You are on page 1of 7

SENDDY TRI PAMUNGKAS X-TKJ

IJTIHAD
1.PENGERTIAN IJTIHAD
Ijtihad (Arab: ) adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang. Namun pada perkembangan selanjutnya, diputuskan bahwa ijtihad sebaiknya hanya dilakukan para ahli agama Islam. Tujuan ijtihad adalah untuk memenuhi keperluan umat manusia akan pegangan hidup dalam beribadah kepada Allah di suatu tempat tertentu atau pada suatu waktu tertentu.

2.DASAR HUKUM IJTIHAD


Dasar hukum ijtihad ialah dalil Al-Qur'an, sunah, dan ijmak. Dalil Alquran adalah surah an-Nisa' ayat 83, surah asy-Syu'ara' ayat 38, surah al-Hasyr ayat 2, dan surah al-Baqarah ayat 59 Dasar ijtihad dalam sunah ialah sabda Nabi SAW yang artinya: "Apabila seorang hakim berijtihad dan benar, maka baginya dua pahala, tetapi bila berijtihad lalu keliru maka baginya satu pahala" (HR. Bukhari dan Muslim). Hadis ini diucapkan Nabi SAW dalam rangka membenarkan perbuatan Amr bin As yang salat tanpa terlebih dahulu mandi, padahal ia dalam keadaan junub; Amr hanya melakukan tayamum. Hadis lain ialah hadis yang menjelaskan dialog Nabi SAW dengan Mu'az bin Jabal ketika hendak diutus ke Yaman. Pada intinya, Nabi SAW bertanya kepada Mu'az, dengan apa ia akan memutuskan hukum. Lalu Mu'az menjawab bahwa jika ia tidak menemukan hukumnya di dalam Al-Qur'an dan sunah Rasulullah SAW, ia akan memutuskan hukum dengan jalan ijtihad. Adapun dasar dari ijma' dimaksudkan bahwa umat Islam dalam berbagai mazhab telah sepakat atas kebolehan berijtihad dan bahkan telah dipraktekkan sejak zaman Rasulullah SAW. Ijtihad yang dilakukan para ulama merupakan alternatif yang ditempuh untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang timbul dan persoalanpersoalan yang terjadi dalam masyarakat karena tuntutan situasi dan perkembangan zaman. Ijtihad hanya dilakukan terhadap masalah yang tidak ditemukan dalil hukumnya secara pasti di dalam Al-Qur'an dan sunah. Ijtihad dilakukan oleh para ulama untuk menjawab persoalan dalam masyarakat yang bersifat dinamis dan senantiasa mengalami perubahan dan berkembang mengikuti peredaran zaman. Ijtihad banyak dilakukan dalam bidang fikih sesudah zaman sahabat dan tabiin (orang-orang yang hanya bertemu dengan sahabat, tidak bertermu dengan Nabi SAW). Karena banyaknya ijtihad yang pakai pada masa ini, timbul banyak perbedaan pendapat antara ulama-ulama fikih, yang kemudian melahirkan mazhab-mazhab fikih.

SENDDY TRI PAMUNGKAS X-TKJ

3.SYARAT-SYARAT ORANG YANG BOLEH IJTIHAD


Ulama ushul berbeda pendapat dalam menetapkan syarat-syarat ijtihad atau syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid (orang yang melakukan ijtihad). Secara umum, pendapat mereka tentang persyaratan seorang mujtahid dapat disimpulkan sebagai berikut; 1.Menguasai dan mengetahui arti ayat-ayat hukum yang terdapat dalam Al-Quran, baik menurut bahasa maupun syariah. Akan tetapi, tidak disyaratkan harus menghapalnya, melainkan cukup mengetahui letakletaknya saja, sehingga memudahkan baginya apabila ia membutuhkan. Imam Ghazali, Ibnu Arabi, dan Ar-Razi membatasi ayat-ayat hukum tersebut sebanyak lima ratus ayat. 2.Menguasai dan mengetahui hadis-hadis tentang hukum, baik menurut bahasa maupun syariat. Akan tetapi, tidak disyaratkan harus menghapalnya, melainkan cukup mengetahui letak-letaknya secara pasti, untuk memudahkannya jika ia membutuhkannya. Ibnu Hanbal dasar ilmu yang berkaitan dengan hadis Nabi berjumlah sekitar 1.200 hadis. Oleh karena itu, pembatasan tersebut dinilai tidak tepat karena hadis-hadis hukum itu tersebar dalam berbagai kitab yang berbeda-beda Menurut Asy-Syaukani, seorang mujtahid harus mengetahui kitab-kitab yang menghimpun hadis dan bisa membukanya dengan cepat, misalnya dengan menggunakan kamus hadis. Selain itu, ia pun harus mengetahui persambungan sanad dalam hadis (Asy-Syaukani : 22) Sedangkan menurut At-Taftaji, sebaiknya mujtahid mengambil referensi dari kitab-kitab yang sudah masyhur kesahihannya, seperti Bukhari Muslim, Baghawi, dan lain-lain 3.Mengetahui nasakh dan mansukh dari Al-Quran dan sunnah, supaya tidak salah dalam menetapkan hukum, namun tidak disyaratkan harus menghapalnya. Di antara kitab-kitab yang bisa dijadikan rujukan dalam naskah dan mansukh adalah kitab karangan Ibnu Khujaimah, Abi Jafar an Nuhas, Ibnu Jauzi, Ibnu Hajm dan lain-lain 4.Mengetahui permasalahan yang sudah ditetapkan melalui ijma ulama, sehingga ijtihad-nya tidak bertentangan dengan ijma. Kitab yang bisa dijadikan rujukan diantaranya kitab maratiba al-ijma (ibn Hajm) 5.Mengetahui qiyas dan berbagai persyaratannya serta meng-instimbat-nya, karena qiyas merupakan kaidah dalam berijtihad. 6.Mengetahui bahasa Arab dan berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan bahasa, serta berbagai problematikanya. Hal ini antara lain karena Al-Quran dan as sunnah ditulis dengan bahasa Arab. Namun, tidak disyaratkan untuk betul-betul menguasainya atau menjadi ahlinya, melainkan sekurang-kurangnya mengetahui maksud yang dikandung dari Al-Quran atau al-hadis 7.Mengetahui ilmu fiqih yang merupakan fondasi dari ijtihad. Bahkan, menurut Fakhru ar-Razi, ilmu yang paling penting dalam berijtihad adalah ilmu ushul fiqh 8.Mengetahui maqashidu asy-syariah (tujuan syariat) secara umum, karena bagaimanapun juga syariat itu berkaitan dengan maqashidu asy-syariah sebagai standarnya

SENDDY TRI PAMUNGKAS X-TKJ

Maksud dari maqashidu al-syariah antara lain menjaga kemaslahatan manusia dan menjatuhkan dari kemadharatan. Namun, standarnya adalah syara, bukan kehendak manusia, karena manusia tidak jarang menganggap yang hak menjadi tidak hak dan sebaliknya.

4. MACAM-MACAM IJTIHAD
1.Ijma'

Ijma' artinya kesepakatan yakni kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu hukum hukum dalam agama berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits dalam suatu perkara yang terjadi. Adalah keputusan bersama yang dilakukan oleh para ulama dengan cara ijtihad untuk kemudian dirundingkan dan disepakati. Hasil dari ijma adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti seluruh umat.
2.Qiys

Qiyas artinya menggabungkan atau menyamakan artinya menetapkan suatu hukum suatu perkara yang baru yang belum ada pada masa sebelumnya namun memiliki kesamaan dalah sebab, manfaat, bahaya dan berbagai aspek dengan perkara terdahulu sehingga dihukumi sama. Dalam Islam, Ijma dan Qiyas sifatnya darurat, bila memang terdapat hal hal yang ternyata belum ditetapkan pada masa-masa sebelumnya
3.Istihsn Beberapa definisi Istihsn : 1,Fatwa yang dikeluarkan oleh seorang fqih (ahli fikih), hanya karena dia merasa hal itu adalah benar. 2.Argumentasi dalam pikiran seorang fqih tanpa bisa diekspresikan secara lisan olehnya 3.Mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima, untuk maslahat orang banyak. 4.Tindakan memutuskan suatu perkara untuk mencegah kemudharatan. 5.Tindakan menganalogikan suatu perkara di masyarakat terhadap perkara yang ada sebelumnya... 4.Maslahah murshalah

Adalah tindakan memutuskan masalah yang tidak ada naskhnya dengan pertimbangan kepentingan hidup manusia berdasarkan prinsip menarik manfaat dan menghindari kemudharatan.
5.Sududz Dzariah

Adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau haram demi kepentinagn umat.
6.Istishab

Adalah tindakan menetapkan berlakunya suatu ketetapan sampai ada alasan yang bisa mengubahnya,
7.Urf

Adalah tindakan menentukan masih bolehnya suatu adat-istiadat dan kebiasaan masyarakat setempat selama kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan aturan-aturan prinsipal dalam Alquran dan Hadis.

SENDDY TRI PAMUNGKAS X-TKJ

5.CONTOH IJTIHAD
A.DI ZAMAN NABI Ijtihad pada masa Rasul saw. dan Khulafa Rasyidin Di antara ijtihad yang dilakukan Rasulullah saw. adalah, tentang tawananperang Badar. Dalam sidang Umar mengusulkan agar tawanan perang Badar itudibunuhsaja.SementaraAbuBakarmengusulkanagarmerekamenebusdiridanRasul menerima uang tebusan. Dari dua pendapat itu, Rasulullah menetapkanpendapat Abu Bakar, yakni menerima tebusan. Ijtihad Abu Bakar. IjtihadAbuBakardalamhalorangyangmembangkangmembayarzakat,Iaberpendapat bahwa orang yang membangkang membayar zakat harus diperangisampaimaumembayarzakat.Ijtihad Abu Bakar tentang usulan Umar bin Khatab untuk memushhapkanAlquran,karena hawatirparaQa'ribanyakyangmeninggal.Lalusetelahmenemukankata sepakat, dibentuk panitia yang terdiri dari para Qa'ri, hafizh Alquran, penuliswahyu,antaralainZaidbinTsabit. Ijtihad Umar r.a. Pada masa Umar r.a. pernah terjadi kelaparan, dan akibatnya terjadi pulapencurian.AtaskeadaanyangdemikianituUmarr.a.tidak menghukumnyadenganpotong tangan, karena ia berpendapat bahwa kemaslahatan yang diharapkan akibatpemberianhukum,tidak bakalterrealisirbesertaadanyabencanakelaparanyangmenyeret manusia kepada makan secara tidak halal.

B.DIZAMAN MODERN Zaman kita sekarang sangat membutuhkan ijtihad yang serius dan membangun, ijtihad kontemporer yang berdiri di atas dasar syariat, ilmu dan wawasan untuk menghadapi berbagai perubahan sosial, perkembangan produksi, persoalan ekonomi kontemporer, problematika politik, perkembangan militer dan kemajuan teknologi. Peran Ijtihad Kolektif di Era Modern Bisa kita sebutkan beberapa faktor yang membuat Ijtihad kolektif begitu penting pada zaman sekarang, di antaranya: Pertama: untuk merealisasikan metode penetapan hukum yang ditradisikan Rasulullah Saw dalam menghadapi persoalan baru. Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah saw yang diriwayatkan Sayyid bin Musayyib dari Ali ra, ia berkata: aku berkata: Ya Rasulallah, jika datang kepada kami perkara yang tidak ada penjelasannya dalam al-Qur`an dan

SENDDY TRI PAMUNGKAS X-TKJ

tidak pula dalam sunnah, apa yang engkau perintahkan? Rasulullah Saw bersabda, berkumpullah para ahli fikih! atau dalam sabda lain, para ahli ibadah dari kaum muslimin, bermusyawarahlah di antara kalian dan janganlah diputuskan dengan satu pendapat saja. Inilah yang dipraktekkan para sahabat Nabi Saw dan para imam setelahnya. Al-Amidi berkata, Sesungguhnya musyawarah hanya berkaitan dengan sesuatu yang diputuskan dengan ijtihad dan bukan diputuskan dengan wahyu. Kedua: mengatasi pengaruh ruang, waktu dan keadaan dalam menciptakan seorang mujtahid mutlak, baik secara kualitas maupun kuantitas dan mencegah timbulnya bahaya yang diakibatkan kelangkaan ulama dan ahli fikih yang layak menjadi mujtahid mutlak. Tidak ragu lagi, ijtihad adalah sebuah karunia Allah Swt yang akan terus dinikmati kaum muslimin dengan kerja keras para mujtahid yang mumpuni di setiap waktu dan tempat, dan tidak berlaku khusus untuk satu zaman atau tempat saja. Meskipun demikian, dunia Islam sedang menghadapi problem klasik yang terus berkembang, yaitu merosotnya semangat dan melemahnya tekad untuk mendalami ilmu syariat dan bahasa yang membuat pemiliknya memenuhi kriteria dan layak disebut sebagai mujtahid. Tidak ragu lagi, kekacauan situasi politik, sosial dan ekonomi memberikan pengaruh yang sangat besar atas kelemahan ini dan menjadi alasan sebagian ulama. Bahkan kemudian melenyapkan sosok mujtahid mutlak di panggung perundangan pada zaman sekarang. Terlebih, pada zaman sekarang kita sangat membutuhkan terbentuknya Majlis Syura Islami yang merangkul semua mujtahid yang kompeten dalam berbagai bidang kehidupan; baik dalam bidang ekonomi, politik, administrasi negara, pertahanan, psikologi, pendidikan, bioloigi, kedokteran, ekologi, fisika, kimia dan geografi. Sebuah majlis yang menyatukan ulama-ulama paling cemerlang dan mujtahid dari seluruh dunia, yang berperan sebagai akal berpikir dan pengarah kehidupan kaum muslimin. Sesungguhnya dunia Islam sangat membutuhkan penyatuan pemikiran, tujuan dan visi kedepan. Dan kita berharap, bahasa dan pemikiran para mujtahid ini menyatu dengan semangat dan tuntutan zaman, dimana akan terhapus segala macam dikotomi yang memisahkan antara ilmu syariat dengan ilmu dunia. Ketiga: Metode kolektif dalam perundangan adalah langkah dasar terciptanya persatuan Islam Fikih Islam adalah faktor terbesar terciptanya persatuan Islam dan perekat terkuat yang mengikat elemen di dalamnya. Jika fikih sudah tidak lagi tersisa, hanya berupa formalitas dan cerita saja, maka saat itulah kaum muslimin berada di jurang perpecahan, Allah Swt akan memutuskan segala urusan di antara mereka, kemudian mereka saling mengingkari dan tidak mengenal satu sama lain, generasi terakhir tidak mau merujuk kepada generasi awal, dam kaum terbelakang tidak mau mengambil petunjuk dari kaum terdahulu. Inilah realitas umat kita pada masa ini. Tidak ada jalan keluar dari keterpurukan ini dan menghadapi bahaya besar yang mengancam umat Islam saat ini, kecuali dengan menghidupkan fikih yang berdiri di atas metode kolektif dalam penysariatan hukumnya, dimana keputusan yang diambil harus bersumber dari kesepakan para mujtahid di bawah naungan institusi yang satu. Dengan demikian, terciptalah forum musyawarah internasional yang merupakan salah satu fondasi persatuan umat ini. Allah Swt berfirman, sesungguhnya umat kalian adalah umat yang satu dan Aku adalah Tuhan kalian, maka takutlah kepada-Ku. Umat kita adalah umat yang satu, berdiri di atas satu manhaj perundangan, yang diwujudkan dengan bekerja sama dalam sebuah institusi yang satu. Abdul Wahab Khalaf berkata, Ijtihad Kolektif yang dilakukan para mujtahid yang memenuhi kriteria ijtihad, akan melenyapkan kekacauan perundangan dan perselisihan. Dengan menggunakan metode dan cara yang disediakan syariat Islam untuk berijtihad dengan akal, maka permusuhan akan lenyap dan penentuan hukum Islam akan berjalan sesuai dengan tradisi syariat.

SENDDY TRI PAMUNGKAS X-TKJ

Keempat: Melawan berbagai serangan dan tuduhan bathil Sesungguhnya, problematika terkini baik dalam pemikiran, ekonomi atau peradaban yang tengah dihadapi umat secara keseluruhan, yang bertujuan meruntuhkan bangunan nilai perundangan Islam tidak bisa dihadapi kecuali dengan terbentuknya sebuah akal kolektif dan ruh kebersamaan yang dipenuhi semangat akidah, pemikiran yang orisinil, semangat spiritual, nurani yang luhur, jiwa reformis dan membangun yang universal, keinginan untuk berjuang, menghidupkan kebaikan dan kasih sayang bagi seluruh manusia. Umat tidak bisa bergerak sebagai entitas umum dan peranannya yang universal dalam perlawanan, kebaikan, perjuangan, kecuali jika ia memiliki akal kolektif. Dengan akal inilah kita memahami semua dimensi universalisme, humanisme, peradaban dan mampu memisahkan antara buruknya menutup diri, fanatisme mazhab, keterpaksaan dan taklid buta dengan kerja sama murni dan saling memberi manfaat. Kelima: Melapangkan jalan untuk mengaplikasikan syariat Islam dan berhukum dengan hukum Allah Sesungguhnya, tercerabutnya Ijtihad Kolektif sebagai salah satu bentuk pensyariatan hukum dalam bidang kepemimpinan dan membatasinya dengan fatwa dan kehakiman, demikian pula perpindahan dari era kekhalifahan yang sempurna dalam bentuk Khulafa ar-Rasyidin kepada khilafah tidak sempurna sampai saat sekarang ini, akan mengakibatkan kelemahan dan kekurangan dalam mengaplikasikan syariah secara ideal, bahkan menjadi palu godam pertama yang menghancurkan aplikasi ideal metode rabbani. Bisa kita saksikan kondisi sekarang, bagaimana kita dicekoki teori dan hukum-hukum positif, bagaimana sebagian kelompok Islam meninggalkan al-Qur`an, menghancurkan kita sehancur-hancurnya, dan menjauhkan kita sejauh-jauhnya dari mewujudkan manhaj jamai dalam pensyariatan melalui forum ijma dan ijtihad. Urusan ini akan semakin berbahaya jika kita tidak segera bangun dari tidur lelap kita dan menghadapi realita dengan solusi yang sesuai dengan syariat. Agar kita lebih netral, kita harus mencatat adanya upaya, baik dalam level perseorangan ataupun kolektif untuk membukukan undang-undang syariat Islam dan mengedapankan solusi syariah terhadap persoalan baru yang datang kepada umat ini. Akan tetapi, upaya ini sebatas pada koridor penataran dan formatif, padahal kita sangat membutuhkan segi aplikasi atas apa yang telah dihasilkan dari berbagai keputusan, Apa yang tidak bisa dicapai seluruhnya, maka tidak boleh ditinggalkan seluruhnya.

6.MUJTAHID
A. Pengertian Mujtahid Jika membahas pengertian mujtahid tidak terlepas dari pengertian ijtihad yang berasal dari kata ijtahada yang artinya ialah: bersungguh-sungguh, rajin, giat. Sedang apabila kita meneliti makna kata jahada, artinya ialah mencurahkan segala kemampuan. Jadi dengan demikian, menurut bahasa, ijtihad itu ialah berusaha atau berupaya yang sungguh-sungguh. Perkataan ini tentu saja tidak akan dipergunakan di dalam sesuatu yang tidak mengandung kesulitan dan keberatan. Sayid Muhammad al-Khudloriy, di dalam kitabnya ushul fiqh memberikan contoh: Ijtahada fi khamli khajarirrokha. Dia berusaha keras membawa batu giling, dan tidak akan dikatakan: Ijtahada fi khamli khordalatin. berusaha sungguh-sungguh membawa sebiji bijian. Kemudian dikalangan para ulama perkataan ini khusus digunakan dalam pengertian usaha yang sungguh-

SENDDY TRI PAMUNGKAS X-TKJ

sungguh dari para mujtahid dalam mencari tahu tentang hukum-hukum syariat. Sedangkan pengertian ijtihad secara istilah pada umumnya banyak dibicarakan dalam buku-buku ushul fiqh. Salah satu definisi yang ditemukan oleh ahli ushul fiqh adalah pengertian segenap kesanggupan oleh seorang ahli fiqh atau mujtahid untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum-hukum syara. Hal ini menunjukkan bahwa fungsi ijtihad ialah untuk mengeluarkan (istinbath) hukum syara, dengan demikian ijtihad tidak berlaku dalam bidang teologi dan akhlaq. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa mujtahid ialah orang yang bertijtihad atau dengan kata lain sebagai seseorang yang mencurahkan segala kemampuan dalam mengistinbathkan hukum syara.

You might also like