Professional Documents
Culture Documents
Optimalisasi Pajak Hotel dan Restoran Dalam Rangka Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Kota Bukittinggi
Optimization Hotels and Restaurant Tax to Increase Regional Tax Income (PAD) in Bukittinggi City Roni Ekha Putera Program Studi Ilmu Administrasi Negara FISIP Universitas Andalas Padang (Diterima tanggal 15 Desember 2008, disetujui tanggal 19 Januari 2009) Abstract
This research aims to identify tax maximization of hotels and restaurants to increase Locally Raised Revenue of Bukittinggi City. Data collection used documentation and in-depth interview. The research showed that Bukittinggi City could improve Locally Raised Revenue and exeed its target. However, the government realized that the obedience of tax payers is the key factor to materialized its target. The government also realized that behaviour of tax payers are main challenges for the government to maximize its income from taxing the hotels and restaurants, since Indonesian government has been implementing Tax Law Regulation which uses selfasessment system. Keywords: Regional Tax Income, Local Government, Hotels and Restaurants Tax.
85
Pendahuluan
Sebagai mempunyai negara fungsi kesatuan, dalam Indonesia membangun
dengan pembangunan daerah, dan yang menjadi perhatian daerah adalah keleluasaan untuk mengelola urusan keuangan sendiri. Dalam hal ini daerah juga dituntut untuk mampu mencari pendapatan sendiri untuk keberlanjutan pembangunan di daerah masing-masing. Untuk mendukung tanggung jawab yang dilimpahkan, Pemerintah Daerah memerlukan sumber pembiayaan fiskal. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 menjelaskan bahwa daerah diberikan hak untuk mendapatkan sumber keuangan yang antara lain: berupa kepastian tersedianya pendanaan dari Pemerintah sesuai dengan urusan pemerintah yang diserahkan, untuk tujuan tersebut Pemerintah Daerah harus memiliki kekuatan untuk menggali potensi sumber-sumber PAD dan Pemerintah harus mentransfer sebagai pendapatan dan atau membagi sebagian pendapatan pajaknya dengan Pemerintah Daerah. Untuk itu kehadiran UndangUndang No. 33 Tahun 2004 menguatkan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 yang menerangkan tentang prinsip-prinsip kebijakan perimbangan keuangan secara jelas (Penjelasan UU No. 32/2004. Halaman 130-220). UndangUndang No. 33 Tahun 2004 menjelaskan kapasitas fiskal daerah merupakan sumbersumber pembiayaan pembangunan di daerah dan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Kapasitas yang fiskal merupakan sumber pendanaan daerah yang bersumber dari Pendapatan Asli Daerah dan Dana Perimbangan. Salah satu fenomena yang mencolok dari hubungan antara sistem Pemerintah Daerah dengan pembangunan adalah ketergantungan Pemerintah Pemerintah. Daerah Hampir yang semua tinggi terhadap dan provinsi
masyarakat adil dan makmur sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 alinia keempat. Dengan demikian, segenap potensi dan sumber daya pembangunan yang ada harus dialokasikan secara efektif dan efisien melalui suatu proses kemajuan dan perbaikan secara terus-menerus yang disebut pembangunan. Pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat baik moril maupun materil. Untuk pembangunan tersebut dibutuhkan dana yang cukup besar. Hal ini juga sebagai penentu sukses tidaknya daerah dalam melaksanakan otonomi daerah sebagaimana
amanah yang tertuang dalam Undang-undang No. 32 tahun 2004 dan Undang-undang No. 33 Tahun 2004. Dari kedua undang-undang tersebut, daerah memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali yang sumber-sumber memadai prinsip lanjut, keuangan untuk sendiri, mengelola dan menggunakan keuangan sendiri cukup membiayai dalam penyelenggaraan pemerintahan daerahnya dengan menggunakan Lebih kemandirian prinsip-prisnsip menjalankan proses pembangunannya. terkandung dalam Undang-undang Nomor 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah telah memberi arah kepada pemberian dukungan pemerintah, baik Pemerintah Pusat, selanjutnya pembangunan mengenai disebut yang Pemerintah, disertai dan oleh terhadap kejelasan Pemerintah Daerah dalam hal melaksanakan pembiayaan sumber-sumber
Kabupaten/ Kota memiliki ketergantungan fiskal mencapai 70 % - 80 % terhadap transfer dana perimbangan dari pusat. Tabel 1. Komposisi Peneriman Pemerintah
pendapatan daerah. Peluang yang dimaksud adalah bahwa Pemerintah Daerah memiliki kewenangan luas atas segala urusan terkait
85
Daerah : 1999/2000 -2001 1999/00 2000 2001 (100%) (%) (%) Propinsi 100.00 100.00 100.00 PAD 37.22 32.30 32.23 Dana Bagi 18.66 15.94 25.89 Hasil DAU/DAU 44.12 51.76 41.88 Kabupaten/ 100.00 100.00 100.00 Kota PAD 10.31 9.04 4.99 Dana Bagi 12.39 11.31 22.43 Hasil DAU/DAK 77.30 79.65 72.58 Sumber : Departemen Keuangan Tahun 2003 Melihat tabel yang dikemukakan di atas, menurut Kuncoro (2003: 519-562). Ketergantungan fiskal terlihat jelas pada relatif rendahnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan dominannya transfer dari pusat. Adalah ironis, meskipun undang-undang telah menggarisbawahi titik berat otonomi daerah adalah kabupaten dan kota, namun justru Kabupaten dan Kota lah yang mengalami tingkat ketergantungan yang lebih tinggi dibanding propinsi. Pengaruh relatif rendahnya Pendapatan Asli daerah dan dominannya transfer dari pusat seperti ini menjadi kendala dalam pemberdayaan kesanggupan pemerintah daerah dalam mengurus persoalan pembangunan daerah dengan keinginan masyarakat lokal. Hal ini tentu saja menyebabkan adanya kecenderungan yang memberangus pelaksanaan prinsip-prinsip Otonomi Daerah sendiri dalam pelaksanaan pembangunan daerah. Untuk itu cara yang tepat untuk mengurangi komposisi Dana Perimbangan yang nyaris 80% dari total sumber penerimaan daerah harus ditekan melalui peningkatan PAD, salah satunya yaitu optimalisasi pengelolaan keuangan daerah. Pengelolaan sumber-sumber penerimaan keuangan daerah berasal dari berbagai macam sektor, baik sektor riil maupun sektor fisik, yaitu pertanian, perdagangan, industri, perhotelan dan
restoran, air bersih, listrik dan gas, angkutan dan komunikasi, dan sumber penerimaan lainnya yang signifikan dan sesuai dengan karakteristik daerah. Dalam Undang-Undang No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, pajak dan retribusi daerah merupakan sumber pendapatan daerah disamping penerimaan yang berasal dari Pemerintah Pusat berupa subsidi / bantuan dan bagi hasil pajak dan bukan pajak. Sumber pendapatan daerah tersebut diharapkan menjadi sumber pembiayaan dan penyelenggaraan pemerintahan
pembangunan daerah, serta meningkatkan dan memeratakan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu perlu dikembangkan optimalisasi dalam penggalian potensi pajak daerah sebagai salah satu penerimaan daerah yang memberi kontibusi besar dalam APBD propinsi dan APBD kota/ kabupaten. Peningkatan pendapatan ini biasanya tidak selalu identik dengan peningkatan tarif pajak dan tarif retribusi, langkah optimalisasi yang lebih damai adalah melalui perluasan dari konstitusi yang telah ada melalui pembentukan Perda (Peraturan Daerah) yang bertujuan untuk memperbaiki sistem perpajakan daerah. Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut pajak, adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada Daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan Daerah dan pembangunan Daerah (UU No. 34 Tahun 2000, pasal 1 ayat 6). Pajak daerah dalam hal ini adalah pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah, antara lain Pajak Hotel dan Restoran, Pajak Penerangan Jalan, dan Pajak Kendaraan Bermotor. (Penjelasan UU No. 34 tahun 2000). Pajak Bumi dan Bangunan sebagai
86
salah satu sumber penerimaan daerah yang telah diserahkan kepada Pemerintah Daerah meskipun statusnya masih pajak negara, akan tetapi penerimaannya sebagian besar telah diserahkan kepada Pemerintah Daerah. Peningkatan pendapatan daerah melalui pertimbangan potensi yang dimiliki daerah perlu mendapatkan perhatian yang khusus. Pemerintah Daerah harus mampu menggali potensi sumbersumber pendapatan asli daerah untuk membiayai sektor-sektor pembangunan demi kemandirian daerah. Masing-masing Kabupaten/ kota memiliki potensi yang berbeda-beda sehingga pemerintah daerah seharus memiliki cara-cara tersendiri untuk mengoptimalkan potensi tersebut. Kota Bukittinggi yang merupakan salah satu kota di Sumatera Barat yang memiliki potensi yang berbeda dengan kabupaten/kota lainnya yaitu sebagai kota sentra bisnis dan perdagangan, industri, pendidikan, jasa, pariwisata, kesehatan dan juga sebagai shuttle down city. Didukung oleh letak dan kondisi geografis didukung kota oleh yang alam sangat yang strategis penuh dan dengan
terefleksi dalam peningkatan dan stabilitas realisasi pajak hotel dan restoran ini dari tahun ke tahun.
panorama yang menjadi wisata alam, berada pada jalur perdagangan Jawa-Sumatera dan termasuk salah satu kota cukup besar yang berada di lintas Sumatera, maka kebijakan-kebijakan strategis diambil pun menyentuh sektor-sektor penting dan strategis tersebut. Salah satu sektor yang memiliki kontribusi besar dari tahun ke tahun adalah pajak daerah, yang salah satu sumbernya berasal dari pajak hotel dan restoran. Bila kita lihat Kota Bukittinggi merupakan restoran potensi yang sangat Asli sangat bagus pusat pariwisata di pesat. bagi Perkembangan peningkatan rangka Sumatera Barat dengan perkembangan hotel dan jumlah hotel dan restoran ini seharusnya menjadi Pendapatan Daerah dalam yang
87
utama APBD
menentukan besar kecilnya keinginan pemerintah untuk menetapkan pungutan. Serta kemampuan untuk membayar segala yang pungutan-pungutan ditetapkan oleh
pemerintah daerah. Kondisi awal suatu daerah yang perlu diperhatikan seperti komposisi industri yang ada di daerah, struktur sosial politik dan institusional relatif serta berbagai kekuatan, kelompok masyarakat yang memiliki kemampuan atau kecakapan administratif, kejujuran dan integritas dari semua cabangcabang pemerintah, pendapatan. Peningkatan ekstensifikasi ekstensifikasi cakupan atau dan penerimaan dan perpajakan tingkat
PAD, kegiatan ini merupakan upaya memperluas cakupan penerimaan PAD. Ada 3 hal penting diperhatikan peningkatan dan subjek yang dalam cakupan pajak harus usaha ini atau
yaitu; (1) Menambah objek retribusi, (2) meningkatkan besarnya penetapan, dan (3) mengurangi tunggakan. Pertumbuhan Penduduk, jika jumlah penduduk meningkat maka pendapatan yang dapat pungut akan meningkat. Tingkat Inflasi, inflasi akan meningkatkan penerimaan
88
PAD
yang
penetapannya pada omzet pajak b. tarif, pendapatan pada c. perlu laju untuk dengan d.
memungut
pajak
adalah
negara, iuran tersebut berupa uang bukan barang. Berdasarkan undang-undang, pajak ketentuan dipungut dengan undang-undang
misalnya,
tergantung
serta aturan pelaksanaannya. Tanpa jasa timbal balik secara individual dari negara yang secara langsung dapat ditunjukkan. Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara yakni pengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas. Pajak daerah menurut Undang-undang No. 34 Tahun 2000 pasal 1 ayat 6 adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang dan seimbang, pembangunan yang digunakan untuk
laju inflasi akan menghambat peningkatan PAD. f. Sumber dapat pertambahan pendapatan baru, adanya kegiatan usaha baru mengakibatkan sumber pajak
membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah daerah. Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pemungutan pajak daerah oleh pemerintah kota/ kabupaten kepada masyarakat pada dasarnya bertujuan untuk membiayai penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan, pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan dalam upaya meningkatkan taraf hidup masyarakat (Abu Bakar dalam Abdul Halim; 2000: 144). Pajak daerah digolongkan ke dalam 2 kategori menurut tingkat pemerintahan daerah yaitu Pajak Propinsi dan pajak Kabupaten/Kota. Sesuai dengan Undang-undang No. 34 Tahun 2000 tentang pajak daerah dan restribusi daerah, jenis pajak propinsi terdiri dari; (1) pajak kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air, (2) biaya balik nama kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air, (3) pajak bahan bakar kendaraan bermotor, (4) pajak pengambilan dan
Soemitro dalam Mardiasmo (2000) adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan UU yang dapat dipaksakan dengan tiada mendapat jasa timbal balik yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan umum. untuk membayar Soeparman pengeluaran Sedangkan
Soemahamidjaja mendefinisikan pajak sebagai iuran wajib, berupa uang atau barang yang dipungut oleh penguasa berdasarkan normanorma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum. Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsur-unsur sebagai berikut; a. Iuran negara, dari rakyat yang kepada berhak
89
pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan. Sedangkan jenis pajak kabupaten/ kota terdiri dari; (1) pajak hotel (2) pajak restoran (3) pajak hiburan, (4) pajak reklame (5) pajak penerangan jalan (6) pajak pengambilan bahan galian golongan C (7) pajak parkir. Ada beberapa indikator yang biasa digunakan dalam menilai pajak dan retribusi daerah yaitu; (1) hasil yaitu memadai tidaknya hasil suatu pajak dalam kaitannya dengan berbagai layanan yang dibiayainya, stabilitas dan mudah tidaknya memperkiranya hasil pajak tersebut, perbandingan hasil pajak dengan biaya pungut, elastisitas hasil pajak terhadap invalasi dan pertambahan pendapatan. (2) Keadilan (equity), dalam hal ini dasar pajak dan kewajiban membayarnya harus jelas dan tidak sewenangwenang, pajak harus adil secara horizontal artinya beban pajak harus sama antara berbagai kelompok yang berbeda tetapi dengan kedudukan ekonomi yang sama, adil secara vertikal artinya beban pajak harus lebih banyak ditanggung oleh kelompok yang memiliki sumber daya yang lebih besar. (3) efiseiensi ekonomi, pajak atau retribusi daerah hendaknya mendorong penggunaan sumber daya secara efisien dan efektif dalam kehidupan ekonomi, mencegah jangan sampai pilihan konsumen dan produsen menjadi salah arah, dan memperkecil beban lebih pajak. (4) kemampuan melaksanakan, pajak harus dapat dilaksanakan baik dari aspek politik maupun administratif. (5) kecocokan sebagai sumber penerimaan daerah.
di suatu daerah untuk menghasilkan sejumlah penerimaan PAD. Pemerintah daerah harus mampu mengenali dan mengelola potensi daerah yang mereka miliki. Kejelian pemerintah daerah untuk mencari dan mengenali potensi daerahnya akan sangat berpengaruh kepada kapasitas daerah untuk mencari sumber-sumber pendapatan guna memenuhi kebutuhan pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi tanggung jawabnya. Sampai saat ini sektor pajak merupakan sektor yang masih menjadi sumber utama pendapatan Pemerintah Daerah. Pemerintah Daerah Kota Bukittinggi nampaknya sudah mulai bergerak untuk mencari dan menggali potensi sumber pendapatan daerah yang memang potensial. Kota Bukittinggi sebagai kota wisata jelas merupakan potensi yang sangat besar bagi pemerintah daerah untuk meningkatkan pendapatan daerah. Perkembangan sektor pariwisata di Kota Bukittinggi memiliki dampak positif bagi perkembangan sektor lain disekitarnya seperti pertumbuhan hotel dan restoran yang semakin meningkat. Sektor ini merupakan salah satu sumber bagi pendapatan daerah berupa pajak yang secara yuridis tercantum dalam undang-undang. Peningkatan penerimaan daerah ini tidak selalu identik dengan peningkatan tarif pajak dan retribusi. Salah satu upaya optimalisasi penerimaan daerah ini adalah dengan daerah. 1. Optimalisasi Penerimaan Pajak Hotel dan Restoran di Kota Bukittinggi Untuk menggali potensi sektor hotel dan restoran ini Pemerintah Daerah Kota Bukittinggi telah mengaturnya dalam Peraturan Daerah No. 12 Tahun 2004 tentang pajak Hotel dan Peraturan Daerah No. 13 Tahun 2004 tentang Pajak Restoran dan Rumah Makan. Implementasi kedua perda ini baik Perda No 12 maupun Perda membentuk peraturan daerah yang bertujuan untuk memperbaiki sistem perpajakan
Pajak Hotel dan Restoran Sebagai Penyumbang PAD bagi Kota Bukittinggi
Untuk mencapai kemandirian daerah, pemerintah daerah harus memiliki kemampuan untuk menggali potensi daerahnya. Potensi pendapatan asli daerah adalah kekuatan yang ada
90
No.13 telah dilaksanakan oleh pemerintah Kota Bukittinggi melalui Dinas Pendapatan Daerah Kota sebagai lembaga pelaksana teknis. Dilihat dari kuantitas jelas pajak hotel dan restoran di Kota Bukittinggi merupakan potensi yang besar jika semua pihak yang terkait dengan sektor pajak ini dapat bekerjasama dengan baik. Tabel 2. Jumlah Hotel dan Restoran/ Rumah Makan di Kota Bukittinggi No Klasifikasi Jumlah 1 Hotel Berbintang 8 2 Hotel Melati 48 3 Restoran/ Rumah Makan 18 Besar 4 Rumah makan sedang/ kecil 164 Sumber: Dispenda Kota Bukittinggi, 2006 Untuk menggali potensi ini pemerintah Kota Bukittinggi telah mengatur dalam Perda No. 12 tentang Pajak Hotel dan Perda No. 13 Tentang Pajak Restoran. Kedua Perda ini mengatur tentang besarnya tarif pajak serta sanksi-sanksi yang diberikan bagi yang melanggar ketentuan tersebut. Tarif pajak (tax rate) adalah angka atau prosentase yang digunakan untuk menghitung jumlah pajak atau jumlah pajak terutang. Perda No. 12 dan Perda No.13 menetapkan besarnya pajak adalah 10 % dari jumlah omset atau pembayaran pelayanan. Dalam penentuan jumlah banyak faktor yang pajak ini oleh dipertimbangkan
Dalam
sistem
billing
ini
besarnya
pajak
dimasukkan pada kwitansi atau bon yang diberikan kepada konsumen. Artinya pajak dibebankan kepada konsumen secara langsung ketika terjadi transaksi. Kedua sistem penetapan, besarnya pajak yang harus dibayarkan oleh wajib pajak ditetapkan 10 % dari omset penjualan. Sistem penetapan ini digunakan untuk memungut pajak restoran / rumah makan yang dikategorikan sedang/kecil. Pada sistem penetapan ini pajak yang harus dibayarkan dan dibebankan kepada pengusaha/pemilik Penentuan penetapan kerjasama besarnya ini restoran/rumah pajak dengan restoran sangat tergantung makan. sistem kepada atau
pemilik/pengusaha
rumah makan untuk melaporkan omset yang mereka kepada petugas pendataan pajak. Namun dalam pelaksanaannya seringkali jumlah omset yang dilaporkan wajib pajak tidak sesuai dengan omset yang sebenarnya. Seringkali pengusaha/ pemilik restoran/ rumah makan punya dua laporan. Laporan keuangan untuk Pemerintah laporan dengan jumlah keuangan yang tidak besar tetapi juga memiliki laporan internal lain yang jumlahnya lebih besar. Sehingga petugas sulit untuk melacaknya. Masalah telah dibuat ini oleh berpengaruh Dinas terhadap capaian dari target pendapatan yang sebelumnya Pendapatan. Kecenderungannya target capaian pungutan pajak akan lebih mudah didapat dari pemungutan yang menggunakan sistem bill. Persoalannya selain ketidaksesuaian laporan omset oleh pemilik restoran atau rumah makan juga terjadi karena seringnya terjadi perubahan jumlah wajib pajak. Restoran/ rumah makan yang tutup juga mempengaruhi perolehan pajak. Tabel 3. Rekapitulasi Pajak Hotel dan Restoran Kota Bukittinggi sampai dengan Bulan Juli 2006 perhitungan dan capaian
pemerintah antara lain faktor ekonomi sosial maupun politik. Untuk menentukan besarnya tarif pajak ini Pemerintah Daerah Kota Bukittinggi menggunakan dua sistem sekaligus. Pertama adalah billing sistem yaitu sistem pemungutan pajak yang menggunakan daftar harga jasa atau layanan yang dibuat dan diisi oleh wajib pajak. Sistem ini digunakan untuk pemungutan pajak hotel dan pajak restoran/ rumah makan yang dikategorikan restoran/ rumah makan besar.
91
terhadap aturan dalam pemungutan pajak sangat mempengaruhi perolehan capaian ini. Sosialisasi Perda merupakan faktor yang sangat penting untuk menumbuhkan kesadaran wajib pajak dalam membayar pajak. Dinas Pendapatan Kota Bukitinggi dalam mensosialisasikan Perda No. 12 dan Perda No. 13 ini melakukan beberapa langkah. Pertama melalui penyuluhan langsung oleh petugas pajak kepada para wajib pajak. Penyuluhan langsung ini dilakukan di lapangan atau dengan mengadakan pertemuan dengan wajib pajak. Kedua dengan memberikan brosur yang berisikan ketentuan perda tersebut kepada wajib pajak. Untuk merangsang para wajib pajak membayar pajak Dinas Pendapatan Kota Bukittinggi juga mengadakan undian untuk Bill
Sumber: diolah
dari
data
Dispenda
Kota
yang dilakukan dua kali dalam setahun. Meskipun berbagai kendala muncul, keberhasilan Dispenda Kota Bukittinggi untuk mencapai target pendapatan dari sektor pajak hotel dan restoran ini dapat dikatakan sangat baik. Capaian kinerja ini sangat berpengaruh kepada Pendapatan Asli Daerah (PAD). Jika dilihat dari besarnya pendapatan asli daerah yang di peroleh Pemerintah Daerah Kota Bukittinggi secara keseluruhan pajak hotel dan restoran setiap tahunnya merupakan sumber pendapatan
Pendapatan Kota Bukittinggi memiliki kinerja yang cukup baik dalam pencapaian realisasi pendapatan dari sektor pajak hotel dan restoran. Tingkat realisasi perolehan pajak selalu dapat mencapai target bahkan cendrung melebihi target. Meskipun tidak dipungkiri bahwa dalam pelaksanaan masih ditemukan berbagai kendala.
Tabel 4. Target dan Realisasi Pajak Hotel dan Restoran tahun 2001-2005
Pajak Hotel
Tahun 2001 2002 2003 2004 2005 2001 2002 2003 2004 2005 Target 1.555.000.000 2.176.685.387 1.650.000.000 1.727.094.240 2.073.963.741 706.400.000 761.407.644 901.576.146 Realisasi 1.854.959.965 2.250.040.895 91.923.019.129 2.339.759.959 2.302.458.518 720.018.061 778.665.808 971.931.702 % Realisasi 119,29 103,37 116,55 135,47 111,02 101,93 102,27 107,80
daerah yang menyumbang cukup besar. Tabel 5. Kontribusi Pajak Hotel dan Restoran Terhadap (PAD) Kota Bukittinggi tahun 2001 - 2005 Tahun Kontribusi terhadap PAD (%) 2001 20,3 2002 18,4 2003 16,5 2004 18 2005 17,6 Sumber: diolah dari data Dispenda Kota Bukittinggi. Keberhasilan Dispenda untuk dapat
Pajak Restoran
92
meningkatkan membiayai
kemampuan pemerintahan
daerah sendiri
untuk sehingga
pendidikan yang cukup baik dan bidang ilmu mereka umumnya juga berkaitan erat dengan bidang tugas mereka di Dispenda. Para aparatur di Dispenda ini umumnya bidang memiliki ekonomi latar baik belakang pendidikan
ketergantungan terhadap Pemerintah Pusat dapat dikurangi. Namun Pemerintah Daerah harus pula memperhatikan agar pemungutan pajak ini jangan sampai memberatkan masyarakat sehingga akan dapat menghambat perkembangan sektor pendukung pariwisata ini. 2. Faktor-faktor Restoran Keberhasilan yang dicapai oleh Dinas Pendapatan Daerah Kota Bukittinggi dalam menggali potensi pajak hotel dan restoran ditentukan oleh beberapa faktor antara lain faktor sumber daya manusia yang dimiliki, faktor ketegasan kebijakan (aturan) Perda dan faktor kepatuhan wajib pajak serta faktor ekonomi daerah. a. Sumber Daya Manusia Keberhasilan sebuah sebuah organisasi akan sangat ditentukan oleh kemampuan sumber daya manusia yang melaksanakan kegiatan tersebut. Sumber daya yang dimaksud adalah menyangkut jumlah maupun kualitasnya. Jika hanya dengan jumlah yang banyak, namun tidak memiliki kualitas yang sesuai dengan kebutuhan belum tentu dapat mencapai tujuan dari organisasi tersebut. Dengan jumlah yang sedikit meskipun memiliki kualitas yang baik juga akan menghambat pelaksanan kegiatan. Dengan kata lain antara jumlah sumber daya manusia berhubungan simetris dengan kualitas SDM itu sendiri untuk mencapai kinerja yang memuaskan. Kualitas sumber daya manusia ini menyangkut aspek pendidikan yang sesuai dengan bidang tugas dan keahlian yang dimiliki. Jika dilihat pada Dinas Pendapatan Daerah Kota Bukittinggi jumlah aparatur yang dimiliki cukup memadai yaitu berjumlah 50 orang. Para aparatur yang bertugas di Dispenda ini memiliki sosial Yang Mempengaruhi Keberhasilan Penerimaan Pajak Hotel dan
sarjana, Akademi maupun SMEA. Tabel 6. Jumlah PNS di Dispenda Kota Bukittinggi berdasarkan Tingkat No 1 2 3 4 5 Pendidikan Pendidikan S2 S1 Akademi SLTA/SMEA SLTP Jumlah Jumlah 1 19 10 17 1 50
Sumber: Dispenda Kota Bukittinggi Meskipun aparatur di Dispenda ini memiliki latar belakang pendidikan ekonomi namun masih perlu peningkatan kualitas SDM terutama untuk khusus perpajakan baik itu melalui kursus dan Diklat. Demikian juga dengan PNS yang masih memiliki pendidikan SLTA/ SMEA perlu untuk mendorong mereka untuk melanjutkan pendidikan sehingga kemampuan mereka benar-benar dapat mendukung pelaksaan tugas Dispenda secara efektif. Kualitas dan keahlian aparatur ini sangat mempengaruhi keberhasilan Dispenda untuk meningkatkan capaian penerimaan dari sektor pajak. b. Kepatuhan Wajib Pajak Kepatuhan dari wajib pajak merupakan salah satu faktor yang sangat penting mempengaruhi pencapaian pelaksaan kebijakan perpajakan. Kepatuhan dan kerjasama dari wajib pajak akan mempermudah penggalian potensi pendapatan daerah. Namun yang sering terjadi adalah wajib pajak seringkali tidak menyadari kewajiban mereka membayar pajak bahkan banyak yang tidak bersedia membayar. Di Kota Bukittinggi meskipun data
93
memperlihatkan bahwa capaian realisasi pajak hotel dan restoran bisa melebihi target, namun sebenarnya potensi ini masih dapat dioptimalkan. Kepatuhan wajib pajak belum optimal. Dari data dilapangan untuk pemungutan pajak rumah makan dengan memakai sistem bill tetap juga mengalami kendala. Masih banyak pengelola rumah makan yang tidak bersedia memberikan bill kepada konsumennya, meskipun sebenarnya pajak dibebankan kepada konsumen. Akan tetapi bagi pelanggan yang dari luar daerah diberikan bill. Jikalau, peraturan dijalankan secara maksimal maka tentu penerimaan dari pajak ini akan lebih optimal. Masalah membayar pajak ketepatan juga waktu dalam masih mengalami
menggunakan sistem penetapan. Para wajib pajak melaporkan omset mereka jauh dibawah omset riil mereka. Sehingga akan berpengaruh pada penghitungan besarnya jumlah pajak yang harus mereka bayarkan. Tetapi ini memang menjadi kendala umum dalam bidang perpajakan di Indosesia. Karena peraturan perundang-undangan perpajakan Indonesia menggunakan sistem self assessment, sistem ini memberikan kepercayaan dan tanggungjawab kepada wajib pajak untuk menghitung dan membayar sendiri pajak yang terhutang. Jadi keberhasilan sistem perpajakan seperti ini memang sangat ditentukan oleh kepatuhan dari wajib pajak. c. Faktor Ketegasan Kebijakan (Aturan) Masalah yang muncul dalam pelaksanan Perda No. 12 dan Perda 13 lebih sering terjadi karena faktor kurangnya kepatuhan wajib pajak. Permasalahan ini akan dapat diatasi jika aturan yang mengatur memiliki ketegasan yang jelas dan aparat konsisten dalam melaksanakan aturan tersebut. Mekanisme penghitungan, pembayaran dan sanksi terhadap pelanggaran harus tegas. Jika kita lihat isi dari Perda 12 tentang pajak hotel dan Perda No. 13 tentang pajak restoran/ rumah makan sebenarnya mekanisme pajak baik dari perhitungan, pembayaran hingga sanksi sudah diatur. Dalam kedua perda ini penghitungan dan penetapan pajak berdasarkan kepada SPTPSD yang diisi oleh wajib pajak dan Walikota akan menetapkan pajak terutang dengan menerbitkan SKPD. Apabila SKPS tidak atau kurang dibayar setelah lewat waktu paling lama tanggal 15 setiap bulan berikutnya, maka dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2 % sebulan dan ditagih dengan menerbitkan STPD. Karena dasar perhitungan pajak adalah SPTPD yang diisi oleh wajib pajak maka masih banyak ditemukan wajib pajak yang enggan
permasalahan. Masih banyak wajib pajak yang tidak membayar tepat pada waktu yang telah ditetapkan Perda yaitu paling lambat tanggal 15 setiap bulannya. Namun masih banyak para wajib pajak yang enggan membayarkan bahkan sengaja tidak membayar. Pelanggaran ini dalam aturan Perda No. 12 ataupun Perda No. 13 dapat diberikan dispenda sanksi. Namun menurut ini mereka petugas belum belum pemberian sanksi
dilaksanakan sepenuhnya, sehingga wajib pajak tidak terlalu khawatir jika membayar atau menunggak. Alasan wajib pajak menolak untuk membayarnya seperti persoalan ketidaksesuaian tarif pajak, yang dari sisi wajib pajak sering dianggap memberatkan mereka. Perda No. 13 tentang pajak restoran/ rumah makan menetapkan bahwa besarnya pajak yang dikenakan kepada masyarakat adalah 10 % dari omset. Tarif pajak sebesar 10 % ini bagian sebagian wajib pajak dianggap memberatkan mereka sehingga keuntungan yang mereka peroleh menjadi sangat sedikit. Selain masalah ketidaksesuaian laporan wajib pajak dengan data yang sebenarnya. Persoalan ini terjadi untuk rumah makan yang
94
mengisinya. Perda No. 12 sendiri sebenarnya telah mengatur sanksi terhadap wajib pajak yang melanggar seperti ini. Dalam pasal 12 ayat 3 dikatakan disampaikan bahwa dalam apabila jangka SPTPD waktu tidak yang
d. Kondisi Sosial Ekonomi Daerah Pengaruh kondisi perekonomian akan sangat berpengaruh terhadap sektor perdagangan dan jasa. Kondisi ekonomi daerah akan mempengaruhi omset dari suatu usaha baik itu barang maupun jasa. Karena omset menunjukkan kemampuan suatu perusahan dalam melakukan penjualan barang atau jasa yang diproduksinya. Omset ini akan dipengaruhi daya beli konsumen sementara daya beli konsumen dipengaruhi oleh perkembangan perekonomian. Sektor merupakan perhotelan jasa yang dan restoran usaha menyediakan makanan
ditentukan dan telah ditegur secara lisan, dikenakan sanski administrasi sebanyak 2 persen. Sedangkan untuk wajib pajak yang tidak mengisi SPTPD maka pajak terhutang dihitung secara jabatan dan dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 25 % sebulan dari pokok pajak ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2 % sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayarkan sejak saat terutangnya pajak. Selain itu Perda ini juga mengatur ketentuan tidak pidana bagi wajib pajak atau tidak yang melanggar. Wajib pajak yang dengan sengaja menyampaikan SPTPD yang mengisi benar dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan sehingga merugikan keuangan negara dapat dipidana dengan pidana penjara 2 tahun atau denda paling banyak paling banyak 4 kali jumlah pajak yang terhutang. Wajib pajak yang melanggar ketentuan pajak yang diatur dalam perda ini setelah 3 kali berturut-turut maka walikota akan mencabut izin dan menutup hotel atau retoran/ rumah makan yang bersangkutan tanpa adanya putusan pengadilan. Aturan sanksi terhadap pelanggaran ini dapat dikatakan sudah sangat jelas, namum persoalannya dalam implementasi belum dilaksanakan secara optimal. Dengan belum dilaksanakannya aturan dari Perda ini secara tegas membuat subyek pajak yang melanggar tidak takut yang berimplikasi pada rendahnya kepatuhan wajib pajak tersebut. Pemerintah pemerintahan sebagai lembaga penyelenggara hak sebenarnya mempunyai
pelayanan dalam bentuk penginapan, kamar maupun hiburan dan pelayanan jasa dan minuman. Jelas bahwa sektor ini akan sangat ditentukan oleh daya beli konsumennya. Karena itu dalam penetapan tarif pajak baik pajak hotel maupun pajak restoran perlu memperhatikan kondisi ekonomi masyarakat. Kondisi perekonomian Kota Bukittinggi sedikit berpengaruh terhadap sektor perhotelan, terbukti jumlah hotel non bintang menurun dari 50 buah pada tahun 2000 menjadi 40 tahun 2004. Namun kondisi perekonomian tidak terlalau berpengaruh kepada usaha besar karena data memperlihatkan ketika hotel non bintang menurun sebaliknya hotel berbintang mengalami kenaikan dari 7 buah pada tahun 2000 menjadi 9 buah pada tahun 2004. Hal yang sama juga terjadi pada sektor restoran/ rumah makan. Rumah makan yang menggunakan sistem billing menurun dari 21 buah tahun 2004 menjadi 18 buah pada tahun 2005. Dampak perekonomian yang tidak stabil sangat berpengaruh kepada rumah makan dengan skala kecil. Seringkali terjadi perubahan data di Dispenda megenai jumlah wajib pajak untuk rumah makan karena banyaknya rumah makan yang tutup dan kemudian ada yang baru buka. Mengatasi masalah ini Dispenda Kota Bukittinggi selalu
memaksa untuk pelaksanaan sebuah kebijakan dengan syarat memiliki aturan yang jelas.
95
melakukan pendataan secara rutin dalam 3 bulan sekali untuk rumah makan/ restoran. Kondisi ekonomi mempengaruhi jumlah omset yang dilaporkan oleh wajib pajak kepada pemerintah. Memang ada hubungan yang sangat erat antara kondisi ekonomi dengan penerimaan pajak hotel maupun restoran. Misalnya jika tingkat hunian hotel tinggi tentu saja jumlah bill yang diterima oleh pemerintah daerah sebagai pajak juga tinggi dan sebaliknya. Demikian juga untuk sektor restoran/ rumah makan jika perekonomian baik maka daya beli masyarakat akan tinggi dan tentunya omset dari restoran /rumah makan akan tinggi pula, sehingga akan mempengaruhi jumlah pajak yang diterima dari sektor ini. Dengan kata lain ada hubungan positif antara kondisi perekonomian dengan penerimaan pajak hotel dan pajak restoran/ rumah makan.
Dispenda masih menyadari bahwa potensi ini belum tergali secara optimal karena diperkirakan masih bisa ditingkatkan penerimaan pajak ini dengan syarat adanya kepatuhan dari wajib pajak untuk melaporkan omset mereka secara jujur. Kepatuhan wajib pajak ini menjadi kendala utama dalam mengoptimalkan penerimaan dari sektor pajak hotel dan restoran. Karena peraturan perundang-undangan perpajakan Indonesia menggunakan sistem self assessment, sistem ini memberikan kepercayaan dan tanggungjawab kepada wajib pajak untuk menghitung dan membayar sendiri pajak yang terhutang. Dari kendala yang dihadapi ini seharusnya pemerintah daerah dalam hal ini Dispenda melakukan sosialisasi yang berkelanjutan dalam rangka meningkatkan kesadaran dan kepatuhan wajib pajak.
Kesimpulan
Secara keseluruhan dari data yang
Daftar Pustaka
Afadlal (ed), 2003, Dinamika Birokrasi Lokal Era Otonomi Daerah, Pusat Penelitian Politik LIPI, Jakarta. Bakar, Abu, 2002, Kebijaksanaan Pemerintah Kota/ Kabupaten dalam Meningkatkan Penerimaan Pajak Daerah, dalam Abdul Halim, Manajemen Keuangan Daerah, UPP AMP YKPN, Yogyakarta. hal; 144 Brata Kusuma, Deddy Supriadi, 2001, Otonomi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Cheema,GS dan Rondinelli (eds), 1983, Decentralization and Development Policy Implementation in Developing Countries, Sage Publications, Beverly Hills. Davey, Kenneth, 1997, Central_local Financia; relation: A report for the Government of Indonesia, ILGS, Birmingham. Davey, Kenneth, 1998, Pembiayaan Pemerintahan Daerah, UI Press, Jakarta. Devas, Nick, 1989, Keuangan Pemerintah Daerah, UI Press, Jakarta. Dwiyanto, Agus, 1995,Penilaian Kinerja Organisasi Pelayanan Publik, Seminar Kinerja Organisasi Sektor Publik, Kebijakan dan Penerapannya, Jurusan Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 20 Mei 1995
didapat di lapangan terlihat bahwa pajak hotel dan restoran/ rumah makan di Kota Bukittinggi memiliki potensi yang cukup besar. Penerimaan dari sektor pajak hotel dan restoran ini memberikan kontribusi terhadap PAD Kota Bukittinggi berkisar antara 1720 % tiap tahunnya. memiliki Dispenda kinerja Kota Bukittinggi baik pun dalam yang cukup
menggali potensi penerimaan dari sektor pajak hotel dan restoran ini terbukti dari kemampuan Dispenda mencapai target realisasi dan bahkan cenderung melebihi target. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan Dispenda Kota Bukittinggi dalam menggali potensi pajak hotel dan restoran ini yaitu sumber daya manusia yang dimiliki, kepatuhan wajib pajak, ketegasan kebijakan/ aturan pajak serta kondisi sosial ekonomi daerah. Namun dari keberhasilan tersebut
96
Spirit Publik Volume 5, Nomor 1 Halaman: 85 - 98 Halim, Abdul, (ed), 2002, Manajemen Keuangan Daerah, UPP AMP YKPN, Yogyakarta. Kaho, Josef Rihu, 2000, Prospek Otonomi Daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta. Kaho, Josef Riwu, 1987, Beberapa Faktor Yang Mempengaruhi Peningkatan Pungutan Retribusi Daerahdalam Jurnal Ilmu Politik, Volume II, Gramedia, Jakarta. Kuncoro, Mundrajat, 1995,Desentralisasi Fiskal di Indonesia, Dilema Otonomi dan Ketergantungan, Dalam Prisma No.4 April, hal 3-18. Kuncoro, Mundrajat, 2003, Ekonomi Pembangunan: Teori, Masalah, dan Kebijakan, UPP AMP YKPN, Yogyakarta. Lenvine, Charless H. et.al, 1990, Public Administration: Challenges, Choices, Consequences, Glenview, Scott Foreman/Little Brown Higher Education, Illionis Machfud Sidik, 2000, Kebijakan Fiskal Nasional Untuk mendukung Otonomi Daerah, dalam seminar Program Studi Magister Ekonomi Pembangunan UGM, Yogyakarta. Mardiasmo, 2000, Perpajakan, Penerbit ANDI, Yogyakarta, Nurcholis, Hanif, 2005, Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah, PT Gramedia Widia Sarana Indonesia, Jakarta. Peraturan Daerah Kota Bukittinggi Nomor 12 tahun 2004 tentang Pajak Hotel dan Restoran Peraturan Pemerintah No. 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan. Simajuntak, Tamrin, 2002, Analisis Potensi Pendapatan Daerah (PAD), dalam Abdul Halim,(ed) Manajemen Keuangan Daerah, UPP AMP YKPN, Yogyakarta, hal; 97. Syaukani, dkk, 2002, Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Undang-Undang No. 34 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Undang-Undang Nomor 18 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Jakarta,1997 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Undang-Undang Nomor 34 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Jakarta, 2000.
97