You are on page 1of 11

MAKALAH PEREKONOMIAN INDONESIA DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN SERTA PEMUSATAN PEMBANGUNAN

DISUSUN OLEH ANDAI YANI 302 1021 017

PRODI 3 MN SORE

DOSEN PENGAMPU DEVI VALERIANI, SE MM

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS BANGKA BELITUNG 2011

DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINANN SERTA PEMUSATAN PEMBANGUNAN

DISTRIBUSI PENDAPATAN Masalah besar yang dihadapi Negara sedang berkembang adalah disparitas (ketimpangan) distribusi pendapatan dan tingkat kemiskinan. Tidak meratanya distribusi pendapatan memicu terjadiya ketimpangan pendapatan yang merupakan awal dari munculnya masalah kemiskinan. Namun ternyata hal ini bukan saja menjadi permasalahan internal suatu Negara tapi juga sudah menjadi permasalahan dunia internasional. Negara maju menunjukkan tingkat kesenjangan pendapatan dan angka kemiskinan yang relative kecil dibanding Negara sedang berkembang. Perbedaan pendapatan timbul karena adanya perbedaan dalam kepemilikan sumber daya dan factor produksi terutama kepemilikan barang modal (capital stock). Pihak (kelompok masyarakat) yang memiliki factor produksi yang lebih banyak akan memperoleh pendapatan yang lebih banyak pula. Sistem distribusi pendapatan nasional yang tidak pro poor menjadi isu bagi mereka yang mengkritik kebijakan pemerintah dengan keyakinan bahwa sistem distribusi pendapatan sangat menentukan bagaimana pendapatan nasioanl yang tinggi mampu menciptakan perubahan-perubahan dan perbaikan-perbaikan dalam kehidupan bernegara seperti mengurangi kemiskinan, pengangguran dan kesulitan-kesulitan lain dalam mayarakat. Distribusi pendapatan nasional yang tidak merata, tidak akan menciptakan kemakmuran bagi masyarakat secara umum. Sistem distribusi yang tidak pro poor hanya akan menciptakan kemakmuran bagi golongan tertentu saja, sehingga ini menjadi isu sangat penting dalam menyikapi tingginya angka kemiskinan hingga saat ini. Menurut teori neoklasik, perbedaan pendapatan dapat dikurangi melalui proses penyesuaian otomatis yaitu melalui proses penetasan hasil pembangunan ke bawah (trickle down) dan kemudian menyebar sehingga menimbulkan keseimbangan baru. Apabila proses

otomatis terebut masih belum mampu menurunkan tingkat perbedaan pendapatan yang sangat timpang, maka dapat dilakukan melalui sistem perpajakan dan subsidi. Penetapan pajak pendapatan/penghasilan akan mengurangi pendapatan penduduk yang pendapatannya tinggi. Sebaliknya subsidi akan membantu penduduk yang pendapatannya rendah, asalkan tidak salah sasaran dalam pengalokasiannya. Pajak yang telah dipungut apalagi menggunakan sistem tarif progresif (semakin tinggi pendapatan, semakin tinggi persentase tarifnya), oleh pemerintah digunakan untuk membiayai roda pemerintahan, subsidi dan proyek pembangunan. Dari sinilah terjadi proses redistribusi pendapatan yang akan mengurangi terjadinya ketimpangan. Beberapa indikator distribusi pendapatan : Sudah merupakan suatu fakta umum dibanyak negara berkembang, terutama Negara-negara proses pembangunan ekonomi yang sangat pesat seperti indonesia, laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi dibarengi dengan tingkat kesenjangan ekonomi atau kemiskinan yang tinggi pula. Sebagai dasar dari kerangka pemikiran untuk menganalisis masalah trade-off antara pertumbuhan dan kemiskinan atau kesenjangan ekonomi adalaha salah satu metode statik yang umum digunakan untuk mengetimasi sejauh mana pencapaian tingkat kemerataan dalam distribusi pendapatan atau pengurangan kesenjangan ekonomi dalam suatu proses pembangunan ekonomi adalah mengukur nilai koefesien atau rasio gini. Selai koefesien gini, pengukuran pemerataan pendapatan juga sering dilakukan berdasarkan kriteria bank dunia : penduduk dikelompokan menjadi tiga kelompok; yaitu penduduk dengan pendapatan rendah yang merupan 40% dari jumlah penduduk, penduduk dengan berpendapatan menengah yang merupakan 40% dari jumlah penduduk, dan penduduk yang berpendapatan tinggi yang merupakan 20% dari jumlah penduduk. Selanjutnya ketidak merataan pendapatan disuatu ekonomi diukur berdasarkan pendapatan yang dinikmati oleh 40% penduduk dengan pendapatan rendah. Perubahan distribusi pendapatan Perhitungan distribusi pendapatan di Indonesia menggunakan data survei sosial ekonomi nasional (susenas) pada tahun 1984, 1987, 1990, 1993. data pengeluaran konsumsi rumah tangga yang dikumpulakan oleh susenas digunakan sebagai pendekatan (proxy) untuk mengukur distribusi pendapatan penduduk di Indonesia. Karena pengertian pengeluaran konsumsi tidak sama dengan pengertian kekayaan, perbedaan konsep ini menjadi kendala

serius dalam mengukur secara akurat tingkat dan distribusi kesejahteraan masyarakat Indonesia. Karena bisa saja seseorang tidak punya pekerjaan (pendapatan), tetapi sangat kaya karena ada warisan keluarga. Banyak pengusaha muda dari tingkat pendapatanya tidak terlalu berlebihan, tetapi mereka sangat kaya karena perusahaan tempat mereka bekerja adalah milik mereka (orang tuanya). Penggunaan data pengeluaran konsumsi rumah tangga akan menghasilkan data pendapatan yang underestimate karena jumlah pendapatan bia lebih besar, sama, atau lebih kecil dari pada jumlah pengeluaran konsumsi. Misalnya pendapatan lebih besar tidak selalu berarti pengeluaran konsumsi juga besar. Dalam hal ini, berarti ada tabungan. Dalam hal ini belum tentu juga bila pendapatan rendah tidak selalu jumlah konsumsi juga rendah. Banyak rumah tangga memakai kredit untuk membiayai pengeluran konsumsi tertentu, misalnya untuk membeli rumah dan mobil untuk biaya sekolah anak, atau bahkan untuk liburan. Keberhasilan pembangunan di Indonesia tidak hanya di ukur dari peningkatan pendapatan penduduk secara agregat atau per capital, tetapi juga (justru lebih penting lagi) di lihat dari distribusi peningkatan pendapatan tersebut terhadap semua anggota masyarakat. Sekarang ini, tingkat pendapatan per kapital di Indonesia sudah lebih jauh lebih tinggi dibandingkan dengan 30 tahun yang lalu, yakni sekitar US$880. namun, apa artinya jika 10% saja dari jumlah penduduk di tanah air yang manikmati 90% dari jumlah pendapatan nasional, sedangkan sisanya (90%) hanya menikmati 10& dari pendapatan nasional selama ini hanya di nikmati oleh kelompok 10% tersebut, sedangkan pendapatan kelompok 90% tidak mengalami perbaikan yang berarti. Jadi, pembangunan ekonomi di Indonesia akan dikatakan berhasil sepenuhnya bila tingkat kesenjangan ekonomi antara kelompok masyarakat miskin dan kelompok masyarakat kaya bisa diperkecil. Penyebab ketidak merataan distribusi pendapatan Secara umum yang menyebabkan ketidakmerataan distribusi pendapatan di negara-negara sedang berkembang adalah : 1) Pertambahan penduduk yang tinggi yang mengakibatkan menurunnya pendapatan per kapita. 2) Inflasi, dimana pendapatan uang bertambah tetapi tidak diikuti secara proporsional dengan pertambahan produksi barang-barang. 3) Ketidakmerataan pembangunan antar daerah. 4) Investasi ditanamkam pada proyek-proyek yang padat modal, sehingga persentase

pendapatan dari dari harta tambahan besar dibandingkan dengan persentase pendapatan yang berasal dari kerja, sehingga pengangguran bertambah. 5) Rendahnya mobilitas sosial. 6) Pelaksanaan kebijaksanaan industri subsitusi impor yang mengakibatkan kenaikan harga-harga barang hasil industri untuk melindungi usaha-usaha golongan kapitalis. 7) Memburuknya nilai tukar (terms of trade) bagi negara-negara sedang berkembang dalam perdagangan dengan negara-negara maju, sebagai akibat ketidak elatisitasan permintaan negara-negara maju terhadap barang-barang ekspor negara sedang berkembang. 8) Hancurnya industri-industri kerajinan rakyat seperti industri rumah tangga. KEMISKINAN Kesenjangan ekonomi atau ketimpangan dalam distribusi pendapatan antara kelompok masyarakat berpendapatan tinggi dan kelompok masyarakat berpendapatan rendah serta tingkat kemiskinan atau jumlah orang yang berada di bawah garis kemiskinan (poverty line) merupakan dua masalah besar di banyak negara-negara berkembang (LDCs), tidak terkecuali di Indonesia. Masalah kemiskinan merupakan dilema bagi Indonesia, terutama melihat kenyataan bahwa laju pengurangan jumlah orang miskin berdasarkan garis kemiskinan yang berlaku jauh lebih lambat dari pada lajupertumbuhan ekonomi dalam kurun waktu sejak pelita I dimulai hingga saat ini (Repelita VI). Karena kemiskinan merupakan salah satu masalah ekonomi Indonesia yang serius maka tidak mengherankan kalau banya studi telah dilakukan mengenai kemiskinan tanah air. Sayangnya, pendekatan yang dipakai antarstudi yang ada pada umumnya berbeda dan batas miskin yang digunakan juga beragam sehingga hasil atau gambaran mengenai kemiskinan di Indonesia juga berbeda. Kemiskinan relatif dapat diukur dengan kurva Lorentz dan atau koefesien gini. Sedangkan kemiskinan absolute lebih sulit untuk di ukur, terutama pada waktu membandingkan tingkat kemiskinan antarpropinsi atau daerah. Faktor penyebab kemiskinan, faktor yang berpengaruh langsung dan tidak langsung terhadap perubahan kemiskinan. Sebagai contoh sering dikatakan bahwa salah satu penyebab kemiskinan adalah tingkat pendidikan yang rendah. Seseorang dengan tingkat pendidikan hanya SD, misalnya sangat sulit mendapatkan pekerjaan terutama dalam sektor modern , (formal) dengan pendapatan yang baik. Berarti penyebab kemiskinan bukan hanya pendidikan yang rendah, tetapi tingkat gaji/upah yang berbeda.

Kalau diuraikan satu persatu, jumlah faktor yang dapat dipengaruhi, langsung maupun tidak langsung, tingkat kemiskinan cukup banyak, mulai dari tingkat dan laju pertumbuhan output (atau produktifitas), tingkat upah neto, distribusi pendapatan, kesempatan kerja, jenis pekerjaan yang tersedia, inflasi, pajak dan subsidi, investasi, alokasi serta kualitas sumber daya alam, penggunaan teknologi, tingkat dan jenis pendidikan, kondisi fisik dan alam disuatu wilayah, etos kerja dan motivasi pekerja, kultur/budaya atau tradisi, hingga politik, bencana alam, dan peperangan. Kalau diamati, sebagian besar faktor tersebut juga saling mempengaruhi satu sama lain. Misalnya dari pekerja yang bersangkutan sehingga produktivitasnya menurun. Produktifitas menurun selanjutnya dapat mengakibatkan tingkat upah netonya berkurang, dan seterusnya. Jadi, dalam kasus ini, tidak mudah untukmemastikan apakah karena pajak naik atau produktifitasnya yang turun membuat pekerja tersebut menjadi miskin karena upah netonya menjadi rendah. JENIS-JENIS KEMISKINAN DAN DEFINISINYA Besarnya kemiskinan dapat diukur dengan atau tanpa mengacu kepada garis kemiskinan. Konsep yang mengacu kepada garis kemiskinan disebut kemiskinan relatif, sedangkan konsep yang pengukurannya tidak didasarkan pada garis kemiskinan disebut kemiskinan absolut. 1. Kemiskinan relatif adalah suatu ukuran mengenai kesenjangan di dalam distribusi pendapatan, biasanya dapat didefinisikan didalam kaitannya dengan tingkat rata-rata dari distribusi yang dimaksud. 2. Kemiskinan absolut adalah derajat kemiskinan dibawah, dimana kebutuhankebutuhan minimum untuk bertahan hidup tidak dapat terpenuhi. FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KEMISKINAN Tidak sulit mencari faktor-faktor penyebab kemiskinan, tetapi dari faktor-faktor tersebut sangat sulit memastikan mana yang merupakan penyebab sebenarnya serta mana yang berpengaruh langsung dan tidak langsung terhadap perubahan kemiskinan 1. 2. 3. 4. 5. 6. Tingkat dan laju pertumbuhan output Tingkat upah neto Distribusi pendapatan Kesempatan kerja tingkat inflasi Pajak dan subsidi

7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.

Investasi Alokasi serta kualitas SDA Ketersediaan fasilitas umum Penggunaan teknologi Tingkat dan jenis pendidikan Kondisi fisik dan alam Politik Bencana alam Peperangan

KEBIJAKAN ANTIKEMISKINAN Untuk menghilangkan atau mengurangi kemiskinan di tanah air diperlukan suatu strategi dan bentuk intervensi yang tepat, dalam arti cost effectiveness-nya tinggi. Ada tiga pilar utama strategi pengurangan kemiskinan, yakni : 1. 2. 3. pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan yang prokemiskinan Pemerintahan yang baik (good governance) Pembangunan sosial

Untuk mendukung strategi tersebut diperlukan intervensi-intervensi pemerintah yang sesuai dengan sasaran atau tujuan yang bila di bagi menurut waktu yaitu : a. Intervensi jangka pendek, terutama pembangunan sektor pertanian dan ekonomi pedesaan b. Intervensi jangka menengah dan panjang a) Pembangunan sektor swasta b) Kerjasama regional c) APBN dan administrasi d) Desentralisasi e) Pendidikan dan Kesehatan f) Penyediaan air bersih dan Pembangunan perkotaan PEMUSATAN PEMBANGUNAN Ketimpangan pembangunan antara daerah dengan pusat atau antara wilayah dengan wilayah dalam daerah yang sama adalah merupakan hal yang seringkali terjadi. Hal ini disebabkan adanya faktor endowment dan awal dari pelaksanaan pembangunan serta investasi. Bagi

daerah yang sudah terlebih dahulu membangun tentunya dapat lebih banyak menyediakan sarana dan prasarana, sehingga menarik minat investor untuk berinvestasi. Proses tersebut menunjukkan bahwa sebenarnya ketimpangan pembangunan antarwilayah sebenarnya merupakan akibat dari adanya proses pembangunan itu sendiri. Pengembangan ekonomi lokal bertujuan tidak hanya untuk memproduksi semata akan tetapi lebih pada aspek meningkatkan kemampuan dan partisipasi masyarakat dalam perekonomian daerahnya. Dalam hal ini pengembangan ekonomi lokal adalah upaya menciptakan lapangan kerja baru yang secara konseptual merupakan fungsi bagaimana komunitas membangun kesempatan ekonomi yang cocok dengan dengan sumber daya alam, sumber daya manusia dan institusinya yang tersedia. Aspek pemberdayaan dan partisipasi masyarakat menjadi kekuatan utama sehingga menempatkan masyarakat sebagai prioritas pertama dalam pelaksanaan pemberdayaan yang ditujukan kepada pelaku ekonomi tertinggal yang tidak mempunyai akses terhadap sumber daya ekonomi terutama modal, sumber daya alam dan teknologi lemahnya pemasaran. Kondisi demikian secara umum banyak dijumpai pada masyarakat perdesaan, sehingga konsep pemberdayaan lebih cepat diperuntukkan bagi masyarakat perdesaan. Hal ini membutuhkan keseimbangan dan peningkatan keterkaitan antarsektor dalam wilayah melalui kebijakan pembangunan yang dilakukan. Keberhasilan pembangunan pada hakekatnya ditentukan oleh potensi sumber daya alam yang tersedia, prasarana yang telah dibangun, kebijakan pembangunan yang dilakukan dan kemampuan sumber daya manusia masingmasing daerah. Pemusatan pembangunan prasarana dan sarana menjadikan peluang pembangunan usaha menjadi tidak berimbang. Perbedaan peluang usaha itu mempengaruhi minat investor untuk menanamkan modalnya di daerah. Akibatnya persebaran penanaman modal menjadi tidak merata, dan ini menyebabkan perputaran kegiatan ekonomi dan peningkatan kemakmuran penduduk antardaerah menjadi tidak seimbang. Hal ini juga menyebabkan perkembangan kota mengalami perbedaan, sehingga kota-kota disusun berdasarkan hierarkhi fungsionalnya masing-masing. Pengorganisasian ruang melalui sistem kota-kota dapat berfungsi untuk menjembatani antardesa dan kota dengan harapan memperkecil perbedaan peluang usaha dengan dasar aspek fungsional antarwilayah kecamatan. Berdasarkan kondisi tersebut maka perlu dicarikan yang menyebabkan kemampuan daya saing keakses pusat pertumbuhan, pemasaran dan sarana

alternatif untuk menekan munculnya ketimpangan antarwilayah. Aternatif yang diambil harus memuat suatu konsep pemerataan dalam pertumbuhan. Salah satu pendekatan yang diperkirakan dapat menjawab permasalahan tersebut adalah pengembangan 1) kecamatan sebagai pusat pertumbuhan. Kecamatan sebagai pusat melalui pertumbuhan ekonomi dimaksudkan : meningkatkan kapasitas daerah dalam melaksanakan pembangunan pemberdayaan masyarakat. Memperkecil perbedaan peluang usaha antara desa dan kota dengan menempatkan masyarakat sebagai prioritas pertama dalam pelaksanaan pemberdayaan yang ditujukan kepada pelaku ekonomi tertinggal yang tidak mempunyai akses terhadap sumber daya ekonomi terutama modal, sumber daya alam dan teknologi yang menyebabkan lemahnya kemampuan daya saing ke akses pusat pertumbuhan. Kondisi demikian banyak dijumpai di masyarakat perdesaan, sehingga konsep pemberdayaan lebih tepat diperuntukan bagi masyarakat perdesaan; 2) memberikan gambaran sebenarnya tentang spesialisasi keunggulan dari tiap wilayah kecamatan. Untuk mengetahui kecamatan-kecamatan yang dapat dikategorikan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi, digunakan metode analisis scalogram dengan mengukur fasilitas ekonomi, fasilitas sosial dan fasilitas pemerintahan yang tersedia di tiap kecamatan. Setelah diperoleh kecamatan pusat pertumbuhan dipergunakan analisis model gravitasi untuk mengetahui daerah sekitar atau hinterland dari masing-masing kecamatan pusat tersebut dengan didasari besar dan kapasitas dari kecamatan pusat pertumbuhan dan berbanding terbalik dengan jarak. Untuk mengetahui sektor atau subsektor unggulan dari masing-masing kecamatan dipergunakan analisis Location Quotient (LQ), karena kapasitas daerah dapat tumbuh tidak saja karena daerah itu mampu mencukupi kebutuhanya sendiri tetapi juga ditentukan seberapa besar kemampuan daerah tersebut dalam memenuhi permintaan dari luar daerah. Sebagai pemegang otoritas kebijakan paling besar di daerah, kebijakan pembangunan yang diambil oleh pemerintah daerah dapat lebih terarah sesuai dengan kharakteristik dan potensi yang dimiliki masing-masing kecamatan. AWAL MULA PEMUSATAN PEMBANGUNAN Pada awal pemerintahan orde baru, perencanaan pembangunan ekonomi di Indonesia masih

sangat percaya bahwa apa yang dimaksud dengan trickle down effect akan terjadi. Oleh karena itu, strategi pembangunan diterapkan oleh pemerintah pada awal periode orde baru hingga akhir tahun 1970-an terpusatkan pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Untuk mencapai tujuan tersebut maka pusat pembangunan dimulai di Pulau Jawa, khususnya Propinsi Jawa Barat, karena fasilitas seperti infrastruktur lebih tersedia dibandingkan dipropinsi lainnya di Indonesia dan di beberapa propinsi hanya dibeberapa sector saja yang bisa dengan cepat memberi pertumbuhan misalnya sector primer dan industri berat. Setelah sepuluh tahun pelita I dimulai, mulai kelihatan bahwa efek yang dimaksud itu mungkin tidak dapat dikatakan sama sekali tidak ada, tetapi proses mengalir kebawahnya sangat lamban. Sebagai akibatnya, Indonesia menikmati laju pertumbuhan yang relatif tinggi, tetapi pada waktu yang bersamaan tingkat kesenjangan semakin membesar dan jumlah orang miskin semakin banyak. Setelah pelita III, strategi pembangunan mulai diubah. Tidak hanya pertumbuhan tetapi juga kesejahteraan masyarakat, tidak hanya dijawa, tetapi juga diluar jawa, menjadi kesejahteraan masyarakat, misalnya dengan mengembangkan industri yang padat karya dan sector pertanian . hingga saat ini sudah banyak program pemerintah yang berorientasi mengurangi kemiskinan, seperti inpres pedesaan, transmigrasi, dan masih banyak lagi. Masalah kesenjangan ekonomi (pendapatan) dan kemiskinan di Indonesia akan dibahas. Faktor-faktor yang menyebabkan kesenjangan dan kemiskinan tetap ada ditanah air walaupun pembangunan ekonomi berjalan terus dan Indonesia memiliki laju pertumbuhan yang relatif tinggi. Sejak akhir tahun 1970-an, pemerintah maulai memperliatkan kesugguhan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan penduduk ditanah air. Sejak itu aspek pemerataan dalam triologi pembangunan semakin ditekankan dan didefinisikan dalam delapan jalur pemerataan. Sudah banyak program pemerintahan hingga saat ini yang mecerminkan upaya tersebut, seperti program serta kebijakan yang mendukung pembangunan industri kecil dan rumah tangga serta koperasi, khususnya dipedesaan, inpres desa tertinggal (IDT), program keluarga sejahtera, program keluarga berencana (KB), program maka tambahan bagi anak sekolah dasar, program transmigrasi, peningkatan upah minimum regional (UMR), dan masih banyak lagi.

Menurut kriteria Bank Dunia, secara umum tingkat kesenjangan dalam distibusi pendapatan di Indonesia selama kurun waktu 1984-1993 tergolong rendah, baik didaerah pedesaan maupun daerah perkotaan yang ditunjukan oleh besarnyapersentase pendapatan yang dinikmati oleh kelompok penduduk 40% berpenghasilan rendah. Bagi kelompok penduduk 20% berpendapatan tinggi, besar pendapatanya yang diterima justru mengalami penurunan. Penurunan pangsa pendapatan ini karena laju pertumbuhan pendapatan kelompok penduduk 40% berpendapat rendah dan 40% berpendapat menengah lebih besar dari pada laju pertumbuhan pendapatan kelompok penduduk 20% berpendapat tinggi. Tingkat pemerataan pendapatan di daerah pedesaan yang relatif lebih baik dari pada didaerah perkotaan juga terjadi hamper disemua propinsi di Indonesia. Semakin buruknya distribusi pendapatan di daerah perkotaan dibandingkan didaerah pedesaan terutama disebabkan oleh pola perekonmian dan jumlah serta kondisi sarana dan prasarana pendukung kegiatan ekonomi sangat berbeda antara pedesaan dan perkotaan. Dikota, Jakarta misalnya persaingan dalam dunia usaha dan dalam mendapatkan pekerjaan semakin keras. Jumlah manusia dijakarta semakin keras. Jumlah manusia dijakarta semakin banyaki, diperkirakan sekita sepuluh juta orang, yang sebagian disebabkan oleh orang-orang yang terus datang ke Jakarta terutama yang berasal dari Jawa dan Sumatra. Sementara kemanapun ekonomi Jakarta untuk memberi pekerjaan bagi pencari kerja yang bertambah jumlahnya setiap tahun terbatas. Terjadi perpindahan surplus tenaga kerja dari desa ke kota. Mereka tidak bisa ditampung disektor formal akhirnya masuk ke sector informal yang pada umumnya merupakan kegiatan ekonomi dengan tingkat produktivitas dan pendapatan rendah. Karena terlalu banyak orang yang mau bekerja disektor formal, sedangkan daya tamping sector tersebut terbatas maka semakin berat seleksi penerimaan pekerja. Pendidikan atau keterampilan khusus menjadi salah satu kriteria utama dalam seleksi tenaga kerja disektor formal. Jumlah penganggruan, terutama setengah pengangguran, semakin tinggi, dan kesenjangan antara kelompok masyarakat yang mempunyai kesempatan bekerja disektor formal dan kelompok masyarakat yang hanya bisa bekerja disektor informal atau yang tidak memiliki pekerjaan semakin besar.

You might also like