You are on page 1of 6

Dampak Kemiskinan terhadap Pendidikan Diposting oleh rulam | Tanggal: July 6th, 2009 | Kategori: Nasional BAGI bangsa

yang ingin maju, pendidikan merupakan sebuah kebutuhan. Sama dengan kebutuhan perumahan, sandang, dan pangan. Bahkan, ada bangsa atau yang terkecil adalah keluarga, pendidikan merupakan kebutuhan utama. Artinya, mereka mau mengurangi kualitas perumahan, pakaian, bahkan makanan, demi melaksanakan pendidikan anakanaknya. SEHARUSNYA negara juga demikian. Apabila suatu negara ingin cepat maju dan berhasil dalam pembangunan, prioritas pembangunan negara itu adalah pendidikan. Jika perlu, sektor-sektor yang tidak penting ditunda dulu dan dana dipusatkan pada pembangunan pendidikan. NEGERI ini telah lebih dari 20 tahun melaksanakan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 6 Tahun dan telah 10 tahun melaksanakan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun. Maksud dan tujuan pelaksanaan wajib belajar adalah memberikan pelayanan kepada anak bangsa untuk memasuki sekolah dengan biaya murah dan terjangkau oleh kemampuan masyarakat banyak. Apabila perlu, pendidikan dasar enam tahun seharusnya dapat diberikan pelayanan secara gratis karena dalam pendidikan dasar enam tahun atau sekolah dasar kebutuhan mendasar bagi warga negara mulai diberikan. Di sekolah dasar inilah anak bangsa diberikan tiga kemampuan dasar, yaitu baca, tulis, dan hitung, serta dasar berbagai pengetahuan lain. Setiap wajib belajar pasti akan dimulai dari jenjang yang terendah, yaitu sekolah dasar. Seperti diketahui, sebagian besar keadaan sosial ekonomi masyarakat kita tergolong tidak mampu. Dengan kata lain, mereka masih dililit predikat miskin. Mulai Inpres Nomor 10 Tahun 1971 tentang Pembangunan Sekolah Dasar dan inpres- inpres selanjutnya, negeri ini telah berusaha memberikan pendidikan murah untuk anak bangsanya. Puluhan ribu gedung sekolah dasar telah dibangun dan puluhan ribu guru sekolah dasar diangkat agar pemerataan kesempatan belajar untuk jenjang sekolah dasar dapat dilaksanakan dengan murah, dari kota sampai ke desa-desa. Semua warga negara, kaya atau miskin, diberi kesempatan yang sama untuk menikmati pendidikan dasar enam tahun yang biayanya dapat dijangkau golongan miskin. Kejadian itu dapat dinikmati dalam jangka waktu cukup lama, yaitu sejak dicetuskannya Wajib Belajar Pendidikan Dasar 6 Tahun tahun 1984. Sayang, gema wajib belajar itu makin hari makin melemah karena komitmen bangsa ini pada wajib belajar tidak seperti saat dicanangkan. Jika selama ini kita melihat pendidikan tinggi itu mahal, sekolah menengah juga mahal, SMP juga mahal, sekarang kita saksikan memasuki sekolah dasar pun sudah mahal. Kini kita melihat, hampir semua jenjang sekolah negeri sudah menjadi lembaga komersialisasi karena yang berbicara tidak lagi persyaratan-persyaratan yang ditentukan oleh kurikuler, tetapi justru besarnya biaya masuk untuk sekolah dasar. Jika untuk masuk sekolah dasar ditentukan oleh umur, maka seorang anak yang sudah berumur tujuh tahun atau lebih wajib diterima sebagai murid sekolah dasar. Ini adalah ketentuan yang tidak boleh ditawar karena ketentuan untuk masuk sekolah dasar adalah berdasarkan umur.

Agaknya pelaksanaan wajib belajar negeri ini adalah slogan yang selalu didengungdengungkan. Padahal, dalam kenyataannya, pelaksanaan wajib belajar dihalang-halangi, karena untuk masuk sekolah dasar pun kini harus membayar mahal sehingga masyarakat miskin tidak mungkin dapat membayarnya. Maka terjadilah hal yang sebenarnya tidak perlu terjadi apabila semua pihak, terutama guru dan kepala-kepala sekolah, menghayati tujuan wajib belajar itu. Bagi masyarakat dan orangtua yang kaya, anaknya akan dapat bersekolah di sekolah negeri, sedangkan yang miskin akan gagal dan tidak bersekolah. Untuk masuk ke sekolah swasta, masyarakat miskin tidak mungkin mampu membayarnya. Akibatnya, banyak anak bangsa yang tidak akan memperoleh kesempatan memperoleh pendidikan. Sungguh satu hal yang ironis. Sebab, pada negara yang hampir 60 tahun usianya ini, banyak anak bangsanya akan menjadi buta huruf karena dililit kemiskinan dan negeri ini akan terpuruk karena kualitas sumber daya manusianya tidak mampu bersaing dengan negara- negara yang lain. PENULIS sengaja memfokuskan tulisan ini pada kesempatan untuk memperoleh pendidikan dasar enam tahun karena bagi warga negara sekurang-kurangnya harus memiliki kemampuan setingkat sekolah dasar, dengan harapan akan memperoleh pendidikan lanjutan. Dengan memiliki dan dibekali kemampuan dasar itu, seorang warga negara akan memiliki harga diri, dapat menambah wawasan melalui kemampuan baca, sehingga ia menjadi warga negara yang tidak picik, mampu menerima pembaruan, dan meningkatkan kemampuannya. Apabila praktik-praktik pungutan yang diadakan sekolah- sekolah dibiarkan dan tidak ditertibkan, maka akan bertambah banyaklah deretan anak- anak yang tidak bersekolah karena tidak mampu. Dan hanya anak-anak orang kaya saja yang akan memperoleh pendidikan dari tingkat terbawah sampai ke tingkat yang tinggi. Akibat dari itu semua, negeri ini akan dihuni golongan kaya dan terdidik yang akan membentuk kelas tersendiri dalam masyarakat. Di lain pihak akan terdapat keluarga miskin dan tidak terdidik yang merupakan golongan terbesar di negeri ini. Jika itu terjadi, alangkah rusaknya struktur masyarakat di negeri ini, yang berakibat terjadinya kesenjangan sosial yang tidak kita inginkan. Anehnya, kejadiankejadian itu justru terjadi di era otonomi daerah, yang seharusnya ada perubahan menuju kebaikan dalam pelaksanaan proses pendidikan. Diharapkan pelaksanaan pembangunan pendidikan di daerah akan lebih baik karena banyak daerah menyediakan dana pendidikan yang tidak sedikit, yang seharusnya pungutan-pungutan itu tidak perlu terjadi. Adalah suatu kekeliruan yang telah dibuat bahwa wewenang pendidikan yang begitu luas diberikan kepada kabupaten dan kota. Padahal, di daerah-daerah belum tersedia tenagatenaga pendidikan yang memenuhi syarat untuk melaksanakan pendidikan di daerahnya. Banyak pejabat yang menangani masalah pendidikan tidak tahu benar akan tugasnya. Lebihlebih fungsi pengawasan yang menjadi syarat utama dalam proses pendidikan tidak berfungsi. Akibatnya, banyak kepala sekolah yang cenderung mengambil keputusan sendiri- sendiri dengan melanggar ketentuan yang ada, antara lain melaksanakan pungutan untuk masuk sekolah.

MENURUT pengamatan penulis, alasan diadakannya pungutan yang memberatkan itu antara lain untuk kesejahteraan guru dan pembangunan lokal tambahan. Kedua alasan itu adalah alasan klasik yang sudah lama terjadi. Akan tetapi, pungutan yang dilakukan akhirakhir ini dinilai sudah tidak wajar karena jumlahnya begitu besar dan memberatkan, terutama bagi yang miskin. Untuk mengatasi semua itu: pertama, janganlah kemiskinan dijadikan penyebab terhambatnya anak bangsa untuk memperoleh pendidikan. Kedua, guru atau profesi guru adalah profesi khusus. Profesi guru tidak sama dengan pegawai negeri lain. Tugasnya terikat pada waktu dan tempat. Karena itu, penggajian pada guru harus berbeda dari pegawai negeri lainnya, agar mereka dapat bekerja dengan tenang dan tidak perlu memikirkan untuk pungutan-pungutan yang tidak sah. Ketiga, apabila penghasilan guru sudah dapat memenuhi kebutuhan pokoknya, diharapkan berbagai pungutan tidak terjadi. Jika melanggar berbagai ketentuan itu, mereka harus dikenai sanksi. Keempat, kepada pengelola pendidikan dan komite sekolah, harus selalu ada koordinasi dengan sekolah agar ketentuan- ketentuan kurikuler, terutama dalam penerimaan murid baru, dapat berjalan menurut ketentuan yang ada. Djauzak Ahmad Mantan Direktur Pendidikan Dasar; Ketua Majelis Pendidikan Riau

Sumber : www.kompas.com

Mutu Pendidikan Rendah Akibat Korupsi Kamis, 24 Maret 2011 | 8:22 [MEDAN] Anggaran pendidikan tidak berbanding lurus dengan peningkatan mutu pendidikan di daerah terjadi karena pejabat dinas pendidikan dipilih bukan karena kualitas melainkan keinginan kepala daerah. Pejabat pendidikn yang dipilih lebih mudah untuk disetir, terutama dalam memotong dana bantuan yang dikucurkan pemerintah pusat melalui anggaran pemerintah belanja negara (APBN). "Ini masih terjadi di setiap kabupaten maupun kota. Sangat banyak ditemukan kejanggalan kejanggalan dalam mengucurkan anggaran. Pemotongan dana dilakukan saat mencairkan anggaran. Mulai dari tingkat provinsi sampai ke tingkat kabupaten," ujar Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Sekolah, Roder Nababan kepada SP di Medan, Sumatera Utara (Sumut), Kamis (24/3). Menurutnya, mutu pendidikan di sekolah sulit untuk berkembang selama pemerintah masih tetap mempertahankan beberapa program yang tidak jelas. Di antara program pembangunan pendidikan yang tidak jelas itu adalah pelaksanaan ujian nasional (UN). Meski sudah banyak merenggut korban jiwa dari kalangan pelajar, pemerintah tetap bersikeras untuk melanjutkan ujian tersebut. "Ini belum termasuk penempatanjabatan kepala dinas pendidikan maupun kepala sekolah oleh kepala daerah. Banyak orang yang profesional dan berkualitas justru tidak mendapatkan posisi yang baik. Sementara itu, orang yang tidak mengetahui masalah pendidikan justru ditempatkan untuk menduduki jabatan sebagai kepala dinas mupun kepla sekolah. Salah satu kasus ini terjadi di Tapanuli Utara," katanya. [155] http://www.suarapembaruan.com

Pengaruh Kekerasan terhadap Tumbuh Kembang Anak 31-12-2010 diposkan oleh melindacare Mendidik anak memang suatu hal yang gampang-gampang sulit. Bila Anda sebagai orangtua mendidik anak dengan benar, maka sang anak pun akan berkembang ke arah yang kita inginkan baik secara fisik, mental, spiritual dan intelegensia. Namun bila sejak awal Anda telah salah langkah dan tidak menyadari kesalahan tersebut, jangan heran bila kelak kemampuan dan tumbuh kembang anakAnda tidak berkembang seperti yang diharapkan. Salah satu cara yang kurang tepat dalam mendidik anak adalah menerapkan metode dengan kekerasan. Hal ini biasanya Anda lakukan untuk mencoba menerapkan disiplin pada sang anak atau memberi hukuman saat anak Anda melakukan kesalahan. Metode kekerasan seperti ini sering ditemui pada keluarga yang orangtuanya merupakan aparat penegak hukum seperti tentara atau polisi. Sepertinya, mereka melakukan hal tersebut karena didasari oleh latar pekerjaan mereka yang mendapatkan pendidikan keras ala militer sehingga berusaha menerapkannya juga pada keluarga mereka. Selain latar belakang pekerjaan, kadang secara tidak sadar Anda juga bisa melakukan kekerasan pada anak karena tidak mampu mengontrol emosi. Sebagai manusia, wajar bila Anda suatu saat merasa emosi baik karena ada masalah di kantor maupun stres karena kemacetan dan sebab-sebab lainnya. Hal tersebut terkadang membuat Anda tidak mampu berpikir jernih dan khilaf dengan melakukan kekerasan pada anak Anda saat mereka melakukan kesalahan. Bila Anda termasuk orangtua yang menerapkan disiplin dengan cara kekerasan, sebaiknya Anda berpikir ulang mulai sekarang. Tidak semua anak mampu dididik dengan cara keras, meskipun ada pula sebagian kecil yang mampu bertahan dengan didikan ala militer tersebut. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa mendidik anak dengan kekerasan lebih banyak efek negatifnya dibandingkan dampak positif yang dihasilkan. Murray Strauss, seorang peneliti dari New Hampshire University, Amerika Serikat, melakukan penelitian terhadap 1.510 anak, baik yang mendapatkan perlakuan kasar dari orangtuanya maupun tidak. Semua anak tersebut menjalani tes IQ pada saat memulai penelitian dan pada akhir penelitian. 4 tahun kemudian atau di akhir penelitian, Murray mendapatkan hasil bahwa anak-anak yang tidak mengalami kekerasan di rumahnya mengalami peningkatan IQ antara 2,8 hingga 5 poin, sementara IQ anak-anak yang mengalami kekerasan cenderung statis dan kesulitan untuk mengikuti jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Penelitian lain yang dilakukan oleh Duke University, Amerika Serikat, juga memperkuat hasil penelitian di atas. Hasil penelitian di Duke menunjukkan bahwa anak-anak balita yang sering mendapatkan perlakuan kasar cenderung memiliki IQ yang rendah. Penelitian yang dilakukan terhadap anak-anak berumur satu tahun yang mengalami kekerasan dari orangtuanya tersebut ternyata membuat mereka memiliki kemampuan kognitif yang lebih

rendah setelah kembali diteliti dua tahun kemudian dibandingkan dengan anak-anak yang tidak mendapatkan perlakuan kasar. Selain dalam hal IQ, ternyata perlakuan kasar orangtua dalam mendidik anak juga berpengaruh terhadap perilaku dan tumbuh kembang anak di kemudian hari. Sebuah penelitian mengenai kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh Tulane University, Amerika Serikat, memaparkan fakta bahwa anak-anak berusia tiga tahun yang sering mengalami kekerasan secara fisik dari orangtuanya akan bersikap lebih agresif saat sang anak menginjak usia lima tahun. Perilaku agresif tersebut akan meningkat sejalan dengan lebih seringnya kekerasan yang dialaminya. Mulai dari sekarang, didiklah anak Anda dengan cara yang halus, karena tindakan kekerasan yang dilakukan orangtua merupakan pengalaman yang traumatik bagi anak. Semakin sering anak mendapatkan kekerasan, maka akan semakin lambat juga perkembangan kemampuan mental mereka. Berbagai penelitian juga telah menunjukkan bahwa kejadian yang traumatik akan berakibat buruk bagi otak. Di samping itu, trauma tersebut juga akan membuat anak Anda stres pada kejadiankejadian yang sulit dihadapi dan lebih jauh lagi akan berdampak buruk pada perkembangan kognitifnya. Didikan yang terlalu keras juga akan menghambat kreativitas dan kemampuan anak Anda untuk berpikir secara bebas, selain itu juga anak Anda tidak terlatih untuk mengerahkan segenap kemampuan yang dimilikinya.

You might also like