarakat, dan lainnya. Di media massa kita sering melihat berbagai masalah berkaitan dengan pendidikan dasar, mulai dari hal teknis seperti sarana dan prasarana yang terbatas, kesadaran sekolah rendah di daerah-daerah luar jawa, dan lainnya. Lebih dalam lagi muncul juga masalah seperti adanya keluhan pelajaran terlalu banyak, berat, dan luas. Di sinilah pertanyaan fundamental mengenai tujuan pendidikan dasar harus diajukan kembali untuk membongkar akar masalah yang ada dalam praksis

Nama : MELDA Nim : 1101178 (Pendas A)

Dosen : Prof. Dr. Wina Sanjaya, M.Pd Kajian Kurikulum dan Pembelajaran Pendidikan Dasar
pendidikan dasar. Dengan demikian, di sini akan lebih banyak membahas pada dimensi filosofis-ideologis untuk melihat bahwa hal-hal yang lazim tersebut sebenarnya adalah hal-hal yang bermasalah, namun dianggap sebagai kewajaran. Dalam tulisan ini akan melihat kaitan antara pendidikan dasar dengan hakikat anak atau siswa yang hidup dalam sebuah lingkungan sosial dan budaya tertentu. Tujuan Pendidikan Dasar Hal paling fundamental yang perlu ditanyakan sebagaimana dibahas di atas adalah apakah tujuan pendidikan dasar? Sekarang mari kita lihat tujuan dari pendidikan dasar di Indonesia. Agaknya tidak terdapat dokumen resmi yang memuat hakikat pendidikan dasar secara khusus, termasuk dengan tujuannya, dan agendaagenda reformasi substansial jangka panjang di Indonesia. Dokumen resmi yang dimaksud di sini adalah ketentuan resmi negara dalam menyelenggarakan pendidikan dasar secara substansial, komprehensif, dengan landasan filosofis dan ideologis yang kukuh. Jadi tidak sekadar dokumen kebijakan pendidikan dasar seperti Wajib Belajar Sembilan Tahun, Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Pendidikan Gratis dan lainnya. Satu dokumen yang mungkin dapat dirujuk untuk mengetahui tujuan pendidikan dasar secara spesifik adalah Peraturan Pemerintah RI No. 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, pasal 26 ayat (1) menyatakan bahwa, Standar kompetensi lulusan pada jenjang pendidikan dasar bertujuan untuk meletakkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut. Namun sebenarnya ketentuan tersebut juga tidak dapat dikatakan sebagai tujuan pendidikan dasar, namun sekadar pada standar kompetensi yang dituju oleh pendidikan dasar. Berdasarkan pada teks tujuan pendidikan dasar tersebut, yakni meletakkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut, kira-kira dapat dikategorikan tiga domain utama tujuan pendidikan dasar dengan merujuk pada Benjamin Bloom (dalam Phopam, 2004), yaitu domain kognitif (kecerdasan, pengetahuan), afektif (kepribadian, akhlak mulia), dan psikomotorik (keterampilan untuk hidup mandiri). Untuk domain kognitif, yakni dalam upaya melandasi dan membentuk dasar pengetahuan dan kecerdasan anak, dalam kurikulum subject matter klasik diberikan

Nama : MELDA Nim : 1101178 (Pendas A)

Dosen : Prof. Dr. Wina Sanjaya, M.Pd Kajian Kurikulum dan Pembelajaran Pendidikan Dasar
dalam bentuk pelajaran membaca, menulis, dan berhitung (calistung, atau 3R, yakni reading, writing, dan arithmetics). Namun jika kita melihat pada ranah praksis pembelajarannya, ternyata pelajaran membaca, menulis, dan berhitung yang diberikan terlalu berat untuk siswa usia pendidikan dasar, terutama untuk sekolah dasar (pendidikan dasar terdiri dari sekolah dasar dan sekolah menengah pertama). Bahkan ada banyak sekolah yang mensyaratkan anak-anak ketika masuk ke sekolah dasar sudah memiliki kemampuan membaca, menulis, dan berhitung. Dengan kata lain, terjadi pergeseran pemberian dasar pengetahuan tersebut, tidak lagi pada pendidikan dasar, melainkan pada masa pra-sekolah, yakni pada taman kanak-kanak (TK) atau bahkan playgroup. Pelajaran yang sarat muatan untuk sekolah dasar dapat dilihat dari masuknya bahasa Inggris sebagai mata pelajaran resmi. Tidak sekadar pengenalan, namun pada kelas-kelas 4, 5, dan 6 sudah begitu kompleks dengan bacaan-bacaan dan kosakata tinggi. Hal ini menjadi bermasalah karena pada level sekolah menengah pertama (sebagai bagian dari pendidikan dasar juga) kemudian menjadi makin berat pelajarannya, atau paling parah adalah terdapat pengulangan-pengulangan materi. Jika lebih dalam lagi dilihat dari materi yang diberikan di pendidikan dasar tersebut, sangat minim relevansinya dengan kehidupan anak-anak tersebut, dalam arti keterkaitan dengan kehidupan sosial-kultural sehari-hari mereka. Dengan demikian, maka sebenarnya dapat diduga bahwa pertimbangan masuknya pelajaran bahasa Inggris menjadi semakin awal di pendidikan dasar bahkan juga di TK dan playgroup tidak didasari oleh analisis kesesuaian dengan usia anak/siswa dan relevansi dengan konteks sosial-kultural si siswa/anak tersebut. Namun agaknya lebih didasarkan pada obsesi untuk sekadar melek bahasa Inggris, mungkin juga sebuah ketakutan dan inferioritas kultural dalam bahasa. Jika dilihat lebih jauh secara ideologis, maka agaknya materi pelajaran bahasa Inggris yang minim bersentuhan dengan realitas kehidupan si anak/siswa tersebut adalah dalam rangka mempersiapkan mereka untuk hidup dalam alam budaya modernitas. Dengan demikian, sejak dini siswa-siswa di pendidikan dasar telah didoktrin dengan materi-materi dan pemahaman dunia modernis-kapitalis, sebuah dunia yang datang dari Barat dan untuk superioritas Barat. Inilah yang disebut oleh Apple (2004: 37-39), sebagaimana juga dikemukakan oleh Bowles dan Gintis, Bernstein, dan Bourdieu sebagai hegemoni dan reproduksi sosial. Dalam reproduksi

Nama : MELDA Nim : 1101178 (Pendas A)

Dosen : Prof. Dr. Wina Sanjaya, M.Pd Kajian Kurikulum dan Pembelajaran Pendidikan Dasar
sosial tersebut bahkan struktur ekonomi yang tidak adil pun direproduksi atau dikuatkan. Penguatan pada aktivitas membaca, menulis, dan berhitung terlepas dari konteks empiris siswa, hingga mereka diberikan materi pelajaran bahasa Indonesia, Inggris, dan matematika tidak dapat membantu mereka dalam memahami dunia anak seusia mereka yang hidup dalam lingkungan sosial-kultural tertentu. Siswa/anak tersebut seakan dibebani materi yang ditujukan untuk persiapan mereka menjadi orang dewasa, hingga materi-materinya pun tampak terlalu dini diberikan pada anak atau siswa seusia sekolah dasar dan sekolah menengah pertama. Dalam istilahnya Franklin Bobbit (dalam Kliebard, 2004: 38) bahwa pendidikan ditujukan untuk kehidupan orang dewasa. Kliebard dalam upaya memahami pendapat Bobbit tersebut menyatakan bahwa: [] much curriculum policy, such as the strong emphasis on curriculum differentiation with its basis in predicting the probable destination of children as to their adult lives, rests squarely on education as preparation. If education is for what lies ahead, then it becomes of utmost importance to state with reasonable accuracy what that future. (Kliebard,2004: 38) Pada domain afektif (kepribadian dan akhlak mulia) persoalan klasik yang juga merupakan kritik terhadap pembelajaran agama, moral, Pancasila, dan kewarganegaraan di sekolah adalah: sekedar tekstual, dan justru cenderung mengasah kognitif, bukan afektif. Ketika kepribadian yang diinginkan seperti empati, simpati, toleransi, egaliter, kejujuran, keadilan, dan lainnya, ternyata hal itu sekadar menjadi perbincangan di kelas yang nanti penilaiannya adalah dengan test di atas kertas ujian akhir semester. Seakan masalah kepribadian dan akhlak mulia itu dapat direduksi sebagai sebuah perilaku yang tampak mata saja, dapat dipahami dan dinilai sebagai sesuatu yang material dan empiris belaka, hingga akhirnya dapat dinilai dan diukur dengan test atau ujian. Pun ketika dimaknai sebagai pemahaman dan keyakinan dalam ranah kognitif, maka ia dengan cukup dinilai melalui ujian tulis di atas kertas tersebut. Tidak dipahami bahwa domain/ranah afektif juga berdimensi spiritual dan mental. Padahal sebenarnya hal yang paling hakiki dari kepribadian dan akhlak mulia yang tampak adalah pemahaman dan keyakinan akan kejujuran, kebaikan, empati dan lainnya tersebut, dan hal itu tidak cukup dinilai melalui ujian kognitif, apalagi sekedar penampakan empiris.

Nama : MELDA Nim : 1101178 (Pendas A)

Dosen : Prof. Dr. Wina Sanjaya, M.Pd Kajian Kurikulum dan Pembelajaran Pendidikan Dasar
Kultur dan keteladanan inilah yang kurang di sekolah dasar dan menengah pertama. Hal itu wajar terjadi sebenarnya karena jarang terdapat kesadaran dan pemahaman bahwa kultur dan keteladanan sebagai sebuah hidden curriculum justru memiliki andil cukup besar dalam membentuk kepribadian siswa/anak ketimbang materi-materi tekstual (dalam Jackson dalam Apple, 2004: 78). Dengan penilaian atas capaian kepribadian dan akhlak mulia melalui test kognitif tersebut jelas bertentangan dengan tujuan untuk membentuk siswa/anak yang berkepribadian dan berakhlak mulia. Sedangkan pada ranah psikomotorik, yakni pendidikan dasar bertujuan untuk memberikan dasar keterampilan untuk hidup mandiri agaknya juga cukup bermasalah secara konseptual dan praksisnya. Hal itu karena agaknya juga tidak relevan dan sesuai anak/siswa sekolah dasar dan menengah dituntut untuk hidup mandiri, walaupun dalam kondisi yang menuntut seorang siswa harus mandiri karena masalah ekonomi misalnya. Pertanyaannya adalah: mandiri seperti apakah yang dimaksud dalam teks tersebut? Ketika dibenturkan dengan realitas sosial dan tahap perkembangan anak usia sekolah dasar, tentu tujuan psikomotorik tersebut sangat tidak sesuai, karena anak usia sekolah dasar bukanlah usia kerja yang membutuhkan keterampilan untuk hidup mandiri. Kemandirian tersebut dalam penelusuran etimologis dan ideologis akan dekat dengan maksud kata individualisme dan kompetisi, sedangkan kata keterampilan adalah satu makna dengan kompetensi. Hal ini senada dengan pernyataan Chua Beng Huat (2009) menyatakan bahwa, Competition is an essential process in capitalism, and a concept of the individual is essential to the process of competition. Kata kompetensi menunjukkan terminologi modernis dan dunia kerja, yakni dimaknai keterampilan atau kemampuan yang terukur dan dapat dilihat secara inderawi (observable, measurable). Siswa/Anak sebagai Subjek yang Diakui Sebenarnya subjek utama pendidikan dasar itu sendiri, yakni anak/siswa usia pendidikan dasar. Ketika pendidikan dan proses pembelajaran ditujukan untuk anak/siswa, maka subjek utamanya adalah anak/siswa itu sendiri, bukan guru, buku teks, fasilitas lainnya, ataupun lingkungan sekitarnya. Di sinilah pendidikan dan pembelajaran apapun itu dalam hal ini adalah pendidikan dasar mesti menjadikan

Nama : MELDA Nim : 1101178 (Pendas A)

Dosen : Prof. Dr. Wina Sanjaya, M.Pd Kajian Kurikulum dan Pembelajaran Pendidikan Dasar
anak/siswa sebagai subjek utama yang diakui dan dihargai. Dengan demikian tujuan pendidikan mesti melihat anak/siswa sebagai acuan utama, sekali lagi bukan cita-cita manusia dan masyarakat ideal apapun itu. Oleh karena itu tujuan dan materi pelajaran yang ada dalam kurikulum harus sesuai dengan tahap perkembangan intelektual, psikologis, dan sosiologis si anak/siswa. Dengan demikian pendidikan dan pembelajaran yang diberikan tidak sarat materi, melainkan lebih ringan sesuai usia kehidupan anak-anak. Pendekatan pembelajaran mestinya juga lebih menyenangkan anak/siswa, baik secara kontekstual, dengan simulasi, atau problem solving dapat merangsang rasa ingin tahu si anak/siswa lebih lanjut. Piaget (dalam Smith, 2006: 71) bahwa pendidikan baginya bukan untuk membimbing anak menyerupai orang dewasa, melainkan untuk menghasilkan pencipta. Praksis pendidikan dasar yang berlangsung sekarang, agaknya lebih melihat anak/siswa dan dunianya dari perspektif orang dewasa, bukan melihat dari perspektif anak/siswa itu sendiri, pun tidak melihat anak/siswa sebagai sebuah keutuhan. Di sinilah, dalam pendekatan pendidikan kritis (critical pedagogy) seperti yang dilakukan Paulo Freire (dalam Apple et al, 2006: 237-238) misalnya, menjadikan subjek pendidikan dalam hal ini adalah si anak/siswa tersebut sebagai titik tolak atau awal proses pendidikan dimulai. Jadi, pengetahuan awal anak dan pemahaman mereka atas diri dan dunia mereka, menjadi bahan pertimbangan dan bahkan materi pelajaran untuk membuka pemahaman mereka pada hal-hal lain. Pembelajaran yang Bermakna Pendidikan yang mempertimbangkan diri anak/siswa sebagai subjek yang diakui seutuhnya dan juga membangun kesadaran akan identitas diri dan sosialkulturalnya tersebut adalah pendidikan yang tidak saja humanis dan kontekstual, namun juga merupakan pendidikan dan pembelajaran yang bermakna (meaningful learning). Pendidikan yang bermakna dalam konteks pendidikan dasar pada tulisan ini adalah pendidikan yang betul-betul bermakna atau memberikan makna pada si anak/siswa. Jadi, kurikulum dan materi pelajaran yang diberikan tidak mubazir sebagai sesuatu yang mengawang-awang, melainkan betul-betul bermanfaat bagi si anak/siswa dalam masa perkembangan psikologis, sosiologis, dan intelektual mereka di lingkungan mereka sendiri.

Nama : MELDA Nim : 1101178 (Pendas A)

Dosen : Prof. Dr. Wina Sanjaya, M.Pd Kajian Kurikulum dan Pembelajaran Pendidikan Dasar
Bermakna bagi kehidupan keseharian si anak/siswa tersebut bukan berarti memberikan materi atau pelajaran yang sekadar teknis dan praktis saja, namun memberikan pelajaran yang sesuai dengan usia anak/siswa dan relevan dengan dengan lingkungan kehidupan mereka. Dengan demikian justru bukan kemampuan teknis dan praktis yang diberikan, melainkan kemampuan dasar yang lebih substansial untuk dapat mendorong rasa ingin tahu, membuka minat dan potensi, serta mengasah nalar kritis, kreativitas, dan inovasi anak/siswa. Hal-hal yang sederhana dan tidak rumit dalam membaca, menulis, dan berhitung misalnya tidak dapat diartikan sebagai hal-hal teknis dan praktis, karena hal yang sederhana tersebut diberikan pengertian secara substansial dan pendekatan yang mampu merangsang minat belajar lebih lanjut. Hal tersebut berbeda ketika materi atau pelajaran yang diberikan lebih bersifat teknis dan praktis belaka, maka tidak akan mampu mendorong dan merangsang anak/siswa untuk berminat dan mencari lebih jauh lagi. Pelajaran teknis tersebut tidak akan membawa anak/siswa ke mana-mana, jadi ya terbatas pada teknik praktis tersebut saja. Dengan kata lain, mengumpulkan hasrat ingin tahu lebih lanjut. Satu kemampuan yang mesti dimiliki dan diajarkan pada anak/siswa sejak dini dalam pembelajaran dan pendidikan bermakna adalah kemampuan untuk belajar bagaimana belajar (learning how to learn). Dengan kemampuan tersebut, juga bekal motivasi dan minat serta hasrat ingin tahu yang tinggi, maka anak/siswa tersebut ketika pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi, atau berpindah pada konteks sosialkultural yang berbeda, mereka akan mudah menyesuaikan diri dan belajar hal yang baru secara cepat. Hal tersebut tentu berbeda ketika misalnya si anak/siswa sebelumnya diberikan kemampuan teknis saja, maka ia akan kesulitan dan tidak dapat mengembangkan minatnya secara lebih luas. Pada akhirnya, kalau memang berniat untuk membenahi karut marut pendidikan dasar kita yang berada dalam hegemoni modernitas-kapitalis-neoliberal, maka semua perubahan orientasi yang

terformulasikan dalam dua solusi utama di sini, yakni menjadikan siswa sebagai subjek yang diakui dan membangun kesadaran identitas diri dan sosial-kulturalnya, mesti dilakukan. Paling mendasar dan berat tentu adalah perubahan orientasi ideologis tujuan pendidikan dasar kita, yakni perubahan dari orientasi hasil, target, dengan ukuran dan penilaian yang jelas dalam bentuk kompetensi teknis dan praktis,

Nama : MELDA Nim : 1101178 (Pendas A)

Dosen : Prof. Dr. Wina Sanjaya, M.Pd Kajian Kurikulum dan Pembelajaran Pendidikan Dasar
menuju berorientasi pada proses, lebih substansial, sesuai dengan usia perkembangan psikologis, sosial, dan intelektual si anak/siswa, relevan dengan kebutuhan dan realitas kehidupan yang dialami si anak/siswa tersebut, dan bermakna.

DAFTAR PUSTAKA
Apple, Michael W, Lus Armando Gandin, dan lvaro Moreira Hypolito. 2006. Paulo Freire,19211997 dalam Joy A. Palmer, Fifty Modern Thinkers on Education: 50 Pemikir Paling Berpengaruh Terhadap Dunia Pendidikan Modern. Terj. Farid Assifa. Yogyakarta: IRCiSoD. Apple, Michael W. 2004. Ideology and Curriculum, 3rd Edition. New York &London: Routledge Falmer. Huat, Chua Beng. 2009. Disrupting Liberalism in East Asia. Presentasi disampaikan dalam The First International Graduate Student Conference in Indonesia di Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada (UGM), 12 Desember. Yogyakarta: tidak diterbitkan. Kliebard, Herbert M. 2004. The Rise of Scientific Curriculum-Making and its Aftermatch dalam David J. Flinders dan Stephen J. Thornton (eds.), Curriculum Studies Readers, 2nd Edition. NewYork & London: RoutledgeFalmer. Phopam, W. James. 2004. Objectives dalam David J. Flinders dan Stephen J. Thornton (eds.), Curriculum Studies Readers, 2nd Edition. NewYork & London: RoutledgeFalmer. Smith, leslie. 2006. Jean Piaget, 18961980 dalam dalam Joy A. Palmer, Fifty Modern Thinkers on Education: 50 Pemikir Paling Berpengaruh Terhadap Dunia Pendidikan Modern. Terj. Farid Assifa. Yogyakarta: IRCiSoD. Torres, Carlos Alberto. 2009. Education and Neoliberal Globalization. New York & London: Routledge.

You might also like