You are on page 1of 13

BAB I PENDAHULUAN

I.1 LATAR BELAKANG Muhammdiyah adalah salah satu organisasi besar Islam di Indonesia. Yang didirikan oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan pada 18 November 1921 atau 8 Dzulhijjah 1330 hijriah di Kauman, Yogyakarta. Muhammadiyah adalah organisasi kemasyarakatan yang didasarkan atas cita-cita Islam. Seiring berjalannya organisasi Muhammadiyah menjadi organisasi Islam besar di Indonesia hingga saat ini, tentu saja telah mengalami banyak peristiwa yang mengantarkan Muhammadiyah tetap konsisten sampai sekarang ini. Mulai dari perintisan organisasi ini kemudian usaha mengembangkan organisasi Muhammadiyah hingga terjunnya Muhammadiyah kepada politik praktis pada zaman penjajahan Belanda dan Jepang. Dalam perkembangannya juga, Muhammadiyah sempat menjadi anggota partai yang menaungi organisasi Islam lain. Selama 14 tahun berkecimpung dalam dunia politik pada akhirnya Muhammadiyah kembali kepada khittahnya sebagai organisasi masyarakat yang berdasarkan AlQuran dan Sunnah Rasul. Maka sejak didirkannya, Muhammadiyah telah mengalami pasang surut organisasi yang didalamnya terdapat peristiwa-peristiwa penting yang dijadikan acuan oleh Muhammadiyah sendiri agar terus dapat berjalan dan berkembang menjadi organisasi berbasiskan Islam serta ikut berpartisipasi dalam kemajuan bangsa.

I.2 TUJUAN Tujuan dalam pembuatan makalah ini selain untuk meyelesaikan tugas mata kuliah Kemuhammadiyahan, agar mahasiswa dapat lebih memahami Kemuhammadiyah itu sendiri mengerti sejarahnya dan dapat meneruskan cita-cita dari Muhammadiyah.

I.3 RUANG LINGKUP Dalam makalah ini, penyusun membahas mengenai organisasi Muhammadiyah dalam perintisan dan perkembangannya, serta konsistensi organisasi ini dalam masa penjajahan Belanda dan Jepang hingga pada masa orde baru.

I.4 METODE PENULISAN Metode yang dipakai dalam penyusunan makalah ini menggunakan metode studi kepustakaan dengan membaca dan mengambil data dari buku referensi yang terkait dengan makalah ini.

BAB II PEMBAHASAN
MUHAMMADIYAH DALAM LINTASAN SEJARAH

II.1 Muhammadiyah: Gerakan Transformasi Sosial Muhammadiyah adalah organisasi kemasyarakatan yang didirikan didasarkan atas cita-cita Islam. Karenanya Muhammadiyah merupakan gerakan Islam yang berusaha membersihkan Islam dari pengaruh non-Islam, selain berupaya menghidupkan kembali kesadaran di kalangan umat islam untuk kembali kepada kepercayaan yang benar berdasarkan al-Quran dan Sunnah. Pandangan umum yang dianut para pengamat mengatakan bahwa Muhammadiyah merupakan sebuah organisasi sosial keagamaan yang didirikan untuk menyelaraskan agama islam dalam struktur masyarakat modern di Indonesia. Sementara menurut Abdul Munir Mulkhan, berdirinya Muhammdiyah merupakan konsekuensi logis dari munculnya pertanyaan sederhana seorang muslim kepada diri sendiri dan masyarakat tentang bagaimana memahami dan mengamalakan kebenaran Islam yang telah diimani sehingga pesan global Islam, yaitu rahmatan lil alamin,dapat terwujud dalam kehidupan obyektif umat manunsia. Muhammdiyah merupakan gerakan Islam yang sejak awal masa pertumbuhannya tampak berhati-hati dalam bersikap dan lebih luwes dalam menghadapi dinamika sosial politik dibanding berbagai gerakan Islam lain di Indonesia. Menurut Syafii Maarif, pola inilah yang menjadikan pemerintah kolonial memiliki kesan bahwa Muhammadiyah tidak terlalu berbahaya bagi kelangsungan kolonialisme. Mereka menganggap bahwa Muhammadiyah bukanlah gerakan Islam fanatik yang telah diracuni oleh Pan-Islamisme, sesuatu yang sangat ditakuti pemerintah kolonial. Pribadi Kiai Dahlan yang moderet dan toleran terhadap kelompok-kelompok lain serta bersedia kooperatif dengan pihak manapun dalam batas-batas hubungan kemanusiaan, menempatkan Muhammadiyah sebagai organisasi yamg unik pada masanya. Berbeda dengan Tjokroaminoto, Salim dan tokoh-tokoh sarekat Islam lainnya. Fokus perhatian Kiai Dahlan tampaknya lebih tertuju pada usaha pencerahan dan pencerdasan umat yang dipusatkan pada transformasi mental, sosial dan budaya sehingga perlawanan terhadap Muhammadiyah justru datang dari kalangan ulama tradisional dan umat islam itu sendiri. Para ulama beranggapan bahwa kehadiran Kiai Dahlan akan melakukan perubahan tatanan sosial keagamaan yang bertentangan dengan pandangan mereka. Dan Kiai Dahlan menghadapi semua tantangan tersebut dengan sikap tegar dan tidak pernah goyah. Muhammadiyah tampak berusaha mendongkel budaya islam sinkretik dan islam tradisisonal sekaligus, dengan menawarkan sikap keberagaman yang lebih puritan. Selama kepemimpinan Kiai Dahlan (1912 - 1923) , berdasarkan izin pemerintah kolonial Belanda, pengaruh gerakan Muhammadiyah baru tersebar sebatas di wilayah Keresidenan Yogyakarta, Surakarta, Garut, Jakarta, Purwokerto, pekalongan dan Pekajangan. Cabang Muhammadiyah selain di Yogyakarta berdiri sekitar tahun 1922, yaitu di akhir periode Kiai Dahlan. Menjelang tahun 1938 barulah Muhammdiyah tersebar hampir keseluruh pelosok Nusantara.

Dalam perkembangan selanjutnya, muhammdiyah melakukan beberapa gerakan pembaruan. Di bidang pendidikan, misalny, Muhammdiyah mendirikan sekolah model Belanda dengan memasukan kurikulum pendidikan agama Islam, seperti HIS met de Quran . Untuk meningkatkan kesejahteraan umat, Muhammadiyah mendirikan rumah sakit, balai pelayanan kesehatan, panti asuhan, panti jompo dan sebagainya. Gerakn ini banyak mengadopsi model yang dipakai Belanda dan misionaris Kristen dalam mengelola lembaga sosialnya. Tetapi tidak lupa, Kiai Dahlan mengkombinasikannya dengan pendekatan Islam. Muhammadiyah berkembang dengan pesat disebabkan karena Muhammdiyah dan amal usahanya merupakan sesuatu yang baru sehingga menarik bagi masyarakat Indonesia, tetapi juga disebabkan karena gerakan Muhammadiyah sejalan dengan aspirasi kaum cerdik pandai yang dihasilkan oleh politik etis dan tentu saja masih menampung aspirasi kaum tradisional yang berpikiran maju.

II.2 Latar Berdirinya Muhammadiyah Berdirinya Muhammadiyah memiliki banyak teori dan sudut pandang yang didasari atas bacaan mengenai lingkungan sosial keagamaan dan fakta yang diyakini. Alwi Shihab memiliki dua pandangan mengenai berdirinya Muhammadiyah. Pertama menyatakan bahwa kelahiran Muhammadiyah didorong oleh tersebarnya gagasan pembaruan Islam dari Timur Tengah ke Indonesia pada tahun-tahun pertama abad ke20. Pandangan kedua menyatakan bahwa Muhammadiyah muncul sebagai respon terhadap pertentangan ideologis yang berlangsung lama dalam masyarakat jawa. Namun terdapat faktor lain yang tidak kalah penting, yaitu penetrasi misi Kristen di Indonesia khususnya di Jawa Tengah- serta pengaruh yang ditimbulkannya. Harus diakui bahwa ini merupakan salah satu faktor terpenting yang mendorong Kiai Dahlan untuk mendirikan Muhammdiyah. Akan tetapi masih banyak faktor lain yang menyebabkan munculnya gerakan Islam yang modernis ini. Menurut Hamka, ada tiga faktor yang mendorong lahirnya organisasi Muhammadiyah ini. Pertama, keterbelakangan dan kebodohan umat Islam Indonesia. Kedua, suasana kemiskinan yang parah yang diderita umat Islam di Indonesia. Dan ketiga, kondisi pendidikan Islam yang sudah ketinggalan zaman. Sementara itu, menurut Musthafa Kemal Pasha dan Ahmad Adaby Darban ada dua faktor yang melatarbelakangi berdirinya Muhammadiyah yaitu, faktor subyektif dan obyektif. Faktor subyektif yaitu, pribadi Kiai Dahlan dalam memahami pesanpesan AlQuran terutama QS. Ali Imran 104. Faktor obyektif terbagi menjadi dua yaitu, obyektif internal kondisi umat Islam Kauman, Yogyakarta yang memiliki kehidupan keagamaan becorak ganda; sinkretik dan tradisional. Dan faktor obyektif eksternal didasarkan pada realitas masyarakat Indonesia yang terjajah oleh penguasa Belanda. Dari berbagai fakta diatas, dapat dikemukakan bahwa pendirian Muhmmadiyah bukanlah kebetulan semata, tetapi betul-betul merupakan hasil pembacaan secara obyektif atas berbagai realitas sosial yang ironis di tengah-tengah penjajahan Belanda dan digabungkan dengan pemahaman pesan-pesan suci AlQuran.

II.3 Perintisan Organisai Masa Kiai Dahlan Kiai Dahlan adalah satu diantara anggota menengah pribumi yang sepanjang hidupnya berusaha mengamalkan ilmu pengetahuan dalam kehidupan nyata melalui gerakan dan amal perjuangan. Kiai Dahlan berfikir besar tentang cita-cita perubahan sosial demi kemajuan umat Islam yang sedang mengalami keterbelakangan, kebodohan dan kemiskinan. Pikiran besarnya itulah yang kemudian mendorongnya untuk mendirikan Muhammdiyah pada 18 November 1912. Kiai Dahlan mulai menghayati cita-cita pembaruan sekembali dari ibadah Haji yang pertama. Ia mulai memperjuangkan cita-citanya itu dengan berusaha membetulkan arah kiblat Masjid Agung yang menghadap ke arah barat lurus. Pendapatnya diutarakan ketika berlangsung Musyawarah Ulama tahun 1898. Menurutnya kiblat Masjid Besar perlu dibetulkan karena tidak sesuai dengan perhitungan yang tepat. Pendapat Kiai Dahlan ini berdasarkan analisis dan perhitungan ilmu falaq yang dikuasainya. Akan tetapi sebagian besar ulama pada waktu itu menentang pendapat tersebut. Ini mungkin gagasan kecil tapi ini membuktikan bahwa Kiai Dahlan memiliki kesadaran untuk membuang paham keagamaan yang hanya didasari oleh tradisi, yang sebenarnya tidak sesuai dengan agama Islam. Serta gagasan itu juga memperlihatkan penghargaan Kiai Dahlan terhadap pentingnya metode ilmiah ilmu pengetahuan modern sebagai landasan pemahaman dan pengamalan ajaran Islam. Pada tahun 1909, Kiai Dahlan bergabung dengan organisasi Budi Utomo. Organisasi ini menjadi satu embrio awal kebangkitan semangat nasionalisme Indonesia. Keterlibatan Kiai Dahlan di Budi Utomo selain mengaktualisasikan semangat kebangsaannya, adalah untuk memperlancar usaha dakwah yang ia lakukan tanpa kenal lelah. Selain masuk di Budi Utomo, Kiai Dahlan juga memberikan pelajaran Islam ekstra kurikuler kepada para pelajar Kweek School Gubermen di Jetis,Yogyakarta, dan para pelajar OSVIA di Magelang. Beberapa orang dari pelajar ini, yang telah menjadi anggota Budi Utomo, dikabarkan menjadi murid Dahlan yang tekun. Hasrat Kiai Dahlan untuk menyebarkan ide-ide pembaruan memperoleh dukungan berupa saran dan masukan yang disampaikan murid-muridnya dan para anggota Budi Utomo. Pada waktu itu telah berdiri pula organisasi Sarekat Islam dan Kiai Dahlan juga memiliki jabatan di organisasi tersebut. Walau sudah masuk dalam organisasi Budi Utomo dan Sarekat Islam, Kiai Dahlan merasa tidak bisa sepenuhnya memenuhi keinginanya untuk mengembangkan dakwah Islam dan pendidikan sebagaimana yang ia kehendaki. Akhirnya berdirilah organisasi Muhammdiyah terbentuk dengan tujuan untuk menyebarkan pengajaran Nabi Muhammad kepada penduduk Bumi Putera dan memajukan agama Islam kepada anggota-anggotanya. Untuk mencapai tujuannya, organisasi ini menyelenggarakan beberapa kegiatan, seperti mendirikan lembagalembaga pendidikan, mengadakan rapat-rapat dan tabligh dengan tema masalah Islam, mendirikan masjid, mengelola wakaf serta menerbitkan buku, brosur, surat kabar dan majalah. Setelah Muhammadiyah berdiri, Kiai Dahlan mengajukan surat permintaan badan hukum (recht persoon) kepada Gubernur Jenderal Belanda di Jakarta. Permintaan itu dikabulkan pada 22 Agustus 1914, dengan wilayah yurisdiksi hanya berlaku untuk daerah Yogyakarta dan berlaku selama 29 tahun. Dalam Anggaran Dasar yang disahkan pemerintah Belanda, dinyatakan bahwa makud dan tujuan Muhammadiyah adalah : 4

1. Memajukan serta menggembirakan pelajaran dan pengajaran agama Islam dalam kalangan sekutu-sekutunya. 2. Memajukan serta menggembirakan hidup sepanjang kemauan agama Islam dalam kalangan sekutu-sekutunya. Walau pada saat itu Muhammadiyah telah resmi berdiri, namun hasilnya nampak belum kongkret. Itu disebabkan selain karena terbatasnya wilayah yurisdiksi, juga karena kreativitas para pengurusnya yang masih sangat terbatas. Karena seperti diketahui sembilan pengurus awal Muhammadiyah tenaga tua yang umumnya abdi dalem kesultanan. Jabatan itu sedikit banyak dirasakan membatasi ruang gerak mereka dalam kegiatan diluar tugas kesultanan. Dalam mengembangkan gagasan pembaruannya, Kiai Dahlan pada awalnya mengembangkan sektor pendidikan. Hal ini dilakukan dengan mendirikan sekolah modern dan sistem pengajaran secara klasikal, suatu sistem pengajaran dan pengelolaan sekolah yang masih asing di kalangan masyarakat santri pada waktu itu. Sekolah pertama yang dibangun adalah Madrasah Ibtidaiyah dan Diniyah yang berdiri sekitar tahun 1908-1909. Gerakan seperti ini merupakan terobosan baru di tengahtengah kondisi bangsa yang sangat terbelakang. Aspek pendidikan yang dipilih Kiai Dahlan secara tidak langsung adalah sarana pembinaan kader Muhsmmadiyah yang nantinya diharapkan dapat meneruskan cita-cita perjuangan Muhammdiyah. Dalam masa-masa awal, mayoritas peserta pendidikan Muhammadiyah adalah tokoh angkatan muda. Mereka adalah adik ipar Kiai Dahlan. KH. Ibrahim yang menjabat ketua Muhammadiyah periode 1923-1934 Haji Mukhtar yang kemudian menjadi wakil ketua pada periode KH. Ibrahim Tiga bersaudara yaitu, Daniel yang kemudian dikenal dengan nama Haji Sudja tokoh pendiri bagian PKU dan Rumah Sakit Muhammdiyah Yogyakarta serta pelopor perbaikan perjalanan haji Indonesia. Muhammad Jazuli yang pada hari tuanya bernama Haji Fachrudin, seorang yang keras dan bersemangat sebagai Mubaligh dan menjabat wakil ketua pada periode KH. Ibrahim. Dan Dayat yang dikemudian hari bernama Ki Bagus Hadikusum, seorang ulama dan penganjur politik Islam yang terkenal kuat pendirian dan ikut andil dalam pembentukan falsafah Negara Pancasila dan UUD 1945.

II.4 Perkembangan Organisasi Masa Kiai Dahlan Dalam masa perkembangan ini, pengaruh gerakan Muhammadiyah semakin tersebar ke daerah-daerah lain di luar Yogyakarta. Perkembangan ini diikuti pula dengan munculnya lembaga-lembaga pendukung (majelis,bagian) atau badan-badan otonom dalam gerakan Muhammadiyah. Daerah operasi itu mulai meluas setelah tahun 1917. Ketika kongres Budi Utomo di Yogyakarta, Kiai Dahlan menyampaikan pengajian yang ternyata memberi kesan mendalam bagi para utusan kongres. Akibatnya mucul banyak permintaan untuk mendirikan cabang Muhammadiyah di berbagai daerah di pulau Jawa. Tetapi karena anggaran dasar Muhammadiyah masih terbatas di daerah Yogyakarta, maka aturan ini harus diamandemen lebih dahulu. Akhirnya pada tahun 1920 dinyatakan bahwa wilayah yurisdiksi Muhammadiyah diperluas meliputi seluruh pulau Jawa. Dan pada tahun berikutnya kembali diperluas ke seluruh wilayah Indonesia. 5

Kemudahan melakukan perluasan didapat dari faktor pribadi Kiai Dahlan sendiri dan caranya melakukan propaganda. Ia menjalin hubungan persahabatan yang baik dengan tokoh Kristen seperti Pastor Van Dress dan Van List. Kiai Dahlan mengambil iniasiatif mengunjungi mereka atau mengundang mereka dan diajak bertukar pikiran secara pribadi atau dalam debat publik. Sikap ini menimbulkan kesan positif bahwa Kiai dahlan tidak memusuhi agama mereka. Sejak tahun 1920-an, perluasan Muhammadiyah keluar Yogyakarta pada umumnya mencatat perkembangan yang mengesankan. Keterlibatan pedagang dari Minangkabau yaitu Haji Rasul yang mengubah organisasi lokal bernama Sendi Aman Tiang Selamat menjadi cabang Muhammadiyah merupakan bantuan yang berharga dalam penyebaran Muhammadiyah diluar pulau Jawa. Karena dari sinilah Muhammadiyah menyebar keseluruh daerah Minangkabau. Pada tahun 1927 Muhammadiyah mendirikan cabang-cabang di Bengkulu, Banjarmasin dan Amuntai. Sedangkan pada tahun 1929 pengaruhnya mulai tersebar ke Aceh dan Makassar. Dengan meluasnya perkembangan Muhammadiyah maka, dibentuklah kesatuan-kesatuan yang berkedudukan sebagai badan pembantu pimpinan yang berbentuk majlis atau organisasi otonom. Hal ini diharapakan agar badan pusat menjadi lebih teratur dan ada pembagian kerja yang baik di antara para pengurusnya. Muhammadiyah telah menjadi organisasi yang besar, tersebar secara luas dan bertahan lama. Semua ini menunjukan bahwa Muhammadiyah telah berhasil mengambil alih metode-metode barat, khususnya metode-metode misi kristen di Indonesia. Semakin meluasnya kegiatan Muhammadiyah, maka lembaga pendukung dalam struktur organisasi ini pun bertambah. Lembaga Penolong Kesengsaraan Umat (PKU) awalnya hanya untuk menolong korban letusan gunung kelud tetapi seiring meluasnya Muhammadiyah PKU memperluas wilayah kegiatan dengan membantu orang miskin dan yatim piatu. Dan pada tahun 1926 PKU mempelopori berdirinya klinik di Yogyakarta. Aisyiyah pada mulanya menitikberatkan kegiatannnya pada peranan perempuan sebagai ibu. Dan kemudian meluaskan wilayah kegiatannya sebagai sebuah organisasi perempuan yang mengurus persoalan perempuan dalam bidang dakwah, pendidikan dan kesejahteraan sosial, berkembang sangat pesat. Pada tahun 1919 Aisyiyah membuat taman kanak-kanak yang pertama di Indonesia. Tidak hanya sampai disitu, Aisyiyah mulai memberantas buta huruf, mendirikan akademi perawat, rumah bersalin, posyandu, program KIA dan PKK. Kiai Dahlan juga mendirikan gerakan Kepanduan Muhammadiyah yang dikenal Hizbul Wathan. Berdirinya Hizbul Wathan di ilhami dari latihan kepanduan misi Kristen di alun-alun Mangkunegaran. Popularitas dan kulitas dari Hizbul Wathan pada waktu itu dikatakan paling baik, karena memiliki kesamaan dengan latihanlatihan militer. Selanjutnya, untuk merumuskan ketentuan-ketentuan hukum baru sebagai konsekuensi dari ketidakterikatannya terhadap mazhab tertentu, Muhammadiyah mendirikan majlis Tarjih berdasarkan keputusan kongres di Pekalongan tahun 1927. Fungsi majelis ini adalah mengeluarkan fatwa atau memutuskan hukum tentang masalah-masalah yang diperdebatkan masyarakat muslim saat itu. Menariknya, majelis Tarjih ternyata mencerminkan sikap toleransi Muhammadiyah dalam menghadapi perbedaan pendapat. Sisi demokratis juga ditampilkan oleh majelis Tarjih, ketika majelis tidak menyatakan bahwa keputusannya sajalah yang benar. Secara tegas, majelis mengakui kelemahan-kelemahan sendiri dan mengundang pihak lain untuk memeriksa kembali keputusan-keputusan yang telah dikeluarkan. 6

II.5 Masa Penjajahan Belanda Semenjak Kiai Dahlan meninggal tahun 1923 dan kepemimpinan dilanjutkan oleh KH. Ibrahim, perdebatan yang terjadi antara organisasi Islam yang bergerak di bidang politik dan sosial-keagamaan semakin memuncak. Pada masa pimpinan KH. Ibrahim, Muhammadiyah dihadapkan pada benturan-benturan internal maupun ekternal. Benturan internal terkait dengan adanya dugaan penerimaan dana haram sekaligus menjadi kaki tangan dari pemerintah kolonial Belanda. Sedangkan rintangan eksternal dipicu oleh munculnya kebijakan Pemerintah Belanda yang berupa Ordonansi Sekolah Liar atau Wilde Schoolen Ordonnantie. Dengan adanya kondisi ini, Muhammadiyah mengambil sikap tegas melalui sidang Tanwir, dengan menyatakan bahwa : 1. Muhammadiyah tetap mengakui hak dan wewenang pemerintah untuk membuat ordonansi. Tetapi Muhammadiyah berkeyakinan bahwa ordonansi sekolah liar sangat bertentangan dengan ajaran Islam, serta merugikan kehidupan bangsa Indonesia. 2. Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang maksud dan tujuannya hendak menyebarkan ajaran Islam dan hendak melaksanakan ajaran Islam seutuhnya, dengan tidak mengurangi pengakuan akan hak pemerintah pembuat ordonansi serta melaksanakan sebagiamana mestinya, termasuk menghukum kepada siapa saja yang tidak mentaati atau melanggarnya, akan tetap menyelenggarakan usahanya dalam bidang pendidikan dan pengajaran, dengan meneruskan semua sekolah dalam keadaan seperti apa adanya untuk tetap melakukan kegiatan belajar mengajar. Pada akhirnya, Muhammadiyah mampu menyelesaikan masalah di atas dengan beberapa kompromi. Konsekuensi harus kompromi dengan sistem pendidikan kolonial telah menyebabkan Pimpinan Muhammadiyah menghadapi persoalan baru: bagaimana harus menyesuaikan kurikulum dan pelayanan pendidikan Muhammadiyah dengan kurikulum dan sistem pelayanan yang berlaku pada sekolah pemerintah tanpa meninggalkan ciri pendidikan Muhammadiyah. Maka pimpinam Muhammadiyah melakukan langkah kompromi. Muhammadiyah bersedia menerima subsidi dari pemrintah. Ini mendapat kritik dari kalangan muda Muhammadiyah. Meskipun masalah ini dapat diatasi dengan baik namun muncul kesan yang mendalam bahwa cara berfikir politis tidaklah sesuai dengan prinsip murni gerakan Muhammadiyah. Pada tahun 1937 mulai muncul kecenderungan orientasi pada politik praktis pasca kepemimpinan Kiai Dahlan. Kecenderungan ini muncul pada masa Mas Mansyur. Perubahan kecenderungan orientasi Muhammadiyah ke arah politik merupakan hasil perpaduan antara dorongan internal kepemimpinan Mas Mansyur dengan tuntutan eksternal, dimana kekuatan partai politik melemah pada saat situasi politik justru sedang meningkat. Tingginya konflik antar kekuatan politik saat itu telah menimbulkan tatikan sentrifugal, yakni kebutuhan memprtoleh dukungan dan berafiliasi dengan kelompok lain. Inilah yang mendorong Muhammadiyah untuk terjun kedalam aktifitas politik praktis. Peristiwa ini mempunyai arti yang penting dalam perkembangan Muhammadiyah di kemudian hari, kepemimpinan Mas Mansyur telah berhasil meletakan dasar-dasar partisipasi politik Muhammadiyah di pentas nasional yang menjadi tradisi yang berlaku di masa-masa berikutnya.

Mas Mansyur dikenal sebagai tokoh yang memiliki semangat keagamaan sangat tinggi serta dikenal sebagai salah satu tokoh yang berperan besar dalam membentuk dan mengisi jiwa gerakan Muhammadiyah sebagai sebuah gerakan Islam. Pada periode Mas Mansyur Majelis Tarjih diaktifkan kembali sehingga melahirkan rumusan yang dikenal dengan Masalah Lima. Kelima masalah tersebut menegaskan beberapa doktrin yang dipahami Muhammadiyah mengenai; dunia, agama, qiyas, sabilillah dan ibadah. Sebenarnya pengangkatan Mas Mansyur sebagai ketua pengurus besar Muhammadiyah terjadi dalam suasana ketidakpuasan dengan angkatan muda Muhammadiyah terhadap kebijakan pengurus besar yang terlalu mengutamakan pendididkan dan melupakan masalah tabligh. Angkatan muda saat itu menganggap bahwa pengurus besar Muhammadiyah hanya dikuasai oleh tiga tokoh tua: KH. Hisyam, KH. Mukhtar, KH. Syuja. Setelah melalui dialog panjang, maka ketiga tokoh Muhammadiyah tersebut bersedia mengundurkan diri. Dalam penentuan pengurus besar yang baru para calon ketua menolak untuk menjadi ketua pengurus besar Muhammadiyah. Maka melalui dialog panjang dan berliku terpilihlah Mas Mansyur yang dianggap mampu mengakomodasi kepentingan kedua belah pihak. Pergeseran kepemimpinan dari kelompok tua kepada kelompok muda menunjukan bahwa Muhammadiyah saat itu sangat akomodatif dan demokratis terhadap aspirasi kalangan muda yang berfikiran progresif demi kemajuan Muhammadiyah.

II.6 Masa Pendudukan Jepang Berbeda dengan sikap penjajah Belanda yang cenderung mencurigai aktifitas politik tokoh Islam, Jepang justru bersikap sebaliknya. Mereka cenderung bersikap lunak terhadap kelompok Islam. Misalnya, mereka mendekati tokoh Muhammadiyah, Mas Mansyur, untuk duduk bersama Ki Hajar Dewantara, Moh. Hatta, Soekarnao sebagai pemimipin organisasi PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat). Keempat tokoh ini dikenal sebagai empat serangkai. Hal ini menandakan adanya pengakuan dari kalangan nasionalis dan pihak Jepang mengenai pentingnya kedudukan umat Islamdalam dunia politik Indonesia, juga sebagai promosi pertama dan utama dari umat Islam dalam masa pemerintahan Jepang. Harus diakui bahwa pada periode Mas Mansyur Muhammadiyah banyak dipengaruhi oleh aktifitas politik praktis nasional. Hal ini bisa dipahami karena, pada tahun 1930-an gerakan kebangkitan nasionalisme Indonesia sedang memperoleh momentumnya. Mas Mansyur sendiri terlibat dalam MIAI dan juga terpilih sebagai salah satu tokoh PII (Partai Islam Indonesia). Aktifitas Mas Mansyur sebagai pucuk pimpinan partai tentu saja menimbulkan perdebatan di kalangan anggota Muhammadiyah. Pihak yang tidak setuju keterlibatan Muhammadiyah dalam politik berkeinginan agar Muhammadiyah bersikap netral, akan tetapi pihak yang setuju mengembalikan keputusan terhadap Mas Mansyur sendiri. Masalah tersebut dapat diselesaikan dalam sidang Tanwir 1939 yang memutuskan untuk mengizinkan Mas Mansyur melanjutkan keterlibatannya dalam partai politik. Walau diizinkan, Mas Mansyur memutuskan bahwa hanya menjadi penasihat partai PII. Peran politik Muhammadiyah berikutnya dilanjutkan oleh Ki Bagus Hadikusuma, Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah periode 1944-1953. Pada masa kepemimpinan Ki Hajar Hadikusuma melahirkan muqoddimah anggaran dasar, sebagai basis pijakan yang kuat dalam melaksanakan amal usaha dan perjuangannya. 8

Selain itu juga pada masa ini Muhammadiyah memiliki kontribusi penting bagi perjalanan bangsa Indonesia, ketika Ki Bagus Hadikusumo mengusulkan perubahan anak kalimat Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemelukpemeluknya dalam pembukaan UUD 1945 menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Alasannya karena Ketuhanan yang Maha Esa memiliki esensi yang sama dengan pokok agama Islam. Pada periode ini juga terlihat sikap kritis Muhammadiyah terhadap penjajah Jepang. Sikap ini ditunjukan ketika menentang kebijakan jepang, saekerei , yakni penghormatan kepada Tenno Haika dengan membungkukan badan ke arah timur. Melalui sidang Tarjih, akhirnya dipustuskan kalau saekerei, adalah terlarang karena tidak sesuai dengan ajaran agama Islam dan menjurus kepada tindakan syirik dan bertentangan dengan prinsip tauhid. Diakhir masa kependudukan Jepang, atas desakan tokoh pergerakan nasioanal Indonesia, maka pemerintah Jepang membentuk sebuah panitia yang bertugas mempersiapkan kemerdekaan Indonesia yakni, Badan Penyidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau Dokuritsu Zyumbi Tyosakai. Lembaga ini beranggotakan enam puluh tiga orang termasuk Ki Bagus Hadikusumo. Peranan Ki Bagus Hadikusumo cukup besar, seperti melahirkan beberapa ide dan gagasan dalam rangka meletakan kerangka dasar negara (filosofiche gronslag). Sejak masa kepemimpinan Ki Bagus Hadikusumo hingga periode AR. Sutan Mansur (1952-1959), Yunus Anis (1959-1968) dan Ahmad Badawi (1962-1968), Muhammadiyah memiliki keterlibatan intens dengan dunia politik praktis, yakni keterlibatan Muhammadiyah sebagai salah satu anggota istimewa Masyumi yang didirikan di Madrasah Mualimin Yogyakarta tahun 1945. Posisi ini dianggap paling tepat karena Masyumi dianggap sebagai saluran aspirasi politik yang tepat bagi Muhammadiyah, selain itu juga mempertahankan identitas Muhammadiyah sebagai organisasi kemasyarakatan. II.7 Relasi Muhammadiyah Masyumi Salah satu episode paling penting dari sejarah ketelibatan Muhammadiyah dalam politik kepartaian adalah posisi Muhammadiyah sebagai anggota istimewa Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Berdiri sejak tahun 1945 di Yogyakarta, Masyumi disponsori oleh Muhammadiyah bersama beberapa organisasi kemasyarkatan Islam lain sebagai anggota istimewa, seperti NU, al-Wasliyah, PSII, Mathlaul Anwar, al-Hidayah, al-Irsyad dan Persis. Masyumi merupakan wujud konkret dari ide persatuan umat Islam Indonesia, karena seluruh organisasi Islam menyalurkan aspirasi politik mereka dalam satu wadah partai politik. Intensitas keterlibatan Muhammadiyah di dalam Masyumi sangat tinggi, terutama setelah dua organisasi menyatakan keluar dari Masyumi dan mendirikan partai politik sendiri: PSII tahun 1947 dan NU tahun 1952. Dinamika hubungan Muhammadiyah dan Masyumi mengalami beberapa kali pasang surut. Dinamika tersebut setidaknya dapat dibagi dalam tiga tahap, yakni: Hubungan Mesra tahun 1945-1955 Hubungan Renggang tahun 1956-1959 Akhir Hubungan tahun 1959

A. Hubungan Mesra Hubungan mesra Muhammadiyah dengan Masyumi ditandai dengan peranan penuh Muhammadiyah dalam mendirikan maupun mempertahankan eksistensi partai tersebut. Hal ini dapat dilihat dari proporsi orang-orang Muhammadiyah dalam kepengurusan Masyumi yang cenderung mengalami kenaikan dan selalu di atas 50%. Pada masa kepengurusan tahun 1945, 1951, 1952, 1954, wakil-wakil Muhammadiyah menduduki jabatan kepengurusan masing-masing sebesar 50%, 56%, 54% dan 53%. Hal ini juga berimplikasi dengan meningkatnya representasi wakil-wakil Muhammadiyah yang duduk dalam kabinet pemerintahan. Kedekatan hubungan antara Muhammadiyah dengan Masyumi sedikit banyak disebabkan karena adanya kedekatan gagasan di antara dua organisasi tersebut dalam hal memandang hubungan antara politik dan masyarakat. Tujuan kedua organisasi ini memilki banyak kesamaan, yakni tegaknya Islam dan terwujudnya masyarakat Islam. Perbedaannya terletak pada wilayah gerakan, jika Muhammadiyah bergerak dalam ranah kultural maka Masyumi bergerak dalam ranah politik praktis. Atau juga bisa dikatakan, jika Masyumi berupaya untuk mencapai kekuasaan Islam, maka Muhammadiyah berupaya untuk mengisi kekuasaan itu. Sampai tahun 1955, hubungan Muhammadiyah dengan Masyumi meningkat semakin mesra. Lebih-lebih pada tahun itu diselenggarakan pemilu untuk memilih wakil-wakil di Dewan Perwakilan dan Majelis Konstituante. Besarnya peran Muhammadiyah dalam pemenangan pemilu tercermin dari besarnya mobilitas sumber daya manusia serta aset-aset kekayaan Muhammadiyah bagi pemenangan Masyumi. Laporan pada sidang Tanwir tahun 1955 menunjukan adanya hubungan yang meningkat semakin baik. Bahkan di beberapa daerah, seluruh pengurus Masyumi adalah pimpinan Muhammadiyah. Posisi dan peran Muhammadiyah di dalam Masyumi memang sangat dominan. Kedudukan Muhammadiyah sebagai anggota istimewa kadang membuat Muhammadiyah menjadi identik dengan Masyumi. Sebagian besar warga Muhammadiyah memandang Masyumi sebagai tempat berjuang, sementara Muhammadiyah sebagai tempat beramal. Seorang anggota Muhammadiyah dapat dipastikan adalah anggota Masyumi atau sekurang-kurangnya sebagai simpatisan partai tersebut. B. Hubungan Renggang Memasuki tahun 1956, hubungan Muhammadiyah dengan Masyumi sempat diwarnai ketegangan. Ketegangan ini merupakan akumulasi kekecewaan yang muncul dikalangan Muhammadiyah, karena perolehan kursi warga Muhammadiyah pada pemilu 1955 dianggap tidak seimbang dengan apa yang telah dikerahkan Muhammadiyah untuk memenangkan Masyumi. Tingginya persentase pimpinan Muhammadiyah dalam kepengurusan Masyumi yang lebih dari 50% ternyata tidak sebanding dengan perolehan kursinya yang hanya 22%. Sementara posisi penting diserahkan kepada orang-orang di luar Masyumi. Ketegangan ini memicu perdebatan tentang keberdaan Muhammadiyah dalam Masyumi, apakah harus keluar atau dipertahankan. Akhirnya, seperti yang dilaporkan Hamka dalam sidang Tawir pada 31 Mei 1956 di Kaliurang, Yogyakarta, Muhammadiyah mengambil keputusan bahwa Muhammadiyah terus melanjutkan kiprahnya dalam politik praktis bersama Masyumi. Munculnya persoalan ini dianggap sebagai fitnah untuk memecah belah pendukung Masyumi, yakni yang berasal dari 10

Muhammadiyah atau non-Muhammadiyah. Dari perdebatan panjang pada sidang Tanwir di Yogyakarta, setidaknya berkembang empat corak pemikiran. Pertama, menghendaki putusnya hubungan dengan Masyumi dan menjadikan Muhammadiyah sebagai partai politik sendiri. Pendapat ini dibangun atas dua pemikiran. Di satu sisi, Islam dipahami sebagai sebuah agama yang meliputi seluruh aspek kehidupan, termasuk politik. Dan di sisi lain, dengan melihat realitas politik pasca pemilu, Muhammadiyah seharusnya memiliki kendaraan politik sendiri dalam mencapai tujuan bersama dan tidak perlu menumpang dengan partai politik Masyumi. Kedua, menghendaki putusnya hubungan dengan Masyumi dan Muhammadiyah kembali pada Khittah tahun 1912 sebagai gerakan amar maruf nahi munkar . Sementara masalah politik diserahkan kepada pilihan masing-masing anggota secara bebas. Ketiga, menghendaki putusnya hubungan dengan Masyumi dan Muhammadiyah menjadi partai politik sendiri, sementara hubungan antara organisasi kemasyarakatan dan politik dibangun melalui federasi. Intinya gagasan ketiga ini ingin menjadikan Muhammadiyah sebagai partai politik, juga melihat pentingnya hubungan antara sesama golongan Islam dalam bentuk lain. Keempat, menghendaki untuk mempertahankan hubungan dengan Masyumi. Pemikiran ini berpijak pada cita-cita luhur untuk memajukan dan mengembirakan hidup sepanjang kemauan agama Islam; menegakan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Setelah melihat perdebatan yang memunculkan empat gagasan beserta argumentasinya, maka dibentuklah tim perumus yang terdiri dari empat orang, yakni: AR. Fachrudin, Junan Nasution, Malik Ahmad dan Hamka. Selanjutnya tim yang bersidang selama satu jam menghasilkan keputusan bahwa Muhammadiyah tetap Muhammadiyah, berjalan menurut khittahnya yang telah ditentukan, sedangkan yang berkenan dengan politik praktis disalurkan dan diatur bersama dengan Masyumi. Hasil musyawarah juga menetapkan bahwa Muhammadiyah dan Masyumi sama-sama menyadari bahwa adanya keanggotaan istimewa dalam Masyumi tidaklah wajar, sehingga disetujui adanya proses penghapusan dengan cara yang tidak menimbulkan goncangan. Selama belum dihapuskan, hubungan antara keduanya harus dilakukan dengan cara sebaik-baiknya dan diharapkan di masa yang akan datang hubungan antara keduanya lebih baik.

C. Akhir Hubungan Kebijakan Muhammadiyah untuk mengakhiri hubungan dengan partai Masyumi dimulai sesudah sidang Tanwir 1959 hingga hubungan itu benar-benar berhenti pada September tahun itu pula, atau membutuhkan waktu sekitar empat bulan. Proses akhir hubungan Muhammadiyah dengan Masyumi dilakukan melalui 5 kali sidang: 2 kali sidang pleno, 3 kali sidang harian. Sidang pleno pertama tanggal 25 Juni 1959 mengagendakan masalah keangotaan istimewa Masyumi dan disepakati adanya penghapusan keanggotaan istimewa tersebut, namun belum ada kesepakatan mengenai mekanisme penghapusannya. Sidang pleno kedua pada tanggal 15-16 Agustus 1959 mengagendakan meneruskan pembicaraan pada agenda sebelumnya dan akhirnya menemui kesepakatan untuk menemui PP. Masyumi guna mencari penjelasan bersama. Sidang menunjuk tiga utusan yaitu: Farid Maruf, Djindar Tamimy dan 11

Marzuki Jatim. Setelah bertemu dengan ketua PP Masyumi, Prawoto Mangkusasmito, PP Masyumi meminta waktu dua minggu untuk membicarakan dengan anggotaanggota istimewa. Setelah melalui perdebatan panjang, PP masyumi memutuskan jalan kompromi, yakni akan melepaskan keanggotaan istimewa para anggotanya kecuali anggota yang keberatan. Pelepasan keanggotaan istimewa diumumkan oleh Masyumi pada tanggal 8 September 1959 dan oleh Muhammadiyah tanggal 12 September 1959. Pelepasan keanggotaan istimewa Muhammadiyah dari Masyumi, sebenarnya memiliki beberapa nilai strategis. Pertama, mengembalikan citra Muhammadiyah sebagai organisasi kemasyarakatan dengan orientasi dakwah. Sementara itu pada tahun 1950-an Masyumi menjadi musu utama rezim soekarno karena menjadi partai yang berani menolak gagasan Demokrasi Terpimpin. Ditambah lagi keterlibatan beberapa tokoh Masyumi dalam pemberontakan PRRI tahun 1958 di Sumatera. Antagonisme politik antara Soekarno dan Masyumi semakin memuncak. Akibatny beberapa tokoh Masyumi yang notabene adalah tokoh Muhammadiyah seperti, Kasman Singodimejo, Hamka dan Gazali Syahlan ditangkap sejak 1958. Lepasnya Muhammadiyah dari Masyumi langkah yang sangatlah tepat karena, Masyumi pada akhirnya dipaksa oleh Soekarno untuk membubarkan diri pada tahun 1960. Dan untuk memperbaiki citra Muhammadiyah di mata Soekarno, akhirnya Muhammadiyah mengambil kebijakan untuk menganugerahkan gelar Doctor Honoris Causa dan menganugerahkan Bintang Emas kepada Presiden Soekarno pada tahun 1965. Kedua, mengembalikan Muhammadiyah kepada khittahnya sebagai organisasi kemasyarakatan yang bergerak dalam ranah kultural. Keterlibatan Muhammadiyah dalam Masyumi hampir 14 tahun, membuat amal usaha Muhammadiyah tidak terurus dengan baik. Dengan kembali pada khittahnya, maka orientasi gerakan Muhammadiyah dikembalikan kepada pemberdayaan masyarakat, peningkatan kualitas individu dan masyarakat.

12

BAB III PENUTUP


III.1 KESIMPULAN Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Muhammadiyah adalah organisasi yang telah bertahan dan terus eksis dari periode penjajahan Belanda dan Jepang hingga saat ini. Muhammadiyah juga pernah menjadi anggota partai Masyumi dan menjadi anggota istimewa, walau pada akhirnya melepaskan diri dari partai tersebut pada masa pemerintahan Soekarno. Dan partai tersebut di bubarkan oleh Soekarno. Dari semua itu Muhammadiyah telah menjadi suatu organisasi yang konsisten terhadap tujuan awal berdirinya yaitu melakukan dakwah Islam Amar Maruf Nahi Munkar serta membangun masyarakat modern dengan menyelaraskan agama Islam. III.2 SARAN Untuk terus eksis dalam perkembangan zaman Muhammadiyah perlu untuk terus menampung aspirasi masyarakat dan peduli atas segala peristiwa yang terjadi di sekitarnya dan mengaktifkan organisasi kepemudaan Muhammadiyah sehingga citacita dari organisasi Muhammadiyah ini dapat terus dilanjutkan oleh generasi muda penerus bangsa.

13

You might also like