You are on page 1of 6

Artikel konflik sosial 1.

Konflik PT. TANJUNG REDEP HUTANI

Latar belakang terjadinya kasus Pangakuan / klaim masyarakat sebagai tanah nenek moyang yang dikelola secara trurun menurun / tradisional. Tindakan penyerobotan lahan yang dilatarbelakangi oleh alasan pemenuhan kebutuhan hidup (bertani/berkebun). Kebijakan pemerintah daerah dalam mengelola manajemen pertanahan yang tidak memperhitungkan keberadaan lokasi perusahaan. Overlap kewenangan pemerintah pusat dan daerah. Dengan otonomi daerah, aparat desa merasa berwenang mengatur tata guna lahan / areal hutan. Nama perorangan / kelompok yang berkonflik Masyarakat yang berada disekitar dan atau didalam areal hutan tanaman, antara lain : Kampung Suaran, Behanir Bangun, Pesayan / Kampung Baru, Mantaritip, Inaran, Rantau Panjang, Tabalar, Semutut, Buyung-Buyung, Tubaan, Birang dan Sambarata. Kronologi Kasus Warga mengklaim tanah mereka dengan berkirim surat ke perusahaan dan Bupati. Warga melakukan pematokan dan berkebun diareal hutan tanaman. Perusahaan melakukan penelusuran terhadap sumber konflik melalui peta desa, sejarah desa, komunitas penduduk, dan rewayat petak yang diklaim. Dilakukan peninjauan bersama warga untuk mengetahui lokasi, bukti kepemilikan dan pemberian tanda jika ditemukan. Melakukan pertemuan bersama warga dan aparat pemerintah yang terkait. Melakukan peninjauan bersama dengan melibatkan Tim Wasdal (Tim 9) jika tidak terjadi kesepakatan dalam pertemuan / negosiasi dengan warga. Penyelesaian konflik dengan alternative ; mengintensifkan kegiatan pembinaan sosial (PMDH), pemberian santunan sosial, bagi hasil atau melalui proses hukum. Tokoh utama yang berkonflik Tokoh masyarakat yang biasanya mewakili warga yang melakukan klaim. Mediator Konsultan hukum / pengacara LSM Tokoh masyarakat Tuntutan yang diminta Biasanya berupa ganti rugi tanah dan tanam tumbuh yang besarnya bervariasi (sesuai tuntutan mereka) dan harga tanaman (pohon) yang ditetapkan oleh pemerintah daerah melalui dinas terkait (kehutanan, pertanian, perkebunan). Mediator perusahaan Konsultan hukum bersama humas, aparat pemda.

Kompromi / kompensasi / penyelesaian Ganti rugi tanam tumbuh (santunan sosial) jika ada bukti / data-data pendukung. Ganti rugi tanah / pembelian tanah. Bagi hasil keuntungan. Kompensasi peningkatan intensitas kegiatan PMDH. Proses hukum dan pengadilan. Kerugian perusahaan akibat konflik Total kerugian hingga saat ini telah mencapai kurang lebih 2 milyar. Pengurangan pendapatan (laba bersih) dari hutan tanaman dengan nilai ratarata sebesar Rp. 1,5 juta/ha atas klaim lahan. Pengurangan pendapatan sebesar 25% dari sistem bagi hasil keuntungan bersih yang disepakati. Luas areal konsesi akan semakin berkurang, Catatan Setiap klaim yang didasari oleh tuntutan atas tanah nenek moyang biasanya menuntut penyelesaian dengan cara memaksa pihak perusahaan mengakui keberadaan tanah mereka dengan mendapatkna legalitas dari pemuka adat, tokoh masyarakat, ataupun aparat desa yang notabene juga mendapat bagian atas realisasi tuntutan warga. Kepentingan politik berupa janji kepada warga akan mendapatkan lahan perkebunan atau memperjuangkan kepentingan warga jika berhasil mencapai tujuan politiknya.

2. PT. KUSUMA PERKASAWANA

Latar belakang tejadinya kasus Undang-undang agrarian dan undang-undang kehutanan tidak semuanya singkron, bahkan dapat menjadi pemicu atau sumber konflik, karena sangat sarat dengan pemahaman dan penafsiran yang berbeda, tergantung kacamata kepentingan yang dipakai. Tidak ada landasan hukum yang jelas dan pasti mengenai batas-batas administrasi yang berhubungan dengan tanah hutan atau kawasan hutan dengan hak (ulayat) masyarakat adat. Salah memaknai makna hutan dan segala manfaat dan fungsi hutan. tidak banyak manfaat yang dinikamati masyarakat sekitar / didalam hutan atas adanya kegiatan Hak Pengusahaan Hutan disatu sisi dan hilangnya akses / sumber kehidupan masyarakat akibat pemanfaatan hutan oleh Pemerintah atau Swasta disisi lain. Sebagian besar masyarakat disekitar / ddalam hutan, masih menggantungkan hidupnya dari hasil pemanfaatan hutan dan tumbuhan hutannya. Selain hal tersebut, pada umumnya sebagian besar dari mereka termasuk criteria miskin, baik miskin dari segi ekonomi, sosial (pendidikan, kesehatan dan miskin pemaknaan nasionalisme) Nama perorangan / kelompok yang berkonflik Sdr. Anggen Tentoh Tuban

Keluarga Sdr. Anggen Tentoh Tuban Sdr. Lehie Elong Keluarga Sdr. Lehie Elong kronologi kasus setelah melalui semua tahapan administrasi dan ketentuan0-ketentuan yang berlaku, yang berkaitan dengan pelaksanaan pembangunan HTI PT. kusuma Perkasawana, maka sejak tahun 1993, pelaksanaan fisik pembangunan HTI dilapangan diawali, mencakup pembukaan lahan, pembibitan maupun penanaman. Sebelum dilakukan kegiatan pembukaan lahan, terlebih dahulu diberitahukan kepada masyarakat disekitar / didalam hutan melalui Kepala Desa masing-masing. Sampai dengan tahun 1995, kegiatan pembangunan HTI masih berjalan normal dan lancar, dalam artian belum ada tuntutan-tuntutan dari pihak manapun, termasuk masyarakat sekitar, berkaitan dengan pemanfaatan hutan untuk kegiatan pembangunan HTI PT. Kusuma Perkasawana. Secara kebetulan lokasi areal kerja HTI berada dalam areal HPH PT. SARPATIM yang nota bene masih aktif hingga saat ini. Namun sejak tahun 1996 mulai tampak tuntutan-tuntutan dari pihak masyarakat disekitar / didalam hutan, baik dalam bentuk individu maupun kelompok. Pada umumnya tuntutan masyarakat tersebut adalah atas tanaman tumbuh, lahan dan kuburan / situs. Tuntutan mereka pada waktu itu sangat tidak realistis dan masuk akal sehat, karena jumlahnya yang sangat besar. Kalau dinilai dalam bentuk rupiah dapat mencapai 17 milyar atas j\kurang lebih 780 ha lahan/lading, ratusan tanaman tumbuh dan 7 situs. Melalui pendekatan dengan tokoh masyarakat, Pemerintah Daerah (Bupati, Camat), aparat keamanan, konflik dimaksud dapat diredam dengan kompensasi, antara lain : pembuatan fasilitas umum, jalan tembus antar desa, memperkerjakan sebagian masyarakat menjadi pemborong kegiatan pembangunan HTI (pembibitan, penyiapan lahan, pemeliharaan, dan lain-lain), tumpang sari dan lain-lain. Namun setelah peristiwa Etnis di Sampit dan sekitarnya tahun 2001, masyarakat yang sama menuntut lagi hak ulayat, tanaman tumbuh, situs yang dimotori oleh Sdr. Anggen Tentoh Tuban dan Sdr. Lehie Elong. Mereka mendesak dengan berbagai cara (intimidasi, pencurian barang-barang HTI, dan lain-lain) adar dilakukan ganti rugi atas tanaman tumbuh, lahan, situs, dll yang dianggap belum terbayar. Dengan berbagai upaya, baik melalui Pemda Kotim, BPN, tokoh masyarakat, (sdr. Tyel Jalau) disepakatilah untuk memberikan santunan sebesar Rp. 152.298.500,- jumlah ini sebenarnya belum temasuk ganti rugi yang telah diberikan kepada mereka pada tahun sebelumnya kurang lebih Rp. 200.000.000,- yakni sejak tahun 1996 s/d tahun 2000. Dengan diberikan atau diterimanya santunan tersebut, kedua belah pihak, masyarakat dan pihak perusahaan sepakat untuk menuangkan hasil penyelesaian konflik tersebut kedalam suatu AKTE NOTARIS, yakni Notaris Irwan Junaidi SH dengan No. akte 63 (copy terlampir). Hingga saat ini, belum timbul lagi tuntutan atau konflik serupa dari masyarakat yang sama terhadap perusahaan. Mudah-mudahan pada waktu yang akan datang

tidak ada lagi konflik atau tuntutan masyarakat atas areal yang dialokasikan pemerintah untuk pembangunan HTI. Tokoh utama yang berkonflik Sdr. Anggen Tentoh tuban Sdr. Lehie Elong Mediator pemda Tk. II kabupaten Kota-waringin Timur, An. Napak Drs. Mani\til, kabag Ketertiban dan Kemasyarakatan Kabupaten Tk. II Kotim. tuntutan yang diminta tanaman tumbuh dan lahan hutan yang kena gusur akibat kegiatan pembangunan HTI situs atau kuburan nenek moyang mereka, yang menurut pengakuan mereka dimakamkan disalah satu daerah bukit diareal HTI dan kebetulan daerah tersebut ikut terbakar pada saat penyiapan lahan (pada waktu itu belum ada larangan pembakaran pada saat peyiapan lahan oleh Menhut). Nilai yang dituntut kurang lebih 17 milyar. Mediator perusahaan Secara formal tidak ada, tetapi semua unsur pimpinan perusahaan dilapangan, bertindak dan berupaya untuk melakukan pendekatan, baik melalui tokoh masyarakat, tokoh pendidik, tokoh agama dan pemerintah setempat. Sarana/media yang dipergunakan untuk melakukan penyelesaian konflik adalah melalui dialog, kegiatan Tumpang Sari, pemberian bantuan fasilitas perusahaan (kendaraan) untuk mengangkut hasil kebun / pertanian mereka ketempat pasar terdekat. Pengadaan sembako dalam bentuk kegiatan Koperasi Perusahaan. Hal ini sangat membantu mereka, terutama yang domisilinya jauh dari pasar resmi. Komponen/kompensasi/penyelesaian Dengan dana santunan dari perusahaan sebesar Rp. 152.298.500,- (tidak termasuk dana-dana taktis yang telah dikeluarkan oleh perusahaan untuk hal yang sama sebesar Rp. 200.000.000,-) sejak tahun 1996 s/d 2000. Merekrut tenaga dari masyarakat sekitar untuk dipekerjakan pada perusahaan. Tumpang Sari di areal HTI dan hasilnya dibawa ke pasar terdekat dengan pengangkutannya oleh perusahaan. Fasilitas jalan yang dibangun oleh perusahaan untuk menghubungkan antar desa disekitar areal kerja HTI. Kerugian perusahaan akibat konflik Kerusakan kantor, mes, barak dan lain-lain akibat amuk masyarakat penuntut ganti rugi. Terhentinya berbagai kegiatan pembangunan HTI seperti pembukaan lahan, penanaman selama tuntutan selama ganti rugi belum mendapat penyelesaian secara final. Terjadinya keresahan dan ketidaknyamanan diantara karyawan dan keluarganya sebagai akibat intimidasi oleh masyarakat tertentu. Sebagai akibat lanjutan, tidak tercapainya target yang telah direncanakan, misalnya : target luas tanaman tahun 2000 seharusnya 7.600 ha, namun yang tercapai baru sekitar 5.137 ha.

Catatan menurut hasil penilaian PKJA dephut, PT. Kusuma Perkasawana layak teknis maupun financial. Menurut penilaian LPI, PT. Kusuma Perkasawana layak dilanjutkan dengan nilai 159.

3. PT. WANA POTENSI NUSA Bentuk Larangan melakukan kegiatan (ITSP, pembuatan jalan logging, menebang kayu, menghadang logging truk) Penyebab, desa-desa didalam dan di sekitar menuntut : Dibuatkan jalan atau meningkatkan jalan setapak menjadi jalan mobil yang menuju desa mereka. Dibuatkan kebun-kebun baru dengan cara membuka lahan hutan (land clearing) yang mereka anggap sebagai tanah nenek moyang mereka. Pengadaan / pembangunan rumah tinggal disetiap desa termasuk parabola, genzet, serta TV. Kronologis Setiap wilayah kerja RKT memasuki wilayah desa yang baru, desa tersebut menuntut untuk dibuatkan hal-hal tersebut diatas. Terkadang wilayah desa mereka tidak termasuk dalam wilayah kerja RKT, bahkan ada juga yang diluar areal kerja HPH. Taksiran kerugian ,- selama ini tuntutan selalu dipenuhi Sikap aparat Kehutanan : mencari jalan keluar dan sepanjang tidak menyimpang aturan, akan diberi ijin untuk membuat jalan atau peningkatan jalan tersebut diatas. Keamanan : memberi penyuluhan dan pengarahan bahwa apa yang diminta oleh masyarakat desa ada proses dan memerlukan waktu dan bagi prang yang melakukan tindakan pengrusakan dan atau menghasut akan diproses sesuai dengan hukum.

4. PT. INHUTANI 1

Bentuk Pendudukan base camp dan penguasaan asset perusahaan baik berupa log maupun alat berat penyebab tidak jelas kronologis tanggal 1 pebruaru 1999, camp diduduki oleh masyarkat desa Metalibaq berjumlah kurang lebih 110 orang, terdiri dari orang tua dan anak-anak. Masyarakat mengajukan tuntutan : pengembalian tanah adat ganti rugi atas kehancuran tanah adat sebesar Rp. 5 milyar.

Ganti rugi atas kasus kebakaran tahun 1998 sebesar Rp. 5 juta/ Kepala keluarga untuk 153 Kepala Keluarga Surat pernyataan dari perusahaan untuk menghentikan seluruh aktivitas Selama belum ada penyelesaian, perusahaan menjamin konsumsi Desa Metalibaq yang menduduki base camp, termasuk penyediaan BBM, dan fasilitas kesehatan. Apabila tanggal 2 februari 1999 pukul 12 siang tidak ada penyelesaian, maka seluruh asset menjadi hak milik masyrakat adat Desa Metalibaq. Perkembangan sampai tanggal 16 pebruari 1999 sebagai berikut : Negosiasi antara pihak perusahaan dan Masyarakat Adat Desa Metalibaq mencapai kesepakatan yang tertuang dalam BAP, yang isinya sebagai berikut : Kompensasi atas kerugian tanah adat sebesar Rp. 500 juta Pemberian modal koperasi sebesar Rp. 150 juta Beasiswa dan pembangunan asrama pelajar di Samarinda Bantuan kayu bulat sebanyak 250 m3 untuk desa Metalibaq dan 250 m3 untuk prasarana Muspika Sumbangan akibat kerusakan akibat kebakaran untuk masyarakat sebesar Rp. 2,5 juta per Kepala keluarga untuk 153 Kepala Keluarga (total Rp. 382,5 juta) Kegiatan operasional dilapangan kembali berkalan lancer Taksiran kerugian Kurang lebih Rp. 15 milyar Sikap aparat Kehutanan : kejadian tersebut telah dikonsultasikan dengan Bp. Wagub Kaltim dan segera dipelajari serta dikoordinasikan dengan Pemda TK II Kutai Keamanan : tenaga pengaman dari Polsek dan Koramil telah didatangkan ke base camp Laham untuk mengendalikan masyarakat.

You might also like