You are on page 1of 39

CLINICAL SCIENCE SESSION (CSS) LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK

Diajukan untuk memenuhi tugas Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) SMF Ilmu Penyakit Dalam

Disusun oleh: Raisa Deviria Rahmawati Amelia Dwi Heryani

12100111041 12100111047

Preseptor: Apen Afgani dr., Sp. PD

Program Pendidikan Profesi Dokter SMF Ilmu Penyakit Dalam RSUD Al-Ihsan Bandung Fakultas Kedokteran Universitas Islam Bandung 2012

BAB I PENDAHULUAN Sistemik Lupus Eritematosus (Systemic Lupus Erythematous, SLE) adalah suatu penyakit autoimun multi-organ system dimana kerusakan sel jaringan terjadi karena kegagalan atau kehilangan kemampuan sistem imun tubuh untuk membedakan benda asing (antigen) dan jaringan / sel tubuh sendiri sehingga terjadinya zat anti terhadap inti sel dan autoantigen lainnya. Antibodi yang terlibat dikenal sebagai autoantibodi, yang akan bereaksi terhadap antigen sendiri dan akan membentuk sistem imun kompleks. Sistem imun kompleks ini akan terjadi di dalam jaringan tubuh dan akan mengakibatkan inflamasi terhadap jaringan dan sel. Perjalanan penyakitnya sangat beragam, sulit diprediksi, dan manifestasinya tidak khas. Bisa ringan dengan gejala lemah dan fatigue, penurunan berat badan, artritis atau atralgia, miositis, demam, fotosensitif, bercak - bercak di kulit dan serositis. Dapat pula berat, bahkan mengancam nyawa berupa trombositopenia, anemia hemolisis, nefritis, cerebritis, vaskulitis, pneumonitis, dan miokarditis.

BAB II SISTEM IMUN

2.1.

Imunitas Imunitas adalah resistensi terhadap penyakit yang utama penyakit infeksi. Gabungan sel, molekul dan jaringan yang berperan dalam resistensi terhadap

infeksi disebut system imun.

Reaksi yang dikoordinasi sel-sel, molekul-molekul terhadap mikroba dan

bahan lainnya disebut respons imun. System imun diperlukan tubuh untuk mempertahankan keutuhannya terhadap

bahaya yang dapat ditimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan hidup. Mikroba dapat hidup ekstraselular, melepas enzim dan menggunakan makanan

yang banyak mengandung gizi yang diperlukannya. Mikroba lain menginfeksi sel penjamu dan berkembang biak intraseluler

dengan menggunakan sumber energi sel penjamu.

Baik mikroba ekstraseluler maupun intraseluler dapat menginfeksi subjek lain,

menimbulkan penyakit dan kematian, tetapi banyak juga yang tidak berbahaya bahkan berguna atas penjamu.
SISTEM IMUN FISIK Kulit Selaput lender Silia Batuk Bersin NONSPESIFIK LARUT Biokimia Lisozim (keringat) Sekresi sebaseus Asam lambung Laktoferin Asam neuraminik Humoral SELULAR Fagosit Mononuklear Polimorfonuklear Sel NK Sel mast Basofil SPESIFIK HUMORAL SELULAR Sel B Sel T IgG IgA IgM IgE IgD Th1 Th2 Ts/ Tr/Th3 Tdt h CT L/Tc

3 Komplemen Interferon CRP

PERBEDAAN SISTEM IMUN NONSPESIFIK DAN SPESIFIK Imunitas Nonspesifik Imunitas Spesifik Positif Positif Selalu siap Tidak siap sampai terpajan alergen Respons cepat Respons lambat Tidak perlu ada pajanan sebelumnya Negatif Negatif Dapat berlebihan Respons intens Kekurangan memori Perlindungan lebih baik pada pajanan berikut PERBEDAAN SIFAT-SIFAT SISTEM IMUN NONSPESIFIK DAN SPESIFIK Nonspesifik Tidak berubah oleh infeksi Umumya efektif terhadap semua mikroba Sel yang penting Fagosit Sel NK Sel mast Eosinofil Molekul yang Lisozim penting Komplemen APP Interferon CRP Kolektin Molekul adhesi Resistensi Spesifisitas Spesifik Membaik oleh infeksi berulang (=memori) Spesifik untuk mikroba yang sudah mensensitasi sebelumnya Th, Tdth, Tc, Ts Sel B Antibodi Sitokin Mediator Molekul adhesi

A. NONSPESIFIC RESISTANCE: INNATE DEFENSES Muncul pada saat lahir dan memberikan perlindungan segera untuk melawan

berbagai macam patogen dan substansi asing. Ketiadaan respon spesifik kepada patogen yang spesifik. Innate defense mechanism First line of defense

Second line of defense 1. First Line of Defense: Skin and Mucous Membranes

Kulit dan membrane mukosa tubuh merupakan first line of defense untuk

melawan pathogen.

Barrier fisik maupun

kimia dapat memperkecil kesempatan patogen dan

substansi asing untuk masuk ke dalam tubuh dan menyebabkan sakit.

Kulit, khususnya bagian epidermis yang memiliki lapisan yang berlapis-lapis

dimana dapat memperlambat masuknya pathogen ke dalam tubuh. Selain itu juga dengan adanya pergantian sel epidermis secara periodic

membantu memindahkan mikroba dari kulit. Bakteri jarang menembus pada permukaan epidermis sehat. Jika permukaannya rusak karena terpotong, terbakar, atau tertusuk, terkadang

patogen dapat menembus epidermis dan menginvasi jaringan yang terdekat atau masuk ke sirkulasi darah terbawa ke bagian tubuh lainnya.

Membran mukosa, menghasilkan mucus yang berfungsi sebagai lubrikan

dan pelembab permukaan . Karena mukus sedikit kental, hal ini dapat menyababkan terperangkapnya

mikroba dan substansi lain.

Hidung, memiliki rambut hidung yang berfungsi sebagi perangkap dan

menyaring mikroba, debu, dan polutan dari udara inhalasi.

Membran mukosa pada upper respiratory track terdapat silia, memiliki waving

action yang mendorong debu atau mikroba yang terinhalasi terperangkap pada mukus ke arah tenggorokan. Batuk dan bersin mempercepat perpindahan mukus yang berisi patogen untuk

dikeluarkan dari tubuh.

Aparatus lakrimalis mata, menghasilkan dan menyalurkan air mata sebagai

respon untuk mencegah iritasi.

Adanya kedipan menyababkan air mata menyebar ke seluruh permukaan bola

mata.

Saliva, diproduksi oleh kelenjar saliva, membersihkan mikroba dari

permukaan gigi dan dari membran mukosa mulut.

Aliran saliva menurunkan kolonisasi mikroba di mulut. Pembersihan uretra oleh aliran urin memperlambat kolonisasi mikroba di

sistem urinari.

Sekresi vaginal juga membuang mikroba ke luar tubuh pada perempuan. Defekasi dan vomiting juga salah satu proses pembuangan mikroba. Beberapa zat kimia juga berkontribusi untuk pertahanan kulit dan membran

mukosa terhadap invasi mikroba.

Kelenjar sebasea kulit mengeluarkan substansi seperti minyak, sebum, dimana

membentuk lapisan pelindung di atas permukaan kulit. Asam lemak tak jenuh dalam sebum menghambat pertumbuhan beberapa

patogen bakteria dan fungi. Tingkat keasaman kulit (pH 3-5) disebabkan oleh sekresi asam lemak dan

asam laktat.

Keringat

membantu

membilas

mikroba

dari

permukaan

kulit

dan

mengandung lisozim, enzim yang mampu menghancurkan dinding sel beberapa bakteri.

Gastric juice, diproduksi oleh kelenjar lambung, merupakan campuran asam

hidroklorik, enzim, dan mukus.

Asam kuat gastric juice (pH 1,2-3,0) menghancurkan banyak bakteri. Sekret vaginal juga sedikit asam, dimana mengurangi pertumbuhan bakteri.

2. Second Line of Defense: Internal Defense

Second line of defense

Internal antimicrobial proteins Phagocytes Natural killer cells Inflammation Fever

a.
o

Internal antimicrobial proteins Darah dan cairan interstisial mengandung tiga

tipe cairan utama protein antimicrobial dimana dapat mengurangi pertumbuhan microbial. 1) Interferon Limfosit, makrofag, dan fibroblast yang terinfeksi oleh virus memproduksi protein, interferon atau INFs. IFNs tidak mencegah virus dari penyerangan dan penetrasi pada sel inang, tetapi memberhentikan proses replikasi pada virus. Tipe IFNs yaitu , , dan . 2) Complement Kelompok yang secara normal protein inaktif dalam plasma darah dan membrane plasma membentuk system komplemen. Ketika teraktivasi, protein complement ini meningkatkan beberapa reaksi imun, alergi, dan inflamasi. 3) Iron-binding Transferrins protein disebut transferin menghambat

pertumbuhan beberapa bakteri dengan menurunkan jumlah iron yang tersedia. b. Phagocytes

7 o o

Merupakan sel khusus yang melakukan fagositosis. Neutrofil dan makrofag merupakan tipe sel fagosit.

o Ketika terjadi infeksi, neutrofil dan makrofag bermigrasi ke area yang terinfeksi. o Selama migrasi, monosit membesar dan berkembang menjadi fagosit makrofag yang aktif.
o

Wandering macrophages merupakan makrofag yang meninggalkan darah dan bermigrasi ke daerah yang terinfeksi.

Fixed macrophages merupakan makrofag yang menetap pada suatu jaringan.

o Contoh fixed macrophages yaitu histiosit pada kulit dan lapisan subkutan, stelle reticuloendothelial cells (Kuffer cells) pada hati, alveolar makrofag pada paru-paru, mikroglia pada sistem saraf, dan makrofag jaringan pada spleen, lymph nodes, dan red bone marrow. o Fagositosis terdiri dari 5 fase, yaitu:
1) Fagositosis dimulai dari kemotaksis, secara kimiawi merangsang

bergeraknya fagosit-fagosit ke lokasi yang rusak. Zat kimia ini menarik fagosit untuk datang pada mikroba, WBC, jaringan sel yang rusak, atau complement protein yang teraktifasi.
2) Penempelan fagosit pada mikroba atau material asing lainnya

disebut adheren.
3) Setelah adheren, membran plasma fagosit membentuk perluasan

tonjolan, pseudopod, dimana menelan mikroba, proses ini disebut ingesti. Fagosom terjadi ketika pseudopod bertemu dan menyatu, mengelilingi mikroorganisme membentuk seperti kantung.

8 4) Fagosom masuk ke sitoplasma dan bersatu dengan lisosom untuk

membentuk suatu kesatuan, struktur besar ini disebut fagolisosom. Lisosome menghasilkan lisozim yang berfungsi menghancurkan dinding mikroba dan enzim digestif lainnya untuk menghancurkan karbohidrat, protein, lemak, dan asam nukleat. Fagosit juga membentuk lethal oxidant, seperti superoxide anion (O2-), hypochlorite anion (Ocl-), dan hydrogen proksida (H2O2), proses ini disebut oxidative burst.
5) Serangan gencar yang dilakukukan oleh lisozim, enzim digestive,

dan olsidan di dalam fagolisosom secara cepat membunuh banyak tipe mikroba. Beberapa material yang tidak bisa dihancurkan yang kemudian struktur tersebut dinamakan residual bodies.. c.
o

Natural killer cells Sekitar 5-10% limfosit

dalam darah adalah natural killler (NK) cells. o spleen, lymph node, dan red bone marrow. o NK cells ini memiliki Biasanya terdapat pada

kemampuan untuk membunuh berbagai jenis mikroba yang infeksius dan beberapa sel tumor. o kerusakan seluler melalui dua cara, yaitu:
1)

NK cells menyebabkan

NK cells mengeluarkan perforins, zat kimia yang apabila mikroba membuat membrane

menempel pada membrane plasma menjadi rapuh dan timbul sitolisis.

2)

NK cells mengeluarkan molekul yang apabila masuk pada sel

target menyebabkan apoptosis. d. o Inflammation Bersifat nonspesifik,

merupakan respon pertahanan tubuh terhadap jaringan yang rusak. o Keadan yang

meyababkan inflamasi, seperti pathogen, abrasi, chemical irritations, distorsi atau mengganggu sel , dan temperature yang eksim.
o

Karakteristik signs and

symtomp dari inflamasi yaitu kemerahan, nyeri, panas, dan bengkak.


o

Inflamasi

dapat

juga

menyebabkan kehilangan fungsi pada daerah yang luka. o Pada setiap kasus,

respon inflamasi memiliki tiga tahap dasar, yaitu (1) vasodilatasi dan peningkata permeabilitas pembuluh darah, (2) emigrasi (perpindahan) fagosit dari darah ke cairan interstisial dan (3) perbaikan jaringan. o Substasnsi yang

berkontribusi terhadap vasodiltasi, peningkatan permeabilitas, dan aspek lain dari respon inflamasi, yaitu: 1) Histamin

Pada respon luka, sel mast di jaringan penyambung dan basofil dan platelet di darah mengeluarkan histamine. Neutrofil dan makrofag menyebabkan pasa daerah yang rusak mengeluarkan histamine dimana mengakibatakan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah.

10

2)

Kinin

Merupakan polipeptida, dibentuk di darah dari precursor yang inaktif yang disebut kininogen, mempengaruhi vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas dan agent kemotaksis untuk fagosit. 3) Prostaglandin (PGs)

Suatu lipid, terutama seri E, dimana dihasilkan oleh sel yang rusak dan menyababkan efek histamine dan kinin. PGs juga mendtimulasi emiograsi fagosit untuk meninggalkan darah. 4) Leukotrien (LTs)

Diproduksi oleh basofil dan sel mast melalui sintesis membran fosfolipid. LTs menyababkan peningktan permeabilitas; juga berfungsi pada penempelan fagosit ke patogen dan sebagai kemotaksis untuk mendukug fagositosis. 5) Menstimulasi pengeluaran Complement histamine, menarik neutrofil oleh

kemotaksis, dan mendukung fagositosis; beberapa komponen dapat juga menghacurkan bakteri. e. Fever o Keadaan abnormal tingginya suhu tubuh yang muncul karena pengatur suhu di hipotalamus terreset. o Muncul selama infeksi dan inflamasi. o Banyak bakteri toxic meningkatkan suhu tubuh dengan cara merangsang pengeluaran fever-causing cytokines seperti IL-1.

11

o Peningkata

suhu

tubuh

meningkatkan

efek

dari

interferon,

menghambat pertumbuhan beberapa mikroba, dan memepercepat reaksi tubuh untuk proses penyembuhan.
SUMMARY OF NONSPECIFIC RESISTANCE (INNATE DEFENSES) Component Functions First Line of Defende: Skin ad Mucous Membranes Physical Factors Epidermis of skin Form a physical barrier to the entrance of microbes Mucous membranes Mucus Traps microbes in respiratory and gastrointestinal tracts Hairs Cilia Lacrimal apparatus Saliva Filter out microbes and dust in nose Together with mucus, trap, and dust from upper respiratory tract Tears dilute and wash away irritating substance and microbes Washes microbes from surface of teeth and mucous membranes of mouth Washes microbes from urethra Expert microbes from body Inhibit the entrance of many microbes, but not as effective as intact skin

Urine Defecation and vomiting Second Line of Defense: Internal Defense Antimicrobial Proteins Interferon (IFNs) Protect uninfected host cells from viral infection Complement system Natural killer (NK) cells Phagocytes Causes cytolysis of microbes, promote phagocytes, and contributes to Inflammation inflammation Fever Kill a wide variety of microbes and certain tumor cells Ingest foreign particulate matter Confined and destroys microbes and initiates tissue repair Intensified the effects of interferon, inhibits growth of some microbes, and speeds up body reactions that aid repair

12

2.2.

Autoimunitas Adalah respon imun terhadap antigen jaringan sendiri yang disebabkan adanya kegagalan mekanisme normal yang berperan untuk mempertahankan self-tolerance sel B, sel T, atau keduanya (hilangnya self-tolerance tubuh). Potensi untuk autoimunitas ditemukan pada setiap individu karena limfosit dapat mengekspresikan reseptor spesifik untuk banyaknya self-antigen.

13

Autoimunitas terjadi karena self-antigen yang dapat menimbulkan aktivasi, proliferasi, serta diferensiasi sel T autoreaktif menjadi sel efektor yang menimbulkan kerusakan jaringan dan kerusakan berbagai organ.

Baik antibody, maupun sel T, atau keduanya dapat berperan dalam pathogenesis penyakit autoimun.

Antigen disebut autoantigen, sedangkan antibody yang dibentuk disebut autoantibody. Sel autoreaktif adalah limfosit yang mempunyai reseptor untuk autoantigen.

Faktor Yang Berperan Dalam Autoimunitas A. Infeksi Dan Kemiripan Molecular Banyak infeksi menunjukkan hubungan dengan penyakit autoimun tertentu. Beberapa bakteri memiliki epitop yang sama dengan antigen sel sendiri. Respons imun yang timbul terhadap bakteri tersebut dapat bermula pada rangsangan terhadap sel T yang selanjutnya merangsang pula sel B untuk membentuk autoantibody. Infeksi virus dan bakteri dapat berkontribusi dalam terjadinya eksaserbasi autoimunitas. Pada kebanyakan hal, mikroorganisme tidak dapat ditemukan. Kerusakan tidak disebabkan oleh penyebab mikroba, tetapi merupakan akibat respons imun terhadap jaringan pejamu yang rusak. Contoh penyakit yang ditimbulkan kemiripan dengan antigen sendiri adalah demam reuma pasca infeksi streptokokus, disebabkan antibody terhadap streptokokus yang diikat jantung dan menimbulkan miokarditis. Homologi juga ditemukan antara antigen protein jantung dan antigen klamidia dan tripanosoma cruzi. Keduanya berhubungan dengan miokarditis. B. Sequestered Antigen Adalah antigen sendiri yang karena letak anatominya, tidak terpajan dengan system imun. Pada keadaan normal, sequesterede antigen tidak ditemukan untuk dikenal system

14

imun. Perubahan anatomi dalam jaringan seperti inflamasi (sekunder oleh infeksi, kerusakan iskemia atau trauma) dapat memajankan sequestered antigen dengan system imun yang tidak terjadi pada keadaan normal. Contohnya uveitis pasca trauma dan orchitis pasca vasectomy diduga disebabkan respons autoimun terhadap sequestered antigen. Inflamasi jaringan juga dapat menimbulkan perubahan struktur pada self-antigen dan pembentukan determinant baru yang dapat memacu reaksi autoimun. C. Kegagalan Autoregulasi Regulasi imun berfungsi untuk mempertahankan homeostasis. Gangguan dapat terjadi pada presentasi antigen, infeksi yang dapat meningkatkan respons MHC, kadar sitokin yang rendah (misal TGF-), dan gangguan respons terhadap IL-2. Pengawasan beberapa sel autoreaktif diduga bergantung pada sel Ts (sel T suppresor), sehingga sel Th dapat dirangsang sehingga menimbulkan autoimunitas. D. Aktifasi Sel B Poliklonal Autoimunitas dapat terjadi oleh karena aktivasi sel B poliklonal oleh virus (EBV), lipopolisakarida, dan parasit malaria yang dapat merangsang sel B secara langsung yang menimbulkan autoimunitas. Antibody yang dibentuk terdiri atas berbagai autoantibody.

E. Obat-Obatan Antigen asing dapat diikat oleh permukaan sel dan menimbulkan reaksi kimia dengan antigen permukaan sel tersebut yang dapat mengubah imunogenitasnya. Trombositopenia dan anemia merupakan contoh-contoh umum dari penyakit autoimun yang dicetuskan oleh obat.

15

Mekanisme terjadinya reaksi autoimun pada umumnya belum diketahui dengan jelas. Pada seseorang yang mendapat prokainamid dapat ditemukan antibody antinuclear dan timbul sindrom serupa SLE. Antibody menghilang bila obat dihentikan. F. Faktor Keturunan Penyakit autoimun memiliki persamaan predisposisi genetic. Meskipun sudah diketahui adanya kecenderungan terjadinya penyakit pada keluarga, tetapi bagaimana hal tersebut diturunkan, pada umumnya terjadi secara kompleks dan diduga terjadi atas pengaruh beberapa gen.

16

BAB III PATOLOGI

3.1. 3.1.1

Lupus Definisi Lupus merupakan suatu penyakit autoimmune pada jaringan ikat yang

berlangsung kronis dan dapat menyerang keseluruh jaringan/organ tubuh. 3.1.1 Klasifikasi Lupus Tipe penyakit Lupus 1. Discoid or Cutaneous Lupus (DLE), dengan karakteristik : 2. Mempengaruhi kulit, rambut atau membran mukosa. Teridentifikasi dengan suatu rash atau lesi. Titer ANA negatif atau rendah, Didiagnosis dengan biopsi dari rash. 10% will evolve into SLE. Treatment : topical or interlesional steroids; antimalarials.

Drug Induced Lupus (DIL) Berkembang setelah long-term use of certain medications. >> laki-laki > 50 tahun, gejala sama dengan dengan SLE. Sekurangnya 38 obat dapat menyebabkan DIL. Treatment yang paling penting adalah mengetahui pengobatan yang menjadi penyebab dan tidak melanjutkannya. Sekali pengobatan dihentikan, gejala biasanya hilang dalam 6 bulan. The ANA may remain positive.

3.

Neonatal Lupus Bukan SLE atau cutaneous lupus.

17

Terjadi ketika antibodi ibu cross over the placenta ke bayi. Dapat mempengaruhi kulit, jantung, hati dan/atau darah fetus dan bayi baru lahir.

Dapat menyebabkan suatu temporary rash. Dapat menyebabkan congenital heart block dan mungkin memerlukan pacemaker.

4.

Perawatan prenatal yang baik dapat mencegah masalah ini.

Systemic Lupus Erythematous (SLE)

3.2. 3.2.1

Lupus Eritematosus Sistemik Definisi Adalah penyakit autoimun yang ditandai produksi antibodi terhadap

komponen-komponen inti sel yang mengakibatkan manifestasi klinis yang luas. 3.2.2

Epidemiologi Sering ditemukan pada ras Cina, Negro dan Filipina Ditemukan pada segala usia. Paling banyak 15-40 tahun Wanita : pria (5,5-9) : 1 Etiologi Etiologi dan patogenesis SLE masih belum diketahui dengan jelas. Meskipun

3.2.3

demikian, terdapat banyak bukti bahwa patogenesis SLE bersifat multifaktor, dan ini mencakup pengaruh faktor genetik, lingkungan, dan hormonal terhadap respon imun. Faktor genetik memegang peranan penting dalam kerentanan serta ekspresi penyakit. Sekitar 10-20% pasien SLE mempunyai kerabat dekat (first degree relative) yang juga menderita SLE.

18

Sistem neuroendokrin ikut berperan melalui pengaruhnya terhadap sistem imun. 3.2.4 Patofisiologi

Sumber : Harrisons Principle of internal medicine, Ed 17th

Satu atau lebih faktor pemicu ( hormon seks, sinar ultraviolet, berbagai infeksi), pada orang dengan predisposisi genetik akan mendorong terjadinya keabnormalan pada sel T CD4, mengakibatkan hilangnya toleransi sel T terhadap self antigen. Sehingga muncul sel T autoreaktif yang akan menyebabkan induksi serta ekspansi sel B, baik untuk memproduksi autoantibodi atau sel memori. Autoantibodi yang terbentuk ditujukkan terhadap antigen yang terutama berada pada nukleoplasma (DNA, protein histon, dan non histon) yang bukan tissue spesific dan merupakan komponen integral semua jenis sel. Antibodi ini secara bersama-sama disebut anti nuclear antibody (ANA). Dengan antigen yang spesifik, ANA akan membentuk kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi. Pada SLE, telah ditunjukkan terjadi gangguan pada kompleks imun, baik berupa gangguan

19

klirens kompleks imun besar, gangguan pemrosesan kompleks imun dalam hati, dan penurunan uptake kompleks imun pada limpa. Gangguan tersebut memungkinkan terbentuknya deposit kompleks imun diluar sistem fagosit mononuklear. Kompleks imun ini akan mengendap pada berbagai organ sehingga terjadi fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini mengaktivasi komplemen sehingga terjadi

peradangan dan menimbulkan gejala. Autoantibodi pada SLE Antibody Antinuclear antibodies Anti-dsDNA Prevalence,% 98 70 Antigen Recognized Multiple nuclear DNA (doublestranded) Clinical Utility Best screening test; repeated negative tests make SLE unlikely High titers are SLE-specific and in some patients correlate with disease activity, nephritis, Anti-Sm 25 vasculitis Protein complexed Specific for SLE; no definite to 6 species of nuclear U1 RNA clinical correlations; most patients also have anti-RNP; more common in African Americans and Asians than Anti-RNP 40 Caucasians Protein complexed Not specific for SLE; high titers associated with syndromes that to U1 RNA have overlap features of several rheumatic syndromes including SLE; more common in African Anti-Ro (SS-A) 30 Americans than Caucasians Protein complexed Not specific for SLE; associated to hY RNA, primarily 60 kDa and 52 kDa with sicca syndrome, subacute cutaneous lupus, and neonatal lupus with congenital heart block; associated with decreased risk for nephritis

20

Anti-La (SS-B)

10

47-kDa protein complexed to hY RNA Histones associated with DNA (in nucleosome, chromatin) Phospholipids,

Usually associated with anti-Ro; associated with decreased risk for nephritis More frequent in drug-induced lupus than in SLE

Antihistone

70

Antiphospholipid

50

Three tests available ELISA s for ardiolipin and G1,

glycoprotein 1 cofactor, prothrombin

sensitive prothrombin time (DRVVT); predisposes to clotting, fetal loss, thrombocytopenia

Antierythrocyte

60

Erythrocyte membrane

Measured as direct Coombs' test; a small proportion develops overt hemolysis Associated with thrombocytopenia but sensitivity and specificity are not good; this is not a useful clinical test In some series a positive test in CSF correlates with active CNS lupus In some series a positive test in serum correlates with depression

Antiplatelet

30

Surface and altered cytoplasmic antigens in platelets Neuronal and lymphocyte surface antigens Protein in ribosomes

Antineuronal (includes antiglutamate receptor) Antiribosomal P

60

20

or psychosis due to CNS lupus Note: CNS, central nervous system; CSF, cerebrospinal fluid; DRVVT, dilute Russell viper venom time; ELISA, enzyme-linked immunosorbent assay. 3.2.5

Manifestasi klinis Gejala konstitusional Lelah

21

o o

Merupakan hal yang sering sekali dijumpai pada pasien SLE dan biasanya mendahului berbagai manifestasi klinis lainnya. Lelah akibat penyakit ini memberikan respon terhadap steroid dan latihan.

Penurunan berat badan Keluhan ini dijumpai pada sebagian pasien SLE dan terjadi beberapa bulan sebelum diagnosis SLE ditegakkan. Dapat disebabkan oleh penurunan nafsu makan atau gejala gastrointestinal.

Demam Demam dapat terjadi sebagai demam subfebris, tetapi dapat juga lebih dari 40
o

C, tetapi tanpa adanya bukti infeksi lain seperti leukositosis dan tidak

menggigil.

Lain-lain o Rambut rontok sampai terjadi alopesia o hilangnya nafsu makan o pembesaran KGB o sakit kepala o mual o muntah Manifestasi Muskuloskeletal Manifestasi ini paling sering dijumpai pada pasien SLE (90%). Keluhan

dapat berupa myalgia, artralgia, atau merupakan suatu artritis dimana tampak jelas bukti inflamasi sendi. Yang perlu diperhatikan adalah kemungkinan adanya manifestasi klinis lain seperti Artritis reumatoid, polymyositis, atau skleroderma (fibrosis, perubahan vaskular dan autoantibodi) yang juga bisa merupakan bagian dari gejala klinis SLE. Manifestasi Kulit Lesi mukokutaneus yang tampak sebagai bagian dari SLE dapat berupa reaksi fotosensitivitas, diskoid LE (Mempengaruhi kulit, rambut atau membran mukosa), lesi vaskuler berupa eritem periungual, teleangiektasis, fenomena

22

raynauds, dapat pula berupa bercak pada palatum dalam atau palatum mole, bercak atrofis, eritema atau pigmentasi pada bibir. Manifestasi Paru Dapat berupa ;

Radang intersisial parenkim paru (pneumonitis)

Pasien akan merasa sesak, batuk kering dan dijumpai ronki di basal. Terjadi sebagai akibat dari kompleks imun yang terdapat pada alveolus atau pembuluh darah paru baik disertai vaskulitis atau tidak. Memberikan respon yang baik terhadap steroid

Emboli paru hipertensi pulmonal Perdarahan paru Shrinking lung syndrom

Manifestasi Kardiologis Dapat berupa : Perikarditis Perikarditis harus dicurigai apabila adanya keluhan nyeri dada substernal, friction rub pada auskultasi, gambaran sillhoutte sign foto thoraks, atau dari gambaran EKG. Miokarditis Apabila dijumpai adanya aritmia atau gangguan konduksi, kardiomegali yang tidak jelas penyebabnya Penyakit jantung koroner Dapat bermanifestasi sebagai angina pektoris, infark miokard atau gagal jantung kongestif

Bising jantung sistolik dan diastolik Akibat adanya vegetasi pada katup jantung akibat kompleks imun Manifestasi Renal Keterlibatan ginjal dijumpai pada 40-75% pada penderita yang sebagian

besar terjadi setelah 5 tahun didiagnosa SLE. Gejala yang ada biasanya tidak tampak

23

sebelum adanya kegagalan ginjal atau sindroma nefrotik. Pemeriksaan terhadap protein urin >500 mg/24 jam atau +3 semikuantitatif adanya cetakan granuler, hemoglobin, tubuler, eritrosit atau gabungan, serta piuria > 5/LPB tanpa bukti adanya infeksi, serta peningkatan kadar serum kreatinin menunjukkan adanya keterlibatan ginjal pada SLE. Manifestasi Gastrointestinal Pada gastro intestinal manifestasinya tidak spesifik karena dapat mencerminkan keterlibatan berbagai organ atau sebagai efek samping pengobatan yang diberikan. Manifestasi dapat berupa :

Disfagia Dispepsia Nyeri abdominal Vaskulitis Pankreatitis akut Hepatomegali Manifetasi Neuropsikiatrik Dapat berupa :

Psikosis Kejang Sindroma otak organik Mielitis transvesa Neoropati kranial dan perifer Manifetasi Hemik-Limfatik

Limfadenopati sering ditemukan di axilla dan cervical dengan karakteristik tidak nyeri tekan, lunak dan ukuran bervariasi antara 3-4 cm Splenomegali biasanya disertai hepatomegali Anemia yang diperantarai proses imun dapat bermanifestasi sebagai pure red cell aplasia, anemia aplastik, anemia hemolitik autoimun dan beberapa kelainan lainnya.

3.2.6

Diagnosis

24

Kriteria diagnosis ACR 1982. Diagnosa ditegakkan bila didapatkan 4 dari 11 kriteria dibawah ini : 1. Discoid rash Bercak eritema menonjol dgn gambaran SLE keratotik dan sumbatan folikular, parut atropik dpt ditemukan 2. Oral ulcers Ulkus mulut dan nasofaring umumnya tidak nyeri dan dilihat oleh dokter pemeriksa. 3. Photosensitivity Ruam kulit yg diakibatkan reaksi abnormal thdp sinar matahari 4. Arthritis non erosif Melibatkan 2 / lebih sendi perifer, ditandai rasa nyeri, bengkak atau efusi 5. Malar rash Eritema menetap, datar atau menonjol, pada malar eminence dan lipat nasolabial 6. Immunologic disorder Anti-dsDNA, anti-Sm, dan/atau antiiphospholipid 7. Neurologic disorder Kejang atau psikosis tanpa penyebab lain 8. Renal disorder Proteinuria menetap > 0,5 gr/ hari atau Cellular casts: eritrosit, Hb, granular, tubular atau gabungan 9. Antinuclear antibodies (ANA test) Titer abnormal dari ANA berdasarkan pemeriksaan imunofluoresensi/pemeriksaan setingkat pd setiap kurun waktu perjalanan penyakit tanpa keterlibatan obat 10. Serositis Pleuritis: riwayat nyeri pleuritik atau pleuritic friction rub yg didengar oleh dokter pemeriksa/bukti efusi pleura, atau Perikarditis: bukti rekaman EKG atau pericardial friction rub yg didengar oleh dokter pemeriksa atau bukti efusi perikardial 11. Hematologic disorder

25

Anemia hemolitik dengan retikulosis atau Leukopenia < 4000/L pd 2 kali pemeriksaan. Atau Limfopenia < 1500 / L pada 2 kali pemeriksaan, atau Trombositopenia < 100.000 /mm3 tanpa disebabkan oleh obat-obatan Kecurigaan akan penyakit SLE bila dijumpai dua atau lebih keterlibatan organ sebagaimana dicantumkan dibawah, yaitu: 1. Jenis kelamin wanita pada rentang usia reproduktif 2. Gejala konstitusional: kelelahan, demam (tanpa bukti infeksi), dan penurunan berat badan. 3. Muskuloskeletal artritis, atralgia, miositis 4. Kulit : ruam kupu-kupu (butterfly rush), fotosensitivitas, SLE membrana mukosa, alopesia, fenomena raynaud, purpura, urtikaria, dan vaskulitis. 5. Ginjal : hematuria, proteinuria, sindrom nefrotik 6. Gastrointestinal : mual, muntah, nyeri abdomen 7. Paru-paru : pleurisy, hipertensi pulmonal, SLE parenkim paru 8. Jantung : perikarditis, endokarditis, miokarditis 9. Retikulo-endotel hepatomegali) 10. Hematologi : anemia, leukopenia, dan trombositopenia 11. Neuropsikiatri : psikosis, kejang, sindrom otak organik, mielitis tranversa, neuropati kranial dan perifer. : organomegali (limfadenopati, splenomegali,

26

Sumber : Harrisons Principle of internal medicine, Ed 17th

27

Sumber : Harrisons Principle of internal medicine, Ed 17th 3.2.7 Pemeriksaan Antinuclear antibodi positif (98%) dengan pola homogen atau rim. Anti DNA antibodi positif (double stranded or native) spesifisitas sangat tinggi untuk LES. Ditemukan pada hampir seluruh pasien dengan keterlibatan ginjal (90%) dan pada yang dengan aktivitas penyakitnya berat meski tanpa keterlibatan ginjal (50%). Titernya menggambarkan aktivitas penyakit ; tidak ditemukan pada drug-induced LE. Antibodi yang menyerang antigen inti sel (extractable nuclear antigens). Terdiri dari nuclear ribonuclear protein (nRNP) dan nuclear non-nucleic acid glycoprotein (Smith antigenSm). Anti-Sm ini memiliki sensitifitas yang tinggi untuk pasien LES, ditemukan pada 25%-30% pasien LES. LE sel positif (70-85%) spesifik untuk LES tetapi tidak sesensitif antinuclear antibodi, sel LE dapat ditemukan pada cairan sinovium, plural, dan perikardial. Ditemukan circulating immune complexs menggambarkan aktivitas penyakit.

28

Penurunan kadar komplemen serum (75%)- menggambarkan utilisasi oleh kompleks imun pada penyakit yang sedang aktif. Peningkatan -globulins serum (80%) menggambarkan peningkatan aktivitas sistem imun. Rheumatoid faktor dapat positif (20-35%) False-positif nontreponemal test untuk syphilis (15-20%) Kadar serum kreatinin harus di periksa secara periodik pada penderita SLE.

3.2.7.1 Kelainan hematologi Anemia normositik ringan (50-80%) umumnya tipe penyakit kronis; kadang-kadang terjadi anemia hemolitik autoimmune dengan hasil Coombs test direk yang positif. Leukopenia sedang (<4000/mm3) sebagai akibat dari mekanisme autoimun. Limfositopenia (<1500/mm3) akibat mekanisme autoimun, sering menggambarkan aktivitas penyakit. Thrombocytopenia (<100000/mm3). Peningkatan fibrin split products, sering ditemukan pada nefritis lupus. Protein plasma Penurunan kadar albumin (50-60%) menggambarkan penyakit kronis atau kehilangan albumin melalui urin pada sindroma nefrotik dari lupus nefritis. Peningkatan LED dan CRP menggambarkan aktivitas penyakit 3.2.7.2 Urinalisis Hematuri, sellular cast, dan proteinuria +++ (>500mg/dL) pada lupus nefritis. 3.2.7.3 Cairan sinovial Leukopenia (<3000/mm3) ; dengan predominan limfosit, sel LE dan antinuclear antibodi positif. 3.2.7.4 Cairan spinal Dapat ditemukan meningitis aseptik.

29

3.2.7.5 Biopsi ginjal dan kulit Pemeriksaan dengan immunofluoresens memperlihatkan deposit immunoglobulin dan komplemen. 3.2.7.6 Gambaran Patologis Ditemukan kompleks imun dan material fibrinoid pada jaringan tubuh, menyebabkan peradangan pada pembuluh darah, sinovium, dan membran serosa. Dapat ditemukan berbagai macam autoantibodi; sel LE, ANA positif, anti dsDNA, anti Ro dan peningkatan LED, anemia hemolitik, leukopenia, trombositopenia dan lain-lain. 3.2.7.7 Gambaran Radiologis Subluksasi, dislokasi, dan deviasi ulnar, osteoporosis, osteonekrosis ( hips, bahu, lutut, tangan dan kaki), atropi jaringan lunak dan pengapuran sendi. Tangan : deviasi ulnar, boutonniere , swan neck deformities, osteoporosis, fraktur spontan. Spine : instabilitas etlantoaxial, compression fractures Thoraks : efusi pleura dan penebalan pleura, kardiomegali, efusi perikardial. 3.2.8 Penatalaksanaan Tidak ada obat untuk menyembuhkan SLE. Remisi total jarang ditemukan. Tujuan: Meningkatkan survival dan kualitas hidup pasien SLE melalui pengenalan dini dan pengobatan yang paripurna. Tujuan khusus: a) Mendapatkan masa remisi yang panjang b) Menurunkan aktifitas penyakit seringan mungkin c) Mengurangi rasa nyeri dan memelihara fungsi organ agar aktifitas hidup keseharian tetap baik 3.2.8.1 Pilar pengobatan SLE 1. Edukasi dan konseling

30

2. 3.

Latihan/program rehabilitasi Pengobatan medikamentosa a. OAINS b. Antimalaria c. Steroid d. Imunosupresan/sitotoksik

1.

Edukasi Butir-butir edukasi terhadap pasien SLE a. b. c. Penjelasan tentang apa itu lupus dan penyebabnya Tipe dari penyakit SLE dan perangai dari masing-masing tipe tersebut Masalah yang terkait dengan fisik: kegunaan latihan terutama yang terkait dengan pemakaian steroid seperti osteoporosis, istirahat, pemakaian alat bantu maupun diet, mengatasi infeksi secepatnya maupun pemakaian kontrasepsi
d.

Pengenalan masalah aspek psikologis: bagaimana pemahaman diri pasien SLE, mengatasi rasa lelah, stres emosional, trauma psikis, masalah terkait dengan keluarga atau tempat kerja dan pekerjaan itu sendiri, mengatasi rasa nyeri.

e.

Pemakaian obat mencakup jenis, dosis, lama pemberian dan sebagainya. kelompok pendukung, yayasan yang bergerak dalam pemasyarakatan SLE dan sebagainya

f.Dimana pasien dapat memperoleh informasi tentang SLE ini, adakah

g. h.

Cukup istirahat, hindari kelelahan. Menggunakan tabir surya SPF 30%, baju yang lebih tertutup, memakai topi atau payung jika bepergian atau berada di tempat terbuka.

i. Makan sehat dan seimbang: Tidak ada diet lupus." Makan makanan yang seimbang ( rendah lemak , gula & garam, tinggi serat). j. Hangati pada saat sakit: Lembab yang hangat lebih baik pada sendi yang sakit dari pada hangat yang kering. k. Olahraga: Berjalan, perenggangan, berenang, aerobik low impact & bersepeda dapat membantu penderita tetap kuat & mencegah penipisan tulang/osteoporosis. Ingat untuk diselingi dengan istirahat.

31 l. Tidak merokok: Rokok munculnya cutaneous lupus. m.

Dapat mengakibatkan gejala penyakit Raynaud's memburuk karena akibat aliran darah, dan dapat mengakibatkan gangguan perut.

2.

Latihan/program rehabilitasi Tujuan, indikasi dan teknis pelaksanaan program rehabilitasi yang melibatkan beberapa maksud di bawah ini, yaitu: a. b. c. d. e. Istirahat Terapi fisik Terapi dengan modalitas Ortotik dsb

3.

Terapi Medikamentosa Prednison / Prednisolon atau Metilprednisolon: 0.4mg/kgBB/hari untuk kasus sedang, 1-2mg/kgBB/hari untuk kasus yang berat lalu tappering off. Untuk kebanyakan kasus dosis induksi ini cukup 4-6 minggu, namun untuk yang mengenai ginjal, minimal induksi remisi tercapai setelah lebih dari 6 minggu. Pada life threatening lupus (trombositopenia, CNS lupus nefritis, serositis berat) biasanya diberikan pulse therapy intravena dengan dosis 15-30mg/kgBB atau 500-1000mg/hari selama 3-5 hari.
Methotrexate dan leflunaomide dengan dosis seperti pada artritis reumatoid

diberikan pada kasus artritis erosif / sinovitis berat.


Cyclophosphamide : Induksi 1-3mg/kgBB/hari. Untuk maintainence : 0.5

2mg/kgBB/hari. Pada nefritis lupus berat dan CNS lupus bisa diberikan pulse therapy dengan dosis 600-1000mg sebulan sekali bersamaan dengan pulse steroid therapy. Interval kemudian diperpanjang menjadi setiap 6 minggu sampai setiap 3 bulan.
Chloroquin : 250mg/hari atau hydroxychloroquine 200-400mg/hari untuk

odopus hanya mengalami gangguan kulit dan muskuloskeletal. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa chloroquine juga memperbaiki prognosis penderita nefritis lupus, dan dapat memperbaiki profil lipid yang terganggu akibat steroid.

32 Azathioprin : 1.5mg/kgBB diberikan untuk nefritis lupus dan aman pada

penderita lupus yang hamil. Bisanya diberikan steoid sparing agen, untuk mengurangi pemakaian steroid dosis tinggi.
Cyclosporine : 2-3mg/kgBB Mycophenolate : Mofetil 500-1500mg/hari atau mycophenolate sodium 360

1080mg/hari. Berfungsi sebagai induksi remisi atau maintainence (dengan dosis yang lebih kecil) setelah pulse therapy cyclophosphamide.
viii. Intravena gamma-globulin : 400mg/kgBB/hari bersamaan dengan pulse

steroid pada kasus trombositopenia yang life threatening diberikan selama 5 hari, jika tidak berespons dapat dinaikkan sampai 1000mg/kg/hari.
Plasmapheresis :

dilakukan bila dengan pengobatan medikamentosa yang

adekwat tidak dicapai hasil yang memuaskan. 3.2.8,2 Terapi Konservatif a. Artritis, Arthalgia dan Mialgia
Pada keluhan ringan dapat diberikan analgetik dan antiinflamasi non-steroid.

Bila respon obat ini tidak baik, dapat diberikan anti malaria (hidroksiklokuin 400mg/hari) Pada pasien yang tidak menunjukan respon adekuat, diberikan kortikosteroid dosis rendah yaitu < 15 mg/pagi
Untuk mengarasi arthritis dapat diberikan metrotreksat dosis rendah 7,5

15 mg/minggu b. Lupus Kutaneus Pasien dengan fotosensitifitas harus berlindung terhadap paparan sinar UV, inframerah, panas dan fluorosensi.
Diberikan sunscreen topikal berupa krem, minyak, lotion mengandung

PABA yang menyerap sinar UV A dan B Untuk kulit mukan dianjurkan penggunaan preparat steroid lokal berkekuatan rendah dan tidak diflorinasi. Contoh : hidrokortison Untuk kulit badan dan lengan diberikan seroid topikal berkekuatan sedang. Contoh : betamethason dipropionat
Pemberian antimalaria juga baik karena memiliki efek sunblocking,

antiinflamasi dan imunosupresan.

33

c.

Fatigue dan Keluhan Sistemik Fatigue merupakan keluhan yang sering didapat pada pasien SLE, demikian juga berat badan dan demam. Fatigue juga dapat timbul akibat glukokortikoid Penurunan berat badan dan demam akibat quinakrin Dapat diatasi oleh menambah waktu istirahat dan mengatur jam kerja

d.

Serositis Nyeri dada dan nyeri abdomen pada pasien SLE dapat merupakan tanda serositis Dapat diatasi dengan salisilat, obat anti-inflamasi non steroid, antimalaria atau glukokortikoid dosis rendah (15 mg/hari).

3.2.8.3 Terapi Agresif

Pada manifestasi minor SLE. Seperti arthritis, serositis dan gejala konstitusional prednison 0,5 mg/kgBB/hari

Pada manifestasi major dan serius prednison 1-1,4 mg/kgBB/hari. Glukokortikoid oral dosis tinggi dapat diganti dengan pemberian bolus metilprednisolon IV 1 gr atau 15 mg/kgBB/hari. Respon obat dapat dilihat sedini mungkin atau dalam 6-10 minggu.

Setelah diberikan glukokortikoid selama 6 minggu, dilakukan penurunan dosis secara bertahap 5-10% setiap minggu jika tidak muncul eksaserbasi akut

Bila eksaserbasi akut muncul, dosis prednison dinaikkan sampai dosis efektif Bila dalam 4 minggu pemberian glukokortikoid gejala tidak membaik, maka dipertimbangkan diberi imunosupresan lainnya Bolus siklofosfamid IV 0,5-1 gr/m2 dalam 250 ml NaCl 0,9% selama 60 menit diikuti dengan pemberian cairan 2-5L/24 jam setelah pemberian obat. Siklosfamid diindikasikan pada : o SLE yang membutuhkan steroid dosis tinggi (steriod sparing agent) o SLE yang kontraindikasi terhadap steroid dosis tinggi o SLE yang kambuh yang telah diterapi oleh steroid jangka lama atau berulang o SLE dengan trombositopenia yang resisten terhadap steroid

34

o SLE dengan manifestasi susunan saraf pusat

Dosis siklosfamid diturunkan 500-750 mg/m2 pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal sampai 50% Pemantauan leukosit harus dilakukan setelah pemberian siklosfamid, apabila jumlahnya mencapai 1500/mL maka dosis diturunkan 25%. Kegagalan menekan leukosit samapai 4000/mL maka dosis ditingkatkan 10% pada pemberian berikutnya

Siklosfamid diberikan selama 6 bulandengan interval 1 bulan, kemudian tiap 3 bulan selama 2 tahun.

3.2.8.4 Penatalaksanaan Keadaan Khusus Trombosis pada SLE Dalam keadaan ini, antikoagulan merupakan obat pilihan untuk mengatasinya, misalnya warfarin, dan mempertahankan nilai INR (international normalization ratio). Hal ini terutama sangat penting pada trombosis arteri karotis interna. Trombosis arteri biasanya mempunyai prognosis yang buruk. Abortus berulang pada SLE Diakibatkan oleh aktivitas SLE atau adanya antibody antifosfolipid. Untuk menekan SLE, gllukortikoid cukup aman dan tidak mempengaruhi janin, kecuali betametason dan deksametason karena dapat mencapai janin dalam bentuk yang aktif.pada pasien dengan antibodi antifosfolipid yang belum pernah mengalami abortus, dapat dipertimbangkan untuk tidak memberikan terapi apapun. Makin sering terjadi abortus, maka makin kecil untuk mempertahankan kehamilan, sehingga terapi harus diberikan. Ada beberapa terapi anatara lain aspirin dosis rendah, kombinasi aspirin dosis rendah dengan dengan glukortikoid dosis sedang, glukortikoid dosis tinggi dengan dengan atau tanpa aspirin atau penggunaan heparin. Lupus neonatal Merupakan sindrom pada neonatus yang dilahirkan oleh ibu dengan SLE. Gejala yang paling sring adalah ruam kemerahan dikulit disertai plakat, lesi ini berhubungan dengan transmisi antibodi anti-Ro melalui plasenta. Kelainan lain yang lebih serius tapi jarang adalah blok jantung kongenital yang dapat fatal

35

Trombositipeni Berikan prendison 0,5-1 mg/kgBB/ hari selama 3-4 minggu. Bila jumlah trombosit <50.000ml, kemudian dosis prednison diturunkan secara bertahap. Target terapi ini adalah jumlah trombosit >50.000ml. 3.2.9 Pemantauan Pengobatan Pemantauan penyakit dan efek pengobatan memerlukan pemantauan yang tepat dan dilakukan seumur hidup pasien dengan SLE. Beberapa hal yang perlu diperhatikan: a. Anamnesis Demam, penurunan BB, kelelahan, rambut rontok meningkat, nyeri dada pleuritik, nyeri dan bengkak sendi b. Fisik Pembengkakan sendi, ruam, SLEi diskoid, alopsie, ulkus membran mukosa, SLE vaskulitis, fundus, edema c. Penunjang: Hematologi, analisis urin, serologi, radiologi dan kimia darah Cat: pada pusat2 dengan fasilitas laboratorium maupun penunjang lain yg tersedia diperlukan pemeriksaan kadar komplemen C3 dan C4 maupun titer anti-dsDNA. 3.2.10 Tugas Utama Sebagai Dokter Umum Di Perifer/Pusat Pelayanan Primer 1. Waspada terhadap kemungkinan penyakit SLE ini diantara pasien yang dirawatnya dan melakukan rujukan diagnosis 2. Melakukan tata laksana serta pemantauan penyakit SLE ringan dan kondisinya stabil (pasien SLE tanpa keterlibatan organ vital dan atau terdapat morbiditas) 3. Mengetahui saat tepat untuk melakukan rujukan ke ahli reumatik pada kasus SLE 4. Melakukan kerjasama dalam pengobatan dan pemantauan aktifitas penyakit pasien SLE derajat berat Sistem Rujukan dan Fungsi Konsultatif pada Bala Bantuan SLE

36

3.2.11 Pencegahan Sun precautions Rest Nutrition/diet Exercise Moist heat Prevent infection Dont smoke

3.2.12 Komplikasi

37

3.2.13 Prognosis Masa hidup untuk 10 tahun: 70% Lebih rendah pada Bukan ras kulit Sosioekonomi rendah Keterlibatan ginjal otak, paru, jantung yang parah. Kebanyakan pasien meninggal karena infeksi dan gagal ginjal. 80-90% orang tanpa gangguan organ yang mengancam jiwa dapat hidup normal jika mereka: o Mengikuti instruksi dokter
o o

Meminum obat-obatan yang diresepkan Mencari pertolongan kesehatan jika diperlukan.

38

DAFTAR PUSTAKA

1. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III, 4th ed. Jakarta : Departemen Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006.

2. TR, Harrison., et.al. 2005. Harrisons Principles of Internal Medicine. United States of
America: McGraw-Hill.

3. Eugene Braunwald, Anthony S. Fauci, Dennis L. Kasper, Stephen Hauser, Dan L. Larry
Jameson. Harrisons Principles of Internal Medicine. Edisi ke 15. Mc.Graw Hill. New York, 2001 : 1922 1927

4. Rahmat Gunadi, Sumartini Dewi, Laniyati Hamijoyo, Riardi Pramudiyo. Diagnosis dan
Terapi Penyakit Reumatik Cetakan ke 1. Sagung Seto. Jakarta, 2006 : 21 35 5. Aru W.Sudoyo, Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata K, Siti Setiati. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke IV. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, 2006 : 677 679. 6. PB.PABDI. Ilmu Penyakit Dalam.Pusat Penerbitan Departemem Ilmu Penyakit Dalam FKUI.Juni 2006.

7. http://www.lupusindonesia.org 8. \http://www.fkui.org tiki-index.php lupus erythematosus 9. http://www.geocities.com/alam_penyakit/PenyakitSistemikLupusErythematosus.ht


m

You might also like