You are on page 1of 17

KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA (NU) KE-5 Di Pekalongan, pada tanggal 13 Rabiul Tsani 1349 H / 7 September 1930 M.

Lihat halaman : 56-57. Pertanyaan : Bagaimana hukumnya mengadakan pesta dan perayaan guna memperingati Jin penjaga desa (Mbaureksa: jawa). Untuk mengharapkan kebahagiaan dan keselamatan dan kadang terdapat halhal yang mungkar. Perayaan tersebut dinamakan "Sedekah Bumi" yang biasa dikerjakan penduduk desa (kampung), karena telah menjadi adat kebiasaan sejak dahulu kala ? Jawab: Adat kebiasaan sedemikian itu H A R A M. ___________________________________________ Dikutip dari buku : "Masalah Keagamaan" hasil Muktamar/Munas Ulama NU ke I s/d XXX (yang terdiri dari 430 masalah) oleh KH. A. Aziz Masyhuri ketua Pimpinan Pusat ___________________________________________ Dan mereka memperuntukkan bagi Allah satu bahagian dari tanaman dan ternak yang telah diciptakan Allah, lalu mereka berkata sesuai dengan persangkaan mereka: "Ini untuk Allah dan ini untuk berhala-berhala kami". Maka saji-sajian yang diperuntukkan bagi berhala-berhala mereka tidak sampai kepada Allah; dan saji-sajian yang diperuntukkan bagi Allah, maka sajian itu sampai kepada berhala-berhala mereka. Amat buruklah ketetapan mereka itu.(QS. Al An Aam : 136) Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. (QS. Al Maidah : 49) PANDANGAN ISLAM Thariq bin Syihab menuturkan bahwa Rasulullah bersabda : "Ada seseorang masuk surga karena seekor lalat, dan ada seseorang yang masuk neraka karena seekor lalat pula." Para sahabat bertanya: "Bagaimana hal itu, ya Rasulallah. Beliau menjawab: "Ada dua orang berjalan melewati suatu kaum yang mempunyai berhala, yang mana tidak seorangpun melewati berhala itu sebelum mempersembahkan kepadanya suatu kurban. Ketika itu, berkatalah mereka kepada salah seorang dari kedua orang tersebut: "Persembahkanlah kurban kepadanya". Dia menjawab: "Aku tidak mempunyai sesuatu yang dapat kupersembahkan kepadanya."Merekapun berkata kepadanya lagi: "Persembahkan, sekalipun hanya seekor lalat. Lalu orang tersebut mempersembahkan seekor lalat dan merekapun memperkenankan dia untuk meneruskan perjalanannya. Maka dia masuk neraka karenanya. Kemudian berkatalah mereka kepada seorang yang lain: "Persembahkanlah kurban kepadanya."Dia menjawab : Aku tidak patut mempersembahkan sesuatu kurban kepada selain Allah 'Azza wa Jalla." Kemudian mereka memenggal lehernya. Karenanya, orang ini masuk surga." (HR. Ahmad dengan sanad yang lemah) QS. A L - B A Q A R A H

2:170. Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apa pun, dan tidak mendapat petunjuk?" QS. A L - M A A I D A H 5:104. Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul". Mereka menjawab: "Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya". Dan apakah mereka akan mengikuti juga nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk? QS. A L - A ' R A F 7:28. Dan apabila mereka melakukan perbuatan keji, mereka berkata: "Kami mendapati nenek moyang kami mengerjakan yang demikian itu, dan Allah menyuruh kami mengerjakannya. Katakanlah: "Sesungguhnya Allah tidak menyuruh (mengerjakan) perbuatan yang keji." Mengapa kamu mengadaadakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui? 7:71. Ia berkata: "Sungguh sudah pasti kamu akan ditimpa azab dan kemarahan dari Tuhanmu". Apakah kamu sekalian hendak berbantah dengan aku tentang nama-nama (berhala) yang kamu dan nenek moyangmu menamakannya, padahal Allah sekali-kali tidak menurunkan hujah untuk itu? Maka tunggulah (azab itu), sesungguhnya aku juga termasuk orang yang menunggu bersama kamu". QS. Y U N U S 10:78. Mereka berkata: "Apakah kamu datang kepada kami untuk memalingkan kami dari apa yang kami dapati nenek moyang kami mengerjakannya, dan supaya kamu berdua mempunyai kekuasaan di muka bumi? kami tidak akan mempercayai kamu berdua."

QS. Y U S U F 12:40. Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun tentang nama-nama itu. Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. QS. I B R A H I M 14:10. Berkata rasul-rasul mereka: "Apakah ada keragu-raguan terhadap Allah, Pencipta langit dan bumi? Dia menyeru kamu untuk memberi ampunan kepadamu dari dosa-dosamu dan menangguhkan (siksaan) mu sampai masa yang ditentukan?" Mereka berkata: "Kamu tidak lain hanyalah manusia seperti kami juga. Kamu menghendaki untuk menghalang-halangi (membelokkan) kami dari apa yang selalu disembah nenek moyang kami, karena itu datangkanlah kepada kami bukti yang nyata.

QS. A L - K A H F I 18:5. Mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu, begitu pula nenek moyang mereka. Alangkah jeleknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka; mereka tidak mengatakan (sesuatu) kecuali dusta.

012. SEDEKAH Bumi


Difirmankan dalam Al Quran, bahwa Allah SWT memberikan rejeki melalui bumi milik Nya. Tetapi orang melakukan Sedekah Bumi, dengan alasan sebagai tanda syukur kepada bumi. Mereka meyakini, persedekahan ini sebagai ajaran Islam, karena dibalut nuansa Islami, yaitu dimulai dengan lantunan ayat Al Quran dan diakhiri doa berbahasa Arab yang dianggap sebagai ciri Islam.

Sesampai di kampus, Narima bersama kawan-kawannya ingin menemui dosennya; saat di Ruang Dosen, yang dicari tidak ada. Mereka menunggu sambil membaca-baca koran yang tersedia. Tidak lama kemudian, yang ditunggupun datang. Setelah saling berkabar, Narima bertanya, Pak semalam ada tayangan wayang kulit di tv dengan dalang yang sudah bertitel haji. Pak Dalang mengajak untuk melestarikan sedekah bumi sebagai bentuk ucapan syukur. Bagaimana menurut Bapak?; suasana menjadi hening. Sesaat kemudian, Banas menjelaskan, Kebetulan, bapak juga menonton wayang itu; dan berulang-kali Pak Dalang menganjurkan sedekah bumi dan menyatakan bukan perbuatan haram. Sedekah bumi, dilaksanakan sebagai tanda syukur kepada dewi penguasa bumi yang telah memberi rejeki kepada manusia; tetapi betulkah dewi penguasa bumi memberi rejeki?; tanpa menunggu jawaban, diteruskan, Untuk menyampaikan pandangan berdasar Hukum Islam, bukan pendapatku, marilah kita cermati QS Al Baqarah (2):22, yang memuat firman Nya,

Artinya, Dialah Yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rizki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui. Melalui ayat ini, Dia menegaskan, sesungguhnya bumi telah dijadikan Nya terhampar luas; lalu diturunkan air dan dari air itu ditumbuhkan tanaman. Ini bermakna, Dia saja yang memerintahkan bumi untuk menumbuhkan tanaman. Kemudian dalam QS Al An`am (6):99, difirmankan,

Ayat ini diawali dengan firman Nya, Dan Dialah yang menurunkan air hujan dari langit, lalu kami tumbuhkan dengan air itu segala macam tumbuh-tumbuhan, maka Kami keluarkan dari tumbuh-tumbuhan itu tanaman yang menghijau. Sekali lagi, terdapat penegasan, Dia sajalah yang menumbuhkan tanaman di bumi setelah diturunkannya air hujan; terusan ayat ini mengandung makna, Kami keluarkan dari tanaman yang menghijau itu butir yang banyak; dan dari mayang kurma mengurai tangkai-tangkai yang menjulai, dan kebun-kebun anggur, dan (Kami keluarkan pula) zaitun dan delima yang serupa dan yang tidak serupa. Perhatikanlah buahnya di

waktu pohonnya berbuah, dan (perhatikan pulalah) kematangannya. Dalam bagian ayat ini ditegaskan, Dia saja yang memperbanyak bulir buah tanaman itu, dengan contoh kurma, zaitun dan delima; dan Dia saja yang menjadikan buah itu matang untuk menjadi makanan mahluk Nya. Pada akhir ayat ini, berisi firman Nya, Sesungguhnya pada yang demikian itu ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang beriman; berhenti sejenak. Lalu diteruskan, Rejeki buah-buahan yang dihasilkan dari tanaman, merupakan karunia Ilahi bagi mahluk Nya; bukan saja untuk manusia, tetapi dapat kita saksikan, burung-burung juga memperoleh rejeki dari tanaman; berhenti bicara, karena Narima ingin bertanya; lalu katanya, Tetapi, Pak, bukankah sedekah bumi itu diawali dengan bacaan Al Quran dan doa yang dilantunkan dalam bahasa daerah dan Bahasa Arab?. Mendapat pertanyaan ini, Banas mengemukakan, Betul, dalam upacara itu diawali dengan bacaan Surah Al Fatikhah dan diakhiri dengan doa; tetapi dalam doa yang dilantunkan dengan bahasa daerah dikatakan, terima kasih dan syukur kepada dewi ini, dewi itu, yang telah memberi kemurahan sehingga bumi menghasilkan panen yang baik, terbabas dari hama, dan sebagainya. Ucapan terima kasih dan syukur inilah yang menjadikan upacara semacam ini, tidak mencerminkan keyakinan Islami. Bukankah bumi ini ciptaan Allah SWT?; bukankah Dia saja yang menurunkan air hujan sehingga dari bumi bisa ditumbuhkan tanaman?; bukankah Dia saja yang menggandakan butir-butir buah dari setiap tanaman?; mendengar penjelasan ini, teman Narima ingin bertanya; setelah Banas mengangguk, ditanyakan, Kalau begitu, siapa yang bersalah dalam memulai upacara semacam ini?. Banas diam sejenak, lalu dikatakan, Pada masa pengenalan Islam dahulu, para Ulama Islam mendakwahkan agama secara persuasif; artinya memasukkan ajaran dengan cara yang tidak mendobrak ajaran yang sudah ada, misalnya ritual sedekah kepada dewa-dewi atau disebut sedekah bumi. Para Ulama Islam masa dahulu membiarkan upacara sebagaimana telah dilakukan, dengan memasukkan unsur Islami, antara lain bacaan ayat-ayat Al Quran dan doa-doa dalam Bahasa Arab. Meski begitu, terlalu sulit untuk menelusuri sejarah, siapa yang memulai memasukkan unsur Islami dalam upacara seperti ini; berhenti sejenak, lalu katanya, Barangkali, bukan masanya lagi untuk mencari siapa yang salah, tetapi bagaimana kita meluruskan budaya sedekah bumi agar tidak menyimpang dari keberimanan Islam. Mendengar penjelasan ini, Narima dan teman-teman pamit untuk kuliah, tak lupa mereka mengucap terima kasih; terpancar kepuasan memperoleh pengayaan ilmu, mungkin dalam hatinya tumbuh semangat bagaimana cara terbaik untuk menghilangkan, setidak mengurangi upacara sedekah bumi dan bentuk-bentuk sedekah semacam itu.

SEDEKAH BUMI BOLEH ?


Suatu hari di majelis taklim MAQITA al-Hikmah, Abu Mubarrok pernah ditanya jamaahnya tentang hukumnya mengikuti acara sedekah bumi Abu Mubarrok bertanya pada jamahnya, di berbagai desa maupun daerah sering diadakan sedekah bumi, namanya sedekah bumi tapi kenapa ritualnya maupun waktunya berbeda antar satu daerah dengan daerah lainnya? Para jamaah pun terdiam tidak ada yang bisa jawab. Namun ada salah satu jamaah yang menjawab seje deso mowo coro ustadz (beda daerah beda budaya ustadz) Abu Mubarrok pun bertanya lagi, sedekah bumi itu masuk dalam hal ibadah atau adat istiadat? Seluruh jamaah serentak menjawab adat istiadat. Kalo begitu meninggalkan adat istiadat termasuk dosa tidak? Serentak jawabannya tidak! Kenapa? Karena adat istiadat bukan ibadah Abu Mubarrok pun kemudian menguraikan tentang bab sedekah bumi kepada para jamaahnya. Ia mengatakan bahwa ritual-ritual zaman dulu yang selalu berkait erat dengan siklus hidup dan keseharian yang mereka jalani seperti upacara adat menyangkut kelahiran, perkawinan, kematian dan mata pencaharian. Maka, di masyarakat kita pun ada satu upacara adat yang berkait dengan mata pencaharian mereka yang mayoritas bermata pencaharian sebagai petani dan nelayan. Untuk para nelayan, mereka rutin menggelar upacara sekaligus pesta rakyat yang disebut nadran, larungan dan sebagainya. Sedangkan bagi para petani mereka biasanya menggelar berbagai upacara dan ritual yang berhubungan dengan tanah yang salah satunya sedekah bumi. Upacara adat sedekah bumi ini berkait erat dengan kepercayaan orang-orang zaman dulu akan adanya dewa-dewa dan mereka percaya bahwa pada tiap-tiap segala sesuatu yang menyangkut hajat hidup manusia dikuasai dan dijaga oleh dewa-dewa. Dengan keyakinan atas adanya dewa tersebut ditunjukkan dengan penyiapan sesaji di tempat-tempat yang mereka percaya. Dengan begitu mereka berharap terhindar dari malapetaka alam yang murka dan mendapatkan kemudahan mencapai hasil-hasil usahanya. Kemudian Islam masuk ke wilayah Jawa. Tapi meskipun tradisi sebelum masuknya Islam ini adalah sebuah ritual untuk menyembah dewa-dewa, Islam tidak serta merta menghapuskan ritual ini dari tengah-tengah masyarakat Jawa, dan malahan memanfaatkan kearifan lokal ini sebagai media dakwah yang efektif. Pendekatan budaya seperti inilah yang pada kenyataannya memang membuat Islam lebih mudah diterima di kalangan masyarakat Jawa. Karena menyembah kepada selain Allah merupakan hal yang diharamkan oleh agama Islam, maka sesembahan kepada dewa pada masa pra-Islam tidak dibuang sama sekali, tetapi diubah substansinya. Dalam usaha-usaha mengalihkan keparcayaan itulah terbentuk upacara baru, sedekah bumi. Upacara baru ini pertama kali dilaksanakan pada pemerintahan Kanjeng Susuhan Syekh Syarif Hidayatullah (1482-1568 M), tempatnya di Puser Bumi. Puser Bumi sendiri merupakan sebutan untuk pusat kegiatan atau pusat pemerintahan Wali Songo. Konon, setelah Sunan Ampel wafat pada tahun 1478 M, pusat pemerintahan atau Puser Bumi yang semula berada di Ampel oleh anggota Wali Songo yang tersisa sepakat dipindahkan ke Cirebon yang tepatnya di Gunung Sembung. Gunung Sembung ini sekarang lebih dikenal dengan sebutan Astana Gunung Jati.

Upacara adat Sedekah Bumi sendiri dibuka dengan acara Srakalan, pembacaan kidung yang dilakukan oleh pemuka adat. Kemudian acara berikutnya adalah ritual pencungkilan tanah sebagai simbol bahwa mereka mencintai tanah sebagai tempat penghidupan sekaligus juga sebagai ungkapan rasa syukur kepada sang pencipta yang telah menganugerahi tanah yang subur. Dan menjelang siang, acara dilanjutkan dengan arak-arakan yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat. Araka-arakan ini sendiri berfungsi sebagai ajang pesta rakyat di mana segala lapisan masyarakat ikut berpartisipasi dengan berbagai pertunjukan kesenian yang beragam. Dan seperti lazimnya sebuah pesta rakyat, maka segala jenis pertunjukan kesenian ditampilkan di sini oleh rakyat dan untuk rakyat. Kemudian pada pagi berikutnya barulah dilaksanakan upacara ruwatan sebagai acara inti sekaligus juga sebagai penutup dari seluruh rangkaian upacara Sedekah Bumi. Dari gambaran tersebut, ternyata dewasa ini masih banyak diantara kalangan kaum muslimin, tidak saja di daerah kita tetapi juga di daerah-daerah lainnya di Nusantara ini berkeyakinan bahwa pemberian sesaji dalam ritual pesta sedekah bumi atau sedelah laut merupakan hal biasa bahkan dianggap sebagai bagian daripada kegiatan keagamaan. Sehingga diyakini pula apabila suatu tempat atau benda keramat yang biasa diberi sesaji lalu pada suatu saat tidak diberi sesaji maka orang yang tidak memberikan sesaji akan kualat (celaka, terkena kutukan ataupun bencana). Apa yang dikemukakan berkenaan dengan upacara tahunan sedekah bumi di sekitar kita tersebut diatas menggambarkan bahwa masyarakat setempat sepertinya tidak merasa bahwa apa yang mereka lakukan sebenarnya telah melanggar syariat islam. Mereka melakukan ritual sedekah bumi tersebut tanpa merasa telah berbuat dosa besar yang tidak akan diampuni sebelum mereka bertaubat. Anehnya perbuatan yang sebenarnya pengaruh dari ajaran Animisme dan Dinamisme serta dari agama Hindu dan Budha ini masih marak dilakukan oleh orang-orang pada jaman modernisasi yang serba canggih ini. Hal ini membuktikan pada kita bahwa sebenarnya manusianya secara naluri/fitrah meyakini adanya penguasa yang maha besar, yang pantas dijadikan tempat meminta, mengadu, mengeluh, berlindung, berharap dan lain-lain. Fitrah inilah yang mendorong manusia terus mencari Penguasa yang maha besar? Pada akhirnya ada yang menemukan batu besar, pohon-pohon rindang, kubur-kubur, benda-benda kuno dan lain-lain, lalu di agungkanlah benda-benda tersebut. Pengagungan itu antara lain diekspresikan dalam bentuk sesajen yang tak terlepas dari unsurunsur berikut: menghinakan diri, rasa takut, berharap, tawakal, doa dan lainnya. Unsur-unsur inilah yang biasa disebut dalam islam sebagai ibadah. Sesungguhnya seorang muslim telah mempunyai tuntunan syariat yang bersumber dan alQuran dan as-Sunnah, yang mewajibkan kepada seluruh hamba Allah hanya tunduk, taat dan sujud kepada Allah melalui ibadah yang telah digariskan yang hanya boleh ditujukan kepada Allah yang Maha Esa yang Tidak ada Sekutu bagi-Nya, sehingga apabila seorang muslim masih mempunyai rasa takut kepada selain Allah, meminta pertolongan dan perlindungan kepada selain Allah yang diwujudkan dengan memberikan persembahan berupa sesaji, maka berarti yang bersangkutan telah menyekutukan ( mensyarikatkan ) Allah dengan selain Dia, ini namanya syirik dan pelakunya disebut sebagai musyrik. Ritual mempersembahkan sesaji kepada makhuk halus/jin yang dianggap sebagai penunggu atau penguasa tempat keramat tertentu adalah kebiasaan syirik (menyekutukan Allah dengan makhluk) yang sudah berlangsung turun-temurun di masyarakat. Mereka meyakini makhluk halus tersebut punya kemampuan untuk memberikan kebaikan atau menimpakan malapetaka kepada siapa saja, sehingga dengan mempersembahkan sesajen tersebut mereka berharap dapat meredam kemarahan makhluk halus itu dan agar segala permohonan mereka dipenuhinya.

Kebiasan ini sudah ada sejak zaman Jahiliyah sebelum Allah mengutus Rasul-Nya untuk menegakkan tauhid (peribadatan/penghambaan diri kepada Allah semata) dan memerangi syirik dalam segala bentuknya. Allah berfirman, Dan bahwasannya ada beberapa orang dari (kalangan) manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki dari (kalangan) jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan. (QS. al-Jin: 6). Artinya, orang-orang di zaman Jahiliyah meminta perlindungan kepada para jin dengan mempersembahkan ibadah dan penghambaan diri kepada para jin tersebut, seperti menyembelih hewan kurban (sebagai tumbal), bernadzar, meminta pertolongan dan lain-lain. Dalam ayat lain Allah berfirman, Dan (ingatlah) hari di waktu Allah menghimpunkan mereka semuanya, (dan Dia berfirman), Hai golongan jin (syaitan), sesungguhnya kamu telah banyak (menyesatkan) manusia, lalu berkatalah teman-teman dekat mereka dari golongan manusia (para dukun dan tukang sihir), Ya Rabb kami, sesungguhnya sebagian dari kami telah mendapatkan kesenangan/manfaat dari sebagian (yang lain) dan kami telah sampai kepada waktu yang telah Engkau tentukan bagi kami. Allah berfirman, Neraka itulah tempat tinggal kalian, sedang kalian kekal didalamnya, kecuali kalau Allah menghendaki (yang lain). Sesungguhnya Rabb-mu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. (QS al-Anaam:128). Syaikh Abdurrahman as-Sadi berkata, Jin (syaitan) mendapatkan kesenangan dengan manusia menaatinya, menyembahnya, mengagungkannya dan berlindung kepadanya (berbuat syirik dan kufur kepada Allah Subhanahu wa Taala). Sedangkan manusia mendapatkan kesenangan dengan dipenuhi dan tercapainya keinginannya dengan sebab bantuan dari para jin untuk memuaskan keinginannya. Maka, orang yang menghambakan diri pada jin, (sebagai imbalannya) jin tersebut akan membantunya dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Allah berfirman dalam al-Quran: Dan mereka memperuntukkan bagi Allah satu bagian dari tanaman dan ternak yang telah diciptakan Allah, lalu mereka berkata sesuai dengan persangkaan mereka: "Ini untuk Allah dan ini untuk berhala-berhala kami". Maka sajisajian yang diperuntukkan bagi berhala-berhala mereka tidak sampai kepada Allah; dan saji-sajian yang diperuntukkan bagi Allah, maka sajian itu sampai kepada berhala-berhala mereka . Amat buruklah ketetapan mereka itu. ( QS.Al Anam : 136 ) Sedangkan mengeluarkan sebagian harta dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah adalah suatu bentuk ibadah besar dan agung yang hanya pantas ditujukan kepada Allah. Sebagaimana dalam firman-Nya, Katakanlah, Sesungguhnya shalatku, sembelihanku (kurbanku), hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam, tiada sekutu baginya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah). (QS. al-Anaam: 162-163). Dalam ayat lain, Allah berfirman kepada Nabi-Nya, Maka, dirikanlah shalat karena Rabbmu (Allah) dan berkurbanlah. (Qs. al-Kautsar: 2). Kedua ayat ini menunjukkan agungnya keutamaan ibadah shalat dan berkurban, karena melakukan dua ibadah ini merupakan bukti kecintaan kepada Allah dan pemurnian agama bagi-Nya semata-mata, serta pendekatan diri kepada-Nya dengan hati, lisan dan anggota badan, juga dengan menyembelih kurban yang merupakan pengorbanan harta yang dicintai jiwa kepada Dzat yang lebih dicintainya, yaitu Allah SWT. Oleh karena itu, maka mempersembahkan ibadah ini kepada selain Allah (baik itu jin, makhluk halus ataupun manusia) dengan tujuan untuk mengagungkan dan mendekatkan diri kepadanya, yang dikenal dengan istilah sesajen sebagaimana yang dilakukan oleh kebanyakan orang dalam ritual sedekah bumi, adalah perbuatan dosa yang sangat besar,

bahkan merupakan perbuatan syirik besar yang bisa menyebabkan pelakunya keluar dari agama Islam (menjadi kafir). Allah berfirman, Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan sembelihan yang dipersembahkan kepada selain Allah. (QS. al-Baqarah: 173) Imam Ibnu Jarir ath-Thabari berkata, Artinya, sembelihan yang dipersembahkan kepada sembahan (selain Allah) dan berhala, yang disebut nama selain-Nya (ketika disembelih), atau diperuntukkan kepada sembahan-sembahan selain-Nya. Dalam sebuah hadits shahih, dari Ali bin Abi Thalib, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,: Allah melaknat orang yang menyembelih (berkurban) untuk selain-Nya. Hadits ini menunjukkan ancaman besar bagi orang yang menyembelih (berkurban) untuk selain-Nya, dengan laknat Allah yaitu dijauhkan dari rahmat-Nya. Karena perbuatan ini termasuk dosa yang sangat besar, bahkan termasuk perbuatan syirik kepada Allah, sehingga pelakunya pantas untuk mandapatkan laknat Allah dan dijauhkan dari rahmat-Nya. Perlu sekali untuk diingatkan dalam hal ini, bahwa faktor utama yang menjadikan besarnya keburukan perbuatan ini, bukanlah semata-mata karena besar atau kecilnya kurban yang dipersembahkan kepada selain-Nya, tetapi karena besarnya pengagungan dan ketakutan dalam hati orang yang mempersembahkan tersebut kepada selain-Nya, yang semua ini merupakan ibadah hati yang agung yang hanya pantas ditujukan kepada Allah semata. Oleh karena itu, meskipun kurban yang dipersembahkan sangat kecil dan remeh, bahkan seekor lalat sekalipun, jika disertai dengan pengagungan dan ketakutan dalam hati kepada selainNya, maka ini juga termasuk perbuatan syirik besar. Dalam sebuah atsar dari sahabat Salman al-Farisi beliau berkata, Ada orang yang masuk surga karena seekor lalat dan ada yang masuk neraka karena seekor lalat, ada dua orang yang melewati (daerah) suatu kaum yang sedang bersemedi (menyembah) berhala mereka dan mereka mengatakan, Tidak ada seorangpun yang boleh melewati (daerah) kita hari ini kecuali setelah dia mempersembahkan sesuatu (sebagai kurban/tumbal untuk berhala kita). Maka, mereka berkata kepada orang yang pertama, Kurbankanlah sesuatu (untuk berhala kami)! Tapi, orang itu enggan dalam riwayat lain: orang itu berkata, Aku tidak akan berkurban kepada siapapun selain Allah, maka diapun dibunuh (kemudian dia masuk surga). Lalu, mereka berkata kepada orang yang kedua, Kurbankanlah sesuatu (untuk berhala kami)!, -dalam riwayat lain: orang itu berkata, Aku tidak mempunyai sesuatu untuk dikurbankan. Maka mereka berkata lagi, Kurbankanlah sesuatu meskipun (hanya) seekor lalat!, orang itu berkata (dengan meremehkan), Apalah artinya seekor lalat,, lalu diapun berkurban dengan seekor lalat, dalam riwayat lain: maka merekapun mengizinkannya lewat, kemudian (di akhirat) dia masuk neraka. Setelah kita mengetahui bahwa melakukan ritual jahiliyyah ini adalah dosa yang sangat besar, bahkan termasuk perbuatan syirik kepada Allah, yang berarti terkena ancaman dalam firmanNya, Sesungguhnya, Allah tidak akan mengampuni (dosa) perbuatan syirik (menyekutukan-Nya), dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakiNya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang sangat besar. (QS an-Nisaa: 48). Hukum Berpartisipasi dan Membantu dalam Acara Sedekah Bumi Maka sejalan dengan itu bagi orang-orang yang ikut berpartisipasi dan membantu terselenggaranya acara ritual pemberian sesaji pada sedekah laut atau sedekah bumi dalam segala bentuknya, adalah termasuk dosa yang sangat besar, karena termasuk tolong-menolong dalam perbuatan maksiat yang sangat besar kepada Allah, yaitu perbuatan syirik. Allah

berfirman, Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan janganlah tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (QS. al-Maaidah: 2). Imam Ibnu Katsir berkata, (Dalam ayat ini) Allah memerintahkan kepada hamba-hambaNya yang beriman untuk saling tolong-menolong dalam melakukan perbuatan-perbuatan baik, yang ini adalah al-birr (kebajikan), dan meninggalkan perbuatan-perbuatan mungkar, yang ini adalah ketakwaan, serta melarang mereka dari (perbuatan) saling membantu dalam kebatilan dan tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan maksiat.

TRADISI SEDEKAH BUMI PERBUATAN YANG DIHARAMKAN DALAM ISLAM

Dalam Portal Cirebon kami membaca sebuah artikel yang mengulas tentang tradisi sedeqah bumi yang diselenggarakan oleh masyarakat secara beramai-ramai di Cirebon. Mengingat sedekah bumi tersebut merupakan sebuah ritual mempersembahkan sesaji kepada sesuatu yang dipercaya dapat memberikan pertolongan dan perlindungan sehingga perbuatan tersebut dikatagorikan sebagai suatu bentuk ibadah, sedangkan yang melakukannya adalah kebanyakan orang-orang muslim, sehingga kami terdorong untuk mengingatkan kepada sesama saudara muslim bahwa perbuatan yang mereka lakukan tersebut bertolak belakang dengan keyakinan seorang muslim yang mentauhidkan Allah. Sebelum membahas lebih jauh tentang tradisi sedekah bumi ditinjau dari aqidah Islam, maka kami terlebih dahulu menyajikan artikel tentang sedekah bumi di Cirebon yang kami copy paste dari Portal Cirebon.

Seperti halnya ritual-ritual zaman dulu yang selalu berkait erat dengan siklus hidup dan keseharian yang mereka jalani seperti upacara adat menyangkut kelahiran, perkawinan, kematian dan mata pencaharian. Maka, di Cirebon pun ada satu upacara adat yang berkait dengan mata pencaharian mereka yang mayoritas bermata pencaharian sebagai petani dan nelayan. Untuk para nelayan, mereka rutin menggelar upacara sekaligus pesta rakyat yang disebut nadran, larungan dan sebagainya. Sedangkan bagi para petani mereka biasanya menggelar berbagai upacara dan ritual yang berhubungan dengan tanah yang salah satunya akan Portal Cirebon bahas kali ini yakni sedekah bumi. Upacara adat sedekah bumi ini berkait erat dengan kepercayaan orang-orang zaman dulu akan adanya dewa-dewa dan mereka percaya bahwa pada tiap-tiap segala sesuatu yang menyangkut hajat hidup manusia dikuasai dan dijaga oleh dewa-dewa. Dengan keyakinan

atas adanya dewa tersebut ditunjukkan dengan penyiapan sesaji di tempat-tempat yang mereka percaya. Dengan begitu mereka berharap terhindar dari malapetaka alam yang murka dan mendapatkan kemudahan mencapai hasil-hasil usahanya. Kemudian Islam masuk ke wilayah Cirebon. Tapi meskipun tradisi sebelum masuknya Islam ini adalah sebuah ritual untuk menyembah dewa-dewa, Islam tidak serta merta menghapuskan ritual ini dari tengah-tengah masyarakat Cirebon, dan malahan memanfaatkan kearifan lokal ini sebagai media dakwa yang efektif. Pendekatan budaya seperti inilah yang pada kenyataannya memang membuat Islam lebih mudah diterima di kalangan masyarakat Cirebon. Karena menyembah kepada selain Allah merupakan hal yang diharamkan oleh agama Islam, maka sesembahan kepada dewa pada masa pra-Islam tidak dibuang sama sekali, tetapi diubah substansinya. Dalam usaha-usaha mengalihkan keparcayaan itulah terbentuk upacara baru, sedekah bumi. Upacara baru ini pertama kali dilaksanakan pada pemerintahan Kanjeng Susuhan Syekh Syarif Hidayatullah (1482-1568 M), tempatnya di Puser Bumi. Puser Bumi sendiri merupakan sebutan untuk pusat kegiatan atau pusat pemerintahan Wali Songo. Konon, setelah Sunan Ampel wafat pada tahun 1478 M, pusat pemerintahan atau Puser Bumi yang semula berada di Ampel oleh anggota Wali Songo yang tersisa sepakat dipindahkan ke Cirebon yang tepatnya di Gunung Sembung. Gunung Sembung ini sekarang lebih dikenal dengan sebutan Astana Gunung Jati. Tradisi Sedekah Bumi ini pada perjalanannya kemudian dilaksanakan pada bulan ke empat tiap tahunnya mengikuti siklus panen padi di setiap desa yang masuk ke dalam wilayah Cirebon. Pada saat ini yang masih kuat memegang tradisi Sedekah Bumi adalah Desa Astana Gunung Jati. Pelaksananya adalah Ki Penghulu serta Ki Jeneng Astana Gunung Jati berikut para kraman. Pelaksanaannya dimulai dengan Buka Balong dalem yaitu mengambil ikan dari balong milik keraton di beberapa daerah (masih ada di desa Pegagan) oleh Ki Penghulu bersama Ki Jeneng atas restu Sinuhun. Selanjutnya Ki Penghulu bersama Ki Jeneng Ngaturi Pasamon (mengadakan pertemuan) para Prenata dan para pemuka adat lainnya, dalam Pasamon ditetapkan hari pelaksanaan sedekah bumi. Setelah hari H untuk menggelar upacara Sedekah Bumi itu resmi ditetapkan, maka kemudian disebarkan kepada seluruh penduduk bahwa pada hari yang telah ditentukan itu akan diadakan upacara adat Sedekah Bumi. Melalui para pemuka adat penduduk mengirimkan "Gelondong Pengareng-areng". Gelondong Pengareng-areng adalah penyerahan secara sukarela, sebagai rasa syukur atas keberhasilan yang telah diusahakannya. Biasanya berupa hasil bumi seperti Sura Kapendem (hasil tanaman yang terpendam di tanah seperti ubi kayu, kembili, kentang, dsb). Sura gumantung, yaitu hasil tanaman di atas tanah seperti buahbuahan, sayur mayur, dsb. Hasil ternak seperti Ayam, Itik, Kambing, Kerbau, Sapi, dsb. Juga bagi mereka yang yang berusaha sebagai nelayan, mengirimkan hasil tangkapannya dari laut sebagai rasa syukur dan berbakti kepada kanjeng sinuhun. Penyerahan-penyerahan itu terjadi bukan karena paksaan atau peraturan tertentu, tetapi karena kesadaran penduduk itu sendiri dan kemudian dijadikan hukum adat yang aturan-aturan tidak tertulis. Upacara adat Sedekah Bumi sendiri dibuka dengan acara Srakalan, pembacaan kidung yang dilakukan oleh pemuka adat. Kemudian acara berikutnya adalah ritual pencungkilan tanah sebagai simbol bahwa mereka mencintai tanah sebagai tempat penghidupan sekaligus juga sebagai ungkapan rasa syukur kepada sang pencipta yang telah menganugerahi tanah yang subur. Dan menjelang siang, acara dilanjutkan dengan arak-arakan yang melibatkan seluruh

lapisan masyarakat. Araka-arakan ini sendiri berfungsi sebagai ajang pesta rakyat di mana segala lapisan masyarakat ikut berpartisipasi dengan berbagai pertunjukan kesenian yang beragam. Dan seperti lazimnya sebuah pesta rakyat, maka segala jenis pertunjukan kesenian ditampilkan di sini oleh rakyat dan untuk rakyat. Kemudian pada pagi berikutnya barulah dilaksanakan upacara ruwatan sebagai acara inti sekaligus juga sebagai penutup dari seluruh rangkaian upacara Sedekah Bumi.

Dari gambaran tersebut diatas ternyata dewasa ini masih banyak diantara kalangan kaum muslimin, tidak saja di daerah Cirebon tetapi juga di daerahdaerah lainnya di Nusantara ini berkeyakinan bahwa pemberian sesaji dalam ritual pesta sedekah bumi atau sedelah laut merupakan hal biasa bahkan dianggap sebagai bagian daripada kegiatan keagamaan. Sehingga diyakini pula apabila suatu tempat atau benda keramat yang biasa diberi sesaji lalu pada suatu pada saat tidak diberi sesaji maka orang yang tidak memberikan sesaji akan kualat (celaka, terkena kutukan). Apa yang dikemukakan berkenaan dengan upacara tahunan sedekah bumi di Cirebon tersebut diatas menggambarkan bahwa masyarakat setempat sepertinya tidak merasa bahwa apa yang mereka lakukan sebenarnya telah melanggar syariat islam. Mereka melakukan ritual sedekah bumi tersebut tanpa merasa telah berbuat dosa besar yang tidak akan diampuni sebelum mereka bertaubat. Anehnya perbuatan yang sebenarnya pengaruh dari ajaran Animisme dan Dinamisme serta dari agama Hindu dan Budha ini masih marak dilakukan oleh orang-orang pada jaman modernisasi yang serba canggih ini. Hal ini membuktikan pada kita bahwa sebenarnya manusianya secara naluri/fitrah meyakini adanya penguasa yang maha besar, yang pantas dijadikan tempat meminta, mengadu, mengeluh, berlindung, berharap dan lain-lain. Fitrah inilah yang mendorong manusia terus mencari Penguasa yang maha besar? Pada akhirnya ada yang menemukan batu besar, pohon-pohon rindang, kubur-kubur, benda-benda kuno dan lain-lain, lalu di agungkanlah benda-benda tersebut. Pengagungan itu antara lain diekspresikan dalam bentuk sesajen yang tak terlepas dari unsur-unsur berikut: menghinakan diri, rasa takut, berharap, tawakal, doa dan lainnya. Unsur-unsur inilah yang biasa disebut dalam islam sebagai ibadah.

Tradisi Leluhur Yang Syirik

Sesungguhnya seorang muslim telah mempunyai tuntunan syariat yang bersumber dan alQur;an dan as-Sunnah, yang mewajibkan kepada seluruh hamba Allah hanya tunduk, taat dan sujud kepada Allah melalui ibadah yang telah digariskan yang hanya boleh ditujukan kepada Allah yang Maha Esa yang Tidak ada Sekutu bagi-Nya, sehingga apabila seorang muslim masih mempunyai rasa takut kepada selain Allah, meminta pertolongan dan perlindungan kepada selain Allah yang diwujudkan dengan memberikan persembahan berupa sesaji, maka berarti yang bersangkutan telah menyekutukan ( mensyarikatkan ) Allah dengan selain Dia, ini namanya syirik dan pelakunya disebut sebagai musyrik. Ritual mempersembahkan tum sesaji kepada makhuk halus/jin yang dianggap sebagai penunggu atau penguasa tempat keramat tertentu adalah kebiasaan syirik (menyekutukan AllahSubhanahu wa Taala dengan makhluk) yang sudah berlangsung turun-temurun di masyarakat. Mereka meyakini makhluk halus tersebut punya kemampuan untuk memberikan kebaikan atau menimpakan malapetaka kepada siapa saja, sehingga dengan

mempersembahkan sesajen tersebut mereka berharap dapat meredam kemarahan makhluk halus itu dan agar segala permohonan mereka dipenuhinya. Kebiasan ini sudah ada sejak zaman Jahiliyah sebelum Allah Subhanahu wa Taala mengutus Rasul-Nyashallallahu alaihi wa sallam untuk menegakkan tauhid (peribadatan/penghambaan diri kepada AllahSubhanahu wa Taala semata) dan memerangi syirik dalam segala bentuknya. Allah Subhanahu wa Taala berfirman, Dan bahwasannya ada beberapa orang dari (kalangan) manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki dari (kalangan) jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan. (Qs. al-Jin: 6). Artinya, orang-orang di zaman Jahiliyah meminta perlindungan kepada para jin dengan mempersembahkan ibadah dan penghambaan diri kepada para jin tersebut, seperti menyembelih hewan kurban (sebagai tumbal), bernadzar, meminta pertolongan dan lain-lain. Dalam ayat lain Allah Subhanahu wa Taala berfirman, Dan (ingatlah) hari di waktu Allah menghimpunkan mereka semuanya, (dan Dia berfirman), Hai golongan jin (syaitan), sesungguhnya kamu telah banyak (menyesatkan) manusia, lalu berkatalah teman-teman dekat mereka dari golongan manusia (para dukun dan tukang sihir), Ya Rabb kami, sesungguhnya sebagian dari kami telah mendapatkan kesenangan/manfaat dari sebagian (yang lain) dan kami telah sampai kepada waktu yang telah Engkau tentukan bagi kami. Allah berfirman, Neraka itulah tempat tinggal kalian, sedang kalian kekal didalamnya, kecuali kalau Allah menghendaki (yang lain). Sesungguhnya Rabb-mu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. (QS al-Anaam:128). Syaikh Abdurrahman as-Sadi berkata, Jin (syaitan) mendapatkan kesenangan dengan manusia menaatinya, menyembahnya, mengagungkannya dan berlindung kepadanya (berbuat syirik dan kufur kepada Allah Subhanahu wa Taala). Sedangkan manusia mendapatkan kesenangan dengan dipenuhi dan tercapainya keinginannya dengan sebab bantuan dari para jin untuk memuaskan keinginannya. Maka, orang yang menghambakan diri pada jin, (sebagai imbalannya) jin tersebut akan membantunya dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.[2] Firman Allah subhanahu wa taala :
Dan mereka memperuntukkan bagi Allah satu bagian dari tanaman dan ternak yang telah diciptakan Allah, lalu mereka berkata sesuai dengan persangkaan mereka: "Ini untuk Allah dan ini untuk berhala-berhala kami". Maka saji-sajian yang diperuntukkan bagi berhala-berhala mereka tidak sampai kepada Allah; dan saji-sajian yang diperuntukkan bagi Allah, maka sajian itu sampai kepada berhala-berhala mereka [508]. Amat buruklah ketetapan mereka itu. ( QS.Al Anam : 136 )

[508] Menurut yang diriwayatkan bahwa hasil tanaman dan binatang ternak yang mereka peruntukkan bagi Allah, mereka pergunakan untuk memberi makanan orang-orang fakir, orang-orang miskin, dan berbagai amal sosial, dan yang diperuntukkan bagi berhala-berhala diberikan kepada penjaga berhala itu. Apa yang disediakan untuk berhala-berhala tidak dapat diberikan kepada fakir miskin, dan amal sosial sedang sebahagian yang disediakan untuk Allah (fakir miskin dan amal sosial) dapat diberikan kepada berhala-berhala itu. Kebiasaan yang seperti ini amat dikutuk Allah.

Keterangan-keterangan diatas menunjukkan bahwa acara ritualis memberikan sesaji ( sesajen ) bertentangan dengan syariat Islam yang murni. Sebab didalamnya mengandung pengagungan, penghambaan, pengharapan, takut yang semestinya hanya diperuntukkan kepada Allah semata. Mudah-mudahan Allah jauhkan kita dari segala bentuk kesyirikan.

Hukum Mempersembahkan Sesaji ( Sesajen ) Untuk Sedekah Bumi Mengeluarkan sebagian harta dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Taala[3], adalah suatu bentuk ibadah besar dan agung yang hanya pantas ditujukan kepada Allah Subhanahu wa Taala. Sebagaimana dalam firman-Nya, Katakanlah, Sesungguhnya shalatku, sembelihanku (kurbanku), hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam, tiada sekutu baginya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah). (Qs. al-Anaam: 162-163). Dalam ayat lain, Allah Subhanahu wa Taala berfirman kepada Nabi-Nya shallallahu alaihi wa sallam, Maka, dirikanlah shalat karena Rabb-mu (Allah Subhanahu wa Taala) dan berkurbanla. (Qs. al-Kautsar: 2). Kedua ayat ini menunjukkan agungnya keutamaan ibadah shalat dan berkurban, karena melakukan dua ibadah ini merupakan bukti kecintaan kepada Allah Subhanahu wa Taala dan pemurnian agama bagi-Nya semata-mata, serta pendekatan diri kepada-Nya dengan hati, lisan dan anggota badan, juga dengan menyembelih kurban yang merupakan pengorbanan harta yang dicintai jiwa kepada Dzat yang lebih dicintainya, yaitu Allah Subhanahu wa Taala. Oleh karena itu, maka mempersembahkan ibadah ini kepada selain Allah Subhanahu wa Taala (baik itu jin, makhluk halus ataupun manusia) dengan tujuan untuk mengagungkan dan mendekatkan diri kepadanya, yang dikenal dengan istilah sesajen sebagaimana yang dilakukan oleh kebanyakan orang dalam ritual sedekah bumi, adalah perbuatan dosa yang sangat besar, bahkan merupakan perbuatan syirik besar yang bisa menyebabkan pelakunya keluar dari agama Islam (menjadi kafir). Allah Subhanahu wa Taala berfirman, Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan sembelihan yang dipersembahkan kepada selain Allah. (Qs. al-Baqarah: 173) . Imam Ibnu Jarir ath-Thabari berkata, Artinya, sembelihan yang dipersembahkan kepada sembahan (selain Allah Subhanahu wa Taala) dan berhala, yang disebut nama selain-Nya (ketika disembelih), atau diperuntukkan kepada sembahan-sembahan selain-Nya. Dalam sebuah hadits shahih, dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,: Allah melaknat orang yang menyembelih (berkurban) untuk selain-Nya. Hadits ini menunjukkan ancaman besar bagi orang yang menyembelih (berkurban) untuk selain-Nya, dengan laknat Allah Subhanahu wa Taala yaitu dijauhkan dari rahmat-Nya. Karena perbuatan ini termasuk dosa yang sangat besar, bahkan termasuk perbuatan syirik kepada Allah Subhanahu wa Taala, sehingga pelakunya pantas untuk mandapatkan laknat Allah Subhanahu wa Taala dan dijauhkan dari rahmat-Nya. Perlu sekali untuk diingatkan dalam hal ini, bahwa faktor utama yang menjadikan besarnya keburukan perbuatan ini, bukanlah semata-mata karena besar atau kecilnya kurban yang dipersembahkan kepada selain-Nya, tetapi karena besarnya pengagungan dan ketakutan dalam hati orang yang mempersembahkan tersebut kepada selain-Nya, yang semua ini

merupakan ibadah hati yang agung yang hanya pantas ditujukan kepada Allah Subhanahu wa Taala semata-mata. Oleh karena itu, meskipun kurban yang dipersembahkan sangat kecil dan remeh, bahkan seekor lalat sekalipun, jika disertai dengan pengagungan dan ketakutan dalam hati kepada selain-Nya, maka ini juga termasuk perbuatan syirik besar. Dalam sebuah atsar dari sahabat Salman al-Farisi radhiallahu anhu beliau berkata, Ada orang yang masuk surga karena seekor lalat dan ada yang masuk neraka karena seekor lalat, ada dua orang yang melewati (daerah) suatu kaum yang sedang bersemedi (menyembah) berhala mereka dan mereka mengatakan, Tidak ada seorangpun yang boleh melewati (daerah) kita hari ini kecuali setelah dia mempersembahkan sesuatu (sebagai kurban/tumbal untuk berhala kita). Maka, mereka berkata kepada orang yang pertama, Kurbankanlah sesuatu (untuk berhala kami)! Tapi, orang itu enggan dalam riwayat lain: orang itu berkata, Aku tidak akan berkurban kepada siapapun selain Allah Subhanahu wa Taala, maka diapun dibunuh (kemudian dia masuk surga). Lalu, mereka berkata kepada orang yang kedua, Kurbankanlah sesuatu (untuk berhala kami)!, -dalam riwayat lain: orang itu berkata, Aku tidak mempenyai sesuatu untuk dikurbankan. Maka mereka berkata lagi, Kurbankanlah sesuatu meskipun (hanya) seekor lalat!, orang itu berkata (dengan meremehkan), Apalah artinya seekor lalat,, lalu diapun berkurban dengan seekor lalat, dalam riwayat lain: maka merekapun mengizinkannya lewat kemudian (di akhirat) dia masuk neraka. Hukum Berpartisipasi dan Membantu dalam Acara Sedekah Bumi Setelah kita mengetahui bahwa melakukan ritual jahiliyyah ini adalah dosa yang sangat besar, bahkan termasuk perbuatan syirik kepada Allah, yang berarti terkena ancaman dalam firmanNya, Sesungguhnya, Allah tidak akan mengampuni (dosa) perbuatan syirik (menyekutukan-Nya), dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakiNya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang sangat besar. (Qs an-Nisaa: 48). Maka sejalan dengan itu bagi orang-orang yang ikut berpartisipasi dan membantu terselenggaranya acara ritual pemberian sesaji pada sedekah laut atau sedekah bumi dalam segala bentuknya, adalah termasuk dosa yang sangat besar, karena termasuk tolong-menolong dalam perbuatan maksiat yang sangat besar kepada Allah, yaitu perbuatan syirik. Allah Subhanahu wa Taala berfirman, Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan janganlah tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (Qs. al-Maaidah: 2). Imam Ibnu Katsir berkata, (Dalam ayat ini) Allah Subhanahu wa Taala memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman untuk saling tolong-menolong dalam melakukan perbuatan-perbuatan baik, yang ini adalah al-birr (kebajikan), dan meninggalkan perbuatanperbuatan mungkar, yang ini adalah ketakwaan, serta melarang mereka dari (perbuatan) saling membantu dalam kebatilan dan tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan maksiat. Dan dalam hadits shahih tentang haramnya perbuatan riba dan haramnya ikut membantu serta mendukung perbuatan ini, dari Jabir bin Abdillah radhiallahu anhu dia berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melaknat orang yang memakan riba, orang yang mengusahakannya, orang yang menulis (transaksinya), dan dua orang yang menjadi saksinya, mereka semua sama (dalam perbuatan dosa). Imam an-Nawawi berkata, Dalam hadits ini (terdapat dalil yang menunjukkan) diharamkannya menolong/mendukung (terselenggaranya perbuatan) batil (maksiat).
Islam Adalah Agama Tauhid Menghapus Syirik.

Tauhid menurut ulama salafus shalih (dibagi menjadi 3 macam yakni tauhid rububiyah, uluhiyah dan Asma wa Sifat. Mengamalkan tauhid dan menjauhi syirik merupakan konsekuensi dari kalimat syahadat yang telah diikrarkan oleh seorang muslim. Kedudukan tauhid dalam Islam sangatlah penting,seorang muslim wajib meyakini bahwa tauhid adalah dasar Islam yang paling agung dan hakikat Islam yang paling besar, dan merupakan salah satu syarat merupakan syarat diterimanya amal perbuatan disamping harus sesuai dengan tuntunan Rasulullah. Dalam Al-Quran disebutkan tentang keagungan tauhid sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah subahanahu
Wa Ta'aalaa: Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu", maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya Maka berjalanlah kamu dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul). ( QS. An Nahl : 36 ) Firman Allah subhanahu wa taalan : Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. (QS.At Taubah : 31 ) Firman Allah subhanahu wa taala : Sesunguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al Quraan) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan keta'atan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya". Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar. ( QS. AzZumar : 2-3 ) Firman Allah subhanahu wa taala :

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta'atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus [dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus ( QS. Al Bayyinah : 98 ).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan: "Orang yang mau mentadabburi keadaan alam akan mendapati bahwa sumber kebaikan di muka bumi ini adalah bertauhid dan beribadah kepada Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa serta taat kepada Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam. Sebaliknya semua kejelekan di muka bumi ini; fitnah, musibah, paceklik, dikuasai musuh dan lain-lain penyebabnya adalah menyelisihi Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam dan berdakwah (mengajak) kepada selain Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa. Orang yang mentadabburi hal ini dengan sebenar-benarnya akan mendapati kenyataan seperti ini baik dalam dirinya maupun di luar dirinya" (Majmu' Fatawa 15/25) Karena kenyataannya demikian dan pengaruhnya-pengaruhnya yang terpuji ini, maka syetan adalah makhluk yang paling cepat (dalam usahanya) untuk menghancurkan dan merusaknya. Senantiasa bekerja untuk melemahkan dan membahayakan tauhid itu. Syetan lakukan hal ini siang malam dengan berbagai cara yang diharapkan membuahkan hasil. Jika syetan tidak berhasil (menjerumuskan ke dalam) syirik akbar, syetan tidak akan putus asa untuk menjerumuskan ke dalam syirik dalam berbagai kehendak dan lafadz (yang diucapkan manusia). Jika masih juga tidak berhasil maka ia akan menjerumuskan ke dalam berbagai bid'ah dan khurafat. (Al Istighatsah, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah hal 293, lihat Muqaddimah Fathul Majiid tahqiq DR Walid bin Abdurrahman bin Muhammad Ali Furayaan, hal 4)
Tauhid Rububiyah adalah beriman bahwa hanya Allah satu-satunya Rabb yang memiliki, merencanakan, menciptakan, mengatur, memelihara, memberi rezeki, memberikan manfaat, menolak mudharat serta menjaga seluruh Alam Semesta. Sebagaimana terdapat dalam Al Quran surat Az Zumar ayat 62 : Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu. ( QS. AzZumar : 62 ) Hal yang seperti ini diakui oleh seluruh manusia, tidak ada seorang pun yang mengingkarinya. Orang-orang yang mengingkari hal ini, seperti kaum atheis, pada kenyataannya mereka menampakkan keingkarannya hanya karena kesombongan mereka. Padahal, jauh di dalam lubuk hati mereka, mereka mengakui bahwa tidaklah alam semesta ini terjadi kecuali ada yang membuat dan mengaturnya. Mereka hanyalah membohongi kata hati mereka sendiri. Hal ini sebagaimana firman Allah : Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)? Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi itu?; sebenarnya mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan).(QS.Ath-Thuur : 35-36 )

Namun pengakuan seseorang terhadap Tauhid Rububiyah ini tidaklah menjadikan seseorang beragama Islam karena sesungguhnya orang-orang musyrikin Quraisy yang diperangi Rasulullah shalallahualahi wa sallam mengakui dan meyakini jenis tauhid ini. Sebagaimana firman Allah, :

Katakanlah: Siapakah Yang memiliki langit yang tujuh dan Yang memiliki Arsy yang besar? Mereka akan menjawab: Kepunyaan Allah. Katakanlah: Maka apakah kamu tidak bertakwa? Katakanlah: Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari -Nya, jika kamu mengetahui? Mereka akan menjawab: Kepunyaan Allah. Katakanlah: Maka dari jalan manakah kamu ditipu? (Al-Muminun: 86-89).
Tauhid Uluhiyah/Ibadah ialah Beriman bahwa hanya Allah semata yang berhak disembah, tidak ada sekutu bagiNya. Sebagaimana yang disebutkan dalam Firman Allah subhanahu wa taala "Allah menyatakan bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang orang yang berilmu (juga menyatakan demikian). Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia yang Mahaperkasa lagi Maha Bijaksana" (Al Imran: 18). Beriman terhadap uluhiyah Allah merupakan konsekuensi dari keimanan terhadap rububiyahNya. Mengesakan Allah dalam segala macam ibadah yang kita lakukan. Seperti salat, doa, nadzar, menyembelih, tawakkal, taubat, harap, cinta, takut dan berbagai macam ibadah lainnya. Dimana kita harus memaksudkan tujuan dari kesemua ibadah itu hanya kepada Allah semata. Tauhid inilah yang merupakan inti dakwah para rosul dan merupakan tauhid yang diingkari oleh kaum musyrikin Quraisy. Hal ini sebagaimana yang difirmankan Allah mengenai perkataan mereka itu . Allah azza wa jalla berfirman : Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang Satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan. ( QS. Shaad : 5 ) Dalam ayat ini kaum musyrikin Quraisy mengingkari jika tujuan dari berbagai macam ibadah hanya ditujukan untuk Allah semata. Oleh karena pengingkaran inilah maka mereka dikafirkan oleh Allah dan Rasul-Nya walaupun mereka mengakui bahwa Allah adalah satu-satunya Pencipta alam semesta.

Islam yang dibawa oleh Rasululluh shalallahualaihi wa sallam datang untuk menegakkan tauhid dan menghapus semua praktek-praktek jahiliyah dalam beraqidah, karena perilaku masyarakat jahiliyah dalam beraqidah lebih bersifat syirik, Berkaitan dengan itu maka untuk tegaknya tauhid wajib bagi setiap muslim untuk mengingkari dan meninggalkan kebiasaan memberikan sesaji ( sesajen ) sebagaimana kelaziman yang banyak dilakukan orang-orang. Tidaklah sepatutnya seorang muslim untuk melestarikan tradisi warisan leluhur yang syirik dan bertentangan dengan aqidah. ( Wallaahualam bish-shawab)

You might also like