You are on page 1of 12

1

LEGAL STANDING DALAM PERSPEKTIF GUGATAN WARIS DAN URGENSINYA


Oleh : Drs. H. SUHADAK, SH., MH. Wakil Ketua Pengadilan Agama Mataram

Latar Belakang Salah satu prinsip yang mendasar dalam hukum kewarisan di Pengadilan Agama adalah Ijbari, prinsip ini berarti bahwa peralihan harta dari seorang yang telah meninggal dunia, berlaku dengan sendirinya menurut kehendak Allah swt. Ahli waris tidak berhak mengubah ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah tersebut, dan harus menerima kenyataan perpindahan harta pewaris kepada ahli waris sesuai menurut ketentuan dalam Nash. Prinsip Ijbari ini terlihat dari aspek legitimasi ahli waris, harta waris, dan bagian harta waris yang diterima ahli waris. Legitimasi ahli waris ditetapkan berdasarkan hubungan tertentu, terutama hubungan kekerabatan dan berhubungan pernikahan.1 Ada dua garis hubungan hukum yang harus terurai dalam gugatan waris dan harus dibuktikan untuk legitimasi ahli waris di Pengadilan Agama yakni : 1. Garis hukum hubungan perkawinan. Bahwa di antara keduanya(suami istri) sudah menikah secara sah. Dan antara suami istri masih dalam ikatan perkawinan di waktu salah satu pihak meninggal dunia. 2. Ketentuan yang di gariskan sesuai dengan hukum Islam dan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku di Pengadilan Agama. Buku Nikah sebagai alat bukti Legitimasi ahli waris berarti menunjukan bahwa yang bersangkutan sudah menikah secara sah dan bahkan dilengkapi pula oleh pengakuan dari para pihak yang berperkara serta saksi-saksi. Kenyataan masih adanya oknom di masyarakat yang melakukan kawin cerai secara illegal atau masih adanya perkawinan yang tidak mempunyai akta cerai khususnya di wilayah hukum Pengadilan Tinggi Agama Mataram, menunjukan peluang adanya illegal standing dalam perspektif gugatan waris di wilayah Pengadilan Tinggi Agama Mataram (Data perkara Istbat Nikah Pengadilan Agama Selong, Praya, Giri menang dan Mataram
masing-masing lebih dari 100 perkara lihat perkara 2010).

Drs,Hajar M, Legitimasi Ahli waris di Pengadilan Agama Dalam Perspektif Fiqih. Majalah Mimbar Hukum No, 40, tahun 1988, hlm. 40.

Sebagai ilustrasi pewaris ketika masih hidup nikah secara resmi dan mempunyai buku Nikah, tak lama isterinya meninggal dunia, Lalu suami menikah lagi di bawah tangan mempunyai 2 (dua) anak, kemudian nikah lagi di bawah tangan punya 2 (dua) anak, kemudian cerai liar dan kawin lagi dan seterusnya, ilustrasi tersebut bukanlah fiktif akan tetapi telah terjadi, sehingga dalam penanganan perkara kewarisan perlu kehatihatian Majlis Hakim, terutama dalam hal Legal Standing. Oleh karena itu sebelum membahas lebih luas dan agar tidak terjadi salah arti dalam persepsi terhadap judul makalah LEGAL STANDING DALAM PERSPEKTIF GUGATAN WARIS DAN URGENSINYA maka perlu kiranya di urai maksud dari judul tersebut. Kata legal berarti Hukum, Standing berdiri (kamus
Hukum, Subekti)

menurut Prof.

Dr. Jimly Asshiddiqie. SH. Legal Standing diartikan kedudukan Hukum 2. Standing dapat diartikan secara luas yaitu akses orang perorangan ataupun kelompok/organisasi di Pengadilan sebagai pihak Penggugat. Kata perspektif (perspectives) berarti Pemandangan, kata Urgensi (Urgencies) berarti Keadaan yang mendesak. 3 Dari uraian kata tersebut di atas, maka maksud dari judul Makalah yang di kehendaki menurut pemahaman penulis adalah kedudukan Hukum Penggugat/ pihak berperkara dalam kaitanya pengajuan gugatan waris yang sangat perlu medapat perhatian khususnya bagi Hakim dalam menerima memeriksa dan memutus perkara warisan. Setidaknya ada dua permasalahan yang ingin Penulis angkat dalam Tulisan ini yaitu : 1. Terkait anak-anak yang belum dewasa menggugat waris mendiang orang tuanya. 2. Terkait Isteri yang menggugat waris terutama tentang status perkawinannya. Rumusan Masalah 1. Apakah Anak yang masih belum dewasa dapat melakukan tindakan hukum dalam mengajukan perkara waris?, Hal-hal apa sajakah yang harus di penuhi? Apa akibat hukum jika tidak memenuhi Legal Standing? Lantas bagaimana solusinya bagi hakim yang menangani perkara tersebut?. 2. Apakah yang menjadi dasar hukum seorang Istri dalam mengajukan gugatan waris?, Dapatkah perkara waris di gabung dengan perkara istbat nikah?, Apa akibat Hukumnya jika status isteri tidak memenuhi Legal Standing?, bagaimanakah mengambil alternatif solusinya? Mungkinkah hakim di tingkat banding bersedia

dalam menyikapi terhadap berkas yang diperiksa mengandung Ilegal standing?


2

Jimly Asshiddiqie, Prof.DR, Putusan MK. No.007/PUUIV/2006. Data Update godle, Internet tanggal 17 November 2010.

PEMBAHASAN Prinsip-prinsip gugatan dalam perkara Perdata, menurut Prof. Dr. H. Abdul Manan, SH., SIP., M. Hum, dalam bukunya penerapan Hukum acara perdata di lingkungan Peradilan Agama 4adalah: a. Harus Ada Dasar Hukum, Sesuai dengan ketentuan Pasal 118 HIR dan pasal 142 Rbg bahwa barang siapa yang merasa hak pribadinya dilanggar oleh orang lain sehingga mendatangkan kerugian, maka ia dapat meminta Pengadilan untuk menyelesaikan masalah itu sesuai dengan hukum yang berlaku. b. Adanya Kepentingan Hukum Tidak setiap orang yang mempunyai kepentingan dapat mengajukan gugatan, apabila kepentingan itu tidak langsung dan melekat pada dirinya. Oleh karena itu perlu dipertimbangkan apakah penggugat betul-betul orang yang berhak mengajukan gugatan, yang terurai dalam kedudukan pihak, identitas dan posita selanjutnya dapat dibuktikan dalam persidangan sehingga kedudukan hukum (Legal Standing) Penggugat menjadi jelas . c. Merupakan Suatu Sengketa Sebagaimana ketentuan PS 118 HIR/132 Rbg, gugatan yang diajukan tanpa adanya pihak Tergugat atau yang bersifat Valuntair bukanlah kewenangan Pengadilan untuk meneruskannya. Hal ini sesuai azas point dinternt, point daction atau geen belaang geenactie (tidak ada sengketa tidak ada perkara). Kecuali yang yang telah ditentukan oleh Undang-undang, seperti UU no. 7 tahun 1989 yang telah memberikan kepada Hakim Jurisdictio Volontaria seperti permohonan untuk ditetapkan sebagai ahli waris yang sah, penetapan Wali Adhal, Istbat Nikah dan lain-lain. d. Dibuat Dengan Cermat dan Terang Pasal 118 HIR jo.pasal 142 ayat (1) Rbg menyebutkan gugatan dapat diajukan secara tertulis kepada Pengadilan. Dan Pasal 120 HIR/144 ayat (1) Rbg dapat juga diajukan secara lisan kepada Pengadilan. Oleh karena itu dalam pembuatan surat gugatan harus di buat secara cermat dan selengkap-lengkapnya. e. Memahami Hukum Formil dan Matriil Dalam praktik Peradilan Agama sangat sulit ditemukan para Penggugat yang mengetahui Hukum Formil dan Matriil secara utuh, termasuk Legal standing, meskipun terkadang perkara yang diajukan menggunakan jasa pemberi bantuan Hukum.
4

Abdul Manan, Prof.DR, SH,Sip,M.Hum, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Fajar Pratama Offset, Jakarta, 2006 hlm. 1723.

Apapun yang menjadi prinsip dalam gugatan, harus terekam jelas dalam identitas dan kedudukan para pihak dan harus terekam dengan jelas pula dalam posita, ini merupakan esensi gugatan yang berisi hal-hal penegasan hubungan hukum antara Penggugat dengan obyek yang di sengkatakan pada satu segi, hubungan hukum antara Penggugat dengan Tergugat serta hubungan Tergugat dengan obyek sengketa pada segi lain.5 Berpijak dari prinsip-prinsip gugatan tersebut di atas dikaitkan dengan permasalahan yang sering terjadi dalam pemeriksaan perkara waris khususnya yang memenuhi Standar Legal Standing, menurut penulis sangatlah urgen untuk dibahas. I. Permasalahan Pertama Permasalahan Anak yang dibawah umur dalam kapasitas menjadi penggugat dalam perkara waris bersama ibunya. Masih saja terjadi dengan tanpa memenuhi kriteria Legal Standing. Contoh kasus: Dalam gugatan waris yang diajukan oleh anak-anak di bawah umur bersama Ibunya melalui Kuasa Hukum (Advokad). Seharusnya Ibu yang menjadi wali, disamping bertindak atas nama sendiri juga bertindak atas nama anak-anaknya yang di bawah umur tetapi dalam prakteknya mereka justru membuat surat kuasa khusus. Ketika Ibu yang mengajukan gugatan waris bersama anak-anaknya yang belum dewasa, apakah harus membuat surat kuasa khusus atau mengajukan perkara perwalian terlebih dahulu ataukah tidak perlu membuat surat kuasa khusus?. Dalam hal orang tua yang bertindak hukum bersama anak-anaknya yang belum dewasa, maka berdasarkan Pasal 45 ayat (2) UU no. 1 tahun 1974 menyebutkan bahwa orang tua dengan sendirinya menurut hukum berkedudukan dan berkapasitas sebagai wali anak-anak sampai mereka dewasa. Oleh karena itu orang tua adalah kuasa yang mewakili kepentingan anak-anak yang belum dewasa kepada pihak ke tiga maupun di depan Pengadilan tanpa memerlukan surat kuasa khusus dari anak tersebut. 6 Selanjutnya wali dengan sendirinya menurut hukum menjadi kuasa untuk bertindak mewakili kepentingan anak yang berada di bawah perwalian. ketentuan (Pasal 51 UU No. 1 tahun 1974).
7

sebagaimana

M.Yahya Harahap,SH, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Sinar Grafika, Jakarta, 1989, hlm. 195. M.Yahya Harahap,SH, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, Hlm. 9. Pasal 51 UndangUndang Nomor. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Masih ada kasus dalam hal penyerahan kuasa anak-anak yang belum dewasa terhadap penerima kuasa (oknom Pengacara), masih ditemukan pemberi kuasa tanda tangan dan ada yang cap jempol, padahal mereka belum dewasa. Disisi lain seorang Kuasa Hukum/oknom Pengacara telah bertindak atas nama anak-anak yang beleum dewasa tidak bersama orang tuanya berdasarkan surat kuasa khusus yang dibuat di hadapan Notaris. Kasus seperti ini menurut penulis tidaklah memenuhi standar Legal Standing dalam perspektif gugatan waris. Karena terlebih dahulu tidak ditunjuk perwaliannya. Seharusnya terhadap anak yang belum dewasa yang bertindak hukum tidak bersama orang tuanya, di tunjuk terlebih dahulu walinya berdasarkan Penetapan Pengadilan Agama. Jadi tidak dengan cara membuat surat kuasa khusus. Akibat hukumnya, oleh karena tidak memenuhi prinsip-prinsip gugatan, dan gugatan menjadi tidak jelas dan kabur atau obscur Libel dan Error in persona dalam bentuk diskualifikasi, maka Hakim harus menyatakan perkara tersebut tidak dapat diterima (Neet On Vrankelij Verklaaj). Solusinya Hakim tingkat pertama sebelum memeriksa pokok perkara terlebih dahulu dengan cermat memeriksa Legal Standing terhadap pihak-pihak berperkara baik yang tertera dalam surat kuasa khusus maupun yang termuat dalam gugatan. II. Permasalahan Kedua Permasalahan yang menjadi dasar hukum seorang istri dalam mengajukan gugatan waris ataupun menjadi pihak dalam perkara waris, haruslah jelas tergambar eksistensinya, sehingga terpenuhi legal standing. Contoh kasus, dalam posita terurai bahwa pewaris telah meninggalkan seorang istri tanpa menyebut status perkawinannya, kapan nikahnya, dan apakah statusnya ketika pewaris masih hidup, istri tersebut sudah bercerai atau tidak, hal mana kedudukan hukum (Legal Standing) harus dibuktikan dengan akta nikah, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam bahwa perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan dengan akta nikah yang dibuat oleh PPN. Sedangkan perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan PPN tidak mempunyai kekuatan hokum.8 (Pasal 6 ayat (2) KHI). Berpijak dari ketentuan pasal tersebut, maka akibat hukum terhadap ketidak jelasan kedudukan hukum pihak istri yang mengajukan gugatan warisan tidak memenuhi

Pasal 6 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam.

kriteria Legal Standing dan prinsip-prinsip gugatan, maka hakim harus menyatakan gugatan tidak dapat diterima/NO. Apabila telah ternyata hubungan hukum antara pewaris dengan istri tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah, karena pernikahannya di bawah tangan, apakah istri tersebut dapat mengajukan penggabungan perkara antara perkara warisan dengan perkara istbat nikah?. Pada dasarnya HIR maupun Rbg tidak mengatur tentang komulasi gugatan, akan tetapi dalam perkembangannya, kalau antara masing-masing gugatan terdapat hubungan erat penggabungan dapat dibenarkan untuk memudahkan proses dan menghindari terjadinya kemungkinan putusan yang saling bertentangan.9 Oleh karena itu agar penggabungan gugatan sah dan memenuhi syarat diantaranya harus terdapat hubungan yang sangat erat. Menurut penulis komulasi gugatan waris dengan istbat nikah tidak dapat dibenarkan, karena antara gugatan yag pertama yaitu perkara waris dan kedua perkara istbat nikah keduanya saling terpisah dan berdiri sendiri. Apabila pernikahan antara pewaris dengan istri pewaris, yang tidak dapat dibuktikan dengan akta Nikah, maka istri pewaris dapat mengajukan perkara istbat nikah tersendiri, sebagai bukti sahnya pernikahan antara pewaris dengan istri pewaris sehingga kriteria Legal Standing/ kedudukan hukum isteri menjadi jelas. Akibat hukum jika tidak terpenuhi Legal Standing dalam perspektif perkara waris baik terhadap anak di bawah umur yang bertindak hukum, maupun perkawinan yang tidak jelas antara pewaris dengan istrinya menyebabkan Cacat Formil, hal ini terjadi atas kekeliruan atau kesalahan yang bertindak sebagai Penggugat maupun yang ditarik sebagai Tergugat, diskualifikasi mengandung error in persona. Menurut Yahya Harahap, SH. Diskualifikasi in person terjadi apabila yang bertindak sebagai Penggugat orang yang tidak memenuhi syarat (diskualifikasi), Akibatnya person yang illegal standing 1. Tidak mempunyai hak untuk menggugat perkara yang disengketakan, karena perkawinan antara pewaris dengan istrinya tidak jelas. 2. Tidak cakap melakukan tindakan hukum, orang yang berada di bawah umur atau di bawah perwalian, tidak cakap melakukan tindakan hukum, oleh karena itu, mereka tidak dapat bertindak sebagai Penggugat tanpa bantuan orang tua atau wali, dan gugatan yang diajukan mengandung Cacat Formal Error in Persona dalam bentuk diskualifikasi karena yang bertindak sebagai Penggugat orang yang
9

M.Yahya Harahap,SH, Hukum Acara Perdata, OpCit, hlm. 103.

tidak memenuhi syarat.10 Oleh karena itu gugatan Cacat Formil yaitu error in personadalam bentuk diskualifikasi, maka gugatan harus dinyatakan Neet On Vrankelij Verklaj (NO) atau tidak dapat diterima. Harapan penulis ada alternatif Pemeriksaan di Tingkat Banding Menurut M. Yahya Harahap, SH. (Kedududkan kewenangan dan acara pada peradilan Agama,1990.hlm 377). Terungkap bahwa, Tujuan utama pemeriksaan tingkat banding adalah untuk mengevaluasi dan mengeluarkan segala kesalahan dan kekeliruan dalam penetapan hukum. Jika sekiranya Pengadilan Tingkat Banding berpendapat pemeriksaan sudah tepat menurut tata cara yag ditentukan oleh UU dan amar putusan sudah sesuai dengan hukum yang berlaku dalam perkara yang bersangkutan; maka Hakim di Tingkat Banding berwenang untuk menguatkan putusan tersebut dengan cara mengambil alih seluruh pertimbangan dan putusannya sendiri. Sebaliknya jika berpendapat bahwa perkara yang diperiksa oleh Pengadilan Tingkat Pertama terdapat kesalahan dalam penerapan hukum atau kekeliruan cara mengadilinya, maka berwenang untuk membatalkanya dan mengadili sendiri dengan putusan yang dianggap benar sebagai koreksi dari pada putusan Pengadilan Tingkat Pertama.11 Dalam menyikapi ketidak jelasan kedudukan hukum (Illegal Standing) terhadap tindakan hukum bagi anak di bawah umur dan status keabsahan istri yang mengajukan perkara waris atau menjadi pihak, yang menurut hakim mengandung cacat formil error in persona dalam bentuk diskualifikasi karena yang bertindak sebagai penggugat orang yang tidak memenuhi syarat, maka Pengadilan Tingkat Banding dapat menjatuhkan putusan Negatif yakni perkara tersebut di NO. Namun harapan penulis Hakim Tingkat Banding dalam mengambil sikap, ada cara yang lebih elegan dan memenuhi azas sederhana, cepat dan biaya ringan. Adalah dengan mengambil alternative yang ke dua. Menurut Penulis hakim tingkat Banding adalah termasuk Yudex Faxtei. Sehingga apabila dalam pemeriksaan pada tingkat Banding, ditemukan hal-hal yang memerlukan penyelesaian lebih lanjut, guna menambah pembuktian, maka PTA dapat memerintahkan Pengadilan Tingkat Pertama untuk menambah kesempurnaan pemeriksaan, terkait Legal Standing, baik terhadap kasus anak dibawah umur maupun terhadap status perkawinan isteri dengan pewaris. Dengan menjatuhkan Putusan Sela terlebih dahulu sebelum Putusan akhir, atau ada alternatif pilihan bahwa peperiksaan tambahan itu dapat dilaksanakan secara langsung, oleh PTA
10

Ibid, hlm. 111112. Abdul Manan, OpCit, hlm. 344

11

terhadap pihak-pihak yang berperkara. Sekiranya pemeriksaan dilaksakan secara langsung, maka dalam amar Putusan Sela harus ditegaskan bahwa pemeriksaan tambahan tersebut dilakukan sendiri oleh PTA. Jika pemeriksaan tembahan tersebut diperintahkan kepada Pengadilan Tingkat Pertama yang memutuskan perkara, maka amar Putusan Sela PTA sekaligus memuat perintah melakukan pemeriksaan serta memerinci hal-hal apa saja yang harus diperiksa lagi oleh Pengadilan Agama. Cara yang kedua inilah yang menurut Penulis lebih memenuhi azas sederhana, cepat dan biaya ringan. Walaupun demikian hakim di tingkat pertama, tentu diharapkan lebih teliti dalam memeriksa perkara, sehingga Legal Standing dalam Perspektif Perkara Waris dan Urgensinya dapat memenuhi harapan bagi keadilan dimasyarakat dan dapat meningkatkan mutu pemeriksaan dan Putusan, yang pada akhirnya terpenuhi cita-cita Lembaga Peradilan yaitu Terciptanya Pengadilan yang Agung. Sesuai Visi dan Misi Peradilan. KESIMPULAN Dari uraian permasalahan dan pembahasan tentang makalah yang berjudul Legal Standing dalam Perspektif perkara waris dan urgensinya, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut bahwa: 1. a. Anak di bawah umur apabila melakukan tindakan hukum dalam perkara waris harus bersama orang tuanya atau walinya. b. Dalam Surat gugatan harus tergambar dengan jelas bahwa kedudukan orang tua yang bertindak atas nama diri sendiri dan menjadi kuasa dari anak-anaknya, begitu juga dengan kuasa hukum harus pula dengan jelas tergambar kedudukan Hukum (Legal Standing). c. Ketidak Jelasan identitas, kedudukan dan Posita menjadikan gugatan cacat formil Error in persona, akibatnya gugatan tidak dapat diterima (NO). 2. a. Isteri Pewaris yang berkedudukan sebagai Penggugat atau sebagai pihak berperkara harus tergambar dengan jelas tentang status perkawinannya, yang dibuktikan dengan Akta Nikah. b. Perkara istbat Nikah tidak dapat di komulasikan dengan perkara Waris, dan harus di ajukan tersendiri. c. Ketidak jelasan identitas, kedudukan pihak maupun posita yang menjadikan gugatan cacat formil error in persona, maka hakim harus menyatakan gugatan tidak dapat diterima (NO).

d. Alternatif yang

lebih Elegan apabila Hakim Tingkat banding tidak terburu

menjatuhkan putusan Negatif dengan (NO) terhadap perkara yang tidak memenuhi Legal Standing, tetapi dengan mengambil sikap dengan Putusan Sela untuk mengadakan Pemeriksaan Tambahan baik dengan memerintah kepada Hakim Tingkat pertama ataupun menggelar Sidang Perkara tersebut di Majlis Tingkat Banding terkait Legal Standing, sehingga keadilan dirasa tuntas dan memenuhi azas, sederhana ,cepat dan biaya ringan. ====================== PENUTUP Makalah ini tentunya banyak kekurangan, baik dari cara penulisan maupun mutu materi, karena singkatnya waktu yang diberikan dan terbatasnya keilmuan yang penulis miliki, oleh karena itu saran dan perbaikan oleh pembanding maupun peserta Rakerda di Wilayah PTA Mataram, sangat di harapkan. Perbedaan pendapat adalah hal yang wajar dan lumrah, oleh karena itu dengan Lapang dada penulis menerimanya, yang sempurna hanyalah Alloh swt, kekurangan tentunya pada hamba yang dhoif seperti penulis. Akhirnya penulis sampaikan terima kasih atas kepercayaan yang di tugaskan oleh Bapak wakil Ketua Pengadilan Tinggi Agama Mataram, dan Mohon maaf terutama Kepada Bapak WKPTA dan para senior Hakim Tinggi PTA Mataram dan para Bapak Ketua PA sewilayah PTA Mataram dan rekan-rekan Pansek serta peserta Rakerda di Wilayah PTA Mataram. Hanya kepada Alloh swt, penulis mohon Ridhonya amin. DAFTAR BACAAN Assiddiqei Jimly, Prof.DR, Putusan MK no. 007/PUU-IV/2006 Abdul Manan, Prof.DR,SH, S.IP, M.Hum, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Fajar Pratama Offset, Jakarta, 2006. Hajar, M, Drs. Legitimasi Ahli Waris di Pengadilan Agama dalam Perspektif Fiqih, Majalah Mimbar Hukum, Nomor 40, Dirbinbapera, Jakarta, 1988. Harahap Yahya M, SH, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta 2004.

10

Harahap Yahya M.SH, Kedudukan Kewenangan dan Acara Pengadilan Agama, Sinar Grafika, Jakarta, 1989. Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan. Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Inpres nomor 1 tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam.

==============================

11

LEGAL STANDING DALAM PERSPEKTIF PERKARA WARIS DAN URGENSINYA

OLEH:

Drs.H.SUHADAK,SH,MH. Wakil Ketua Pengadilan Agama Mataram

MAKALAH
Di ajukan untuk memenuhi Tugas yang di Perintahkan oleh Bapak Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Agama Mataram, dalam Diskusi Permasalahan Hukum pada Rakerda Wilayah Pengadilan Tinggi Agama Mataram. Di Hotel Grand Legi Mataram Pada Tanggal 24-26 November2010

MATARAM

12

2010

You might also like