You are on page 1of 74

SUKU JAWA

* Kematian Mendhak Tradisi Mendhak adalah salah satu ritual dalam adat istiadat kematian budaya Jawa. Upacara tradisional Mendhak dilaksanakan secara individu atau berkelompok untuk memperingati kematian seseorang. Peralatan dan perlengkapan yang diperlukan untuk upacara tradisional Mendhak adalah sebagai berikut: tumpeng, sega uduk, side dishes, kolak, ketan, dan apem. Kadang-kadang, sebelum atau sesudah upacara Mendhak dilaksanakan, sanak keluarga dapat mengunjungi makam saudara mereka. Upacara tradisional ini dilaksanakan tiga kali dalam seribu hari setelah hari kematian: pertama disebut Mendhak Pisan, upacara untuk memperingati satu tahun kematian (365 hari); kedua disebut Mendhak Pindho sebagai upacara peringatan dua tahun kematian; ketiga disebut sebagai Mendhak Telu atau Pungkasan atau Nyewu Dina, yang dilaksanakan pada hari ke seribu setelah kematian. Menurut kepercayaan Jawa, setelah satu tahun kematian, arwah dari saudara yang diperingati kematiannya tersebut telah memasuki dunia abadi untuk selamanya. Menurut kepercayaan juga, untuk memasuki dunia abadi tersebut, arwah harus melalui jalan yang sangat panjang; oleh karena itu penting sekali diadakannya beberapa upacara untuk menemani perjalanan sang arwah. * Kematian surtanah Tradisi kematian dalam adat Jawa salah sataunya adalah Upacara Surtanah yang bertujuan agar arwah atau roh orang mati mendapat tempat yang layak di sisi Sang Maujud Agung. Perlengkapan upacara: - Golongan bangsawan: tumpeng asahan lengkap dengan lauk, sayur adem (tidak pedas), pecel dengan sayatan daging ayam goreng/panggang, sambal docang dengan kedelai yang dikupas, jangan menir, krupuk, rempeyek, tumpeng ukurukuran, nasi gurih, nasi golong, dan pisang raja. - Golongan rakyat biasa: tumpeng dengan lauknya, nasi golong, ingkung dan panggang ayam, nasi asahan, tumpeng pungkur, tumpeng langgeng, pisang sajen, kembang setaman, kinang, bako enak dan uang bedah bumi. Upacara ini diadakan setelah mengubur jenazah yang dihadiri oleh keluarga, tetangga dekat, dan pemuka agama.

* Upacara nyewu dina Inti dari upacara ini memohon pengampunan kepada Tuhan. Perlengkapan upacara: Golongan bangsawan: takir pentang yang berisi lauk, nasi asahan, ketan kolak, apem, bunga telon ditempatkan distoples dan diberi air, memotong kambing, dara/merpati, bebek/itik, dan pelepasan burung merpati. - Golongan rakyat biasa: nasi ambengan, nasi gurih, ketan kolak, apem, ingkung ayam, nasi golong dan bunga yang dimasukan dalam lodong serta kemenyan. Upacara tersebut diadakan setelah maghrib dan diikuti oleh keluarga, ulama, tetangga dan relasi. * Upacara Brobosan Salah satu upacara tradisional dalam adat istiadat kematian jawa adalah upacara Brobosan. Upacara Brobosan ini bertujuan untuk menunjukkan penghormatan dari sanak keluarga kepada orang tua dan leluhur mereka yang telah meninggal dunia. Upacara Brobosan diselenggarakan di halaman rumah orang yang meninggal, sebelum dimakamkan, dan dipimpin oleh anggota keluarga yang paling tua. Tradisi Brobosan dilangsungkan secara berurutan sebagai berikut: 1) peti mati dibawa keluar menuju ke halaman rumah dan dijunjung tinggi ke atas setelah upacara doa kematian selesai, 2) anak laki-laki tertua, anak perempuan, cucu laki-laki dan cucu perempuan, berjalan berurutan melewati peti mati yang berada di atas mereka (mrobos) selama tiga kali dan searah jarum jam, 3) urutan selalu diawali dari anak laki-laki tertua dan keluarga inti berada di urutan pertama; anak yang lebih muda beserta keluarganya mengikuti di belakang. UPACARA ADAT KELAHIRAN SUKU JAWA Upacara tradisional ini menyimbolkan penghormatan sanak keluarga yang masih hidup kepada orang tua dan leluhur mereka. Salah satu tradisi kelahiran dalam budaya Jawa adalah Selapanan. Upacara Selapanan bertujuan memohon keselamatan bagi si bayi. Perlengkapan upacara yang dibutuhkan adalah sebagai berikut: - Golongan bangsawan: Nasi tumpeng gudangan, nasi tumpeng kecil yang ujungnya ditancapi tusukan bawang merah dan cabe merah, bubur lima macam, jajan pasar, nasi golong, nasi gurih, sekul asrep-asrepan, pecel ayam, pisang, kemenyan, dan kembang

setaman diberi air. - Golongan rakyat biasa: Tumpeng nasi gurih dengan lauk, nasi tumpeng among-among, nasi golong, jenang abang putih, ingkung dan panggang ayam. Upacara terakhir dalam rangkaian selamatan kelahiran yang dilakukan pada hari ke 36 sesuai dengan weton atau hari pasaran kelahiran si bayi. Selapanan diadakan setelah maghrib dan dihadiri oleh si bayi, ayah, dukun, ulama, famili dan keluarga terdekat. UPACARA PERNIKAHAN SUKU JAWA Pesta pernikah adat Jawa mempunya beraneka ragam tradisi. Pemaes, dukun pengantin perempuan di mana menjadi pemimpin dari acara pernikahan, itu sangat penting. Dia mengurus dandanan dan pakaian pengantin laki-laki dan pengantin perempuan yang bentuknya berbeda selama pesta pernikahan. Biasanya dia juga menyewakan pakaian pengantin, perhiasan dan perlengkapan lain untuk pesta pernikahan. Banyak yang harus dipersiapkan untuk setiap upacara pesta pernikahan. Panitia kecil terdiri dari teman dekat, keluarga dari kedua mempelai. Besarnya panitia itu tergantung dari latar belakang dan berapa banyaknya tamu yang di undang (300, 500, 1000 atau lebih). Sesungguhnya upacara pernikahan itu merupakan pertunjukan besar. Panitia mengurus seluruh persiapan perkawinan: protokol, makanan dan minuman, musik gamelan dan tarian, dekorasi dari ruangan resepsi, pembawa acara, wali untuk Ijab, pidato pembuka, transportasi, komunikasi dan keamanan. Persiapan yang paling penting adalah Ijab (catatan agama dan catatan sipil), dimana tercatat sebagai pasangan suami istri. Biasanya sehari sebelum pesta pernikahan, pintu gerbang dari rumah orangtua wanita dihias dengan Tarub (dekorasi tumbuhan), terdiri dari berbeda Tuwuhan (tanaman dan daun). * Dua pohon pisang dengan setandan pisang masak berarti: Suami akan menjadi pemimpin yang baik di keluarga. Pohon pisang sangat mudah tumbuh dimana saja. Pasangan pengantin akan hidup baik dan bahagia dimana saja. * Sepasang Tebu Wulung berarti: Seluruh keluarga datang bersama untuk bantuan nikah. * Cengkir Gading berarti: Pasangan pengantin cinta satu sama lain dan akan merawat

keluarga mereka. * Bentuk daun seperti beringin, mojo-koro, alang-alang, dadap srep berarti: Pasangan pengantin akan hidup aman dan melindungi keluarga. bekletepe di atas pintu gerbang berarti menjauhkan dari gangguan roh jahat dan menunjukan di rumah mana pesta itu diadakan. Kembar Mayang adalah karangan dari bermacam daun (sebagian besar daun kelapa di dalam batang pohon pisang). Itu dekorasi sanggat indah dan menpunya arti yang luas. * Itu mempunyai bentuk seperti gunung: Gunung itu tinggi dan besar, berarti laki-laki harus punya banyak pengetahuan, pengalaman dan kesabaran. * Keris: Melukiskan bahwa pasangan pengantin berhati-hati dalam kehidupan, pintar dan bijaksana. * Cemeti: Pasangan pengantin akan selalu hidup optimis dengan hasrat untuk kehidupan yang baik. * Payung: Pasangan pengantin harus melindungi keluarganya. * Belalang: Pasangan pengantin akan giat, cepat berpikir dalam mengambil keputusan untuk keluarganya. * Burung: Pasangan pengantin mempunyai motivasi hidup yang tinggi. * Daun Beringin: Pasangan pengantin akan selalu melindungi keluarganya dan masyarakat sekitarnya. * Daun Kruton: Daun yang melindungi mereka dari gangguan setan. * Daun Dadap srep: Daun yang dapat digunakan mengompres untuk menurunkan demam, berarti pasangan pengantin akan selalu mempunyai pikiran yang jernih dan tenang dalam mengadapi masalah. * Daun Dlingo Bengl: Jamu untuk infeksi dan penyakit lainnya, itu digunakan untuk melindungi gangguan setan. * Bunga Patra Manggala: Itu digunakan untuk memperindah karangan. Sebelum memasang Tarub dan Bekletepe harus membuat sepesial Sajen.

Tradisionil Sajen (persembahan) dalam pesta adat Jawa itu sangat penting. Itu adalah simbol yang sangat berarti, di mana Tuhan Pencipta melidungi kami. Sajen berarti untuk mendoakan leluhur dan untuk melindungi dari gangguan roh jahat. Sajen diletakan di semua tempat di mana pesta itu diadakan, diantaranya di kamar mandi, di dapur, di bawah pintu gerbang, di bawah dekorasi Tarub, di jalan dekat rumah, dan lain-lain.

Siraman sajen terdiri dari: * Tumpeng Robyong, nasi kuning dengan hiasan. * Tumpeng Gundul, nasi kuning tanpa hiasan. * Makanan: ayam, daging, tahu, telur. * Tujuh macam bubur. * Pisang raja dan buah lainnya. * Kelapa muda. * Kue manis, lemper, cendol. * Teh dan kopi pahit. * Rokok dan kretek. * Lantera. * Bunga Telon (kenanga, melati, magnolia) dengan air Suci. Siraman: Makna dari pesta Siraman adalah untuk membersihkan jiwa dan raga. Pesta Siraman ini biasanya diadakan di siang hari, sehari sebelum Ijab dan Panggih. Siraman di adakan di rumah orangtua pengantin masing-masing. Siraman biasanya dilakukan di kamar mandi atau di taman. Sekarang lebih banyak diadakan di taman. Daftar nama dari orang yang melakukan Siraman itu sangat penting. Tidak hanya orangtua, tetapi juga keluarga dekat dan orang yang dituakan. Mereka menyeleksi orang yang bermoral baik. Jumlah orang yang melakukan Siraman itu biasanya tujuh orang. Bahasa Jawa tujuh itu PITU, mereka memberi nama PITULUNGAN (berarti menolong).

Apa saja yang harus dipersiapkan: * Baskom untuk air, biasanya terbuat dari tembaga atau perunggu. Air dari sumur atau mata air. * Bunga Setaman - mawar, melati, magnolia dan kenanga - di campur dengan air. * Aroma - lima warna - berfungsi seperti sabun. * Tradisionil shampoo dan conditioner (abu dari merang, santan, air asam Jawa). * gayung dari 2 kelapa, letakkan bersama. * Kursi kecil, ditutup dengan: * Tikar - kain putih - beberapa macam daun - dlingo bengl (tanaman untuk obatobatan) - bango tulak (kain dengan 4 macam motif) - lurik (motif garis dengan potongan Yuyu Sekandang dan Pula Watu). * Memakai kain putih selama Siraman. * Kain batik dari Grompol dan potongan Nagasari. * Handuk. * Kendi.

Keluarga dari pengantin wanita mengirim utusan untuk membawa air-bunga ke keluarga dari pengantin laki-laki. Itu Banyu Suci Perwitosari, berarti air suci dan simbol dari intisari kehidupan. Air ini diletakan di rumah pengantin laki-laki.

Pelaksanaan dari SIRAMAN:


Pengantin perempuan/laki-laki datang dari kamarnya dan bergabung dengan orangtuanya. Dia diantar ke tempat Siraman. Beberapa orang jalan di belakangnya dan membawa baki dengan kain batik, handuk, dan lain-lain. Dan ini akan digunakan setelah Siraman. Dia mendudukkan di kursi dan berdoa. Orang pertama yang menyiramkan air ke pengantin adalah ayah. Ibu boleh menyiramkan setalah ayah. Setelah mereka, orang lain boleh melakukan Siraman. Orang terakhir yang melakukan Siraman adalah Pemaes atau orang sepesial yang telah ditunjuk. Pengantin perempuan/laki-laki duduk dengan kedua tangan di atas dada dengan posisi berdoa. Mereka menyiramkan air ke tangannya dan membersihkan mulutnya tiga kali. Kemudian mereka menyiramkan air ke atas kepala, wajah, telinga, leher, tangan dan kaki juga sebanyak tiga kali. Pemaes menggunakan tradisionil shampoo dan conditioner. Setelah Kendi itu kosong, Pemaes atau orang yang ditunjuk memecahkan kendi ke lantai dan berkata: Wis Pecah Pamore - berarti dia itu tampan (menjadi cantik dan siap untuk menikah).

Upacara NGERIK:
Setelah Siraman, pengantin duduk di kamar pengantin. Pemaes mengeringkan rambutnya dengan handuk dan menberi pewangi (ratus) di seluruh rambutnya. Dia mengikat rambut ke belakang dan mengeraskannya (gelung). Setelah itu Pemaes membersihkan wajahnya dan lehernya, dia siap untuk di dandani. Pemaes sangat behatihati dalam merias pengantin. Dandanan itu tergantun dari bentuk perkawinan. Akhirnya, pengantin wanita memakai kebaya dan kain batik dengan motif Sidomukti atau Sidoasih. Itu adalah simbol dari kemakmuran hidup. Upacara Midodareni: Pelaksanaan pesta ini mengambil tempat sama dengan Ijab dan Panggih. Midodareni itu berasal dari kata Widodari yang berarti Dewi. Pada malam hari, calon pengantin wanita akan menjadi cantik sama seperti Dewi. Menurut kepercayaan kuno, Dewi akan datang dari kayangan. Pengantin wanita harus tinggal di kamar dari jam enam sore sampai tengah malam di temani dengan beberapa wanita yang dituakan. Biasanya mereka akan memberi saran dan nasihat. Keluarga dan teman dekat dari pengantin wanita akan datang berkunjung; semuanya harus wanita. Orangtua dari pengantin wanita akan menyuapkan makanan untuk yang terakhir

kalinya. Mulai dari besok, suaminya yang akan bertanggung jawab. Apa saja yang harus diletakan di kamar pengantin? * Satu set Kembar Mayang. * Dua kendi (diisi dengan bumbu, jamu, beras, kacang, dan lain-lain) di lapisi dengan kain Bango Tulak. * Dua kendi (diisi dengan air suci) di lapisi dengan daun dadap srep. * Ukub (baki dengan bermacam pewangi dari daun dan bunga) diletakan di bawah tempat tidur. * Suruh Ayu (daun betel). * Kacang Areca. * Tujuh macam kain dengan corak letrek. Di tengah malam semua sajen di ambil dari kamar. Keluarga dan tamu dapat makan bersama. Di kamar lain, keluarga dan teman dekat dari pengantin wanita bertemu dengan keluarga dari pengantin laki-laki. Adat istiadat suku Jawa juga sering dilaksanakan saat upacara pernikahan. Masyarakat sukuJawa percaya akan adanya hari yang baik untuk melaksanakan pernikahan. Hari baik tersebut,biasanya, berpatokan pada buku primbon Jawa. Prosesi Pernikahan Adat Jawa :1.Pingitan2.Siraman3.Midodareni4. Pernikahan PINGITAN Sebulan sebelum acara pernikahan berlangsung, calon pengantin suku Jawa tidak diperbolehkanuntuk saling bertemu. Khusus calon mempelai wanita, biasanya, akan dipingit . Ritual pingitan ini ditujukan untuk mempersiapkan fisik dan mental si gadis yang akan memasuki jenjang pernikahan. Sehari sebelum acara pernikahan, calon mempelai wanita kembalimelakukan ritual. Kali ini, ritualnya berupa siramanyang akan dijelaskan pada slide berikutnya. Siraman Acara ini biasanya di lakukan pada siang hari, secara terpisah antara calon mempelai wanita danpria, tetapi harus dimulai pada saat yang bersamaan.Acara siraman ini ditujukan untuk membersihkan mempelai wanita dan pria secara fisik dan psikis secarabersamaan, serta meminta restu dari orang tua PERNIKAHAN Di upacara pernikahan adat Jawa, terdapat

Pemaes, dukun pengantin perempuan di manamenjadi pemimpin dari acara pernikahan, itu sangat penting. Dia mengurus dandanan danpakaian pengantin laki-laki dan pengantin perempuan yang bentuknya berbeda selama pestapernikahan. Biasanya dia juga menyewakan pakaian pengantin, perhiasan dan perlengkapan lainuntuk pesta pernikahan. Panitia pernikahan Banyak yang harus dipersiapkan untuk setiap upacara pesta pernikahan. Panitia kecil terdiri dariteman dekat, keluarga dari kedua mempelai. Besarnya panitia itu tergantung dari latar belakangdan berapa banyaknya tamu yang di undang. Panitia mengurus seluruh persiapan perkawinan: protokol, makanan dan minuman, musikgamelan dan tarian, dekorasi dari ruangan resepsi, pembawa acara, wali untuk Ijab, pidato pembuka, transportasi, komunikasi dan keamanan. Persiapan yang paling penting adalah I jab(catatan agama dan catatan sipil), dimana tercatat sebagai pasangan suami istri. Tarub Tarub adalah hiasan janur kuning (daun kelapa yang masih muda) yang dipasang tepi tratag yangterbuat dari bleketepe (anyaman daun kelapa yang hijau). Pemasangan tarub biasanya dipasang saat bersamaan dengan memandikan calon pengantin(siraman, Jawa) yaitu satu hari sebelum pernikahan itu dilaksanakan. Untuk perlengkapan tarub selain janur kuning masih ada lagi antara lain yang disebut dengantuwuhan. Adapun macamnya : Dua batang pohon pisang raja yang buahnya tua/matang. Dua janjang kelapa gading ( cengkir gading, Jawa ) Dua untai padi yang sudah tua. Dua batang pohon tebu wulung (tebu hitam) yang lurus. Daun beringin secukupnya. Daun dadap srep.

SUKU MINANG
I. TRADISI DAN UPACARA SEPANJANG KEHIDUPAN MANUSIA : Sebagaimana kita ketahui bahwa dalam kehidupan manusia semenjak ia lahir berjodoh hingga meninggalkan dunia yang fana ini berlaku kebiasaan dan tradisi yang telah memberi warna perlakuan peribadi dan masyarakatnya, di dalam berinteraksi sesama. Kemudian tradisi yang dipraktekkan dalam Nagari-nagari di Ranah Minang menjadi kebiasaan serta menjadi kekayaan amat berharga dalam khazanah budaya minangkabau. Faktor penghayatan lahiriah dalam melaksanakan adat bersendi syariat, yang menjadikan adat minangkabau menyatu didalam ajaran Islam, sehingga menjadi sempurnalah kehidupan awal manusia minangkabau hingga akhir dari suatu kehidupan, dalam tatatanan adat bersendi syara syara bersedi kitabullah. Ajaran Islam akan lebih banyak berbicara didalam pola dan tingkah laku masyarakat dari daripada konsep-konsep yang

bersifat teoritis. Kearah ini kompilasi syariat islam dalam khazanah budaya Minangkabau semestinya mengarah. Upacara-upacara yang dipraktekkan dalam tradisi di Minangkabau adalah 1. Upacara kehamilan ; Ketika roh ditiupkan kedalam seorang ibu pada saat janin berusia 16 minggu, maka disaat inilah bebera kalangan masyarakat mengharapkan doa dari kerabatnya. Pengertian kerabat disini terdirin dari para ipar dan besan dari masing-masing pasangan isteri. Seperti pada umumnya setiap hajad kebaikan maka keluarga yang akan membangun kehidupan baru menjadi pasangan keluarga sakinah ma waddah wa rahmah memohon kepada Yang Maha Kuasa agar awal kehidupan janin membawa harapan yang dicita-citakan. 2. Upacara Karek Pusek (Kerat pusat) : Sebetulnya tidak memerlukan upacara yang khusus pada saat dilakukan pemotongan tali pusat ini, karena merupakan upaya dari kalangan medis dalam memisahkan pusar bayi dengan placenta ibunya. Belum diketemukan upacara khusus untuk melakukan hal ini. 3. Upacara Turun Mandi dan Kekah (Akekah) : Sering upacara ini dilakukan dengan tradisi tertentu diantara para ipar besan dan induk bako dari pihak si Bayi. Induk Bako si Bayi akan memberikan sesuatu kepada sang bayi sebagai wujud kasih sayangnya atas kedatangan bayi itu dalam keluarga muda. Umumnya Induk bako dan kerabatnya akan memberikan perhiasan berupa cincin bagi bayi laki-laki atau gelang bagi bayi perempuan serta pemberian lainnya. 4. Upacara Sunat Rasul : Apabila seorang anak laki-laki telah cukup umur dan berkat dorongan kedua orang tuanya, maka seorang anak akan menjalani khitanan yang di Ranah Minang disebut Sunat Rasul. Sunah rasul mengandung pengharapan dari kedua orang tuanya agar anak laki-lakinya itu menjadi anak yang dicita-citakan serta berbakti kepada kedua orang tua. Saat ini telah menjadi trend baru di kalangan masyarakat, yang kemudian melahirkan tradisi baru dikalangan atas masyarakat minangkabau melalui pennyelenggaraan upacara tertentu seperti perhelatan. Anak laki-laki yang sudah dikhitankan itu didudukkan di sebuah pelaminan seperti pengantin. Sebenarnya ini bukanlah kebiasaan yang menjadi tradisi dalam masyarakat minangkabau namun keboleh jadian bahwa tradisi merupakan hasil asimilisai dari

berbagai etnis yang hidup di Indonesia. Ssuatu saat akan menjadi tradisi pula dikalangan masyarakat minangkabau. 5. Masa Mengaji di Surau dan upacara masa remaja laki-laki : Surau mengandung tempat tinggal dan tempat pembelajaran bagi anak laki disaat ia remaja. Setelah melalui upacara-upacara pada masa kehamilan dan sampai lahir dan seterusnya maka dilanjutkan dengan acara-acara semasa remaja dan terutama sekali bagi anak laki-laki. Pada masa remaja ada pula acara-acara yang dilakukan berkaitan dengan ilmu pengetahuan adat dan agama. Upacara-upacara semasa remaja ini adalah sbb: 1. Manjalang guru (menemui guru) untuk belajar. Orang tua atau mamak menemui guru tempat anak kemenakannya menuntut ilmu. Apakah guru dibidang agama atau adat. Anak atau keponakannya diserahkan untuk dididik sampai memperoleh ilmu pengetahuan yang diingini. 2. Balimau. Biasanya murid yang dididik mandi berlimau dibawah bimbingan gurunya. Upacara ini sebagai perlambang bahwa anak didiknya dibersihkan lahirnya terlebih dahulu kemudian diisi batinnya dengan ilmu pengetahuan. 3. Batutue (bertutur) atau bercerita. Anak didik mendapatkan pengetahuan dengan cara gurunya bercerita. Di dalam cerita terdapat pengajaran adat dan agama. 4. Mengaji adat istiadat. Didalam pelajaran ini anak didik mendapat pengetahuan yang berkaitan dengan Tambo Alam Minangkabau dan Tambo Adat. 5. Baraja tari sewa dan pancak silek (belajar tari sewa dan pencak silat). Untuk keterampilan dan ilmu beladiri maka anak didik berguru yang sudah kenamaan. 6. Mangaji halal jo haram (mengaji halal dengan haram). Pengetahuan ini berkaitan dengan pengajaran agama. 7. Mengaji nan kuriek kundi nan merah sago, nan baiek budi nan indah baso (mengaji yang kurik kundi nan merah sago, yang baik budi nan indah baso), pengajaran yang berkaitan dengan adat istiadat dan moral. 6. Tamat Kaji (khatam Quran) : Biasanya seseorang yang telah menamatkan kaji (khatam Quran), maka terlebih dahulu dilakukan pengujian terhadap kemampuan membaca itu dihadapan majelis Surau. Seorang akan mendengar kemampuan tajwit dan makhraj untuk meyakini bahwa seorang anak yang telah menamatkan AlQuran itu, telah lulus didalam pengkhataman Al Quran nya. Sebagai rasa syukur, maka para jemaah di Surau

itu akan merayakan dalam bentuk pemberian doa selamat kepada si murid. Umumnya beberapa kekeluarga di Minangkabau secara kolektif dan bersama menyediakan penganan khas daerah setempat. Melepas Pergi Merantau : dibahas pada mengapa orang minang pergi merantau. II. PERKAWINAN : Menikah : dibahas secara rinci dalam kategori Adat Perkawinan Pada umumnya masyarakat Minangkabau beragama Islam, oleh karena itu dalam masalah nikah kawin sudah tentu dilakukan sepanjang Syarak. Dalam pelaksanaan nikah kawin dikatakan nikah jo parampuan, kawin dengan kaluarga. Dengan pengertian ijab kabul dengan perantaraan walinya sepanjang Syarak, namun pada hakekatnya mempertemukan dua keluarga besar, dua kaum, malahan antara keluarga nagari. Pada masa dahulu perkawinan harus didukung oleh kedua keluarga dan tidak membiarkan atas kemauan muda-mudi saja. Dalam proses perkawinan acara yang dilakukan adalah sbb: 1. Pinang-maminang (pinang-meminang) 2. Mambuek janji (membuat janji) 3. Anta ameh (antar emas), timbang tando (timbang tando) 4. Nikah 5. Jampuik anta (jemput antar) 6. Manjalang, manjanguak kandang (mengunjungi, menjenguk kandang). Maksudnya keluarga laki-laki datang ke rumah calon istri anaknya 7. Baganyie (merajuk) 8. Bamadu (bermadu) Dalam acara perkawinan setiap pertemuan antara keluarga perempuan dengan keluarga laki-laki tidak ketinggalan pidato pasambahan secara adat. III. KEMATIAN DAN TATA CARA PENYELENGGARAAN Akhir kehidupan di dunia adalah kematian. Pada upacara yang berkaitan dengan kematian tidak terlepas dari upacara yang berkaitan dengan adat dan yang bernafaskan keagamaan. Acara-acara yang diadakan sebelum dan sesudah kematian adalah sbb: 1. Sakik basilau, mati bajanguak (sakit dilihat, mati dijenguk) 2. Anta kapan dari bako (antar kafan dari bako) 3. Cabiek kapan, mandi maik (mencabik kafan dan memandikan mayat) 4. Kacang pali (mengantarkan jenazah kek kuburan) 5. Doa talakin panjang di kuburan 6. Mengaji tiga hari dan memperingati dengan acara hari ketiga, ketujuh hari, keempat puluh hari, seratus hari dan malahan yang keseribu hari. Pada masa dahulu acara-acara ini memerlukan biaya yang besar. Tradisi ~ Ma anta pabukoan ~ Ciri khas masyarakat Minangkabau adalah Islam dan adat yang bersendikan syara syara bersendi kitabullah. Maanta pabukoan sebuah tradisi yang sudah tidak jelas lagi

batas antara kewajiban adat dengan budaya. Banyak kegiatan khazanah budaya di Minangkabu yang dilaksanakan dengan sangat islami dan minangkabau. Sebagai bagian dari keberagamaan dan keber adatan, maka maanta pabukoan ini hingga ini masih tetap ada. Ramadhan adalah bulan suci, yang dirindukan dan dinantikan kedatangannya oleh siapapun juga. Pada saat memasuki bulan ramadhan, masyarakat melaksanakan tradisi balimau yang mengandung makna tentang kesiapan mental seseorang dalam menjalani ibadah puasa dengan cara mensucikan diri dari segala hadas melalui mandi gadang (balimau) atau mandi junub. Pada masa bulan ramadhan itu, para keluarga akan melakukan amalan berupa pemberian anatar makanan kepada kaum kerabat yang dihormati oleh keluarganya. Perhatikanlah masih ada wanita paruh baya dengan bungkusan besar yang dijunjungnya serta di tangan kanannya masih terjinjing sebuah rantang alumunium berjalan menuju kerumah mertua/kerabat suaminya. Bagi pasangan muda lebih-lebih pengantin baru, dengan raut wajah dan dandanan kebaya serta pakaian muslim berkunjung kerumah mertuanya dengan penuh kegembiraan. Meski saat ini tradisi ma anta pabukoan tidak lagi sekental suasana puluhan tahun lalu, namun pemandangan yang ini dikenal sebagai tradisi ma anta pabukoan atau mengantarkan makanan ke rumah sanak keluarga terutama ke tempat mertua, masih merupakan tradisi wajib. Tradisi ma anta pabukoan di berbagai daerah di Sumbar sangat beragam sebutannya, ada yang menyebutnya dengan menganta konji (mengantar penganan kolak), babuko basamo jo mintuo (berbuka bersama mertua) dan lain sebagainya. Baik ma anta pabukoan maupun manganta konji tujuannya tetap sama yaitu mendekatkan silaturahmi antara keluarga, anak dengan orang tua, cucu dengan nenek dan istri dengan mertua. Riwayat tradisi ma anta pabukoan : Tradisi maaanta pabukoan sama lamanya dengan pelaksanaan Adat Perkawinan. Ma anta pabukoa merupakan bentuk silaturahmi antar dua keluarga yang eksogami. Seperti kita ketahui, bahwa adat perkawinan minangkbau menganut perkawinan eksogami. Seorang suami akan tinggal di rumah keluarga istri, selama perkawinan berlanngsung sesuai dengan adat perkawinan. Akan tetapi dalam pekawinan itu, mereka tidak membetuk keluarga batih (inti) yang baru. Hal tersebut tentunya, tidak terlepas dari sistem matrilinial di mana garis keturunan justru berasal dari pertalian darah si perempuan. Ketika ia menjadi seorang sumando dirumah keluarga isterinya, terkadang ia sulit bisa meluangkan waktu bisa bertemu dengan orang tuanya walaupun terkadang masih berada di kota yang sama. sesungguhnya kesempatan ma anta pabukoan merupakan saat yang tepat bagi sang menantu mengambil hati mertua. Seorang mertuapun akan merasakan kebahagian dan kebanggaan tersendiri apabila menantu dan anak tiba di rumah. Ditambah lagi bila rantang dan bungkusan sang menantu penuh makanan dan beragam kue.

Kebahagian orang tua itu akan lebih penuh lagi, bila sang menantu santun pada mertua, pandai melayani suami dan penyayang terhadap anaknya. Seorang padusi yang berkedudukan sebagai menantu harus rajin membantu mertua dan tidak boleh hanya duduk saja bersama suami dan anaknya, ketika ia bertandang kerumah mertuanya Meskipun sang ibu mertua biasanya akan berbasa-basi, agar menantu jangan ikut menyiap kan menghidangkan makanan dan minuman yang dibawanya pada saat ma anta pabukon tadi untuk menguji sampai di mana rasa hormat dan penghargaan menantu terhadap mertuanya . Demikian pula pada saat makan bersama, sebaiknya pula ia hanya mencoba dan mencicipi ala kadarnya. Ujian lain yang harus diperhatikan seorang menantu, adalah ia harus bersiap mencuci piring dan membersihkan semua bekas makanan bila telah selesai bersantap. Waktu pelaksanaan ma anta pabukoan : Puncak acara ma anta pabukoan yang berlangsung sore sebelum berbuka sampai saat shalat tarawih tersebut. Pada saat ini, sang menantu harus meminta maaf dan doa restu menghadapi tibanya hari lebaran. Jenis Makanan yang dibawa : Penganan yang dibawa ke rumah mertua tidak bisa berupa makanan yang sembarangan saja. Makanan tersebut harus yang pilihan dan memenuhi bebagai persyaratan., yaitu : 1. Makanan pokok - rendang/dendeng - gulai ikan, - goreng ikan / ikan bakar, - sup, dan - kaliyo jengkol, - penganan ringan serta buah-buahan. 2. Makanan ringan lainnya : - cende (bubur beras yang dibuat bulat) atau - konji (kolak), dan agar-agar. - kue-kue cake (sejenis bolu) dan - lemang pulut dengan tapai ketan. Tidak hanya ragam makanan yang harus dipersiapkan, tetapi bahan dan kualitasnya harus yang terbaik. Apabila membawa ikan bakar atau ayam bakar, maka ikan dan ayam tersebut haruslah yang terbesar. Menu ma anta pabukoan tidak lagi harus membawa penganan tradisional. Karena pada dasarnya penganan tradisional pada zaman dahulu merupakan bahan makanan yang paling banyak disukai orang. Sebaiknya ketika membawa makanan itu disukai oleh keluarga yang didatangi. Namun tidak perlu memaksakan diri, katanya. Bagi seorang Mertua, kedatangan anak cucu ini, merupakan kebahagian yang tiada tara yang tidak bisa diukur dengan uang, apalagi dengan menu makanan.

Kesederhanaan dan ketulusan hati adalah yang paling utama yang diinginkan seorang mertua, Manfaat bagi pengembangan pusasak kuliner : Ma anta pabukoan ternyata bisa mempertahankan penganan tradisional dari kepunahan sehingga keberadaannya tetap dapat melanjutkan kebiasaan lama baik dalam masalah bumbu maupun bentuk ukurannya. Sanakku sesama padusi Minang : Penganan pusaka kuliner, yang sering ditunjukkan dalam bentu konji , yaitu bubur ubi jalar yang dicampur dengan pisang batu dan air gula tebu, mengandung zat perekat. Dalam istilah lain bahasa Minang konji juga berarti lem atau perekat. Makna kata perekat itulah agaknya yang terkandung pada tradisi ma anta pabukoan, yakni tak hanya merekatkan jiwa dalam kedamaian bulan Ramadhan antara mertua dan sanak keluarga dengan membawakan mertua bungkusan penganan, tapi juga mempererat tali silaturahmi setelah mereka berpisah tempat tinggal.

Bahondoh-Bararawai, Tradisi yang Berpantun Bahondoh bararawai adalah tradisi gotong royong padusi minang dalam melakukan pekerjaan besar didunia pertanian. Bahondoh artinya berbondong bondong, sedangkan bararawai adalah bersorak sorei dan bergembira ria. Kaum padusi di lingkungan keluarga petani di Ranah Minang, pada umumnya mempunyai tugas mengantar nasi atau minuman kopi (juadah) ke sawah atau ladang, untuk melakukan pekerjaan bertanam, bersiang dan sekian banyak pekerjaan tergolong ringan lainnya yang dilakukan disawah atau diladang. Keunikannya, secara berkelompok para ibu itu bergotong royong melakukan pekerjaan yang tergolong berat , dalam rangka mengolah lahan pertanian yang baru selesai dipanen. melalui bahondoh (sejenis arisan). Kita mengenal istilah bahondoh pondoh yang bergotong royong dan berbondong bondong menuju sesuatu yang akan dicapai. Umumnya kaum ibu yang sudah tidak memiliki suami, atau sejumlah ibuibu yang sebagian besar sudah menjanda banyak terlibat dalam kegiatan kegotongroyongan ini. Mereka berkongsi menggarap sawah mereka. Arti Kongsi yang sebenarnya, ialah perkumpulan. Perkongsian mereka bentuk agar secara begilir mereka dapat melakukan pekerjaan besar. Hari ini mereka memangkur (memacul) di sawah si A, besok di sawah B, lusa di sawah C, dan begitu seterusnya, sehingga sawah semua peserta kongsi mendapat giliran. Nah. Di areal persawahan di pinggiran Danau Maninjau, Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Provinsi Sumatera Barat, kita dapat menyaksikan dan sekalian mendengarkan ibu-ibu kelompok bahondoh itu berbararawai alias melantunkan larik-larik

berikut bait-bait pantun (berbalas) yang serba komplit, mengandung renunganrenungan tentang suka-duka hidup dan kehidupan yang menariknya dilontarkan secara kocak disertai senda-gurau. Ujan paneh di Balai Salasa urang batuduang daun taleh Kami batanyo usah baa Sia nan mambalian gigi ameh (Hujan panas di Balai Selasa orang bertudung daun talas Jangan tersinggung kami bertanya Siapa yang membelikan gigi emas) Pantun di atas dikumandangkan sembari mengayun cangkul membalikkan kulit bumi. Dan lazimnya, kuplet tersebut disambut dengan kuai alias sorak-sorai ha-haaai yeh atau huuuui yeh. Adapun si gigi emas yang memang sedang berada di tengah kaum ibu yang lagi bahondoh itu, tersipu sejenak untuk kemudian membalas (pantun) dengan bijak dan tangkas, Paku baradai ikan taweh dilapah urang di ateh parau Inyo nan maagiah gigi ameh tiado urang nan alun tau (Pakis digulai ikan tawes dimakan orang di atas perahu Dia yang memberi gigi emas tiada orang yang belum tahu) Dan bait jawaban itupun ditimpali beramai-ramai dengan kuai serta koor nyanyian yang begitu spesifik: oooo bararawai lah bararawai. Kemudian, dari bibir peserta bahondoh-bararawai yang nyaris tiada henti memangkur tanah berair itu bermunculan syair-syair spontan ataupun pantun-pantun gubahan penyair anonim yang telah diakrabi sejak lama oleh masyarakat Minangkabau -yang sengaja saya kutip alakadarnya, Sampuringeh di tapi aia alah mati mako babuah Ingek-ingek uda balaia lauik sati rantau batuah (Sampuringeh di tepi air sesudah mati maka berbuah Hati-hati kanda balayar lautan sakti rantau bertuah)

Ooo bawarawai lah bararawai Tanang-tanang taluak Siboga pandan bagaluik jo ujuangnyo Sanangkan ati sanak ka tingga inyo bajalan jo untuangnyo (Tenang-tenang teluk Sibolga pandan bergelut dengan ujungnya Senangkan hati saudara ditinggal kasihmu berjalan serta untungnya) Ooo bararawai lah bararawai Memang, pantun dengan konotasi beragam (berbau ironi, sarkastik, dramatik, romantik, dan melankolik) itu terus berkembang, dipelesetkan, melenceng-lenceng: nasihat-menasihati, ajuk-mengajuk, goda-menggoda, sindir-menyindir menguliti kekonyolan tingkah laku (ke)manusia(an) melalui diksi idiomatikal lokalitas yang mengusung simbol-simbol yang dipetik dari alam sekitar. Mengenai orang yang tak tahu menaruh sesuatu pada tempatnya, misalnya: Sikaduduak di tangah padang ambiak daunnyo untuak ubek Galak bakukuak ayam gadang mancaliak itiak batangkelek (Sikeduduk di tengah padang ambil daunnya untuk obat gelak terbahak ayam jago melihat bebek pakai bakiak) Ha-haaai yeh. Sementara tentang orang pelagak, cinta kasih serta kesetiaan, begini: Anak cacak tabang ka Benteng tibo di Benteng makan padi Tan Baro rancak kupiah teleng diresek saku indak barisi (Anak cicak terbang ke Benteng sampai di Benteng memakan padi Tan Baro gagah berkopiah teleng dirogoh saku tidak berduit) Huuuui yeh Anak urang Sabu Andaleh andak manjalang ka Kototuo Bialah bansaik bialah pamaleh ati den kanai kabaa juo

(Anak orang Sabu Andaleh hendak pergi ke Kototuo Biarlah miskin biarlah pemalas cintaku mendalam mau apa lagi) Ha-haaai yeh Ooo bararawai lah bararawai Hal yang seyogianya dicatat, setiap bait puntun yang berisi dan disajikan secara berkelakar, dengan kata lain mengandung kegembiraan seperti pantun jenaka atau yang bertema cinta terhadap lawan jenis tapi dipelesetkan, selalu disambut dengan kuai. Dan jika pantun itu ditimpali atau merupakan pantun-berbalas maka akan diakhiri dengan kuai serta koor ooo bararawai lah bararawai. Sedangkan pantun nasib, pantun nasihat berikut keseluruhan kuplet yang relatif serius, senantiasa disudahi dengan nyanyian bernada spesifik ooo bararawai lah bararawai saja. Demikianlah para ibu itu berpantun dan berdendang diiringi kecipak cangkul menerpa tanah berlumpur, ditingkah mbuk-mbuk siamang serta simpai di hutan di tepi kampung. Tanpa terasa hari pun berangsur petang, namun grup bahondoh- bararawai itu masih kelihatan gembira lagi bergairah. Mungkinkah bararawai berfungsi sebagai perintang waktu atau untuk membunuh kemonotonan, kejenuhan dan rasa penat? Entahlah. Pasambahan Penjemputan Pengantin Pria (dilangsungkan di atas rumah) Percakapan yang sering dilakukan pada saat penyambutan kedatangan marahpulai sering dibawakan dengan bahasa yang sebenarnya tidak mudah dipahami. Akan tetapi karena menyangkut upacara dan prosesi adat, maka pihak keluarga anak daro dalam melakukan penyambutan akan diwakili oleh wakil yang terbiasa memimpin upacara adat. Ikutilah percakapan yang terjadi pada saat penerimaan kedatangan marahpulai. Sutan Parmato : (juru bicara pihak keluarga anak daro berdiri sambil mengangkat sembah). : Ma angku Sutan Sinaro ? Sambah tibo ka haribaan angku ! Sutan Sinaro : (juru bicara pihak keluarga marapulai berdiri juga sambil mengangkat sembah). : Manitahlah angku Sutan Permato. Sutan Parmato : Sungguahpun angku surang tampek ambo manibokan sambah

nan sarapeknyolah niniak mamak nan gadang basa batuah alim ulama cadiak pandai suluah bendang dalam nagari langkok jo Bundo Kanduang amban puro limpapaeh rumah nan gadang sarato nan mudo-mudo nan capek kakiringan tangan parik paga dalam nagari Ketek indak disabuik namo Gadang indak diimbaukan gala nak jo sambah sajo kasadonyo kami muliakan(Kembali mengangkat Sembah dan melanjutkan
lagi kata-katanya).

Apo nan manjadi isi pasambahan iolah tantangan kami alek nan tibo Nan sabondong lalu satampuah suruik sasuai jo janji nan dikarang sarato padan nan lah diukue iolah tibo kami disiko Kok datang alah basambuik kok tibo alah basonsong lah dibao naiak kateh rumah kok duduaklah bakambangkan lapiak alah kami balapeh angah.Baa nan sakarang kini nangko Kok dirantang namuah panjang Elok dipunta naknyo singkek Batanyo kami ka sipangka Kok ado nan taraso diati nan ta ilan dimato alahko buliah dikatangahkan ?
Sutan Sinaro : Alah sampai di angku Parmato ? Sutan Parmato : Alah, Sutan! Sutan Sinaro : Apo nan manjadi panitahan dek angku Sutan Parmato tadi alah

dalam adaik dalam pusako alah taracak diundang alah tasungkuik di limbago Ibaraik urang batukang alah dibarih makan pahek alah dirasuak manjariau Tapi samatang pun baitu iyo juo bak pangaja urang tuo-tuo kito Jikok babiduak banakodo Jikok bajalan banan tuo Nak ambo elo kato jo mupakaik mancari rundiang nan saangguak Basaba malah angku mananti !
Sutan Sinaro : yo ambo nanti malah Sutan Sinaro : (menunjukkan sembah kepada ninik mamak rumah : Dt. Batuah)

Ma angku Datuak Batuah? sambah tibo kaharibaan angku datuak !


Sutan Sinaro : Tantangan rundiang alek nan tibo indaklah raso kadiulang Kok bisiak

lah kadangaran kok imbau lah samo kalampauan Baa di kito kini nangko kok kato alun bajawek kok gayuang alun basambuik iyo nak mintak sipaik bakeh angku Datuak Baa po dikito pambarinyo ? Baa nyo kalau angku datuk menyampaikan.
Dt. Batuah : Apo nan manjadi panitahan dek Sutan tadi iyolah kato sabananyo

adaik tanyo iyo bajawek adaik gayuang iyo basambuik Tantang jawek bakeh si alek jalan nan pasa kito turuik labuah nan golong kito tampuah Jikok batanyo lapeh arak jikok barundiang sudah makan Pulang maklum bakeh Sutan !
Sutan Sinaro : Baa nyo kalau angku Datuak nan manyampaikan? Datuak Batuah : Karano Sutan nan manabang eloklah Sutan juo nan manutuah! Sutan Sinaro : Jadi malah angku. (Lalu menunjukkan sembah kembali kepada St. Parmato)

Ma angku Sutan Parmato? Maaf dimintak sapuluah jari karano lah rasah angku tagak mananti maklumlah bajalan indak sadang salangkah jalan babelok bakeh lalu Baa nan kini nanko manjawek tanyo angku tadi lah kami cari rundiang nan

saangguak sarato kato nan sagumam kok bulek lah buliah digolongkan picaklah buliah dilayangkan iyo jalan nan pasa juo nan batampuah labuah nan golong juo kito turuik Jikok batanyo lapeh arak jikok barundiang sudah makan Sakitu sambah bakeh Sutan!
Sutan Parmato : Kalau baitu putusan kato tingga dikami manjalani Bismillahkan

lah diangku disitu nak kami turuikkan pulo di siko !


(Acara sambah Manyambah terhenti sejenak untuk menikmati hidangan yang disediakan tuan rumah. Setelah acara santap hidangan selesai dilaksanakan, maka acara samabah menyembah kembali berlanjut yang tujuan adalah undur pamit kepada Tuan rumah. Selaku Pembawa acara Sutan Parmato kembali mengangkat sembah. Sutan Parmato : Ma angku Sutan Sinaro ? Sambah tibo kaharibaan angku! Sutan Sinaro : Manitahlah angku Sutan Parmato. Sutan Parmato : Kok makan iyolah sampai kanan kanyang Kok minum iyolah tibo

dinan sajuak Manjapuik kato nan tingga Maulang rundiang nan tadi Kok ado nan tailan dimato nan takano di ati alah koh kini buliah kami katangahkan?
Sutan Sinaro : Katangahkanlah angku Sutan Parmato. Sutan Parmato : Kok makan iyolah tibo dinan sajuak Manjapuik kato nan tingga

Maulang rundiang nan tadi Kok ado nan tailan dimato nan takano di ati alah koh kini buliah kami katangahkan?
Sutan Sinaro : Dahalu bakapa rang ka Makah kini lah tabang jo pasawek Dahulu

kato baistinah kiniko kato basicapek Disabuik sajo nan paralu Iyolah tantangan kami nangko nan sabondong lalu satampuah suruik namonyo urang tasarayo tasuruah dek angku(sebutkan nama, suku dan kampung ayah calon pengantin wanita)
Datang kamari basamo-samo untuak manjapuik marapulai calon rang sumando

jo minantu kami nan banamo. . (sebutkan nama calon pengantin pria) anak dari .. (sebutkan nama ayahnya serta suku dan kampungnya) Kok datang kami datang batadaik ditingkek janjang ditampiak bandua langkok jo siriah bacarano Kok japuik kami japuik tabao sarato jo urang nan kamairingkan! Awak baralek yo baabih ari tapi pangulu yo baukatu Karano itu pintak indak kabaulang kandak indak kamanduo Tarimolah baju pambaokan kami nak mintak dipakaikan kapado rang sumando kami!

Demikianlah, percakapan kedua belah pihak, akan terputus sementara sambil mempersilakan para tamu makan atau minum segelas air dan mencicipi kue-kue yang telah disediakan. Setelah selesai acara santap atau makan kue-kue kecil ini, barulah juru bicara pihak rombongan yang datang kembali mengangkat sembah, mengulangi kembali pertanyaan yang tertunda tadi. Setelah jurubicara tuan rumah menyatakan bahwa rundingan sudah bisa dilanjutkan, maka barulah jurubicara pihak kelaurga marah pulai secara terperinci mengemukakan maksud kedatangan rombongan melalui alur persembahannya. Pokok-pokok isinya persembanhan harus memenuhi ketentuan-ketentuan adat menjemput marapulai sbb : 1. 2. 3. 4. Menyatakan bahwa mereka itu merupakan utusan resmi mewakili pihak keluarga Bahwa mereka datang secara adat. Maningkek janjang manapiak bandua dengan Bahwa tujuan mereka adalah untuk menjemput marapulai (sebutkan namanya Menegaskan bahwa jemput itu jemput terbawa, sekalian dengan keluarga yang calon pengantin wanita. membawa sirih dalam carano. dan nama orang tuanya dengan jelas). akan mengiringkan. Kalimat-kalimat dalam alur persembahan bisa bervariasi panjang dengan menyebut dan membeberkan kembali sejarah kelahiran seorang anak sampai dewasa dan sampai berumah tangga atau mengulang-ulang tambo sejarah ninik moyang orang Minang mulai dari puncak Gunung Merapi sampai ke laut yang sedidih dsb. Tetapi itu tidak ada kaitannya sama sekali dengan inti maksud kedatangan rombongan, kecuali hanya untuk memamerkan keahlian si tukang sembah. Sedangkan yang pokok menurut adat untuk disebut adalah yang berhubungan dengan empat ketentuan di atas. Setelah keempat maksud itu disampaikan, dan diterima oleh jurubicara tuan rumah maka barulah seperangkat pakaian yang dibawa oleh rombongan penjemput diserahkan kepada tuan rumah untuk bisa segera dipakaikan kepada marapulai. Sambil menunggu marapulai berpakaian, barulah dilanjutkan lagi acara dengan alur persembahan menanyakan gelar marapulai. Setelah selesai acara sambah-manyambah ini, dan setelah selesai marapulai didandani dan dikenakan busana yang dibawa oleh keluarga anak daro, maka sebelum rombongan termasuk rombongan keluarga yang lakilaki berangkat bersama-sama menuju rumah kediaman anak daro, haruslah marapulai memohon doa restu terlebih dahulu kepada kedua orang tuanya dan kepada keluargakeluarganya yang tua-tua dan yang pantas untuk dihormati dalam kaumnya. Oleh karena anak laki-laki di dalam kekerabatan Minang kalau sudah beristeri biasanya akan tinggal di rumah isterinya, maka sering juga anak laki-laki yang akan kawin itu disebut akan menjadi anak orang lain. Sehingga peristiwa permohonan doa restu ketika akan berangkat nikah, seringkali menjadi sangat mengharukan, dimana yang

dilepas dan yang melepas saling bertangis-tangisan. Lazimnya dalam acara menjemput marapulai ini, pihak keluarga anak daro juga membawa dua orang wanita muda yang baru berumah tangga untuk dijadikan pasumandan yang mengiringkan dan mengapit marapulai mulai turun rumahnya sampai disandingkan di pelaminan setelah akad nikah. Pasumandan ini juga didandani dengan baju kurung khusus dan kepalanya dihiasi dengan sunting rendah.

SUKU BATAK TOBA


MENGENAL PROSES ADAT ISTIADAT DALAM PERNIKAHAN SUKU BATAK Menurut pandangan orang Batak Toba, kebudayaannya memiliki sistem nilai budaya yang amat penting,yang menjadi tujuan dan pandangan hidup mereka secara turuntemurun yakni kekayaan (hamoraon) , banyak keturunan (hagabeon), dan kehormatan (hasangapon). Yang dimaksud kekayaan ialah harta milik berujud materi maupun nonmateri yang diperoleh melalui usaha atau melalui warisan. Keturunan juga termasuk ke dalam kategori kekayaan. Banyak keturunan ialah mempunyai banyak anak,cucu,cicit,dan keturunan-keturunannya,termasuk pemilikan tanaman serta ternak. Kehormatan merupakan pengakuan dan penghormatan orang lain atas wibawa dan martabat seseorang. Batak Toba adalah salah satu sub suku Batak yang memiliki kebudayaan yang unik dan khas di antara suku batak yang lain. Sistem kepemimpinan sosial, yakni harajaon (kekuasaan) ini mereka jaga hingga sekarang. Realitas ini menunjukkan bahwa kebudayaan batak toba masih di jadikan panduan hidup masyarakatnya. Dalam konteks untuk tetap menjaga kearifan local, kebudayaan batak toba penting untuk dikaji dan di dokumentasikan. Tanda kebesaran kebudayaan orang batak toba paling penting adalah pernah diberlakukannya berbagai hukum adat. Berdasarkan hukum adat kehidupan sosial orang batak toba diatur dalam sebuah bingkai kebudayaan tradisi. Dengan begitu, kebudayaan batak toba akan terus ada dan tidak punah di telan zaman. Beberapa hukum adat ini, hingga kini masih berlaku,akan tetapi beberapa sudah tidak di berlakukan dengan baik dikarenakan ketidaksiapan pemiliknya (orang batak toba) maupun akibat campur tangan penguasa. Hukum adat yang berlaku di masyarakat batak toba antara lain hukum adat perkawinan, yakni yang berkaitan dengan ketentuan perkawinan,pertunangan, maskawin, hingga perceraian. Setiap suku memiliki adat dan kebiasaan masing-masing. Tak terkecuali dalam adat Batak. Dalam pernikahan adat Batak, ada banyak tata aturan dan simbol. Dalam simbol-simbol tersebut, tersemat harap dan doa dari keluarga, kerabat, dan handai taulan.

Tata Cara dan Urutan Pernikahan Adat Istiadat Suku Batak 1. Mangarisika Adalah kunjungan utusan pria yang tidak resmi ke tempat wanita dalam rangka penjajakan. Jika pintu terbuka untuk mengadakan peminangan maka pihak orang tua pria memberikan tanda mau (tanda holong dan pihak wanita memberi tanda mata). Jenis barang-barang pemberian itu dapat berupa kain, cincin emas, dan lain-lain. 2. Marhori-hori Dinding/marhusip Pembicaraan antara kedua belah pihak yang melamar dan yang dilamar, terbatas dalam hubungan kerabat terdekat dan belum diketahui oleh umum. 3. Marhata Sinamot Pihak kerabat pria (dalam jumlah yang terbatas) datang oada kerabat wanita untuk melakukan marhata sinamot, membicarakan masalah uang jujur (tuhor). 4. Pudun Sauta.. Pihak kerabat pria tanpa hula-hula mengantarkan wadah sumpit berisi nasi dan lauk pauknya (ternak yang sudah disembelih) yang diterima oleh pihak parboru dan setelah makan bersama dilanjutkan dengan pembagian Jambar Juhut (daging) kepada anggota kerabat, yang terdiri dari : 1. Kerabat marga ibu (hula-hula) 2. Kerabat marga ayah (dongan tubu) 3. Anggota marga menantu (boru) 4. Pengetuai (orang-orang tua)/pariban 5. Diakhir kegiatan Pudun Saut maka pihak keluarga wanita dan pria bersepakat menentukan waktu Martumpol dan Pamasu-masuon. Martumpol (baca : martuppol) Penanda-tanganan persetujuan pernikahan oleh orang tua kedua belah pihak atas rencana perkawinan anak-anak mereka dihadapan pejabat gereja. Tata cara Partumpolon dilaksanakan oleh pejabat gereja sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Tindak lanjut Partumpolon adalah pejabat gereja mewartakan rencana pernikahan dari kedua mempelai melalui warta jemaat, yang Gereja di HKBP disebut dengan Tingting (baca : tikting). Tingting ini harus dilakukan dua kali hari minggu berturut-turut. Apabila setelah dua kali tingting tidak ada gugatan dari pihak lain baru dapat dilanjutkan dengan pemberkatan nikah (pamasu-masuon). 6. Martonggo Raja atau Maria Raja. Adalah suatu kegiatan pra pesta/acara yang bersifat seremonial yang mutlak diselenggarakan oleh penyelenggara pesta/acara yang bertujuan untuk : 1. Mempersiapkan kepentingan pesta/acara yang bersifat teknis dan non teknis 2. Pemberitahuan pada masyarakat bahwa pada waktu yang telah ditentukan ada pesta/acara pernikahan dan berkenaan dengan itu agar pihak lain tidak mengadakan pesta/acara dalam waktu yang bersamaan. 3. Memohon izin pada masyarakat sekitar terutama dongan sahuta atau penggunaan fasilitas umum pada pesta yang telah direncanakan. 7.Manjalo Pasu-pasu Parbagason (Pemberkatan Pernikahan)

Pengesahan pernikahan kedua mempelai menurut tatacara gereja (pemberkatan pernikahan oleh pejabat gereja). Setelah pemberkatan pernikahan selesai maka kedua mempelai sudah sah sebagai suami-istri menurut gereja. Setelah selesai seluruh acara pamasu-masuon, kedua belah pihak yang turut serta dalam acara pamasu-masuon maupun yang tidak pergi menuju tempat kediaman orang tua/kerabat orang tua wanita untuk mengadakan pesta unjuk. Pesta unjuk oleh kerabat pria disebut Pesta Mangalap parumaen (baca : parmaen) 8. Pesta Unjuk Suatu acara perayaan yang bersifat sukacita atas pernikahan putra dan putri. Ciri pesta sukacita ialah berbagi jambar : 1. Jambar yang dibagi-bagikan untuk kerabat parboru adalah jambar juhut (daging) dan jambar uang (tuhor ni boru) dibagi menurut peraturan. 2. Jambar yang dibagi-bagikan bagi kerabat paranak adalah dengke (baca : dekke) dan ulos yang dibagi menurut peraturan. Pesta Unjuk ini diakhiri dengan membawa pulang pengantin ke rumah paranak. 9. Mangihut di ampang (dialap jual) Yaitu mempelai wanita dibawa ke tempat mempelai pria yang dielu-elukan kerabat pria dengan mengiringi jual berisi makanan bertutup ulos yang disediakan oleh pihak kerabat pria. 10. Ditaruhon Jual. Jika pesta untuk pernikahan itu dilakukan di rumah mempelai pria, maka mempelai wanita dibolehkan pulang ke tempat orang tuanya untuk kemudian diantar lagi oleh para namborunya ke tempat namborunya. Dalam hal ini paranak wajib memberikan upa manaru (upah mengantar), sedang dalam dialap jual upa manaru tidak dikenal. 11. Paranak makan bersama di tempat kediaman si Pria (Daulat ni si Panganon) 1. Setibanya pengantin wanita beserta rombongan di rumah pengantin pria, maka diadakanlah acara makan bersama dengan seluruh undangan yang masih berkenan ikut ke rumah pengantin pria. 2. Makanan yang dimakan adalah makanan yang dibawa oleh pihak parboru 12. Paulak Unea a. Setelah satu, tiga, lima atau tujuh hari si wanita tinggal bersama dengan suaminya, maka paranak, minimum pengantin pria bersama istrinya pergi ke rumah mertuanya untuk menyatakan terima kasih atas berjalannya acara pernikahan dengan baik, terutama keadaan baik pengantin wanita pada masa gadisnya (acara ini lebih bersifat aspek hukum berkaitan dengan kesucian si wanita sampai ia masuk di dalam pernikahan). b. Setelah selesai acara paulak une, paranak kembali ke kampung halamannya/rumahnya dan selanjutnya memulai hidup baru. 13. Manjahea. Setelah beberapa lama pengantin pria dan wanita menjalani hidup berumah tangga (kalau pria tersebut bukan anak bungsu), maka ia akan dipajae, yaitu dipisah rumah

(tempat tinggal) dan mata pencarian. 14.Maningkir Tangga (baca : manikkir tangga) Beberapa lama setelah pengantin pria dan wanita berumah tangga terutama setelah berdiri sendiri (rumah dan mata pencariannya telah dipisah dari orang tua si laki-laki) maka datanglah berkunjung parboru kepada paranak dengan maksud maningkir tangga (yang dimaksud dengan tangga disini adalah rumah tangga pengantin baru). Dalam kunjungan ini parboru juga membawa makanan (nasi dan lauk pauk, dengke sitio tio dan dengke simundur-mundur).Dengan selesainya kunjungan maningkir tangga ini maka selesailah rangkaian pernikahan adat suku batak SEJARAH Kerajaan Batak didirikan oleh seorang Raja dalam negeri Toba sila-silahi (silalahi) lua Baligi (Luat Balige), kampung Parsoluhan, suku Pohan. Raja yang bersangkutan adalah Raja Kesaktian yang bernama Alang Pardoksi (Pardosi). Masa kejayaan kerajaan Batak dipimpin oleh raja yang bernama. Sultan Maharaja Bongsu pada tahun 1054 Hijriyah berhasil memakmurkan negerinya dengan berbagai kebijakan politiknya. DESKRIPSI LOKASI Suku bangsa Batak dari Pulau Sumatra Utara. Daerah asal kediaman orang Batak dikenal dengan Daratan Tinggi Karo, Kangkat Hulu, Deli Hulu, Serdang Hulu, Simalungun, Toba, Mandailing dan Tapanuli Tengah. Daerah ini dilalui oleh rangkaian Bukit Barisan di daerah Sumatra Utara dan terdapat sebuah danau besar dengan nama Danau Toba yang menjadi orang Batak. Dilihat dari wilayah administrative, mereka mendiami wilayah beberapa Kabupaten atau bagaian dari wilayah Sumatra Utara. Yaitu Kabupaten Karo, Simalungun, Dairi, Tapanuli Utara, dan Asahan. UNSUR BUDAYA A. Bahasa Dalam kehidupan dan pergaulan sehari-hari, orang Batak menggunakan beberapa logat, ialah: (1)Logat Karo yang dipakai oleh orang Karo; (2) Logat Pakpak yang dipakai oleh Pakpak; (3) Logat Simalungun yang dipakai oleh Simalungun; (4) Logat Toba yang dipakai oleh orang Toba, Angkola dan Mandailing. B. Pengetahuan Orang Batak juga mengenal sistem gotong-royong kuno dalam hal bercocok tanam. Dalam bahasa Karo aktivitas itu disebut Raron, sedangkan dalam bahasa Toba hal itu disebut Marsiurupan. Sekelompok orang tetangga atau kerabat dekat bersama-sama mengerjakan tanah dan masing-masing anggota secara bergiliran. Raron itu merupakan

satu pranata yang keanggotaannya sangat sukarela dan lamanya berdiri tergantung kepada persetujuan pesertanya. C. Teknologi Masyarakat Batak telah mengenal dan mempergunakan alat-alat sederhana yang dipergunakan untuk bercocok tanam dalam kehidupannya. Seperti cangkul, bajak (tenggala dalam bahasa Karo), tongkat tunggal (engkol dalam bahasa Karo), sabit (sabi-sabi) atau ani-ani. Masyarakat Batak juga memiliki senjata tradisional yaitu, piso surit (sejenis belati), piso gajah dompak (sebilah keris yang panjang), hujur (sejenis tombak), podang (sejenis pedang panjang). Unsur teknologi lainnya yaitukain ulos yang merupakan kain tenunan yang mempunyai banyak fungsi dalam kehidupan adat Batak.

D. Organisasi Sosial a. Perkawinan Pada tradisi suku Batak seseorang hanya bisa menikah dengan orang Batak yang berbeda klan sehingga jika ada yang menikah dia harus mencari pasangan hidup dari marga lain selain marganya. Apabila yang menikah adalah seseorang yang bukan dari suku Batak maka dia harus diadopsi oleh salah satu marga Batak (berbeda klan). Acara tersebut dilanjutkan dengan prosesi perkawinan yang dilakukan di gereja karena mayoritas penduduk Batak beragama Kristen. Untuk mahar perkawinan-saudara mempelai wanita yang sudah menikah. b. Kekerabatan Kelompok kekerabatan suku bangsa Batak berdiam di daerah pedesaan yang disebut Huta atau Kuta menurut istilah Karo. Biasanya satu Huta didiami oleh keluarga dari satu marga.Ada pula kelompok kerabat yang disebut marga taneh yaitu kelompok pariteral keturunan pendiri dari Kuta. Marga tersebut terikat oleh simbol-simbol tertentu misalnya nama marga. Klen kecil tadi merupakan kerabat patrilineal yang masih berdiam dalam satu kawasan. Sebaliknya klen besar yang anggotanya sdah banyak hidup tersebar sehingga tidak saling kenal tetapi mereka dapat mengenali anggotanya melalui nama marga yang selalu disertakan dibelakang nama kecilnya, Stratifikasi sosial orang Batak didasarkan pada empat prinsip yaitu : (a) perbedaan tigkat umur, (b) perbedaan pangkat dan jabatan, (c) perbedaan sifat keaslian dan (d) status kawin. E. Mata Pencaharian Pada umumnya masyarakat batak bercocok tanam padi di sawah dan ladang. Lahan didapat dari pembagian yang didasarkan marga. Setiap kelurga mandapat tanah tadi

tetapi tidak boleh menjualnya. Selain tanah ulayat adapun tanah yang dimiliki perseorangan . Perternakan juga salah satu mata pencaharian suku batak antara lain perternakan kerbau, sapi, babi, kambing, ayam, dan bebek. Penangkapan ikan dilakukan sebagian penduduk disekitar danau Toba. Sektor kerajinan juga berkembang. Misalnya tenun, anyaman rotan, ukiran kayu, temmbikar, yang ada kaitanya dengan pariwisata.

F. Religi Pada abad 19 agama islam masuk daerah penyebaranya meliputi batak selatan . Agama kristen masuk sekitar tahun 1863 dan penyebaranya meliputi batak utara. Walaupun d emikian banyak sekali masyarakat batak didaerah pedesaan yang masih mmpertahankan konsep asli religi pendduk batak. Orang batak mempunyai konsepsi bahwa alam semesta beserta isinya diciptakan oleh Debeta Mula Jadi Na Balon dan bertempat tinggal diatas langit dan mempunyai nama-nama sesuai dengan tugasnya dan kedudukanya . Debeta Mula Jadi Na Balon : bertempat tinggal dilangit dan merupakan maha pencipta; Siloan Na Balom: berkedudukan sebagai penguasa dunia mahluk halus. Dalam hubungannya dengan roh dan jiwa orang batak mengenal tiga konsep yaitu : Tondi: jiwa atau roh; Sahala : jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang; Begu : Tondinya orang yang sudah mati. Orang batak juga percaya akan kekuatan sakti dari jimat yang disebut Tongkal. G. Kesenian Seni Tari yaitu Tari Tor-tor (bersifat magis); Tari serampang dua belas (bersifat hiburan). Alat Musik tradisional : Gong; Saga-saga. Hasil kerajinan tenun dari suku batak adalah kain ulos. Kain ini selalu ditampilkan dalam upacara perkawinan, mendirikan rumah, upacara kematian, penyerahan harta warisan, menyambut tamu yang dihormati dan upacara menari Tor-tor. Kain adat sesuai dengan sistem keyakinan yang diwariskan nenek moyang .

NILAI BUDAYA 1. Kekerabatan Nilai kekerabatan masyarakat Batak utamanya terwujud dalam pelaksanaan adat Dalian Na Talu, dimana seseorang harus mencari jodoh diluar kelompoknya, orang-orang dalam

satu kelompok saling menyebut Sabutuha (bersaudara), untuk kelompok yang menerima gadis untuk diperistri disebut Hula-hula. Kelompok yang memberikan gadis disebut Boru. 2. Hagabeon Nilai budaya yang bermakna harapan panjang umur, beranak, bercucu banyak, dan yang baik-baik. 3. Hamoraan Nilai kehormatan suku Batak yang terletak pada keseimbangan aspek spiritual dan meterial. 4. Uhum dan ugari Nilai uhum orang Batak tercermin pada kesungguhan dalam menegakkan keadilan sedangkan ugari terlihat dalam kesetiaan akan sebuah janji. 5. Pengayoman Pengayoman wajib diberikan terhadap lingkungan masyarakat, tugas tersebut di emban oleh tiga unsur Dalihan Na Tolu. 6. Marsisarian Suatu nilai yang berarti saling mengerti, menghargai, dan saling membantu.

ASPEK PEMBANGUNAN Aspek pembangunan dari suku Batak yaitu masuknya sistem sekolah dan timbulnya kesempatan untuk memperoleh prestise social. Terjadinya jaringan hubungan kekerabatan yang berdasarkan adat dapat berjalan dengan baik. Adat itu sendiri bagi orang Batak adalah suci. Melupakan adat dianggap sangat berbahaya. Pengakuan hubungan darah dan perkawinan memperkuat tali hubungan dalam kehidupan sehari-hari. Saling tolong menolong antara kerabat dalam dunia dagang dan dalam lapangan ditengah kehidupan kota modern umum terlihat dikalangan orang Batak. Keketatan jaringan kekerabatan yang mengelilingi mereka itulah yang memberi mereka keuletan yang luar biasa dalam menjawab berbagai tantangan dalam abad ini. komunitas orang Batak Toba adalah persekutuan masyarakat yang paling kecil yang dibentuk oleh marga. Mulanya mereka tinggal di kampung induk tetapi karena penduduknya terus berkembang menyebabkan terbentuk huta-huta yang baru. Untuk mengatur kepentingan bersama beberapa kampung atau huta membentuk federasi atau persekutuan yang sifatnya masih terikat satu dengan lainnya. Kumpulan huta disebut horja.

Perserikatan horja ini lebih banyak mengurus hal yang berhubungan dengan duniawi. Dalam pagelaran pesta Horja Bius diadakan yang namanya Hahomion. Dalam pagelaran pesta Horja Bius diadakan yang namanya Hahomion Ritual Hahomion adalah upacara yang dilakukan oleh nenek moyang kita terdahulu yang ditujukan untuk pemujaan kepada roh leluhur dan kekuatan gaib. Maksud diadakannya Ritual Hahomion untuk memberikan sesajen/persembahan kepada kekuatan gaib dan roh leluhur. Nenek moyang kita dahulu percaya bahwa roh leluhur masih memiliki peran dalam kehidupan keturunannya. Mereka juga percaya bahwa roh nenek moyang senantiasa memantau kehidupan sosial kemasyarakatan. Persembahan ini dimaksudkan sebagai bukti nyata dari warga untuk pengakuan akan adanya kekuatan gaib yang mengiringi kehidupan. Tujuan ritual Hahomion untuk memohon agar roh dan kekuatan kekuatan gaib tetap memantau kehidupan warga dan memohon kepada Mulajadi Na Bolon agar senantiasa memelihara, mendatangkan kemakmuran, dan ketentraman hidup warga. Perlengkapan bahan makanan meliputi dari hewan, ikan, tepung beras, buah-buahan diantaranya adalah: * Satu Ekor Kambing Putih (hambing putih) yang dimasak dan dipotong sesuai potongan sendi tulang kambing, bagian kepala, leher, dada/badan, pangkal paha bagian atas, paha bagian tengah kaki bagian depan dan belakang. Daging kambing ini dimasak dengan bumbu seperti cabe, garam, jahe, lengkuas, sere, bawang merah bawang putih, ketumbar gonseng, merica, buah pala dan jintan. Semua bahan secukupnya dibuat seperti bumbu kare, disajikan, disusun sesuai urutan ketika hewan ini hidup dalam pinggan pasu/piring besar dari keramik. * Ayam Putih Jantan (Manuk Putih Jantan/manuk mira), dipotong sesuai potongan sendi tulang ayam, potongan berupa; kepala, leher, dada, tuah/punggung, rempelo/bagian dalam perut, sayap, paha pangkal, paha bawah, kaki dan buntut dimasak dengan bumbu cabe, garam, jahe, lengkuas, sere, bawang merah, bawang putih, ketumbar gonseng, merica, buah pala dan jintan. Semua bahan secukupnya dibuat seperti bumbu kare disajiakan/disusun sesuai urutan ketika hewan hidup dalam pinggan pasu atau piring biasa/piring keramik putih ukuran sedang. * Ayam Jantan Merah Panggang (manuk mira narara pedar) dipotong sesuai potongan sendi tulang ayam, potongan berupa; kepala, leher, dada, tuah/punggung, rempelo/bagian dalam perut, sayap, paha pangkal, paha bawah, kaki, buntut, ayam dicuci dan dipanggang, darahnya dicampurkan ke bumbu dan dilumuri secara menyeluruh.

Ayam ini yang memasak khusus suami dan hanya para suami yang boleh makan ayam ini nantinya bila ritual selesai. Disajikan dalam pinggan pasu dengan posisi ayam duduk. * Ayam Jantan (manuk faru basi bolgang). Ayam ini utuh ditujukan kepada yang sakti, ayam dipotong dibelah/dikeluarkan bagian dalam perutnya, direbus/dikukus sampai matang, sebelum direbus diberi bumbu rendang tapi tak memakai santan. * Sagu-sagu. Bahan kue ini dari tepung beras dimasak tanpa gula kemudian dipadatkan dibentuk menggumpal/membulat. Kueh ini dimaksudkan sebagai lambang pemberi semangat. * Itak Nani Hopingan, kueh dari tepung beras dicampur dengan pisang, gula putih, gula merah ditumbuk/dicetak bisa berbentuk bulat diletakkan di piring. Di atas itak nani hopingan diberi telur, bunga raya dan roddang (kembang jagung), pisang dan mengemangeni pining (bunga pinang) Kueh ini dimaksudkan sebagai lambang minta doa restu. * Itak Gurgur atau Pohul-pohu. Bahan kue ini dari tepung beras, gula putih, kelapa digongseng setengah matang dicampur sampai menyatu dan dapat dibentuk, dengan menggunakan jari/genggaman. * Ihan Batak yakni ikan khusus dari danau toba yang dimasak utuh satu ekor dengan terlebih dahulu dibersihkan bagian perut dan diberi bumbu cabe, garam, jahe, lengkuas, serre, bawang merah bawang putih, ketumbar gonseng, merica, buah pala dan jintan. Semua bahan secukupnya dibuat seperti bumbu kare, disajikan di atas nasi kuning yang diberi bumbu di sertakan dengan pisang, itak gurgur dan bahan lainnya. * Anggir pangurason yakni air yang dicampur dengan jeruk purut, bunga raya dan dedaunan untuk penawar dan bahan lainnya, ditaruh dalam wadah berupa cawan putih. * Assimun pangalambohi adalah bahan yang terbuat dari timun dipotong panjang dimaksudkan sebagai penyegar perasaan. * Tanduk horbo paung yang terbuat dari pisang berukuran besar-besar seperti pisang ambon/pisang Batak yang dimaksudkan sebagai penyegar perasaan. * Hajut/kampil; sumpit putih diisi beras, uang pecahan (hepeng) nilai terbesar Rp.100.000,-, ditutup dengan daun sirih. Hajut ini sebagai perlambang kunci persembahan yang dibawa oleh Datu/dukun dan diletakkan di atas meja persembahan bersama bahan sajen lainnya. * Aek Naso ke mida matani ari (air kelapa muda ) air yang bersih dan steril. Cara penyajiannya kelapa muda dilobangi bagian atasnya, di atas lobang tersebut diletakkan jeruk purut dan bunga raya merah.

* Perlengkapan makan sirih yaitu daun sirih, gambir, kapur, cengkeh, buah pinang dan tembakau. * Perlengkapan pakaian untuk semua peserta upacara adalah memakai pakaian adat Batak Toba (ulos), bagi perempuan ulos diselempangkan atau diselendangkan sebagai pengganti baju, bagi laki-laki ulos disarungkan dan diselempangkan tanpa baju. Bagi orang tertentu memakai ikat kepala menunjukkan kedudukan dalam pranata sosial. Khusus Datu memakai pakaian baju berwarna hitam yaitu melambangkan bahwa datu tersebut seolah-olah bertindak sebagai perlambang kehadiran Debata Batara Guru (salah satu dari Debata Na Tolu) yang merupakan wujud pancaran kasih Debata Mulajadi Na Bolon perihal kebijakan, sementara pada kepala memakai ikat kepala berwarna merah yakni melambangkan Debata Bata Bulan yang merupakan wujud pancaran kasih Debata Mulajadi Na Bolon perihal kekuatan. * Perlengkapan lainnya adalah Dupa tempat membakar kemenyan, yakni wadah yang diisi abu, bara api, dan ditaburkan kemenyan sedikit demi sedikit. Aroma khas kemenyan dimaksudkan untuk mengundang kehadiran mahluk gaib/kekuatan gaib untuk hadir dan menyatu dalam ritual yang dilaksanakan. * Pergondangan yaitu menyiapkan satu gordang (gondang besar), 5 buah topong (gondang yang ukurannya lebih kecil) 1 buah kesik (hesek-hesek) dan 2 buah ogungdoal (Gong), ogung ihutan dan 1 ogung oloan panggor dan 1 buah sarune. Upacara adat horjabius ini dilakukan untuk sekedar mengenang ritual yang dilakukan nenek moyang kita BatakToba yang terdahulu dan disamping itu mereka hendak melestarikan budaya yang mereka miliki yang juga berguna untuk menarik wisatawan kedaerah Batak.

SUKU SIMALUNGUN
Tarian Toping-toping dan Huda-huda Awal mulanya mencoba bergabung dalam sebuah grup suku simalungun,dimana merupakan tempat bergabungnya orang orang simalungun yang benar benar cinta dan ingin mengetahui serta menggali kembali budaya simalungun tersebut.Setelah melihat berbagai foto foto yang dihimpun,terlintas pada suatu foto seorang dengan memakai topeng.Setelah melihat pembahasan komentar dari orang simalungun yang bergabung dalam grup tersebut ternyata foto itu adalah foto sebuah tradisi orang simalungun,yaitu foto tarian toping-toping dan huda huda yang selama ini sudah jarang sekali di pentaskan.Konon katanya tarian ini adalah sebuah tarian yang dipentaskan pada saat seorang raja atau partuanon(yang di tuankan) meninggal,dan biasanya di pagelaran acara ritual ini mengandung magis dan para aktornya tidak jarang

kerasukan roh orang meninggal. Tetapi, kini acara seperti ini hanya merupakan acara budaya yang tidak mempertunjukkan unsur magis lagi.

Topingtoping dan Huda-huda, merupakansebuah kekayaan budaya yang seharusnya dijaga dan dilestarikan. Saat ini, peralatan tari topeng masih dipelihara dan dirawat oleh penduduk desa itu dan beberapa desa di sekitarnya. Untuk memainkan upacara ritual ini, keluarga yang berduka menyewanya dari pemilik. setelah itu saya coba mencari informasi dari internet awal mula dari tarian tersebut adalah sebagai berikut : Konon di zaman dahulu kala, seorang istri raja (na si puang) ditimpa kemalangan. Anak yang dikasihinya meninggal dunia. Saking sedihnya, sang putri tidak rela anaknya dimakamkan dan terus memangku mayat anaknya hingga berhari-hari. Proses pembusukanpun terjadi dan bau mayat yang menyengatpun sudah melingkupi istana dan tercium sampai ke kediaman penduduk. Penghuni istana serta pendudukpun terusik dengan keadaan yang tidak nyaman itu dan ingin berbuat sesuatu membujuk sang permaisuri. Berbagai cara sudah dilakukan, namun permaisuri tidak mengindahkannya. Hingga di suatu talun sekelompok laki-laki yang sedang martambul turut prihatin. Talun adalah sebuah gubuk di tengah hutan yang berfungsi sebagai tempat menampung dan memasak air aren (tuak) untuk membuat gula merah atau gula aren. Saat itu, di talun sedang berlangsung acara memasak binatang hasil buruan mereka. Salah satu binatang buruan itu adalah burung enggang. Masalah ketidaksediaan permaisuri melepas mayat anaknya untuk dikebumikan menjadi topik pembicaraan mereka. Intinya, bagaimana caranya agar sang putri mau melepas mayat anaknya yang sudah membusuk itu untuk dimakamkan. Alhasil, salah seorang dari mereka memiliki ide. Membuat pertunjukan lucu di depan sang putri, hingga nantinya mayat anaknya terlepas dari tangannya. Lantas mereka mencurinya dan memakamkannya!. Usai bersantap, salah seorang diantara mereka memperhatikan sisa-sisa peralatan dan makanan tadi. Sisa daging enggang (paruh dan tulang lehernya) dicoba dikenakan di kepala salah seorang dari mereka. Terlihat lucu!. Maka ide lainpun muncul. Pelepah pinang yang biasa mereka gunakan tempat cuci tangan diukir menjadi patung manusia berwujud laki-laki dan dikenakan di muka seorang lagi. Terlihat lucu juga!. Lantas dibuat satu lagi patung manusia berwujud perempuan. Ide membuat patung ini selesai. Masalahnya, siapa yang akan melakonkannya di depan sang putri. Karena tidak ada seorangpun berani melakukannya. Alasannya, apabila ada

orang yang tau maka mereka pasti dihukum. Mereka mempersiapkan tiga orang memainkannya di depan permaisuri. Kini, mereka memikirkan cara agar aktor-aktornya tidak dikenali siapapun. Lantas, muncullah ide menutup seluruh tubuh mereka dengan kain. Pelakon burung enggang tadi seluruh mukanya ditutup dengan kain, dan dikepalanya dikenakan paruh dan kepala enggang. Dua pelakon patung manusia muka ditutup dengan topeng dan tubuhnya ditutup dengan kain. Setelah semuanya dipersiapkan dan mereka yakin pertunjukkan itu akan menarik perhatian sang permaisuri, ketiganya diberangkatkan memasuki istana raja. Singkatnya, mereka masuk ke ruang sang permaisuri. Saat permaisuri melihat ketiga patung aneh itu, dan dia terkejut. Mayat bayi di pangkuannya lepas!. Para penari topeng itu merebut mayat anak tadi. Melarikannya ke hutan dan menguburkannya. Sejak itu, persoalan mayat bayi membusuk dapat diselesaikan tanpa seorangpun mengetahui orang yang mencuri dan menguburkan mayat itu. Demikian kisahnya. Upacara ritual ini masih dilaksanakan penduduk hingga di abad globalisasi dan informasi ini. Termasuk di Hampung, Negeri Dolok. Menurut keterangan seorang tokoh penduduk desa ini, beberapa desa di wilayah Silau Kahean dan Raya Kahean masih melaksanakan upacara ritual ini. Selain itu pada acara ritual pemakaman, Toping-toping dan Huda-huda acapkali digelar pada acara-acara budaya Simalungun seperti pada Pesta Rondang Bintang atau pagelaran budaya bersama di Sumatera Utara. Sebuah peninggalan masa lalu Simalungun yang seharusnya tidak punah begitu saja. Perlu dipelajari para generasi muda!. Diatei tupa ma banta ganupan horas tanoh simalungun.....

Budaya Simalungun Riwayat asal mula kerajaan Simalungun hingga kini belum diketahui pasti, terutama tentang kerajaan pertama yakni Nagur (Nagore, Nakureh). Demikian pula kerajaan Batanghiou serta Tanjung Kasau. Kehidupan kerajaan ini hanya dapat ditelusuri dari tulisan-tulisan petualang dunia terutama Marcopolo dan petualang dari Tiongkok ataupun dari hikayat-hikayat (poestaha partikkian) yang meriwayatkan kerajaan tersebut. Di zaman purba wilayah Simalungun mempunyai 2 buah kerajaan besar yaitu pertama kerajaan Nagur yang ada di dalam catatan Tiongkok abad ke-15 (Nakuerh) dan oleh Marcopolo tatkala ia singgah di Pasai tahun 1292 M. kerajaan besar itu menguasai wilayah sampai-sampai ke Hulu Padang-Bedagai dan Hulu Asahan. Kerajaan tua yang lain ialah Batangio yang terletak di Tanah Jawauri (Tanoh Jawa). Pada masa itu, kerajaan Simalungun dikenal dengan nama harajaon na dua (kerajaan yang Dua)Selanjutnya, diketahui bahwa pasca keruntuhan kerajaan Nagur, maka terbentuklah harajaon na opat (kerajaan Berempat) yaitu: Siantar, Tanoh Jawa, Panai dan Dolog Silau. Ke-empat kerajaan ini menjadi populer pada saat masuknya pengusaha kolonial Belanda, dimana tiga kerajaan yakni Tanoh Jawa, Siantar dan Panei bekerjasama dengan pengusaha kolonial dalam memperoleh perijinan tanah. Setelah masuknya Belanda terutama sejak penandatanganan perjanjian pendek (korte verklaring) maka tiga (3) daerah takluk (partuanan) Dolog Silau di naikkan statusnya menjadi kerajaan yang sah dan berdiri sendiri, yakni Silimakuta, Purba dan Raya. Pada saat itu, kerajaan di Simalungun dikenal dengan nama harajaon na pitu (kerajaan yang Tujuh). Simalungun Sumatera Timur.Akhir dari kerajaan Simalungun ini adalah terjadinya amarah massa pada tahun 1946 yang dikenal dengan revolusi Sosial. Sejak saat itu,

peradapan rumah bolon (kerajaan) Simalungun punah selama-lamanya. Dengan uraian singkat diatas, penulis berkeinginan untuk menulis kembali sejarah berdiri dan hanucrnya kerajaan.Atas dasar inilah, penulis berkeinginan untuk mendeskripsikan kembali sejarah bangun dan hancurnya kerajaan Simalungun Sumatera Timur yang banyak diriwayatkan dalam sejarah Simalungun. Tiga fase Kerajaan Simalungun. Secara historis, terdapat tiga fase kerajaan yang pernah berkuasa dan memerintah di Simalungun. Berturut-turut fase itu adalah fase kerajaan yang dua (harajaon na dua) yakni kerajaan Nagur (marga Damanik) dan Batanghio (Marga Saragih). Berikutnya adalah kerajaan berempat (harajaon na opat) yakni Kerajaan Siantar (marga Damanik), Panai (marga Purba Dasuha), Silau (marga Purba Tambak) dan Tanoh Jawa (marga Sinaga). Terakhir adalah fase kerajaan yang tujuh (harajaon na pitu) yakni: kerajaan Siantar (Marga Damanik), Panai (marga Purba Dasuha), Silau (marga Purba Tambak), Tanoh Jawa (marga Sinaga), Raya (marga Saragih Garingging), Purba (marga Purba Pakpak) dan Silimakuta (marga Purba Girsang).Seperti yang dikemukakan diatas bahwa asal muasal kerajaan Simalungun tidak diketahui secara pasti terutama dua kerajaan terdahulu yakni Nagur dan Batanghiou. Sinar (1981) mengemukakan bahwa kerajaan Nagur telah ada dalam catatan Tiongkok abad ke-15 (Nakuerh) dan oleh Marcopolo tatkala ia singgah di Pasai tahun 1292 M. Kerajaan besar itu menguasai wilayah sampai ke Hulu Padang-Bedagai dan Hulu Asahan. Kerajaan tua yang lain ialah Batangio yang terletak di Tanah Jawauri (Tanoh Jawa). Kendati konsepsi raja dan kerajaan di Simalungun masih kabur, akan tetapi, Kroesen (1904:508) mengemukakan bahwa konsep raja dan kerajaan itu berasal dari orang Simalungun itu sendiri sebagai perwujudan otonomi kekuasaan yang lebih tinggi. Bangun dalam Saragih (2000:310) mengemukakan bahwa kata raja berasal dari India yaitu raj yang menggambarkan pengkultusan individu penguasa. Mungkin saja konsep itu terbawa ke Simalungun akibat penetrasi kerajaan Hindu-Jawa seperti Mataram lama pada masa ekspansi ke Sumatera Timur (Tideman,1922:58). Lebih lanjut dikemukakan bahwa pengaruh Hindu di Simalungun dapat diamati langsung dari bentuk peninggalan yang mencerminkan pengaruh Hindu-Jawa. Nama kerajaan Tanoh Djawa setidaknya telah mendukung argumentasi itu Menurut sumber Cina yakni Ying-yai Sheng-ian, pada tahun 1416 kerajaan Nagur (tertulis nakkur) berpusat di Piddie dekat pantai barat Aceh Dikisahkan

bahwa raja nagur berperang dengan raja samudra (Pasai) yang menyebabkan gugurnya raja Samodra akibat panah beracun pasukan Nagur. Pemaisuri kerajaan Samodra menuntut balas dan setelah diadakannya sayembara, maka raja Nagur berhasil ditewaskan. Kendati demikian, sejarawan Simalungun sepakat bahwa lokasi ataupun pematang kerajaan Nagur adalah di Pematang Kerasaan sekarang yang berada dekat kota Perdagangan terbukti dengan adanya konstruksi tua bekas kerajaan Nagur dari ekskavasi yang dilakukan oleh para ahli (Tideman, 1922:51). Mengenai polemik tentang lokasi defenitif kerajaan Nagur pernah berada dekat Pidie (Aceh) dapat dijelaskan sebagai akibat luasnya kerajaan Nagur. Oleh karenanya, raja Nagur menempatkan artileri panah beracunnya pada setiap perbatasan yang rentan dengan invasi asing. Kerajaan Batanghio, tidak ditemukan tulisan-tulisan resmi tentang riwatnya maupun pustaha yang mengisahkan asal-usulnya. Hanya saja Tideman (1922) menulis dalam nota laporan penjelasan mengenai Simalungun. Oleh para cerdik pandai Simalungun, Batanghio pada awalnya dipercaya sebagai partuanon Nagur, akan tetapi karena kemampuannya dan karena luasnya kerajaan Nagur, maka status partuanon itu diangkat menjadi kerajaan. Pada tahun 1293-1295, kerajaan Nagur dan Batanghio diinvasi kerajaan Singasari dengan rajanya yang terkenal, Kertanegara. Ekspedisi itu dikenal dengan ekspedisi Pamalayu yang dipimpin oleh Panglima Indrawarman yang berasal dari Damasraya Djambi (Wibawa, 2001:14-15) yang kemudian mendirikan Kerajaan (Dolog) Silou pada akhir abad XIV. Untuk mempertahankan, daerah vasalnya, maka raja nagur menyerahkan kekuasaannya kepada para panglima dan mempererat hubungan dengan pematang (central kekuasaan) semakin erat dan kokoh. Dengan demikian di Simalungun sampai pada tahun 1883 terdapat kerajaan yang sifatnya konfederasi (Dasuha dan Sinaga, 2003:31) yakni kerajaan Siantar (Damanik), Panei (Purba Dasuha), Dolog Silau (Purba Tambak) dan Tanoh Jawa (Sinaga). Wilayah Dolog Silau yang begitu luas dan intensya pertikaian antar huta, maka dibentuklah tiga partuanon, yakni Partuanon Raya (Saragih Garinging), Partuanon Purba (Purba Pakpak) dan Partuanon Silimahuta (Purba Girsang). Strategi ini ditempuh untuk mempererat kekuasaan Dolog Silau dan tiga kerajaan besar lainnya. Setelah penandatanganan perjanjian pendek (korte verklaring) pada tahun 1907 yang intinya tunduknya seluruhnya kerajaan kepada kolonial, maka untuk mempermudah urusan administrasi serta mempermuda politik devide et impera, maka status partuanon dari tiga partuanon Dolog Silou itu dinaikkan statusnya menjadi kerajaan. Yakni kerajaan Silimahuta (Purba Girsang) yang Pematang nya di Pematang Nagaribu,

kerajaan Purba (Purba Pak-pak) dengan pematang di Pematang Raya. Dengan demikian setelah penandatanganan Korte Verklaring, Simalungun mengenal tujuh kerajaan yang bersifat konfederasi, yakni dikenal dengan sebutan Kerajaan nan tujuh (harajaon Na pitu-siebenvorsten) (Tambak,1982:20-128; Tideman,1922:3-11). Pasca penandatanganan perjanjian pendek (korte verklaring) itu, maka oleh pemerintah kolonila Belanda, penguasa pribumi (native states) ditugaskan untuk mengurus daerahnya sendirinya sebagai penguasa swapraja. Sebagai penguasa daerah yang otonom mereka memiliki status sebagai kepala pemerintahan daerah Pakaian Adat Simalungun Sama seperti suku-suku lain di sekitarnya, pakaian adat suku Simalungun tidak terlepas dari penggunaan kain Ulos (disebut Uis di suku Karo). Kekhasan pada suku Simalungun adalah pada kain khas serupa Ulos yang disebut Hiou dengan berbagai ornamennya. Ulos pada mulanya identik dengan ajimat, dipercaya mengandung kekuatan yang bersifat religius magis dan dianggap keramat serta memiliki daya istimewa untuk memberikan perlindungan. Menurut beberapa penelitian penggunaan ulos oleh suku bangsa Batak, memperlihatkan kemiripan dengan bangsa Karen di perbatasan Myanmar, Muangthai dan Laos, khususnya pada ikat kepala, kain dan ulosnya. Secara legenda ulos dianggap sebagai salah satu dari 3 sumber kehangatan bagi manusia (selain Api dan Matahari), namun dipandang sebagai sumber kehangatan yang paling nyaman karena bisa digunakan kapan saja (tidak seperti matahari, dan tidak dapat membakar (seperti api). Seperti suku lain di rumpun Batak, Simalungun memiliki kebiasaan mangulosi (memberikan ulos) yang salah satunya melambangkan pemberian kehangatan dan kasih sayang kepada penerima ulos. Ulos dapat dikenakan dalam berbagai bentuk, sebagai kain penutup kepala, penutup badan bagian bawah, penutup badan bagian atas, penutup punggung dan lain-lain. Ulos dalam berbagai bentuk dan corak/motif memiliki nama dan jenis yang berbeda-beda, misalnya ulos penutup kepala wanita disebut suri-suri, ulos penutup badan bagian bawah bagi wanita disebut ragipane, atau yang digunakan sebagai pakaian sehari-hari yang disebut jabit. Ulos dalam pakaian penganti Simalungun juga melambangkan kekerabatan Simalungun yang disebut Dalihan Natolu, yang terdiri dari tutup kepala

(ikat kepala), tutup dada (pakaian) dan tutup bagian bawah (sarung). Menurut Muhar Omtatok, Budayawan Simalungun, awalnya Gotong (Penutup Kepala Pria Simalungun) berbentuk destar dari bahan kain gelap ( Berwarna putih untuk upacara kemalangan, disebut Gotong Porsa), namun kemudian Tuan Bandaralam Purba Tambak dari Dolog Silou juga menggemari trend penutup kepala ala melayu berbentuk tengkuluk dari bahan batik, dari kegemaran pemegang Pustaha Bandar Hanopan inilah, kemudian Orang Simalungun dewasa ini suka memakai Gotong berbentuk Tengkuluk Batik. Martutur atau Sebutan Kekerabatan Pada Suku Batak Simalungun (3) Pengertian Anak Boru. Yang dimaksud dengan anak boru ialah keluarga yang mengambil isteri dari keluarga marga kita mulai dari jenjang kita bapak, nenek, nenek bapak dan neneknya nenek atau lima tingkat atau lima generasi dari rumah tangga kita. Keluarga anak boru yang seperti ini mengambil isteri turun temurun dari keluarga marga kita atau kepada saudara kita yang satu temurun dari neneknya nenek anak boru manipat. Semua jenjang anak boru ini bertanggung jawab untuk melaksanakan segala pekerjaan yang dilaksanakan oleh pihak keluarga orang tua isterinya ( tondong ) pada upacara adat istiadat maupun pekerjaan sehari hari apabila dalam keadaan yang memerlukan bantuan tenaga maupun pemikiran. Semua anak boru dipimpin oleh anak boru tua. Anak boru ini tidak berani menolak apa saja yang ditugaskan oleh tondong kepadanya mengingat doa tondong sewaktu anak boru ini masih bayi atau pada waktu sibayi diberi nama pada upacara membawa mandi pertama kali kepancuran ( patuaek ) dan sewaktu si bayi dsemburi ubun ubunnya dengan air sirih doanya sebagai berikut : Totou Sanggah Mamupus Doa sewaktu menyemburkan sirih di ubun ubun si bayi. Tondong Dibata Idah, Mamupus salimbubu ulumu pihir..)** Pihirpe boras pihir on, Pihiran dapeni Tondimu)** Podas marbagal podas marganjang, Gendeo bahen suruhen, Ase Mariah uhur nami.)** Horas ma ham panogolan )* Ase malum uhur Bapa Inangmu.)** Horas, horas, horas ! Terjemahan bebas : Dijawab oleh para pemili dengan, itulah yang benar Terjemahan bebas : ( oppugn Rintei ) disebut

Bertua Tuhan Yang Maha Esa yang kelihatan. Menyebur ubun ubun kepalamu keras.)** Keraspun beras ini, Lebih keras lagi Rohmu..)** Lekas besar lekas tinggi Agar kelak guna disuruh Supaya pikiran kami gembira..)** Selamat sejahtera lah engkau Panogolan )** Semoga berbahagia Ibu Bapakmu.)** Rahayu, Rahayu, Rahayu ! Jenis jenis Anak Boru Anak boru ada dua jalur/jenis yaitu : - Anak boru Manipat ( turun temurun ) - Anak boru Marbuat ( mengambil/perkawinan ) Anak Boru Manipat. Anak Boru Manipat maksudnya ialah keluarga yang sudah sejak nenek neneknya ( oppung ni oppung) atau lima turunan dari keluarga itu mengambil isterinya kepada keluarga marga itu. Seandainya dibawah jenjang dari nenek neneknya itu ada yang tidak mengambil isteri kepada marga kita, tetap juga keluarga itu menjadi Anak Boru ( manipat ) dan mungkin pada jenjang turun ke lima dari nenek dari nenek ( oppung ni oppung ) itu kembali lagi mengambil isteri dari keluarga marga kita jalur yang turun temurun inilah yang dimaksud Anak Boru Manipat. Anak boru yang termasuk Anak Boru Manipat adalah turun temurun mengambil isteri dari keluarga kita, sebagai berikut : Anak boru lakkip maksudnya ialah yang mengmbil isteri dari keluarga Marga kita atau saudara kita yang perempuan dari se-ibu se-bapak dan anak saudaranya Bapak kita. Anak Boru Daroh maksudnya ialah keluarga yang mengambil isteri dari saudara perempuan atau kakak, adik ( oppung/Amboru ni bapa ). Anak Boru Tua. Anak Boru Tua maksudnya ialah keluarga yang mengambil saudara perempuan dari neneknya Bapak yang dilahirkan oleh generasi ke lima. Secara warisan anak boru tua inilah menjadi penanggung jawab semua tuga anak boru. Anak Boru Mintori. Anak Boru Mintori maksudnya ialah keluarga yang mengambil anak perempuan dari si A disebut Anak Boru lakkip yaitu keluarga si C, dan yang mengambil ( membuat ) wanita dari keluarga si C disebut oleh si C ialah anak boru iakkip tetapi si A menyebut tutur kepada anak boru iakkip si C ialah Anak Boru Mintori, yang mengambil anak gadis menjadi isterinya dari keluarga Anak Boru Mintori dari si A, disebut oleh si A ialah

Anak Boru Ni Mintori dan yang mengambil perempuan jadi isteri dari keluarga Anak Boru Ni Mintori si A disebut oleh si A ialah Anak Boru Ni Mintori. Tutur sebutan pemanggilan si A dan keluarganya kepada semua keluarga Anak Boru Mintori, Anak Boru Ni Mintori dan Anak Boru Mintori Ni Mintori adalah sama dengan tutur keluarga si A kepada keluarga si C hanya tergantung kepada penyesuaiannya, misalnya si A menyebut tutur kepada si C adalah Hela maka yang mengambil anak wanita si C menyebut tutur sebutannya kepada si C ialah tulang, ( Bapak Martua ) dan seterusnya di sesuaikan dengan jenjang masing masing. Waluh Sibanjaran. Waluh Sibanjaran ( delapan kelompok ), maksudnya ialah dari wadah Martondong Marsinina, Maranak Marboru, di temukan delapan unsur rumah tangga, ( Waluh tutur Jabu jabu ) dan ditemukan delapan induk tutur sebutan pemangilan ( Waluh Induk Tutur pandiloonkon ) yaitu : Waluh tutur Jabu : Sanina ( saudara ) ( delapan sebutan ke rumah ) Gamot ( saudara yang disyahkan menurut adat ) Sanina Inang ( Ibu beradik kakak ) Sapariban ( Isteri beradik kakak ) Tondong ( keluarga pengambilan isteri ) Tondong Ni Tondong ( mertuanya mertua/bapak mertua isteri ) Anak Boru (keluarga suami adik kakak perempuan kita) Anak Boru Mintori ( keluarga yang mengambil wanita dari keluarga anak boru ) Waluh Indung Ni Tutur Walauh Indung Ni Tutur ( delapan induk/pokok tutur sebutan ) yaitu : Opat Indung Ni Tutur Maganjang ( Empat Induk Tutur sebutan kejenjang atas ): Oppung ( nenek laki laki / perempuan ) Bapak, inang ( bapak, ibu ) Tulang, anturang, mami ( bapak mertua, ibu mertua ) keluarga isteri Makkela, amboru, bibi ( bapak mertua, ibu mertua dari suami adik, kakak) Opat Indung Tutur Matoruk ( Empat Induk Tutur jenjang kebawah ) Anak ( anak kita dan anak saudara ) Parumaen ( menantu perempuan/isteri anak ) Panogolan ( anak ipar, anak adik, kakak isteri ipar ) Hoppu ( cucu dari jalur tondong, sanina dan anak boru )

Studi ini bertujuan untuk memahami daliken si telu yang terdapat pada Masyarakat Batak Karo dalam mengendalikan masalah-masalah sosial yang dihadapi masyarakat Karo. Teori yang dipergunakan adalah teori pengendalian sosial dan nilai budaya yang dominan didalam daliken si telu. Pengendalian sosial adalah suatu proses, baik yang direncanakan atau tidak direncanakan yang bertujuan untuk mengajak, membimbing atau bahkan memaksa warga masyarakat agar mematuhi nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang berlaku. Pada prinsipnya pengendalian sosial terjadi apabila suatu kelompok menentukan tingkah laku kelompok lain, apabila kelompok mengendalikan prilaku kelompoknya, atau kalau pribadi-pribadi mempengaruhi tingkah laku pihak lain, baik apabila hal itu sesuai dengan kehendaknya atau tidak. Maka pengendalian sosial adalah suatu sarana yang ada dalam masyarakat untuk mempengaruhi, untuk mengkontrol semua tingkah laku warganya ketika akan bersosialisasi. Melalui sosialisasi ini, setiap warga masyarakat akan dituntun kearah sikap tunduk dan patuh pada norma-norma, nilai-nilai budaya, aturan yang ada atau yang dikehendaki oleh masyarakat. Tujuan pengendalian sosial terutama untuk mencapai keserasian antara stabilitas dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat, dan untuk mencapai keadaan damai melalui keserasian antara kepastian dengan keadilan/keseimbangan.

Daliken si telu adalah bagian dari masyarakat Karo yang merupakan landasan bagi
sistem kekerabatan dan semua kegiatan khususnya kegiatan yang bertalian dengan pelaksanaan adat-istiadat dan interaksi antar pada Masyarakat Karo. Daliken si telu ini didukung oleh tiga aktor yang dikenal dengan kalimbubu, sembuyak/senina, dan anak

beru. Hal ini maka setiap individu Karo terikat kepada daliken si telu. Melalui daliken si telu masyarakat Karo saling berkerabat, baik berkerabat karena hubungan darah
(seketurunan), maupun berkerabat karena hubungan perkawinan. Adapun nilai-nilai yang dominan yang terdapat didalam daliken si telu adalah nilai gotong royong dan kekerabatan. Seperti telah dikemukakan bahwa pengendalian sosial terjadi apabila suatu kelompok menentukan tingkah laku kelompok lain, kelompok mengendalikan prilaku anggotanya, atau kalau pribadi-pribadi mempengaruhi tingkah laku pihak lain. Dengan kata lain, pengendalian terjadi apabila seseorang diajak atau dipaksa untuk bertingkah laku sesuai dengan keinginan pihak lain, baik apabila hal itu sesuai dengan kehendaknya maupun tidak, dan pengendalian sosial juga merupakan suatu kekuatan untuk mengorganisir tingkah laku sosial budaya, sehingga pengendalian sosial mempunyai kekuatan yang membimbing manusia. Sedangkan adat istiadat tumbuh dan berkembang berdasarkan kebutuhan masyarakat yang nyata, yang berisi norma-norma yang telah berlaku sepanjang masa walau pun sama sekali tidak mempunyai alat memaksa seperti hukum, norma-norma tetap diwariskan secara turun temurun sehingga yang harus dipatuhi, ketika menyelenggarakan kepentingan bersama. Adat istiadat mengandung makna hukum yang memiliki fungsi pengatur, penertib dan pengaman kehidupan masyarakat, juga sebagai penggerak dan pendorong pembangunan, dan perubahan menuju masyarakat yang dicita-citakan.

Dalam hal ini hubungan daliken si telu dengan pengendalian sosial jelas. Didalam tubuh daliken si telu ada dua unsur, pertama adalah sistem sosial yang bersifat terbuka yaitu kalimbubu, sembuyak/senina, dan anak beru. Seseorang berkedudukan sebagai kalimbubu bargantung kepada situasi dan kondisi, demikian sebaliknya. Ini berhubungan dengan manusia sebagai subjek dan objek. Unsur kedua adalah psiko budaya, ini berhubungan dengan nilai, nilai ini berfungsi sebagai alat untuk mengendalikan, untuk mengikat aktor yang tiga tersebut dalam jaringan kekerabatan. Jadi, memahami hubungan daliken si telu melalui pendekatan pengendalian sosial adalah memahami bagaimana caraberpikir dan cara bertindak aktor yang tiga (kalimbubu,

sembuyak/senina, dan anak beru), baik secara kelompok (kalimbubu, sembuyak/senina, anak beru), maupun secara pribadi, berdasarkan nilai kekerabatan, kebersamaan dan
gotong royong yang dilandasi nilai kasih sayang, untuk mengajak, mengarahkan, membina, membimbing atu bahkan memaksa warga masyarakat Karo agar mau mematuhi nilai-nilai dan kaidah-kaidah adat istiadat karo. Hasil yang ditemukan menunjukkan bahwa daliken si telu sebagai bagian dari budaya Karo, tetap berperan penting. Bahkan bila muncul masalah-masalah sosial didalam keluarga masyarakat Karo, masalah itu baru dikatakan tuntas, selesai, dan sah, bila

daliken si telu pihak bermasalah ikut berpartisipasi menyelesaikannya. Jalan keluar yang
ditawarkan daliken si telu bervariasi, bergantung kepada masalah yang muncul. Sebagai contoh misalnya masalah penyimpangan dalam perkawinan, bila salah seorang calon pengantin bukan berasal dari etnis Karo, pihak daliken si telu calon pengantin yang beretnis Karo, selalu menyarankan agar calon pengantin etnis non Karo tersebut disyahkan menjadi orang Karo yaitu diberikan klen (merga/beru), dan sekaligus diberikan orang tua adatnya. Peranan orang tua adat dalam bidang-bidang tertentu (diluar adat istiadat karo) sama dengan orang tua kandungnya, tetapi dalam bidangbidang tertentu (didalam adat istiadat karo) jelas jauh melebihi orang tua kandungnya yang bukan berasal dari etnis karo. Pemberian klen ini bukan bertujuan untuk mengkaronisasikan etnis non karo yang ingin berjodoh dengan etnis Karo, tetapi bertujuan agar mekanisme daliken si telu tetap berfungsi semestinya, dengan demikian hubungan kekerabatan dengan keluarga pihak impal (calon suami atau istri menurut adat istiadat karo) dari etnis karo yang kebetulan menikah dengan non karo tetap terjalin erat. Keuntungan lain adalah, bila muncul masalah-masalah sosial dalam keluarga pembauran ini, dia dapat memilih mau diselesaikan berdasarkan jalur hukum negara yang berlaku boleh, diselesaikan sesuai dengan hukum adat karo juga boleh. Kepada yang bermasalah tinggal memilih, jalur mana yang hendak dipergunakan. Keuntungan lain dengan pemberian klen ini, khususnya bila calon pengantin itu wanita, bila kelak suaminya meninggal dunia, dia berhak mewarisi tanah adat yang ada dimiliki suaminya. Keuntungan lain adalah kedudukan orang yang diberi klen (marga/beru) menjadi jelas dalam struktur adat Karo. Anak-anak yang dilahirkan dari keluarga pembaruan ini, kedudukannya sama didalam adat dengan keluarga yang kedua orang tuanya sama-sama satu etnis. Berhak mendapat pelayanan berdasarkan adat istiadat karo. Sedangkan kerugiannya

A. Bagi wanita non karo yang menikah dengan pria karo, si wanita tidak mempunyai beru, maka keluarganya tidak mempunyai kalimbubu sierkimbang, dan anaknya tidak mempunyai kalimbubu daerah berdasarkan konsep daliken si telu, karena anak-anaknya yang dilahirkan tidak mempunyai kalimbubu daerah, dia tidak berhak mendapatkan harta warisanadat hal ini karena pembagian harta warisan ada melibatkan pihak

daliken si telu. Bila ada acara-acara adat Karo, tidak ada yang mengosei
(meminjamkan dan memakaikan pakaian adat) kepada suaminya. Bila timbul sengketa didalam keluarga yang mereka bina, tidak dapat diselesaikan menurut adat istiadat (Karo). Bila ada acara-acara adat, si istri (wanita) menjadi canggung karena tidak mengetahui dimana posisinya dalam acara adat tersebut, kalaupun tahu posisinya, tetap tidak sah menurut adat istiadat Karo. Kalau si istri meninggal dunia, dia tidak berhak dimakamkan dipekuburan keluarga suaminya, demikian pula anakanak yang dilahirkannya. Si istri tidak berhak mengelola harta warisan marga suaminya, demikian pula dengan anak-anak yang dilahirkannya walaupun mereka memiliki anak laki-laki. Kerugian bagi anak kandungnya, anak kandungnya tidak mempunyai marga/beru dalam struktur adat Karo, si anak tidak memiliki struktur yang lengkap menurut adat karo, apakah sebagai kalimbubu, anak beru, senina/sembuyak

B. Bagi pria non karo yang menikah dengan wanita karo, bila timbul sengketa dalam rumah tangga mereka, tidak dapat diselesaikan menurut adat istiadat Karo, bila ada acara-acara adat dalam keluarga istrinya si suami akan menjadi canggung karena tidak mengetahui posisinya dalam acara adat tersebut, kalaupun tahu posisinya, tetap tidak sah menurut adat istiadat karo, si pria tidak mempunyai klen (marga), maka keluarga yang mereka bina tidak mempunyai anak beru berdasarkan daliken si telu.

Suku Nias
Suku Nias adalah kelompok masyarakat yang hidup di pulau Nias. Dalam bahasa aslinya, orang Nias menamakan diri mereka "Ono Niha" (Ono = anak/keturunan; Niha = manusia) dan pulau Nias sebagai "Tan Niha" (Tan = tanah). Sejarah Kebudayaan Suku Nias Suku Nias adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan yang masih tinggi. Hukum adat Nias secara umum disebut fondrak yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian. Masyarakat Nias kuno hidup dalam budaya megalitik dibuktikan oleh peninggalan sejarah berupa ukiran pada batubatu besar yang masih ditemukan di wilayah pedalaman pulau ini sampai sekarang. Kasta : Suku Nias mengenal sistem kasta(12 tingkatan Kasta). Dimana tingkatan kasta yang tertinggi adalah "Balugu". Untuk mencapai tingkatan ini seseorang harus mampu melakukan pesta besar dengan mengundang ribuan orang

Mitologi Menurut masyarakat Nias, salah satu mitos asal usul suku Nias berasal dari sebuah pohon kehidupan yang disebut "Sigaru Tora`a" yang terletak di sebuah tempat yang bernama "Tetehli Ana'a". Menurut mitos tersebut di atas mengatakan kedatangan manusia pertama ke Pulau Nias dimulai pada zaman Raja Sirao yang memiliki 9 orang Putra yang disuruh keluar dari Tetehli Ana'a karena memperebutkan Takhta Sirao. Ke 9 Putra itulah yang dianggap menjadi orang-orang pertama yang menginjakkan kaki di Pulau Nias. Penelitian Arkeologi Penelitian Arkeologi telah dilakukan di Pulau Nias sejak tahun 1999 dan hasilnya ada yang dimuat di Tempointeraktif, Sabtu 25 November 2006 dan di Kompas, Rabu 4 Oktober 2006 Rubrik Humaniora menemukan bahwa sudah ada manusia di Pulau Nias sejak 12.000 tahun silam yang bermigrasi dari daratan Asia ke Pulau Nias pada masa paleolitik, bahkan ada indikasi sejak 30.000 tahun lampau kata Prof. Harry Truman Simanjuntak dari Puslitbang Arkeologi Nasional dan LIPI Jakarta. Pada masa itu hanya budaya Hoabinh, Vietnam yang sama dengan budaya yang ada di Pulau Nias, sehingga diduga kalau asal usul Suku Nias berasal dari daratan Asia di sebuah daerah yang kini menjadi negara yang disebut Vietnam.

Marga Nias Suku Nias menerapkan sistem marga mengikuti garis ayah (patrilineal). Marga-marga umumnya berasal dari kampung-kampung pemukiman yang ada. Khas Nias 1. Makanan Khas

Gowi Nihandro (Gowi Nitutu ; Ubi tumbuk) Harinake (daging Babi cincang dengan cacahan yang tipis dan kecil-kecil) Godo-godo (ubi / singkong yang diparut, dibentuk bulat-bulat kemudian direbus setelah matang di taburi dengan kelapa yang sudah di parut) kf-kf(daging ikan yang dihancurkan, dibentuk bulat dan dijemur/dikeringkan/diasap) Ni'owuru (daging babi yang sengaja diasinkan agar bisa bertahan lama) raki gae (pisang goreng) tamboyo (ketupat)

2. Minuman

Tuo Nifar (minuman yang berasal dari air sadapan pohon nira (dalam bahasa Nias "Pohon Nira" = "tla nakhe") yang telah diolah dengan cara penyulingan) Tuo mbanua (minuman tuak mentah yang berasal dari air sadapan pohon kelapa)

Budaya Nias 1. Lompat Batu 2. Tari Perang 3. Maena 4. Tari Moyo 5. Tari Mogaele 6. Sapaan Yaahowu 7. Fame ono niahalo (pernikahan) 8. Omohada (rumah adat) 9. Fame'e toi nono nihalo(pemberian nama bagi perempuan yang sudah menikha) Dalam budaya Ono Niha terdapat cita-cita atau tujuan rohani hidup bersama yang termakna dalam salam Yaahowu (dalam terjemahan bebas bahasa Indonesia semoga diberkati). Dari arti Yaahowu tersebut terkandung makna: memperhatikan kebahagiaan orang lain dan diharapkan diberkati oleh Yang Lebih Kuasa. Dengan kata lain Yaahowu menampilkan sikap-sikap: perhatian, tanggungjawab, rasa hormat, dan

pengetahuan. Jika seseorang bersikap demikian, berarti orang tersebut memperhatikan perkembangan dan kebahagiaan orang lain : tidak hanya menonton, tanggap, dan bertanggungjawab akan kebutuhan orang lain (yang diucapkan : Selamat Yaahowu), termasuk yang tidak terungkap, serta menghormatinya sebagai sesama manusia sebagaimana adanya. Jadi makna yang terkandung dalam Yaahowu tidak lain adalah persaudaraan (dalam damai) yang sungguh dibutuhkan sebagai wahana kebersamaan dalam pembangunan untuk pengembangan hidup bersama. Pakaian Adat Suku Nias Pakaian adat suku Nias dinamakan Baru Oholu untuk pakaian laki-laki dan rba Sili untuk pakaian perempuan. Pakaian adat tersebut biasanya berwarna emas atau kuning yang dipadukan dengan warna lain seperti hitam, merah, dan putih. Adapun filosofi dari warna itu sendiri antara lain:

Warna kuning yang dipadukan dengan corak persegi empat (Niobakola) dan pola bunga kapas (Niobowo gafasi) sering dipakai oleh para bangsawan untuk menggambarkan kejayaan kekuasaan, kekayaan, kemakmuran dan kebesaran.

Warna merah yang dipadukan dengan corak segi-tiga (Niohulayo/ niogna) sering dikenakan oleh prajurit untuk menggambarkan darah, keberanian dan kapabilitas para prajurit.

Warna hitam yang sering dikenakan oleh rakyat tani menggambarkan situasi kesedihan, ketabahan dan kewaspadaan. Warna putih yang sering dikenakan oleh para pemuka agama kuno (Ere) menggambarkan kesucian, kemurnian dan kedamaian.

Pulau nias sebagai pulau utama dengan luas sekitar 5.500 kilometer persegi, menyimpan sejumlah misteri dan keunikan, mulai dari kehidupan sehari-hari didesa tradisional, suasana budaya (cultural landscape) hingga peninggalan megalitik dan arsitektur yang mengagumkan. Masyarakat nias secara turun temurun menyebut diri sebagai one niba (orang nias) secara harafiah berarti anak manusia yang diyakini oleh sebagian ahli antropologi dan arkeologi sebagai salah satu puak-puak (suku) berbahasa Austronesiasalah satu leluhur nusantara yang datang paling awal dari suatu tempat di daratan asia. Berdasarkan sejumlah bukti peradaban tertua, orang nias dihubungkan dengan perkembangan tradisi megalitik (batu besar) yang hingga saat ini masih terlihat keberadaannya. Tinggalan-tinggalan para leluhur seperti rumah adat, tradisi lompat batu, dan tari perang telah menjadi ikon peristiwa yang luluh lantak. Terlebih lagi setelah tertimpa dua bencana : gelombang tsunami pada 2004 dan gempa bumi pada

2005. untuk mengembalikan kejayaan seperti sedia kala, sejumlah pihak telah berupaya membangun kembali nias dengan berbasiskan nilai-nilai budaya yang kini terancam lenyap. Desa-desa tradisional di pulau nias, yang masih menyimpan sejumlah tinggalan budaya dan para penutur sejarah, dapat menjadi pilihan wisata yang menarik bagi para tetamu yang datang dari jauh. Harapannya, selain menjalankan roda perekonomian Pulau Nias, kegiatan ini mampu mengembalikan kecintaan pada nilai-nilai tradisi yang diwariskan oleh para leluhur. Masyarakat Indonesia yang plural dan majemuk membuat budayanyaberagam dan memiliki ciri khasnya masing-masing. Salah satunya adalah tradisi Lompat Batu di Nias. Tradisi yang berasal dari Suku Nias yang tinggal di Pulau Nias sebelah barat Pulau Sumatera ini memang terbilang unik. Lompat batu atau yang dikenal dengan nama fahombo batu sudah menjadi ciri khas masyarakat Nias. Tradisi melompati batu yang disusun hingga mencapai ketinggian 2 m dan ketebalan 40 cm ini hanya dilakukan oleh kaum laki-laki. Tidak semua masyarakat Suku Nias melakukan Tradisi ini. Hanya mereka yang berada di Nias Selatan khususnya di daerah Teluk Dalam yang melakukan tradisi akrobatik ini. Hal tersebut disinyalir karena perbedaan budaya nenek moyang atau leluhur masyarakat Nias. Terlepas dari aspek pariwisata sehingga tradisi Lompat Batu menjadi begitu terkenal, tradisi ini juga menunjukan kekuatan dan ketangkasan para pemuda yang melakukannya. Seseorang yang berhasil melakukan tradisi ini dianggap heroik dan prestisius. Tidak hanya bagi individu yang melakukannya, melainkan juga bagi keluarga orang tersebut, bahkan seluruh masyarakat desa. Oleh karena itu biasanya setelah anak laki-laki berhasil melakukan tradisi ini, akan diadakan syukuran sederhana dengan menyembelih ayam atau hewan lainnya. Orang yang berhasil melakukan tradisi ini juga akan dianggap matang dan menjadi pembela kampungnya jika ada konflik dengan warga desa lain. Karena begitu tingginya tingkat prestisius dari tradisi ini, maka setiap pemuda dalam masyarakat Nias melakukan latihan sejak berumur 7 tahun. Sesuai pertumbuhan anak tersebut, mereka akan terus berlatih melompati tali dengan ketinggian yang terus bertambah sesuai usia. Akhirnya, latihan tersebut akan dibuktikan pada tradisi Lompat Batu ini. Jelas tidak mudah untuk melakukan tradisi ini. Terbukti tidak semua pemuda dapat melakukan tradisi lompat batu ini, meskipun sudah berlatih sejak lama. Banyak orang yang percaya bahwa selain latihan, ada unsur magis dimana seseorang yang berhasil melompati batu dengan sempurna, maka mereka telah diberkati oleh roh leluhur dan para pelompat batu sebelumnya yang sudah meninggal.

Belum jelas darimana dan mengapa tradisi ini berasal, namun beberapa masyarakat setempat menggambarkan bahwa tradisi ini berawal dari zaman dahulu saat ketangkasan melompat batu sangat dibutuhkan oleh Suku Nias. Dahulu setiap desa dipagar dan dibentengi oleh batu sebagai pertahanan. Oleh karena itu dibutuhkan keahlian ini untuk melarikan diri atau dapat memasuki desa sasaran. Selain mengangkat derajat seseorang yang telah berhasil melompat batu, pemuda yang berhasil melakukan tradisi ini akan dianggap dewasa dan matang secara fisik. Oleh karena itu hak dan kewajiban sosial mereka sebagai manusia dewasa sudah bisa dijalankan. Cara ini juga terkadang dilakukan untuk mengukur kematangan seseorang untuk menikah. Tradisi Lompat Batu ini memang cukup unik dan menarik dan menjadi ciri khas Suku Nias. Tidak hanya itu, tradisi Lompat Batu ini juga menjadi kebanggan Indonesia karena merupakan keunikan dan kekayaan yang bersemayam di bumi pertiwi ini.

SUKU TIONGHOA
Masyarakat Tionghoa di Indonesia adalah masyarakat patrilinial yang terdiri atas marga / suku yang tidak terikat secara geometris dan teritorial, yang selanjutnya telah menjadi satu dengan suku-suku lain di Indonesia. Mereka kebanyakan masih membawa dan mempercayai adat leluhurnya. Tulisan ini membahas dua upacara adat yang cukup dominan dalam kehidupan yaitu tentang adat pernikahan dan adat kematian. ADAT PERNIKAHAN Upacara pernikahan merupakan adat perkawinan yang didasarkan atas dan bersumber kepada kekerabatan, keleluhuran dan kemanusiaan serta berfungsi melindungi keluarga. Upacara pernikahan tidaklah dilakukan secara seragam di semua tempat, tetapi terdapat berbagai variasi menurut tempat diadakannya; yaitu disesuaikan dengan pandangan mereka pada adat tersebut dan pengaruh adat lainnya pada masa lampau. Umumnya orang-orang Tionghoa yang bermigrasi ke Indonesia membawa adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan mereka. Salah satu adat yang seharusnya mereka taati adalah keluarga yang satu marga (shee ) dilarang menikah, karena mereka dianggap masih mempunyai hubungan suku. Misalnya : marga Lie dilarang menikah dengan marga Lie dari keluarga lain, sekalipun tidak saling kenal. Akan tetapi pernikahan dalam satu keluarga sangat

diharapkan agar supaya harta tidak jatuh ke orang lain. Misalnya : pernikahan dengan anak bibi (tidak satu marga, tapi masih satu nenek moyang). Ada beberapa yang sekalipun telah memeluk agama lain, seperti ka****k namun masih menjalankan adat istiadat ini. Sehingga terdapat perbedaan di dalam melihat adat istiadat pernikahan yaitu terutama dipengaruhi oleh adat lain, adat setempat, agama, pengetahuan dan pengalaman mereka masing-masing.

UPACARA-UPACARA YANG DILAKSANAKAN DALAM PERNIKAHAN Pesta dan upacara pernikahan merupakan saat peralihan sepanjang kehidupan manusia yang sifatnya universal. Oleh karena itu, upacara perkawinan selalu ada pada hampir setiap kebudayaan. Demikian pula halnya dengan adat pernikahan orang Tionghoa yang mempunyai upacara-upacara antara lain : A. Upacara menjelang pernikahan : Upacara ini terdiri atas 5 tahapan yaitu : Melamar : Yang memegang peranan penting pada acara ini adalah mak comblang. Mak comblang biasanya dari pihak pria. Penentuan : Bila keahlian mak comblang berhasil, maka diadakan penentuan bilamana antaran/mas kawin boleh dilaksanakan. Prosesi Seserahan Adat Tionghoa atau Sangjit Dalam rangkaian adat Tionghoa, Sangjit dilakukan setelah acara lamaran. Hari dan waktu yang baik untuk melakukan Sangjit ini ditetapkan pada saat proses lamaran tersebut. Dalam prakteknya, Sangjit sering ditiadakan atau digabung dengan lamaran. Namun sayang rasanya meniadakan prosesi yang satu ini, karena makna yang terkandung di dalamnya sebenarnya sangat indah. Secara harfiah, Sangjit dalam bahasa Indonesia berarti proses seserahan. Atau proses kelanjutan lamaran dari pihak mempelai pria dengan membawa persembahan ke pihak mempelai wanita, jelas Anthony S. dari Anthony S. Musical Connections.

Prosesi ini biasanya dihadiri rombongan pria yang terdiri dari keluarga inti dan keluarga besar (saudara dari orang tua, sepupu) atau teman-teman dekat jika dibutuhkan, ungkap Henry dari Wine Wedding Planner. Sangjit biasanya diadakan antara 1 bulan sampai 1 minggu sebelum acara resepsi pernikahan dan berlangsung siang hari antara jam 11.00 sampai dengan 13.00 WIB dilanjutkan dengan makan siang. Tata Caranya Wakil keluarga wanita beserta para penerima seserahan (biasanya anggota keluarga yang telah menikah) menunggu di depan pintu rumah. Dipimpin oleh anggota keluarga yang dituakan, rombongan pria pun datang membawa seserahan ke rumah si wanita. Rombongan ini terdiri dari: wakil keluarga serta para gadis/pemuda yang belum menikah pembawa nampan seserahan. Oh iya, di beberapa adat orang tua pria tidak ikut dalam prosesi ini. Seserahan diberikan 1 per 1 secara berurutan, mulai dari seserahan untuk ke-2 orang tua mempelai wanita, lalu untuk mempelai wanita, dan seterusnya. Barang seserahan yang sudah diterima oleh pihak mempelai wanita dibawa ke dalam kamar untuk diambil sebagian. (lihat paragraf berikut) Dilanjutkan dengan ramah tamah. Pada akhir kunjungan, barang-barang seserahan yang telah diambil sebagian diserahkan kembali pada para pembawa seserahan. Dan sebagai balasannya, keluarga wanita pun memberikan seserahan pada keluarga pria berupa manisan (seperti permen/coklat) dan berbagai keperluan pria (baju, baju dalam, sapu tangan. Wakil keluarga wanita juga memberikan ang pao ke tiap-tiap pembawa seserahan yang biasanya terdiri dari para gadis/pemuda yang belum menikah tersebut (ang pao diberikan dengan harapan agar enteng jodoh). Jumlahnya variatif, biasanya sekitar Rp. 20.000 Rp. 50.000. Barang-barang seserahan Sangjit Sebelum keluarga calon pengantin pria memutuskan barang apa yang akan dibawa, sebaiknya didiskusikan bersama keluarga si wanita terlebih dahulu. Barang-barang ini tentu saja memiliki makna simbolis yang juga disesuaikan dengan kondisi ekonomi mempelai pria. Setelah ditentukan, barang-barang tersebut diletakkan dalam nampannampan yang berjumlah genap, biasanya maksimal berjumlah 12 nampan. Hal yang menarik saat acara ini adalah bahwa sebagian besar barang-barang seserahan ini sebaiknya sebagian dikembalikan lagi pada keluarga pengantin pria. Karena, bila

keluarga wanita mengambil seluruh barang yang ada, artinya mereka menyerahkan pengantin wanita sepenuhnya pada keluarga pria dan tak akan ada hubungan lagi antara si pengantin wanita dan keluarganya. Namun bila keluarga wanita mengembalikan separuh dari barang-barang tersebut ke pihak pria artinya keluarga wanita masih bisa turut campur dalam keluarga pengantin. Barang-barang seserahan biasanya terdiri dari : Alat-alat kecantikan dan perhiasan untuk mempelai wanita (kadang-kadang juga sepatu untuk hari H) Pakaian/kain untuk mempelai wanita. Maksudnya adalah segala keperluan sandang si gadis akan dipenuhi oleh si pria. Uang susu (ang pao) dan uang pesta (masing-masing di amplop merah). Pihak mempelai wanita biasanya hanya mengambil uang susu, sedangkan untuk uang pesta hanya diambil jumlah belakangnya saja, sisanya dikembalikan. Contoh uang pesta sebesar: Rp. 1.680.000,- namun yang diambil hanya Rp. 80.000,- Apabila keluarga wanita mengambil seluruh uang pesta, artinya pesta pernikahan tersebut dibiayai keluarga wanita. Tiga nampan masing-masing berisikan 18 buah (apel, jeruk, pear atau buah yang manis lainnya sebagai lambang kedamaian, kesejahteraan dan rejeki). Pihak mempelai wanita mengambil separuhnya, sisanya dikembalikan. 2 pasang lilin merah yang cukup besar diikat dengan pita merah, sebagai simbol perlindungan untuk menghalau pengaruh negatif. Lilin motif naga dan burung hong lebih disukai. Pihak mempelai wanita mengambil 1 pasang saja. Sepasang kaki babi (jika tidak ada dapat digantikan dengan makanan kaleng) beserta 6 kaleng kacang polong. Pihak mempelai wanita mengambil separuhnya. Satu nampan berisikan kue mangkok berwarna merah sebanyak 18 potong, sebagai lambang kelimpahan dan keberuntungan. Pihak mempelai wanita mengambil separuhnyan. Satu nampan berisikan dua botol arak atau sampanye. Pihak mempelai wanita mengambil semuanya, dan ditukar dengan dua botol sirup merah dan dikembalikan ke pihak mempelai pria. Seniman kain dan pakar batik Obin ternyata juga seorang tokoh yang sangat concern dan mendalami adat istiadat Tionghoa. Selain barang-barang di atas, menurutnya proses Sangjit ini bisa juga ditambah dengan : Kue satu, terbuat dari kacang hijau yang dijual satu-satu, artinya dua kebahagiaan menjadi satu. Kaca, artinya berkaca pada diri sendiri, self conscious-morality.

Uang-uangan dari emas yang di-emboss kata fuk, yang dalam bahasa Indonesia berarti hoki/untung. Dua bundel pita berupa huruf Cina yang berarti double happiness, artinya agar happy sampai tua nanti. Buah-buahan Buah atep yang disepuh merah, artinya agar tetap langgeng sampai kapan pun. Buah ceremai, artinya agar rumah tangganya rame, happy, banyak sahabat dan keturunan. Buah leket, artinya agar nempel dan lengket sampai kapan pun. Buah atapson dari Kalimantan yang tumbuh di atas atap. Kalau sudah mulai muntah, mual-mual dikasih buah ini untuk memancing kehamilan. Buah pala, tumbuh tegak lurus dimana pun dia ditanam, artinya kalau lurus, baik-baik saja maka dimana pun dia berada tetap tidak berubah. Tunangan : Pada saat pertunangan ini, kedua keluarga saling memperkenalkan diri dengan panggilan masing-masing, seperti yang telah diuraikan pada Jelajah No. 3. Penentuan Hari Baik, Bulan Baik : Suku Tionghoa percaya bahwa dalam setiap melaksanakan suatu upacara, harus dilihat hari dan bulannya. Apabila jam, hari dan bulan pernikahan kurang tepat akan dapat mencelakakan kelanggengan pernikahan mereka. Oleh karena itu harus dipilih jam, hari dan bulan yang baik. Biasanya semuanya serba muda yaitu : jam sebelum matahari tegak lurus; hari tergantung perhitungan bulan Tionghoa, dan bulan yang baik adalah bulan naik / menjelang purnama. B. Upacara pernikahan : 3 - 7 hari menjelang hari pernikahan diadakan "memajang" keluarga mempelai pria dan famili dekat, mereka berkunjung ke keluarga mempelai wanita. Mereka membawa beberapa perangkat untuk meng-hias kamar pengantin. Hamparan sprei harus dilakukan oleh keluarga pria yang masih lengkap (hidup) dan bahagia. Di atas tempat tidur diletakkan mas kawin. Ada upacara makan-makan. Calon mempelai pria dilarang menemui calon mempelai wanita sampai hari H. Malam dimana esok akan diadakan upacara pernikahan, ada upacara "Liauw Tiaa". Upacara ini biasanya dilakukan hanya untuk mengundang teman-teman calon kedua mempelai. Tetapi adakalanya diadakan pesta besar-besaran

sampai jauh malam. Pesta ini diadakan di rumah mempelai wanita. Pada malam ini, calon mempelai boleh digoda sepuas-puasnya oleh teman-teman putrinya. Malam ini juga sering dipergunakan untuk kaum muda pria melihat-lihat calonnya (mencari pacar). C. Upacara Sembahyang Tuhan ("Cio Tao") Di pagi hari pada upacara hari pernikahan, diadakan Cio Tao. Namun, adakalanya upacara Sembahyang Tuhan ini diadakan pada tengah malam menjelang pernikahan. Upacara Cio Tao ini terdiri dari : . Penghormatan kepada Tuhan . Penghormatan kepada Alam . Penghormatan kepada Leluhur . Penghormatan kepada Orang tua . Penghormatan kepada kedua mempelai.

Meja sembahyang berwarna merah 3 tingkat. Di bawahnya diberi 7 macambuah, a.l. Srikaya, lambang kekayaan. Di bawah meja harus ada jambangan berisi air, rumput berwarna hijau yang melambangkan alam nan makmur. Di belakang meja ada tampah dengan garis tengah ?2 meter dan di atasnya ada tong kayu berisi sisir, timbangan, sumpit, dll. yang semuanya itu melambangkan kebaikan, kejujuran, panjang umur dan setia. Kedua mempelai memakai pakaian upacara kebesaran Cina yang disebut baju "Pao". Mereka menuangkan teh sebagai tanda penghormatan dan memberikan kepada yang dihormati, sambil mengelilingi tampah dan berlutut serta bersujud. Upacara ini sangat sakral dan memberikan arti secara simbolik. D. Ke Kelenteng Sesudah upacara di rumah, dilanjutkan ke Klenteng. Di sini upacara penghormatan kepada Tuhan Allah dan para leluhur. E. Penghormatan Orang tua dan Keluarga Kembali ke rumah diadakan penghormatan kepada kedua orang tua, keluarga, kerabat dekat. Setiap penghormatan harus dibalas dengan "ang pauw" baik berupa uang maupun emas, permata. Penghormatan dapat lama, bersujud dan bangun. Dapat juga sebentar, dengan disambut oleh yang dihormati.

F. Upacara Pesta Pernikahan Selesai upacara penghormatan, pakaian kebesaran ditukar dengan pakaian "ala barat". Pesta pernikahan di hotel atau tempat lain. Usai pesta, ada upacara pengenalan mempelai pria ( Kiangsay ). Mengundang kiangsay untuk makan malam, karena saat itu mempelai pria masih belum boleh menginap di rumah mempelai wanita. G. Upacara sesudah pernikahan Tiga hari sesudah menikah diadakan upacara yang terdiri dari : Teh Pai teh pai adalah setelah acara pernikahan dimana seluruh sanak keluarga dari keluarga suami maupun istri memberikan hadiah sebagai dasar pembangunan keluarga yang menikah, dimana dalam Teh pai ini pihak tertua biasanya memberikan petuah kepada orang akan menikah, dalam membina rumah tangga mereka. Selesai memberi petuah mereka memberikan hadiah biasanya berbentuk perhiasan, uang, alat kebutuhan rumah tangga sebagai tanda membantu perekonomian keluarga mereka. Tiga hari sesudah menikah diadakan upacara yang terdiri dari : 1. Cia Kiangsay 2. Cia Ce'em Pada upacara menjamu mempelai pria ("Cia Kiangsay") intinya adalah memperkenalkan keluarga besar mempelai pria di rumah mempelai wanita. Mempelai pria sudah boleh tinggal bersama. Sedangkan "Cia Ce'em" di rumah mempelai pria, memperkenalkan seluruh keluarga besar mempelai wanita. Tujuh hari sesudah menikah diadakan upacara kunjungan ke rumah-rumah famili yang ada orang tuanya. Mempelai wanita memakai pakaian adat Cina yang lebih sederhana. PERUBAHAN YANG BIASA TERJADI PADA ADAT UPACARA PERNIKAHAN Ada beberapa pengaruh dari adat lain atau setempat, seperti : Mengusir setan atau mahkluk jahat dengan memakai beras kunyit yang ditabur menjelang mempelai pria memasuki rumah mempelai wanita. Demikian juga dengan pemakaian sekapur sirih, dan lain-lain.

Pengaruh agama, jelas terlihat perkembangannya : Sekalipun upacara Sembahyang Tuhan / Cio Tao telah diadakan di rumah, tetapi untuk yang beragama kr****n tetap ke Gereja dan upacara di Gereja. Perubahan makin tampak jelas, upacara di Kelenteng diganti dengan di gereja. Pengaruh pengetahuan dan teknologi, dapat dilihat dari kepraktisan upacara. Dewasa ini orang-orang lebih mementingkan kepraktisan ketimbang upacara yang berbelit-belit. Apalagi kehidupan di kota-kota besar yang telah dipengaruhi oleh teknologi canggih. Sebagai suatu pranata adat yang tumbuh dan mempengaruhi tingkah laku masyarakat yang terlibat di dalamnya, sasaran pelaksanaan adat pernikahan Tionghoa mengalami masa transisi. Hal ini ditandai dengan terpisahnya masyarakat dari adat pernikahan tersebut melalui pergeseran motif baik ke arah positif maupun negatif dan konflik dalam keluarga. Dewasa ini masyarakat Tionghoa lebih mementingkan kepraktisan ketimbang upacara adat. Hampir semua peraturan yang diadatkan telah dilanggar. Kebanyakan upacara pernikahan berdasarkan dari agama yang dianut. Menyajikan Teh pada Upacara Pernikahan Teh banyak digunakan pada perayaan-perayaan masyarakat Tionghoa, termasuk acara pernikahan, karena merupakan minuman rakyat dan menyajikan teh merupakan sebuah bentuk tanda hormat. Biji bunga teratai yang biasanya digunakan dalam teh pada acara pernikahan memiliki maksud. Kata "teratai" dengan "tahun" memiliki bunyi yang hampir sama, meskipun artinya berbeda, sehingga orang Tionghoa percaya bahwa menaruh benda-benda itu pada teh akan membantu pasangan yang baru menikah untuk melahirkan banyak anak, sehingga orang tua kedua mempelai akan memiliki banyak cucu. Biji teratai / Lian Zi diibaratkan sebagai Nian Zi, atau secara lengkap adalah Nian Nian You Zi, yang dapat diartikan setiap tahun memiliki anak. Apabila terdapat tunas yang telah muncul pada biji teratai tersebut, maka jangan lupa untuk menghilangkannya karena tunas tersebut memiliki rasa yang pahit. Menyajikan teh dengan memegang alas cangkir teh memakai kedua belah tangan adalah sebuah bentuk penghormatan.

Saat menyajikan teh, pengantin wanita berada di sebelah kanan dari pengantin pria. Secara mudahnya adalah pengantin wanita berada di sebelah kanan dari pundak kanan pengantin pria. Contohnya adalah ketika mempersembahkan teh ke orang tua pengantin pria, maka pengantin wanita berlutut di depan ayah pengantin pria, dan pengantin pria berlutut di hadapan ibunya. Disamping menyajikan teh kepada orang tua, mereka juga menyajikan teh kepada yang lebih tinggi tingkatannya dan yang lebih tua dengan menyebutkan tingkatan, misalnya paman pertama, bibi ketiga, kakak kedua, dan sebagainya. Penyajian teh dilakukan secara berurutan dari anggota keluarga yang tertinggi tingkatannya. Contoh urutannya adalah kakek dan nenek dari ayah pengantin pria, lalu kakek dan nenek dari ibu pengantin pria, orang tua pengantin pria, setelah itu kakak. Pengantin pria dan wanita akan berlutut, sedangkan yang mendapat penghormatan akan duduk, jika tingkatan dari yang mendapat penghormatan lebih tinggi, seperti kakek, ayah, atau paman. Sedangkan jika yang mendapat penghormatan tidak lebih tinggi tingkatannya, namun tentunya harus lebih tua, seperti kakak, maka pengantin pria dan wanita tidak perlu berlutut. Sebagai balasan, pasangan itu akan menerima Hong Bao / Angpao yang berisi uang atau perhiasan. kebudayaan Tionghoa adalah membicarakan kepercayaan tradisional yang ada dalam masyarakat Tionghoa, seakan2 kepercayaan tadilah yang membentuk kebudayaan dan cara hidup masyarakat Tionghoa selama ribuan tahun. Sebenarnya, kepercayaan tradisional hanyalah sebagian kecil dari kebudayaan Tionghoa itu sendiri, namun kepercayaan tradisional yang terbentuk dari kebudayaan leluhur masyarakat Tionghoa sejak zaman pra-sejarah kemudian menjadi salah satu tulang punggung transformasi kebudayaan Tionghoa selama ribuan tahun dalam sejarahnya. Jadi dapat dikatakan, kepercayaan tradisional ini muncul dari kebudayaan dan merupakan bagian darinya dan dalam perkembangannya juga mempengaruhi bentuk kebudayaan dan segala transformasinya. Saya tergerak untuk menurunkan tulisan singkat dan dangkal mengenai ini setelah ada anggota forum Budaya Tionghoa yang menunjukkan perhatian dan antusiasme yang

besar tentang kepercayaan tradisional, pikiran yang mendasarinya dan ritual2-nya yang banyak terlihat dalam interaksi dengan suku Tionghoa yang masih memegang teguh adat tradisinya, namun terasa asing bahkan untuk pelaku dan pelaksana kepercayaan tradisional itu yang notabene adalah orang Tionghoa sendiri. Saya mengharapkan tambahan dan koreksi dari para teman yang juga tahu dan punya pengetahuan di bidang ini untuk melengkapi isi dari tulisan singkat ini. Mudah2an sedikit tulisan ini dapat memperkaya koleksi arsip tentang kebudayaan Tionghoa yang memang sangat minim di Indonesia. Yang perlu diingat, bahwa kepercayaan tradisional ini sebenarnya bukanlah suatu agama tertentu seperti yang menjadi kesalahpahaman dan salah kaprah mayoritas pemeluk agama lainnya. Kepercayaan di dalam bahasa Mandarin disebut sebagai Xin4 Yang3, dan agama disebut sebagai Zong1 Jiau4. Ada orang yang menyebut kepercayaan tradisional ini sebagai Tri-Dharma (Sam Kau = hokkian, Shan1 Jiau4 = mandarin) yaitu gabungan antara Taoisme, Konfusianisme dan Buddhisme. Ada pula yang mengklaim kepercayaan tradisional ini sebagai agama Khonghucu. Semua ini boleh2 saja, namun saya sendiri tidaklah menganggap kepercayaan ini sebagai salah satu agama dari ketiga agama tadi ataupun agama baru yang terbentuk darinya. Saya merasa kepercayaan tradisional adalah hal yang telah ada jauh sebelum agama eksis dan merupakan bagian dari budaya (sinkretisme budaya), malah mempengaruhi bentuk dan transformasi ketiga agama tadi dalam batas2 tertentu. Di zaman dulu, ada atau tidaknya agama leluhur orang Tionghoa, mereka tetap akan memegang teguh kepercayaan tradisional ini. Mari kita bersama2 membahas dan mendiskusikan kepercayaan tradisional masyarakat Tionghoa ini dari aspek budaya dan sejarahnya tanpa terjerumus dalam debat kusir yang tidak berguna mengenai agama atau kepercayaan yang sering kita lihat di forum lainnya. Pandangan terhadap alam semesta dalam kepercayaan tradisional Sejarah kebudayaan Tionghoa seperti kebudayaan kuno lainnya juga dimulai dengan mitologi2. Di zaman dahulu kala, leluhur orang Tionghoa mulai menuliskan pandangan mereka terhadap alam semesta ini. Mereka menganggap bahwa sebelum dunia ini terbentuk, langit (Tian1) dan bumi (Di4) merupakan satu kesatuan yang disebut dengan keadaan tidak berbentuk atau chaos (Hun4 Dun4). 18 ribu tahun kemudian, seorang bernama Pan2 Gu3 mulai memisahkan langit dan bumi. Setiap hari, langit bertambah tinggi 3.3 meter, bumi bertambah tebal 3.3 meter dan Pan Gu bertambah tinggi 3.3 meter. Demikian seterusnya 18 ribu tahun berlalu dan langit telah sangat tinggi, bumi telah sangat tebal. Setelah Pan Gu wafat, anggota tubuhnya kemudian menjadi matahari dan bulan, gunung dan laut, sungai dan danau.

Inilah yang disebut sebagai legenda Pan Gu memisahkan langit dan bumi (Pan2 Gu3 Kai1 Tian1 Di4) dan Pan Gu juga mendapat gelar Raja Langit Pertama (Yuan2 Shi3 Tian1 Wang2). Jadi, sebenarnya juga ada mitologi penciptaan di dalam kepercayaan tradisional Tionghoa, cuma Pan Gu adalah tetap merupakan sosok manusia yang kemudian menjadi tokoh legendaris yang tidak pernah di-Tuhan-kan. Di kemudian hari, dalam mitologi bangsa Tionghoa juga ada tokoh legendaris Nu3 Wa1 yang dikenal sebagai ibu pertama dari bangsa Tionghoa menciptakan manusia dan menambal langit yang bocor. Fu2 Xi1 yang mengajarkan cara membuat jala dan menangkap ikan, beternak dan berburu, menciptakan Ba1 Gua4 (8 diagram) dan Shen2 Nung2 yang mengajari cara bertani, ahli obat2 tradisional dan memperkenalkan minuman teh. Di masa ini, leluhur orang Tionghoa menganggap bahwa alam semesta ini terbagi atas 2 bagian yaitu langit dan bumi. Namun sampai pada munculnya Taoisme dan masuknya Buddhisme ke Tiongkok, bagian alam semesta tadi berkembang menjadi yang sekarang kita kenal yaitu 3 bagian yang terdiri dari alam Langit (Tian1 Jie4), alam Bumi (Ming2 Jie4) dan alam Baka (You1 Jie4).

Tiga Alam Konsep tiga alam adalah inti dari kepercayaan tradisional Tionghoa. Leluhur orang Tionghoa percaya bahwa tiga alam ini mempunyai peranannya masing2 dalam menjaga keseimbangan alam semesta ini. Ketiga alam ini tidak dapat dipisahkan dan berdiri sendiri tanpa kedua alam lainnya. Alam Langit (Tian1 Jie4) adalah menunjuk pada alam yang didiami dan menjadi tempat kegiatan para raja2 Langit (Tian1 Wang2) dan dewa-dewi langit (Tian1 Shen2). Alam ini dianggap sebagai pusat pemerintahan alam semesta, yang mengatur seluruh kehidupan di alam bumi. Orang2 besar yang berjasa di bidangnya masing2 terhadap masyarakat Tionghoa di zamannya dapat naik menjadi dewa-dewi di alam Langit. Nenek moyang dalam mitologi seperti Nu Wa, Fu Xi dan Shen Nung serta kaisar2 legendaris seperti Yao2, Xun4 dan Yu3 adalah bertempat tinggal di sana bersama dengan dewa-dewi pejabat pemerintahan langit lainnya yang akan diterangkan lebih lanjut dalam bagian yang lain. Alam Bumi (Ming2 Jie4) adalah menunjuk pada bumi tempat kita berada, yang menjadi tempat tinggal dan tempat kegiatan dari seluruh makhluk hidup. Dewa-dewi dan pejabat di alam Langit bertanggung jawab melaksanakan tugas pemerintahan mereka di alam Bumi. Juga disebut sebagai Yang2 Jian1 ataupun Ren2 Jian1.

Alam Baka (You1 Jie4) adalah menunjuk pada alam di bawah bumi ataupun alam sesudah kematian, yaitu alam yang menjadi tempat domisili dan kegiatan dari roh2 (Ling2) dan hantu2 (Gui3) dari manusia setelah meninggal dunia. Di alam ini, ada sekelompok dewa dan pejabat alam yang khusus memerintah di alam ini. Dalam kepercayaan tradisional, leluhur orang Tionghoa mempercayai bahwa kehidupan setelah meninggal adalah lebih kurang sama dengan kehidupan manusia di dunia ini. Di alam ini, setiap orang akan menjalani pengadilan yang akan membawa kepada hadiah maupun hukuman dari dewa dan pejabat di alam ini. Alam Baka keseluruhan berjumlah 10 Istana Yan Luo (Shi2 Dian4 Yan2 Luo2) dan 18 Tingkat Neraka (Shi2 Ba1 Ceng2 Di4 Yu4). Dalam perkembangannya, kepercayaan mengenai alam Baka ini kemudian terpengaruh oleh konsep reinkarnasi dari Buddhisme yang ditandai dengan kepercayaan bahwa roh yang hidup di alam Baka kemudian akan terlahir kembali ke dunia sebagai manusia setelah lupa akan kehidupan sebelumnya dengan meminum sup Meng4 Po1 dan melewati jembatan Nai4 He2. Perbedaan yang mendasar adalah bahwa kepercayaan tradisional ini menganggap manusia hanya akan terlahir kembali sebagai manusia dan tidak sebagai makhluk lainnya. Hubungan dan Interaksi Antar Tiga Alam Alam Langit, alam Bumi dan alam Baka adalah mempunyai hubungan satu sama lain dan dapat berinteraksi di antaranya. Kepercayaan leluhur orang Tionghoa bahwa ada kehidupan setelah kematian, seseorang yang telah meninggal akan menjadi roh (Ling2) ataupun hantu (Gui3). Roh ini terbagi atas roh yang baik dan jahat. Roh yang dihormati dan dikenang oleh keturunannya sehingga dapat menjaga, melindungi dan membawa berkah pada keluarga anak cucunya adalah roh leluhur yang baik. Sedangkan roh yang tidak mendapat penghormatan, perlakuan layak dan wajar oleh keturunannya ataupun yang meninggal secara tidak wajar biasanya merupakan roh yang jahat. Roh yang jahat inilah yang biasanya kita kenal dengan sebutan hantu. Namun, tidak semuanya akan menjadi roh ataupun hantu. Ada tokoh2 tertentu yang berjasa dan berkontribusi besar bagi masyarakat, kebudayaan dan negara akan naik derajatnya menjadi dewa-dewi yang patut dihormati masyarakat luas untuk mengenang dan menghormati jasa2 mereka. Banyak dari dewa-dewi leluhur orang Tionghoa yang sebenarnya merupakan tokoh sejarah yang benar2 pernah hidup pada masanya dan bukan cuma legenda atau mitologi. Masing2 dewa-dewi tersebut mempunyai peranan dan kelebihan masing2 seperti Guan Gong (nama asli Guan1 Yun2-chang2) yang hidup masa Dinasti Han akhir (Tiga Negara) dipuja sebagai Dewa Perang yang melambangkan kekuatan dan kesetiaan, lalu Ma Zhu Niang-niang (nama asli Lin2 Mo4-niang2) yang hidup di zaman Dinasti Sung yang dipuja sebagai Dewi Maritim yang melambangkan bakti seorang anak kepada orang tuanya. Dari semua bentuk interaksi ini, yang paling nyata dan penting dalam kepercayaan tradisional ini adalah upacara merayakan ulang tahun dewa-dewi (Wei4 Shen2 Zuo4

Shou4) dan membantu roh untuk terbebas dari penderitaan (Ti4 Gui3 Cao1 Sheng1, dalam agama tertentu dapat disamakan dengan pelimpahan jasa2). Kedua upacara ini biasanya diselenggarakan bersamaan pada hari2 ulang tahun dari dewa-dewi tersebut. Semua ini dilakukan demi penghormatan kepada dewa-dewi dan roh2 yang dianggap dapat mempengaruhi kehidupan manusia di dunia ini. Bentuk2 ritual kepercayaan ini sangat berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya. Namun di dalam perbedaan tersebut, persamaannya masih tetap lebih menonjol karena dewa-dewi yang dipuja dan inti dari penghormatan tersebut adalah sama hakikatnya. Asal Usul Dewa-Dewi Dalam Kepercayaan Tradisional Tionghoa Lalu, kita harus bertanya, apa dan siapa saja yang dapat dianggap sebagai dewa-dewi yang ditinggikan dalam kepercayaan tradisional ini? Bila Sdr. Perfect Harmony telah mengulas dewa-dewi ditinjau dari segi agama masing2, maka saya tak akan mengulangnya lagi dan mencoba meninjau dari segi pandang yang lain, yaitu jenis2 dan asal usul dewa-dewi tersebut. Secara garis besar maka jenis2 dewa-dewi yang dipuja dalam kepercayaan tradisional ini berdasarkan asal usulnya adalah : Bentuk penghormatan kepada alam (Ze4 Ran2 Chong2 Bai4) Kategori ini termasuk dewa-dewi yang paling awal karena telah ada sejak zaman dahulu kala jauh sebelum munculnya penghormatan jenis lainnya. Karena di zaman dulu, alam merupakan tantangan keras bagi leluhur bangsa Tionghoa untuk bertahan hidup, maka leluhur bangsa Tionghoa berusaha hidup harmonis dalam kerasnya alam. Dewa dari jenis penghormatan ini misalnya : Yu4 Huang2 Da4 Di4 = Raja Langit, merupakan bentuk penghormatan pada langit. Fu2 De2 Zheng4 Shen2 (Tu3 Di4 Gong1 atau Tho Te Kong) = Dewa Bumi/Tanah, merupakan penghormatan pada bumi. Wu3 Lei2 Yuan2 Shuai4 (Lei2 Gong1 atau Li Kong) = Dewa Petir, merupakan penghormatan pada petir. dan masih banyak yang tak saya sertakan di sini, bila perlu akan diturunkan dalam artikel tersendiri. Bentuk penghormatan kepada leluhur (Zu3 Xian1 Chong2 Bai4) Kategori ini muncul setelah adanya pengaruh Konfusianisme yang sangat menekankan pentingnya penghormatan kepada leluhur, terutama yang berjasa dan berkontribusi bagi orang banyak. Bila tidak ada leluhur, tentu kita tidak akan berada di sini sekarang dapat berdiskusi di forum ini. Dewa-dewi bentuk penghormatan terdiri dari tokoh2 sejarah besar, tokoh2 mitologi yang dianggap sebagai leluhur jauh maupun dekat, misalnya : Tokoh2 sejarah : Kaisar pra-Dinasti Xia seperti Yao2, Shun4 dan Yu2. Kong3 Zi3 Gong1 = Konfusius/Khonghucu, lambang kebijakan. Fo2 Zu3 = Buddha Sakyamuni/Hud Cho. Tai4 Shang4 Lao3 Jun1 = Lao-tse. Guan1 Sheng4 Di4 Jun1 = Kwan Kong, lambang

kesetiaan. Bao1 Gong1 = Bao Zheng/Hakim Bao, lambang keadilan. Tian1 Shang4 Sheng4 Mu3 = Ma Zu/Ma Cho, lambang bakti anak terhadap orang tua. Tokoh mitologi : Yuan2 Shi3 Tian1 Wang2 = Pan Gu, tokoh mitos penciptaan alam semesta. Nu3 Wa1 Niang2 Niang2 = Nu Wa, tokoh mitos penciptaan manusia. Qi2 Tian1 Da4 Sheng4 = Sun Go Kong, tokoh mitos dalam cerita Perjalanan ke Barat (Xi You Ji). Xuan1 Yua2 Shi4 = Huang Di, kaisar purba di abad 27 SM. Wu3 Ke2 Da4 Di4 = Shen Nung, ahli pertanian dan obat tradisional. Bentuk lain2 (Shu4 Wu4 Chong2 Bai4) Kategori ini adalah bentuk penghormatan yang tidak termasuk ke dalam kategori di atas. Misalnya : Men2 Shen2 = Dewa Pintu. Zao4 Jun1 = Dewa Dapur. Bila diperhatikan, maka hampir semua dari dewa-dewi yang ditinggikan di dalam kepercayaan tradisional ini adalah dimanusiakan tanpa memandang bentuk asalnya. Ini terutama terlihat dalam bentuk penghormatan pada alam maupun bentuk2 lain. Namun apapun bentuk yang ditunjukkan (patung, papan nama penghormatan deelel), yang dipuja dan dihormati tentu bukan bentuk real darinya. Jadi yang dilakukan dalam kepercayaan tradisional ini bukanlah memuja sang patung ataupun papan tadi, namun adalah memuja dan menghormati dewa-dewi yang bersangkutan.

SUKU Batak Pakpak


Suku Pakpak adalah salah satu suku bangsa yang terdapat di Pulau Sumatera Indonesia dan tersebar di beberapa kabupaten/kota diSumatera Utara dan Aceh, yakni di Kabupaten Dairi, Kabupaten Pakpak Bharat, Kabupaten Humbang Hasundutan( Sumatera Utara),Kabupaten Aceh Singkil dan Kota Sabulusalam (Provinsi Aceh) Suku Pakpak terdiri atas 5 subsuku, dalam istilah setempat sering disebut dengan istilah Pakpak Silima suak yang terdiri dari : 1. Pakpak Klasen (Kabupaten Humbang Hasundutan Sumatera Utara) 2. Pakpak Simsim (Kabupaten Pakpak Bharat Sumatera Utara) 3. Pakpak Boang (Kabupaten Singil dan kota Sabulusalam-Aceh) 4. Pakpak Pegagan (Kabupaten Dairi Sumatera Utara) 5. Pakpak Keppas (Kabupaten Dairi Sumatera Utara)

Dalam administrasi pemerintahan Suku Pakpak banyak bermukim di wilayah Kabupaten Dairi di Sumatera Utara yang kemudian dimekarkan pada tahun 2003 menjadi dua kabupaten, yakni: 1. Kabupaten Dairi (ibu kota: Sidikalang) 2. Kabupaten Pakpak Bharat (ibu kota: Salak) Suku Pakpak juga berdomisili di wilayah Parlilitan yang masuk wilayah Kabupaten Humbang Hasundutan dan wilayah Manduamas yang merupakan bagian dari Kabupaten Tapanuli Tengah. Suku Pakpak yang tinggal di wilayah tersebut menamakan diri sebagai Pakpak Klasen. Suku Pakpak juga bermukim di wilayah Aceh khususnya di Kabupaten Aceh Singkil dan kota Sabulusalam yang disebut sebagai Pakpak Boang.

Suku Pakpak yang berdiam di Kabupaten Pakpak Bharat adalah Pakpak Simsim, sedangkan yang tinggal di kota Sidikalang dan sekitarnya merupakan suku Pakpak Keppas dan yang bermukim di Sumbul sekitarnya adalah Pakpak Pegagan. Suku bangsa Pakpak mendiami bagian Utara, Barat Laut Danau Toba sampai perbatasan Sumatra Utara dengan provinsi Aceh (selatan). Suku bangsa Pakpak kemungkinan besar berasal dari keturunan tentara kerajaan Chola di Indiayang menyerang kerajaan Sriwijaya pada abad 11 Masehi. Marga Pakpak

Anakampun Angkat Bako Bancin Banurea Berampu Berasa Beringin Berutu Bintang Boang Manalu Capah Dabutar Cibro Gajah Manik Gajah Kabeaken Kesogihen Kaloko Kombih Kudadiri Lembeng Lingga Maha Maharaja Manik Matanari Meka Maibang Padang Padang Batanghari (BTH)

Pasi Penarik Pinayungan Sambo Saraan Sikettang Sinamo Sitakar Sitongkir Solin Saing Tendang Tinambunan Tinendung Tumangger Turutan Ujung

Matanari pakpak pegagan Batak Pakpak-Dairi Suku Batak Pakpak berasal dari keturunan imigran bangsa atau suku dari India Selatan (kerajaan Colamandala) yang pernah menyerang dan menahlukkan kerajaan Sriwijaya (di Palembang) hingga raja Sri Sangramawijaya Tunggawarman tertawan (1025 M). Kerajaan Sriwijaya ini akhirnya runtuh tahun tahun 1337 M, yang menyebabkan terjadi penyebaran manusia sehingga terbentuk suku Pakpak suak Pegagan sekitar 600 tahun yang silam. Diduga manusia pendatang (imigran) pertama yang masuk ke tanah Pakpak, Karo dan Gayo (Alas) adalah sama nenek-moyangnya, karena kata menyebutkan air (kebutuhan utama manusia) adalah hampir sama. Air bahasa pakpak adalah Lae, bahasa Karo adalah Lau dan bahasa Gayo (Alas) adalah Lawe. Kemiripan kata-kata dalam bahasa Pakpak dengan bahasa Karo adalah relatip besar. Jika di Tanah Karo terkenal Marga Silima, di Tanah Pakpak terkenal Pakpak Lima Suak (sama-sama kata lima). Batak Pakpak-Dairi terdiri dari lima (5) suak yang menempati wilayah (hak wilayat) masing-masing, yakni: 1. Pakpak suak Boang, di daerah Boang, Singkil, Sbullusalam, daerah Aceh dan sekitarnya. 2. Pakpak suak Klassan, di derah Parlilitan, Pakkat dan sekitarnya, misalnya marga di daerah Urang julu (disebut: daerah Sionem Koden) adalah Simbuyak-mbuyak (tidak berketurunan), Turuten, Pinayungen, Maharaja, Tinambunen, Tumangger dan Anak Ampun (artinya anak bungsu, sering disebut Nahampun) dan didaerah pakat marga Meka dan lain lain,

3. Pakpak suak Simsim, didaerah kecamatan Kerajaan, Salak dan sekitarnya, misalnya marga Kabeaken, Brutu (Sinaga..?), Padang (Situmorang..?), Padang Batanghari (keturunan Parrube Haji?), Sitakar, Tinendung, dan lain lain. 4. Pakpak suak Keppas, misalnya keturunan si Naga Jambe yang mulanya berasal dari daerah Sicikeh-cikeh dan kemudian berkembang didaerah Sidikalang yakni ada 7 marga yaitu, Raja Udjung, Raja Angkat, Raja Bintang, Raja Capah, Raja Gajah Manik, Raja Kudadiri dan Raja Sinamo. 5. Pakpak Pegagan, di daerah Pegagan (meliputi daerah Balna Sibabeng-kabeng, Lae Rias, Lae Pondom, Sumbul, Juma Rambah, Kuta Manik, Kuta Usang dan sekitarnya, hanya ada tiga (3) marga, yaitu (1) Raja Matanari, (2) Raja Manik, dan (3) Raja Lingga. Marga (Raja) Matanari, Manik dan Lingga adalah keturunan Papak Suak Pegagan (disebut si Raja Gagan ataupun si Raja Api). Si Raja Api adalah salah seorang dari Pitu (7) Guru Pakpak Sindalanen (yakni keturunan Perbuahaji) . yang cukup terkenal ilmu kebatinannya (dukun yang disegani , ditakuti dan tempat belajar atau berguru ilmu kebatinan) diketahui melalui legenda yang cukup terkenal di daerah Pakpak, Karo Simalem dan mungkin juga di Gayo ..? (Alas). Apabila Pitu Guru Pakpak Sindelanan bersatu, maka dianggap sudah lengkaplah ilmu kebatinan yang dipelajari orang pada zaman dahulu, yakni meliputi: 1. Raja Api (Raja Gagan) di daerah Pakpak Suak Pegagan, adalah dukun (datu) yang mempunyai ilmu kebatinan Aliran Ilmu Tenaga Dalam, yang menyerupai tenaga Api (misalnya disebut: Gayung Api, apabila kena pukulanya akan terbakar atau gosong, Tinju Marulak, yakni justru orang yang memukulnya yang mengalami efek pukulan, dan lain lain), Ilmu kebatinan yang dikuasai dan dikembangkan si Raja Api dan keturunnya berkaitan dengan pembelaan diri, berkelahi, dan berperang melawan musuh. 2. Raja Angin di daerah Pakpak Suak Keppas, adalah dukun yang mempunyai ilmu kebatinan sperti tenaga angin. Kalau angin kuat berhembus (topan) dapat merobohkan yang kuat dan besar. Kalau angin berhembus lambat, tidak akan terasa dan tidak dapat dilihat, tetapi mereka ada. Jadi dapat tiba-tiba si Dukun (yang mempunyai ilmu ini) tiba-tiba ada di depan mata kita. 3. Raja Tawar pergi ke Tanah Karo Simalem, adalah dukun yang mempunyai ilmu kebatinan berkaitan dengan obat-obatan ramuan tradisional. Terbukti di daerah tanah Karo Simalem berkembang ilmu pengobatan Ramuan Tradisional, pengobatan Patah Tulang, luka terbakar dan lain lain, yang kadang kala lebih hebat dari pengobatan ilmu medis (kedokteran). 4. Raja Lae atau Lau atau Lawe yang pergi ke daerah Tanah Karo Simalem atau daerah Gayo-Alas. Lae = lau = lawe berarti air (bahasa suku Toba disebut aek). Raja Lae adalah dukun yang mempunyai ilmu kebatinan yang dapat mendtangkan hujan, mencegah turun hujan di suatu tempat atau mengalihkan hujan dari satu tempat ke tempat lain (disebut Pawang Hujan). 5. Raja Aji di daerah Pakpak Suak Simsim sekitar kecamatan Kerajaan, Salak dan

sekitarnya. Raja Aji adalah dukun yang mempunyai aliran ilmu Membuat dan Pengobatan penyakit Aji-ajian (Guna-guna, misalnya Aji Turtur, Gadam,Racun, dan lain lain). 6. Raja Besi di daerah Pakpak Suak Kellasen, adalah dukun yang mempunyai ilmu kebatinan yang berhubungan alat-alat terbuat dari besi. Misalnya ilmu tahan (kebal) ditikam dengan pisau, kebal digergaji, terhindar dari atau kebal peluru senjata api, dan lain lain. 7. Raja Bisa di daerah Pakpak Suak Boang, adalah dukun yang mempunyai ilmu kebatinan yang berhubungan dengan pembuatan dan Pengobatan yang ditimbulkan oleh Bisa, missal bisa ular, kalajengking, lipan, laba-laba, dll Setelah si Raja Api mempunyai keturunan 3 orang anak laki-laki, maka salah seorang putranya diberi nama Raja Matanari (berasal dari arti Matahari). Si Raja Api menginginkan ilmu/tenaga kebatinan yang dimiliki putranya harus melebihi tenga Api seperti yang telah dimilikinya. Keinginan si Raja Api, putranya harus mempunyai ilmu kebatinan/tenaga dalam menyerupai tenaga (kekuatan) Matahari. Pada mulanya Pakpak Pegagan (si Raja Api), bapa dan kakeknya adalah manusia Nomade (mendapat makanan dari alam, hanya memanen hasil hutan dan hasil berburu binatang, menangkap ikan dan tinggal berpindah-pindah). Diduga mereka pertama sekali tinggal sekitar hutan Lae Rias dan Lae Pondom, sehingga perkampungan mereka yang pertama diyakini adalah di sekitar Lae Rias di hulu (takal) sungai Lae Patuk, yakni daerah di atas daerah Silalahi. Kuburan si Raja Api dan orangtuanya serta beberapa keturunannya Raja Matanari diduga disekitar hutan Lae Rias, yang menurut Legenda disebut daerah Sembahan (keramat) SIMERGERAHGAH, Simergerahgah adalah mpung si Perbuahaji (yang memperanakkan si Raja Api = Pakpak Pegagan) keturunan orang/suku Imigran dari India yang masuk dari daerah Barus. Sesuai perkembangan zaman dan kebudayaan, keturunan Pakpak Pegagan tersebut di atas mengalami perubahan dari budaya Nomade menjadi Petani Berpindah-pindah. Mereka berpindah-pindah mencari lahan yang lebih subur, dan setelah agak tandus kemudian ditinggalkan. Sistim pertanian berpindah-pindah ini mengarahkan mereka dan keturunanya bergerak ke arah Balna Sikabeng-kabeng, Kuta Gugung, Kuta Manik, Kuta Raja, Kuta Singa, Kuta Posong, Sumbul Pegagan, Batangari (Batanghari), Juma Rambah, Simanduma, sampai daerah Tigalingga.

Pakpak Suak Pegagan hanya ada tiga (3) marga yaitu Raja Matanari, Raja Manik dan Raja Lingga. Sesuai dengan perkembangan kebudayaan, zaman dan sejarah akhirnya masing-masing keturunan 3 putra si Raja Api Pakpak suak Pegagan menempati daerah Balna Sikaben-

kabeng dan Kuta Gugungserta sekitarnya (keturunan Raja Matanari), daerah Kuta Manik dan Kuta Raja serta sekitarnya (Raja Manik).dan daerah Kuta Singa dan Kuta Posong serta sekitarnya (Raja Lingga). Kuta (kampung) yang lain adalah perkembangan (pertambahan) pada generasi Apabila ada marga lain mengaku pernah menjadi raja (berkuasa) di daerah pegagan (misalnya disebut Pendeta Abednego putra Djauili Padang Batanghari sampai 8 generasi mpung mereka tinggal di Balna Sikabeng-kabeng) adalah pernyataan yang salah, karena hanya 3 marga keturunan suku Batak Pakpak suak Pegagan (Lihat :semua Dokumen Budaya Pakpak). Padang Batanghari adalah suku Pakpak Suak Simsim di daerah kecamatan Kerajan dan Salak dan sekitarnya bukan..? Pendeta Abednego dan orang tuanya Djauili Padang Batanghari mengaku bahwa Pinggan Matio adalah berru dari nenek-moyang (mpung) mereka Paroltep (si Lantak Padang Batanghari) dan keturunannya sampai 8 generasi tinggal di Balna Sikabeng-kabeng; Kemudian terjadi perang (graha) menyebabkan mereka (Padang Batanghari) terusir dan kembali ke kampung asalnya yaitu Sileuh di kecamatan Kerajaan. Adakah marga Manik dan atau Lingga (Pakpak suak Pegagan selain marga Matanari) yang membenarkan pernyatan tersebut di atas?atau marga Pakpak suak Keppas? atau marga Pakpak suak Simsim ? Siapakah keturunan saudara si Lantak (si Sebar Padang Batang Batanghari yang di Sileuh?) yang dapat membenarkan pernyataan di atas ? Kami mohon tolonglah dibuktikan segera kebenaran pernyataan itu. Sekitar generasi ke 6 dan ke 7 keturunan Raja Matanari telah membangun Rumah Adat Pakpak di Balna Sikabeng-kabeng yaitu zaman kehidupan si Raja Onggu (keturunan Raja Silalahisabungan) yang kawin dengan Rumintang berru Matanari (generasi ke-7). Rumah adat ini dibangun oleh ahli pertukangan (arsitek) dari Batak Pakpak dan Toba (terutama dari Silalahi) yang relatip banyak jumlahnya. Pertanyaan.di mana pada zaman tersebut Padang Batanghari.?. Pohon Beringin (jabi-jabi) yang ditanam Pinggan Matio berru Matanari (disebut; eks tongkat Pinggan Matio). diyakini dihuni oleh arwah ( sahala ni = begu ni) si Raja Onggu + Rumintang berru Matanari (karena kematian mereka tidak normal, si Raja Onggu dihukum mati karena menghina suku Pakpak, dan Rumintang mati gantung diri atas kematian suaminya), walaupun kuburan mereka berdua ini ada di Silalahi. Menurut Ir Ramses Silalahi (di Jakarta) via SMS dan beberapa Sihaloho dari Pematang Siantar (menurut Antony Matanari), menyatakan bahwa ada di Silencer marga Matanari ( mungkinkah.? si Umar Matanari, si Arden Matanari, dkk) mengaku ada talian darah dengan Pendeta Abednego putra Djauili Padang Batanghari), adalah bukti yang mendukung pernyataan Pendeta Abednego dan orang tuanya Djauili Padang Batanghari, yakni bahwa marga Padang Batanghari pernah tinggal di Balna Sikabengkabeng, yang kemudian karena terjadi perang, mereka sebagian terusir dan kembali ke Sileuh, sedangkan sebahagian lagi tertawan dan kemudian merobah marganya menjadi marga Matanari. Tidak masuk akal sehat (logika) ceritra atau pendapat tersebut di

atas bukan..?. Tawanan (Padang Batanghari) merobah marga menjadi marga Matanari supaya tidak terusir atau dibunuh musuh (penyerang), adalah alasan yang tidak logis. Apakah tujuan perang tersebut untuk menambah orang bermarga Matanari?. Selayaknya, jika tawanan tidak dibunuh penyerang maka kemudian mereka akan melarikan diri atau pindah ke daerah lain. Kenapa Padang Batanghari (yang terusir) harus kembali ke Sileuh?, di zaman itu masih banyak lahan kosong di daerah Pegagan bukan?, atau kenapa tidak pergi ke Silalahi (kuta anak berru?) jika benar Pinggan Matio adalah berru Padang Batanghari?. Atau ke daerah wilayah Pakpak Suak Keppas (sekitar Sidikalang) yang masih jauh lebih dekat dari Sileuh,,.? Berapa orang (keluarga) yang terusir dan kembali ke Sileuh?., dan berapa orang (keluarga) yang tertawan yang merobah marga menjadi Matanari (siapa namanya)?. Tidak logis keluarga Padang Batanghari (suami + istri + anak-anak) yang terusir dari Balna Sikabeng-kabeng kembali ke Sileuh karena jarak ini relatip jauh dan sangat luas lahan kosong yang harus dilewati pada zaman itu bukan?.

Jika benar si Umar Matanari dan Arden Matanari, dkk mengaku adalah keturunan Padang Batanghari (menjadi marga Matanari), maka mereka telah membeberkan aibnya sendiri bukan.?. Akibat pernyataan mereka, kami Matanari dapat mengikuti apa keinginan mereka yang sebenarnya. Mungkinkah,,? mereka adalah keturunan orang pendatang menjadi anak angkat keturunan Raja Matanari:? Mpung kami keturunan Raja Matanari sangat merindukan marga Matanari banyak jumlahnya, demikian juga kami sekarang. Ada semboyan mpung kami keturunan Raja Matanari, sedangkan batang pohon pisang ni gana (kita pahat berbentuk) manusia agar ada teman, apalagi dia manusia. Semboyan inilah yang menyebabkan tanah wilayat raja Matanari mudah (gampang) diberikannya kepada orang pendatang, yang umumnya adalah suku Batak Toba. Kejadian mengakui anak angkat menjadi keturunannya, adalah hal yang umum (biasa) terjadi pada marga-marga lain (tidak hanya pada marga Matanari). Akan tetapi, walaupun posisi anak angkat, selama ini mereka tetap kami hargai dan memasukkan mereka dalam Trombo Matanari sebagai keturunan ompung kami, kecuali mereka mau meminta nama mereka dihapus dari Trombo Matanari, dengan tanpa rasa menyesal akan kami kabulkan. Bagi kami anak kandung dan anak angkat sama harkat kemanusiaannya, sehingga tidak pernah kami beda-bedakan. Menurut kami Matanari, lebih gentelemenlah si Umar Matanari dan si Arden Matanari, dkk mengganti marganya dan kembali ke si Leuh (kecamatan Kerajaan) serta membawa tulang-belulang orangtuanya bukan?. Agar mereka kembali menjadi marga Padang Batanghari. Kasihan mereka bukan?, marganyapun sudah dijual (ganti) menjadi Matanari hanya demi dapat tinggal di kampung kita?. Bakune mo ke kaltu.?.Mella kami mendokken, sedaroh mo kita, oda i bedaken kami anak kandung dekket anak

angkat..Tapi mella i dokken ke, ke oda marga Matanari be, bagi Matanari oda lot masalah kaltu, tadingken ke saja mo kuta ntai asa sloh bai nene ulang pailailaken mendahi Pagang Batanghari, laos mo ke mi Sileuh, mi kuta ni Padang Batanghari. Njuah-njuah kita karina. ( Artinya, bagaimana kalian ini kawan?. Kalau kami menganggap, kita tetap satu kesatuan, tidak kami bedakan anak kandung dengan anak angkat. Akan tetapi kalau kalian katakan, bahwa kalian bukan Matanari, bagi kami Matanari bukan masalah, tinggalkan sajalah kampung kita itu, pergilah ke Sileuh, ke kampung marga Padang Batanghari.. Salam buat kita semua). Raja Matanari, selain mempunyai keturunan anak laki-laki yang telah mencapai sekitar 18-19 generasi sampai sekarang, juga mempunyai putri (berru). Keturunan sebagian anak perempuan (berru) kemungkinan sudah melebihi 19 generasi. Laju generasi marga Matanari adalah relatip terlambat dan jumlahnya relatip sedikit sekali. Mungkin hal ini terjadi akibat mpung kami keturunan Raja Matanari banyak yang mengikuti aliran ilmu hitam (animisme). Beberapa generasi keturunan Raja Matanari hanya mempunyai satu anak yang berikutnya mempunyai keturunan dan ada tidak berketurunan. Generasi ke-8 keturunan Raja Matanari j hanya 6 (enam) orang yang berketurunan, yang lainnya tidak berketurunan, atau pergi merantau..?. Penyusunan Trombo secara tertulis dimulai sejak sekitar tahun 1970 adalah berdasarkan ceritra dari keturunan masingmasing, siapa-siapa nama mpung mereka. Jadi kalau ada yang tidak berketurunan, ataupun pergi merantau dan tidak kembali ataupun tidak memberi kabar maka nama mpung mereka otomatis tidak tercatat dalam Trombo Matanari. Masuknya ajaran agama Islam ataupun agama Kristen ke daerah Balna Sikabeng-kabeng dan sekitarnya lebih terlambat dibanding di daerah lain. Orang Pakpak cukup terkenal memakan daging manusia (musuhnya) bahkan tengkorak manusia tersebut digantungkan di Bale (Jambur) sebagai bukti kehebatan penghuni kampung. Jadi dosa kesalahan orang Pakpak (terutama Matanari) pada zaman dahulu dan mungkin sampai sekarang adalah sangat besar. Untuk itu kami mewakili keturunan Raja Matanari, memohon maaf yang sebesarbesarnya, kepada orang-orang yang pernah dirugikan atau teraniaya ataupun kepada keturunannya, terlebih kepada Tuhan Maha Pengasih dan Penyayang. Anak perempuan (berru) dari Raja Matanari dan dari keturunannya yang cukup terkenal (tokoh berru) adalah sebagai berikut: 1. Pinggan Matio berru Matanari istri Raja Silalahisabungan (sebagai Upah Raja Silalahisabungan karena telah berhasil mengobati penyakit istri Raja Matanari). 2. Ranimbani berru Matanari istri Raja Sihaloho putra Raja Silalahisabungan. 3. Adek si Ranimbani berru Matanari istri Raja Bintang 4. Adek si Ranimbani berru Matanari istri Raja Maha. 5. Rumintang berru Matanari istri si Raja Onggu keturunan Ruma Sondi (Pohon Beringin yang ditanam si Pinggan Matio di Balna Sikabeng-kabeng diyakini masyarakat sebagai tempat keramat, disebut Sembahan si Raja Onggu- Rumintang berru

Matanari). 6. Siberru Taren berru Matanari istri Raja Manungkun keturunan Batu Raja., yang mendapat tanah Rading Berru di Tamberro. Kami Matanari mengakui, bahwa sesama kami keturunan Raja Matahari sering berkelahi bahkan berperang, akibatnya ada sebahagian mereka keturunan mpung kami pergi merantau. Mereka sebagian belum kami ketahui kabarnya, apakah mereka tetap marga Matanari atau telah merobah marganya menjadi marga lain juga belum kami ketahui. Mungkinkah keturunan hulubalang Raja Matanari (Paroltep) adalah anak keturunan Raja Matanari menjadi marga lain? Kami sangat merindukan mereka, kami menginginkan marga Matanari lebih besar jumlahnya, makin kuat eksistensinya, sehingga tidak terjadi lagi diperantauan penggantian marga Matanari menjadi marga Sihotang, Karo-Karo, Sinulingga, Sitepu dan lain lain. Sebahagian keturunan Raja Matanari mengaku dirinya keturunan Oppu Saggapulo putra Oppu Borsak Sihotang Pardabuan Uruk adalah pengaruh ikatan (Pesta) SILIMA TALI di Sumbul Pegagan sekitar tahun 1957. Ikatan dan Pesta Silima Tali diadakan adalah berdasarkan pada kepentingan yang saling menguntungkan antara suku Pakpak suak Pegagan (Matanari, Manik dan Lingga) dengan suku Batak Toba (marga Sihotang). Orang Pakpak suak Pegagan ingin mempermudah segala urusan (kepentingan) yang berkaitan dengan berbagai urusan terutama bidang pemerintahan yang pada zaman tersebut berpusat di Tarutung. Demikian juga Sihotang ingin memperkuat eksistensinya di daerah Pakpak suak Pegagan maupun suak Keppas. Matanari memberikan tanah dan parhutaan kepada marga Sihotang, disebut huta Sihotang dekat Balna Sikabeng-kabeng. Ikatan (Pesta) Silima Tali terdiri dari 5 unsur yaitu (1) Sihotang, (2) Matanari, (3) Manik, (4) Lingga dan (5) marga-marga Berru-Berre dari 4 margatersebut di atas. Pesta (Ikatan) Silima Tali, menjalin ikrar bahwa 4 marga tersebut di atas dinyatakan Sisada Anak dan Sisada Berru. Pada waktu selanjutnya, pengaruh Pesta (ikatan) Silima Tali menjadi lebih besar pada marga Matanari. Yaitu menyebabkan marga Matanari sebahagian melupakan ikrar sisada anak sisada berru, yakni berubah menjadi mengakui bahwa marga Matanari adalah anak (keturunan) Oppu Saggapulo putra Oppu Borsak Sihotang Pardabuan Uruk Kenyataan ini terjadi tidak lepas dari akibat jumlah keturunan marga Raja Matanari sangat sedikit dan pendidikan masih terbelakang, sebaliknya marga Sihotang jumlah keturunannya banyak dan berpendidikan lebih maju,. Selain marga Matanari, juga marga Manik dan sebahagian marga Lingga mengaku keturunan marga Sihotang. Hal ini terjadi dengan alas an yang hamper sama dengan yang telah diuraikan diatas (kepentingan yang saling menguntungkan). Demikian halnya, pengaruh marga Sihotang berpengaruh besar sampai pada marga marga Pakpak Kepas (Raja Udjung, Raja Angkat, Raja Bintang, Raja Capah, Raja Gajah Manik, Raja Kudadiri dan Raja Sinamo), ke tanah karo Simalem marga Sitepu dan semua marga Karo-karo umumnya, di daerah Simalungun marga Sitopu, Semua marga-marga tersebut di atas,

terutama di daerah perantauan merasa (mengaku) satu dengan marga Sihotang. Sehingga ada beberapa orang menyebutkan istilah Sihali Mas (singkatan dari: Sihotang, Hasugian, Lingga, Manik, Matanari, Sitepu, Sitopu dan Semua yang termasuk Karo-Karo Mergana), yang artinya adalah Pengali Emas atau Penggali Emas. Harus diakui bahwa marga Sihotang cukup hebat menjalin persaudaraan dalam suku Batak Toba, Pakpak, Karo dan Simalungun. Horas.Njuah-njuah.Mejuah-juah buat yang kami hormati Oppung/ Bapa/ Abang/ Adek/ Anak/ Cucu marga Sihotang di mana pun mereka berada.. Demikian disampaikan untuk diketahui semua halayak, dan dengan demikian diharapkan bahwa: 1. Tidak ada lagi keturunan raja (marga) Padang Batanghari yang mengakupernah tinggal di Balna Sikabeng-kabeng (mulai si Lantak sampai keturunannya generasi ke-8) kemudian terusir dan kembali ke Sileuh akibat perang. 2. Marga Matanari dengan Sihotang adalah Sisada Anak Sisada Berru berdasarkan Pesta (ikatan) Silima Tali sekitar tahun 1957 di Sumbul Pegagan, jadi marga Matanari bukanlah keturunan (anak) Oppu Saggapulo putra Oppu Borsak Sihotang Pardabuan Uruk, melainkan Matanari, Manik dan Lingga adalah anak (keturunan) Pakpak Suak Pegagan.

You might also like