You are on page 1of 23

Modul 10 Konsep Etika dalam Fungsi Produksi

Selain harus menjamin keamanan produk, bisnis mempunyai kewajiban lain lagi terhadap konsumen. Disini kita akan menyoroti tiga kewajiban moral lain yang masing-masing berkaitan dengan kualitas produk, harganya, dan pemberian label serta pengemasan (labeling and packaging). 1. Kualitas produk Dengan kualits produk di sini dimaksudkan bahwa produk sesuai dengan apa yang dijanjikan oleh produsen (melalui iklan atau informasi lainnya) dan apa yang secara wajar boleh diharapkan oleh konsumen. Konsumen berhak atas produk yang berkualitas, karena ia membayar untuk itu. Dan bisnis berkewajiban untuk menyampaikan produk yang berkualitas, misalnya produk yang tidak kadaluarsa (bila ada batas waktu seperti obat-obatan atau makanan). Salah satu cara yang biasanya ditempuh untuk menjamin kualitas produk adalah memberikan garansi. Kita bisa membedakan dua macam garansi : eksplisit dan implisit. Garansi bersifat eksplisit, kalau terjamin begitu saja dalam keterangan yang menyertai produk. Contohnya adalah kasus Pendinginan bergaransi. Garansi eksplisit menyangkut ciri-ciri produk, masa pemakaian, kemampuannya, dan sebagainya. Bila produk rusak dalam jangka waktu tertentu, si penjual melibatkan diri untuk memperbaikinya atau menggantikannya dengan produk baru. Garansi bersifat implisit, kalau secara wajar bisa diandaikan, sekalipun tidak dirumuskan dengan terang-terangan. Hal itu terjadi, bila dalam iklan dikatakan bahwa pisau atau perabot rumah tangga lain bebas karat, saya berhak mendapat pisau baru atau uang dikembalikan, kalau pisau yang saya beli pada kenyataannya berkarat. Atau jika saya membeli sepeda, ciri itu termasuk hakikat produk. Jika sepeda yang saya beli tidak mempunyai ciri itu, saya berhak dapat menggantikannya dengan sepeda baru atau uang dikembalikan. Sebuah contoh bagus tentang garansi implisit adalah instant camera dari Kodak di Amerika Serikat. Karena Polaroid meraras memiliki paten atas sistem kamera itu, mereka mengajukan Kodak ke pengadilan dan menang. Kodak dihukum untuk menarik kamera itu dari pasaran. Tetapi serentak juga Kodak

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB

Dra. H. Popon Herawati, M.Si.

ETIKA BISNIS

dihukum untuk menarik kamera tersebut, sebab mereka tidak lagi dapat memperoleh film. Pembeli-pembeli itu dulu secara implisit boleh mengandaikan bahwa film akan tersedia untuk kameranya. Jika hal itu dengan mendadak tidak mungkin lagi, mereka boleh mengharapkan kompensasi dalam bentuk kamera tipe lain atau uang dikembalikan. Akhirnya boleh dicatat lagi bahwa kualitas produk tidak saja merupakan suatu tuntutan etis melainkan juga suatu syarat untuk mencapai sukses dalam bisnis. Sebagaimana sering terjadi, disinipun etika sejalan dengan bisnis yang baik. Salah satu contoh dapat diambil dari riwayat perusahaan Amerika, Xerox, perintis dalam industri mesin fotokopi. Pada tahun 1980-an Xerox mendapat persaingan keras dari beberapa merk mesin fotokopi Jepang, hingga pangsa pasar mereka anjlok dari 86 persen pada tahun 1974 menjadi 16,6 persen pada tahun 1984. Xerox mulai mawas diri dan melalui sebuah penelitian mendalam sampai pada kesimpulan bahwa sebabnya ialah kekalahan dalam kualitas. Pimpinan Xerox mulai melontarkan program ketat untuk meningkatkan kualitas. Dalam waktu agak singkat mereka bisa mencapai angka 38 persen untuk kepuasan pelanggan. Dan akhirnya xerox berhasil memimpin lagi pasaran mesin fotokopi dengan harga terjangkau di Amerika Serikat. David Kerns, pimpinan Xerox, menjelaskan:Pada Xerox kami memahami harapan pelanggan. Itulah aksioma yang seumur dengan bisnis itu sendiri. Namun demikian, di Amerika banyak perusahaan melupakan hal itu. Xerox adalah salah satu di antara mereka. Tetapi dengan memfokuskan lagi pada kualitas, kami telah mengubah keadaan itu. Pada tahun 1989 Presiden George Bush menyerahkan kepada divisi mesin fotokopi dari Xerox satu dari dua penghargaan yang disebut Malcolm Baldrige National Quality Award yang diadakan atas prakarsa Kongres Amerika untuk menghargai perusahaan Amerika. 2. Harga Harga yang adil merupakan sebuah topik etika yang sudah tua. Dalam zaman Yunani kuno, masalah etis ini sudah dibicarakan dengan cukup mendalam oleh Aristoteles dan pemikirannya dalam hal ini diteruskan selama Abad Pertengahan. Dalam zaman modern, struktur ekonomi tentu menjadi jauh lebih kompleks. Karena itu masalah harga pun menjadi suatu kenyataan ekonomis sangat kompleks yang ditentukan oleh banyak faktor sekaligus, namun masalah ini tetap diakui mempunyai implikasi etis yang penting. Karena

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB

Dra. H. Popon Herawati, M.Si.

ETIKA BISNIS

kompleksitasnya, tidak bisa diharapkan implikasi-implikasi etis itu disini akan dibicarakan dengan tuntas. Kita harus membatasi diri pada beberapa catatan saja. Harga merupakan buah hasil perhitungan faktor-faktor seperti biaya produksi, biaya investasi, promosi, pajak, ditambah tentu laba wajar. Dalam sistem ekonomi pasar bebas, sepintas lalu rupanya harga yang adil adalah hasil akhir dari perkembangan daya-daya pasar. Kesan spontan adalah bahwa harga yang dihasilkan oleh tawar-menawar sebagaimana dilakukan di pasar tradisional, di mana si pembeli sampai pada maksimum harga yang mau ia bayar dan si penjual sampai pada minimum itu bertemu. Dalam hal ini mereka tentu dipengaruhi oleh para pembeli dan penjual lain menawarkan barangnya dengan harga lebih murah, tentu saja para pembeli akan pindah ke tempat itu. Harga bisa dianggap adil karena disetujui oleh semua pihak yang terlibat dalam proses pembentukannya. Pengaruh pasar memang merupakan prinsip etis yang penting dalam menentukan harga. Akan tetapi, tidak bisa diakatakan bahwa pasar merupakan satu-satunya prinsip untuk menetapkan harga yang adil, sebagaimana dipikirkan oleh liberalisme (Adam Smith dan pengikutnya). Agar menjadi adil, harga tidak boleh merupakan buah hasil mekanisme pasar secara murni. Ada beberapa alasan mengapa prinsip pasar tidak cukup. Pertama, pasar praktis tidak pernah sempurna. Misalnya, dalam situasi modern di mana kuasa ekonomis sering berkonsentrasi dalam tangan beberapa pengusaha, mudah terjadi produsen memberi kesan menentukan harga sesuai dengan permintaan pasar, sedangkan pada kenyataannya mereka berkolusi untuk secara sepihak menetapkan harga yang menguntungkan bagi mereka. Kedua, disini juga para konsumen seringkali dalam posisi lemah untuk membandingkan harga serta menganalisis semua faktor yang turut mentukan harga. Misalnya, bisa terjadi si pembeli mengira bahwa produk lebih mahal merupakan produk lebih berkualitas pula, sedangkan pada kenyataannya kualitas kedua produk itu sama. Ketiga, alasan terpenting adalah bahwa cara menentukan harga menurut mekanisme pasar saja bisa mengakibatkan fluktuasi harga terlalu besar. Bisa terjadi, pada suatu saat si konsumen dapat membeli produknya dengan harga murah, tatapi dalam waktu singkat barangkali ia harus membeli produk yang sama dengan harga sangat mahal. Fluktuasi harga terlalu besar akan merugikan baik konsumen maupun produsen, karena bagi konsumen kebutuhan hidup terancam tidak terpenuhi dan

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB

Dra. H. Popon Herawati, M.Si.

ETIKA BISNIS

bagi produsen kesinambungan bisnis dibahayakan. Petani atau produsen dari produk industri bisa bangkrut, karena tiba-tiba mengalami defisit akibat harga terlalu rendah. Khusus untuk sektor seperti pertanian stabilitas harga sangat terlalu rendah. Khusus untuk sektor seperti pertanian stabilitas harga sangat mendesak, karena produk-produknya biasanya cepat busuk, sehingga tidak bisa disimpan lama. Karena itu stabilitas harga perlu diakui juga sebagai prinsip untuk menentukan adil tidaknya harga. Dalam situasi modern, harga yang adil terutama merupakan hasil dari penerapan dua prinsip tersebut : pengaruh pasar dan stabilitas harga. Secara khusus menjadi tugas pemerintah untuk mencari keseimbangan antara harga pasar bebas dan perlunya stabilitas. Yang jelas ialah bahwa kompetisi bebas dalam hal harga dengan demikian cukup dibatasi. Tetapi sulit untuk ditentukan bagaimana konkretnya harga yang adil. Untuk dapat menemukan sebuah kompas moral di bidang ini, paling-paling dapat ditunjukkan kepada pikiran fundamental dari etikawan Immanuel Kant bahwa manusia selalu harus dihormati sebagai suatu tujuan sendiri dan tidak pernah boleh diperlakukan sebagai sarana belaka. Dalam konteks harga, hal itu berarti bahwa para pembeli harus dihormati sebagai manusia dan tidak boleh diperlakukan sebagai sapi perah yang dapat dipermainkan seenaknya. Tujuan ini lebih mudah tercapai, bila proses pembentukan harga sedapat mungkin berlangsung dalam suasana terbuka. Seperti sering terjadi dalam etika, di sini pun tuntutan etis lebih mudah didekati dari segi negatif (apa yang tidak boleh dilakukan) daripada segi positif (apa yang seharusnya dilakukan). Jika terasa sulit untuk dipastikan apa yang harus dimengerti dengan harga yang adil, kita bisa berusaha untuk menentukan dalam hal mana harga pasti dapat dianggap tidak adil. Bersama Garret dan Klonoski kita dapat mengatakan bahwa harga menjadi tidak adil setidak-tidaknya karena empat faktor berikut ini : penipuan, ketidaktahuan, penyalahgunaan kuasa, manipulasi emosi. Mari kita memandang empat faktor ini dengan lebih rinci. Penipuan terjadi bila beberapa produsen atau distributor bekolusi untuk menentukan harga (conspiratorial price fixing). Perilaku bisnis ini bertentangan dengan etika pasar bebas (bagi kita prinsip pertama : pengaruh pasar). Biasanya penipuan macam itu akan dilakukan dengan maksud mencari untung yang tidak wajar. Tetapi, bahkan bila dilakukan dengan maksud baik (misalnya: melindungi pengusaha kecil), praktek itu harus dianggap kurang etis. Sifat kurang etis ini

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB

Dra. H. Popon Herawati, M.Si.

ETIKA BISNIS

tidak disebabkan karena terjadi penentuan harga (yang sering kali memang perlu dilakukan), melainkan karena penentuan harga itu berlangsung dengan sembunyi-sembunyi. Si pembeli mempunyai kesan bahwa sebagai konsumen ia bisa mempengaruhi harga, padahal mekanisme permintaan-penawaran sama sekali tidak berpengaruh, karena harga telah ditetapkan sepihak. Dengan demikian si pembeli sebenarnya diperdaya. Kalau ada alasan untuk menetapkan harga dari atas, hal itu harus dilakukan secara terbuka, bekerja sama dengan pemerintah. Dalam hal ini inisiatif biasanya malah diambil oleh pemerintah (misalnya, harga barang kebutuhan pokok). Ketidaktahuan pada pihak konsumen bisa mengakibatkan juga harga menjadi kuran adil. Transaksi jual-beli merupakan suatu persetujuan yang mengandaikan kebebasan pada kedua belah pihak yang terlibat di dalamnyua dan kebebasan menuntut, agar orang bersangkutan tahu tentang unsur-unsur relevan dalam keputusan yang mereka ambil. Pihak konsumen tidak bebas dalam membeli barang tertentu, seandainya ia tidak tahu tentang faktor-faktor yang menentukan harga. Perlu diakui, pengetahuan konsumen dalam hal ini selalu terbatas. Terutama karena alasan itulah mudah terjadi praktek-praktek yang mencurigakan. Di sini kami menyebut beberapa contoh dimana harga bisa menjadi kurang adil karena faktor ketidaktahuan. Pada kemasan sebuah produk si produsen mencetak harga lebih tinggi dari kenyataan, supaya pengecer bisa menjual barangnya denga harga lebih rendah. Si pembeli mendapat kesan mendapat produk dengan harga murah, padahal ia hanya membayar harga biasa.

Toko menawarkan barangnya dengan harga obral (sales), padahal harga obralan itu tidak lain adalah harga biasa. Toko memberi discount sekian persen untuk barang tertentu, padahal sebelumnya harga dinaikkan dulu. Toko serba ada menjual produk dengan memakai selogan bayar satu bawa dua, tetapi harganya sebenarnya sama dengan harga dua produk. Produsen besar bisa menjual produk yang sama dengan menggunakan dua merek, kemasan, dan harga yang berbeda, dengan pertimbangan : konsumen akan berpendapat bahwa barang lebih mahal adalah barang lebih berkualitas pula.

Restoran tidak mencetak harga pada daftar makanan, pura-pura karena alasan banyak orang merasa tidak enak bila mengajak tamunya ke

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB

Dra. H. Popon Herawati, M.Si.

ETIKA BISNIS

restoran, lalu harus mengundang mereka memilih hidangan dari daftar yang menyebut harganya, padahal harga tidak tertera dengan maksud, agar bisa memasang harga dengan seenaknya. Penyalahgunaan kuasa terjadi dengan banyak cara. Salah satu contoh terkenal adalah pengusaha besar yang justru karena ia merasa dirinya kuat memasang harga murah, sehingga saingannya (produsen kecil yang tidak bisa bertahan lama dengan harga semurah itu) tergeser dari pasaran. Dengan demikian ia memperoleh monopoli dengan bisa memasang harga dengan seenaknya. Dengan alasan itu di Uni Eropa kini ada peraturan yang melarang pengusaha besar menyalahgunakan posisinya yang dominan di pasaran. Mereka yang melakukannya bisa dihukum. Manipulasi emosi merupakan faktor lain yang bisa mengakibatkan harga menjadi tidak adil. Memanipulasi keadaan emosional seseorang untuk memperoleh untung besar melalui harga tinggitak lain tak bukan adalah mempermainkan orang itu sendiri dan karena alasan itu harus dianggap kurang etis. Beberapa buku etika bisnis dari Amerika yang menyebut contoh berikut ini. Pimpinan perusahaan pemakaman (funeral director) memanfaatkan keadaan dukacita suatu keluarga yang tertimpa musibah, guna memasang harga yang tidak wajar. Dalam keadaan serupa itu keluarga yang berduka bersedia membuat apa saja untuk menghormati orang tercinta yang telah meninggal, sehingga perusahaan pemakaman dapat mudah memanfaatkan kesempatan itu. Hal serupa bisa juga terjadi di kalangan kita, misalnya dengan adanya rumah sakit komersial di kota besar Indonesia akhir-akhir ini. Karena keluarga bisa membayar apa saja demi memperoleh perawatan baik bagi orang sakit yang tercinta, rumah sakit bisa memanfaatkan kesempatan itu untuk memeasang harga yang tidak proforsional lagi. Perbuatan semacam itu tentu juga kurang etis, walaupun keluarga itu barangkali tergolong kaya. Kualitas etis pasti tidak sejelek itu, tetapi boleh dicurigakan dalam kasus berikut ini : salesmen berkeliling dari rumah ke rumah , menjual ensiklopedi. Ia bisa berhasil menjual ensiklopedinya kepada keluarga yang hanya membelinya demi gengsi, malah dengan merugikan kebutuhan hidup yang lebih mendesak. Juga menjual barang yang barangkali tidak berguna kepada anak-anak muda yang tidak bersikap kritis terhadap harga, bisa menciptakan peluang untuk tingkah laku kurang etis. Namun demikian, tidak selalu mudah untuk memastikan kualitas etisnya. Di satu pihak si penjual tidak boleh menyalahgunakan keadaan psikologis si pembeli. Di lain pihak kita tidak

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB

Dra. H. Popon Herawati, M.Si.

ETIKA BISNIS

bisa berharap bahwa si penjual akan melindungi si pembeli terhadap perbuatan yang secara objektif kurang bijaksana. Dalam kasus-kasus lain keadaan psikologis si pembeli pasti dimanfaatkan, tetapi tidak bisa dikatakan bahwa perbuatannya dengan jelas tidak etis. Misalnya, harga Rp. 9.900 dengan sengaja ditetapkan, karena lebih menarik ketimbang harga Rp. 10.000. Secara ekonomis bedanya tidak berarti, tetapi secara psikologis si pembeli merasa enggan melewati ambang dari 9.000-an ke 10.000-an. Si penjual dengan sengaja mempergunakan kenyataan psikologis ini, tetapi siapa akan menilai cara menjual ini sebagai tidak etis. 3. Pengemasan dan pemberian lebel Pengemasan produk dan lebel yang ditempelkan pada produk merupakan aspek bisnis yang semakin penting. Selain bertujuan melinsungi produk dan memungkinkan mempergunakan produk dengan mudah, kemasan berfungsi juga untuk mempromosikan produk, terutama di era toko swalayan sekarang. Pengemasan dibuat sedapat mungik menarik, untuk meraih lebih banyak pembeli. Disamping itu pengemasan dan lebel memberi informasi tentang produk. Misalnya, pada kemasan makanan dan obat-obatan diberi informasi tentang isinya, beratnya, berapa lama bisa disimpan, dan sebagainya. Di banyak negara hal seperti itu malah diwajibkan berdasarkan peraturan hukum. Pengemasan dan label dapat menimbulkan juga masalah etis. Dalam konteks ini tuntutan etis yang pertama ialah bahwa informasi yang disebut pada kemasan itu benar. Jika dikatakan produk ini tidak mengandung kolesterol, makanan halal untuk umat islam, minuman ini tidak mengandung bahan pengawet, bahan ini tidak mencemari lingkungan, dan sebagainya, maka informasi serupa itu haruslah benar. Informasi kurang benar atau tidak pasti bukan saja merugikan konsumen, melainkan juga pihak lain. Disini contoh yang jelas ialah diskusi beberapa tahun lalu di Amerika Serikat tentang kemungkinan minyak kelapa sawit bisa meningkatkan kadar kolesterol dalam darah. Kalau hal itu disampaikan sebagai informasi yang benar, sedangkan pada kenyataannya belum terbukti, negara penghasil minyak kelapa sawit sangat dirugikan dan penyiaran infirmasi itu merupakan cara berbisnis yang tidak fair. Pada produk yang berbahaya (obat-obatan, bahan kimia, mesin, dan sebagainya) harus disebut informasi yang dapat melindungi si pembeli dan orang lain. Informasi serupa itu harus jelas dan mudah dimengerti. Karena hal itu demi

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB

Dra. H. Popon Herawati, M.Si.

ETIKA BISNIS

kepentingan umum, sebaiknya instansi pemerintah yang terkait mengatur kewajiban memberi informasi dan menentukan pedoman tentang caranya. Di banyak negara modern kini produsen rokok, misalnya, diwajibkan menyebut dengan cara tertentu resiko merokok untuk kesehatan. Tuntutan etis lainnya adalah bahwa pengemasan tidak boleh menyesatkan konsumen. Hal itu bisa terjadi dengan banyak cara. Misalnya kemasan bisa dirancang tinggi besar (king size) untuk memberi kesan bahwa isinya banyak, tetapi pada kenyataanya isinya tidak lebih banyak dari kemasan lain. Atau dikatakan bahwa kemasan tertentu berukuran ekonomis (economy size) dalam arti ekstra besar, padahal isinya sama atau malah kurang ketimbang ukuran biasa. Tentu saja, di sini tidak selalu dapat dipastikan dengan eksak kapan cara pengemasan bisa dianggap menyesatkan. Kerap kali cukup sulit untuk menarik garis perbatasan antara yang masih bisa ditolelir dan yang harus ditolak. Sebaiknya konsumen tetap kritis dalam memantau masalah etis ini dan instansi pemerintah selalu mendukung pengembangan sikap kritis konsumen. 4. Studi Kasus : Obat hewan yang membahayakan kesehatan konsumen 1. Pendahuluan Industri perunggasan pun mendapat pukulan berat sejak krisis ekonomi mulai terasa paro kedua 1997, antara lain karena harga pakan ayam dan obat-obatan naik drastis. Studi kasus ini didasarkan atas data-data sebelum krisis. Tidak mustahil, kini peternak ayam malah lebih mudah tergoda menempuh cara-cara yang merugikan konsumen, karena terdesak oleh keadaan ekonomi yang kurang ramah. Tentang itu tidak ada data. Yang pasti ialah bahwa peternakan ayam akan mempunyai prospek baik lagi, bila ekonomi Indonesia berhasil merangkak keluar tubir krisis yang dialami di penghujung abad ke-20 ini. Dalam bentuk telur dan daging ayam, industri ini sanggup menyediakan protein hewani relatif murah, yang sangat dibutuhkan masyarakat konsumen. Daging sapi adalah terlalu mahal dan daging babi tidak merupakan alternatif untuk penduduk yang sebagian terbesar beragama Islam. Salah satu ciri khas peternakan ayam adalah bahwa industri ini rawan penyakit. Karena itu industri obat hewan semakin merupakan sarana penunjang yang hakiki untuk industri perunggasan. Pada umumnya pemakaian obat di sektor perunggasan mempunyai tiga fungsi. Pertama, obat dipakai untuk

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB

Dra. H. Popon Herawati, M.Si.

ETIKA BISNIS

mengobati penyakit yang menyerang ayam (kuratif). Kedua, obat dipakai untuk mencegah terjadinya penyakit (preventif); obat macam ini biasanya disebut vaksin. Ketiga, obat bisa dipakai juga sebagai zat pemacu pertumbuhan (growth promotor). Tentang penggunaan obat hewan dapat dicatat lagi bahwa sebagian obat itu diberikan melalui suntukan dan sebagian lain dengan mencampur dalam pakan ternak atau air minum. Obat yang oleh manusia diminum secara oral dalam bentuk pil, kapsul, atau tablet untuk ayam tentu tidak ada cara pemakaian lain dari pada dicampurkannya dalam pakan atau minuman. Di Indonesia berlaku peraturan bahwa setiap obat hewan yang dibuat ataupun dijual, harus melalui pengujian mutunya demi keamanan ternak dan konsumen, sebelum diberikan nomor registrasi. Pengujian itu dilakukan oleh Balai Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan (BPMSOH) dan, kalau hasilnya positif, nomor registasi diberikan oleh Direktur Jenderal Peternakan dari Departemen Pertanian. Salah satu indikator yang menunjukkan pesatnya perkembangan industri obat hewan antara 1993-1997 adalah ramainya para perusaha yang memburu perolehan nomor registasi. Kalau pada tahun 1993 obat hewan yang mendapat nomor registasi berjumlah sekitar 1400 meker, pada awal 1997 jumlah itu sudah melebihi 1600 merek, yang berasal dari produksi dalam negeri maupun impor. Sebagaimana hampir setiap sektor industri pangan menimbulkan masalahmasalah etis yang tertentu, demikian pun peternakan ayam tidak luput dari problem-promblem yang berkonotasi etika. Salah satunya menyangkut lingkungan hidup. Peternakan ayam pada skala besar mengakibatkan bau kurang sedap yang akan menyengat hidung masyarakat sekitarnya. Karena itu sering sedap yang akan menyengat hidung masyarakat sekitarnya. Karena itu sering timbul masalah etika, bila lokasi peternakan ayam terlalu dekat dengan tempat hunian. Namun demikian, persoalan yang sebenarnya penting ini tidak akan dipelajari di sini. Studi ini ingin memfokuskan pada masalah etika yang tampak berhubungan dengan penjualan dan penggunaan obat hewan dalam sektor industri pangan ini, karena masalah-masalah itu secara langsung berkaitan dengan hak dan keselamatan konsumen. 2. Masalah etika mengenai obat ayam

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB

Dra. H. Popon Herawati, M.Si.

ETIKA BISNIS

Jika kita berusaha menginvestasikan masalah-masalah etika yang muncul dalam konteks penjualan dan pemakaian obat ayam, rupanya kita terutama harus mencatat tujuh kasus kejadian berikut ini ; 1) 2) Ada perusahaan yang belum mempunyai izin di bidang usaha obat hewan, tetapi sudah melakukan kegiatan penjualan obat hewan. Produk obat hewan yang belum memiliki nomor registrasi dari perusahaan yang sudah mempunyai izin ataupun belum, sudah diperjualbelikan di pasaran. 3) 4) Cara pemakaian dan dosis obat tidak sesuai dengan standar yang berlaku untuk jenis obat bersangkutan. Bahan baku obat hewan dijual secara bebas langsung kepada peternak ayam, padahal seharusnya bahan baku hanya dijual kepada pabrik obat hewan untuk selanjutnya diproses dalam bentuk obat jadi. 5) 6) Peternak yang menggunakan obat-obatan manusia yang oleh perusahaan farmasi langsung dijual kepada peternak ayam. Produsen atau penyalur obat hewan tidak memberi penyuluhan yang tepat kepada peternak ayam atau dengan cara lain berperilaku kurang etis. 7) Obat yang sudah dilarang karena membahayakan kesehatan manusia, masih dijual kepada peternak ayam dan masih dipakai sebagai obat hewan. 3. Analisa etika Kasus 1 dan 2 secara langsung merupakan pelanggaran terhadap hukum, karena menyalahi peraturan pemerintah bahwa semua perusahaan yang akan beroperasi di bidang obet hewan harus memperoleh izin usaha terlebih dahulu dari Direktorat Jendral Peternakan, Departemen Pertanian, dan produk obat hewan yang akan dipasarkan di Indonesia harus melalui pengujian oleh BPMSOH untuk mendapatkan nomor registrasi, baru sesudahnya boleh diedarkan dan diperjualbelikan dengan sah. Secara tidak langsung pelanggaran ini bertentangan dengan etika juga, karena (1) kewajiban mematuhi peraturan hukum didasarkan atas etika dan (2) pelanggaran itu bisa menjadi biang keladi untuk tindakan yang merugikan masyarakat konsumen. Pelanggaran dalam kasus 3 sampai dengan 7 barangkali paling banyak dilakukan oleh perusahaan yang belum memiliki izin atau dengan obat yang belum diregistrasi, walaupun

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB

Dra. H. Popon Herawati, M.Si.

ETIKA BISNIS

10

adanya izin atau registrasi tidak secara otomatis menjamin perusahaannya akan berlaku dengan etis. BPMSOH merupakan lembaga yang mengadakan perngujian mutu, keefektifan dan keamanan suatu produk obat hewan berdasarkan Cara Pembuatan Obat Hewan Yang Baik (CPOHB). Jadi dengan itu ditetapkan dan diterapkan sebuah standar untuk obat hewan di Indonesia. Dalam hal ini pengujiannya tidak hanya menyangkut keefektifan dan keamanan bagi hewan, melainkan juga kesehatan manusia yang mengkonsumsi produk peternakan dalam bentuk telur atau daging ayam. Dalam kasus 3, cara dan dosis obat tidak sesuai dengan standar. Memberikan obat melalui suntikan atau dicampur dalam air minum tentu tidak sama. Kualitas air minum bisa mempengaruhi juga keefetivitas obat. Dan dosis harus ditentukan dan dilaksanakan dengan akurat. Pemberian obat hewan merupakan bidang yang menuntut ketelitian tinggi. Lamanya pemberian obat khususnya antibiotika harus tepat. Obat tidak boleh diberikan lebih lama dari semestinya. Di sisi lain, pengobatan juga tidak boleh dihentikan sebelum seluruh cure selesai. Peternak yang tidak mengerti seluk beluk antibiotika bisa menghentikan perngobatan, begitu ayam kelihatan sembuh, dengan alasan penghematan biaya. Tetapi dengan itu bibit penyakit dalam badan ternak belum musnah, sehingga penyakit akan kambuh, dengan seranga lebih hebat lagi, karena telah terbentuk resistensi terhadap obat itu. Demikian juga dosis obat sangat penting. Dosis tidak boleh terlalu rendah, tetapi juga tidak bleh terlalu tinggi. Dalam rangka pemberian obat, sangat penting adalah waktu henti obat (withdrawal time) yang tidak sama untuk tiap jenis obat. Dengan waktu hentui obat dimaksudkan jangka waktu antara pemberhentian obat dan saat ayam boleh dipotong untuk dikonsumsi. Waktu henti obat itu diperlukan supaya obat dalam badan ayam hilang sama sekali atau sekurang-kurangnya tidak melebihi ambang batas toleransi. Misalnya, waktu henti obat untuk antibiotika jenis ampisilin yang diberikan melalui injeksi adalah lima hari. Memberikan obat dengan overdosis atau tidak mematuhi waktu henti obat bisa berakibat besar bagi keamanan konsumen. Pemakaian obat hewan dengan cara tidak tepat seperti itu bisa menyebabkan residu obat dalam telur atau daging yang kemudian termakan oleh manusia konsumen. Dengan ini kesehatan tentu terancam. Karenanya masalah ini tidak boleh diremehkan. Penelitian yang dilakukan oleh Badan Penelitian Veteriner (Balitvet) di Bogor pada tahun 1990 menunjukkan bahwa residu farmasetik berupa antibiotika ditemukan dalam daging dan hati

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB

Dra. H. Popon Herawati, M.Si.

ETIKA BISNIS

11

ayam dalam kadar yang tinggi berkisar antara 10 sampai 78,9 persen. Sebagaimana diketahui, secara keseluruhan kadar residu pada hati jauh lebih tinggi daripada residu yang sama pada dagingnya. Yang patut disayangkan ialah sampai saat ini belum terdapat data yang menunjukkan dengan jelas berapa batas toleransi kadar residu antibiotika dari hasil peternakan unggas yang dapat diizinkan untuk konsumsi manusia. Apalagi, di Indoensia belum ada lembaga khusus yang menangani pengawasan residu obat hewan dengan tujuan melindungi konsumen terhadap bahaya bagi kesehatannya. Direktorat Peternakan pernah mengusulkan terbentuknya komisi residu untuk menetapkan ambang batas toleransi residu obat dalam makanan, sebagai tindak lanjut dari hasil pertemuan joint FAO/WHO Expert Committee on Feed additive yang diadakan di Jerman pada tahun 1991. Tetapi sampai sekarang usulan itu tidakt terwujud. Perlu dicatat lagi, sejauh dilakukan, kontrol terhadap residu obat hewan di Indonesia terbatas pada produk yang akan diekspor, karena perusahaan sadar akan konsekuensinya, bila tidak memenuhi syarat di negara yang mempunyai standar ketat, seperti misalnya Jepang. Perhatian untuk produk peternakan unggas yang dikonsumsi dalam negeri justru kurang. Lebih aneh lagi, menurut pengamat di lapangan produk impor bisa bebas masuk tanpa diperiksa residu obatnya. Padahal, di peternakan luar negeri pun sering terjadi pengobatan yang tidak sesuai dengan standar, misalnya di Australia. Kasus 4 melanggar juga peraturan hukum. Produsen bahan baku bagi obat hewan tidak boleh menjual produknya langsung kepada peternak ayam dan peternak ayam itu hanya boleh mempergunakan obat hewan dalam bentuk obat jadi. Tetepi di Indonesia penjualan langsung dari bahan baku obat kepada peternak ternyata banyak dilakukan, dengan obat antibiotika maupun obat lain. Seorang dokter hewan menyebut praktek ini penyimpangan fatalyang sangat merisaukan dan melanggar ketentuan. Ia menambahkan :Secara teknis, penanganan bahan baku memerlukan ketelitian dalam takaran, lamanya pemberian dan ketepatan indikasi penggunaan. Apabila tidak dilakukan dengan baik akan terjadi overdosis, dan mengakibatkan keracunan, dan resistensi mikroorganisme terhadap antibiotika. Sebagaimana lazimnya di bidang bisnis, pelanggaran ini terjadi karena alasan mencari keuntungan. Walaupun pada skala besar praktek ini bisa mengakibatkan pemborosan, karena diberikan dosis lebih besar daripada yang

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB

Dra. H. Popon Herawati, M.Si.

ETIKA BISNIS

12

semestinya, bagi pihak-pihak yang langsung terlibat praktek ini membawa untung. Produsen bahan baku obat mendapat harga lebih baik untuk produknya, ketimbang ia menjualnya kepada pabrik farmasi. Pada gilirannya peternak ayam memperoleh obat-obatan dengan harga lebih murah, ketimbang ia harus membeli obat jadi. Permainan ini bagi mereka saling menguntungkan. Tetapi dengan demikian mereka merugikan masyarakat yang akan mengkosumsi produk peternakan ayam (telur dan daging). Sebab, justru dengan langsung menggunakan bahan baku, mudah terjadi pemakaian obat dengan dosis tidak tepat yang akan menyebabkan residu obat, sebagaimana sudah dijelaskan dalam analisis kasus sebelumnya. Dan disini tampak alasan etis yang kuat : produsen bahan baku obat dan lebih khusus lagi peternak ayam mempunyai tanggung jawab moral untuk tidak merugikan masyarakat konsumen. Mereka harus menyediakan produk yang aman dan tidak membahayakan kesehatan konsumen. Dalam kasus 5 tersinyalir terjadinya penjualan obat manusia untuk dipakai oleh peternakan ayam. Rupanya prektek ini pun sering berlangsung di Indonesia dan bukan saja di bidang peternakan ayam. Seorang kandidat dokter hewan dari Jerman yang sedang magang di salah satu Fakutlas Kedokteran Hewan di Indonesia semapt heran menyaksikan kebiasaan ini, karena di negeri asalnya hal itu tidak diperbolehkan. Praketek ini terjadi dengan obat yang masih merupakan pilihan utama bagi manusia seperti ampisilin, amoksilin, tetrasiklin, dan chloramphenicol. Jika obat manusia banyak dipakai untuk hewan yang dikonsumsi manusia , mudah bisa terjadi bahwa manusia bersama dengan daging hewan mengkonsumsi juga residu obat yang tertinggal dalam daging hewan itu. Dengan demikian obat itu tidak mempan lagi, bila dibutuhkan oleh manusia, karena sudah mengakibatkan resistensi. Hal itu sering terjadi dengan beberapa jenis antibiotika, tetapi juga dengan obat lain. Misalnya, chlorampenicol merupakan obat pilihan utama (drug of choice) untuk mengobati penyakit tifus telah terbiasakan dengan obat itu atau, dengan kata lain, sudah menjadi resisten. Dengan demikian konsumen dirugikan karena pengobatan yang normal diberikan tidak akan berhasil, bila ia terkena penyakit tifus. Walaupun dengan penyakit tifus tidak perlu menjadi fatal, pengobatannya akan berlangsung lebih lama dan mengakibatkan penderitaan lebih banyak. Menurut para pengamat ada beberapa alasan mengapa di Indonesia obat manusia banyak dipakai untuk mengobati hewan. Alasan pertama adalah bahwa

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB

Dra. H. Popon Herawati, M.Si.

ETIKA BISNIS

13

harga obat manusia biasanya lebih murah dibanding obat hewan. Alasan kedua, pilihan obat manusia lebih luas. Untuk keperluan manusia segala jenis obat tersedia, sedangkan obat yang khusus untuk hewan sering kali agak terbatas. Alasan lain lagi adalah bahwa obat hewan sering tersedia hanya dalam kemasan besar, serhingga kurang ekonomis bila dibutuhkan dalam kuantitas kecil saja. Dan akhirnya, kualitas obat manusia kira-kira sama dengan kualitas obat hewan, sehingga dari sudut itu pun tidak menjadi pertimbangan untuk memilih obat hewan yang khusus. Dalam kasus 6 bukan peternak melainkan produsen atau penyalur obat hewan berperilaku kurang etis. Hal itu bisa terjadi denga banyak cara. Salah satu cara ialah dengan memberikan penyuluhan yang kurang tepat kepada peternak. Contohnya, tidak menyebutkan waktu henti pemakaian obat dalam broser yang menjelaskan pemakaian obat. Perilaku ini harus dinilai kurang etis karena merupakan kelalaian yang bisa berakibat negatif. Bisa terjadi juga pengusaha obat dengan sengaja menyesatkan peternak, karena mengejar keuntungan. Misalnya, suatu praktek yang disinyalir terjadi di Indonesia adalah bahwa penjual obat hewan membantu mendiagnosis penyaki ayam, lalu menawarkan obat yang kurang tepat. Ia tahu obat yang seharusnya diberikan untuk penyakit itu, tetapi perusahaannya tidak memproduksi atau menyalurkan obat tersebut. Daripada merujuk ke perusahaan yang mempunyai obat itu, ia menawarkan obatnya sendiri yang kurang efektif, karena merasa keberatan bila perusahaan lain mendapat keuntungan. Perilaku tidak etis lainnya terjadi, jika perusahaan bermain dengan konsentrasi zat yang aktif dalam obat, dalam usaha untuk menghadapi pesaing yeng menjual obat hewan dengan harga lebih murah. Praktek seperti itu tentu tergolong konsekuensi yang tidak fair. Diluar konteks persaingan, bisa terjadi juga bahwa produsen menaikkan konsentrasi dalam obat dengan maksud supaya omzetnya lebih besar dan keuntungan yang diraih lebih besar pula. Tetapi praktek seperti itu mengakibatkan bahwa lebih mudah terjadi residu obat (terutama jika dilakukan dengan antibiotika) yang pasti merugikan kesehatan konsumen. Akhirnya kasus 7 mengandung masalah etis lain lagi. Obat yang masih dilarang masih dijual kepada peternak ayam. Contohnya adalah pelarangan obat hewan golongan notrofuran dan derivatnya seperti furaltadon dan furazolidon. Dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Peternakan No. TH 260 / 634 / DKH / 0996 tertanggal 19 September 1996 dilarang untuk menyediakan, membuat,

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB

Dra. H. Popon Herawati, M.Si.

ETIKA BISNIS

14

mengedarkan dan memakai obat ini diwilayah Indonesia, karena diketahui mempunyai konsumen. Obat golongan nitrofuran itu sudah sejak lama dipakan dalam bentuk imbuhan pakan (fiid additive) untuk pengobatan dan sebagai pemacu pertumbuhan, karena hasilnya cukup memuaskan dan harganya murah. Setelah efek negatif diketahui, apalagi setelah larangan eksplisit dari Direktorat Jenderal Peternakan keluar, seharusnya pengusaha obat hewan tidak lagi menjual obat ini. Tetapi pada kenyataannya obat terlarang ini masih dijual kepada peternak (untuk menghabiskan stok yang masih tersedia?). Tindakan ini jelas bertentangan dengan etika, karena merugikan kepentingan konsumen. 4. Kesimpulan Dalam etika, industri farmasi sering disoroti sebagai wilayah usaha yang menimbulkan masalah berknotasi etika. Studi ini telah menimbulkan bahwa dalam sektor obat hewanpun, khsusnys obat ayam, terdapat masalah etis yang cukup berat. Inti permasalahanya adalah kerugian untuk masyarakat konsumen. Motif utama untuk menyalah gunakan obat ayam adalah menempatkan kepentingan eknomis si pengusaha di atas kepentingan lain, khususunya kepentingan konsumen. Kesehatan mayarakat konsumen dikorbankan demi meraih keuntungan yang labih besar. Demikian peternak ayam dan secara tidak langsung pengusaha obat hewan lari dari tanggung jawab sosialnya. Masalah etis menjadi lebih berat lagi, karena dalam hal ini konsumen sendiri tidak berdaya. Pada umumnya boleh dikatakan, konsumen sendiri mempunyai tanggung jawab. Seperti sudah kita lihat sebelumnya, dari konsumen dapat diharapkan ia bersikap dalam menilai produk yang akan dibeli dan dikonsumsinya. Itulah kebenaran yang terkandung dalam pepatah kuno caveat emptor (hendaklah si pembeli berhati-hati). Tetapi bila kita membeli telur atau daging ayam, dengan mata telanjang kita tidak bisa memastikan apakah pproduk peternakan ini mengandung residu obat atau tidak. Seankdainya kita tahu bahwa bahan itu dapat merugikan kesehatan, tentu kita tidak akan membelinya. Sebaliknya, kita akan mengajukan protes keras, sebagaimana kita lakukan bila menemukan bahan makanan yang tidak layak dikonsumsi karena sudah busuk atau kadaluarsa. Tetapi tentang produk peternakan itu penilaian dengan indra efek karsinogenik yang dapay membahayakan masyarakat

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB

Dra. H. Popon Herawati, M.Si.

ETIKA BISNIS

15

tidak mungkin. Bahan makanan sperti itu kita beli dan konsumsi berdasarkan kepercayaan bahwa produk itu sehat. Lagi pula, efek buruk dari konsumsi residu obat tidak tampak dengan segera. Bisa saja, efek buruk baru tampak sesudah waktu lama atau malah sama sekali tidak tampak dengan jelas, namun menjadi suatu faktor yang memperburuk kesehatan masyarakat disamping faktor-faktor lain. Karena itu semua pihak yang terlihbat dalam produksinya bertanggung jawab untuk menyediakan produk peternakan yang tidak merugikan konsumen. Tanggung jawab itu pertama-tama dipikul oleh peternak. Mereka secara langsung terlibat dalam proses produksi telur dan daging ayam. Sebagaimana halnya dalam industri pangan pada umumnya, mereka wajib menyediakan produk yang tidak membahayakan kesehatan konsumen. Jika peternak dengan sengaja tidak menjaga waktu henti obat sebelum memoton ayam dan menjualnya dipasaran, ia sebenarnya menipu publik konsumen. Berikutnya, produsen dan penyalur oabat ayam turut bertanggung jawabjuga. Khususnya produsen mempunyai keahlian dan pengetahuan tentang seluk-beluk obat hewan. Mereka mempunyai kewajiban berat unruk memberikan penyuluhan yang semestinya kepada peternak sebagai pemakai obat ayam. Peternakan besar mempunyai dokter hewan atau apoteker yang khusus mengawasi pemakaian obat. Tetapi peternakan kecl tidak mempunyai seorang ahli dibidang itu. Maka selurunya tergantung pada informasi yang di berikan dalam brosur atau secara lisan oleh penyalur. Karena itu sangat penting terciptanya suasana kepercayaan antara peternak kecil dan produsen serta penyalur obat hewan. Dari lapangan kita dengar, peternak kecil kadang merasa curiga bila produsen memberi petunjuk untuk menggunakan obat anti biotika sekian lama, sedangkan setelah dua hari obat itu dipakai ayam sudah sembuh. Ia mengira, petunjuk itu sematamata bertujuan meningkatkan omzet si pengusaha. Kejadian seperti menunjukan kurangnya kepeercayaan antara pemakai obat dan produsen. Tetapi yang bisa menjadi korban adalah konsumen. Masih ada pihak ketiga yang bertanggung jawab disini, yatu pemerintah. Kesehatan masyarakat termasuk kepentingan umum yang menjadi tanggungan khusus bagi pemerintah. Dalam hal ini perlindungan konsumen menjadi lebih mendesak lagi, karena konsumen tidak dapat melindungi dirinya sendiri. Sebagaimana telah kita lihat, di Indonesia pengawasan terhadap pemakaian obat hewan msaih lemah sekali. Ini tidak merupakan hal yang mengherankan. Di

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB

Dra. H. Popon Herawati, M.Si.

ETIKA BISNIS

16

negaa masih berkembang pada umumnya peraturan hukum dan pengawasan dalam banyak bentuk sering kali lemah. Ricahard De George menekankan bahwa dinegara-negara berkembang background institutions bagi kegiatan bisnis masih kurang dan perlu mendapat perhatian khusus. Kekurangan kontrol atas penggunaan ojbat hewan ini barang kali dapat dilihat sebagai salah satu contoh yang jelas tentang kenyataan ini. Masalah pengawasan ini tentu tidak bisa diatur dengan tuntaas dalam waktu singkat. Pengaturan yang menyeluruh membutuhkan waktu yang panjang. Yang penting ialah bahwa disini akan terjadi perbaikan berangsur-angsur menurut garis kebijaksanaan yang jelas dan efektif. Akhirnya masih boleh ditambahkan sebuah catatan tentang antara etika dan profesionalisme. Dalam sektor bisnis seperti peternakan unggas terjadi cukup banyak pelangaran etika, karena si peternak kurang profesional dibidangnya. Hal itu terutama berlaku untuk peternak kecil yang tentu merasa tertarik untuk menggunakan sarana-sarana modern seperti obat hewan. Anti biotika malah tidak jarang dipandang sebagai obat ajaib karena menghasilkan perbaikan kesehatan ayam dengan mencolok. Tetapi kerap kali ia kurang mengerti seluk beluk penggunaan oabt dan pengaruhnya atas kesehatan konsumen. Jia peternak kecil mempunyai keinginan untuk maju, ia akan bersedia juga untuk belajar dan memperbaiki penanganan perusahaanya. Disisi lain pengusaha obat secara khusus harus mengerti kesulitan peternak kecil dan mencari jalan untuk membantunya. Akhirnya, instansi pemerintah yang terkait harus memprhatikan memprhatikan secara khusus peternak kecil ini. Selain menjalankan kontroldan mensinyalir kesalahan yang terjadi, ia harus secara positif menunjukan jalan untuk memperbaiki kelemahanya. 5. Beberapa kasus 1. Pinjaman bank Untuk dapat membeli rumah, seorang karyawan muda mengambil pinjaman dari bank. Setelah kresibilitas orang tu dipastikan, diadakan kontrak yang dditandatangani oleh kedua belah pihak . Bank mengikat diri untuk membayar 80 persen dari harga rumah . Jumlah uang itu dipinjamkan kepada nasabah dengan bunga tetap 8,5 persen per tahun. Nasabah akan membayar bunga setiap enam bulan, ditambah sebagian dari pinjaman. Di samping itu nasabah mewajibkan diri mengambil asuransi pada bank itu untuk menutup resiko ia akan meninggal atau terkena penyakit, sebelum melunasi utangnya. Jika nasabah tidak dapat

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB

Dra. H. Popon Herawati, M.Si.

ETIKA BISNIS

17

melunasi utangnya karena alasan lain, bank menjadi pemilik rumah dan berhak menjualnya agar memperoleh kembali modalnya. Dalam kontrak ini hak dan kewajiban bank serta nasabah ditentukan dengan seksama. (Sumber : J. Verstaeten / J. Van Gerwen , Business en Ethiek, hlm. 100). 2. Pendingin bergaransi Kepada pembeli alat pendingin udara (AC) pabrik menjamin garansi selama dua belas bulan. Kuitansi pembayaran dianggap sebagai tanda bukti pemilikan. Garansi meliputi suku cadang maupun biaya reparasi, tetapi tidak termasuk di dalamnya transportasi atau pengiriman. Garansi tidak berlaku untuk kerusakan yang disebabkan oleh pemakaian tidak tepat, kealpaan, atau pemakaian yang tidak sesuai dengan petunjuk pemakaian. Garansi juga tidak meliputi kerusakan yang dilaporkan setelah diadakan reparasi atau perubahan oleh dealer lain daripada yang diakui oleh pabrik. (Diolah dari : J. Vrstraeten / J. Van Gerwen, op. cit., hlm. 100). 3. Ford Pinto Menurut tradisi yang cukup lama, industri mobil Amerika cenderung membangun sedan panjang, berat dan mahal. Pada akhir tahun 1990-an mereka merasa konkurensi semakin berat dari sedan impor luar negeri yang kecil, ringan dan cukup murah. Yang paling menonjol di pasaran adalah VW Beetle dari Jerman dan beberapa merk Jepang. Dalam situasi itu tahun 1968 produsen mobil Ford memutuskan untuk memproduksi sedan sejenis yang diberi nama Pinto, dengan berat sekitar 2000 pounds dan harganya sekitar 2000 dollar. Kalau seluruh proses produksi dari desain sampai pada show-room untuk sedan macam itu normal membutuhkan waktu tiga setengah tahun, Ford memutuskan mempersingkat prosesnya sampai dua tahun, sehingga siap dipasarkan pada tahun 1971. Dalam menguji prototipe sebelum produksi dimulai, Ford antara lain mendapatkan bahwa delapan dari sebelas sedan Ponto tidak memenuhi standar yang diusulkan (tapi tidak diwajibkan) oleh National Highway Traffic Safety Administration (NHTSA), yaitu bahwa mobil tidak kehilangan bahan bakar, jika ditabrak dengan kecepatan dua puluh mil per jam. Tiga mobil yang tahan pengujian itu mempunyai modifikasi tertentu pada tangki bensinnya, seperti lapis baja antara tangki bensin dan bumper belakang. Pada delapan mobil yang

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB

Dra. H. Popon Herawati, M.Si.

ETIKA BISNIS

18

rawan tangki bensin dipasang persis di depan bumper belakang, sehingga mudah pecah bila ditabrak dari belakang dan akibatnya mudah mengakibatkan kebakaran. Dengan demikian para manajer Ford menghadapi dilema yang cukup sulit untuk mempertahankan desain pertama atau mengubah letak tangki bensin, pada saat assembling-line sudah disiapkan sesuai dengan desain pertama. Perubahan bisa mengakibatkan bahwa tipe sedan baru ini tidak siap dipasarkan menurut jadwal waktu. Mereka memutuskan untuk tetap memproduksi sedan Pinto menurut rencana pertama. Dalam mengambil keputusan ini mereka antara lain memperhitungkan dengan cost-benefit analysis bahwa dibayarnya ganti rugi untuk korban kecelakaan akan lebih murah daripada mengubah letak tangki bensin. Konon dalam perusahaan beredar memo intern yang pada dasarnya mengatakan bahwa 180 orang tewas dan 180 orang luka bakar pertahun masih dapat diterim, walaupun tersedia teknologi untuk menyelamatkan kehidupan mereka dengan harga 11 dollar per mobil. Dengan lobbying intensif selama delapan tahun lebih, Ford dapat menunda keputusan pemerintah untuk menetapkan standar keamanan ketat (= tangki bensin masih utuh pada tabrakan dengan kecepatan 20 mil per jam) yang memaksanya mengubah desain Pinto. Menurut perkiraan, dari tahun 1971 sampaai 1978 jumlah korban mati akkibat kebakaran Pinto harus dihitung antara 700 dan 2500 orang. Meenurut pengakuan seorang insinyur dari Ford, 95 persen dari mereka bisa diselamatkan seandainya tangki bensin Pinto ditempatkan diatas as roda belakang mobil, seperti dilakukan pada sedan Capri. Setelah standar NHTSA diterima pada tahun 1977, Ford diwajibkan untuk membuat modifikasi pada tangki bensin semua sedan Pinto angkatan 1971-1976. (Sumber: W.H. Shaw/Vincent Barry, Moral Issues in Businnes, hlm. 84-87; W. Michael Hoffman/Robert E. Frederick, businnes Ethics. Reading and Cases in Corporate Morality, hlm. 552-559). 4. Traged obat thalidomide Thalidomide adalah obat penenang (atau sedatif) yang untuk pertama kali dikembangkan pada 1953. seperti sebuah obat baru yang lain, thalidomide pun mengalami suatu periode uji klinis yang panjang. Pada 1958 thalidomide mendapatkan izin di Inggris, sedangkan di negara-negara lain uji klinis dilanjutkan. Dalam kalangan medis, obat ini diiklankan sebagai sangat aman, karena hampir tidak mungkin dipakai untuk percobaan bunuh diri, sebagaimana

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB

Dra. H. Popon Herawati, M.Si.

ETIKA BISNIS

19

dimungkinkan dengan banyak obat penenang atau obat tidur lain, jika ditelan dalam dosis besar. Tetapi pada 1962 sejumlah bayi lahir dengan cacat berat yang seperti baru saat itu diketahui disebabkan kaarena ibunya meminum thalidomide selama kehamilaannya. Bayi-bayi itu tidak mempunyai lengan atau kaki, atau lahir dengan lengan atau kaki sangat kecil. Setelah diketahui bahwa thalidomide mengakibatkan bayi cacat (istilah medisnya: teratogen), obat ini tentu langsung ditarik dari peredaran. (Sumber : W. Reich (ed.), Encyclopedia of Biothics, New York, 1995, hlm.1123; The Lancet 18 April 1998, hlm.1197-1199).

5.

Pembalut wanita merek Rely dari Procter & Gamble Pada tahun 1974 pembalut wanita Relay dilontarkan ke pasaran oleh

perusahaan Amerika Procter & Gamble dan enam tahun kemudian produk ini sudah menguasai pangsa pasar dalam negeri 25 persen. Bulan Mei 1980, Centers for Disease Control (CDC), instansi kontrol penyakit di Amerika, mensinyalir timbulnya penyakit baru yang diberi nama toxic shock syndrome (TSS). Gejalanya adalah, demam tinggi mendadak, mual, diare, dan tekanan darah sangat rendah. Walaupun tidak tersebar luas, penyakit ini cukup berbahaya, karena sekitar 10 persen pasiennya meninggal dunia. TSS ditemukan pada wanita yang sekitar 30 tahun usianya dalam masa menstruasi. Bulan Juni 1980 seorang wartawan di Los Angeles sudah mengaitkan penyakit ini dengan penggunaan pembalut wanita. Studi dari Centers for Disease Control mengkonfirmasikan kaitan ini September 1980 dan ternyata banyaknya korban diantara pemakai Rely cukup mencolok : 71 persen dari 42 kasus TSS yang diselidiki memakai Rely. Dalam media massa Amerika masalah TSS ini ramai dibicarakan. Dalam situasi ini bagi para manajer dari Procter & Gamble timbul pertanyaan : apa yang harus dilakukan? Studi CDC itu tentu tidak meyakinkan, karena jumlah kasus yang diselidiki sangat terbatas dan ditemukan juga korban diantara pemakai pembalut merek lain. Namun demikian, pada 23 September 1980 Procter & Gamble mengumumkan bahwa penjualan Rely dihentikan. Beberapa hari kemudian mereka mencapai kesepakatan dengan Food and Drug Administration untuk mengambil kembali kemasan Rely dari toko dan dari pembeli perorangan. Bagi Procter & Gamble keputusan ini membawa rugi

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB

Dra. H. Popon Herawati, M.Si.

ETIKA BISNIS

20

puluhan juta dollar Amerika. Mereka mengkhususkan dua juta dollar lagi untuk penelitian tentang penyakit TSS. Supaya tidak ditimbulkan kesan bahwa dengan berhentinya produksi Rely masalahnya sudah selesai, Food and Drug Administration mengusulkan kepada semua produsen pembalut wanita, agar pada produknya ditempelkan lebel peringatan tentang kemunginan kaitan antara pemakaian pembalut dan penyakit TSS. Semua perusahaan menerima usulan itu, kecuali Tampax yang dudah mengadakan kampanye promosi sekitar keamanan produknya yang mengakibatkan pangsa pasar mereka naik dari 43 persen menjadi 46 persen. Dalam pada itu hubungan mutlak antara penyakit TSS dan pemakaian Rely tidak terbukti. Sesudah penjualan Rely dihentikan jumlah kasus memang menuurun, tetapi penyakit TSS tidak terbasmi. Penyakit ini malah ditemukan di negara dimana Rely tidak pernah terjual. (Sumber : J. Verstreaten / J. Van Gerwen, Business en Ethiek, hlm.105-106; J.R. Boatright, Ethics and the Conduct of Business, hlm.18-19; W.H. Shaw / V. Barry, Moral Issues in Business, hlm.474-475). 6. Obat Tylenol Tylnol adalah obat analgesik (penghilang nyeri) yang diproduksi oleh perusahaan Amerika Johnson & Johnson. Obat yang boleh dijual tanpa resep dokter ini tersedia dalam bentuk tablet maupun kapsul. Bulan September 1982 di wilayah Chicago tujuh orang meninggal duia setelah minum kapsul Tylenol, karena isinya dicemarri dengan cyanide, racun yang sangat berbahaya. Sesudah peristiwa tragis ini penjualan tylenol anjlok dengan mendadak, sedangkan sebelumnya obat ini menguasai 37 persen dari pasaran. Itu berarti obat ini dipakai oleh kira-kira satu juta orang Amerika. Perusahaan sendiri tentu tidak bertanggung jawab atas tindakan kriminal ini. Hanya perlu diakui, produk tidak seluruhnya aman, karena kapsulnya bisa dibuika. Johnson & Johnson beraksi cepat dengan menarik kembali dari toko semua kemasan Tylenol dalam kapsul. Kepada pelanggan yang sudah terlanjur membeli kapsul Tylenol, ditawarkan digantikannya dengan tablet, sekaligus diadakan kampanye iklan untuk menginformasikan bahwa Tylenol dalam tablet tetap aman. Di samping itu dibuka nomor telepon khusus (hotline) untuk menjawab pertanyaan dari masyarakat. Sementara itu Johnson & Johnson mengambil keputusan untuk mengembangkan kapsul aman yang tidak bisa

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB

Dra. H. Popon Herawati, M.Si.

ETIKA BISNIS

21

dibuka. Pada akhir bulan Desember 1982 Tylenol dalam kapsul baru sudah bisa diiklankan. Biaya untuk pembaharuan ini berjumlah 150 juta dollar Amerika. Penjualan Tylenol pulih kembali di luar dugaan para ahli pemasaran dan sudah setahun malah melebihi pangsa pasar sebelumnya. (sember : Ronald M. Green, The Ethical Manager, hlm. 208-219). 7. Ban mobil Firestone 500 Akhir tahun 1960-an di luar Amerika Serikat mulai diproduksi ban radial yang dari dalam diperkuat dengan kerangka kawat baja. Perusahaan Amerika Firestone memutuskan untuk mengembangkan ban mobil serupa itu juga. Pada waktu itu ban mobil merupakan bisnis sangat kompetitif dengan mrjin laba yang tipis (hanya sekitar 10 persen, belum dipotong pajak). Mungkin kompetisi ketat itulah menjadi alasannya mengapa Firestone bertindak terlalu cepay dalam mengembangkan tipe ban baru yang diberikan nama Firestone 500 ini. Tidak lama sesudah ban ini dipasarkan, perusahaan mendapat keluhan tentang kualitasnya. Ada laporan tentang ban yang meledak atau tampak ban terlepas dari bannya, dan sebagainya. Pada akhir tahun 1973 Firestone berusaha untuk memperbaiki sistem produksi dan pada tahun 1977 menyusul usaha lain lagi. Tetapi dengan itu masalahnya belum teratasi. Firestone mendapat keluhan dari General Motors dan Ford yang menggunakan ban ini untuk mobil baru dan juga dari beberapa perusahaan pengecer yang memasarkan Firestone 500 dengan merek mereka sendiri. Pada tahun 1976 salah satu perusahaan pengecer, Montgomery Ward, menuntut pembayaran 500.000 dollar sebagai kompensasi untuk perbaikan atau penggantian ban yang mereka lakukan. Jumlah uang ini dibayar oleh Firestone dengan diam-diam. Tahun 1977 Center for Auto Safety, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang didirikan oleh Ralph Neder, menulis surat kepada presiden direktur Firestone karena mereka menerima banyak laporan tentang kerusakan ban yang mengakibatkan kecelakaan dan bahkan menelan korban jiwa. Tetapi surat ini tidak ditanggapi. Lalu Center for Auto Safety mendesak National Highway Traffic Safety Administration (NHTSA) untuk meneliti masalah ini. Ketika survei ini selesai, Firestone megajukan keberatan terhadap publikasinya dengan alasan bahwa survei itu secara statistik tidak baik dan akan merugikan perusahaan. Institusi kehakiman dalam hal ini membenarkan Firestone. Namun demikian, oleh Center for Auto Safety hasil survei dibocorkan kepada media massa pada 2 April

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB

Dra. H. Popon Herawati, M.Si.

ETIKA BISNIS

22

1978. bulan Mei dan Juni 1978 sebuah subkomisi dari Kongres Amerika mengadakan dengan pendapat umum tentang keamanan ban radial. Di hadapan subkomisi ini Firestone mempertahankan pada bulan Mei 1978 bahwa hanya 7,4 persen dari nannya dikirim kembali untuk diperbaiki. Namun dua bulan kemudian tampak bahwa persentase ini adalah 17,5 persen, tiga kali lipat dibandingkan dengan ban Amerika lainnya. Diperkirakan pada tahun 1978 sudah terjadi lebih dari 14.000 kali kerusakan ban Firestone 500, yang mengakibatkan 41 korban jiwa dan sekurang-kurangnya 65 orang luka-luka. Pers Amerika ramai membicarakan masalah ini. Puncaknya adalah dibocorkannya laporan intern dari Firesone (1975) bahwa 26 dari 48 ban (56 persen lebih) tidak tahan tes kecepatan tinggi (high-speed test). Firestone sendiri berusaha mempertahankan bahwa Firedstone 500 mempunyi tingkat keamanan sama seperti ban dari merek lainnya. Sesudah perundingan lama dengan NHTSA, akhirnya pada 20 Oktober 1978 para manajer Firestone sepakat untuk menganti ban Firestone 500 yang masih dipakai dengan ban tipe lain yang baru. Mereka katakan sudah menghentikan produksi Firestone 500 delapan belas bulan sebelumnya. Namun penelitian dan Kongres menunjukkan bahwa produksinya berlangsung terus sampai April 1978. (Sumber : M. Velasquez, Business Ethics. Concept and Cases, hlm. 269-271; J.R. Boatright, Ethics and the Conduct of Business, hlm. 317-319). Pertanyaan untuk latuhan : 1. Bagaimana hak konsumen timbul sebagai sebuah topik dalam etika bisnis? Hak apa saja yang dimiliki oleh konsumen? 2. Jelaskan tiga pandangan yang menjadi dasar teoritis untuk tanggung jawab produsen terhadap konsumen? Berilah juga evaluasi atau kritik tentag tiga pandangan ini. 3. Uraikanlah kasus mobil Ford Pito dari sudut pandang etika konsumen. 4. Apa yang menjadi kewajiban moral produsen terhadap kualitas produk? 5. Apa yang bias dikatakan tentang harga yang adil? 6. Dalam konteks etika konsumen, jelaskan beberapa aspek moral dari pemakaian obat dalam peternakan ayam.

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB

Dra. H. Popon Herawati, M.Si.

ETIKA BISNIS

23

You might also like