You are on page 1of 8

1.

Resume angkatan 50 dan angkatan 70

Angkatan 50: 1950-1970

Pada tahun 1950, beberapa ahli sastra beranggapan bahwa kesusastraan mengalami kemunduran. Salah satu tokoh yang berpandangan bahwa kesusastraan Indonesia mengalami kemunduran adalah Sujadmoko. Dalam esainya yang berjudul Mengapa Konfrontasi, Sujadmoko melihat adanya krisis sastra akibat adanya krisis kepemimpinan politik. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa sastra Indonesia mengalami krisis karena yang ditulis hanya cerpen-cerpen kecil yang menceritakan psikologisme semata-mata.

Akan tetapi, tulisan Sudjadmoko tersebut mendapat reaksi keras terutama dari para sastrawan. Para sastrawan tersebut antara lain, Nugroho Notosusanto, S.M. Ardan, dan Boejoeng Saleh. Mereka mengatakan bahwa kesusastraan Indonesia tumbuh subur. H.B. Jassin dalam simposium sastra yang diselenggarakan oleh Fakultas Sastra Universitas Indonesia pada tahun 1954 mengemukakan bahwa kesusastraan Indonesia modern tidak mengalami krisis. Dia mengemukannya dengan bukti-bukti dan dokumentasi yang lengkap. Pada tahun 1955, dalam simposiun yang diadakan kembali di Fakultas sastra Universitas Indonesia, Harijadi S Hartowardojo mengemukakan pendapatnya melalui tulisan yang berjudul Puisi Indonesia Sesudah Chairil Anwar. Selain dalam simposium tersebut pendapat mengenai lahirnya angkatan sastra baru muncul dalam simposium-simposium yang diadakan di Yogyakarta, Solo, dan lainlain.

Pada tahun 1960, dalam simposium yang diadakan di Jakarta, Ajib Rosidi mengemukakan sumbangan terbaru sastrawan Indonesia untuk perkembangan kesusastraan Indonesia. Dia mencoba mencari ciri-ciri yang membedakan angkatan terbaru dengan angkatan 45. Lebih lanjut ia mengemukakan bahwa sikap budaya pada sastrawan yang tergolong angkatan baru merupakan sintesis dari dua sikap ekstrim mengenai kebudayaan Indonesia. Sikap yang pertama adalah sikap yang berpendapat bahwa kebudayaan nasional Indonesia merupakan puncak-puncak kebudayaan daerah, sedangkan sikap kedua adalah sikap yang berpendapat bahwa kebudayaan Indonesia adalah kebudayaan yang mendunia. Maka sikap sintesisnya adalah kebudayaan nasional Indonesia akan berkembang dalam masyarakat Indonesia masakini, yaitu adanya kebudayaan daerah dan pengaruh dari luar.

Pada tahun 1966, dalam fajar zaman politik Indonesia baru, yaitu zaman Orde Baru, puisi mulai memainkan peranan sosial yang penting penting. Diilhami oleh beberapa sajak Chairil Anwar yang dirasa telah melontarkan perasaan pemuda yang memandang dirinya sebagai angkatan baru pejuang kemerdekaan. Sejumlah mahasiswa mulai menulis puisi kemudian diterbitkan dalam lembaran-lembaran stensilan dan memperoleh popularitas walau tidak lama. Nama-nama penyair yang lahir pada tahun 1966 adalah Taufik Ismail yang menerbitkan dua kumpulan sajaknya berjudul Benteng dan Tirani; Mansur Samin dengan Perlawanan; Bur Rasuanto dengan Mereka Telah Bangkit yang mengingatkan pada judul cerita pendeknya terdahulu yang berjudul Mereka akan Bangkit; dan Abdul Wahid Situmeang dengan Pembebasan di samping itu, terbit juga kumpulan berjudul Kenangkitan, yang merupakan tulisan bersama lima orang mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Semua buku kecil tersebut muncul pada 1966. Ciri-ciri puisi tahun ini merupakan sajak-sajak perlawanan. Ciri-ciri tersebut terlihat dari judul-judul puisinya. Sajak tahun 1966 pertama-tama bukanlah sebagai seni

melainkan curahan hati khas anak-anak muda yang mengalami kelegaan perasaan setelah masa penindasan. Meskipun demikian, tidak semua sajak-sajak tersebut sekadar untaian kosong. Ada juga sajak-sajak yang menyuarakan tuntutan-tuntutan konkret tentang pangan dan kubutuhan hidup lain.

Secara garis besar, angkatan 50 adalah angkatan yang dimulai dari tahun 1950-1970. Secara instrinsik, terutama unsur estetiknya angkatan 45 dan angkatan 50 sulit dibedakan sebab gaya angkatan 45 dapat dikatakan diteruskan oleh angkatan 50. Adanya pergantian situasi dari perang kemudian damai, maka para sastrawan mulai memikirkan masalah-masalah yang kemasyaraktan. Pada angktan ini muncul berbagai parta politik yang memilki lembaga kebudayaan sendiri, seperti PNI mempunyai LKN (Lembaga Kebudayaan Nasional), partai Islam mempunyai Lesbumi (Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia), dan PKI mempunyai Lekra (Lembaga kebudayaan Rakyat). Munculnya berbagai partai yang mempunyai lembaga kebudayaan sendiri menyebabkan corak kesusastraan Indonesia bermacam-macam.

Sastrawan-sastrawan yang mulai menulis pada dekade 50-an adalah Kirdjomuljo, WS Rendra, Ajib Rosidi, Toto Sudarto Bachtiar, Ramadhan KH, Nugroho Notosusanto, Subagio Sastrowardojo, Mansur Samin, N.H. Dini, Trisno Juwono, Rijono Praktikno, Alexandre Leo, Jamil Suherman, Bokor Hutasuhut, Bastari Asnin. Sularto, Motinggo Busje, Nasjah Djamin, Mohamad Diponegoro, Toha Mochtar, Ratmono Sn, Piek Ardydyanto, Hartojo Andangdjaja, dan lain-lain.

Para sastrawan Lekra yang menonjol dantaranya Bakri Siregar, Kalara Akustia, S. Anantaguna, F.L. Risakota, H.R. Banadaharo, dan Sabron Aidit. Sastrawan yang mulai menulis dekade 60-an, antara lain adalah Umar Kayam, Sapardi Djoko Damono, Darmanto Jt, Goenawan

Mohamad, Taufik Ismail, Kunto Wijoyo, Fudoli Zaini, Danarto, Sutardji Calzoum Bahri, Budi Darma, dan abdul Hadi W.M.

Ciri-ciri puisi angkatan 50 antara lain,

1. gaya epik (bercerita) berkembang dengan berkembangnya puisi cerita dan balada, dengan gaya yang sederhana dari puisi liri,

2. gaya mantra mulai tampak dalam balada-balada,

3. gaya ulangan mulai berkembang,

4. gaya puisi liris pada umumnya masih meneruskan gaya angkatan 45,

5. gaya slogan dan retorik.

Angkatan 70 : 1965-sekarang (1984)

Pada umumnya, tokoh-tokoh penting periode ini mulai menulis antara tahun 1965--1970. Sastrawan yang menulis pada tahun 1970, pada umunnya adalah para penulis muda seperti Linus Suryadi, Emha Ainun Najib, Korrie Layun Rampan, Ahmad Tohari, Yudhistira Ardi Nugroho, dan lain-lain. Dalam periode ini, banyak perkembangan dalam kesusastraan terutama dalam gaya ekspresi, permasalahan, serta nilai-nilai. Selain itu juga, dalan periode ini banyak muncul sastra

pop, novel-novel pop, yang secara literer tidak menunjukkan adanya perkembangan sastra sebab boleh dikata bercorak konvensional dan streo-type.

penyair-penyair yang muncul pada periode ini adalah Sutardji Calzoum Bahri, Sapardi Djoko Damono, Goenawan Mohamad, Abdul Hadi WM, Darmanto Jt, Linus Suryadi, dan Emha Ainun Najib.

Ciri-ciri puisi angtan 70 adalah

1. puisi bergaya mantra,

2. digunakan bahasa daerah secara menyolok,

3. dipergunakan asosiasi-asosiasi bunyi untuk mendapatkan gaya baru,

4. puisi-puisi imajisme menggunakan teknik tak langsung berupa gambaran-gambaran dengan lukisan-lukisan atau cerita kiasan,

5. gaya penulisan yang prosais dan berhubungan dengan gaya pisis imajisme,

6. puisi lugu, memepergunakan teknik pengungkapan ide secara polos dengan kata-kata serebral.

2. Analisis Puisi

Puisi angkatan 50

Subagio Sastro Wardojo

Dalang

Pulang dari seberang pantai Lidahnya seperti kelu Dan ia tak sedia Memainkan lagi bonekanya Pondoknya tertutup buat tamu Rakyat yang kebingungan Mendobrak pintunya dan berteriak : - Kisahkan lakon hidup ini dan terangkan apa artinya! Terbangun dari keheningan Ia menulis sajak satu kata Yang paling bagus Berbunyi Hong.

Puisi di atas, memperlihatkan ciri-ciri angkatan 50. Ciri-ciri yang terdapat dalam puisi Dalang karya Subagio Sastro Wardojo adalah berupa epik. Puisi tersebut menceritakan keadaan seorang dalang yang tidak mau bercerita lagi kemudian dia diprotes oleh rakyat untuk menceritakan sebuah lakon.. Selain itu, muncul gaya slogan yang muncul pada baitnya yang kedua baris terakhir.

...Ia menulis sajak satu kata yang paling bagus. Berbunyi Hong

Dalam puisi ini juga terdapat gaya puisi liris. Pada bait pertama puisi ini sangat datar ketika masuk bait kedua emosi yang ditampil oleh pengarang mulai meninggi.

Puisi Angkatan 70

Abdul Hadi WM

Nina Bobo sebuah Kursi

Tidurlah kursi tidurlah di atas ombak. Tidurlah di samping nyenyak dan gelisah tak nampak. Tidurlah bersama sunyi, bersama jemu yang membengkak. Dan bersama gemetar yang memangku anak.

Tidurlah. Di samping kabut Derai angin dan luka yang menuliskan sajak.

Ketika ini bibit-bibit bangkit mengangkat sebutir padi. Ketika ini semut-semut merayap membongkar lobang roti.

Ketika ini laba-laba berlari mengejar kereta dinihari. Dan burung-burung esok berkicau menerbitkan matahari.

Tidurlah kursi, tidurlah di atas ombak Di samping nyenyak dan gelisah tak nampak. Dalam puisi Abdul Hadi WM di atas terdapat ciri-ciri yang dapat mewakili angkatan 70. Ciri-ciri tersebut antarla lain, puisi bergaya mantra. Puisi Abdul Hadi WM di atas seakan-akan mengajak orang untuk mengikuti apa yang dia katakan. Hal ini telihat pada bait pertama, bait kedua, dan bait ketiga. Pada bait-bait tersebut dimulai dengan kata-kata tidurlah yang diartikan dengan sikap mengajak. Gaya penulisan yang digunakan dalam puisi ini bersifat prosais yang berhubungan dengan imajisme. Imajisme yang dimaksudkan disini adalah teknik tidak langsung yang berupa gambaran-gambaran dengan lukisan atau cerita kiasan. Puisi diatas merupakan puisi yang berupa cerita kiasan mewngenai sebuah kursi yang tisur diatas ombak.

Ciri-ciri lain yang membedakan puisis-puisi angakatan 70 dengan angkatan sebelumnya adalah penggunaan asosiasi-asosiasi bunyi dan teknik pengungkapan ide secara polos dengan menggunakan kalimat biasa. Asosiasi bunyi yang terdapat dalam puisi Nina Bobo Sebuah Kursi terdapat pada bunyi akhir setiap baris pada bait satu, tiga dan , misalnya pada bait pertama terdapat kata ombak, nampak, membengkak, dan anak.

You might also like