You are on page 1of 14

KATA PENGANTAR

Syukur atas kehadirat Allah SWT senantiasa selalu memberikan taufiq dan hidayahnya kepada kita semua seru sekalian alam baik kesehatan maupun kesempatan dalam memberikan dorongan dan motivasi sehingga terselesainya tugas ini. Selanjutnya kami selaku mahasiswa yang mengikuti Program Sarjana pada jurusan Ekonomi bidang khusus Akuntansi diberikan tugas khusus untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Akuntansi Sektor Publik, sebagai salah satu persyaratan untuk melengkapi tugas yang dimaksudkan, maka kami menulis sebuah judul Pengelolaan Keuangan Daerah. Materi ini ditulis berdasarkan informasi yang didapatkan dari hasil perkuliahan serta informasi dari referensi bacaan lainnya yang mendukung. Pada struktur pembahasan tulisan ini berkemungkinan jauh dari sasaran dan kesempurnaan yang diharapkan , maka kami selaku penulis mengharapkan respon yang positif agar tulisan ini akan lebih spesifik dan terstruktur. Kiranya atas sumbangsih fikiran baik dari dosen pembimbing, maupun rekan-rekan seprofesi diucapkan terima kasih.

Banda Aceh, 5 Mei 2011 Hormat Kami,

Penyusun

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ................................................................................................................... 1 Daftar Isi ............................................................................................................................2 Pembahasan ......................................................................................................................3 Pengelolaan Keuangan Daerah ........................................................................................ 3 I. Pengelolaan Keuangan di Era Otonomi Daerah.....................................................7 II. Pengelolaan Keuangan Daerah yang berorientasi pada Kepentingan Publik ........11

Daftar Pustaka ..................................................................................................................14

PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

Reformasi yang terjadi di segala bidang didukung oleh masyarakat dalam menyikapi permasalahan yang terjadi, baik yang terjadi di tingkat pusat maupun tingkat daerah sehingga menyebabkan lahirnya otonomi daerah sebagai salah satu tuntutan reformasi.

Indonesia memasuki era Otonomi Daerah dengan diterapkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 (kemudian diubah menjadi UU No.32 Tahun 2004) tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 (kemudian menjadi UU No.33 Tahun 2004 ) tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

Dalam UU No.32 Tahun 2004 dijelaskan bahwa otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah yang diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar urusan pemerintah pusat yang ditetapkan dalam undang-undang tersebut. Selain itu juga dilaksanakan pula dengan prinsip otonomi yang bertanggung jawab dan nyata. Prinsip otonomi yang nyata adalah suatu prinsip yang menegaskan bahwa urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban yang nyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup, dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Sedangkan yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan maksud dan tujuan pemberian otonomi yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat sebagai bagian utama dari tujuan nasional.

Penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memerhatikan kepentingan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat. Untuk itu, otonomi daerah diharapkan dapat: (1) menciptakan efisinesi dan efektifitas pengelolaan sumber daya daerah; (2) meningkatkan kualitas pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat;
3

(3) membudayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk ikut berpartisifasi dalam proses pembangunan (Mardiasmo, 2002).

Dalam otonomi daerah, pimpinan daerah memegang peran yang sangat strategis dalam mengelola dan memajukan daerah yang dipimpinnya. Perencanaan strategis itu sangatlah vital, karena disanalah akan terlihat dengan jelas peran dari kepala daerah dalam mengoordinasikan semua unit kerjanya. Seberapa pun besarnya potensi suatu daerah tersebut, tidak akan optimal pemanfaatannya jika bupati/walikota tidak mengetahui bagaimana mengelolanya. Sebaliknya, meskipun potensi suatu daerah itu kurang, tetapi dengan strategis yang tepat untuk memanfaatkan bantuan dari pusat dalam memberdayakan daerahnya, maka akan semakin meningkatkan kemampuan sumber daya manusia yang ada. Sebagaimana dijelaskan dalam pasal 156 ayat 1 UU Nomor 32 Tahun 2004, kepala daerah adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah. Untuk itulah, perlu kecakapan yang tinggi bagi pimpinan daerah agar pengelolaan dan terutama alokasi dari keuangan daerah dilakukan secara efektif dan efisien guna mencapai tujuantujuan pembangunan daerah.

Otonomi daerah harus diikuti dengan serangkaian reformasi sektor publik. Dimensi reformasi sektor publik tersebut tidak sekedar perubahan format lembaga, akan tetapi menyangkut pembaruan alat-alat yang digunakan untuk mendukung berjalannya lembagalembaga publik tersebut secara efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan akuntabel sesuai dengan cita-cita reformasi yaitu menciptakan good governance benar-benar tercapai.

Dalam

mewujudkan

good

governance

diperlukan

reformasi

kelembagaan

(institutional reform) dan reformasi manajemen publik (public management reform). Reformasi kelembagaan menyangkut pembenahan seluruh alat-alat pemerintahan di daerah, baik struktur maupun infrastrukturnya. Reformasi manajemen sektor publik terkait dengan perlunya digunakan model manajemen pemerintahan yang baru dan sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman, misalnya New Public Management yang berfokus
4

pada manajemen sektor publik yang berorientasi pada kinerja, bukan berorientasi pada kebijakan. Penggunaan paradigma New Public Management tersebut menimbulkan beberapa konsekuensi bagi pemerintah. Di antaranya perubahan pendekatan dalam dalam penganggaran, yakni dari penganggaran tradisional (traditional budget) menjadi

penganggaran berbasis kinerja (performance budget), tuntutan untuk melakukan efisiensi, pemangkasan biaya (cost cutting), dan kompetensi tender (compulsory competitive tendering contract).

Sejalan dengan perlunya dilakukan reformasi sektor publik, pada awal periode otonomi daerah, telah keluar sejumlah peraturan pemerintah (PP) sebagai

operasionalisasi dari Undang-undang Otonomi daerah. Kelemahan perundang-undangan dalam bidang keuangan daerah selama ini menjadi salah satu penyebab terjadinya beberapa bentuk penyimpangan dalam pengelolaan keuangan negara. Dalam upaya menghilangkan penyimpangan tersebut dan mewujudkan sistem pengelolaan fiskal yang berkesinambungan (sustainable) sesuai dengan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar dan asas-asas umum yang berlaku secara universal, maka dalam penyelenggaraan pemerintahan negara diperlukan suatu undang-undang yang mengatur pengelolaan keuangan negara.

Adapun kekuasaan pengelolaan keuangan daerah menurut pasal 6 UU No. 17 Tahun 2003 merupakan bagian dari kekuasaan pengelolaan keuangan negara. Dalam hal ini presiden selaku kepala pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan, kemudian diserahkan kepada gubernur/bupati/walikota selaku kepala pemerintahan daerah untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan. Selanjutnya, kekuasaan pengelolaan keuangan daerah dilaksanakan oleh masing-masing kepala satuan kerja pengelola keuangan daerah selaku pejabat pengelola APBD dan dilaksanakan oleh kepala satuan kerja perangkat daerah selaku pejabat pengguna anggaran/barang daerah.
5

Pengelolaan keuangan daerah harus transparansi yang mulai dari proses perencanaan, penyusunan, pelaksanaan anggaran daerah. Selain itu, akuntabilitas dalam pertanggungjawaban publik juga diperlukan, dalam arti bahwa proses penganggaran mulai dari perencanaan, penyusunan, dan pelaksanaan harus benar-benar dapat dilaporkan dan dipertanggungjawabkan kepada DPRD dan masyarakat. Kemudian, value for money yang berarti diterapkannya tiga prinsip dalam proses penganggaran yaitu ekonomi, efisiensi dan efektivitas.

Dengan adanya penerapan prinsip-prinsip tersebut, maka akan menghasilkan pengelolaan keuangan daerah (yang tertuang dalam APBD) yang benar-benar

mencerminkan kepentingan dan pengharapan masyarakat daerah setempat secara ekonomis, efisien, efektif, transparan, dan bertanggung jawab. Sehingga nantinya akan melahirkan kemajuan daerah dan kesejahteraan masyarakat.

I.

Pengelolaan Keuangan di Era Otonomi Daerah


Dalam era otonomi daerah, manajemen keuangan daerah yang baik merupakan salah satu prasyarat penting untuk mewujudkan efektifitas dan efisiensi pemerintah dan pembangunan di tingkat lokal. Dalam hubungan antar pusat dan daerah, pemerintah saat ini telah mengalokasikan dana perimbangan untuk membiayai kebutuhan daerah dalam rangka mendukung pelaksanaan desentralisasi pemerintahan. Berdasarkan pasal 5 UU No. 33 tahun 2004 sumber-sumber penerimaan daerah adalah pendapatan daerah dan pembiayaan. Pendapatan daerah terdiri dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), dana perimbangan dan lain-lain pendapatan. Dana Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah merupakan mekanisme transfer pemerintah pusat-daerah terdiri dari Dana Bagi Hasil Pajak dan Sumber Daya Alam (DBHP dan SDA), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Dana pembiayaan daerah berasal dari Sisa Lebih Anggaran daerah (SAL), pinjaman daerah, dana cadangan daerah dan privatisasi kekayaan daerah yang dipisahkan. Idealnya semua pengeluaran pemerintah daerah dapat dicukupi dengan

menggunakan PAD-nya, sehingga daerah menjadi benar-benar otonom. Tujuan utama pemberian dana perimbangan dalam kerangka otonomi daerah adalah untuk pemerataan kemampuan fiskal pada tiap daerah (equalizing transfer), (Ehtisham, 2002). Penggunaan DAU, DBHP dan DBH SDA (block grants) diserahkan pada kebijakan masing-masing daerah. Pada penerapannya DAU banyak dimanfaatkan untuk membiayai pengeluaran rutin terutama untuk belanja pegawai sebagai dampak pengalihan status pegawai pusat menjadi pegawai Pemda, sedangkan penggunaan DAK telah ditentukan oleh pemerintah pusat. Kebijakan Dana Alokasi Umum (DAU) mempunyai tujuan utama untuk memperkuat kondisi fiskal daerah dan mengurangi ketimpangan antar daerah (horizontal imbalance). Melalui kebijakan bagi hasil SDA diharapkan masyarakat daerah dapat merasakan hasil dari sumber daya alam yang dimilikinya. Mekanisme bagi hasil SDA dan pajak bertujuan untuk mengurangi ketimpangan vertikal (vertical imbalance) pusat-daerah. Walaupun Indonesia
7

terkenal sebagai daerah yang kaya akan SDA tetapi persebarannya tidak merata di seluruh daerah. Daerah kaya SDA misalnya Riau, Kalimantan Timur, Aceh, dan Papua akan mendapatkan dana bagi hasil yang relatif lebih besar jika dibandingkan dengan daerah lain yang miskin sumber daya alam. Pada sisi yang lain Jakarta dan kota besar lainnya akan memperoleh dana bagi hasil pajak (PBB, BPHTB, dan PPh) yang cukup besar, sebagai konsekuensi terkonsentrasinya pusat bisnis di kota metropolitan. Fenomena seperti ini akan berdampak terhadap meningkatnya ketimpangan fiskal antar daerah, yang pada akhirnya melalui kebijakan ekspansi pengeluaran pemerintah daerah dapat meningkatkan ketimpangan pendapatan antardaerah dan wilayah. Dana Alokasi Khusus (DAK) bertujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. Di samping itu tujuan pemberian DAK adalah untuk mengurangi inter-jurisdictional spillovers, dan meningkatkan penyediaan barang publik di daerah. Dalam perspektif peningkatan pemerataan pendapatan maka peranan DAK sangat penting untuk mempercepat konvergensi antar daerah, karena dana diberikan sesuai dengan prioritas nasional, misalnya DAK untuk bantuan keluarga miskin. Dalam jangka panjang dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan yang merupakan bagian dari anggaran kementerian negara/lembaga yang digunakan untuk melaksanakan urusan yang menurut peraturan perundang-undangan menjadi urusan daerah akan dialihkan menjadi DAK (Pasal 107 UU No. 33 tahun 2004). Meningkatnya penerimaan daerah melalui pemberian dana perimbangan dan pengumpulan dana non perimbangan pada satu sisi akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, tetapi pada sisi yang lain dapat memperburuk ketimpangan antardaerah. Peningkatan penerimaan daerah akan memberikan keleluasaan untuk mendesain kebijakan yang dapat memberikan stimulus pada pertumbuhan ekonomi. Alokasi anggaran daerah untuk investasi akan meningkatkan capital stock daerah dan memperluas kesempatan kerja, sehingga akan meningkatkan kapasitas ekonomi daerah yang pada akhirnya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Peningkatan pertumbuhan ekonomi berdampak terhadap konsumsi dan tabungan (investasi) masyarakat sehingga akan memperbesar basis pajak daerah. Dampak selanjutnya yaitu terjadi peningkatan penerimaan pajak dan retribusi daerah, sehingga penerimaan daerah akan meningkat. Pada sisi yang lain kondisi endowment factors setiap daerah yang berbeda berdampak terhadap akselerasi pertumbuhan ekonomi daerah, dan berpotensi memperparah ketimpangan antardaerah dan wilayah. Terjadinya migrasi tenaga kerja dan pergerakan modal ke daerah core, serta tidak berjalannya mekanisme trickle down effect akan berdampak meningkatkan ketimpangan antardaerah (Myrdal, 1957, dan Hirchman, 1958). Hubungan antara pertumbuhan ekonomi, ketimpangan pendapatan, investasi, konsumsi, dan mekanisme transfer dana PKPD dan non PKPD terjadi dalam hubungan simultan (Dartanto, dan Brodjonegoro, 2005). Keberhasilan pencapaian tujuan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mengurangi ketimpangan antardaerah sangat dipengaruhi oleh kondisi ekonomi makro daerah. Dengan memperhatikan diagram tersebut, maka jelas bahwa dampak desentralisasi fiskal terhadap kesenjangan pendapatan antardaerah lebih terasa di Kawasan Timur Indonesia (KTI) dibandingkan dengan Kawasan Barat Indonesia (KBI). Hal ini ditunjukkan dengan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi di KTI dan berada di atas rata-rata nasional. Kondisi ini perlu ditelaah lebih lanjut, apakah esensi desentralisasi fiskal untuk meminimalisasi kesenjangan antar daerah menjadi lebih minimal. Terkait dengan pelaksanaan desentralisasi fiskal, ternyata tidak memberikan efek langsung pemerataan pertumbuhan ekonomi, sementara itu esensi dari desentralisasi fiskal adalah meminimalisasi disparitas antar provinsi. Hingga saat ini pemerintah hanya mendistribusikan anggaran ke daerah, tanpa melihat tingkat efisiensi dan efektivitas penggunaan dana tersebut. Untuk itu pemerintah sudah waktunya melakukan evaluasi terhadap penggunaan dana tersebut. Tujuan evaluasi antara lain, guna mengetahui apakah
9

terjadi penyimpangan dalam penyerapan dana transfer ke daerah tersebut atau tidak dan juga dapat mengetahui dampak penggunaan dari dana tersebut dengan secara langsung melakukan survey kepada masyarakat. Selain itu, sanksi juga harus lebih dipertegas terkait dengan pelaksanaan desentralisasi fiskal ini. Dalam UU 33 tahun 2004, sanksi hanya terkait dengan pelaporan keuangan daerah kapada pemerintah, dimana Pasal 102 ayat 5 berbunyi Menteri Keuangan memberikan sanksi berupa penundaan penyaluran Dana Perimbangan kepada Daerah yang tidak menyampaikan informasi keuangan daerah kepada pemerintah. Jika kita menelaah lebih jauh tentang sanksi ini, maka sanksi ini justru yang akan menerima akibatnya adalah masyarakat, sementara yang bersalah/tidak melaporkan pelaksanaan keuangan daerahnya adalah aparat Pemda, maka dari itu amat penting untuk dipikirkan pemberian sanksi kepada aparat yang lalai dalam menyampaikan laporan kepada pemerintah. Prinsipnya desentralisasi fiskal harus adil untuk semua, sehingga disparitas antar daerah dapat diminimalisasi.

10

II.

Pengelolaan Keuangan Daerah yang berorientasi pada Kepentingan Publik

Secara garis besar, pengelolaan (manajemen) keuangan daerah dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu manajemen penerimaan daerah dan manajemen pengeluaran daerah. Kedua komponen tersebut akan sangat menentukan kedudukan suatu pemerintah daerah dalam rangka melaksanakan otonomi daerah. Konsekuensi logis pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 25 tahun 1999 menyebabkan perubahan dalam manajemen keuangan daerah. Perubahan tersebut antara lain adalah perlunya dilakukan budgeting reform atau reformasi anggaran.

Aspek utama budgeting reform adalah perubahan dari traditional budget ke performance budget. Secara garis besar terdapat dua pendekatan utama yang memiliki perbedaan mendasar. Kedua pendekatan tersebut adalah: (a) Anggaran tradisional atau anggaran konvensional; dan (b) Pendekatan baru yang sering dikenal dengan pendekatan New Public Management.

A. Anggaran Tradisional Anggaran tradisional merupakan pendekatan yang paling banyak digunakan di negara berkembang dewasa ini. Terdapat dua ciri utama dalam pendekatan ini, yaitu: (a) cara penyusunan anggaran yang didasarkan atas pendekatan incrementalism dan (b) struktur dan susunan anggaran yang bersifat line-item. Ciri lain yang melekat pada pendekatan anggaran tradisional tersebut adalah: (c) cenderung sentralistis; (d) bersifat spesifikasi; (e) tahunan; dan (f) menggunakan prinsip anggaran bruto. Struktur anggaran tradisional dengan ciri-ciri tersebut tidak mampu mengungkapkan besarnya dana yang dikeluarkan untuk setiap kegiatan, dan bahkan anggaran tradisional tersebut gagal dalam memberikan informasi tentang besarnya rencana kegiatan. Oleh karena tidak tersedianya berbagai informasi tersebut, maka satu-satunya tolok ukur yang dapat digunakan untuk tujuan pengawasan hanyalah tingkat kepatuhan penggunaan anggaran.

11

Masalah utama anggaran tradisional adalah terkait dengan tidak adanya perhatian terhadap konsep value for money. Konsep ekonomi, efisiensi dan efektivitas seringkali tidak dijadikan pertimbangan dalam penyusunan anggaran tradisional. Dengan tidak adanya perhatian terhadap konsep value for money ini. Seringkali pada akhir tahun anggaran terjadi kelebihan anggaran yang pengalokasiannya kemudian dipaksakan pada aktivitasaktivitas yang sebenarnya kurang penting untuk dilaksanakan.

Dilihat dari berbagai sudut pandang, metode penganggaran tradisional memiliki beberapa kelemahan, antara lain (Mardiasmo, 2002): a. Hubungan yang tidak memadai (terputus) antara anggaran tahunan dengan rencana pembangunan jangka panjang. b. Pendekatan incremental menyebabkan sejumlah besar pengeluaran tidak pernah diteliti secara menyeluruh efektivitasnya. c. Lebih berorientasi pada input daripada output. Hal tersebut menyebabkan anggaran tradisional tidak dapat dijadikan sebagai alat untuk membuat kebijakan dan pilihan sumber daya, atau memonitor kinerja. Kinerja dievaluasi dalam bentuk apakah dana telah habis dibelanjakan, bukan apakah tujuan tercapai. d. Sekat-sekat antar departemen yang kaku membuat tujuan nasional secara keseluruhan sulit dicapai. Keadaan tersebut berpeluang menimbulkan konflik, overlapping,

kesenjangan, dan persaingan antar departemen. e. Proses anggaran terpisah untuk pengeluaran rutin dan pengeluaran modal/investasi. f. Anggaran tradisional bersifat tahunan. Anggaran tahunan tersebut sebenarnya terlalu pendek, terutama untuk proyek modal dan hal tersebut dapat mendorong praktikpraktik yang tidak diinginkan (korupsi dan kolusi). g. Sentralisasi penyiapan anggaran, ditambah dengan informasi yang tidak memadai menyebabkan lemahnya perencanaan anggaran. Sebagai akibatnya adalah munculnya budget padding atau budgetary slack.

12

h. Persetujuan anggaran yang terlambat, sehingga gagal memberikan mekanisme pengendalian untuk pengeluaran yang sesuai, seperti seringnya dilakukan revisi anggaran dan manipulasi anggaran. i. Aliran informasi (sistem informasi finansial) yang tidak memadai yang menjadi dasar mekanisme pengendalian rutin, mengidentifikasi masalah dan tindakan.

Beberapa kelemahan anggaran tradisional di atas sebenarnya lebih banyak merupakan kelemahan pelaksanaan anggaran, bukan bentuk anggaran tradisional.

B. Era New Public Management (NPM) Reformasi sektor publik yang salah satunya ditandai dengan munculnya era New Public Management telah mendorong usaha untuk mengembangkan pendekatan yang lebih sistematis dalam perencanaan anggaran sektor publik. Seiring dengan perkembangan tersebut, muncul beberapa teknik penganggaran sektor publik, misalnya adalah teknik anggaran kinerja (performance budgeting), Zero Based Budgeting (ZBB), dan Planning, Programming, and Budgeting System (PPBS).

Pendekatan baru dalam sistem anggaran publik tersebut cenderung memiliki karakteristik umum sebagai berikut: - Komprehensif/komparatif - Terintegrasi dan lintas departemen - Proses pengambilan keputusan yang rasional - Berjangka panjang - Spesifikasi tujuan dan perangkingan prioritas - Analisis total cost dan benefit (termasuk opportunity cost) - Berorientasi input, output, dan outcome (value for money), bukan sekedar input. - Adanya pengawasan kinerja.

13

DAFTAR PUSTAKA

Suparmoko. (2002). Ekonomi Publik: Untuk Keuangan & Pembangunan Daerah. Yogyakarta. Penerbit Andi. Devas, Nick, dkk. (1989). Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia. Jakarta. Penerbit UIPress. Kaho. (1997). Prospek Otonomi Daerah di Republik Indonesia. Jakarta. Cetakan keempat Rajawali Press. http://www.sumbawanews.com/berita/opini/pengelolaan-keuangan-daerah-di-eraotonomi daerah.html http://inspirasitabloid.wordpress.com/2010/03/19/pengelolaan-keuangan-di-era-otonomidaerah/

14

You might also like