You are on page 1of 105

1

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Luas kawasan hutan di Indonesia tercatat jumlahnya kurang lebih 136,88 juta hektar, termasuk kawasan konservasi perairan. Sebagai negara yang terletak pada kawasan tropis dunia, hutan Indonesia terdiri dari 15 formasi hutan dan sebagian besar didominasi oleh tipe hutan hujan tropis. Hutan tropis Indonesia dikenal sebagai tempat megadiversity sehingga menjadi pusat konsentrasi keragaman hayati, baik di daratan maupun perairan.1 Sektor kehutanan telah memberikan kontribusi secara signifikan dalam pertumbuhan ekonomi nasional, pada periode tahun 1990-1995 sektor kehutanan Indonesia menguasai pasar kayu tropis (hardwood) dunia, dan menyumbangkan devisa 16 miliar dolar AS/tahun dan terbesar ke-2 setelah migas. Industri kehutanan juga memberikan multiplier effect terhadap peningkatan sosial-ekonomi bagi masyarakat di sekitar hutan berupa kesempatan kerja, infrastruktur dan percepatan pembangunan wilayah. Namun, sejak lima tahun terakhir, kinerja produksi dan ekspor industri kehutanan (kecuali pulp) mengalami kemerosotan. Industri kehutanan saat ini menghadapi berbagai permasalahan, seperti penurunan secara drastis khususnya bahan baku industri (BBI) dari hutan alam. Industri kehutanan belum siap menggunakan BBI kayu fast growing species berdiameter kecil, inefisiensi produksi, biaya ekonomi tinggi, distorsi pasar akibat krisis ekonomi global, dukungan kebijakan dan regulasi kurang kondusif, serta hambatan eksternal trade barrier dan isu lingkungan. Jika keadaan tersebut berlanjut, dikhawatirkan industri kehutanan semakin terpuruk dan kalah dalam persaingan di pasar global.2

Kementerian Kehutanan, Rencana Strategis 2010-2014, (Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P.08/Menhut-II/2010 Tentang Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun 2010-2014) hlm 4 2 http://agroindonesia.co.id/2010/10/11/selamatkan-industri-kehutanan-nasional/ Dibuka tanggal 21-01-2011

Pembangunan kehutanan tahun 2011 secara umum dilatarbelakangi dengan kondisi bahwa perspektif optimalisasi pemanfaatan hutan perlu lebih dikembangkan tidak hanya bertumpu pada produk kayu tetapi juga hasil hutan bukan kayu dan jasa lingkungan sebagai penyedia udara bersih, penyerap karbon, keanekaragaman hayati, penyedia air dan wisata alam. Era sektor kehutanan yang berbasis kayu dan diluar kemampuan hutan untuk memproduksinya sudah saatnya dibatasi dan selanjutnya dilakukan penggalian potensi di luar kayu. Banyak ahli yang berpendapat bahwa kayu berkontribusi hanya sebesar 1% dari seluruh potensi hutan yang ada, dan ketika pohon di eksploitasi, 99% potensi lainnya ikut hilang3 Kementrian kehutanan mencatat, di dalam dan di sekitar kawasan hutan di Indonesia terdapat masyarakat yang kehidupannya terkait erat dengan hutan. Pada tahun 2003 dari 220 juta penduduk Indonesia terdapat 48,8 juta orang diantaranya tinggal di pedesaan sekitar kawasan hutan, dan kurang lebih 10,2 juta secara struktural termasuk kategori miskin/tertinggal. Penduduk tersebut sebagian bermata pencaharian

langsung dari hutan yang ada disekitarnya, sedangkan yang bekerja disektor swasta kurang lebih 3,4 juta orang. Upaya untuk meningkatkan kondisi sosial masyarakat di dalam dan sekitar hutan yang dilakukan pemerintah antara lain melalui Pembangunan Masyarakat Desa Hutan (PMDH) oleh para pemegang Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan (IUPHH)/Hak Pengusahaan Hutan (HPH) di luar Pulau Jawa dan serta Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) di Pulau Jawa, kemasyarakatan, hutan rakyat dan hutan desa.4 Namun demikian, pengelolaan dan pemanfaatan hutan seringkali diikuti dengan munculnya konflik. CIFOR dan FWI menyatakan bahwa antara tahun 1997 2003, terdapat 359 kasus konflik. Sebesar 39% konflik
3

bentuk pemberdayaan masyarakat lainnya seperti melalui kegiatan hutan

Sambutan Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan Pada Pembukaan Rakornis Ditjen Planologi Kehutanan Tahun 2010, Jakarta, Rapat Koordinasi Teknis Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan Tahun 2010, 26 Juli 2010 4 Ibid hlm 7

terjadi di areal HTI, 34% di kawasan konservasi (termasuk hutan lindung dan taman nasional), dan 27% di areal HPH. Akibat konflik ini, warga masyarakat sebagai pihak yang lemah kehilangan hak atas hutan atau dipenjara bahkan sering terjadi korban jiwa karena dianggap menghuni kawasan hutan negara secara melawan hukum atau illegal.5 Hasil pendokumentasian HuMa dan mitranya, sedikitnya 69 kasus sengketa Kehutanan yang terjadi di sepuluh Provinsi.6 Sementara itu, KPA mencatat, konflik agraria khususnya di sektor kehutanan mengalami peningkatan dalam setahun terakhir. Konflik itu melibatkan masyarakat dan perusahaan. Data dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat sepanjang 2011 terdapat 163 konflik agraria atau meningkat 35% jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang hanya 106 konflik. Sebanyak 33 koflik di antaranya merupakan konflik yang berada di areal kehutanan.7 Berdasarkan fakta-fakta pengelolaan hutan dan kondisi kehutanan

umumnya, Kementrian Kehutanan menyusun kerangka kerja jangka panjang untuk memperbaiki posisi sektor kehutanan dalam pembangunan bangsa. Kondisi sumberdaya hutan yang secara kualitas semakin menurun, maka esensi pembangunan kehutanan dalam 20 tahun kedepan dimulai dari awal periode Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN), adalah mengoptimalkan pemanfaatan potensi yang masih ada, melalui penerapan secara ketat kaidah-kaidah pengelolaan hutan lestari, termasuk fungsi mencegah laju kerusakan, serta melakukan percepatan arah rehabilitasi hutan dan lahan yang telah terdegradasi guna memulihkan dan/atau meningkatkan produktivitasnya. Berdasarkan kebijakan dan strategi pembangunan nasional di atas ditetapkan visi pembangunan kehutanan dalam Renstra Kementerian Kehutanan Tahun
5

Cahya Wulan, Yuliana, Purba, Christian, Yasmi, Yurdi, Wollenberg, Eva, 2004, Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 2003, Bogor: Center for International Forestry Research, hal. 1 dan 8 6 http://nasional.kompas.com/read/2011/11/17/11370470/Konflik.Kehutanan.Mencemaska n. Dibuka tanggal 21-01-2011 7 Media Indonesia, Jumat, 06 Januari 2012, http://idsps.org/idsps-news-indonesia/beritamedia/kemenhut-terus-atasi-konflik-kehutanan/

2010-2014, yaitu Hutan Lestari Untuk Kesejahteraan Masyarakat Yang Berkeadilan.8 Ketika isu perubahan iklim bergulir, hutan Indonesia menjadi sorotan dunia. Masyarakat dunia mengharapkan hutan Indonesia memberikan kontribusi penting terhadap penyerapan dan penyimpanan karbon yang menjadi satu penyebab terjadinya perubahan iklim. Untuk itu Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi gas-gas rumahkaca sebanyak 26 persen dari level business as usual, pada tahun 2020, atau 41 persen bila ada bantuan keuangan dari negara-negara maju. Pengumuman ini dibuat oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di pertemuan G20 di Pittsburgh, Pennsylvania, Amerika Serikat, pada September 2009.9 Sebagai tindak lanjut kongkrit dari komitmen tersebut, pemerintah Indonesia telah menerbitkan Inpres No 10 Tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Inpres ini dikeluarkan bulan Mei 2011 untuk memerintahkan 10 Institusi Pemerintah segera mengambil langkahlangkah penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan dengan menunda pemberian izin baru hutan alam primer dan lahan gambut yang berada di hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi (hutan produksi terbatas, hutan produksi biasa/tetap, hutan produksi yang dapat dikonversi) dan area penggunaan lain sebagaimana tercantum dalam Peta Indikatif Penundaan Izin Baru yang menjadi Lampiran Instruksi Presiden. Merespons Inpres ini, Kementerian Kehutanan pun mengeluarkan SK 323/Menhut-II/2011 tentang Penetapan Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru Pemanfaatan Hutan, Penggunaan Kawasan Hutan dan Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan Areal Penggunaan Lain. Kementrian Kehutanan dalam Renstranya telah mempertimbangkan sebagai respon terhadap pengurusutamaan pembangunan berkelanjutan
8

Opcit, Kementerian Kehutanan, Rencana Strategis 2010-2014, (Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P.08/Menhut-II/2010 Tentang Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun 2010-2014) hlm 4 9 http://iklimkarbon.com/2010/02/24/komitmen-penurunan-emisi-indonesia2020%E2%80%A8-26-%E2%80%93-41-di-bawah-bau/ dibuka tanggal 21-01-2012

guna mewujudkan kelestarian pemanfaatan sumberdaya hutan, serta respon terhadap pengurusutamaan perubahan iklim menuju penurunan emisi karbon sektor kehutanan sebesar kurang lebih 13% pada tahun 2020 melalui upaya-upaya sistematis dalam skema mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim.10 Bangsa Indonesia, telah menyadari berbagai masalah yang muncul dalam pemanfaatan kekayaan alam ini sudah lama berlangsung. Sehingga poinpoin penting mengenai ini beserta langkah penyelesaiannya telah menjadi komitmen bangsa yang tertuang dalam dokumen negara yaitu TAP IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam memerintahkan kualitas sejumlah langkah-langkah menghapus dan konkrit untuk struktur serta mewujudkan pembaruan agraria dan pengelolan sumber daya alam mendukung penguasaan, lingkungan, ketimpangan pemilikan, penggunaan pemanfaatannya

mencegah konflik. Pada pasal 5 disebutkan bahwa arah kebijakan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam adalah : a. Melakukan sinkronisasi pengkajian kebijakan ulang terhadap demi berbagai terwujudnya pada peraturan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan agraria dalam rangka antarsektor yang perundang-undangan b. Melaksanakan didasarkan kembali prinsip-prinsip pemilikan,

sebagaimana dimaksud Pasal 4 Ketetapan ini. penataan penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat. c. Menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui inventarisasi dan registrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah secara komprehensif dan sistematis dalam rangka pelaksanaan landreform. d. Menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya agraria yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang guna menjamin terlaksananya
10

Renstra Kehutanan halaman 67

penegakan e. Memperkuat

hukum

dengan dan

didasarkan

atas

prinsip-prinsip dalam rangka

sebagaimana dimaksud Pasal 4 Ketetapan ini. kelembagaan kewenangannya mengemban pelaksanaan pembaruan agraria dan menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya agraria yang terjadi. f. Mengupayakan dengan sungguh-sungguh pembiayaan dalam melaksanakan program pembaruan agraria dan penyelesaian konflikkonflik sumber daya agraria yang terjadi. Arah kebijakan dalam pengelolaan sumber daya alam adalah : a. Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam dalam rangka sinkronisasi kebijakan antarsektor yang berdasarkan Ketetapan ini. b. Mewujudkan optimalisasi pemanfaatan berbagai sumber daya alam melalui identifikasi dan inventarisasi kualitas dan kuantitas sumber daya alam sebagai potensi pembangunan nasional. c. Memperluas pemberian akses informasi kepada masyarakat mengenai potensi sumber daya alam di daerahnya dan mendorong terwujudnya tanggung jawab sosial untuk menggunakan teknologi ramah lingkungan termasuk teknologi tradisional. d. Memperhatikan sifat dan karakteristik dari berbagai jenis sumber daya alam dan melakukan upaya-upaya meningkatkan nilai tambah dari produk sumber daya alam tersebut. e. Menyelesaikan konflik-konflik pemanfaatan sumber daya alam yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 4 Ketetapan ini. f. Mengupayakan pemulihan ekosistem yang telah rusak akibat eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan. prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 4

7 g.

Menyusun strategi pemanfaatan sumber daya alam yang didasarkan pada optimalisasi
11

manfaat

dengan

memperhatikan

potensi,

kontribusi, kepentingan masyarakat dan kondisi daerah maupun nasional.

Terkait dengan konflik kehutanan, guna mengatasi dan mencegah konflik meluas, Kementerian Kehutanan (Kemenhut) menggunakan berbagai macam langkah-langkah, termasuk memberdayakan masyarakat yang tinggal di areal konflik. Kita harus jamin kepastian dan keadilan, harus berdayakan masyarakat. Jangan justru membuat pagar berduri, tapi pagar mangkuk atau kesejahteraan bagi masyarakat, kata Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan, Rabu (4/1).12 Selain itu, Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan mengatakan pada 2012 kementeriannya berfokus menyelesaikan konflik lahan. Tahun depan, pemanfaatan lahan diutamakan untuk masyarakat. Pengusaha nanti dulu, ujar Zulkifli di kantornya, Rabu, 28 Desember 2011. Program penyelesaian konflik ini, menurut Zulkifli, bakal melibatkan pemerintah daerah dan didukung lembaga swadaya masyarakat. Pemerintah daerah, dia menjelaskan, berperan membagi lahan kepada masyarakat. Sedangkan LSM kebagian tugas mendata lahan yang disengketakan.13 Salah satu konflik kehutanan yang mengemuka kepermukaan dua bulan terakhir ini adalah konflik kehutanan yang terjadi di Pulau Padang Riau. Kasus ini bermula dari terbitnya Surat keputusan yang menambah luasan areal HTI PT. Riau Andalan Pulp & Paper (PT. RAPP) seluas 235.140 hektar menjadi 350.167 hektar pada tahun 2009. Dari jumlah itu, 41.205 hektar

11

Oleh UU No 12 Tahun 2011, TAP ini telah ditempatkan dalam struktur peraturan perundang-undangan di bawah UUD 1945 dan di atas Undang-undang. Karena itu, TAP ini harus dijalankan oleh berbagai regim hukum sumber daya alam, termasuk bidang kehutanan. 12 Media Indonesia, Jumat, 06 Januari 2012, http://idsps.org/idsps-news-indonesia/beritamedia/kemenhut-terus-atasi-konflik-kehutanan/dibuka tanggal 21-01-2011 13 http://www.tempo.co/read/news/2011/12/29/206374192/2012-Menteri-KehutananBereskan-Konflik-Lahan, dibuka tanggal 21-01-2012

berada di Pulau Padang.14 Perluasan ini mendapat penolakan dari masyarakat Pulau Padang dan lembaga swadaya masyarakat dengan alasan utama yaitu 1) pelanggaran proses perizinan, 2) isu lingkungan terkait dengan Pulau Padang sebagai pulau yang seluruh daerahnya terdiri dari lahan gambut dalam dan 3) tumpang tindihnya pemanfaatan lahan dan hutan di Pulau Padang yang dilakukan oleh masyarakat dengan area konsesi perusahaan. Konflik ini kemudian mengemuka di mediamedia nasional seiring dengan aksi jahit mulut yang dilakukan perwakilan warga Pulau Padang di depan gedung DPR RI. Mensikapi hal tersebut, kementrian kehutanan kemudian mengambil dua opsi yaitu 1) meminta rekomendasi pencabutan/pengurangan izin dari pemerintah daerah dan 2) membentuk tim mediasi konflik tersebut. Tim mediasi konflik ini dibentuk berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : SK.736/Menhut-II/2011II/2011 Tentang Pembentukan Tim Mediasi Penyelesaian Tuntutan Masyarakat Setempat Terhadap Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman Pulau Padang Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau. 1.2. Tujuan dan Sasaran (IUPHHK-HT) di

Laporan ini adalah laporan hasil kerja tim yang bertujuan untuk : 1. Menjelaskan posisi kasus Pulau Padang, dan keinginan para pihak terkait dengan penyelesaian kasus tersebut. 2. Memberikan gambaran arah penyelesaian dan rekomendasirekomendasi kepada Kementrian Kehutanan. 1.3. Proses Mediasi

Menteri Kehutanan melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : SK.736/Menhut-II/2011II/2011 Penyelesaian


14

Tentang

Pembentukan

Tim Ijin

Mediasi Usaha

Tuntutan

Masyarakat

Setempat

Terhadap

http://cetak.kompas.com/read/2011/12/21/03523413/jahit.mulut.warga.pulau.padang.b erlanjut., dibuka tanggal 21-01-2011

Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) di Pulau Padang Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau Menteri Kehutanan memberikan tugas kepada tim sebagai berikut :
1. Melakukan desk analisis atas data dan informasi perijinan hutan

tanaman dan tuntutan masyarakat setempat; 2. Mengumpulkan lapangan; 3. Mengumpulkan masukan dari para pakar berbagai bidang terkait tuntutan masyarakat setempat; 4. Melakukan pertemuan dengan berbagai stakeholder terkait dengan tuntutan masyarakat; 5. Melaksanakan mediasi terhadap masyarakat setempat; 6. Melaporkan hasil kerja Tim kepada Menteri Kehutanan paling lambat pada minggu IV bulan Januari 2012. Felix Oentoeng Soebagjo, Partner, Konsultan Hukum pada Soebagjo, Jatim, Djarot - Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada mendeskripsikan pengertian mediasi diantaranya 1) Mediasi adalah proses negosiasi penyelesaian masalah (sengketa) dimana suatu pihak luar, tidak memihak, netral, tidak bekerja dengan para pihak yang besengketa, membantu mereka (yang bersengketa) mencapai suatu kesepakatan hasil negosiasi yang memuaskan (Goodpaster, 1999 : 241), 2) Mediation is a process in which two or more people involved in a dispute come together, to try to work out a solution to their problem with the help of a neutral third person, called the Mediator (Lovenheim, 1996 : 1.3) dan 3) Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa yang melibatkan mediator untuk membantu para pihak yang bersengketa guna mencapai penyelesaian dalam bentuk kesepakatan sukarela terhadap sebagian atau seluruh permasalahan yang disengketakan (PBI No. 8/5/PBI/2006, angka 5). Dari perumusan-perumusan diatas dapat disimpulkan bahwa 1) Tidak sebagaimana halnya seorang hakim atau arbiter, seorang mediator tidak dalam posisi (tidak mempunyai kewenangan) untuk memutus sengketa dan menelaah fakta, data dan informasi di

10

para pihak, 2) Tugas dan kewenangan mediator hanya membantu dan memfasilitasi pihak pihak yang bersengketa dapat mencapai suatu keadaan untuk dapat mengadakan kesepakatan tentang hal-hal yang disengketakan. The assumption.is that third party will be able to alter the power and social dynamics of the conflict relationship by influencing the beliefs and behaviors of individual parties, by providing knowledge and information , or by using a more effective negotiation process and thereby helping the participants to settle contested issues (Goodpaster, Tinjauan Dalam Penyelesaian Sengketa, dalam Soebagjo dan Radjagukguk, 1995 : 11-12 ) dan 3) 3. Mediasi adalah Non-Coercive. Ini berarti bahwa tidak ada suatu sengketa (yang diselesaikan melalaui jalur mediasi) akan dapat diselesaikan, kecuali hal tersebut disepakati / disetujui bersama oleh pihak-pihak yang bersengketa.15 Di Indonesia, mediasi adalah sebuah cara penyelesaian sengketa

alternatif yang diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan diantaranya yaitu; 1) UU-30 /1999 (Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli), 2) PP-54/2000 (Mediator atau Pihak ketiga lainnya adalah seorang atau lebih yang ditunjuk dan diterima oleh para pihak yang bersengketa dalam rangka penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan) dan 3) PERMA NO. 01 TAHUN 2008 (Cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator (Pasal 1 angka 7)).

15

Felix Oentoeng Soebagjo, Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Dibidang Perbankan, bahan Diskusi Terbatas Pelaksanaan Mediasi Perbankan oleh Bank Indonesia Dan Pembentukan Lembaga Independen Mediasi Perbankan. Kerjasama Magister Hukum Bisnis Dan Kenegaraan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Dan Bank Indonesia. Yogyakarta, 21 Maret 2007, hlm 1

11

Berdasarkan pengertian

mediasi dan tugas-tugas yang ada dalam SK

Menteri Kehutanan Nomor : SK.736/Menhut-II/2011II/2011 tersebut, tim kemudian menterjemahkan menjadi tahapan mediasi yaitu :

1.2 Tim Mediasi a. Dasar Hukum : 1. SK.736/Menhut-II/2011 tanggal 27 Desember 2011 tentang

Pembentukan Tim Mediasi Penyelesaian Tuntutan Masyarakat Setempat Terhadap Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) di Pulau Padang Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau. 2. Surat Perintah Tugas Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan Nomor : PT.I/II-KUM/2012 tanggal 3 Januari 2012. 3. Surat Perintah tugas Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan Nomor : PT.I/II-KUM/2012 tanggal 3 Januari 2012. b. Tugas dan Tanggungjawab :

12 1) Melakukan desk analisys atas data dan informasi perijinan hutan

tanaman dan tuntutan masyarakat setempat; 2) Mengumpulkan lapangan; 3) Mengumpulkan masukan dari para pakar berbagai bidang terkait tuntutan masyarakat setempat; 4) Melakukan pertemuan dengan berbagai stakeholder terkait dengan tuntutan masyarakat; 5) Melaksanakan mediasi terhadap masyarakat setempat; 6) Melaporkan hasil kerja Tim kepada Menteri Kehutanan paling lambat pada minggu IV bulan Januari 2012. c. Susunan Tim Mediasi Pengarah Kehutanan 3. Ketua Presidium DKN Ketua : Andiko SH (Presidium DKN-Ketua Perkumpulan : 1. Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan 2. Staf Ahli Hubungan Antar Lembaga Kementerian dan menelaah fakta, data dan informasi di

Huma/LSM) Sekretaris : Ir. Timbul Batubara MSi (Kasubdit Rencana Kerja dan Produksi Ditjen BUK) Anggota Tim : 1. Dr. Ir. Edy Batara Mulya Siregar (Presidium DKN-Dosen Universitas Sumatera Utara)
2. Jomi Suhendri, SH (Presidium DKN-Wakil Masyarakat)

3. Ir. Iman Harmaen, MBA (Presidium DKN-Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia) 4. Ahmad Zazali (Presidium DKN-Scaleup Riau/LSM)

13

5. Dr. Ir. Wawan, MP (Tim Pakar Independent Post Evaluation Terhadap Rencana Dan Pelaksanaan Pengelolaan Ekohidro Di Areal Kerja PT. RAPP Di Lahan Gambut HTI-Ring Semenanjung Kampar Riau-Dosen Universitas Riau) 6. Ir. Agus Setiadi (Plt Kasubdit Penyiapan Areal Pemanfaatan Hutan Ditjen Planologi)
7. Iman Sukendar,S.Hut, M.Si (Dinas Kehutanan Propinsi Riau) 8. Kaselan S.Hut (Dinas Kehutanan Dishutbun Kab.Kep.Meranti)

9. Camat Kecamatan Tanjung Belitung. Pada tahap Pra Mediasi, tim mendapat tugas sesuai SK Menhut sebagai berikut :
1. Melakukan desk analisis atas data dan informasi perijinan hutan

tanaman dan tuntutan masyarakat setempat; 2. Mengumpulkan lapangan; 3. Mengumpulkan masukan dari para pakar berbagai bidang terkait tuntutan masyarakat setempat; 4. Melakukan pertemuan dengan berbagai stakeholder terkait dengan tuntutan masyarakat; Dalam melaksanakan aktifitas Pra Mediasi, Tim Mediasi telah melakukan kegiatan-kegiatan sebagai berikut : a) Melakukan penggalian data kepada pihak-pihak terkait seperti masyarakat, Masyarakat b) Melakukan masyarakat, Masyarakat wawancara perusahaan, dengan pihak-pihak terkait seperti pemerintah (Kementrian Kehutanan, perusahaan, pemerintah (Kementrian Kehutanan, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten) dan Lembaga Swadaya dan menelaah fakta, data dan informasi di

Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten) dan Lembaga Swadaya

14

c) Melakukan investigasi lapangan untuk mencari data-data primer melalui teknik wawancara, diskusi terfokus dan observasi lapangan. d) Melakukan diskusi terfokus dengan para pakar. e) Menggali pilihan-pilihan penyelesaian kasus kepada para pihak terkait.
f) Melakukan analisis data.

Output dari kegiatan-kegiatan pra mediasi (tugas 1-4) dihasilkan Laporan Akhir yang berisi antara lain : 1. Gambaran Konflik PT. RAPP dan masyarakat di Pulau Padang 2. Kronologis Konflik 3. Temuan Investigasi 4. Analisis Temuan 5. Rekomendasi

Selanjutnya, untuk melaksanakan tugas ke lima, yaitu melaksanakan proses mediasi diperlukan sejumlah prasyarat, antara lain : 1. Mendapatkan mandat dari para pihak tentang kesediaan untuk dimediasi 2. Membangun Kesepakatan Para Pihak tentang protokol Mediasi (Subjek-Objek-Mediator) 3. Proses Mediasi-Perundingan Antar Pihak dipandu Mediator 4. Kesepakatan para pihak terhadap hasil mediasi

15

BAB II DATA, FAKTA DAN INFORMASI LAPANGAN


A. DESKRIPSI PULAU PADANG 1. Topografi dan Demografi Pulau Padang Berdasarkan letak geografis, Pulau Padang terletak di sebelah timur Pulau Sumatera yang dipisahkan dengan Selat Panjang, dengan batas wilayah sebagai berikut : - Sebelah barat dengan pulau Sumatera - sebelah timur dengan pulau Merbau - Sebelah tenggara denan pulau Rantau - sebelah Utara dengan pulau Bengkalis Panjang Pulau Padang dari utara ke Selatan adalah 60 km, lebarnya 29 km dan sebagian besar merupakan areal dengan topografi datar/landai dengan ketinggian 0-6 m dpl. Berdasarkan wilayah administratif pemerintahan, Pulau Padang termasuk wilayah Kecamatan Merbau, Kabupaten Kepulauan Meranti, Propinsi Riau. Kabupaten Kepulauan Meranti merupakan kabupaten termuda di Propinsi Riau yang baru berdiri tahun 2009 sebagai pemekaran wilayah Kabupaten Bengkalis. Wilayah Kabupaten Kepulauan Meranti terdiri dari 13 pulau-pulau kecil yaitu pulau Tebing Tinggi, Pulau Padang, Pulau Merbau, Pulau Ransang, Pulau Topang, Pulau Manggung, Pulau Panjang, Pulau Jadi, Pulau Setahun, Pulau Tiga, Pulau Baru, Pulau Paning, dan Pulau Dedap. Sebagai daerah Kepulauan, Kabupaten Kepulauan Meranti merupakan daerah yang terdiri dari daratan-daratan rendah, dengan ketinggian rata-rata sekitar 1-6,4 meter diatas permukaan laut. Didaerah ini juga terdapat beberapa sungai dan tasik (danau) seperti Sungai Siur dan

16

Tasik Nembus di Pulau Tebing Tinggi; Sungai Merbau, Sungai Selat Akar dan Tasik Putri Puyu di Pulau Padang; Tasik Air Putih dan Tasik Penyagun di Pulau Rangsang. Gugusan daerah pulau ini terdapat beberapa pulau seperti Pulau Tebingtinggi (1.438,83 km2), Pulau Rangsang (922,10 km2), Pulau Padang (1.109 km2) dan Pulau Merbau (1.348, 91 km2). Sebelum pemekaran, Kecamatan Merbau terdiri dari Pulau Padang, Pulau Merbau dan Pulau Dedap. Namun setelah pemekaran Kecamatan Merbau tinggal Pulau Padang dan Pulau Dedap. Pulau Padang terdiri dari 13 desa dan 1 kelurahan, dan semuanya termasuk wilayah Kecamatan Merbau. Sedangkan untuk wilayah Pulau Dedap (luas sekitar 2 ha) kondisinya tidak berpenghuni. Pulau Padang terbagi atas 14 desa, uraian singkat terhadap 14 desa tersebut disajikan sebagai berikut:

Kelurahan Tanjung Belitung, Jumlah Penduduk Suku

: :

Agama Mata Pencaharian

: :

1.179 KK / 5.120 jiwa Melayu (75%), Jawa, Akit, Batak, Padang, Sunda, Lombok, Bugis, Cina Islam (90%) Petani Karet (70%), Petani Sagu, buruh, nelayan, pedagang, guru, PNS.

Desa Tanjung Padang, Jumlah Penduduk Suku

: :

Agama

Mata Pencaharian

400 KK Melayu (80%), Akit (15%) dan Jawa, Batak,dll (5%). Islam (85%) dan lainnya beragama Kristen, Budha dan konghucu. Petani Karet (70%), Petani Sagu, buruh, nelayan, pedagang, guru, PNS. 560 KK / 2.590 jiwa Akit (70%), Melayu (30%), Jawa (25%), Cina, Batak, Padang dan Banjar (5%). Islam (55%), Budha (45%) dan Kristen Petani Karet (70%), Petani Sagu, buruh, nelayan, pedagang, guru, PNS. 574 KK / 2.406 jiwa.

Desa Dedap Jumlah Penduduk Suku

4. : : 638 KK / 2.590 jiwa Banjar (70%), Melayu (20%), Jawa, Cina dan Akit (10%). Islam (85%) dan lainnya beragama Kristen, Budha dan konghucu. Petani Karet (70%), Petani Sagu, buruh, nelayan, pedagang, guru, PNS. 6. : : 812 KK Melayu (80%),

Desa Kudap Jumlah Penduduk Suku

: :

Agama

Agama Mata Pencaharian

: :

Mata Pencaharian

5.

Desa Bandul Jumlah Penduduk Suku

Desa Selat Akar Jumlah Penduduk

17
Akit, Jawa, Cina, Batak, Padang (20%). Islam (95%), Budha dan Kristen Petani Karet (80%), Petani Sagu, buruh, nelayan, pedagang, guru, PNS. 8. : : 636 KK / 2.245 jiwa Melayu (85%), Jawa, Akit, Cina, Batak, Padang (15%). Islam (95%), Budha dan Kristen Petani Karet (60%), Petani Sagu, buruh, nelayan, pedagang, guru, PNS. 537 KK / 2.186 jiwa Melayu (90%), Jawa, Cina, Batak, dll (10%). Islam (95%), Budha dan Kristen Petani Karet (60%), Petani Sagu, buruh, nelayan, pedagang, guru, PNS. Suku Agama Mata Pencaharian : : : Melayu (90%), Jawa, Cina, Batak, dll. Islam (85%), Budha, Kristen dan Konghucu (15%) Petani Karet (80%), Petani Sagu, buruh, nelayan, pedagang, guru, PNS. 716 KK / 2.915 jiwa Melayu (75%), Melayu, Akit, Batak, Lombok, Bugis, Cina (10%) Islam (98%), Budha, Kristen Petani Karet (60%), Petani Sagu, buruh, nelayan, pedagang, guru, PNS. 273 KK Melayu (50%), Jawa (40%), Akit, Batak, Lombok, Bugis, Cina (10%) Islam (90%), Budha, Kristen Petani Karet (70%), Petani Sagu, buruh, nelayan, pedagang, guru, PNS.

Agama Mata Pencaharian

: :

7.

Desa Mengkopot Jumlah Penduduk Suku

Desa Bagan Melibur Jumlah Penduduk : Suku :

Agama Mata Pencaharian

: :

Agama Mata Pencaharian

: :

9.

Desa Mengkirau Jumlah Penduduk Suku Agama Mata Pencaharian

: : : :

10. Desa Mekar Sari Jumlah Penduduk Suku

: :

Agama Mata Pencaharian

: :

11. Desa Pelantai Jumlah Penduduk

485 KK / 2.192 jiwa Suku : Melayu (55%), Jawa (45%). Agama : Islam (100%) Mata Pencaharian : Petani Karet (80%), Petani Sagu, buruh, nelayan, pedagang, guru, PNS. 13. Desa Tanjung Belitung

12. Desa Meranti bunting Jumlah Penduduk : Suku :

354 KK Melayu (95%), Jawa, Lombok (5%). Agama : Islam (100%) Mata Pencaharian : Petani Karet, Petani Sagu, buruh, nelayan, pedagang, guru, PNS. 14. Desa Lukit Jumlah Penduduk : 548 KK / 2.192 jiwa Suku : Melayu, Jawa, Akit (90%), Cina, Padang, Bugis, tapanuli (10%). Agama : Islam (95%), Budha dan Kristen

18
(5%) Mata Pencaharian : Petani Karet (80%), Petani Sagu, buruh, nelayan, pedagang, guru, PNS.

Asal Usul Kepemilikan dan Sejarah Masyarakat Pulau Padang Masyarakat yang ada di desa-desa di Pulau Padang sudah ada sebelum tahun 1918. Terdiri dari 14 desa yaitu Lukit, Tanjung Padang, Kudap, Dedap, Mengkirau, Bagan Melibur, Mekar Sari, Meranti Bunting, Mengkopot, Selat Akar, Bandul,dan satu kelurahan; Belitung. Jumlah penduduk Pulau Padang sekitar 35.224 penduduk, berasal dari Etnis Melayu, Jawa, Bugis, Minang, Lombok, Batak dan Akit. Walaupun terdapat heterogenitas, namun kehidupan masyarakat Pulau Padang hidup rukun dan damai. Ragam Mata pencaharian utama dari penduduk Pulau Padang adalah 70% petani, dan sisanya adalah nelayan, PNS, buruh lepas, dan karyawan swasta. Rencana pembangunan HTI di Pulau Padang telah mengubah dinamika yang sebelumnya kondusif menjadi berpotensi konflik terbuka. Di Pulau Padang juga terdapat contoh budidaya tanaman keras (karet, sagu) yang telah berlangsung puluhan tahun pada kawasan gambut dalam dengan tata kelola air menggunakan kanal berukuran kecil, dan menjadi andalan ekonomi Pulau Padang. Pulau Padang sejak zaman kolonial sudah dihuni oleh masyarakat. Hal ini terlihat pada peta yang dibuat pada tahun 1933 oleh pemerintahan Kolonial Belanda. Pada peta tersebut dapat dijelaskan letak beberapa perkampungan yang sudah ada sejak dibuatnya peta tersebut, seperti Tandjoeng Padang, Tg. Roembia, S. Laboe, S. Sialang Bandoeng, Meranti, Boenting, Tandjoeng Kulim, Lukit, Gelam, Pelantai, S. Anak Kamal dan lain-lain. Dari waktu ke waktu desa Lukit dan desa-desa lain di Pulau Padang, sebagaimana telah disebutkan diatas semakin ramai didiami oleh masyarakat, baik penduduk asli pedalaman suku Akid /Sakai, Melayu, Jawa dan Cina. Dari informasi masyarakat, bahwa kedatangan pertama kali masyarakat jawa di Desa Mengkirau yaitu tahun 1918 yang dipelopori oleh Mbah Yusri. Setelah Mbah Yusri wafat kemudian digantikan oleh Haji Amat yang digantikan oleh Selamat dan Jumangin (Haji Ridwan). Selamat membuka lahan ke arah Mengkirau dan Haji Ridwan ke arah Bagan Melibur. Ketika masyarakat Jawa pertama kali masuk ke daerah ini (1918) sudah ada masyarakat Melayu yang dipimpin oleh Wan Husen. Kedatangan masyarakat Jawa sekitar tahun 1918 tersebut untuk bekerja di kilang-kilang sagu. Hasil bekerja di kilang sagu tersebut

19

dipergunakan untuk membuka lahan-lahan/kebun dipinggir sungai. Seiiring terjadinya abrasi di pinggir sungai, masyarakat kemudian pindah kearah dalam sehingga terjadi penyebaran penduduk seperti saat ini.

a. Perekonomian16

Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Meranti pada tahun 2009 yaitu sebesar 6,59 persen,dibandingkan dengan tahun 2008 berkisar 7,34 persen. PDRB per kapita dan pendapatan regional per kapita tahun 2009 mengalami peningkatan. Atas dasar harga berlaku,PDRB per kapita tahun 2008 sebesar Rp 20,67 juta menjadi Rp 24,43 juta pada tahun 2009. Atas dasar harga konstan 2000, PDRB per kapita tahun 2009 mengalami peningkatan dari sebesar Rp 6,13 juta pada tahun 2008 menjadi Rp 6,46 juta pada tahun 2009. Nilai ekspor di Kabupaten Kepulauan Meranti hingga Desember 2009 mencapai US$ 10.759.426 . Nilai ekspor tersebut hanya dari Pelabuhan Selatpanjang. Nilai impor di Kabupaten Kepulauan Meranti selama 2009 mencapai US$ 155.313 melalui pelabuhan Selatpanjang. Sagu Meranti termasuk salah satu Kawasan Pengembangan Ketahanan Pangan Nasional karena penghasil sagu terbesar di Indonesia. Selain itu masih ada kelapa, karet, kopi, pinang dan perikanan. Luas area tanaman sagu di Kepulauan Meranti ( 44,657 Ha / 2006 )yaitu 2,98% luas tanaman sagu nasional.Perkebunan sagu di Meranti telah menjadi sumber penghasilan utama hampir 20% masyarakat Meranti.Tanaman sagu atau rumbia termasuk dalam jenis tanaman palmae tropical yang menghasilkan kanji (starch) dalam batang (steam). Sebatang pohan sagu siap panen dapat menghasilkan 180 400 kg tepung sagu kering. Tanaman sagu dewasa atau masak tebang (siap panen) berumur 8 sampai 12 tahun atau setinggi 3 5 meter. (Jong Foh Soon, Ph.D, PT National Timber Forest product) Produksi sagu (Tepung Sagu) di Kepulauan Meranti pertahun mencapai 440.339 Ton (tahun 2006). Produktivitas lahan tanaman sagu per tahun (kondisi eksisiting) dalam menghasilkan tepung sagu di Kepulauan Meranti mencapai 9,89 Ton/Ha. Pada tahun 2006 di Kepulauan Meranti 440.000 ton lebih tepung sagu dihasilkan dari pabrik pengolahan sagu (kilang sagu). Tak didapat data pasti mengenai jumlah kilang dan kapasitas kilang pengolahan, namun diperkirakan terdapat 50
16

http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Kepulauan_Meranti, dibuka tanggal 23-01-2012

20

kilang sagu dengan mengunakan teknologi semi mekanis dan masih memanfaatkan sinar matahari untuk pengeringan (penjemuran). Terdapat dua kilang sagu yang telah beroperasi dan memproses sagu secara modern dengan kapasitas desain 6.000 dan 10.000 Ton tepung sagu kering per tahun. Selain itu limbah dari pengolahan tual sagu berupa kulit batang sagu (ruyung), dapat dikembangkan jadi bio energi sebagai pengganti minyak tanah ataupun dibuat pellet sebagai bahan pencapur bahan bakar batubara untuk keperluan ekspor ke Eropa yang mulai dilirik investor Finlandia. Migas Kabupaten Kepulauan Meranti memiliki potensi sumber daya alam, baik sektor Migas maupun Non Migas, di sektor Migas berupa minyak bumi dan gas alam, yang terdapat di daerah kawasan pulau Padang. Di kawasan ini telah beroperasi PT Kondur Petroleum S.A di daerah Kurau desa Lukit (Kecamatan Merbau), yang mampu produksi 8500 barel/hari.Selain minyak bumi, juga ada gas bumi sebesar 12 MMSCFD (juta kubik kaki per hari) yang direncanakan penggunaannya dimulai 20112020. Di sektor Non MIgas kabupaten Kepulauan Meranti memiliki potensi beberapa jenis perkebunan seperti sagu(Metroxylon sp) dengan produksi 440.309 ton/tahun(2006), kelapa: 50.594,4 ton/tahun, karet: 17.470 ton/tahun, pinang: 1.720,4 ton/tahun, kopi: 1.685,25 ton/tahun. Hingga kini potensi perkebunan hanya diperdagangkan dalam bentuk bahan baku keluar daerah Riau dan belum dimaksimalkan menjadi industri hilir, sehingga belum membawa nilai tambah yang mendampak luas bagi kesejahteraan masyarakat lokal. Sementara di sektor kelautan dan perikanan dengan hasil tangkapan: 2.206,8 ton/tahun. Selain itu masih ada potensi dibidang kehutanan, industri pariwisata, potensi tambang dan energi. Industri Pengolahan Arang Bakau Berdasarkan data Dinas Perindustrian dan Perdagangan,jumlah lokasi dan kapasitas produksi perusahaan industri arang bakau adalah : 1) 22 perusahaan berlokasi di Kecamatan Tebing Tinggi dengan kapasitas produksi 2.710/ton, 2) 14 perusahaan berlokasi di Kecamatan Rangsang dengan kapasitas produksi 1.540/ton dan 3) 11 perusahaan berlokasi di Kecamatan Merbau dengan kapasitas produksi 1.300/ton Perdagangan

21

Survei potensi industri dan perdagangan pada sektor industri mikro kecil terakhir kali dilakukan pada kabupaten yang memiliki empat pulau besar itu yakni Pulau Padang, Pulau Merbau, Pulau Rangsang, dan Pulau Tebing Tinggi menyebutkan industri rumah tangga hampir merata terdapat disetiap kecamatan. Sebagian besar industri rumah tangga itu terdapat di Kecamatan Tebing Tinggi dengan jumlah 234 unit usaha, kemudian disusul Kecamatan Rangsang Barat 114 unit usaha, Kecamatan Rangsang 109 unit usaha, Kecamatan Merbau 38 unit usaha dan Kecamatan Tebing Tinggi Barat 37 unit usaha. Usaha yang digeluti itu antara lain anyaman tikar pandan, atap rumbia, pembuatan tempe, makanan ringan, arang, perabotan rumah tangga, batu bata, batako, pembuatan perahu/sampan, kopra, tepung sagu, mie sagu, sagu rendang, dan kopi. Sebagian produk dari industri rumah tangga itu juga dipasarkan ke luar daerah, seperti Batam, Cirebon bahkan sampai ke negeri jiran Malaysia dan Singapore dalam bentuk industri hulu. Perikanan Masyarakat Kepulauan Meranti,khususnya daerah pesisir pantai Pulau Rangsang memiliki ketergantungan tinggi terharap produk produk perikanan hal itu sebagai produk yang diperdagangkan lokal sebagai sumber pemasukan pendapatan bagi masyarakat setempat.Setidaknya terdapat 47 spesies ikan yang telah dikenal sebagai ikan tangkapan masyarakat.Di antara ikan spesies yang dikenal ditangkapan masyarakat juga merupakan ikan komsumsi yang dikenal luas dan diperdagangan di restoran-restoran besar baik di Riau maupun Luar Riau, antara lain Baung, Patin, Selais dan Toman. Ikan-ikan tersebut sangat potensial untuk dibudidaya sebagai alternatif mata pencaharian masyarakat Meranti khususnya masyarakat Pulau Rangsang.

Budidaya Sarang Burung Walet Sejak awal keberadaannya budidaya sarang burung walet menjadi primadona bagi masyarat Kabupaten Meranti,terutama daerah kawasan Kota Selatpanjang.Dalam Jangka 10 tahun dari tahun 2000 sampai sekarang telah menjamur ratusan penangkaran burung walet.hal tersebut dikarena permintaan komoditas sarang burung walet sangat tinggi.Dari tempat ini sarang burung walet diekspor ke Singapore dan Hongkong(China).Ditempat ini harga sarang burung walet untuk kualitas terbaik bisa mencapai 20 juta per kg,walaupun disinyalir pola perdagangan melalui Black Market.Pedagang atau perantara biasa mendatangi langsung ke

22

lokasi lokasi produsen sarang walet dan perkilonya dihargai cuma 9 - 12 juta per kg,Nilai itu jauh berbeda bila sarang burung walet dikelolah sendiri dan dijual langsung ke pusat perdagangan yang ada di Singapore dan Hongkong. Tempat atau rumah penangkaran burung walet di daerah kawasan kota Selatpanjang,pada umumnya dimiliki oleh masyarakat yang dimiliki kemampuan finansial yang mapan,karena untuk membangun satu rumah biasa(kayu) perlu dana sekitar 100 juta untuk ukuran 5x10x12 m.Biaya sebesar itu untuk komponen: Upah borongan tenaga kerja sekitar 25 juta,bahan baku kayu 17 juta, dan sisanya untuk perangkat budidaya itu sendiri.Pemelihara rumah walet tidak terlalu sulit kecuali pada saat awal dengan memasang perangkap suara buatan dan membuat sumber makanan walet dari nanas yan mulai membusuk. b. Gambaran Singkat Kawasan Hutan Di Pulau Padang Berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan Menteri Kehutanan menerbitkan Penujukan Kawasan Hutan dalam Keputusan Nomor 173/Kpts-II/1986 tanggal 6 Juni 1986 tentang penunjukan kawasan hutan di Provinsi Dati I Riau seluas 4.686.075 Ha. Kawasan Hutan di Pulau Padang Kabupaten Kepulauan Meranti berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor Keputusan Nomor 173/Kpts-II/1986 tanggal 6 Juni 1986 tentang penunjukan kawasan hutan di Provinsi Dati I Riau seluas 4.686.075 Ha (berdasarkan TGHK) terdiri dari : 1. 2. 3. SM. Tasik Tanjung Padang selus 4.925 ha HPT seluas 72.346 ha HPK seluas 33.300 ha

Total luasan Kawasan Hutan Pulau Padang adalah seluas 110.939 Ha. SM Tasik Tanjung Padang telah ditatabatas sesuai berita acara tatabatas yang ditandatangani oleh Panitia Tata Batas Kabupaten Bengkalis tanggal 5 Maret 1997 dan disahkan oleh Menteri Kehutanan pada tanggal 25 Mei 1999.
B. KRONOLOGIS PERIZINAN DAN KASUS

Awal mula penolakan masyarakat terhadap PT.RAPP terjadi pada akhir tahun 2009, dimana saat itu Masyarakat Kepulauan Meranti melalui wadah Forum Masyarakat Peduli Lingkungan Kabupaten Kepulauan Meranti (FMPL-KM) mengirim Surat ke Menteri Kehutanan yang isinya menolak keberadaan PT RAPP di Pulau Padang, PT. SRL di Pulau Rangsang dan PT. LUM di Pulau Tinggi. Kemudian masyarakat Pulau Padang terutama dari Desa Lukit, Bagan

23

Melibur dan Mengkirau mengajukan tuntutan kepada Kementerian Kehutanan berupa pencabutan/pembatalan blok areal HTI PT.RAPP di Pulau Padang hingga saat ini. Alasan-alasan yang dikemukakan pada tuntutan tersebut antara lain : 1. Adanya HTI di Pulau Padang akan mengakibatkan tenggelamnya Pulau Padang. 2. Beberapa wilayah desa masuk dalam areal konsesi PT.RAPP. 3. Banyak lahan masyarakat desa yang terambil oleh PT.RAPP. 4. PT.RAPP kurang menyerap/melibatkan masyarakat desa setempat. 5. Perizinan/Amdal HTI PT.RAPP ada yang tidak sesuai aturan.

1. Kronologis Perizinan
Kronologis perizinan yang diberikan pada PT. RAPP dijelaskan sebagai berikut : 1. PT. Riau Andalan Pulp and Paper mengajukan permohonan persetujuan penambahan IUPHHK pada hutan tanaman kepada Menteri Kehutanan Republik Indonesia dengan surat No. 02/RAPPDU/I/04 tanggal 19 Januari 2004. 2. Berdasarkan permohonan dimaksud Menteri Kehutanan memberikan persetujuan Penambahan/perluasan areal kerja IUPHHK pada Hutan Tanaman atas nama PT. RAPP sesuai surat Menhut No. S.143/MENHUT-VI/2004 tanggal 29 April 2004, dengan meminta kepada PT. RAPP antara lain yaitu : a. Memperoleh perubahan rekomendasi Gubernur yang semula ditujukan untuk PT. Nusa Prima Manunggal (NPM) dan PT. Selaras Abadi Utama (SAU) menjadi rekomendasi atas nama PT. RAPP dan memperoleh rekomendasi Bupati b. c. d. 3. Menyusun dan menyampaikan suplemen studi kelayakan hutan tanaman, sesuai dengan areal penambahan/perluasannya. Menyusun dan menyampaikan AMDAL berdasarkan areal penambahan/perluas-annya. Konsultasi dengan Badan Planologi Kehutanan untuk Peta areal kerja penambahan perluasan dimaksud Berdasarkan point 2 di atas pihak PT. RAPP memohon rekomendasi Rekomendasi Penambahan/ Perluasan Areal Kerja IUPHHK Hutan Tanaman atas nama PT. RAPP kepada Gubernur Riau sesuai dengan surat permohonan Direktur Utama PT.RAPP nomor 05/RAPP/VI/2004 tanggal 15 Juni 2004. 4. Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Riau melalui surat nomor 522.1/PR/0914 tanggal 16 Juni 2004 mendukung perubahan/perluasan areal kerja IUPHHK-HT PT. Nusa Prima Manunggal (PNM) seluas 150.000 ha dan PT. Selaras Abadi Utama seluas 64.870 ha kepada PT.RAPP, dengan syarat sebagai berikut :

24 a. Sebelum menteri kehutanan memberikan persetujuan prinsip pembangunan IUPHHK-HT kepada PT. RAPP, harus terlebih dahulu mengaddendum surat keputusan HPH yang tumpang tindih dengan areal yang dicadangkan kepada PT.RAPP. b. Perlu dilakukan perubahan status dari non kawasan hutan menjadi kawasan hutan produksi tetap (HP) c. PT.RAPP diwajibkan menyelesaikan hak-hak masyarakat dan perusahaan lain yang berada di dalam areal pencadangan. 5. Gubernur Riau memberikan persetujuan perubahan Rekomendasi Penambahan/ Perluasan Areal Kerja IUPHHK Hutan Tanaman PT. NPM dan PT. SAU kepada PT. RAPP, melalui surat Gubernur No. 522/EKBANG/33.10 tanggal 2 Juli 2004, yang ditujukan kepada Bapak Menteri Kehutanan RI, dengan persyaratan sebagai berikut : a. Sebelum menteri kehutanan memberikan persetujuan prinsip pembangunan IUPHHK-HT kepada PT. RAPP, harus terlebih dahulu mengaddendum surat keputusan HPH yang tumpang tindih dengan areal yang dicadangkan kepada PT.RAPP. b. Perlu dilakukan perubahan status dari non kawasan hutan menjadi kawasan hutan produksi tetap (HP) c. PT.RAPP diwajibkan menyelesaikan hak-hak masyarakat dan perusahaan lain yang berada di dalam areal pencadangan. 6. PT. RAPP mendapatkan Keputusan Gubernur Riau No. Kpts.667/XI/2004 tanggal 11 November 2004 tentang Kelayakan Lingkungan Kegiatan IUPHHK-HT di Areal Tambahan Kabupaten Pelalawan, Siak dan Bengkalis Provinsi Riau oleh PT. RAPP seluas 152.866 ha. 5. PT. RAPP mendapatkan Keputusan Gubernur Riau No. Kpts.326/VII/2006 tanggal 6 Juli 2006 tentang Kelayakan Lingkungan Kegiatan IUPHHK-HT di Areal Tambahan Kabupaten Pelalawan, Siak dan Bengkalis Provinsi Riau oleh PT. RAPP seluas 152.866 ha, dengan perincian termasuk dalam Kabupaten Bengkalis (sekarang menjadi bagian Kabupaten Kepulauan Meranti tepatnya Pulau Padang) seluas 42.600 ha, Kabupaten Siak sleuas 20.000 ha dan Kabupaten Pelalawan seluas 90.266 ha, sehingga dengan demikian keputusan Gubernur Riau nomor 667/XI/2004 tanggal 11 November dinyatakan tidak berlaku lagi. 6. PT. RAPP mendapatkan Rekomendasi Bupati tentang Perluasan Areal sebagai Areal Pengganti sebagai berikut: a. Bupati Pelalawan melalui suratnya No. 522.1/DISHUT/III/2005/233 tanggal 8 Maret 2005 dan No. 522/DISHUT/801 tanggal 18 Juni 2005; b. Bupati Bengkalis (sekarang menjadi bagian Kabupaten Kepulauan Meranti tepatnya Pulau Padang) melalui suratnya No. 522.1/HUT/820 tanggal 11 Oktober 2005

25 c. Bupati Siak melalui suratnya No. 523.33/EK/2006/17 tanggal 24 Januari 2006; 7. Berdasarkan kelengkapan-kelengkapan sesuai dengan ketentuan dan persyaratan seperti dimaksud diatas, Menteri Kehutanan RI menerbitkan Keputusan Menteri Kehutanan No. SK.327/MENHUT-II/2009 tanggal 12 Juni 2009, seluas 350.165 (tiga ratus lima puluh ribu seratus enam puluh lima) hektar, dimana salah satu lokasinya berada di Pulau Padang, Kabupaten Bengkalis (yang sekarang menjadi Kab. Kepulauan Meranti), Provinsi Riau 41.205 Ha, dengan status TGHK berupa Hutan Produksi Terbatas (HPT). 8. Berdasarkan kelengkapan-kelengkapan sesuai dengan ketentuan dan persyaratan seperti dimaksud diatas, Menteri Kehutanan RI menerbitkan Keputusan Menteri Kehutanan No. SK.327/MENHUT-II/2009 tanggal 12 Juni 2009, seluas 350.165 (tiga ratus lima puluh ribu seratus enam puluh lima) hektar, dimana salah satu lokasinya berada di Pulau Padang, Kabupaten Bengkalis (yang sekarang menjadi Kab. Kepulauan Meranti), Provinsi Riau 41.205 Ha, dengan status TGHK berupa Hutan Produksi Terbatas (HPT). Surat keputusan ini diterbitkan berdasarkan atas permohonan Direktur Utama PT.RAPP nomor 02/RAPP-DU/I/04 tanggal 19 Januari 2004 dan surat keputusan Gubernur Riau nomor Kpts.667/XI/2004 tanggal 11 November 2004 yang sudah dinyatakan tidak berlaku dengan dikeluarkannya Keputusan Gubernur Riau nomor 326/VII/2006 tanggal 6 Juli 2006. 9. Terhadap keputusan Menteri Kehutanan nomor 327/MENHUT-II/2009 tanggal 12 Juni 2009, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Riau dengan surat nomor 522.2/Pemhut/2621 tanggal 2 September 2009 menyampaikan bahwa : a. Hasil analisa menunjukkan IUPHHHK-HTI PT. RAPP tumpang tindih dengan Suaka Marga Satwa Tasik Pulau Padang seluas 340, 69 Ha dan terdapat Hutan Produksi Konversi (HPK) seluas 23.411, 13 Hektar. b. Keputusan Menteri Kehutanan nomor 327/MENHUT-II/2009 tanggal 12 Juni 2009, perlu ditinjau ulang dan direvisi, dan keputusan tersebut perlu mengacu dan mengakomodir surat keputusan gubernur Riau nomor 522/EKBANG/33.10 tanggal 2 Juli 2004. c. Agar mengurangi areal yang tumpang tindih dengan kawasan suaka alam. d.Menunda terlebih dahulu pelayanan sampai dengan dilakukan pengukuran dan penataan batas lapangan e. Terlebih dahulu melaksanakan perubahan fungsi kawasan hutan. 10. PT. RAPP memperoleh pengesahan atas Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri (RKUPHHK-HTI) Periode 2009 2018, sesuai Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. SK.186/VI-BPHT/2009 tanggal 10 Agustus 2009, yang mencakup areal di Pulau Padang, yang selanjutnya direvisi dan telah mendapat pengesahan sesuai Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. SK.173/VI-BPHT/2010 tanggal 22 Desember 2010 tentang

26 Persetujuan Revisi RKUPHHK-HTI untuk jangka 10 tahun periode 2010-2019 atas nama PT. RAPP. 11. PT. RAPP memperoleh pengesahan atas Rencana Kerja Tahunan Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri (RKTPHHK-HTI) Tahun 2010, sesuai Surat Keputusan Direktur Bina Pengembangan Hutan Tanaman No. SK.10/BPHT-3/2010 tanggal 24 Maret 2010, luas 14.711 Ha di Pulau Padang, yang berlaku sampai tanggal 24 Maret 2011. Namun TKT 2010 ini belum terlaksana di lapangan karena : a. Masih dalam tahap persiapan berupa perizinan koridor Desa Tanjung Padang yang baru diperoleh pada 8 September 2010 sesuai surat Gubernur Riau No. Kpts/1223/IX/2010. b. Izin pembuatan dermaga di Desa Tanjung Padang baru diperoleh pada 27 Desember 2010, sesuai surat Bupati Kepulauan Meranti No. 552/PU-HUB/2010/901. c. Kendala adanya klaim masyarakat terhadap kawasan hutan karena alasan tertentu seperti bekas 12. garapan masyarakat, tanah ulayat dan sebagainya.

PT. RAPP mengesahkan Rencana Kerja Tahunan Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri (RKTPHHK-HTI) Tahun 2011 secara mandiri (self approval), sesuai Surat Keputusan Direktur Utama PT. RAPP No. SK.06/RAPP/III/2011 tanggal 24 Maret 2011, luas 30.087 Ha di Pulau Padang, yang berlaku sampai tanggal 24 Maret 2011.

13.

Hingga saat ini Tata Batas areal PT. RAPP di Pulau Padang belum dilaksanakan, namun demikian PT. RAPP telah melaksanakan proses : a. Pengajuan permohonan tata batas areal IUPHHK-HT PT. RAPP di Pulau Padang melalui surat No. b. c. d. 216/RAPP-DIR/V/2010 tanggal 18 Mei 2010 yang ditujukan ke Direktur Pengukuhan dan Penatagunaan Kawasan Hutan sepanjang 217,88 Km. Pembuatan kontrak penataan batas areal IUPHHK-HT PT. RAPP di Pulau dengan konsultan PT. Wicaksana Mega Cipta tertanggal 20 Agustus 2010. Pembahasan draft pedoman tata batas di Ditjen Planologi, pada tanggal 7 Oktober 2010. Pengajuan kembali permohonan pengesahan pedoman tata batas areal IUPHHK-HT PT. RAPP di Pulau Padang dan permohonan tenaga teknis pengawasan pelaksanaan tata batas ke Direktur Pengukuhan dan Penatagunaan Kawasan Hutan, sesuai surat No. 74/RAPPDIR/IV/2011 tanggal 5 April 2011. e. f. Hingga saat ini dalam proses pengesahan pedoman tata batas dan penyediaan tenaga pengawas tata batas di Direktorat Pengukuhan dan Penatagunaan Kawasan Hutan. Hingga saat ini Tata Batas Areal PT. RAPP di Pulau Padang belum dilaksanakan, namun demikian operasi PT. RAPP di lapangan telah berjalan dengan mengacu pada tata

27 ruang yang dibuat sendiri oleh PT. RAPP di lokasi Pulau Padang, dengan luas total 41.205 Ha, terdiri dari : a) b) c) d) e) Tanaman Pokok Tanaman Unggulan Tanaman Kehidupan Kawasan Lindung Sarana prasarana : 27.375 Ha (66 %), : 4.121 Ha (10 %), : 1.904 Ha ( 5 %), : 4.102 Ha (10 %), : 808 Ha ( 2 %), 2.895 Ha ( 7 %). (termasuk didalamnya areal tambang

f)Areal Tidak Produktif :

Kondur Petroleum SA, Bakrie Group).

2. Kronologis Kasus
Konflik Masyarakat Pulau Padang dengan PT. RAPP di Pulau Padang kabupaten Kepulauan Meranti dimulai sejak tahun 2009 sebelum Kabupaten ini dimekarkan dari Kabupaten induk Bengkalis. Kronologis kasus ini dijelaskan sebagai berikut : Tanggal 26 Agustus 2009 Pj. Bupati Kepulauan Meranti Drs. Syamsuar, M.Si. mengajukan surat kepada Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor 100/Tapem/189 tentang Peninjauan ulang terhadap semua IUPHHK-HTI PT. LUM, PT. SRL dan PT RAPP di Kabupaten Kepualauan Meranti. Tanggal 30 Desember 2009 MASYARAKAT dari berbagai desa di Kabupaten Kepulauan Meranti khususnya desa-desa dari Pulau Padang antara lain Tanjung Padang, Selat Akar, Kudap, Dedap, Mengkopot, Mengkirau, Bagan Melibur, Pelantai, dan beberapa desa diluar Pulau Padang seperti Semukut, Renak Dungun, Sungai Tohor, dan desa-desa lain yang berjumlah 1000an orang mendatangi Kantor Bupati Kepulauan Meranti (di Selat Panjang)yang saat itu di Jabat Oleh Bupati Pj. Syamsuar, M.Si. masyarakat dan Kepala Desa-kepala desa yang memimpin aksi tersebut dengan tegas menolak rencana operasional PT. RAPP di Pulau Padang. Bupati Syamsuar yang saat itu menjabat, sangat mendukung apa yang dilakukan Masyarakat untuk menolak kehadiran PT. RAPP beroperasi di Pulau Padang. Tanggal 30 Desember 2009 (Laporan Investigasi Eyes on the Forest) Forum Masyarakat Peduli Lingkungan Kabupaten Kepulauan Meranti (FMPL-KM) mengirim Surat ke Menteri Kehutanan, Perihal Penolakan IUPHHK-HT PT. Sumatera Riau

28

Lestari Blok Pulau Rangsang, PT. LUM dan PT. RAPP blok Pulau Padang di Kabupaten Kepulauan Meranti. Tanggal 10 Februari 2010 WARGA PULAU PADANG KE JAKARTA yang PERTAMA Perwakilan Masyarakat dan Kepala Desa Pulau Padang yang berjumlah 9 orang dan beberapa organisasi/LSM seperti Meranti Center, Walhi, Mahasiswa Bengkalis, masyarakat Padang Lawas mendatangi Kantor Kementrian Kehutanan di Jakarta menuntut tinjau ulang SK Menhut No. 327 tahun 2009 sekaligus menuntut pencabutan izin HTI di Kepulauan Meranti. Setelah masyarakat mendatangi Kantor Kementrian Kehutanan kemudian Masyarakat Pulau Padang mendatangi Kantor PT. RAPP di Jakarta menuntut hal yang sama. Tanggal 12 Februari 2010 Perwakilan Masyarakat dan Kepala Desa Pulau Padang yang berjumlah 9 orang dan beberapa organisasi/LSM al. Meranti Center, Walhi, Mahasiswa Bengkalis, masyarakat Padang Lawas mendatangi dan menemui DPD-RI wilayah Riau Instiawati Ayus di Gedung DPR-RI dan Anggota DPR-RI Komisi IV di Jakarta menuntut tinjau ulang SK Menhut No.327 tahun 2009 sekaligus menuntut pencabutan izin HTI di Kepulauan Meranti. (Sumber: wawancara dengan Toha Kepala Desa Mengkirau di Mengkirau, tanggal 12 Juli 2011) Tanggal 6 Maret 2010 11 orang perwakilan masyarakat Kabupaten Kepulauan Meranti untuk yang kedua kalinya ke Jakarta mendatangi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Mabes Polri sekaligus menuntut pencabutan SK Menhut No. 327 tahun 2009. (wawancara dengan Toha Kepala Desa Mengkirau di Mengkirau, tanggal 12 Juli 2011) Tanggal 26 Juli 2010 Masyarakat Kec. Merbau sebanyak 350an orang mendatangi Kantor DPRD Kepulauan Meranti dan menuntut penghentian operasional dan Pencabutan izin HTI di Kabupaten Kepulauan Meranti seperti PT. SRL dan PT. LUM dan PT. RAPP Dialog antara perwakilan masyarakat dan anggota-anggota DPRD yang juga hadir ketua DPRD Hafizoh, wakil ket. DPRD Taufikurrahman dan puluhan anggota DPRD lainnya. Dalam kesempatan tersebut terjadi perdebatan antara masyarakat dan anggota dewan. Dalam menanggapi aspirasi dan tuntutan masyarakat, Ketua DPRD Kab. Kepulauan Meranti Hafizoh menyatakan jika

29

bapak-bapak seratus persen menolak HTI di Kepulauan Meranti, saya juga menolak bahkan seratus limapuluh persen. Akan tetapi kami tidak memiliki wewenang untuk menghentikan operasional HTI di Kabupaten kepulauan Meranti, yang memiliki wewenang ini adalah bapak Bupati. Dalam dialog tersebut DPRD juga berjanji akan turun meninjau kelapangan. Tanggal 30 Juli 2010 DPRD Kabupaten Kepulauan Meranti mengajukan surat kepada Kementerian Kehutanan RI Nomor 661/DPRD/VII/2010 tentang Permohonan Peninjauan ulang izin operasional PT. SRL, PT. LUM, dan PT. RAPP (terlampir) Tanggal 19 Agustus 2010 Masyarakat Pulau Padang dan Masyarakat Pulau Rangsang sebanyak 700 orang lebih, mendatangi Kantor DPRD Kepulauan Meranti masih dengan tuntutan yang sama menuntut pencabutan izin PT. RAPP di Pulau Padang dan menuntut penghentian operasional PT. SRL dan PT. LUM. Tanggal 3 September 2010 Bupati Kepulauan Meranti mengajukan surat kepada Menteri Kehutanan RI di Jakarta nomor 100/TAPEM/IX/2010/70 perihal Peninjauan Ulang IUPHHK-HTI PT. LUM, PT. SRL dan PT. RAPP terkait dengan penolakan HTI yang dilakukan oleh masyarakat. Tanggal 8 September 2010 Gubernur Riau mengeluarkan Surat No. 223/IX/2010 tanggal 8 September 2010, tentang izin Pembuatan Koredor pada IUPHHK-HT, PT. RAPP Pulau Padang di Kabupaten kepulauan Meranti. Setelah sekian hari sejak tanggal dikeluarkan Surat Gubernur tentang izin koredor tersebut, wargapun kemudian mengetahuinya. Surat tersebut memunculkan keresahan bagi warga pulau padang dan memancing amarah masyarakat, yang seharusnya setelah hari raya idul Fitri masyarakat menfokuskan untuk berkebun memperbaiki perekonomian setelah berkunjung kesanak saudara pada hari raya. Lagi-lagi masyarakat di paksa untuk mendatangi kantor Bupati di selatpanjang. Dan masyarakat semakin marah ketika 2 orang buruh warga Pulau Rangsang yang mengolah kayu dijadikan Papan/bahan kapal ditangkap oleh pihak keamanan. Padahal mereka memiliki surat kelompok Tani yang legal. Tanggal 11 Oktober 2010

30

Merespon surat Gubernur tentang izin pembuatan Koredor, Masyarakat Pulau Padang dan Rangsang mendatangi Kantor Bupati Kepulauan Meranti antara lain menuntut pembebasan 2 orang wagra petani Rangsang yang di tangkap oleh pihak keamanan AIRUT karena menjual kayu hasil olahan ke Selatpanjang, dan menuntut penghentian Operasional PT. SRL, dan pencabutan izin PT. RAPP di pulau padang. Dalam aksi ini masyarakat diterima oleh wakil Bupati untuk berdialog dengan beberapa wakil masyarakat terkait penolakan masyarakat terhadap operasional Perusahaan-perusahaan Pembabat Hutan Alam di kabupaten Kepulauan Meranti. Judul dalam Pernyataan sikap Aksi tersebut adalah; Pemerintahan Kabupaten Kepulauan Meranti HARUS MAMPU Mengusir keberadaan PT RAPP di Kabupaten Kepulauan Meranti! Kutipan pernyataan Sikap aksi masyarakat tanggal 11 Oktober 2010: Penangkapan terhadap 2 (dua) masyarakat Desa Bungur Kecamatan Rangsang yang merupakan rekan seperjuangan kita atas Nama Agus alias Sanum dan Ruslan alias Jun Oleh AIRUT Tanjung Samak dengan Petugas Bernama Jefri, Ardian Syah, dan Saudara Iwan Dengan No kapal: 004 Pada hari Selasa Tanggal 28 September 2010 pada Pukul 5.30 WIB di Perairan Kelautan Selatpanjang dengan Tuduhan Ilegal logging atau membawa kayu dengan dokumen tidak lengkap tersebut adalah merupakan Tindakan Yang sangat Merugikan Bagi Kehidupan Buruh Tani yang pada akhirnya penangkapan terhadap Rekan kita tersebut dapat kita simpulkan bahwa Kebijakan Politik Pemerintah saat Ini lagi-lagi hanya menguntungkan Pemilik Modal Asing di Negeri Ini. Karna jelas terbukti keberadaan PT.SRL, PT. LUM dan PT. RAPP di Kabupaten Kepulauan Meranti yang jelas-jelas keberadaan mereka sangat di tentang oleh rakyat, Namun pada kenyataanya kebijakan Politik Pemerintah di tingkatan Bupati dan Dewan dalam merespon aksi kita dengan mengeluarkan rekomendasi-rekomendasi tidaklah membawa capaian besar untuk menguntungkan perjuangan Rakyat. Terbukti hingga saat ini Oprasional mereka tidak pernah Berhenti dan Bahkan dengan Leluasa Mengeluarkan Puluhan Ribu Ton Kayu dari Kabupaten kepulauan ini dan Tidak mendapat suatu apapun. Massa denganjumlah 1500 orang lebih dalam pernyataannya sebagai berikut: 1. Mendesak Bupati dan DPRD Kabupaten Kepulauan Meranti untuk SEGERA mengeluarkan surat penolakan terhadap SK Gubernur Riau Nomor : KPTS/1223/IX/2010 tanggal 08 September 2010 tentang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) PT. RAPP Pulau Padang (Desa Sungai Hiu Tanjung Padang) Kecamatan Merbau Kabupaten Kepulauan Meranti. 2. Bebaskan kawan kami Agus alias Sanum dan Ruslan alias Jun sekarang Juga !!!

31

3. Usut dan Tangkap Mafia Tanah dengan Modus Kelompok tani yang telah disahkan olehkepala desa setempat di Kecamatan Merbau dan Kecamatan Rangsang. 4. Bupati dan DPRD Kabupaten Kepulauan Meranti harus menegaskan sikap politiknya terhadap pemerintahan Pusat maupun Propinsi atas surat yang pernah di keluarkan, agar di lakukan peninjauan ulang SK menhut tersebut demi kepentingan rakyat atau Mundur Sekarang Juga !!! Tanggal 29 Oktober 2010 Perwakilan Masyarakat Pulau Padang berdasarkan undangan pihak perusahaan, bertemu dengan managemen PT. RAPP di Hotel Gran Zuhri Pekanbaru. Dalam pertemuan tersebut masyarakat menuntut Pihak perusahaan sebelum beroperasi di Pulau Padang untuk melakukan Mapping (pemetaan ulang), inclaving, dan pembuatan tapal batas permanen sebelum PT. RAPP melakukan operasional di Pulau Padang. Secara lisan pihak perusahaan menyetujui semua tuntutan masyarakat Pulau Padang yang saat itu diwakili oleh 10 orang petani Pulau Padang yang didampingi oleh Teri Hedra Caniago Ketum KPP-STR Propinsi Riau dan Dessri Kurniawati, SH Sekjen KPP-STR Prop Riau. namun secara tertulis berbeda dengan apa yang disepakati secara lisan. Sehingga pihak masyarakat tidak mau menandatangani berita acara dan notulensi hasil pertemuan. Tanggal 30 Oktober 2010 PT. RAPP mengelar sosialisasi dengan mengundang masyarakat Pulau Padang, perwakilan petani, LSM, Mahasiswa, DPRD Kabupaten Kepulauan Meranti Herman, Aziz, Fauzi Hasan, Asmawi, pejabat sekretariat DPRD Kep. Meranti Burhanuddin yang sebelumnya adalah pejabat dinas Kehutanan kepulauan Meranti yang telah mengesahkan dan membuat berita acara survey lokasi jalan koredor (tanggal 17 Mei 2010) dan rekomendasi untuk pembuatan jalan Koredor di Sungai Hiu Pulau Padang. Diundang juga orang-orang yang dianggap tokoh masyarakat oleh pihak perusahaan. Dalam acara tersebut Salah satu perwakilan masyarakat meminta pihak perusahaan untuk menunjukkan AMDAL sebagai syarat untuk dikeluarkannya SK Menhut. Namun pihak perusahaan menjawab bahwa AMDAL adalah domainnya Pemerintah. Tanggal 3 November 2010 Direktorat Jenderal Bina Usaha kehutanan tertanda Direktur jenderal Imam Santoso, No. S.1055/VI-BPHT/2010 tanggal 3 November 2010 perihal: Mohon ditinjau ulang Izin

32

Operasional PT. SRL, PT. LUM dan PT. RAPP yang ditujukan kepada ketua DPRD Kabupaten kepulauan Meranti. Dalam surat tersebut dinyatakan bahwa IUPHHK-HTI ketiga perusahaan tersebut adalah sah dan aktif yang memiliki Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan tanaman Industri dan Rencana kerja Tahunan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan kayu pada Hutan tanaman Industri (RKTUPHHK-HTI) tahun berjalan. Dan seluruh areal Kerka IUPHHK-HTI tersebut berada dalam kawasan Hutan produksi. Tanggal 26 November 2010 Bupati Kepulauan Meranti mengirimkan surat kepada Camat Merbau No. 100/TAPEM/XI/2010/96 perihal; Rekomendasi.Pada hakekatnya bias di pahami bahwa surat tersebut adalah sebuah perintah kepada camat untuk menfasilitasi pihak perusahaan PT. RAPP yang akan menjalankan operasionalnya di Pulau Padang Tanggal 29 November 2010, Perwakilan Masyarakat Pulau Padang bertemu lagi dengan Pihak Managemen PT. RAPP untuk membicarakan rencana Masyarakat Pulau Padang akan membuat kegiatan SEMINAR TERBUKA dan akan dijadikan wadah untuk mempertemukan semua unsure pemerintahan baik Bupati, Dishut, DPRD, Camat, Kepala Desa, BPD, Tokoh Masyarakat dan masyarakat umum dan pihak Perusahaan PT. RAPP dalam acara SEMINAR TERBUKA tersebut. Dalam pertemuan untuk yang kedua kalinya dengan PT. RAPP di hotel Gren Zuhri Pekanbaru, pihak perusahaan di samping tidak mengakui kesepakatan dan kesanggupan pada pertemuan tanggal 29 Oktober 2010 justru juga malah menyampaikan bahwa pihak perusahaan akan segera beroperasi di Pulau Padang. Tanggal 10 Desember 2010 Bupati Kepulauan Meranti mengirimkan surat kepada Camat Merbau No. 100/TAPEM/XII/2010/97, perihal; Sosialisasi Tanggal 13 Desember 2010, Masyarakat Pulau Padang Kec. Merbau dari berbagai desa antara lain warga Desa Lukit, Meranti Bunting, Pelantai, Mekar sari, Kelurahan Teluk Belitung, Bagan Melibur, Mengkirau dan desa-desa lain, lebih kuran 1300an orang lebih melaksanakan Doa Bersama (ISTIGHOTSAH) di Masjid Raya Teluk Belitung, ibukota Kec. Merbau, dengan harapan Rencana Operasional PT. RAPP yang diyakini sebagai musibah dan malapetaka besar karena

33

bakal menghabiskan lahan dan perkebunan warga dan hutan yang selama ini menjadi sumber kehidupan masyarakat setempat. Istighotsah di pempin oleh KH. Masud (Mekarsari), K.H. AHMADI (Mengkirau), Ustad Sudarman (Sungai anak kamal), Ustad Yakup, Kepala Desa dan anggota DPRD Kab. Kep. Meranti. H.Muhammad Adil, SH. Juga hadir dalam acara istighotsah tersebut dan bahkan memberikan sambutan. Tanggal 15 Desember 2010, Masyarakat membuat kegiatan SEMINAR TERBUKA di hadiri oleh 2500 orang masyarakat Pulau padang dan Pulau Rangsang dengan tema Dampak HTI terhadap Lingkungan dan kehidupan Masyarakat, dengan mengundang seluruh pejabat dari Bupati sampai LPMD dan pihak Perusahaan PT. RAPP (Bupati dan wakil Bupati, DPRD, Camat, Kepala Desa, BPD, Tokoh Masyarakat, Pimpinan-pimpinan Parpol di Kep. Meranti). Masyarakat sangat menyesalkan bahwa bahwa pihak perusahan tidak ada satupun yang hadir termasuk Bupati sendiri. Pendanaan Seminar Terbuka ini dilaksanakan dengan swadaya masyarakat ditambah Iuran masyarakat Pulau Padang 20.000/orang (anggota STR). Masyarakat sangat menyayangkan pihak Pemda BUPATI, Wakil Bupati, dan pejabat-pejabat terkait tidak hadir termasuk Managemen PT. RAPP. Sedang yang hadir dalam SEMINAR TERBUKA tersebut HANYA Wakil Ketua DPRD Taufikurrhman, Basiran, Edi AMin, Ketua DPC PKS. Camat Merbau, Kapolsek Merbau, Danramil Merbau, beberapa Kepala Desa di wilayah Pulau Padang, BPD, tokoh Masyarakat, dan Tokoh-tokoh Agama. Sebagai Pemateri antara lain; Sekjen STN Wiwik Widjanarko, dan Direktur Tansparansi Indonesia (TI) Rafles, S.Sos. in-put dari SEMINAR TERBUKA tersebut adalah bahwa; 1). areal konsesi PT. RAPP di Blok Pulau Padang berada pada areal yang tumpang tindih dengan lahan/kebun warga. 2). Dengan dibukanya kanal-kanal akan menyebabkan intrusi air masin ke darat dan pengeringan lahan yang cukup signifikan pada musim kemarau yang akan menyebabkan mudah terbakar. 3). Dari sisi perijinan, di ketahui bahwa Rekomendasi oleh pejabat bengkalis yang dijadikan acuan oleh pemerintah pusat sebagai dasar dikeluarkannya SK Menhut 327 2009, sama sekali tidak diketahui oleh DPRD Kabupaten Bengkalis. Tanggal 20 Desember 2010, Camat Merbau melayangkan surat kepada kepala Desa Tanjung Padang, nomor: 100/tapem/2010/451, perihal sosialisasi (perusahaan PT. RAPP di Tanjung Padang), yang isinya antara lain adalah agar kepala desa Tanjung Padang menfasilitasi segala sesuatu yang

34

diperlukan oleh pihak Perusahaan. Cukup lama tidak diketahui oleh masyarakat bahwa Dirjen Kementerian Kehutanan sudah membalas surat yang diajukan oleh DPRD Kabupaten kepulauan Meranti menyatakan bahwa izin ketiga Perusahaan di Kep. Meranti dinyatakan sah dan aktif. Sehingga Bupati Kepulauan Meranti secara diam-diam dua kali mengirimkan surat kepada camat Merbau Tanggal 3 Januari 2011, Masyarakat cukup menunjukkan sikap amarah yang luar biasa dan mendatangi Kantor Camat Merbau sebanyak 1500 orang dan menuntut camat untuk mencabut surat yang dikirim ke kepala desa Tanjung Padang dan menggagalkan rencana Sosialisasi PT. RAPP di Tanjung Padang yang berujung kepada memasukkan alat berat Ke Pulau Padang. Masyarakat juga menuntut Pemerintah RI untuk mencabut Izin Operasional PT RAPP di Pulau Padang. Sambil menyanyikan lagu Indonesia Raya, Massa membakar tiga gambar yang pada bagian kepala ditempel wajah gambar Camat Merbau Duriat, gambar Bupati Kepulauan Meranti Irwan Nasir dan Gambar Gubernur Riau Rusli Zainal. Selain itu, massa juga mengusung Keranda Mayat dan ayam putih yang keduanya di hadiahkan kepada camat Merbau. Tanggal 4 Januari 2011, Malam hari setelah solat Isya dan setelah aksi di kantor camat Merbau pada pagi harinya, Masyarakat dari berbagai Desa sebanyak 313 orang antara lain dari desa Lukit, Meranti Bunting, Pelantai, Mekarsari, Kelurahan Teluk Belitung, Mengkirau dan puluhan warga Tanjung Padang dengan 4 kapal pompong, memblokir acara sosialisasi PT RAPP di Dusun Suka Jadi desa Tg. Padang dan menggagalkan Sosialisasi PT. RAPP yang terbukti sesuai pengakuan masyarakat Tanjung Padang bahwa sosialisasi tersebut adalah tahapan akan memasukan alat berat ke Pulau Padang pada tgl 6 Januari 2011. Saat-saat menegangkan terjadi ketika pihak kepolisian dan perusahaan datang, baru saja duduk beberapa detik di kursi-kursi yang tersedia rapi disertai oleh panitia, ratusan masyarakat keluar dari semak belukar berbaris rapi dengan satu komando sepuluh langkah maju jalan. disertai Takbir ALLAHU AKBAR!!!!!. ALLAHU AKBAR!!!! dan Yel-yel R A P P perampas Tanah Rakyat.Usir.Usir.Usir, Kapolsek Merbau pun tidak lengah ibarat orang yang sedang termenung tersengat api bergegas lari menghampiri warga, khawatir masyarakat melakukan hal-hal yang anarkis.

35

Sosialisasi PT. RAPP yang direncanakan cukup meriahkan disertai hiburan orgen tunggal, setelah dilakukan dialog yang cukup menegangkan antara pihak masyarakat dan kepolisian (kapolsek Merbau) dan pihak PT. RAPP, akhirnya mendapat kata putusan dengan pertimbangan jika sosialisasi dilanjutkan dapat dipastikan akan terjadi pertempuran antara pihak masyarakat dan pihak perusahaan. Akhirnya kemudian diumumkan oleh panitia secara resmi bahwa sosialisasi PT. RAPP di Sukajadi dibatalkan. Meski demikian masyarakat pun belum merasa puas dan tidak akan beranjak dari lapangan bola yang di jadikan tempat sosialisasi, sebelum tenda dan bangsal di bongkar dan di angkut keluar dari lokasi.

Tanggal 20 Januari 2011, Masyarakat Pulau Padang sekitar 1000 orang lebih yang berangkat pada malam hari dengan 7 kapal pompong memblokir akan masuknya alat berat di dusun sg. Hiu Desa Tanjung Padang. Tanggal 1-2 februari 2011, Masyarakat Pulau Padang mendatangi Kantor Bupati Kepulauan Meranti bahkan menginap di depan Kantor Bupati sebanyak 3000an orang. Dengan menggunakan 14 kapal pompong berangkat dari rumah masing-masing ada yang jam 04.00 subuh dan ada yang setelah maghrib seperti desa Tanjung Padang. Masyarakat Menuntut Pencabutan Izin PT. RAPP, SK No. 327 Menhut 2009, dan menyerahkan Petisi Penolakan Masyarakat terhadap Rencana Operasional PT. RAPP di Pulau Padang PT. SRL di rangsang dan PT. LUM di Tebing Tinggi kepada Pemerintah Kabupaten yang di terima oleh asisten I Setdakab Kepulauan Meranti Drs. Ikhwani. Tanggal 11 Februari 2011 Merespon aksi massa tanggal 1 dan 2 Februari 2011 di Kantor Bupati Kepulauan Meranti, Komisi B DPRD Propinsi Riau, yang diwakili oleh wakil komisi B Zulfan Heri, Sumiyati, dan Mahdinur melakukan kunjungan dinas untuk bertemu masyarakat di pulau padang (usai solat jumat) yang menolak akan beroperasinya PT. RAPP di Pulau Padang dan akan melihat langsung lokasi kegiatan operasional PT. SRL di Pulau Rangsang. Dialog langsung antara anggota Komisi B DPRD Propinsi dengan masyarakat pulau Padang dilaksanakan di aula kantor camat Merbau yang juga dihadiri oleh beberapa pejabat Pemkab Kep. Meranti. Zulfan Heri dalam penyampaiannya berjanji bahwa DPRD Propinsi Riau akan membentuk Pansus

36

HTI Riau secepat-cepatnya, agar pansus tersebut dapat mengakaji secara obyektif tentang dampak negative dan positif yang bakal ditimbulkan oleh operasional PT. RAPP di Pulau padang dan secara umum di Propinsi Riau. Sementara Kadishutbun Kab. Kep. Meranti Makmun Murad menyampaikan bahwa izin PT. RAPP di pulau padang adalah wewenang Menhut. Tanggal 22 Februari-14 April 2011 AKSI DUA BULAN WARGA P. PADANG & MAHASISWA DI DPRD PROP. RIAU Hampir 2 bulan penuh Mahasiswa yang tergabung dalam Posko Perjuangan Rakyat Meranti (PPRM), Aliansi Mahasiswa Peduli Lingkungan (AMPEL) dari berbagai Kampus, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas yang ada di Pekanbaru dan beberapa perwakilan masyarakat Kepulauan Meranti Pulau Padang, mendirikan Tenda dan Posko di depan Kantor DPRD Propinsi Riau menuntut DPRD Prop. Untuk segera mengesahkan PANSUS HTI Riau. Disekitar Posko juga dipasang berbagai Spanduk dengan ukuran besar yang bertuliskan berbagai tuntutan, seperti: Cabut SK Menteri Kehutanan Nomor 327/Menhut-II/2009, Usir RAPP dari Pulau Padang jangan Politisasi Pansus HTI. BEM UNRI menulis; Selamatkan Rakyat Meranti dari Kediktatoran RAPP dan Pemerintah. Hentikan Penyerobotan Tanah di Propinsi Riau, Dewan Penghianat Rakyat Daerah Propinsi Riau dan masih banyak lagi spanduk-spanduk lain yang pada intinya menolak Operasional Perusahaan bubur Kertas di Kepulauan Meranti. Posko yang digelar selama hamper dua bulan mereka juga beberapi kali menggelar aksi Massa menuntut DPRD Prop untuk segera mengesahkan Pansus HTI Riau yang juga hadir masyarakat petani pulau Padang, hingga pemblokiran mobil anggota DPRD Prop. Agar tidak keluar dari areal Kantor DPRD dan mencederai mahasiswa, seperti yang terjadi pada sidang paripurna Pembentukan Pansus HTI Riau tanggal 5 April 2011 yang gagal. Tanggal 23 Februari 2011 PEMBENTUKAN TIM PENGKAJI KELAYAKAN OPERASIONAL PT.RAPP DI P. PADANG BERUBAH MENJADI TIM PENGAWAS OPERASIONAL Pertemuan Multipihak di Aula RSUD Selatpanjang, dalam rangka MENCARI SOLUSI ADIL DAN DAMAI KONFLIK MASYARAKAT DAN PT. RAPP terkait penolakan Masyarakat terhadap HTI di Kepulauan Meranti, hadir Bupati Kepulaua Meranti, DPRD, Camat se Kabupaten Kep. Meranti, Kepala Desa Se Pulau Padang, Tokoh Agama (MUI) LSM seperti JMGR, Scael Up, Walhi, termasuk 69 perwakilan petani Pulau Padang.

37

Dalam sambutan Bupati Kepulauan Meranti, Irwan Nasir secara tegas mengatakan terkait maraknya aksi massa yang menolak keberadaan HTI di Kepulauan Meranti mari kita bentuk Tim yang akan mengkaji secara obyektif, jika memang izin HTI di Kepulauan Meranti berdampak positif sama-sama kita terima, akan tetapi jika HTI berdampak Negatif samasama kita tolak. Setelah Bupati meninggalkan Aula RSUD, ruang pertemuan multipihak tersebut. Rapat dipimpin langsung oleh Makmun Murad dan beliau mengerucutkan pada perwakilanperwakilan Tim yang dimasukkan kedalam TIM. Pada saat itu disepakati yang masuk kedalam TIM adalah Kadishutbun Kep. Meranti (Makmun Murad), semua Kepala Desa yang hadir yang berasal dari Pulau padang, Pakar/Tim ahli, 10 orang Wakil Masyarakat Petani dari Pulau Padang, dari LSM/NGO adalah Walhi, Scael Up, dan JMGR. Tugas Tim adalah Mengkaji kelayakan Operasional PT. RAPP di Blok Pulau padang. Hasil kajian inilah yang kemudian akan dijadikan acuan atau rekomendasi, jika memang hasil kajian Tim menyatakan bahwa rencana Operasional PT. RAPP berdampak positif dari berbagai sisi silakan dilanjutkan, akan tetapi jika hasil kajian Tim berdampak buruk akan sama-sama ditolak. Tanggal 16 Maret 2011 Dalam rapat (di Kantor Dishutbun Kep. Meranti)tersebut hadir Asisten I setdakab. Ikhwani, Ketua Komis I DPRD Kep.Meranti Herman, Ketua Komisi II Rubi Handoko, Makmun Murad (kadishutbun), Pihak PT. RAPP, LSM/NGO, Kepala desa se Pulau Padang dan 8 orang wakil Petani Pulau Padang. Dalam pertemuan sempat terjadi ketegangan. Hal ini disebabkan oleh sikap kadishutbun Makmun Murad yang mengarahkan Tim, sebagai Tim Pengawas operasional. Pembentukan TIM Pengkaji sebagaimana ditetapkan pada tgl 23 Februari 2011 di Aula RSUD Selatpanjang tentang Tim Pengkaji Kelayakan di Rubah serta merta menjadi TIM Pengawas Operasional PT. RAPP di Pulau padang. Rapat sama sekali tidak mengakomodir aspirasi yang berkembang dan melenceng dari kesepakatan tanggal 23 februari 2011. Tanggal 27 Maret 2011 PT. RAPP mulai beroperasi di PULAU PADANG PT RAPP memasukkan ALAT BERAT ke Pulau Padang Sungai Hiu Desa Tanjung Padang, pada dini hari jam 01.00 wib, mendengar informasi alat berat PT. RAPP TEPATNYA DI SUNGAI HIU DESA TANJUNG PADANG, (di ujung utara pulau Padang), sontak saja masyarakat Tanjung Padang bergegas memberitahukan yang lain bahkan masyarakat yang

38

tinggal diujung selatan pulau padang seperti Lukit, Meranti Bunting, Pelantai, Mekar sari, Mengkirau, Kelurahan Teluk Belitung. Tidak lengah dari berbagai penjuru desa mulai dari jam 03.00 wib (dini hari) suasana kampong-kampung di Pulau Padang hiruk-pikuk, Samasama berduyun-duyun menuju ke Tg. Padang dengan menggunakan sepeda motor meskipun harus melewati jalan tanah gambut yang cukup becek karena belum semuanya di semenisasi. Sekitar 500 orang menghadang di lokasi naiknya alat berat lebih kurang jam 11.00-12.00 siang. Sedangkan 34 warga tanjung padang sudah sampai dilokasi dan menghadang alat berat dengan menaiki pompon jam 3.30 wib (dini hari) Di pantai hutan bakau dusun sg. Hiu desa Tanjung Padang. Seharian penuh sampai menjelang maghrib masyarakat tidak beranjak dari bibir pantai tempat 2 unit alat berat akan di turunkan Menjelang maghrib malam Senin tanggal 27 Maret 2011 terjadi perdebatan antara masyarakat dengan pihak kepolisin. Pihak kepolisian mengatakakan setengah mengancam bahwa masyarakat tidak berhak menghadang alat berat PT. RAPP dengan alasan bahwa hutan bakau tempat naiknya alat berat sudah diganti rugi oleh pihak perusahaan. Mendengar ancaman pidana dari pihak kepolisian akhirnya masyarakat meninggalkan lokasi. Dan keesokan harinya. Tanggal 28 Maret 2011 AKSI STEMPEL DARAH dan TAHLIL di DEPAN KANTOR BUPATI, Masyarakat sekitar 1000 lebih warga Pulau padang, Mendatangi Kantor Bupati Kepulauan Meranti dan melakukan AKSI STEMPEL DARAH. Sebagai wujud perlawanan masyarakat terhadap masuknya alat Berat PT. RAPP di Pulau padang, dan Bahwa Penolakan Masyarakat terhadap operasional PT. RAPP di Pulau padang adalah harga Mati. Masyarakat siap mempertahankan setiap jengkal tanah di Pulau padang. Tahlil sholawat dan takbir tidak henti-hentinya demikian haru mengirinya masyarakat yang menitiskan setetes Darahnya ke kain putih yang di pajang di Pagar Kantor Bupati Kabupaten Kepulauan Meranti di Selatpanjang, sebagai symbol ketidakrelaan masyarakat yang akan terus memperjuangkan pulau padang dari kehancuran Pembabatan Hutan secara besar-besaran. DALAM PADA ITU, sekitar 15 orang perwakilan masyarakat diterima oleh wakil bupati untuk melakukan dialog terkait tuntutan masyarakat. Dalam pertemuan tersebut hadir hamper semua pejabat tinggi tinggi di kabupaten kepualauan meranti termasuk juga Kadishutbun Kep. Meranti Ir. Makmun Murad, Asisten I Setdakab. Drs. Ikhwani. Jawaban Wakil Bupati Masrul Kasmi dan Makmun Murad adalah kami tidak punya wewenang untuk menghentikan/menarik mundur 2 unit eskavator yang masukm ke pulau padang. Dan SK Menhut adalah wewenang Menteri Kehutanan untuk mencabutnya. Sedangkan Makmun

39

Murad dalam menanggapi aspirasi dan pengaduan masyarakat, justru malah mengarahkan supaya masyarakat menggugat PT. RAPP melalui jalur hukum ke pengadilan. Tanggal 14 April 2011 Sesuai informasi dari Lokasi Operasional PT. RAPP di Sungai Hiu desa Tanjung Padang kecamatan Merbau (Pulau Padang), 8 unit eskavator mulai meluluhlantakkan hutan bakau dan hutan alam yang ada di pulau Padang, Kabupaten Kepulauan Meranti. Keberadaaan 8 unit Escavator tersebut sangat memicu amarah warga dan sangat rentan terhadap konflik dan bentrok fisik antara penduduk dan pekerja lapangan PT. RAPP

Tanggal 14 April 2011 WARGA PULAU PADANG KE JAKARTA YANG KE II 46 perwakilan masyarakat Pulau Padang, berangkat ke Jakarta untuk melakukan aksi jahit mulut, meskipun setelah selama di sana satu bulan terpaksa harus diurungkan. Tanggal 21 April 2011 Petani Pulau Padang berjumlah 46 orang di damping STN dan STR Mendatangi Kementerian Kehutanan dan di sana bertemu dengan Hadi Daryanto (Setjen Kemenhut RI), Imam santoso (Ditjen Kemenhut), Bedjo Santoso (Dir. Bina Pengembangan Hutan Tanaman), Kabiro Hukum Kemenhut, Staf Ahli Kemenhut, Ali Tahir dan beberapa pejabat Kemenhut lainya. Ketika masyarakat mendesak untuk menghentikan dan menarik mundur excavator yang sedang melakukan operasional, pihak Kementerian Kehutanan berkilah akan mendengar dulu penjelasan dari pemerintah daerah. Dirjen kehutanan Berjanji hari senin tanggal 25 April 2011, akan mengeluarkan surat pemanggilan Bupati Kepulauan Meranti ke Jakarta, untuk membahas penolakan masyarakat Pulau padang terhadap operasional PT. RAPP di Pulau Padang yang dipaksakan. Tanggal 25 April 2011 Jam 09.00 pagi 46 orang Petani Pulau Padang, melakukan aksi Mogok Makan Massal di pintu masuk KEMENHUT DAN MENDIRIKAN TENDA. Lebih kurang pada tengahhari Kemenhut mengeluarkan surat pemanggilan Bupati Kepulauan Meranti Irwan Nasir untuk datang ke Jakarta pada tanggal 28 April 2011. Tekad Petani Pulau Padang akan melakukan aksi hingga Menteri Kehutanan benar-benar memberikan jawaban atas tuntutan petani dan

40

mencabut SK Menhut No. 327 tahun 2009 yang memberikan izin pada PT. RAPP di Pulau Padang serta menunggu Bupati hadir ke Jakarta, namun tepat jam 19.00 para petani dibubarkan oleh aparat kepolisian dengan alasan melanggar batas waktu unjuk rasa. Tanggal 26 April 2011 Para Petani Pulau Padang Masih dengan kondisi Mogok Makan dengan menggunakan 2 buah Bus, membuat pengaduan KE KOMNAS HAM terkait operasional PT. RAPP di Pulau Padang. Pengaduan para Petani diterima langsung oleh Komisioner Pemantaun dan Penyelidikan Johny Nelson Simanjuntak. Inti pengaduan menyangkut tiga hal, petama bahwa SK Menhut No. 327 tahun 2009 telah meresahkan masyarakat Pulau Padang, karena warga pulau padang akan kehilangan hak hidup dan sumber-sumber kehidupan juga berpotensi mengadu-domba warga, kedua, dengan masuk dan beropersinya eskavator PT. RAPP ke Pulau Padang sejak tanggal 27 Maret 2011 adalah bentuk provokasi terhadap warga. Dan ketiga meminta izin kepada Komnas HAM untuk memberikan tempat bagi para petani untuk melanjutkan AKSI MOGOK MAKAN. Ketiga tuntutan tersebut pihak KOMNAS HAM memenuhi semua tuntutan petani dengan jalan akan segera menyurati Pihak Menhut atas potensi terjadinya pelanggaran HAM atas turunnya SK Menhut No. 327 tahun 2009 dan memberikan ruang kepada para petani Pulau Padang untuk melanjutkan aksi mogok makan. Usai pertemuan tersebut petani mendirikan tenda di luar gedung Komnas HAM dan melanjutkan aksi mogok makan dengan memasang spanduk-spanduk ukuran besar yang berisikan Peta Pulau Padang dan areal konsesi PT. RAPP di blok Pulau Padang seluas 41.205 ha bertuliskan 1. Hentikan operasional PT. RAPP di Pulau Padang dan 2. Cabut SK Menhut No. 327 tahun 2009. Tanggal 27 April 2011 Para petani mandatangi KANTOR KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI(KPK) untuk melaporkan dugaan adanya korupsi dalam proses dikeluarkannya SK Menhut No. 327 tahun 2009. Dalam surat pengaduan tersebut perwakilan petani berkas-berkas antara lain: 1. SK No. 327/Menhut-II/2009 2. Rekomendasi Wakil Bupati Bengkalis tahun 2005 tentang penambahan/perluasan areal kerja IUPHHK-HT atas nama PT. RAPP di Pulau Padang.

41

3. Surat Keputusan Gubernur Riau Nomor 326/VII/2006 tentang kelayakan lingkungan kegiatan Izin Usaha Pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman di areal tambahan kabupaten Pelalawan, Siak dan Bengkalis Prop. Riau oleh PT. RAPP 4. Surat Pjs. Bupati Kepulauan Meranti tentang Peninjauan Ulang terhadap IUPHHK-HTI di Kepulauan Meranti No. 100/TAPEM/189 tahun 2009 5. Surat Bupati Kepulauan Meranti perihal Peninjauan Ulang terhadap IUPHHK-HTI PT. LUM, PT. SRL dan PT. RAPP No. 100/TAPEM/IX/2010/70 6. Surat DPRD Kabupaten Kepulauan Meranti prihal Tinjau Ulang izin operasional PT. SRL, PT. LUM dan PT. RAPP 7. Kronologis Perluasan Areal PT. RAPP oleh Dinas Kehutanan Propinsi Riau, Januari 2010, yang berisikan 12 item cacat administrasi dalam proses dikeluarkannya SK Menhut No. 327 tahun 2009 dan merekomendasikan untuk di tinjau ulang 8. Petisi atau tanda tangan penolakan masyarakat Pulau Padang terhadap PT. RAPP di Pulau Padang berbaur menjadi satu baik dari tokoh masyarakat, tokoh agama, RT, RW, Kepala Dusun, Kepala Desa, perangkat desa, dan BPD. Berkas-berkas tersebut diterima langsung oleh Kuswanto dari Penerima laporan Pengaduan Masyarakat. Tanggal 28 April 2011 Hari yang ke empat para petani Pulau Padang sudah melakukan AKSI MOGOK MAKAN MASAL berangkat dari POSKO di depan Kantor Komnas HAM jam 06.00 pagi kembali mendatangi KANTOR KEMENHUT DAN MENDIRIKAN TENDA di depan pintu keluar masuk Kantor Menteri Kehutanan. Aksi Mogok Makan Massal semakin massif ketika para mahasiswa asal Riau yang berada di Jakarta yang tergabung dalam Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Riau Jakarta(IPMRJ) ikut ambil bagian dan dan memberikan orasi-orasi tuntutan untuk mencabut SK No. 327 tahun 2009. Para petani dengan kondisi yang sangat lemah karena sudah memasuki hari yang keempat MOGOK MAKAN sambil menanti kehadiran Bupati sebagaimana yang telah dijanjikan Menhut tidak kunjung tiba, maka sekitar jam 14.00 wib, karena para petani tidak diizinkan masuk untuk menemui Bupati dan Menteri, para petani memblokir jalan Raya di depan Kantor Kemenhut. Akibatnya jalan Gatot Subroto depan Kemenhut macet total. Pihak keamanan yang dari pagi hari mengawal aksi para petani pulau padang yang menuntut pencabutan SK Menhut No. 327 tahun 2009 kewalahan dan panic sehingga terjadi perdebatan

42

antara pihak keamanan dan para petani. Akhirnya 7 orang perwakilan Petani Pulau padang diperkenankan untuk masuk dan menemui Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan. Pertemuan para petani dengan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan yang didampingi oleh Hadi Daryanto (Setjen Kemenhut) Iman Santoso (Dirjen), Bedjo Santoso (Direktur Bina Kehutanan) dan beberapa pejabat lain dilingkungan Kementerian Kehutanan, tidak seindah bayangan dan harapan, malah justru para petani diprovokasi dan ditantang oleh Menhut. Pertama, Menhut menyangsikan bahkan tidak percaya bahwa para petani yang sudah berhari-hari melakukan aksi penolakan Operasional PT. RAPP di Pulua Padang di Jakarta dan menuntut Pencabutan SK Menhut No. 327 tahun 2009 bukan asli warga Pulau Padang, kedua, Menhut menyatakan bahwa pulau Padang tidak berpenghuni, dan ketiga, mengancam dengan pernyataanya saudara-saudara mau demo silakan, satu hari, dua hari, tiga hari, sebulan, setahun silakan, tapi jangan ganggu kami, kalau ganggu kami saya lawan. Tanggal 11 Mei 2011, 7 (tujuh) orang Perwakilan Petani Pulau Padang mendatangi Mabes Polri di Jakarta guna untuk mengadukan pernyataan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan (tanggal 28 April 2011, sekitar jam 16.00 WIB ketika menemui masyarakat Pulau Padang)yang menyatakan bahwa Pulau Padang tidak berpenghuni berdasarkan laporan Bupati Kepulauan Meranti. Pernyataan yang dinilai provokatif, dan meresahkan warga pulau padang. Senin 30 Mei 2011 900 orang lebih warga pulau padang dari berbagai desa melakukan aksi PENGHENTIAN OPERASIONAL PT. RAPP secara paksa di lokasi operasional Desa Tg. Padang tepatnya di Sungai Hiu, tepat di jalan koridor. Masyarakat yang sudah cukup marah, di karenakan Surat Komnas HAM yang di alamatkan Ke Menhut maupun ke Pihak Perusahaan prihal penghentian Operasional tidak di indahkan baik oleh Menhut maupun pihak perusahaan. Berduyun-duyun menuju lokasi jalan koredor di Sg Hiu dengan lengkap membawa alat-alat petani sebagaimana pekerjaan sehari-hari. Tekad masyarakat sudah bulat yakni berperang di lokasi jika memang pihak perusahaan memaksakan kehendak terus melanjutkan membabat hutan alam ataupun lahan warga. Nyaris peperangan terbuka pun tak terhindarkan, namun kecakapan korlap aksi dalam situasi yang cukup mengerikan itu akhirnya dapat dikendalikan. Seluruh alat petani dalam bentuk benda tajam mampu di kumpulkan dalam sebuah rumah di pelabuhan Tg. Padang dalam jumlah sesuai jumlah aksi massa.

43

Perdebatan yang dilakukan oleh perwakilan massa aksi dengan pihak perusahaan berjalan cukup sengit dengan di mediasi oleh pihak kepolisisan. Hingga akhirnya massa membubarkan diri dan pulang setelah memblokir jalan dengan beberapa pohon kelapa besar di tengah jalan koredor dengan menancapkan bendera STR, LPTR dan Merah putih serta memasang sepanduk ukuran besar surat KOMNAS HAM, yang berisi desakan kepada Menhut dan PT. RAPP untuk menghentikan operasional. Tanggal 30 MEI 2011 (23.00 WIB.) Setelah Massa Aksi Pulang Di Kampung halaman masing-masing, menggunakan 6 kapal pompong, diketahui dari berbagai media local bahwa di areal Jalan Koredor PT. RAPP Sg. Hiu Desa Tg. Padang, terjadi pembakaran 2 alat berat dan 2 Camp PT. RAPP. Akibat peristiwa tersebut warga Desa Tanjung Padang diburu pihak aparat meskipun tanpa bukti dan alasan yang jelas. Beberapa orang warga desa Tg. Padang di tangkap, diantaranya adalah pak Zainal (warga dusun tanjung padang) rumahnya dikepung pada pagi hari oleh lebih kurang 14 aparat kepolisian bersenjata lengkap dan kemudian dibawa ke Mapolresta Bengkalis untuk dimintai keterangan. Namun kemudian dilepaskan. Hingga detik ini (tgl 7 Januari 2012)masih ada 24 nama warga Desa Tanjung Padang , yang terus di buru oleh pihak aparat kepolisian tanpa alasan yang jelas, kebanyakan mereka tidak berani pulang ke desa sampai saat ini. Tanggal 9 Juni 2011 PENCULIKAN 3 (tiga) ORANG WARGA DESA LUKIT Pagi dini hari, sekitar jam 04.00 wib, pasukan keamanan menggunakan 1 kapal Dinas dari Polres Bengkalis mendatangi beberapa warga desa Lukit dan menculik 3 orang. Solehan (34 tahun) Dalail (54 tahun) dan Yahya (45 tahun). Ketiga orang tersebut diperlakukan seperti teroris, dengan memborgol kedua tangan dan menutup kepala dengan sebo sambil di pukuli kepalanya dalam kondisi muka tertutup. Solehan dan dalail sempat dibawa kedalam kapal aparat yang sudah standby di pelabuhan desa Lukit. Menyusul kemudian pak Yahya di kroyok oleh lebih kurang 10 orang aparat. Sempat terjadi adu jotos antara aparat dan pak yahya. Karena pak yahya tidak bersedia di bawa ke Polres bengkalis dengan alasan pihak kepolisian tidak membawa surat perintah dan surat penahanan atas nama Yahya. Sebelum pak Yahya sempat dimasukkan kedalam kapal, setiba mobil yang membawa pak Yahya di Pelabuhan, masyarakat yang tidak terima atas penangkapan terhadap Solehan,

44

Dalail, dan Yahya. Ratusan warga desa Lukit sudah memblokir pelabuhan dan menghadang mobil PT Kondur yang digunakan aparat kepolisian untuk membawa pak Yahya. Beberapa tembakan peringatan dilepaskan aparat, untuk menakuti warga, namun warga tidak peduli. Akhirnya warga pun menahan pihak aparat. Meskipun aparat berulang kali menodongkan pistol ke dada beberapa warga, dan sempat juga aparat melepaskan tembakan ke Paha Sumarno yang memang menghalangi aparat yang akan masuk kedalam kapal. Akhirnya negosiasi barter pun terjadi. Warga bersedia untuk melepaskan pihak aparat dengan syarat pak Solehan dan pak Dalail juga dilepaskan dan dikeluarkan dari kapal. Setelah dilepaskan, Mendengar Laporan bahwa pak dalail dan pak Solehan diperlakukan secara tidak manusiawi oleh aparat, warga pun marah dan menuntut kasus pemukulan yang dilakukan oleh aparat untuk diselesaikan di Kantor Desa. Pihak aparat menolak, seketika itulah rentetan tembakan senjata otomatis tak terhitung jumlahnya pada sekitar jam 06.00 wib. Desakan warga membuat salah satu aparat menjatuhkan diri ke laut karena di desak warga (di pelabuhan Jeti PT Kondur) untuk mempertanggungjawabkan tindakannya. Sambil salah seorang yang berada dikapal menyelamatkan salah seorang aparat yang menjatuhkan diri ke laut, pihak aparat juga melepaskan tembakan senapan otomatis yang terhitung jumlahnya, terkadang diarahkan ke warga dan kadang ke atas sambil meninggalkan pelabuhan. Tanggal 29 Agustus 2011 Warga Pulau Padang di tengah terik Matahari pada bulan puasa, yakni 2 hari menjelang hari Raya Idul Fitri berbondong-bondong mendatangi Kantor Bupati Kepulauan Meranti, untuk yang kesekian kalinya tanpa henti menuntut Pemerintah Daerah dan Pusat untuk mengabulkan tuntutan cabut SK No. 327 Menhut-II/2009, meskipun penuh dengan pelecehan oleh Satpol PP, pandangan sinis dan lain sebagainya. Tanggal 30 Oktober 2011 79 orang warga Pulau Padang berangkat dari pelabuhan desa lukit dengan menggunakan 2 kapal Pompong, dan menuju ke Pekan baru menggunakan 1 bus 4 buah travel. Dan kemudian mendirikana Posko di Kantor DPRD Prop. Riau. Tanggal 31 Oktober 2011 79 warga Pulau Padang melakukan Hearing dengan Komisi A DPRD Prop. Riau. Menyampaikan tuntutan Kepada DPRD Prop. Khususnya Komisi A untuk merekomendasikan Tinjau Ulang SK. No. 327/ Menhut-II/2009. Komisi A Bagus Santoso,

45

berjanji akan menyampaikan aspirasi warga Pulau Padang tersebut kepada Ketua DPRD Prop. Riau. Karena jawaban Komisi A, mengambang dan tidak ada ketegasan warga Pulau Padang mengancam akan melakukan AKSI JAHIT MULUT. Bagus santoso yang juga ketua Komisi A meyampaikan bahwa beliau tidak punya kewenangan untuk mengeluarkan rekomendasi tersebut. Wewenang tersebut terletak pada Ketua DPRD. Tanggal 1 November 2011 Lima orang dari 79 orang melakukan aksi JAHIT MULUT di Masjid Komplek DPRD Prop. Riau, meraka adalah M. Riduan, Sulatra, Sapridin, Khusaini dan Soim. Aksi jahit mulut ini di lakukan untuk mendesak para pengambil kebijakan di semua tingkatan, supaya memperhatikan dan mendengar mempertimbangkan aspirasi yang sudah bertahun-tahun di suarakan. Tanggal 2 November 2011 Beberapa perwakilan dari 9 desa di pulau Padang hearing dengan Komisi B dan diterima langsung oleh Ketua Komisi B T. Azwir. Komisi B berulang-ulang memberikan jawaban untuk rekomensasi Pencabutan/tinjau ulang SK No. 327 tahun 2009 tidak sesuai dengan harapan. Tanggal 3 November 2011 Tiga orang perwakilan warga Pulau Padang menemui Ketua DPRD Prop. Riau Johar Firdaus di Ruang Kerjanya, terkait dengan tuntutan warga Pulau Padang, jawaban juga masih sama dan bahkan lebih menyakitkan, dengan mengatakan Laporan dari Komisi A belum saya baca dan secara teknis itu wewenang Komisi A, dan permasalahan ini sepenuhnya saya serahkan kepada Komisi A. Tanggal 4 November 2011 Empat (4) dari lima (5) orang peserta aksi Jahit Mulut bersama sejumlah 70 warga Pulau Padang melakukan Aksi ke Kantor Gubernur Riau, agar Gubernur Riau bertanggung jawab terhadap Operasioanal PT. RAPP di Pulau Padang. Hal itu dikarenakan operasional PT RAPP di Pulau Padang berdasarkan Surat Izin Koredor yang di keluarkan Oleh Gubernur Riau. Warga menuntut agar Gubernur Riau Mencabut Rekomendasi yang pernah di keluarkan untuk izin operasional PT. RAPP di Pulau Padang. Suasana Aksi sempat gempar, wartawan,

46

aparat kepolisian, satpol PP menangis dan menitiskan air mata karena tidak sampai hati dan haru barangkali melihat salah seorang dari Peserta Aksi Jahit Mulut sempat kejang-kejang dan pingsan di tengah terik matahari tepat jam 11.00 siang, di depan Pintu Gerbang Kantor Gubernut. Hal itu terjadi karena sudah 4 hari tidak mengkonsumsi makanan dalam kondisi mulut di Jahit. Jam 11.30 wib. Massa Aksi mendatangi Radio Republik Indonesia (RRI) Pekanbaru, menyiarkan secara langsung penolakan terhadap operasioanal PT. RAPP di Pulau Padang, dan menuntut kepada Pemerintah Republik Indonesia pada semua tingkatan untuk mengabulkan tuntutan warga pulau Padang yakni Cabut SK No. 327/Menhut-II/2009 Blok Pulau Padang seluas 41.205 ha. Jam 14.00 wib beberapa perwakilan warga Pulau Padang dialog dengan Pejabat Pemprov Riau di Kantor Gubernur, terkait dengan kinerja Tim Terpadu PALSU Pemda Meranti. Hasil dialog adalah Pemprov dan Tim Terpadu berjajni akan turun ke lapangan. Jika hasilnya ternyata ada tumpang tindih lahan, akan segera mengeluarkan rekomendasi pencabutan izin operasioanl PT. RAPP di Blok Pulau Padang. Namun, kenyataanya kemudian setelah Tim turun ke lokasi areal konsesi dan di dapati adanya banyak lahan warga yang tertindih dan dirampas pihak perusahaan, Gubernur Riau tidak juga mengeluarkan Rekomendasi Pencabutan SK. NO. 327 Menhut Tahun 2009 Blok Pulau Padang. Tanggal 17 November 2011 Berdasarkan undangan DPD RI dapil Riau, tertanggal 3 November 2011, di gedung DPRD Prop. Riau yang di Fasilitasi Anggota DPD RI dapil Riau, Drs. H. M. Gafar Usman, MSc, Intsiawati Ayus, SH,MH, Dra. Hj.Maimanah Umar, MA, Muhammad Gazali, Lc, diadakan dialog multi pihak dalam rangka menyelesaikan kasus Pulau Padang dan tuntutan warga. Pertemuan yang dihadiri oleh berbagai pihak, an. Bupati kep. Meranti dan seluruh pejabat Pemda Meranti, ketua DPRD Prop Riau,Kepala Dinas Kehutanan Prop. Riau, DPD RI dapil Riau Masyarakat Pulau Padang dll. Namun, lagi-lagi hasilnya sangat-sangat mengecewakan warga Pulau Padang. Tanggal 13 Desember 2011 Jam 15.00 wib, Di Masjid Raya Desa Bagan Melibur berkumpul 400an orang dari berbagai desa dari Pulau Padang, dalam rangka melepaskan 82 orang PESERTA AKSI JAHIT

47

MULUT ke Jakarta. Pelepasan di pimpin oleh kades SAMAUN, S.Sos, alim ulama tokoh masyarakat dan tokoh agama. Tanggal 16 Desember 2011 Warga Pulau Padang sampai di JAKARTA, Sampai di Jakarta langsung aksi ke Gedung Manggala Wanabakti Kemenhut, jl. Gatot Subroto, menghasilkan: Poin 6: Tuntutan masyarakat Pulau Padang akan ditindak lanjuti sebagai berikut a. Akan dibuat surat kepada Bupati Kepulauan Meranti untuk menerbitkan rekomendasi pencabutan HTI atas nama PT. RAPP b. Akan dibuat surat kepada kepala dinas Kehutanan Provinsi Riau untuk tidak menerbitkan RKT atas nama perusahaan PT. RAPP HINGGA SAAT INI MASIH BERTENDA DI DEPAN GEDUNG DPR RI JAKARTA (DARI 16 DESEMBER 2011MINGGU 8 JANUARI 2012) Tanggal 20 Desember 2011 Di depan Gedung DPR RI di Jakarta, 8 orang warga Pulau Padang melakukan AKSI JAHIT MULUT, tanpa TIM MEDIS, dengan menusukkan jarum secara sendiri-sendiri. Tanggal 21 Desember 2011 Penambahan 10 Peserta AKSI JAHIT MULUT warga Pulau Padang, yang dibantu oleh TIM MEDIS, karena tidak adanya respon dari pemerintah Tanggal 22 Desember 2011 Penambahan Peserta AKSI JAHIT MULUT 10 orang warga Pulau Padang. Tanggal 27 Desember 2011 Pagi mulai jam 06.00 wib, Warga Pulau Padang dari berbagai desa sekitar 5000an orang laki, perempuan, anak-anak dengan menggunakan 16 buah kapal kapasitas 400an orang sampai kapasitas 100an orang dan 300an sepeda motor, menuju Selatpanjang, menduduki Kantor Bupati Kepulauan Meranti dengan segala perlengkapan memasak, beras, kuwali, panci, tenda, dll. Massa menolak berdialog, namun massa secara resmi menyerahkan PERNYATAAN SIKAP tuntutan MASYARAKAT kepada Bupati Kepulauan Meranti yang di terima langsung oleh Asisten I Kabupaten Kep. Meranti H. Nuriman, dan beberapa pejabat Pemda yang isinya: meminta Bupati untuk mengeluarkan rekomendasi Pencabutan SK.

48

327/menhut/2009 (Revisi SK No. 327/2009- yakni mengeluarkan hamparan Pulau Padang seluas 41.205 ha keluar dari SK tersebut). Aksi pendudukan kantor Bupati Kepulauan Meranti oleh warga Pulau Padang berlangsung hingga 5 hari-4 malam, Tanggal 28 desember 2011 Massa aksi warga Pulau Padang yang menginap di kantor Bupati tersebut, mendatangi DPRD Kep. Meranti menuntut sikap tegas DPRD Kep. Meranti terhadap penolakan Terhadap Operasional PT. RAPP di Pulau Padang. Tanggal 29 Desember 2011 Massa masih bertahan di depan Kantor BupatiMendengar pernyataan Bupati Kep. Meranti Via Telp dari SINGAPURA Kepada Korlap Aksi Sumarjan: menanyakan berapa massa aksi? dijawab korlap mendekati lima ribu orang (5000) orang pak, bupati menjawab apa tidak Cuma lima ratus (500) orang Masyarakat di kampung mendengar ejekan Bupati di atas, tidak lengah, malam jumat meluncur lagi masyarakat Pulau Padang dengan menggunakan 4 buah kapal, (Kamis Malam Jumat) Tanggal 29 Desember 2011 ISTIGHOTSAH AKBAR DI DEPAN KANTOR BUPATI, Warga Pulau Padang yang memang mayoritas adalah warga Nahdliyyin (NU) menggelar Shlat Isya berjamaah di Jalan RAYA, sholat Hajat, ISTIGHOTSAH AKBAR dan wirid yasin, yang di pimpin oleh Tokohtokoh agama dari berbagai Desa; memohon Kepada ALLAH SWT agar tuuntutan warga Pulau Padang diberikan pertolongan oleh ALLAH SWT. Tanggal 30 Desember 2011 MASYARAKAT Pulau Padang yang masih berada di kampung meluncur ke kantor Bupati bergabung dengan 5000an massa yang sudah 3 hari menginap di Depan Kantor Bupati, sebanyak 500an sepeda motor berboncengan. Masyarakat menolak uang pemberian Bupati, satu ikat uang pecahan Rp. 100.000, (kira-kira 10.000.000,-) ditolak massa, mereka berteriak yang kami butuhkan Rekomendasi Pencabutan/Revisi SK. No. 327 Menhut 2009 BUKAN UANG Perwakilan massa 10 orang dialog dengan Bupati di dalam kantor menghasilkan: Bupati Kepulauan Meranti bersama 3 orang perwakilan Tokoh Masyarakat untuk menemui menteri kehutanan perihal revisi SK. No. 327 Menhut Tahun 2009.

49

Tanggal 30 Desember 2011 (Di Jakarta) Warga Pulau Padang mendatangi Kantor Menteri kehutanan, menolak dan mendesak kemenhut: 1. Meminta kementrian kehutanan segera merealisasikan hasil kesepakatan tanggal 16 dan 27 Desember 2011 2. Moratorium dengan menhentikan opersional PT RAPP di Pulau Padang secepatnya 3. Menolak TIM Mediasi yang di bentuk Kemenhut. 4. Mengundang Menteri Kehutanan untuk bersama-sama masyarakat Pulau Padang untuk ke lokasi. Notulensi di tandatangani oleh Kemenhut Sugeng Marsudiarto dan perwakilan masyarakat Pulau Padang. Tanggal 4 Januari 2012 Bupati KEPULAUAN MERANTI, RIAU di kroyok RIBUAN massa dan di SIRAM AIR hingga 2 kali oleh seorang ibu yang di ajak bersalaman tidak lama turun dari mobil SERTA di USIR dari pulau PADANG. Ribauan Massa menyerbu Kantor CAMAT MERBAU, setelah mendengar Bupati yang agendanya adalah ke JAKARTA untuk pertemuan dengan Menhut dan warga Pulau Padang, malah datang ke Pulau Padang.(Sumber: Rajiono warga desa Lukit/saksi mata) Tanggal 5 Januari 2012 Warga Pulau Padang 90an orang, yang berada di Jakarta mendatangi Kemenhut untuk pertemuan denga Bupati dan Menteri Kehutanan. Namun pertemuan hanya dilakukan dengan Kemenhut dan 20 orang perwakilan masyarakat. Pulau Padang yang juga di sertai oleh Anggota DPD RI asal Riau INSTIAWATI AYUS, menghasilkan; 1. Agenda hari Jumat tgl 6 Januari 2012 untuk pertemuan dengan Bupati Kep. Meranti dan Menteri Kehutanan dari masyarakt sejumlah orang yang sama pada pertemuan saat ini (tgl 5 Januari 2012) 2. Kemenhut siap untuk mengeluarkan surat Pencabutan/revisi SK. No. 327 Menhut/2009 dengan MENGELUARKAN HAMPARAN PULAU PADANG dari SK. No. 327 Menhut tahun 2009 seluas 41.205 ha jika Bupati Kepulauan Meranti merekomendasikan pencabutan/revisi SK. Menhut tersebut. Tanggal 6 Desember 2012

50

Jam 13.00 wib, Massa warga Pulau padang mendatangi Kemenhut, sampai di pintu masuk GEDUNG GRAHA WANA BAKTI, Kemenhut hanya meminta perwakilan tiga (3) orang sebagaimana permintaan bupati dengan Mengatakan tiga orang perwakilan masyarakat pulau padang saya tunggu lima (5) menit, jika tidak mau say akan pulang.! Masyarakat Pulau Padang yang sudah hamper satu bulan bertenda di Depan Gedung DPR RI, MENDENGARpenyampaian Pihak Kemenhut pun kemudian massa Warga Pulau Padang bersikukuh, justru seharusnya yang bisa masuk menjadi 23 orang, tapi kenapa hanya di izinkan Tiga (3) orang, sebagaimana di sampaikan oleh pihak Kemenhut. Jam 14.30 wib ibu Instiawati Ayus anggota DPD RI menghampiri warga masyarakat Pulau Padang, setelah menyampaikan banyak hal kepada Media Massa/wartawan, kemudian mengajak empat (4) orang perwakilan untuk menemui Ketua DPD RI H. Irman Gusman, dan Sekjen DPD RI Siti Nurbaya (Mantan Setjen Kemendagri) di lantai 7 gedung DPR RI. Perwakilan masyarakat Pulau Padang menyampaikan semua aspirasi dan lika-liku perjuangan Masyarakat Pulau Padang menolak kehadiran PT. RAPP di Pulau Padang, sejak dikeluarkannya SK. No. 327 Menhut tahun 2009, (sebagaimana dalam kronologis Penolakan ini) H. Irman Gusman Ketua DPD RI berjanji akan menyelesaikan permasalahn penolakan warga Pulau Padang. Beliau mengatakan percayakan pada kami persoalan bapak-bapak, kami juga sama seperti bapak-bapak, kita sama-sama berjuang, bahkan ketika salah satu perwakilan menyampaikan tentang data-data kepalsuan PT. RAPP dan akan menunjukan kepada beliau, beliau mengatakan udah, udah kami percaya apa yang semua bapakbapak sampaikan. Masyarakat menyampaikan bahwa peta satelit tahun 2002 yang di publikasikan oleh PT. RAPP adalah PEMBOHONGAN yakni dengan menonjolkan tingkat degradasi hutan dan tingkat deforestasi dan penurunan emisi yang tinggi di Pulau Padang adalah tidak benar. Hampir semua data yang tercantum dalam AMDAL PT. RAPP tidak benar karena ketebalan gambut Pulau Padang hanya berkisar 1-2 m. Perwakilan masyarakat memiliki data dan dokumen pembanding hasil penelitian/pengeboran April 2011 (Oka Karyanto dkk), dan data ketebalan gambut di Pulau Padang yang mencapai 12 meter (Brady, 1997) yang secara ilmiah bahwa Pulau Padang dengan segala karateristik dan kelebihannya tidak layak untuk di HTI kan. Tanggal 8 Januari 2012

51

Warga Pulau Padang Masih tetap bertahan dan bertenda di depan gedung DPR RI, kehujanan, kepanasan, makan apa adanya dan tidak akan pulang sebelum SK. No. 327 Menhut tahun 2009 di revisi dengan mengeluarkan Hamparan Pulau Padang di keluarkan dari SK.Tersebut.

C. HASIL PERTEMUAN DENGAN STAKEHOLDER Berdasarkan SK.736/Menhut-II/2011 tanggal 27 Desember 2011 tentang Pembentukan Tim Mediasi Penyelesaian Tuntutan Masyarakat Setempat Terhadap Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) di Pulau Padang Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau, salah satu tugas Tim Mediasi adalah melakukan pertemuan dengan berbagai stakeholder terkait dengan tuntutan masyarakat. Bagian ini mencoba menggambarkan rangkuman hasil pertemuan dengan para stakeholder terkait.

1.

Pertemuan Dengan LSM Pertemuan dengan LSM dilakukan di Pekanbaru pada pada hari Kamis, 05 Januari 2012 di Sekretariat Jikalahari Jl. Angsa 1 No 4A Pekanbaru, Riau. Selama pertemuan dan berdasarkan data-data yang diberikan kepada tim mengemuka isu-isu terkait lingkungan dan perizinan. Terkait dengan isu-isu lingkungan, berdasarkan wawancara dan data-data, dapat disimpulkan isu lingkungan ini bertumpu pada hal-hal sebagai berikut : 1. Pulau Padang adalah pulau kecil yang diatur secara khusus. 2. Pulau Padang adalah pulau Gambut Dalam. 3. Pembukaan hutan gambut secara besar-besaran di Pulau Padang akan menyebabkan pulau itu akan tenggelam.

Tabel di bawah ini menggambarkan selintas pernyataan dan sikap masyarakat dan LSM terkait dengan isu lingkungan ini.

Aktor Surat Pernyataan Masyarak

Sumber Media "Kawasan HTI itu merupakan hutan gambut berkedalaman

52
at lebih dari 6 meter. Semestinya tak boleh jadi HTI," kata Isnadi Esman, perwakilan warga "Kalau lahan gambut dibabat dan tanaman kayu diambil, pulau ini akan tenggelam," ujar M Ridwan, salah seorang warga. Perluasan penguasaan HTI mengakibatkan sebagian tanah garapan masyarakat terampas. (http://megapolitan.kompas.com/ read/ 2011/12/21/ 05373320 / Jahit.Mulut.Perjuangan. Warga.Pulau.Padang) Hasil interpretasi citra SRTM 30 dengan koreksi groundcheck ketinggian tajuk tegakan pohon pada 130 titik di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar kawasan pemukiman dan kebun karet berada pada 1-6 m dpl (di atas permukaan air laut) sehingga adanya rencana HTI dengan kanalisasi besar-besaran berpotensi menyebabkan percepatan tenggelamnya Pulau Padang akibat subsidensi dan meningkatnya pemukaan laut akibat pemanasan global. (http://www.walhi.or.id/id/ruang-media/siaran-pers/1961organisasi-masyarakat-sipil-yang-terdiri-dari-lsmormas-danorganisasi-mahasiswa.html)

LSM

Hasil interpretasi citra SRTM 30 dengan koreksi ground-check ketinggian tajuk tegakan pohon pada 130 titik di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar kawasan pemukiman dan kebun karet berada pada 1-6 m dpl (di atas permukaan air laut) sehingga adanya rencana HTI dengan kanalisasi besarbesaran berpotensi menyebabkan Percepatan tenggelamnya Pulau Padang akibat subsidensi dan meningkatnya pemukaan laut akibat pemanasan global. (pernyataan sikap Organisasi masyarakat sipil yang terdiri dari lsm, ormas dan organisasi mahasiswa No: Istimewa/I/2012 ) PT RAPP (Riau Andalan Pulp and Paper), a subsidiary of Indonesian pulp and paper giant APRIL (Asia Pacific Resources International Lt d), is targeting the clearing of 23,9 14 hectares of peatland forest on P ulau Padang, a small island in Ria u Province, Indonesia. The peatlan d forest that is targeted for clearan ce is quite intact in the PT RAPP c oncession, which in all covers an area of 41,205 hectares, or more t han half of the land area of Singap ore. (Grenomic 2012, APRIL must refrain from pulping peatland forest on a small Indonesian island )

Selain isu lingkungan di atas, sejak lama masyarakat sipil (LSM) menyampaikan analisis terkait dengan perizinan dan lingkungan yang terangkum dalam PERNYATAAN SIKAP ORGANISASI MASYARAKAT SIPIL YANG TERDIRI DARI LSM, ORMAS DAN ORGANISASI MAHASISWA No: Istimewa/I/2012, Tanggal 5 Januari 2012, sebagai berikut :

53

A. Isu AMDAL Proses AMDAL yang bertentangan dengan PP 27/1999 pasal 16 ayat 4 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup, khususnya ketidaksesuaian peruntukan kawasan hutan yang dicadangkan sebagai areal HTI dengan dokumen TGHK, RTRWN, RTRWP Riau (Perda No. 10 tahun 1994), dan RTRWK Bengkalis (Perda No. 19 tahun 2004). Dalam pengambilan data-data di lapangan saat penyusunan AMDALtim penyusun tidak mengambil sampel biofisik lapangan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berkaitan dengan AMDAL, antara lain : 1. Tim penyusun AMDAL tidak melakukan pengukuran sampel kedalaman lahan gambut secara representatif dan akurat.
a) Menurut data ANDAL kedalaman gambut di areal pencadangan HTI secara umum

< 2,5 m, dan sebagian kecil saja yang ketebalan gambutnya antara 2,5 5 meter (sumber: Dokumen ANDAL Areal tambahan PT. RAPP, 2006 halaman V-32), .
b) Menurut hasil penelitian Fakultas Kehutanan UGM kedalaman gambut (sebanyak

70 titik bor) di Pulau Padang > 3 meter, bahkan dibanyak tempat kedalaman gambutnya > 6,5 meter).(Penjelasan lebih lanjut silahkan dibaca pada Lampiran 2. Pengelolaan Landskape Pulau Padang)
c) Menurut Disertasi Michael Allen Brady Universitas British Columbia (sekarang

menjabat Executive Director GOFC-GOLD (Global Observation of Forest and Land Cover Dynamics (GOFC-GOLD)GOFC-GOLD adalah Panel of the Global Terrestrial Observing System (GTOS), yang disponsori oleh FAO, UNESCO, WMO, ICSU and UNEP yang mengambil Pulau Padang sebagai site kajian utama, menunjukkan bahwa sebagian besar kawasan Pulau Padang memiliki kedalaman gambut 9 12 meter. (penjelasan lebih lanjut tentang Disertasi tersebut silahkan dilihat pada Lampiran 3.) Menurut Keppres 32/1990, dan PP No. 47/1997, kawasan gambut dengan kedalaman > 3 meter yang berada di hulu sungai dan rawa termasuk kawasan lindung. Menurut Keppres 32/1999 pasal 37 ayat 1 tentang Pengendalian Kawasan Lindung, menyebutkan bahwa di dalam kawasan lindung dilarang melakukan kegiatan budidaya, kecuali yang tidak mengganggu fungsi lindung. Pengusahaan HTI skala

54

besar yang menggunakan sistem land clearing dan silvikultur THPB akan menimbulkan dampak negatif terhadap fungsi lindung di kawasan Pulau Padang.

2. Tim penyusun AMDAL tidak melakukan survey sosial pada masyarakat terdampak akibat

operasional HTI (sesuai PP 27/1999 pasal 34), khususnya di Desa Lukit dimana sebagian besar areal HTI termasuk wilayah administratif desa tersebut. Tetapi lokasi survey sosial Tim penyusun AMDAL justru ke Desa Tanjungkulim dan Desa Kurau yang lokasinya berada diluar areal HTI. (sumber: Dokumen ANDAL Areal Tambahan PT. RAPP Halaman V-68 s.d. V-82). 3. Hasil interpretasi citra SRTM 30 dengan koreksiground-check ketinggian tajuk tegakan pohon pada 130 titik di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar kawasan pemukiman dan kebun karet berada pada 1-6 m dpl (di atas permukaan air laut) sehingga adanya rencana HTI dengan kanalisasi besar-besaran berpotensi menyebabkan percepatan tenggelamnya Pulau Padang akibat subsidensi dan meningkatnya pemukaan laut akibat pemanasan global B. Dampak Lingkungan Yang Berasal Dari Menurunnya Permukaan Tanah

Seperti yang diuraikan di atas, Masyarakat Sipil dan LSM berpendapat bahwa hasil interpretasi citra SRTM 30 dengan koreksi ground-check ketinggian tajuk tegakan pohon pada 130 titik di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar kawasan pemukiman dan kebun karet berada pada 1-6 m dpl (di atas permukaan air laut) sehingga adanya rencana HTI dengan kanalisasi besar-besaran berpotensi menyebabkan percepatan tenggelamnya Pulau Padang akibat subsidensi dan meningkatnya pemukaan laut akibat pemanasan global. Indikasi ini sudah terbukti di lapangan, dimana masyarakat Pulau Padang dalam beberapa tahun terakhir ini sudah mengalami bencana banjir rob/pasang air laut. Padahal sampai dengan saat ini belum ada pembelajaran tentang dampak kanalisasi HTI skala besar terhadap keseimbangan ekosistem pulau-pulau kecil. C. Isu Deforestasi Pulau Padang 1. Telah terjadi pembentukan opini oleh PT. RAPP berkaitan dengan tingkat deforestasi di kawasan Pulau Padang yang dilakukan saat forum Sosialisasi kepada komponen masyarakat Kabupaten Kepulauan Meranti tanggal 30 Oktober 2010:

55

2. Menurut analisis peta Citra Landsat tahun 2002 yang dilakukan PT. RAPP, kawasan kebun karet dan kebun sagu (yang dikelola masyarakat Pulau Padang selama puluhan tahun) diidentifikasi sebagai areal deforestasi, sehingga tingkat deforestasi di Pulau Padang termasuk kategori tinggi. Kenyataan ini akan dapat mempengaruhi para pihak yang berkepentingan dalam mengambil keputusan yang berpotensi menguntungkan PT. RAPP terutama dalam menentukan arah kebijakan pengelolaan Pulau Padang di masa depan. (penjelasan lebih lanjut dapat dibaca pada Lampiran 4.) 3. Menurut hasil analisis peta citra Landsat pada tahun 2002 dan Citra Landsat tahun 2010 yang dilakukan oleh Fakultas Kehutanan UGM, ternyata laju deforestasi di Pulau Padang selama rentang waktu 2002-2010 sangat minimum. (penjelasan lebih lanjut dapat dibaca pada Lampiran 2.) 4. Kreteria Areal IUPHHK-HTI Kontroversi kriteria areal yang dapat dijadikan IUPHHKHT/HTI (1). UU 41/1999 tentang Kehutanan; (2). PP 6/1999 tentang Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan Produksi; (3). Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002, Tentang Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan Dan Penggunaan Kawasan Hutan; (4). Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung; (5). Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 10.1/Kpts-II/2000 Tentang Pedoman Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman; (6). Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 21/Kpts-II/2001 Tentang Kriteria Dan Standar Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Pada Hutan Produksi; dan (7). Keputusan Menteri Kehutanan No: SK. 101/Menhut-II/2004, jo P.05/MenhutII/2004 tentang Percepatan Pembangunan Hutan Tanaman untuk Pemenuhan Bahan Baku Industri Pulp dan Kertas). D. Isu Pulau Kecil Berdasarkan UU No 27/2007 pasal 1 ayat 3 yang dimaksud Pulau Kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2 (dua ribu kilometerpersegi) beserta kesatuan ekosistemnya. Di dalam UU No 27/2007 pasal 23 ayat 2 dinyatakan Pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya diprioritaskan untuk salah satu atau lebih kepentingan berikut: a). konservasi; b). pendidikan dan pelatihan; c). penelitian dan pengembangan; d). budidaya laut; e). pariwisata; f). usaha perikanan dan kelautan dan industri perikanan secara lestari; g). pertanian organik; dan/atau h).

56

peternakan. Pada pasal 23 ayat 3, kegiatan lain diperbolehkan namun wajib memenuhi persyaratan pengelolaan lingkungan, memperhatikan kemampuan sistem tata air setempat, dan menggunakan teknologi yang ramah lingkungan. Mendasar pada pasal 23 UU No 27/2007 tersebut, maka pengelolaan kawasan Pulau Padang tidak diperuntukan untuk kegiatan pengusahaan hutan. E. Isu Lain SK 327/Menhut-II/2009 menggunakan Keputusan Gubernur Riau no. Kpts 667/XI/2004 yang telah kadaluarsa sebagai konsideran. Selain itu, berkembang pula isu mengenai moratorium gambut terkait dengan Inpres No 10 Tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Inpres ini dikeluarkan bulan Mei 2011 untuk memerintahkan 10 Institusi Pemerintah segera mengambil langkah-langkah penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan dengan menunda pemberian izin baru hutan alam primer dan lahan gambut yang berada di hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi (hutan produksi terbatas, hutan produksi biasa/tetap, hutan produksi yang dapat dikonversi) dan area penggunaan lain sebagaimana tercantum dalam Peta Indikatif Penundaan Izin Baru yang menjadi Lampiran Instruksi Presiden. Merespons Inpres ini, Kementerian Kehutanan pun mengeluarkan SK 323/Menhut-II/2011 tentang Penetapan Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru Pemanfaatan Hutan, Penggunaan Kawasan Hutan dan Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan Areal Penggunaan Lain. Salah satu wilayah yang dimoratorium oleh SK ini adalah sebagian dari sebelah utara Pulau Padang (lihat peta).

57

Ket: warna hijau adalah wilayah moratorium & Warna Merah adalah Wilayah Gambut Inpres tidak hanya melarang izin di lahan gambut dengan kedalaman tertentu tetapi mencakup seluruh lahan gambut yang belum dibebani izin. Isu Pulau Padang kemudian dikaitkan dengan moratorium gambut dan statement Internasional Presiden untuk mengurangi emisi 26% dalam KTT G-20 di Pittsburg 25 September 2009 Selain temuan-temuan diatas, secara khusus perwakilan LSM Riau, yaitu Raflis menyampaikan hal-hal sebagai berikut dalam pertemuan Pakar sebagai anggota Tim dari Oka Karyanto, S.Hut: 1. Ada indikasi izin HTI PT. RAPP bermasalah, karena bertentangan dengan RTRWN, RTRWP, dan RTRWK. 2. Diduga AMDAL HTI PT. RAPP di Pulau Padang bermasalah 3. Terkait butir 1 dan 2, perlu pemeriksaan lebih dalam oleh pihak yang berwenang dan kompeten.

1. Perusahaan

58

Tim mediasi menjalankan pertemuan dengan perusahaan di Manggala Wanabakti pada hari Senin Tanggal 9 Januari 2011. Perusahaan telah melakukan upaya penanganan masalah sosial di Pulau Padang melalui :
1. Sosialisasi tentang rencana pembangunan HTI PT. RAPP di Pulau Padang antara lain : a. b. c. d. e. Pertemuan dengan kepala desa dan tokoh masyarakat Dusun Merbau, Lukit pada tanggal 25 Juni 2009. Mengajak tokoh masyarakat dan aparat desa Tanjung Padang dan Lukit ke RAPP pada tanggal 26-26 Juli 2009. Pertemuan dengan kelompok pelajar Meranti tanggal 18 Agustus 2010. Pertemuan dengan tokoh masyarakat Sei Hiu tanggal 19 September 2010. Sosialisasi rencana operasional HTI PT. RAPP kepada Serikat Tani Riau (STR) pada 29 Oktober 2010. 2. Program pengembangan masyarakat di Pulau Padang antara lain : a. b. c. d. Training Pertanian Terpadu di Training Center PT. RAPP yang diikuti 31 orang dari P. Padang yang terdiri tiga kelompok yaitu 30 Nov 2009, 12 Mei 2010 dan 13 Juli 2010. Pembentukan kelompok tani sebanyak 65 keluarga di Desa Teluk Belitung, Lukit dan Tanjung Padang. Pembagian sarana produksi pertanian melalui kelompok tani di Desa Lukit, Tanjung Padang, dan Teluk Belitung pada Agustus & Oktober 2010. Bantuan beasiswa untuk 26 siswa SMP selama satu tahun dan 5 siswa SMU selama satu tahun, pada 2009. Bantuan beasiswa 290 siswa tahun 2010 serta bantuan komputer. e. f. g. h. i. j. k. Pembuatan taman bacaan di Lukit dan Desa Pulau Padang sebanyak 1000 judul buku pada Oktober 2009. Pelatihan guru di Pekanbaru pada 2-5 Agustus 2010 yang diikuti 5 guru. Pembangunan infrastruktur seperti bantuan pembangunan masjid Ar Rahman di Lukit, Kubah masjid Tanjung Padang pada September 2009. Bantuan meja kursi sekolah sebanyak 100 set pada Juni 2010. Pemeriksaan kesehatan masyarakat Oktober dan Nopember 2009 di Desa Tanjung Padang dan bantuan nutrisi tambahan untuk 100 anak di Desa Tanjung Padang. Pelatihan mekanik motor pada Oktober 2009 dan Juni 2010 di Desa Lukit, Tanjung Padang dan Teluk Belitung. Bantuan bingkisan lebaran 400 paket di 11 Desa di Pulau Padang pada Nopember 2009.

59 3. Penandatangan kesepakatan Bersama masyarakat 14 desa dengan PT. RAPP tanggal 27 Oktober 2011 yang difasilitasi tim terpadu pemerintah Kabupaten Kepulauan Meranti. Belakangan 3 kepala desa yaitu desa Mengkirau, Bagan Melibur dan Lukit telah mencabut dukungan terhadap kesepakatan tersebut. Kesepakatan ini berisikan mekanisme atau tata cara penyelesaian konflik jika areal RAPP tumpang tindih dengan hak masyarakat setempat dan pembangunan tanaman kehidupan

Berdasarkan hal-hal tersebut Perusahaan menyampaikan hal-hal sebagai berikut : 1) Terkait dengan Isu lahan Perusahaan menjalankan operasional IUPHHK-HTI di Pulau Padang berdasarkan izin yang diberikan pemerintah dan dalam hubungannya dengan masyarakat, perusahaan berpedoman kepada Surat Kesepakatan Bersama No. 001/PPD-KM/X/2011 Tentang Pengelolaan IUPHHK-HTI PT. RAPP di Pulau Padang Kecamatan Merbau, Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau. Perusahaan menyampaikan data tentang tumpang tindih areal IUPHHK-HTI yang dimilikinya dengan wilayah masyarakat sebagai berikut :

Tabel List Klaim Lahan Pulau Padang Per 31 Desember 2011

60

NO

NAMA/POKTAN

DUSUN

LUASAN YANG TELAH DISELESAIKAN

LUASAN DALAM PROSES PENYELESAIAN

KETERANGA N

D S T NU GP D N EAA J N A A G 1 2 3 4 5 6 7 8 9 ASING CS ABAS CS PUTRI PUYUH I&II (KheruddinCs) AMBANG SEJAHTERA (Auzar Cs) PERMATA HIJAU (Auzar dan Endang Cs) ABAS CS Tahap II RAMLAN (KT. Makmur, KT. Seroja,dan Pribadi) AIZAN SEI.LABU SEI.LABU TANJUNG PADANG SEI.HIU SEI.HIU SEI.LABU SEI.HIU SEI.HIU SEI.LABU 90.11 Ha 270.3 Ha 292.92 Ha 21.75 Ha 37.5 Ha 60.22 Ha 57.1 Ha Ha 0. Ha 2. Ha 2. Ha 7 Ha 7 2 . 1 2 5 101 Ha 9.7 65 27 Juli 2011 12-Sep-l 1 20 Okt 2011 20 Okt 2011 20 Okt 2011 12-Nov-ll Desember 2011 sdg dalam proses sdg dalam proses

ASING CS Tahap II (JAYA INDAH dan Kanik C s) 10 ARIL CS (KT. USAHA BERSAMA) 11 RAMLI (KT. MAJU SEJAHTERA) 12 KLAIM DUSUN SUNGAI PERMATA

SEI HIU SEI HIU SEI.PERMATA

sdg dalam proses sdg dalam proses sdg dalam proses

TOTAL

8955 Ha

Lampirkan tabel penyelesaian Pemilik Lahan Sei Kuat-Perusahaan

2) Terkait Dengan Isu Lingkungan

61

Terkait dengan masalah-masalah lingkungan di Pulau Padang, PT. RAPP menjawab dengan melakukan pendekatan Hutan dengan Nilai Konservasi Tinggi (HCV).17 Langkah-langkah yang dilakukan diantaranya melakukan beberapa penelitian sebagai berikut :
1.

INRR mengenai penilaian awal HCV, Pulau Padang pada Tahun 2005 Penelitian ini menghasilkan hal-hal sebagai berikut : 1. a. Kesimpulan Di kawasan hutan IUPHHK HTI PT. RIAUPULP (Pulau Padang) teridentifikasi sebanyak 7 HCVF, meliputi : HCVF1 (HCVF-1.1, HCVF-1.2, dan HCVF-1.3), HCVF-2 (HCVF-2.2), HCVF-4 (HCVF-4.2 dan HCVF-4.3), dan HCVF-6. b. Areal-areal di kawasan hutan IUPHHK HTI PT. RIAUPULP (Pulau Padang) yang mengandung HCVF, meliputi : KLG dan buffer KLG (7.444 ha), areal riparian (2.931,4 ha), dan lokasi tempat keramat/situs budaya. c. d. Di areal KLG dan buffer KLG mengandung HCVF-1 (HCVF-1.1, HCVF-1.2, HCVF-1.3' HCVF-2 (HCVF-2.2), HCVF-4 (HCVF-4.2 dan HCVF-4.3). Di areal riparian mengandung HCVF-1 (HCVF-1.2, HCVF-1.3), HCVF-2 (HCVF-2.2 dan HCVF-4 (HCVF-4.2).

2) Rekomendasi Berdasarkan hasil identifikasi dan analisis keberadaan HCVF serta permasalahan seperti diuraikan di atas, maka untuk memastikan kelestarian spesies dilindungi dan terancam punah serta pemulihan kualitas daya dukung kawasan lindung dan sempadan sungai, berikut ini disajikan beberapa rekomendasi pengelolaan dan pemantauan HCVF yang perlu dilakukan oleh unit manajemen PT. Musi Hutan Persada, sebagai berikut : 1. Pengelolaan HCVF a) Penyusunan rencana pengelolaan HCVF secara detail. Kegiatan ini dimaksudkan agar pengelolaan areal HCVF yang akan dilakukan lebih terarah dan tepat sasaran sesuai skala prioritas dan urgensi permasalahan yang dihadapi;
17

Kawasan bernilai konservasi tinggi (KBKT) atau High Conservation Value Areamerupakan suatu kawasan yang memiliki satu atau lebih dari nilai konservasi tinggi(NKT).

62

b) Pemantapan areal HCVF, mencakup kegiatan : (1) penataan batas secara partisipatif, (2) pengamanan areal, dan (3) sosialisasi areal HCVF kepada pihak terkait; c) Pengelolaan areal HCVF, mencakup kegiatan : (1) inventarisasi dan identifikasi areal HCVF yang rusak, (2) penyusunan rencana pengelolaan areal HCVF, dan (3) rehabilitasi/perbaikan areal HCVF yang rusak. Berkaitan dengan upaya rehabilitasi areal HCVF, maka ada dua kegiatan utama yang perlu dilakukan, meliputi : (1) penyusunan rencana rehabilitasi yang memuat aspek (a) pemilihan jenis tumbuhan, (b) penentuan jenis bibit yang akan ditanam, (c) desain penanaman, dan (d) penetapan sistem penanaman; dan (2) pelaksanaan rehabilitasi areal HCVF sesuai kerangka rencana yang sudah disusun, d) Penguatan Kelembagaan dalam pengelolaan HCVF, mencakup aspek : (1) penataan organisasi; (2) penyusunan sistem pemanfaatan HHNK oleh masyarakat secara lestari; (3) penyusunan SOP, juklak dan juknis pengelolaan dan pemantauan HCVF; (4) peningkatan SDM; (5) pengadaan masyarakat. 3) Pemantauan HCVF Agar usaha pemantauan HCVF lebih efisien dan efektif, maka perlu dilakukan halhal sebagai berikut: a. Penyusunan rencana pemantauan HCVF yang mencakup pemantauan flora, fauna dan pemanfaatan hasil hutan non-kayu (HHNK) oleh masyarakat melalui kegiatan pengumpulan bahan dan informasi, serta penyusunan rencana pemantauan lima tahun (RKL) dan rencana tahunan. b. Pelaksanaan pemantauan secara periodik setiap tahun terhadap flora dan fauna serta pemanfaatan HHNK oleh masyarakat, berdasarkan kerangka rencana pemantauan HCVF yang telah disusun dengan melakukan kegiatan-kegiatan : (1) survei flora, fauna dan pemanfaatan HHNK oleh masyarakat, (2) pengolahan data/informasi, penilaian (evaluasi) hasil survey, dan (3) penetapan upaya perbaikan untuk pengelolaan selanjutnya berdasarkan hasil survey dan penilaiannya. sarana prasarana untuk perlindungan, pengamanan, pemantauan areal HCVF; dan (6) penguatan kelembagaan di tingkat

63

4) Pendampingan Pengelolaan dan Pemantauan HCVF Dalam rangka implementasi rencana pengelolaan dan pemantauan HCVF di kawasan hutan IUPHHK HTI PT. RIAUPULP (Pulau Padang), maka perlu dilakukan kegiatan pendampingan oleh lembaga yang berkompeten, mulai dari kegiatan penyusunan rencana detail pengelolaan dan pemantauan areal HCVF di wilayah tersebut, serta implementasi kegiatan pengelolaan dan pemantauannya. 2. Laporan akhir identifikasi dan analisis keberadaan HCV di Kawasan Hutan IUPHHKHTI PT. Riau Andalan Pulp and Paper (Pulau Padang, Propinsi Riau) oleh Fakultas Kehutanan IPB, 2008. Penelitian ini menghasilkan hal-hal sebagai berikut : A. Kesimpulan 1) Di kawasan hutan IUPHHK HTI PT. RIAUPULP (Pulau Padang) teridentifikasi sebanyak 7 HCVF, meliputi : HCVF1 (HCVF-1.1, HCVF-1.2, dan HCVF-1.3), HCVF-2 (HCVF-2.2), HCVF-4 (HCVF-4.2 dan HCVF-4.3), dan HCVF-6. 2) Areal-areal di kawasan hutan IUPHHK HTI PT. RIAUPULP (Pulau Padang) yang mengandung HCVF, meliputi : KLG dan buffer KLG (7.444 ha), areal riparian (2.931,4 ha), dan lokasi tempat keramat/situs budaya. 3) Di areal KLG dan buffer KLG mengandung HCVF-1 (HCVF-1.1, HCVF-1.2, HCVF-1.3' HCVF-2 (HCVF-2.2), HCVF-4 (HCVF-4.2 dan HCVF-4.3). 4) Di areal riparian mengandung HCVF-1 (HCVF-1.2, HCVF-1.3), HCVF-2 (HCVF-2.2 dan HCVF-4 (HCVF-4.2). B. Rekomendasi

Berdasarkan hasil identifikasi dan analisis keberadaan HCVF serta permasalahan seperti diuraikan di atas, maka untuk memastikan kelestarian spesies dilindungi dan terancam punah serta pemulihan kualitas daya dukung kawasan lindung dan sempadan sungai, berikut ini disajikan beberapa rekomendasi pengelolaan dan

64

pemantauan HCVF yang perlu dilakukan oleh unit manajemen PT. Musi Hutan Persada, sebagai berikut : 1) Pengelolaan HCVF a. Penyusunan rencana pengelolaan HCVF secara detail. Kegiatan ini dimaksudkan agar pengelolaan areal HCVF yang akan dilakukan lebih terarah dan tepat sasaran sesuai skala prioritas dan urgensi permasalahan yang dihadapi; b. Pemantapan areal HCVF, mencakup kegiatan : (1) penataan batas secara partisipatif, (2) pengamanan areal, dan (3) sosialisasi areal HCVF kepada pihak terkait; c. Pengelolaan areal HCVF, mencakup kegiatan : (1) inventarisasi dan identifikasi areal HCVF yang rusak, (2) penyusunan rencana pengelolaan areal HCVF, dan (3) rehabilitasi/perbaikan areal HCVF yang rusak. Berkaitan dengan upaya rehabilitasi areal HCVF, maka ada dua kegiatan utama yang perlu dilakukan, meliputi : (1) penyusunan rencana rehabilitasi yang memuat aspek (a) pemilihan jenis tumbuhan, (b) penentuan jenis bibit yang akan ditanam, (c) desain penanaman, dan (d) penetapan sistem penanaman; dan (2) pelaksanaan rehabilitasi areal HCVF sesuai kerangka rencana yang sudah disusun, d. Penguatan Kelembagaan dalam pengelolaan HCVF, mencakup aspek : (1) penataan organisasi; (2) penyusunan sistem pemanfaatan HHNK oleh masyarakat secara lestari; (3) penyusunan SOP, juklak dan juknis pengelolaan dan pemantauan HCVF; (4) peningkatan SDM; (5) pengadaan masyarakat. 2) Pemantauan HCVF Agar usaha pemantauan HCVF lebih efisien dan efektif, maka perlu dilakukan hal-hal sebagai berikut: a. Penyusunan rencana pemantauan HCVF yang mencakup pemantauan flora, fauna dan pemanfaatan hasil hutan non-kayu (HHNK) oleh masyarakat melalui kegiatan pengumpulan bahan dan informasi, serta sarana prasarana untuk perlindungan, pengamanan, pemantauan areal HCVF; dan (6) penguatan kelembagaan di tingkat

65

penyusunan rencana pemantauan lima tahun (RKL) dan rencana tahunan. b. Pelaksanaan pemantauan secara periodik setiap tahun terhadap flora dan fauna serta pemanfaatan HHNK oleh masyarakat, berdasarkan kerangka rencana pemantauan HCVF yang telah disusun dengan melakukan kegiatan-kegiatan : (1) survei flora, fauna dan pemanfaatan HHNK oleh masyarakat, (2) pengolahan data/informasi, penilaian (evaluasi) hasil survey, dan (3) penetapan upaya perbaikan untuk pengelolaan selanjutnya berdasarkan hasil survey dan penilaiannya. 3. Pendampingan Pengelolaan dan Pemantauan HCVF Dalam rangka implementasi rencana pengelolaan dan pemantauan HCVF di kawasan hutan IUPHHK HTI PT. RIAUPULP (Pulau Padang), maka perlu dilakukan kegiatan pendampingan oleh lembaga yang berkompeten, mulai dari kegiatan penyusunan rencana detail pengelolaan dan pemantauan areal HCVF di wilayah tersebut, serta implementasi kegiatan pengelolaan dan pemantauannya. 4. HCV Rapit Risk Assessment Report for RKT 2010 in Southern Padang Island, Ideas Consultancy Service, 2010 Penelitian ini memberikan kesimpulan sebagai berikut : 1) In southern part of Padang Island HCV 1.1; HCV 1.2; HCV 4.1; HCV 4.2; HCV 4.3 HCV 5 are PRESENT. HCV 1.3; HCV 2.3; HCV 3 are potentially PRESENT. HCV 1.4. HCV 2.1, HCV 2.2, and HCV 6 are ABSENT, (see Annex 1) 2) With the presence of several HCVs, several recommendations, monitoring and evaluation related to RKT 2010 such as elaborated in Annex 1 shall be established to create such pre-condition to support the forest operational in RKT 2010. Under certain circumstances where these are not applies then RAPP will face with serious problems related to land conflict with local community, environmental degradation along the riparian and coastal areas, and water subsidence that is unsuitable with the ideal condition for peat land ecosystem management.

66

3)

Particularly for social aspect, RAPP shall put more focus on several important measures such as: Conflict Resolution including conflicts mapping, Tenurial Reinforcement, and FPIC implementation

4)

RAPP needs to create a flagship to promote brand image that RAAP is a Pro Poor and Pro Conservation company. This can be done by establishing a community based agroforestry scheme focusing on the southern part of Padang Island.

5) 6)

Based on analysis from map-based tenurial conflict as it is presented in Figure 35, there was a secure zone to conduct forest operation in RKT 2010 RAPP shall develop a Management Plan document considering the basic principle of sustainable management of peat swamp ecosystem including the optimum use of natural resources and environmental services.

7)

The management plant document shall cover an adaptive management system based on ecological, socio-economic and political information generated from periodic monitoring data.

8)

RAPP shall delineate and map each type of ecosystem existed within their working areas in various geographical scale. This should be integrated with local spatial planning as well as proper scientific study to anticipate the ecological and socio-political changes.

Berdasarkan hasil diskusi dengan perusahaan, perusahaan menyampaikan kesediaannya untuk menerima penyelesaian kasus ini dan bersedia untuk mengakomodir keinginan masyarakat terkait dengan hak-hak atas lahan mereka. Selain dengan PT. RAPP, Tim Mediasi juga melakukan pertemuan dengan Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) tanggal 11 Januari 2001. Kegiatan yang dilakukan pada dasarnya adalah tukar pendapat soal permasalahan/konflik yang terjadi antara PT RAPP dengan masyarakat Pulau Padang. Tim Mediasi menyampaikan perkembangan konflik yang terjadi dan data-data serta faktafakta yang diperoleh oleh Tim selama berada di lapangan. Juga disampaikan bahwa Tim telah bertemu dengan Menhut dan telah menyampaikan rekomendasi awal berdasarkan kegiatan pelaksanaan kegiatan. Proses mediasi sendiri belum dilakukan, namun pra

67

kondisi untuk itu telah dilakukan dan terus dikembangkan untuk mendapat ruang mediasi yang tepat buat para pihak. APHI sendiri juga telah menyampaikan posisinya dan menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaaan kepada Tim Mediasi yang telah bekerja sungguh-sungguh. APHI sendiri juga sudah mulai menyikapi konflik-konflik yang terjadi pada anggotanya dan ada bidang tertentu yang menanganinya. APHI juga menyampaikan harapannya agar Tim Mediasi dapat melakukan tugasnya secara objektif dan APHI siap mendukung kegiatan mediasi yang dilakukan. informasi yang diperoleh. 3. Masyarakat Fakta di lapangan, masyarakat terbagi ke dalam dua kelompok, yaitu Masyarakat yang Pro dan Masyarakat yang Kontra terhadap HTI PT. RAPP di Pulau Padang. Pendapaat dua kelompok masyarakat tersebut diuraikan sebagai berikut: a. Masyarakat yang Pro Dari pertemuan dan dialog dengan perangkat desa dan masyarakat desa Tanjung Padang di rumah Kepala Desa Tanjung Padang, dan beberapa tokoh desa Lukit di Selat Panjang, diperolah data/info : 1. Mereka mendukung dan dapat menerima kehadiran HTI PT.RAPP di wilayah desa mereka karena yakin akan memperoleh banyak manfaat. 2. Manfaat yang sudah nyata : a. Penyerapan tenaga kerja bagi warga mereka antaralain bidang penanaman HTI, Satpamhut. Total tenaga kerja RAPP disana sekitar 300 orang.
b. Penanaman HTI seluas + 1.050 Ha yang diharapkan dapat meningkatkan produktivitas

Harapan selanjutnya adalah bahwa APHI akan terus

berhubungan dengan Tim Mediasi dan melakukan pertemuan-pertemuan untuk sharing

lahan. c. Bantuan dana CSR berupa biaya sekolah/beasiswa murid sekolah serta infrastruktur/sarana umum. d. Pembuatan kanal-kanal ecohydro yang terbukti mengurangi banjir. e. Sagu hati (ganti rugi lahan masyarakat) f. Kemitraan dengan koperasi desa berupa pemberian kontrak penyediaan transportasi antar jemput (6 speed boat) bagi karyawan.

68

3. PT.RAPP akan membangun/menanam tanaman kehidupan bagi masyarakat seluas 1.900 Ha dan 1.100 Ha (total 3.000 ha). 4. Mereka sangat resah dengan sepak terjang oknum-oknum STR yang sangat militan yang mengancam masyarakat yang tidak mendukung perjuangan STR serta penyebaran informasi yang tidak benar (menjelek-jelekan PT.RAPP melalui penyayangan Video).
5. Akibat butir 4, masyarajat di Desa Lukit terbelah dua menjadi kelompok yang mendukung

STR (bersikap militant/agresif) dan kelompok yang mendukung HTI PT.RAPP (bersikap menahan diri).
6. Kelompok masyarakat yang mendukung HTI mengharapkan agar PT. RAPP tetap

diizinkan menjalankan usaha (pembangunan HTI) di Pulau Padang.

b. Masyarakat yang Kontra Tim Mediasi melakukan pendalaman di kasus Pulau Padang, khususnya terhadap 3 desa yaitu: desa Lukit, Desa Mengkirau dan Desa Merbau, tetapi untuk desa lain tim mediasi menggali informasi dari tokoh-tokoh masyarakat. Berdasarkan informasi awal yang tim kumpulkan pada tiga desa ini adalah episentrum penolakan terhadap keberadaan perusahaan PT. RAPP di Pulau Padang dan hampir semua tokoh gerakan ini bertempat tinggal di tiga desa ini. Meskipun demikian, berdasarkan pertemuan wawancara dengan tokoh masyarakat di Jakarta yaitu Ridwan dan Isnadi Esman serta kawan-kawan, mereka menyatakan bahwa yang melakukan penolakan adalah 12 (dua belas) desa di Pulau Padang18. Dalam wawancara dilapangan, masyarakat menyatakan bahwa penolakan dari desa-desa diluar tiga desa yang didalami ini lebih pasif. Inti masalah yang menyebabkan penolakan masyarakat Pulau Padang khususnya pada tiga desa ini dan beberapa tokoh dari desa lain terhadap perusahaan karena menurut mereka kehadiran perusahaan akan mengakibatkan cepatnya penurunan tanah sehingga kedepan akan mengakibatkan tenggelamnya Pulau Padang dan akan hilangnya hak kepemilikan tanah masyarakat yang sudah lama mereka kelola.19 Dari hasil analisis data, wawancara dan temuan di lapangan, Tim Mediasi menemukan pokok-pokok masalah sebagai berikut :
18

Lihat Surat Pernyataan Forum Komunikasi Masyarakat Penyelamatan Pulau Padang (FKMP3) tanggal 13 Januari 2012 19 Lihat Rekaman Proses Diskusi Tim Mediasi dengan Masyarakat Lukit, tanggal 19 Januari 201, di Desa Lukit

69

1)

Ruang Kelola dan Klaim Masyarakat a. Status Tata Kuasa dan Tata Kelola di Pulau Padang Di Indonesia dan banyak tempat di dunia, terdapat sekumpulan hak yang berlaku dan bekerja pada sebidang lahan yang sama. Situasi ini terjadi karena berbagai hak tersebut bersumber dari beberapa sumber yang berbeda. Bentuk-bentuk situasi (niche) dari sistem penguasaan tanah dapat mempengaruhi jenis-jenis hak penguasaan atas tanah dan tanaman di atasnya. Situasi dari sistem penguasaan tanah dapat dikategorikan ke dalam berbagai kepemilikan hak penguasaaan oleh pihak-pihak berikut: 1. Privat: disini bentuk hak penguasaan tanah diberikan kepada individu, rumah tangga, sekelompok masyarakat atau korporasi seperti entitas komersial atau organisasi nirlaba. Hak-hak penguasaan tanah oleh entitas privat bukan hanya terbatas pada pemanfaatan saja, tetapi juga hak pengalihan (rights of transfer) seperti jual beli atau waris, dan hak mengecualikan (rights to exclude). 2. Komunal: bentuk hak penguasaan tanah komunal melekat pada kelompok masyarakat tertentu dimana setiap anggotanya memiliki hak guna (rights of use) atas tanah-tanah komunal. Setiap anggota tidak memiliki hak mengecualikan (rights to exclude) kepada anggota lainnya. 3. Akses terbuka (open access): Situasi akses terbuka adalah keadaan dimana hak penguasaan tanah tidak diberikan kepada siapapun, namun tidak seorangpun dapat dikecualikan dari penggunaan tanah tersebut. Situasi akses terbuka sering terjadi di wilayah hutan, dan padang penggembalaan dimana semua pihak bebas menggunakannya. 4. Pemerintah: unit-unit pemerintah (pusat maupun daerah) dapat memiliki hak penguasaan tanah hutan dan berusaha menjaga sumber daya hutan tersebut. Tanah-tanah hutan tersebut dapat saja berupa hutan lindung dan konservasi, demi pelestarian

70

satwa, tumbuhan serta perlindungan hidrologi, atau dapat juga berupa hutan produksi untuk komersial, penebangan dan penanaman secara sebagai areal Hak-hak periodik.

penguasaan tanah oleh masyarakat atas tanah-tanah hutan pemerintah beragam, tergantung pada aturan-aturan pemerintah. Ditinjau dari pembagian tersebut, maka nampak dengan jelas bagaimana berbagai jenis hak penguasaan tanah (bundle of rights) dapat berlaku atas sebidang tanah/kawasan daratan.20Tim Mediasi menerima berbagai data dan informasi terkait mengenai hal ini. Data dan informasi tersebut diperkuat juga dengan kunjungan lapangan ke Pulau Padang. Pada bagian ini Tim Mediasi berusaha menggambarkan temuan-temuan yang terkait dengan isu penguasaan dan pengelolaan lahan di Pulau Padang. 2.1.1. Status Tata Kuasa

Di Pulau Padang dalam hal penguasaan tanah, menyangkut soal peruntukan, kepemilikan, dan peralihan hak atas tanah. Masyarakat Pulau Padang dalam kepemilikan tanah ada yang bersifat individual dan ada juga komunal. Dan pada umumnya tanahtanah yang ada di Pulau Padang banyak dimiliki secara individual. Tanah-tanah yang sudah dimiliki secara individu dan kolektif jarang diperjual belikan oleh masyarakatnya. Karena tanah-tanah yang sudah dimiliki, ditanami karet dan sagu untuk mendukung ekonomi masyarakat. Sejak dahulu kepemilikan lahan/tanah penduduk di Pulau Padang memiliki ciri khas tersendiri, yang sangat jauh berbeda dengan kepemilikan tanah di Pulau Jawa. Bagi masyarakat Pulau Padang kepemilikan cukup hanya dengan bermusyawarah antar sesama warga (kelompok) yang bersepakat mengambil sebuah kawasan. Sampai sekarang masih banyak masyarakat yang tidak memiliki SKT dari Kepala Desa (alas hak) untuk perumahan dan kebun karet yang mereka miliki atau lahan-lahan baru yang mereka jadikan untuk perkebunan baru. Namun demikian secara turun temurun masing-

20

Gamma Galudra, Gamal Pasya, Martua Sirait, Chip Fay, Rapid Land Tenure Assessment (RaTA), Panduan Ringkas Bagi Praktisi, 2006 World Agroforestry Centre, hlm 7

71

masing mengakui bahwa lahan/kebun tersebut dulunya miliknya si Polan, maka sampai hari ini pun tanah tersebut adalah milik ahli waris si Polan.21 Dari hasil wawancara tanggal 19 Januari 2012 di Desa Lukit, banyak masyarakat pada saat ini yang mengurus SKT. Hal ini disebabkan ketakutan masyarakat akan terjadinya pengambilan lahan yang sudah lama di kelola oleh PT. RAPP. Ada beberapa cara penguasaan (kepemilikan) terhadap tanah yang berlaku: 1. Mendapatkan warisan dari orang tua, dimana tanah yang diwariskan tersebut adalah tanah yang sudah dibuka oleh orang tuanya terdahulu. 2. Melalui Surat Keterangan Tanah (SKT) dari Kepala Desa. SKT ini diurus setelah dibuka dan dikelola oleh masyarakat. 3. Melalui Surat Keterangan Ganti Rugi. Biasanya dikarenakan ada suatu kebutuhan yang mendesak maka lahan/tanah yang sudah dikelola bisa dipindah tangankan kepada masyarakat lain berada di wilayah desa tersebut. Bukti klaim penguasaan masyarakat telah menguasai tanah di Pulau Padang selama puluhan tahun bisa dilihat dari: 1. Pohon karet yang berumur puluhan tahun. 2. Pohon sagu yang berumur ratusan tahun 3. Kuburan orang suku Akit yang pertama kali menduduki Pulau Padang 4. Surat Keterangan Tanah (SKT) yang sudah dikeluarkan oleh Kepala Desa 2.1.2. Status Tata Kelola

Lahan di Pulau Padang dialokasikan untuk lahan perkebunan seperti sagu dan karet. Juga ada sedikit tanaman sawit tapi tidaklah seluas tanaman sagu dan karet, ini karena ketidak tertarikan masyarakat terhadap tanaman ini. Awal budaya bercocok tanam masyarakat dimulai dengan penanaman sagu. Cara pembukaan areal/lahan oleh masyarakat untuk kebun adalah melalui proses landclearing, kemudian dibakar, dibuat tali kemudian baru dilakukan penanaman.

21

Teguh Yuwono, Konflik Izin IUPHHK-HT PT. RAPP Di Pulau Padang, Analisis Kasus Pulau Padang, Jogjakarta 7 Januari 2012

72

Untuk sagu jumlah tanaman adalah sebanyak 120 batang per ha. Sagu dapat dipanen bila telah berumur 12 tahun, kemudian dipanen setiap tahun. Nilai 1 (satu) batang sagu saat ini Rp. 300.000/batang dengan asumsi 120 batang/ha, maka pengahasilan masyarakat sekitar Rp. 36.000.000/ha/tahun Rp. 3.000.000/ha/bulan. Untuk tanaman karet pertama kali dipanen pada umur 8 tahun. Selanjutnya dapat dipanen setiap hari, setiap hari ratarata produksi karet 12,5 kg/ha/hari. Rata-rata harga karet saat ini adalah Rp. 13.000/kg, sehingga jika dihitung rata-rata penghasilan masyarakat per bulan dari tanaman karet adalah Rp. 4.875.000/ha/bulan. Berdasarkan perhitungan hasil budidaya karet dan sagu yang didapatkan oleh masyarakat, secara ekononomis sudah mencukupi/sejahtera (wawancara, 19 Januari 2012) masyarakat Pulau Padang. Jadi kehadiran perusahaan belum tentu berpengaruh untuk meningkatkan ekonomi masyarakat, namun justru dikhawatirkan akan menghilangkan mata pencaharian dan lahan-lahan masyarakat, karena tanah yang akan dikuasai oleh perusahaan PT. RAPP. Pengelolaan lahan di Pulau Padang cukup beragam, umumnya model yang terjadi dalam pengelolaan lahan adalah sebagai berikut: 1. Membuka dan mengelola lahan dengan tangan sendiri. 2. Dengan mengupah (sistem upahan). Upah diberikan berupa uang, dengan perhitungan masa kerjanya seharian (harian) dan besar upah disepakati antara yang punya tanah dengan orang yang berkerja. Sistem upahan ini dilakukan karena tidak mampunya pemilik tanah dalam mengelola tanahnya sendiri.

Selain pertanian intensif seperti perkebunan karet dan sagu, masyarakat yang berasal dari suku Akit melakukan aktifitas pemanfaatan hutan dengan memanfaatkan hasil hutan non kayu. Selain itu suku ini juga mengembangkan usaha pembuatan atap dari daun pohon nipah. Lampirkan Foto terkait pengelolaan hutan oleh masyrakat

2.2.

Masalah-Masalah Terkait Tata Kuasa dan Tata Kelola

73

Konflik antara masyarakat Pulau Padang dengan PT. RAPP, terjadi ketika perusahaan masuk ke Pulau Padang. Penolakan terhadap perusahaan sudah dilakukan oleh masyarakat ketika perusahaan melakukan sosialisasi yang dilakukan pada tanggal 17 Nopember 2009. Dalam konteks tata kuasa dan tata kelola, masalah yang timbul adalah : 1. Tumpang tindih lahan Menurut masyarakat di Pulau Padang menyampaikan bahwa perusahaan belum melakukan pemetaan terhadap batas wilayah kelola masyarakat sehingga terjadi tumpang tindih dengan konsesi perusahaan dengan wilayah kelola masyarakat. Dengan ketidak jelasan batas ini, lahan-lahan yang menjadi perkebunan dan pemukiman masyarakat masuk dalam wilayah konsesi perusahaan. Beberapa desa sudah melakukan tata batas Desa dan telah dilakukan penandaan berupa patok-patok Pal Batas permanen sebagaimana peta Batas Wilayah Administrasi Pemerintahan dan posisi/letak Astronomi Patok Batas yang ditandatangani Bupati Bengkalis. Penataan batas ini dilakukan di Desa Mengkirau. 2. Penyimpangan terhadap proses sagu hati Salah satu cara perusahaan menyelesaiakan masalah lahan di Pulau Padang adalah dengan memberikan sagu hati. Sagu Hati adalah sebuah konsep penghargaan terhadap penguasaan masyarakat atas lahan yang ditemukan dilapangan. Dalam proses pemberian sagu hati, Surat Keterangan Tanah (SKT) sebagai salah satu bukti penguasaan sangat penting. Dilapangan, tim menemukan bahwa SKT adalah bukti hak/alas hak atas kepemilikan tanah masyarakat. SKT ini dikeluarkan oleh kepala desa. Kehadiran SKT-SKT ini yang membuat konflik antara masyarakat dengan masyarakat. SKT ini bisa dijadikan bukti untuk mendapatkan SAGU HATI dari perusahaan. Dalam pelaksanaannya, menurut masyarakat, terdapat kekeliruan perusahaan dalam pemberian Sagu Hati yaitu Sagu Hati diberikan kepada masyarakat yang bukan pemilikyang menguasai secara fisik tanah dan kejadian ini menjadi pemicu konflik di Desa Lukit. Kebanyakan Sagu Hati yang diberikan, bukan kepada orang pemilik sah terhadap tanah/lahan tersebut, akan tetapi diberikan kepada pihak lain yang SKT nya ditenggarai

74

dipalsukan melalui mantan kepala desa. Dan dari dokumen yang didapatkan, terlihat ada pemalsuan terhadap dokumen yang ada. Kelalaian perusahan RAPP yang tidak memastikan siapa pemilik tanah, menyebabkan masyarakat tidak senang dengan kehadiran perusahaan dan sagu hati yang diberikan tidak tepat sasaran. 3. Hilangnya Sumber Ekonomi Masyarakat Kedatangan pertama kali masyarakat Jawa di Desa Mengkirau yaitu tahun 1918 dipelopori Mbah Yusri. Setelah Mbah Yusri Wafat kemudian digantikan oleh Mbah Tukiman terjadi tahun 1945, kemudian digantikan oleh Haji Amat yang digantikan oleh Selamat dan Jumangin (Haji Ridwan). Selamat, membuka lahan ke arah Mengkirau dan haji Ridwan ke arah Bagan Melibur. Ketika masyarakat Jawa pertama kali masuk ke daerah ini (1918) sudah ada masyarakat Melayu yang dipimpin oleh Wan Husen. Kedatangan masyarakat Jawa sekitar tahun 1918 tersebut untuk bekerja di kilang-kilang Sagu. Hasil bekerja di kilang Sagu tersebut dipergunakan untuk membuka lahanlahan/kebun dipinggir sungai. Karena terjadinya abrasi di pinggir sungai kemudian masyarakat pindah ke arah dalam. Sekitar tahun 1970 sampai 1975 di daerah ini terdapat operasional perusahaan kayu yang mengekspor logs ke luar negeri. Lahan-lahan eks perusahaan yang ditinggalkan itulah yang kemudian menjadi areal yang dibuka untuk perluasan pertanian/kebun masyarakat yang berlangsung hingga saat ini. Awal budaya bercocok tanam masyarakat dimulai dengan penanaman Sagu. Cara pembukaan areal/lahan oleh masyarakat untuk kebun adalah landclearing, kemudian dibakar, dibuat tali air kemudian baru dilakukan penanaman. Untuk sagu 120 batang per ha. Sagu dapat dipanen pertama umur 12 tahun, kemudian dipanen setiap tahun. Nilai 1 (satu) batang sagu saat ini Rp.300.000,- / batang dengan asumsi 120 batang/ha maka penghasilan masyarakat sekitar Rp.36.000.000,-/ha/tahun atau Rp.3.000.000,-/ha/bulan. Sementara untuk tanaman Karet pertama kali dipanen pada umur 8 tahun. Selanjutnya dapat dipanen setiap hari, setiap hari rata-rata produksi karet 12,5 kg/ha/hari. Harga karet

75

saat ini adalah Rp.13.000,-/kg, sehingga jika dihitung rata-rata penghasilan masyarakat per bulan dari tanaman karet adalah Rp.4.875.000,-/ha/bulan. Sebagaimana di desa lain di Pulau Padang, di Desa Mengkirau tidak ada bahan bangunan berupa pasir dan batu sehingga harus mendatangkan dari luar antara lain Tanjung Balai Karimun (Pulau Sumatera) dan harganya mahal. Sehingga tingkat ketergantungan terhadap kebutuhan kayu sangat tinggi mulai dari rumah, perabot, Mesjid, Kantor Desa dan bahkan untuk keranda jenazah menggunakan kayu (6 keping papan ukuran 5x30 cm /keranda). Sehingga ada kekhawatiran keberadaan perusahaan akan mengganggu kebutuhan dasar masyarakat berupa kayu perumahan dan rumah tangga. Menurut masyarakat, mereka sudah sejahtera sebelum adanya perusahaan PT. RAPP di Blok Pulau Padang, karena itu, dengan kehadiran PT. RAPP akan menjadikan situasi lebih sulit karena: a. Hancurnya pola ekonomi lokal yang berbasiskan sagu dan perkebunan karet. b. Menyempitnya lahan pertanian dan perkebunan c. Makin sulitnya memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap kayu untuk pembangunan rumah, mengebumikan orang meninggal, dimana karena Pulau Padang adalah pulau dengan kawasan gambut, maka pengebumian orang yang meninggal membutuhkan peti yang terbuat dari kayu Berdasarkan observasi lapangan dengan pengambilan titik GPS Terjadi tumpang tindih ruang kelola masyarakat di desa Mengkirau termasuk pemukiman yang dengan ijin RAPP. Bukti hak masyarakat banyakan diantaranya yang sudah bersertifikat. Titik tumpang tindih tersebut diantaranya :
a.

Pada koordinat 0100758,4 LU dan 10202414,2 terdapat rumah penduduk

dengan kebun Karet disekitarnya dan telah dilengkapi dengan Sertifikat Hak Milik Nomor : 559 Tahun 1987 atas nama Maryam (copy/dokumentasi sertifikat terlampir).
b.

Pada koordinat 0100752,8 LU dan 10202412,8 terdapat rumah penduduk

dengan kebun Karet disekitarnya dan telah dilengkapi dengan Sertifikat Hak Milik Nomor : 557 Tahun 1987 atas nama Misgiman (copy/dokumentasi sertifikat terlampir).

76

Dengan adanya perusahaan yang masuk ke desa mereka, timbul kekhawatiran masyarakat bahwa lahan-lahan yang sudah lama mereka kelola akan digusur oleh perusahaan.22

2) Keterwakilan/Penyelesaian Konflik Lahan Dalam penyelesaian masalah lahan Pulau Padang, pemerintah daerah membentuk tim terpadu berdasarkan Surat Keputusan Bupati Kepulau Meranti No. 146 Tahun 2011 tanggal 7 September 2011 tentang Pembentukan tim Terpadau Penyelesaian konflik Antara Masyarakat dengan Perusahaan dalam Kabupaten Kepulauan Meranti.Upaya-upaya yang dilakukan oleh tim terpadu dalam penyelesaian konflik lahan adalah :
1. Telah dibuat kesepakatan (MoU) antara PT.RAPP dengan masyarakat yang diwakili

oleh masing-masing Kepala Desa yang berisikan tentang protokol penyelesaian konflik dan rencana pembangunan tanaman kehidupan untuk masyarakat. Kesepakatan antara kepala desa dengan PT.RAPP ini, setelah di telaah dan berdasarkan hasil wawancara, sesungguhnya berisi tata cara (protocol) penyelesaian konflik jika terjadi, bukan merupakan kesepakatan final antara masyarakat pemegang-penguasa lahan dengan perusahaan. Tetapi dilapangan, kesepakatan ini bekerja seolah-olah masyarakat telah setuju dengan keberadaan IUPHHK-HTI tersebut. Kesepakatan inipun mendapat bantahan dan penolakan dari masyarakat luas dimana kemudian 3 Kepala Desa (Lukit, Mengkirau dan Bagan Melibur) mencabut kembali persetujuannya. Selain itu masyarakat menyampaikan data pembanding yaitu kesepakatan penolakan Badan Perwakilan Desa dan Tokoh Masyarakat beserta ulama. Adapun proses negosiasi yang sudah dan sedang berlangsung baru terjadi di sebagian di desa tanjung padang tepatnya di sungai hiu, dan sebagian kecil di desa lukit tepatnya di sungai kuat. Pihak pemilik tanah yang diajak bernegosiasi, menurut masyarakat masih dalam status bermasalah karena merupakan pemilik yang didasarkan atas klaim SKT yang baru dibuat dan rata-rata mereka ditenggarai adalah spekulan tanah dan mantan logging.

22

Lihat Rekaman Proses Diskusi Tim Mediasi dengan Masyarakat Lukit, tanggal 19 Januari 201, di Desa Lukit

77 2. Praktek penyelesaian konflik di lapangan diselesaikan per kelompok tani dan per

Kepala Keluarga dan hingga saat ini penyelesaian baru dilakukan di sebagian kecil wilayah Pulau Padang (Desa Tanjung Padang dan Desa Lukit) dengan bentuk penyelesaian Sagu Hati/ganti rugi tanaman. Namun demikian, berdasarkan wawancara dan data, Tim Terpadu belum melakukan identifikasi/pemetaan hak masyarakat yang menyeluruh untuk seluruh wilayah Pulau Padang. Untuk itu penting melakukan identifikasi/pemetaan terhadap hak-hak masyarakat.
3. PT. RAPP telah memiliki Protokol penyelesaian konflik yang mengadopsi prinsip

Free, Prior, Informed and Consent (FPIC) tapi belum tercermin nyata dalam mengantisipasi terjadinya konflik dan menyelesaikan konflik yang terjadi di Pulau Padang.

4. Isu Lingkungan terkaitan penurunan gambut diperlihatkan masyarakat dari tanda-

tanda yang sudah terjadi, dimana dalam 25 tahun terahir ini terjadi penurunan permukaan gambut sampai dengan 1meter lebih. Terlihat dari tanaman karet, kelapa, tiang rumah, dan tangga rumah. Tim juga diarahkan masyarakat untuk membandingkan penurunan tanah di Pulau Padang dengan melihat perbandingan di areal perusahaan Kondur Petrolium. Tabel Foto Penurunan Tanah (sajikan pada lampiran)

Area Kondur Petrolium

Kebun Karet Masyarakat

Pengikisan bibir pantai yang tinggi dalam kondisi normal saat ini, membuat masyarakat berpikir bahwa pembukaan hutan secara masif oleh RAPP akan menyebabkan abrasi pantai semakin tinggi dan itu berarti menyebabkan pulau semakin menyempit dan lambatlaut akan sampai ke kebun dan pemukiman masyarakat.

78

Berdasarkan analisis data, wawancara dan temuan lapangan di 3 desa yang menolak, tim kemudian menangkap inti masalah yang disampaikan oleh masyarakat yaitu : Lukit Pulau akan Tenggelam Proses pemberian sagu hati yang tidak transparan dan salah sasaran dalam pemberian sagu hati Tumpang tindih lahan Mengkirau Pulau akan tenggelam Hilangnya sumber ekonomi masyarakat Bagan Melibur Pulau akan tenggelam Hilangnya sumber ekonomi masyarakat

Lahan perkebunan masyarakat yang masuk dalam konsesi Tumpang tindih dalam pemberian SKT Hilang sumber ekonomi masyarakat

Keberadaan perusahaan PT. RAPP tidak pernah di sosialisasikan kepada masyarakat Lahan masyarakat akan digusur oleh perusahaan Tumpang tindih lahan antara apa dan apa?
Makin sulitnya kebutuhan masyarakat terhadap kayu untuk pembangunan rumah

Lahan masyarakat akan digusur oleh perusahaan

Tidak adanya kehidupan untuk masa depan

ruang generasi

3.c Lembaga Adat Melayu Seiring dengan unjuk rasa jahit mulut yang dilakukan di Jakarta, pada tanggal 16 Januari 2011 masyarakat yang tergabung dalam FKMP3 kembali menyelenggarakan unjuk rasa ke kantor Bupati Kepulau Meranti untuk meminta Bupati mengeluarkan surat rekomendasi pencabutan ijin IUPHHK_HTI di Pulau Padang. Tetapi unjuk rasa ini batal dilakukan karena di pelabuhan Selat Panjang, masyarakat FKMP3 dihadang oleh masa lain. Menurut FKMP3, sempat beredar isu bahwa unjuk rasa FKMP3 pada saat itu akan berujung pada tindakan anarkis sehingga menimbulkan reaksi dari masyarakat di Selat Panjang. SELAT PANJANG(DP)-RENCANA aksi demo secara besar-besaran oleh ribuan massa dari Forum Komunikasi Masyarakat Penyelamat Pulau Padang (FKM-PPP) di depan Kantor Bupati Kepulauan Meranti dan DPRD, Senin (16/1) siang akhirnya batal. Meski telah berada di tengah laut, beberapa unit kapal pengangkut massa terpaksa harus balik kanan, karena mereka khawatir terjadi bentrok dengan massa

79

demo tandingan masyarakat peduli Kabupaten Meranti, yang telah menunggu kedatangan mereka di setiap penjuru Kota Selatpanjang. Sejak pagi, ribuan massa dari berbagai elemen masyarakat di Kota Selatpanjang telah berkumpul di setiap sudut kota. Kemudian mereka berkumpul ke ujung Jalan Dorak, untuk menghadang massa FKM-PPP yang berencana melakukan aksi unjuk rasa. Lengkap dengan atribut dan delapan sepanduk berwarna putih, mereka pun duduk dengan tenang dengan pengawasan ratusan aparat kepolisian, TNI dan Satpol PP.23 Tim Mediasi dalam kunjungannya juga menemui tokoh masyarakat yang ada di Selat Panjang. Pada pertemuan tersebut, tokoh masyarakat ini menyampaikan bahwa reaksi yang timbul disebabkan oleh demonstrasi yang menurut mereka sudah anarkis dan melanggar kesopanan. Sikap ini dinyatakan dalam Pernyataan Sikap Lembaga Adat, Paguyuban, Ormas dan OKP, Kabupaten Kepulauan Meranti tanggal 11 Jauari 2012. Menolak Unjuk rasa Pulau Padang Enam Tokoh Masyarakat Meranti Datangi Polres Bengkalis RiauterkiniBENGKALIS- Terkait niat aksi unjukrasa sekitar ribuan massa dari Pulau Padang Kecamatan Merbau, Kabupaten Kepulauan Meranti dan aksi penghadangan massa di Kota Selatpanjang, Senin (16/1/12) lalu. Enam tokoh masyarakat Selatpanjang, dan dua pejabat Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kepulauan Meranti, mendatangi Markas Kepolisian Resor (Mapolres) Bengkalis, Rabu (18/1/12) siang..........Kami menyatakan sikap menolak aksi demo itu. Tidak perlu dilakukan di Selatpanjang tetapi harus di Jakarta. Bupati Meranti dalam suratnya telah dinyatakan dengan tegas. Sebenarnya hanya ada tiga desa yang bermasalah dan 14 desa yang ada di Pulau Padang itu, kata Muzamil yang juga memimpin Akindo Selatpanjang. Senada disampaikan Ketua LAM Kabupaten Kepulauan Meranti Ridwan Hasan, adanya aksi demo diinformasikan ribuan massa dari Pulau Padang itu, adalah sangat disayangkan. Kabupaten Kepulauan Meranti yang baru berdiri sudah harus dipenuhi dengan kerusuhan dan akhirnya merugikan masyarakat itu sendiri. Kita merasa risih dengan aksi-aksi unjukrasa yang tidak memandang norma luhur kemelayuan. Apalagi adanya isu pengunjukrasa itu akan membumi hanguskan Kota Selatpanjang. Kami dari tokoh-tokoh paguyuban di Selatpanjang tidak akan menerima hal itu, tegas Ridwan. Kami berharap Polres Bengkalis mengambil tindakan tegas dengan aksi-aksi yang merugikan. Kami siap dukung dan kami berada dibelakang
23

http://www.dumaipos.com/berita.php?act=full&id=5284&kat=13

80

Polres untuk menciptakan Selatpanjang selalu dalam situasi kondusif apalagi sebentar lagi perayaan Imlek. Kami harap pihak kepolisian tidak mengeluarkan izin aksi itu, imbuhnya.24

5. Pemerintah Provinsi Riau Terkait dengan tuntutan masyarakat Pulau Padang Kabupaten Kepulauan meranti, Pemerintah Provinsi Riau telah mengambil langkah-langkah Sbb: 1. Tehadap terbitnya SK Menhut No. SK. 327/MENHUT-II/2009 tentang perubahan ke 3 atas keputusan menteri kehutanan No. 130/KPTS-II/1993 tanggal 27 Pebruari 1993 tentang pemberian HPHTI kepada PT. RAPP, Dinas kehutanan Prov. Riau telah menyurati Menteri Kehutanan dengan surat No. 522.2/Pemhut/2621 Tanggal 2 September 2009 yang intinya agar Menteri Kehutanan meninjau ulang dan merevisi SK Menteri tersebut di atas. 2. Pemerintah Provinsi Riau (Asisten Bidang Pemerintahan Setda Prov. Riau) telah menyurati Bupati Kepulauan Meranti dengan surat No. 100/TAPEM/90.25 Tanggal 7 Nopember 2011 yang intinya : a. agar Tim Terpadu yang telah dibentuk oleh Pemerintah Kabupaten Kepulauan Meranti melakukan inventarisasi dan identifikasi lahan masyarakat di dalam HTI PT. RAPP Pulau Padang. b. Pihak masyarakat dan STR akan menyerahkan data-data kepemilikan lahan masyarakat didalam konsesi PT.RAPP di Pulau Padang. 3. Pemerintah Provinsi Riau (Asisten Bidang Pemerintahan Setda Prov. Riau) telah menyurati PT. RAPP dengan surat No. 100/TAPEM/92.25 Tangga 7 Nopember 2011 yang intinya bahwa Pemerintah Provinsi Riau telah menginstruksikan kepada Bupati Kepulauan Meranti melalui Tim Terpadu untuk melaksanakan inventarisasi dan identifikasi lahan masyarakat di areal HTI PT. RAPP Pulau Padang agar PT. RAPP dapat membantu pelaksanaan kegiatan dimaksud. 4. Terkait dengan notulen rapat pada tanggal 16 Desember 2011, yang dihadiri oleh Kepala Pusat Humas Kementerian Kehutanan, FKMPPP dan PPJ yang isinya pada butir 6, Kapus Humas Kementerian Kehutanan menyurati Kepala Dinas Kehutanan Prov. Riau
24

http://www.riauterkini.com/hukum.php?arr=43027

81

dengan surat No. S.58/II-PHM/I/2011 Tanggal 28 Desember 2011 yang intinya mohon klarifikasi kegiatan pembangunan HTI PT. RAPP Pulau Padang, Kehutanan Prov. Riau telah menanggapi surat tersebut 522.2/Pemhut/4008 Tanggal 29 desember 2011 yang intinya : a. Kapus Humas kurang berkoordinasi di dalam Kementerian Kehutanan terhadap terbitnya surat Kapus Humas tersebut. b. Terhadap poin 6b notulen rapat pada tanggal 16 Desember 2011 tersebut agar Kapus Humas menyurati PT. RAPP dan berkoordinasi dengan Dirjen BUK. c. Melihat suasana saat izin diterbitkan Dinas Kehutanan Prov. Riau telah memprediksi akan muncul permasalahan, akan tetapi Dinas Kehutanan Prov. Riau sangat menyayangkan kepekaan pihak Kementeriaan Kehutanan terhadap masalah yang berkembang saat ini dari awal sangat kurang. 4. Pemerintah Kabupaten Kepulauan Meranti Dari pihak Pemerintah Kabupaten terdiri dari antara lain Bupati Kepulauan Meranti, Ketua dan Tim Terpadu, bertempat di Kantor Bupati tanggal 4 Januari 2012 malam. Informasi/data yang diperoleh : 1. 2. Masyarakat yang menuntut dicabutnya konsesi HTI PT.RAPP umumnya dari 3 desa yang tidak menandatangani MoU, mereka dimotori oleh STR dan FKPPP. Tuntutan mereka berubah-ubah, dari semula mempermasalahkan tumpang tindih areal konsesi HTI, ruang kelola masyarakat, cacatnya proses perizinan dan ancaman di lingkungan hidup/Amdal bermasalah. 3. 4. Saat ini tuntutan mereka : pencabutan izin HTI RAPP di Pulau Padang. Aksi tuntutan diatas mulai marak sejak Pemerintah Kabupaten giat memberantas illegal logging. Pemerintah Kabupaten menilai bahwa aksi-aksi demonstrasi ini ada yang memelihara. 5. Sejumlah tokoh penuntut di depan DPR-RI dan yang menjahit mulut, teridentifikasi oleh Kesbangpol sebagai terduga pelaku illegal logging yang sedang diburu Polres Kepulauan Meranti, yang resah karena sejumlah jalur anak sungai untuk memilirkan log ditutup oleh petugas RAPP. 6. Masyarakat yang menerima kehadiran HTI RAPP di Pulau Padang, jumlahnya jauh lebih besar, terdiri dari antaralain 11 desa yang sudah menandatangani MoU yang diketahui Kepala Dinas surat No. dengan

82

Tim Terpadu, Ketua DPRD Kabupaten Kepulauan Meranti dan Bupati Kepulauan Meranti 7. Masyarakat yang menerima tersebut, merasa kiprah RAPP di Pulau Padang dapat mengakomodasi aspirasi mereka antaralain penyerapan tenaga kerja, kemitraan dengan koperasi desa, csr/bantuan dana pendidikan, sagu hati, dll. 8. Pemerintah Kabupaten pun menilai bahwa selama ini PT.RAPP sangat kooperatif mematuhi arahan/permintaan Pemerintah Kabupaten antaralain penambahan luas tanaman kehidupan, menjaga lingkungan (kanal ecohydro) dan bantuan sarana prasarana umum. 9. Saat ini PT.RAPP sudah menghentikan operasinya di Pulau Padang, meskipun mereka memiliki perizinan yang lengkap serta tidak ada pelanggaran. Kerugian mereka cukup besar. 10. Bupati belum merasa sebagai pihak yang tepat membuat rekomendasi pencabutan izin PT.RAPP kepada Kementerian Kehutanan. 11. Salah satu langkah untuk menyelesaikan masalah tuntutan tersebut adalah penataan batas-batas areal kerja PT.RAPP dan desa-desa termasuk lahan pribadi warga. 6. Kemenhut Pada hari Selasa tanggal 25 Januari 2012, bertempat di Gedung Kementrian Kehutanan, Tim Mediasi melakukan pertemuan dengan Menteri Kehutanan untuk menanyakan tawaran Kementrian Kehutanan untuk penyelesaian kasus Pulau Padang ini. Inti dari yang disampaikan oleh Kementrian Kehutanan yaitu : a. b. Kementrian kehutanan menginginkan solusi yang dihasilkan sesuai dengan Hukum yang ada dan tidak melanggar hukum. Kementrian kehutanan menginginkan agar penyelesaian kasus ini bertumpu pada keinginan untuk mensejahterakan masyarakat dan menjaga iklim investasi.

D. PENDAPAT PAKAR 1. Pengantar

83

Sejak tahun 2008 masyarakat Pulau Padang khususnya di 3 desa yaitu Desa Lukit, Bagan Melibur dan Mengkirau menolak beroperasinya HTI PT. RAPP di daerahnya. Namun, semenjak aktivitas pembangunan HTI di mulai tuntutan masyarakat ke 3 desa tersebut semakin meningkat, bahkan sampai melakukan demo jahit mulut, membangun tenda dan bermalam di depan Pintu Gerbang Gedung DPR RI di Jakarta. Tuntutan utama masyarakat di ke 3 desa tersebut adalah pencabutan izin HTI PT. RAPP Blok Pulau Padang yang dikeluarkan Menteri Kehutanan berdasarkan SK NO. 327/Menhut-II/2009. Dalam merespon tuntutan masyarakat Pulau Padang tersebut, Menteri Kehutanan RI membentuk Tim Mediasi penyelesaian tuntutan masyarakat setempat terhadap ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman (IUPHHK-HT) di Pulau Padang dengan SK Nomor: SK. 736/Menhut-II/2011. Salah satu tugas tim mediasi adalah mengumpulkan masukan dari para pakar berbagai bidang terkait tuntutan masyarakat setempat (Pulau Padang). Berdasarkan hasil studi lapangan tim dan analisis terhadap informasi yang diperoleh ditemukan isu yang menjadi dasar tuntutan penolakan HTI PT RAPP adalah terkait lingkungan dan perizinan. Isu lingkungan tersebut berupa tanah gambut yang tidak cocok untuk HTI dan tenggelamnya Pulau Padang. Isu perizinan terkait dengan proses memperoleh izin termasuk Amdal. Isu lain terkait dengan pemanfaatan hutan Pulau Padang yang tidak sesuai dengan UU No 27 Tahun 2007, karena dianggap sebagai pulau kecil. Dalam rangka mendapatkan informasi yang lebih valid terhadap isu-isu tersebut, maka Tim mediasi mengundang pakar yang kompeten dari beberapa Perguruan tinggi. 2. Tujuan Pertemuan dengan pakar ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mendapatkan masukan dan informasi yang lebih valid terkait dengan isu lingkungan dan perizinan yang menjadi dasar tuntutan masyarakat Pulau Padang.

3. Metode 1. Pakar yang diundang dan peserta pertemuan

84

Pakar yang diundang adalah pakar yang memiliki kompetensi sesuai dengan isu lingkungan dan perizinan yang menjadi dasar tuntutan masyarakat Pulau Padang. Pakar yang diundang dan kompetensinya disajikan pada Tabel berikut ini: No Nama Pakar 1. Dr. Basuki Sumawinata 2. 3. 4. 5. 6. Prof. Dr. Budi Indra Setiawan Dr. Oka Karyanto Dr. Teguh Yuwono Prof. Dr. Muhajir Utomo Prof. Dr. Asep Warlan Yusuf Kompetensi Ahli tanah gambut IPB Ahli Fisika Tanah IPB Ahli kehutanan UGM Ahli kehutanan UGM Ahli tanah UNILA Ahli Hukum Administrasi Negara Keterangan

Pertemuan ini akan dihadiri oleh seluruh tim mediasi termasuk tim pengarah penyelesaian tuntutan masyarakat Pulau Padang. 2. Waktu dan Tempat Pelaksanaan Pertemuan dengan pakar akan dilaksanakan pada Hari Rabu, pukul 09.00 di Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta. 3. Pelaksanaan Pertemuan Pertemuan dengan pakar akan diatur sebagai berikut: a. Pakar yang diundang menyerahkan bahan presentasi berupa soft copy dan print outnya b. Pakar yang diundang menyampaikan presentasi tentang isu lingkungan dan perizinan yang menjadi dasar tuntutan masyarakat Pulau Padang c. Tim mediasi melakukan pendalaman terhadap materi presentasi yang disampaikan pakar dengan mengajukan pertanyaan.

4. Hasil Masukan Pakar 1. Oka Karyanto, S.Hut. MSc.

85

Berdasarkan paparannya dan diskusi terkait isu lingkungan berupa ketidak cocokan Pulau Padang untuk HTI dan Tenggelamnya Pulau Padang bila HTI PT. RAPP beroperasi di Pulau Padang dapat disimpulkan sebagai berikut: a. Pulau Padang tidak cocok untuk HTI karena ada gambutnya. Argumentasi yang dikemukakan: 1) gambut di Pulau Padang memiliki kedalaman > 3m, 2) Didasarkan pada data primer hasil pengukuran CO2 yang menyimpulkan bahwa: a). Pemanfaatan kawasan gambut untuk hutan alam dan sagu (tanpa drainase) lebih lestari karena tingkat emisi (konsekuensinya tingkat subsidensi) lebih kecil, b). Emisi CO2 pada gambut dalam untuk budidaya karet rakyat berumur muda lebih kecil dibanding karet berumur tua, 3).Tingkat subsidensi di Pulau Padang didsarkan pada data sekunder hasil penelitian . b. Beroperasinya HTI PT. RAPP di Pulau Padang dapat menyebabkan tenggelamnya Pulau Padang. Hasil pendalaman Tim Mediasi diketahui bahwa opini tersebut merupakan hipotesis. Selain itu argumentasi yang dikemukakan adalah sebagai berikut: 1). Hipotesis didasarkan pada asumsi subsidensi 4 cm/tahun dan kenaikan muka air laut 4 mm/tahun, sehingga dihiptesis dalam kurun waktu 60-70 tahun Pulau Padang tenggelam. 2). terdapat bukti di lapangan bahwa saat ini telah terjadi subsidensi, 3). Didasarkan pada hasil penelitian Hooijer, et al (2011).3). Didasarkan pada hasil penelitian dari peneliti asing yang menyatakan bahwa
Selama 8 tahun setelah didrainase, telah terjadi 1,5 m subsiden dan akan berlangsung kurang lebih linear; hal ini serupa dengan yg dialami di tempat lain (Malaysia bahkan USA).

c. Pendapat lain Pakar Oka adalah sebagai berikut: 1). Belum ada kajian mengenai kelestarian produktifitas pada lahan gambut dalam 2). Belum ada kajian dampak lingkungan drainase lahan gambut dalam 3). Belum ada kajian kelestarian produktifitas tapak pada areal HTI pada lahan gambut dalam, paling tidak yang telah diakui secara internasional 4). Interpolasi dari 70 titik-titik hasil pengeboran (April, 2011) menunjukkan bahwa sebagian besar pulau Padang merupakan gambut dalam (Data primer). 5). Pulau Padang bertopografi rata, ketinggian maksimum 15 m dpl (dari permukaan laut), hampir
semua pemukiman berada pada ketinggian kurang dari 6 m dpl (Hasil analisis peta DEM dan Topografi berdasarkan SRTM 30 m). Selain itu disimpulkan kawasan pemukiman dan kebun berada pada ketinggian 1-6 m dpl sehingga rentan terhadap kenaikan muka air laut.

86 6). Terjadi penurunan kualitas tutupan hutan scr gradual namun tidak terjadi deforestasi secara drastis kecuali ketika (1) pembukaan koridor jalan tambang dan (2) land-clearing HTI 7). Deforestasi di Pulau Padang versi PT. RAPP berbeda dengan versi Pakar Oka. Selain itu beliau juga menyimpulkan tidak terdapat deforestasi yang menyolok antara 2002-2010, bahkan banyak deforested area yang recover. Degradasi terjadi pada kawasan gubah gambut. 8). Dengan ketinggian dpl rendah, sebagian besar pemukiman dan kebun karet di bagian pinggir akan tenggelam akibat kombinasi peat subsidens dan kenaikan muka air laut 9). Pakar Oka mengemukakan adanya fenomena intrusi air laut. Selanjutnya dinyatakan Fenomena intrusi air laut ini salah satunya dapat dikarenakan penurunan muka air tanah akibat kanalisasi lahan gambut. Fenomena ini telah menarik perhatian penggiat lingkungan dari Pekanbaru terutama mengenai masa depan pulau Padang. Diperkirakan dengan kondisi yg ada sekarang, kawasan hunian dan kebun di pulau Padang akan tenggelam 60 th kemudian 10). Telah terjadi abrasi lapisan gambut sepanjang pantai timur pulau Padang.

2. Prof. Dr. Budi Indra Setiawan Berdasarkan paparan yang telah disampaikannya dan pendalaman Tim Mediasi dapat dinyatakan bahwa pendapat Prof. Budi sebagai berikut: a. Data primer hasil penelitian pada lahan gambut yang ditanamai HTI Akasia Crassicarfa di Sumatera Selatan menunjukkan:terjadi penaikan dan penurunan permukaan tanah tergantung pergerakan permukaan air tanah (water level). b. Data primer hasil penelitian pada lahan gambut yang ditanamai HTI Akasia Crassicarfa di Sumatera Selatan menunjukkan: terjadi penambahan biomassa ke lahan sebesar 60%, sedangkan biomassa yang diangkut ke luar lahan sebesar 40%. Artinya, HTI Akasia Crassicarfa di lahan gambut bisa mengurangi penurunan tanah bahkan menaikan permukaan tanah (Data disajikan pada Lampiran..). c. Tidak ada satu pun negara di dunia kecuali di Indonesia yang melarang penggunaan lahan gambut untuk kebun, HTI dan lain-lain. d. HTI yang ditujukan untuk pulp dan kertas memiliki arti strategis yang positif bagi kemajuan bangsa Indonesia, baik dari segi ekonomi, pendidikan dan budaya masyarakat.

87

e. Teknologi pengelolaan gambut yang lestari masih dalam proses penelitian, karena untuk menyatakan pengelolaan itu lestari butuh penelitian jangka panjang. Walaupun demikian, tidak berarti masyarakat dilarang memanfaatkan lahan gambut.

3. Dr. Basuki Sumawinata Berdasarkan paparan dan pendalaman yang dilakukan Tim Mediasi terkait isu lingkungan yang mendasari tuntutan masyarakat Pulau Padang, Dr. Basuki Sumawinata berpendapat sebagai berikut: a. Terkait isu Pulau Padang tidak cocok untuk HTI karena ada gambutnya. Dr. Basuki Sumawinata menyatakan: 1) HTI Akasia Crassicarfa di lahan gambut dengan pengelolaan yang baik tumbuh dengan subur seperti di Bukit Batu, Pelalawan, dan Sumatera Selatan. Dengan kata lain, Akasia Crassicarfa cocok untuk tanah gambut. Bahkan beliau menambahkan, bahwa b. Terkait isu Pulau padang tenggelam bila PT. RAPP beroperasi di Pulau Padang. Dr. Basuki menyampaikan pendapatnya sebagai berikut: 1). Pembukaan lahan gambut untuk HTI menghasilkan subsidensi tetapi tidak linier. Pada awal pembukaan lahan gambut ( 1 tahun) subsidensi dapat mencapai 35 cm, namun bila tinggi muka air dipertahankan tetap tinggi (40-80 cm) subsidensi berlangsung lambat. Hal itu terjadi karena pada awal pembukaan subsidensi yang terjadi berupa subsidensi fisik akibat kehilangan air dari ruang pori tanah. 2). Berdasarkan data primer hasil penelitian selama satu tahun pada HTI PT. BBHA di Bukit Batu (Data terlampir) dinyatakan bahwa dekomposisi yang ditunjukkan dengan ukuran partikel tanah hanya berlangsung di bagian tanah permukaan, sedangkan yang dekat dengan permukaan air tidak berlangsung yang dicirikan oleh ukuran partikel tanahnya kasar. Dengan demikian, beliau menyimpulkan bahwa bila permukaan air tanah dipertahankan tetap tinggi (40-80 cm) subsidensi bisa dijaga sangat rendah. Bahkan, bila serasah (daun dan ranting) Akasia Crassicarfa yang jatuh ke permukaan diperhitungkan subsidensi itu bisa sangat kecil (tidak terjadi) 3). Hingga saat ini belum ada informasi (pengalaman) bahwa pulau yang lahannya berupa tanah gambut di Indonesia yang tenggelam.

88

4). Tidak masalah (bahkan lebih disukai) lahan gambut dalam (> 3 m) dimanfaatkan untuk pertanian termasuk HTI Akasia Crassicarfa, asal melakukan pengelolaan air yang. Artinya, mampu mempertahankan tinggi muka air yang rendah sekalipun di musim kemarau. 5). Berdasarkan pengelaman beliau survey dan penelitian gambut, Dr. Basuki menyatakan bahwa anak bangsa telah menguasai Teknologi pengelolaan gambut berkelanjutan. Beliau menjelaskan sejarah perkembangan penguasaan teknologi pengelolaan gambut di Indonesia. Pada teknologi pengelolaan gambut yang paling akhir ditemukan, peluang subsidensi sangat rendah, kebakaran dapat dihindari, dll.

4. Prof. Dr. Muhajir Utomo Prof. Muhajir tidak menyampaikan paparan, namun beliau mendukung pendapat Prof. Budi Indra Setiawan dan Dr. Basuki Sumawinata. Beliau berpendapat bahwa dengan penerapan Eco-Hydro lahan gambut dapat dimanfaatkan untuk HTI Akasia Crassicarfa. Selain itu, dengan penerapan Eco-Hydro, subsidensi dapat ditekan bahkan dengan penambahan daun dan ranting yang gugur subsidensi bisa sangat rendah.

5. Prof. Asep Warlan Yusuf Untuk mendalami isu yang terkait dengan perizinan, Tim Mediasi mengundang pakar hukum Prof. Asep Yusuf Warlan. Berdasarkan paparan dan pendalam oleh Tim Mediasi dapat dinyatakan sebagai berikut: 1).5 Pokok terkait dengan Izin : a. Tujuan b. Kewenangan c. Substansi d. Prosedur e. Penegakan 2). Konsekuensi Pemegang Izin tidak memenuhi persyaratan a. Penolakan b. Penundaan

89

c. Pembekuan d. Pembatalan e. Pencabutan

1). Izin harus memenuhi azas-azas penyelenggaraan pelayanan perizinan a.l. kepastian hukum bagi penerima 2). Izin PT. RAPP di Pulau Padang tetap sah karena belum ada bukti bukti pelanggaran. 3). Rekomendasi Gubernur/Bupati hanya bersifat sebagai suatu pertimbangan, saran dan usul.

E. Analisis dan Kesimpulan Isu pertama yang mendasari tuntutan masyarakat Pulau Padang adalah HTI tidak cocok di Pulau Padang karenda ada gambutnya. Pakar Oka menyatakan bahwa Pulau Padang sebagian besar ditempati gambut ber- kedalaman > 3 m. Beliau berpendapat gambut > 3m tidak bisa dimanfaatkan untuk HTI karena melanggar Keppres 32 Tahun 1990. Keppres 32 tahun 1990 pada pasal 10 yang menyatakan bahwa lahan gambut > 3m yang berada di hulu sungai dan rawa termasuk kawasan lindung gambut. Hal itu dimaknai sebagai pelarangan untuk digunakan untuk budidaya tanaman. Namun, Prof Budi dan Dr. Basuki mengemukakan bahwa Keppres 32 tahun1990 tidak didasarkan pada hasil kajian ilmiah. Padahal, secara akademis gambut > 3 m tidak masalah dimanfaatkan untuk pertanian termasuk HTI asal menerapkan Teknologi pengelolaan HTI yang baik termasuk praktek pengelolaan air terbaik (Best practicewater management). Dr. Basuki memberi contoh HTI Akasia Crassicarfa di beberapa tempat yang bertanah gambut pertumbuhan dan produksinya baik, sehingga secara agronomis gambut dalam cocok untuk HTI. Hasil kunjungan Tim Mediasi ke Lokasi operasional PT. RAPP pertumbuhan Akasia Crassicarfa tumbuh baik. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa secara agronomi gambut di Pulau Padang cocok untuk HTI. Berkaitan dengan ketidaksesuaian lahan gambut dalam (>3 M) karena melanggar Keppres 32 Tahun 1990. Dr. Basuki mengemukakan bahwa sampai saat ini banyak lahan gambut dalam telah dimanfaatkan untuk perkebunan, HTI, dan lain-lain, sehingga akan sulit bila Keppres ini ditegakkan. Walaupun demikian Prof. Asef Yusuf Warlan berpendapat bahwa pada ayat ... Keppres 32 dinyatakan bahwa larangan bisa diterabas bila ada teknologi

90

yang dapat menyelesaikan masalah dalam pemanfaatan gambut dalam. Selain itu, beliau juga menjelaskan bahwa bila ada pihak yang merasa dirugikan sebaiknya diajukan ke Komisi Yudisial. Berdasarkan pendapat pakar tersebut maka langkah terbaik yang harus dilakukan adalah mengajukan masalah tersebut ke Komisi Yudisial. Isu lingkungan yang kuat mendasari tuntuan masyarakat Pulau Padang adalah Pulau Padang bisa tenggelam bila HTI PT. RAPP beroperasi di Pulau Padang. Isu ini muncul dari Hipotesis Raflis yang diadopsi oleh Pakar Oka dengan asumsi bahwa bila subsidensi berlangsung tetap 4 cm/tahun dan kenaikan permukaan air laut 4 mm/tahun dan ketinggian permukaan tanah dari permukaan laut rata-rata 5 m, maka Pulau Padang akan tenggelam dalam waktu 60-70 tahun. Namun, Dr. Basuki Sumawinata, Prof. Dr. Budi Indra Setiawan, dan Prof. Dr. Muhajir Utomo. berpendapat bahwa subsidensi tidak berlangsung secara linier, karena banyak faktor yang mempengaruhi. Dr. Basuki menyampaikan beberapa contoh pemanfaatan gambut bila dengan pengelolaan air yang cukup baik, wilayah berlahan gambut tidak tenggelam. Tetapi bila tanpa pengelolaan yang tepat subsidensi berlangsung terus dan gambutnya habis, tetapi Dr. Basuki menegaskan bahwa wilayahnya tidak tenggelam. Berdasarkan pendapat para pakar tersebut, Tim Mediasi menyimpulkan bahwa terdapat dua pendapat yang kontradiktif tentang tenggelamnya Pulau Padang bila HTI PT. RAPP beroperasi disana.

F. Rekomendasi Berdasarkan analisis dan kesimpulan tersebut di atas, terkait isu lingkungan Tim Mediasi merekomendasikan sebagai berikut: 1. Dalam rangka memberi kepastian hukum maka perlu dilakukan yudisial review terhadap Keppres 32 tahun 1990. 2. Untuk menguji hipotesis Tenggelamnya Pulau Padang, perlu dilakukan penelitian kolaboratif antara ke dua kelompok pakar yang memiliki pendapat yang kontradiktif. BAB III ANALISIS DATA, FAKTA DAN INFORMASI LAPANGAN 1. Analisis Sengketa

91

Konflik atau sengketa dapat terjadi antara masyarakat dan antar lembaga. Sengketa merupakan perbedaan kepentingan antar individu atau lembaga pada objek yang sama yang dimanifestasikan dalam hubungan-hubungan di antara mereka. Menganalisis siapa dan mengapa mereka terlibat adalah salah satu aspek yang penting dalam studi tentang sengketa sistim penguasaan tanah. Untuk itu perlu dipahami dengan baik siapa subjek yang terlibat dalam sistim penguasaan tanah dalam sengketa tersebut. Subjek didefinisikan sebagai para pelaku yang terlibat dalam sengketa sistim penguasaan tanah, baik pelaku yang mempengaruhi ataupun yang dipengaruhi. individu, masyarakat, kelompok sosial atau institusi. Objek sengketa juga perlu dipahami, objek sengketa dapat didefinisikan sebagai benda, baik berupa tanah maupun sumber daya alam lainnya yang disengketakan oleh para pelaku. Untuk mendapatkan pemahaman yang baik terhadap konflik/sengketa yang terjadi perlu diperjelas melalui pendekatan terhadap subjek dan objek sehingga menjadi lebih jelas. Secara tegas objek yang disengketakan oleh masyarakat Pulau Padang adalah terbitnya izin kepada PT. RAPP yang mengakibatkan :
1. Kekhawatiran terhadap masa depan kehidupan (sustainability of livelihood) karena

Subjek dapat berupa

soal isu lingkungan terhadap penurunan tanah dan lebih lanjut tenggelamnya Pulau Padang. 2. Ruang kelola dan hak atas tanah yang simpang siur dan tidak adanya kejelasan terhadap tata batas terhadap izin PT. RAPP. Keadaan ini menimbulkan kekhawatiran yang sangat mendalam pada masyarakat. 3. Proses sosialisasi atas izin tidak dilakukan dengan baik oleh si pemberi izin, penerima izin kepada masyarakat Pulau Padang. Ini mengakibatkan keresahan pada masyarakat karena munculnya informasi yang tidak akurat yang diterima. Analisis konflik/sengketa merupakan proses untuk mengkaji dan memahami realitas konflik dari berbagai perspektif yang beragam. Di sisi lain, analisis konflik bisa dijadikan dasar pijakan dalam pengembangan strategi dan rencana aksi penyelesaian. Proses analisis konflik dimulai dengan proses identifikasi (desk analysis, pengumpulan fakta dan data, pendapat para ahli serta pendapat berbagai stakeholder).

92

Analisis konflik didasarkan pada pandangan bahwa masyarakat memiliki struktur dan tingkat yang kompleks dan membutuhkan kerangka kerja komprehensif untuk memahami masalah, persepsi, pelaku dan informasi pelengkap. Secara umum untuk melakukan analisis konflik diperlukan beberapa hal, yaitu : 1. Kecermatan dalam pemilahan terhadap persepsi yang muncul 2. Melakukan analisis dari berbagai sudut pandang 3. Mendapatkan fakta dan data yang akurat dari sumbernya. Analisis konflik ditujukan untuk memperoleh pemahaman yang lebih cermat dan komprehensif terhadap dinamika, hubungan dan isu terkait dengan situasi sehingga rekomendasi untuk rencana aksi menjadi lebih tepat dilakukan serta para pihak paham atas rencana aksi tersebut. Hasil analisis terhadap konflik akan digunakan untuk : 1. Memberikan pemahaman tentang latar belakang dan sejarah situasi konflik dan peristiwa terkini. 2. Mengidentifikasi semua kelompok yang relevan. 3. Memahami perspektif dari semua kelompok. 4. Mengetahui hubungan para pihak yang bersengketa. 5. Mengetahui faktor yang mendukung dan dasar-dasar konflik yang terjadi. Hasil analisis konflik masyarakat Pulau Padang dan PT. RAPP disajikan seperti pada Gambar Pohon di bawah ini (Gambar....). Pada pohon dapat dipilah menjadi tiga bagian penting, yaitu ekspresi, tipologi dan akar konflik. Daun, merupakan ekspresi konflik yang antara lain berupa demontrasi, pembakaran, pembunuhan sampai kepada pembentukan opini pada publik. Batang Pohon, merupakan tipologi konflik yang dapat berupa tenurial sistim, pemanfaatan, identitas, komunikasi sampai konflik tenaga kerja. Akar Pohon, merupakan akar konflik yang dapat berupa hak dan tenurial kawasan sampai perbedaan nilai dan struktur.

93

EKSPRESI, TIPOLOGI & AKAR KONFLIK PULAU PADANG

Bentuk Opini dari Internet


Website

Kemah di DPR

Mencoba di Istana Presiden Demo di Kab.


Demo di Provinsi

EKSPRESI KONFLIK

Pembakaran Alat Pembunuhan

TIPOLOGI KONFLIK

AKAR KONFLIK

Gambar. Gambar Pohon Konflik Berupa Ekspresi, Tipologi dan Akar konflik Pulau Padang

Pada bagian sebelumnya telah dijelaskan mengenai munculnya konflik masyarakat Pulau Padang dengan PT. RAPP, baik persoalaan yang menyangkut kepada akar, batang dan daun pohon. Analisis yang dilakukan oleh Tim Mediasi berbasis kepada informasi, data dan fakta yang diperoleh. Setelah melakukan analisis data, menelaah hasil wawancara dengan para pihak dan melakukan kunjungan lapangan seperti yang diuraikan pada bagian sebelumnya, di bawah ini tim ingin menyampaikan beberapa poin yang menjadi benang merah dari kasus ini dan gambaran alternatif solusi yang dapat diambil terhadap beberapa masalah terkait dengan mediasi kasus Pulau Padang. Analisis Terhadap Temuan Analisis temuan lapangan ini mencoba memberikan gambaran benang merah (Kesimpulan) yang menjadi inti pokok dari kasus Pulau Padang yaitu : 1) Isu Penduduk Asli

94

Dalam perjalanan kasus, tim menemui beberapa pernyataan berbagai pihak terkait dengan keberadaan penduduk Pulau Padang. Setelah melakukan analisis atas data sekunder dan primer, tim ingin menggaris bawahi bahwa : a. Sejak lama, jauh sebelum Indonesia merdeka, Pulau Padang adalah pulau yang memiliki penduduk plural yang berasal dari berbagai etnis. b. Sejak lama penduduk yang plural ini membangun interaksi sosial dengan sangat baik diantara mereka. 2) Tata Batas Kawasan Hutan Berdasarkan telaahan data yang ada, tim ingin mengagrisbawahi bahwa di Pulau Padang belum ada kepastian tanda batas kawasan hutan negara, konsesi dengan kawasan kelola masyarakat. 3) Ruang Kelola dan Klaim Masyarakat Berdasarkan analisis data dan temuan lapangan, terkait dengan poin ruang kelola dan klaim masyarakat atas lahan di Pulau Padang, tim ingin menggaris bawahi hal-hal sebagai berikut : a) Status Tata Kuasa a) Masyarakat Pulau Padang memperoleh tanah dan lahan melalui pewarisan turun temurun b) Masyarakat memiliki sistem penguasaan tanah dilapangan baik berdasarkan kebiasaan maupun berdasarkan hukum yang ada. c) Tim menemukan penguasaan-penguasaan berupa Surat Keterangan Tanah (SKT) dari Kepala Desa dan Sertifikat tanah dari Badan Pertanahan Nasional. d) Sistem penguasaan lain adalah berupa penguasaan fisik dilapangan dengan bukti pohon-pohon tua, kuburan tua, kampung tua dan sebagainya. b) Status Tata Kelola Masyarakat Pulau Padang melakukan pengelolaan lahan dilapangan berupa : Perkebunan Karet dan Sagu.

95

Khususnya masyarakat suku Akit melakukan pemanfaatan hasil hutan non kayu seperti daun nipah untuk atap dan berburu.

4) Masalah-Masalah Terkait Tata Kuasa dan Tata Kelola Berdasarkan analisis dari data sekunder dan temuan lapangan, terkait dengan tata kuasa dan tata kelola, tim ingin menggarisbawahi hal-hal sebagai berikut: a. b. c. Ada kebun dan pemukiman yang tumpang tindih dengan areal perizinan IUPHHK-HTI PT. RAPP Ditemukan adanya penyimpangan terhadap proses pemberian Surat Keterangan Tanah yang berdampak pada tidak tepatnya penerima Sagu Hati. Hilangnya Sumber Ekonomi Masyarakat e) f) Kekhawatiran hilangnya sumber-sumber ekonomi lokal bersumber dari Kekhawatiran hilangnya sumber-sumber ekonomi lokal bersumber dari ketidakpastian hak penguasaan masyarakat kemungkinan rusaknya Pulau Padang karena 5) Keterwakilan/Penyelesaian Konflik Lahan Keterwakilan memiliki keterkaitan kuat dengan diterima atau tidak diterimanya IUPHHK-HTI di Pulau Padang dan sekaligus berhubungan langsung dengan proses pelaksanaan negosiasi pemberian ganti rugi atau sagu hati. a) Terjadi perpecahan di tingkat aparatur desa dalam mensikapi IUPHHK-HTI yaitu : Kepala desa sepulau Padang menandatangani surat kesepakatan dengan perusahaan yang intinya memuat protokol/cara-cara bernegosiasi untuk operasional IUPHHK-HTI di Pulau Padang. 3 (Tiga) Kepala Desa kemudian mencabut persetujuannya di surat perjanjian tersebut. 12 (Dua Belas) Ketua Badan Permusyawaratan Desa di Pulau Padang membuat surat pernyataan menolak keberadaan IUPHHK-HTI di Pulau Padang.

96

b) Terjadi kekeliruan dalam pemberian Sagu Hati kepada pihak yang bukan pemilik lahan
6) Perizinan Termasuk Lingkungan

Berdasarkan analisis data, wawancara dan hasil pertemuan dengan ahli, maka Tim Mediasi ingin menyampaikan benang merah sebagai berikut : a) Terkait dengan perizinan ada kontroversi yang mengemuka mengenai pemenuhan keabsahan syarat pemberian izin dan ada situasi tumpang tindih peraturan perundang-undangan, tidak singkron sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum soal perizinan. b) Terkait dengan isu lingkungan ada kontroversi mengenai pengelolaan gambut dalam di Pulau Padang Terdapat dua pandangan berbeda terhadap pengelolaan gambut dalam dan kerentanan Pulau Padang Secara akademis kedua pandangan tersebut belum dapat diterima karena data-data yang diperlukan untuk menjawab isu lingkungan di Pulau Padang belum lengkap. 7) Potensi Konflik Horizontal Kontroversi yang terjadi dilapangan terkait dengan adanya IUPHHK-HTI di Pulau Padang jika tidak tertangani dengan baik maka akan menimbulkan hal-hal sebagai berikut: a) b) Ada potensi konflik horizontal diantara masyarakat yang menerima dengan yang menolak perizinan IUPHHK-HTI dan dengan pekerja perusahaan. Ada potensi konflik antara masyarakat Pulau Padang dengan masyarakat di Selat Panjang karena isu ketertiban dan keamanan yang timbul akibat terjadinya demonstrasi ke ibu kota kabupaten. 8) Faktor-Faktor Lain Yang Mempengaruhi Konflik dan Respons Terhadap Proses Mediasi.

97

Selama perjalanan kerja Tim Mediasi, terdapat situasi-situasi dan proses-proses lain untuk penanganan kasus Pulau Padang yang mempengaruhi perjalanan tim diantaranya adanya berbagai pembicaraan antara masyarakat dengan Kementrian Kehutanan yang mempengaruhi diterima atau tidaknya proses mediasi ini oleh masyarakat. 9) Inti Penolakan Masyarakat Pulau Padang Berdasarkan analisis data, wawancara dan temuan lapangan, tim kemudian menangkap inti masalah yang disampaikan oleh masyarakat yaitu : Lukit Pulau akan Tenggelam Proses pemberian sagu hati yang tidak transparan dan salah sasaran dalam pemberian sagu hati Tumpang tindih lahan Mengkirau Pulau akan tenggelam Hilangnya sumber ekonomi masyarakat Bagan Melibur Pulau akan tenggelam Hilangnya sumber ekonomi masyarakat

Lahan perkebunan masyarakat yang masuk dalam konsesi Tumpang tindih dalam pemberian SKT Hilang sumber ekonomi masyarakat

Keberadaan perusahaan PT. RAPP tidak pernah di sosialisasikan kepada masyarakat Lahan masyarakat akan digusur oleh perusahaan Tumpang tindih lahan
Makin sulitnya kebutuhan masyarakat terhadap kayu untuk pembangunan rumah

Lahan masyarakat akan digusur oleh perusahaan

Tidak adanya kehidupan untuk masa depan

ruang generasi

Berdasarkan benang-benang merah yang dipaparkan pada bagian sebelumnya, maka pada bagian ini akan diurakan alternatif solusi yang dapat Tim Mediasi rekomendasikan. Tetapi sebelumnya, Tim ingin menggambarkan tawaran terakhir para pihak yang disampaikan kepada Tim Mediasi yaitu:

Tabel Tawaran Penyelesaian Konflik oleh Para Pihak

98

Masyarakat dan LSM PT. RAPP Mengeluarkan seluruh 1. Penyelesaian konflik konsesi PT. RAPP dari Pulau mengacu pada Padang dengan alasan : kesepakatan bersama 1. Operasi RAPP dapat kepala Desa tanggal 27 menyebabkan Pulau Oktober 2011, dengan Padang tenggelam cara : 2. Perizinan RAPP cacat a. Pembuktian fisik dan hukum karena : legalitas a. Proses Amdal yang b. Pemberian sagu hati, tidak sesuai dengan kerjasama pengelolaan kondisi lapangan. dan isolasi. b. Berada di lahan c. Pembangunan tanaman gambut dengan kehidupan. kedalaman di atas 3 2. Dampak Lingkungan mater. dapat diminimalisasi c. Berada di Pulau kecil dengan teknologi (menurut UU Nomor ecohydro (pengaturan tata 27 tahun 2007) air) 3. Menghilangkan kebutuhan dasar masyarakat akan kayu (perumahan, keranda jenasah, perahu, dll)

Pemerintah 1. Solusi yang ditawarkan harus sesuai dengan Hukum yang berlaku, khususnya Hukum Kehutanan 2. Mengeluarkan semua wilayah-wilayah kelola dan wilayah yang menjadi hak masyarakat yang tumpang tindih dengan konsesi. 3. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan memberikan hak pengelolaan hutan kepada masyarakat

Berdasarkan analisis terhadap kasus masyarakat Pulau Padang dengan PT. RAPP, Tim mediasi dapat menggambarkannya melalui diagramatis sebagai berikut :

KONFLIK PULAU PADANG DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN


AWAL AKUMULASI KONFLIK Ilegalogging l Ketidakadilan Kekhawatiran masyarakat Adanya Penelitian Penanganan Kab. Penanganan Prov Penanganan Pusat Multi Tafsir Izin KRONOLOGIS PROTES -Masyarakat -LSM -Pemkab -Pemprov -Pusat (Kemenhut) Penanganan Berlarut -larut Penggalangan Massa : Min : Rp.100.000/ KK Max : Rp.5.000.000/ KK

Penguatan Reformasi Agraria Pemkab PUNCAK KONFLIK Demo/ Aksi J ahit Mulut Dipicu Kasus Mesuji Pemprov Kemenhut Mendukung Surat2 Kesepakatan TIM MEDIASI

TAHAP I TAHAPII ALTERNATIF FINALREKOM

Keuntungan CABUT 327 SK


ALTERNATIF STRATEGIS

Kerugian

HTI tidak diperkenankan d Pulau Padang REVISI SK 327 Revisi melalui tata batas partisipatif masyarakat Revisi melalui penanganan integratif

BAHAS INTEGRATF DAN KOMPREHENSIF

PASCA

BERLARUT

99

BAB IV

100

REKOMENDASI Rekomendasi Umum Mencermati tingginya eskalasi konflik tenurial khususnya di sektor kehutanan akhir-akhir ini, maka Tim Mediasi Konflik menyampaikan rekomendasi umum sebagai berikut:
1. Percepatan proses pengukuhan kawasan hutan.

2. Perluasan wilayah kelola rakyat dan peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan. 3. Harmonisasi regulasi perizinan secara terpadu bidang kehutanan untuk menghindari kasus hukum bagi pengambil kebijakan dan memberikan kepastian hukum bagi pelaku usaha.
4. Pelembagaan mekanisme penyelesaian konflik di Kementrian Kehutanan.

5. Menyelesaikan gap antara perkembangan ilmu dan teknologi dengan kebijakan terkait pengelolaan kawasan gambut.
6. Membuat peraturan perundang-undangan yang dapat memperkuat hak masyakat adat

dalam pengelolaan hutan.


7. Mengefektifkan prinsip Free, Prior, Informed and Consent (FPIC) dalam pengelolaan

hutan.

Rekomendasi Khusus Berdasarkan analisis data dan temuan lapangan, maka Tim Mediasi merekomendasikan halhal sebagai berikut untuk menjadi pertimbangan bagi Kementrian Kehutanan untuk mengambil keputusan penyelesaian Kasus Pulau Padang ini. Pilihan-pilihan rekomendasi berdasarkan hasil analisis :
a.

Solusi Alternatif berupa Revisi Keputusan Menteri Kehutanan No 327/Menhut-II/2009 dengan mengeluarkan seluruh blok Pulau Padang dari area konsesi.

101

Kekuatan Mengangkat citra dephut terkait penyelamatan gambut dan perubahan iklim Menyelesaikan isu lingkungan Menyelesaikan sosial

Kelemahan

Akan di gugat di PTUN karena keputusan ini sangat lemah, antara lain tanpa surat peringatan atas suatu pelanggaran yang dilakukan PT. RAPP perdebatan Mengeluarkan ganti rugi pada pemegang izin konflik Hutan Pulau Padang menjadi Open Access dan cepat hancur akibat tidak ada pihak yang diwajibkan menjaganya

Langkah Yang Harus Diambil Review independen perizinan dan Pelaksanaan Perizinan (Melibatkan Biro Hukum Kemenhut, Dirjen BUK, NGO) Menegosiasikan ganti rugi kepada pemegang perizinan Review kerentanan dampak lingkungan terhadap Pulau Padang yang dilakukan tim independen (Ahli, LSM, Masyarakat)

Menjawab masalah Tidak ada kepastian hukum ketergantungan masyarakat dan usaha serta kepastian terhadap kebutuhan kayu lapangan pekerjaan bagi tenaga kerja

B. Solusi Alternatif berupa Revisi Keputusan Menteri Kehutanan No 327/Menhut-II/2009 dengan mengurangi luasan IUPHHK-HTI blok Pulau Padang. Kekuatan 1. Adanya bukti fisik penguasaan lahan dan pemanfaatan hutan masyarakat ada Kelemahan
1. Berpeluang di gugat

di PTUN jika luas yang dikurangi azas ekonomi

2. Proses penyusunan tata ruang sedang berlangsung

2. Tidak menjawab isu

lingkungan jika AMDAL tidak direvisi

Langkah Yang Harus Diambil 1. Review independen perizinan dan Pelaksanaan Perizinan (Melibatkan Bagian Hukum Dephut, Dirjen BUK, NGO) 3. Review kerentanan dampak lingkungan terhadap Pulau Padang yang dilakukan tim independen (Ahli, LSM, Masyarakat) 4. Melanjutkan mediasi dengan masyarakat

3. Tata batas areal IUPHHK sedang berlangsung 4. Menjawab isu tumpang tindih kelola

3. Tidak menjawab isu gambut dan perubahan iklim 4. Belum menjawab kebutuhan kayu

102

masyarakat 5. Memperluas ruang kelola masyarakat

masyarakat dimasa yang akan datang

Jika Solusi A yang dipilih maka yang harus dilakukan adalah sebagai berikut : 8. 9. Review independen perizinan dan Pelaksanaan Perizinan (Melibatkan Biro Hukum Kemenhut, Dirjen BUK, NGO) Review kerentanan dampak lingkungan terhadap Pulau Padang yang dilakukan tim independen (Ahli, LSM, Masyarakat) 10. Menyiapkan langkah antisipasi terhadap konsekuensi hukum antara lain gugatan perdata dan gugatan PTUN. 11. Menegosiasikan ganti rugi kepada pemegang perizinan Untuk detail kegiatan sebagai berikut : a) Kementrian Kehutanan membuat rencana pemanfaatan hutan Pulau Padang. b) Mempercepat proses padu serasi RTRWP dengan TGHK terkait keberadaan desadesa yang berada di Pulau Padang dengan menerbitkan SK Penetapan Sementara oleh Menteri Kehutanan terhadap areal yang tidak bermasalah. c) Melakukan analisis tingkat ketergantungan masyarakat terhadap lahan dan hutan sebagai dasar penyelesaian konflik dan model pemberdayaan masyarakat di Pulau Padang.

Jika solusi B yang dipilih maka perlu dilakukan hal-hal sebegai berikut : 1. 2. Review independen perizinan dan Pelaksanaan Perizinan (Melibatkan Bagian Hukum Dephut, Dirjen BUK, NGO) Melanjutkan mediasi dengan masyarakat

Untuk detail kegiatan sebagai berikut : a. Pemetaan Partisipatif ruang kelola masyarakat yang tumpang tindih dengan konsesi PT. RAPP. Pemetaan partisipatif yang melibatkan instansi terkait, perusahaan, LSM dan masyarakat diarahkan semaksimal mungkin mengeluarkan wilayah kelola masyarakat.

103

b.

Mempercepat proses padu serasi RTRWP dengan TGHK terkait keberadaan desadesa yang berada di Pulau Padang dengan menerbitkan SK Penetapan Sementara oleh Menteri Kehutanan terhadap areal yang tidak bermasalah dan tidak tumpang tindih dengan.

c.

Melakukan identifikasi dan pemetaan partisipatif wilayah kelola masyarakat di semua desa di pulau padang yang tumpang tindih dengan konsesi RAPP dan HPT.

d. e.

Merasionalisasi ijin RAPP dengan mengeluarkan ruang kelola masyarakat yang berada dalam HPT dan dikelola dengan skema HTR atau hutan desa. Penyelesaian lahan pemukiman dan lahan garapan, kebun dan masyarakat yang ada di HPK diselesaikan melalui revisi RTRWP dan penataan batas kawasan hutan.

f.Melakukan analisis tingkat ketergantungan masyarakat terhadap lahan dan hutan sebagai dasar penyelesaian konflik dan model pemberdayaan masyarakat di Pulau Padang. g. h. Revisi terhadap protokol penyelesaian konflik dengan menambahkan pihak independen untuk melakukan pemantauan. Meninjau ulang proses negosiasi sagu hati yang sudah ada dan sedang berlangsung dengan menitikberatkan pada penerapan prinsip Keputusan Bebas Diinformasikan dan Didahulukan (Free, Prior, Informed and Consent). i. Membentuk tim kecil (3 orang) yang bertugas untuk mentransformasi gagasan penyelesaian, mendorong rekonsiliasi dan mementoring proses negosiasi/mediasi. Tim juga ini harus memiliki kewenangan untuk menata ulang dan mengkonsilidasikan inisiatif penyelesaian yang sudah dilakukan oleh tim terpadu pemda kabupaten maupun tim land dispute perusahaan serta Tim 9 di setiap desa. j. Kementerian Kehutanan membentuk tim yang Independen yang bertugas untuk Menelaah dan memverifikasi kontoversi proses perijinan dalam pendekatan legal audit untuk menjernihkan kesimpang siuran informasi dan kajiankajian hukum yang beredar bebas. Mengkaji resiko lingkungan terhadap rencana operasional PT. RAPP di Pulau Padang.

104

Melakukan study mendalam oleh gabungan para pakar (ekosistem gambut, sosiologi, antropologi, dan ekonomi pedesaan) untuk melihat secara objektif dampak pembukaan hutan alam skala luas terhadap penurunan gambut dan kehidupan social, ekonomi dan budaya masyarakat setempat serta melihat kerentannya sebagai pulau kecil.

k.

Proses mediasi telah dilakukan oleh Tim Mediasi berupa proses pra mediasi yang memenuhi tugas tim poin 1, 2, 3, 4, dan 6 yaitu : 1) Melakukan desk analisys atas data dan informasi perijinan hutan tanaman dan tuntutan masyarakat setempat, 2) Mengumpulkan dan menelaah fakta, data dan informasi di lapangan, 3) Mengumpulkan masukan dari para pakar berbagai bidang terkait tuntutan masyarakat setempat, 4) Melakukan pertemuan dengan berbagai stakeholder terkait dengan tuntutan masyarakat dan 5) Melaporkan hasil kerja Tim kepada Menteri Kehutanan paling lambat pada minggu IV bulan Januari 2012. Khusus mengenai tugas poin lima yaitu Melaksanakan mediasi terhadap masyarakat setempat dengan RAPP belum dapat dilaksanakan karena penolakan dari masyarakat yang tetap menginginkan Revisi Keputusan Menteri Kehutanan No 327/Menhut-II/2009 dengan mengeluarkan seluruh blok Pulau Padang dari area konsesi dengan alasan lingkungan, dimana mereka tetap meminta kementrian Kehutanan langsung melakukan hal tersebut. Mereka beranggapan bahwa proses mediasi bukanlah proses yang tepat saat ini. Karena itu, Tim Mediasi merekomendasikan proses mediasi saat ini diakhiri sesuai dengan batas waktu tugas tim mediasi yang sudah tetapkan di surat keputusan SK.736/MenhutII/2011 tanggal 27 Desember 2011 tentang Pembentukan Tim Mediasi Penyelesaian Tuntutan Masyarakat Setempat Terhadap Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) di Pulau Padang Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau. Untuk selanjutnya, mediasi dapat dilakukan kembali ketika ada permintaan tertulis dari masyarakat yang menolak keberadaan IUPHHK-HTI tersebut.

105

You might also like