You are on page 1of 11

PERILAKU KEKERASAN Definisi Kekerasan dalam keluarga mencakup penganiayaan fisik, emosional, dan seksual pada anak-anak, pengabaian

anak, pemukulan pasangan, pemerkosaan terhadap suami/istri, dan penganiayaan lansia. Perilaku penganiayaan dan perilaku kekerasan yang tidak akan dapat diterima bila dilakukan orang yang tidak dikenal sering kali ditoleransi selama bertahun-tahun dalam keluarga. Dalam kekerasan keluarga, keluarga yang normalnya merupakan tempat yang aman, dan anggotanya merasa dicintai dan terlindungi, dapat menjadi tempat yang paling berbahaya bagi korban. Studi penelitian mengidentifikasi beberapa karakteristik umum kekerasan dalam keluarga dalam keluarga tanpa memerhatikan tipe penganiayaan yang ada. 1. Isolasi sosial Salah satu karakteristik kekerasan dalam keluarga ialah isolasi sosial. Anggota keluarga ini merahasiakan kekerasan dan sering kali tidak mengundang orang lain datang ke rumah mereka atau tidak mengatakan kepada orang lain apa yang terjadi. Anak dan wanita yang mengalami penganiayaan sering kali diancam oleh prnganiaya bahwa mereka akan lebih disakiti jika mengungkapkan rahasia tersebut. Anak-anak mungkin diancam bahwa ibu, saudara kandung, atau hewan peliharaan mereka akan dibunuh jika orang diluar keluarga mengetahui penganiayaan tersebut. Mereka ditakuti agak mereka menyimpan rahasia atau mencegah orang lain mencampuri urusan keluarga yang pribadi. 2. Penyalahgunaan kekuasaan dan kontrol Anggota keluarga yang melakukan penganiayaan hampir selalu berada dalam posisi berkuasa dan memiliki kendali terhadap korban, baik korban adalah anak, pasangan atau lansia. Penganiaya buakn hanya menggunakan kekuatan fisik terhadap korban, tetapi juga control ekonomi dan social. Penganiaya sering kali adalah satu-satunya

anggota keluarga yang membuat keputusan, mengeluarkan uang, atau diizinkan untuk meluangkan waktu diluar rumah dengan orang lain. Penganiaya melakukan penganiayaan emosional dengan meremehkan atau menyalahkan korban dan sering mengancam korban. Setiap indikasi kemandirian atau ketidakpatuhan anggota keluarga, baik yang nyata atau dibayangkan, biasanya menyebabkan peningkatan perilaku kekerasan. (Singer et al., 1995) 3. Penyalahgunaan alcohol dan obat-obatan lain Ada hubungan antara penyalahgunaan zat, teruatama alcohol, dengan kekerasan dalam keluarga. Hal ini tidak menunjukkan hubungan sebab dan akibat alcohol tidak menyebabkan individu menjadi penganiaya; sebalikanya, penganiaya juga cenderung menggunakan alcohol atau obat-obatan lain. Lima puluh sampai Sembilan puluh persen pria yang memukul pasangannya dalam rumah tangga juga memiliki riwayat penyalahgunaan zat. Jumlah wanita yang mengalami penganiayaan dan mencari pelarian dengan menggunakan alcohol mencapai lima puluh persen. (Commission on Domestic Violence, 1991). Akan tetapi, banyak peneliti yakinbahwa alcohol dapat mengurangi inhibisi dan membuat perilaku kekerasan lebih intens atau sering (Denham, 1995). Alkohol juga disebut sebagai faktor dalam kasus pemerkosaan terhadap pasangan kencan atau pemerkosaan oleh orang yang dikenal. CDCs Division of Violence Prevention melaporkan bahwa studi mengidentifikasi penggunaan alkohol atau obat yang berlebihan yang dikaitkan dengan penganiayaan seksual. Selain itu, penggunaan flunitrazepam (Rohypnol) digunakan untuk mengurangi korban potensial pemerkosaan terhadap pasangan kencan menigkat di Amerika Serikat walaupun obat tersebut ilegal (Smith, Wesson, & Calhoun, 1999). 4. Proses transmisi antargenerasi

Proses transmisi antargenerasi berarti bahwa pola perilaku kekerasan diteruskan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui model peran dan pembelajaran social (Humphreys, 1997; Tyra, 1996). Transmisi antargenerasi menunjukkan bahwa kekerasan dalam keluarga merupakan suatu pola perilaku yang dipelajari. Misalnya, anak-anak yang menyaksikan kekerasan dalam keluarga akan belajar dari melihat orang tua mereka bahwa kekerasan ialah cara menyelesaikan konflik dan bagian integral dalam suatu hubungan dekat. Statistik menunjukkan bahwa sepertiga pria penganiaya cenderung berasal dari rumah tangga yang terdapat tindak kekerasan, yang didalamnya mereka menyaksikan pemukulan terhadap istri atau mereka sendiri dianiaya. 50% wanita yang tumbuh di rumah yang di dalamnya terjadi tindak kekerasan cenderung mengira atau menerima tindak kekerasan dalam hubungan yang mereka jalin (Singer et al., 1995). Akan tetapi, tidak semua orang yang menyaksikan kekerasan dalam keluarga menjadi penganiaya atau pelaku kekerasan ketika dewasa sehingga factor tunggal ini saja tidak menjelaskan perilaku kekerasan yang terus ada. Macam-macam Kekerasan dalam Keluarga 1. Penganiayaan Pasangan Penganiayaan pasangan adalah perlakuan semena-mena atau penyalahgunaan seseorang oleh orang lain dalam konteks hubungan intim. Penganiayaan dapat berupa penganiayaan emosional, psikologis, fisik, seksual atau kombinasi semua tipe tersebut, yang umum terjadi (Singer et al., 1995). Penganiayaan psikologis atau emosional antara lain mengejek, meremehkan berteriak dan memekik, merusak barang dan mengancam serta bentuk penganiayaan yang lebih tidak kentara, misalnya menolak berbicara dengan korban atau berpura-pura tidak melihat korban. Penganiayaan fisik dapat berkisar dari mendorong dan mendesak sampai pemukulan berat dan

mencekik, yang menyebabkan ekstermitas dan tulang iga patah, perdarahan internal, kerusakan otak dan bahkan pembunuhan. Penganiayaan seksual meliputi serangan fisik selama hubungan seksual, misalnya menggigit putting, menjambak rambut, menampar, dan memukul. Penganiayaan pasangan diperkirakan terjadi pada dua sampai 12 juta rumah di Amerika Serikat per tahun. Delapan persen pembunuhan di AS adalah pembunuhan terhadap salah seorang pasangan oleh pasangannya, dan tiga dari 10 wanita korban pembunuhan dibunuh oleh suami mereka, mantan suami, kekasih, atau mantan kekasih (Commusion on Domestic Violence, 1999). 90-95% korban kekerasan dalam rumah tangga adalah wanita, dan diperkirakan bahwa satu dari tiga wanita di Amerika Serikat dipukuli oleh pasangan mereka setidaknya satu kali (Commusion on Domestic Violence, 1999). Menurut survey CDC, kehamilan tampaknya meningkatkan perilaku kekerasan, dengan perkiraan 15% sampai 25% yang mendapatkan perlakuan kekerasan ketika hamil. Pemukulan selama hamil menimbulkan bahaya, misalnya keguguran dan bayi lahir mati, serta masalah fisik dan psikologis lebih lanjut pada wanita (Mattson & Rodriguez, 1999; Scobie & McGuire, 1999). Menurut Commusion on Domestic Violence (1999), frekuensi statistic kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi pada hubungan sesame jenis sama dengan frekuesi statistic kekerasan dalam rumah tangga pada hubugan heteroseksual. Walaupun pravalensi pemukulan terhadap pasangan sesama jenis mencerminkan pravalensi pemukulan pada pasangan lain jenis, pada korbannya mendapatkan lebih sedikit perlindungan. Tujuh Negara bagian mendefinisikan kekerasan dalam rumah tangga tanpa memasukkan korban kekerasan hubungan sesame jenis. 21 negara bagian lain memiliki undangundang sodomi yang menetapkan sodomi (hubungan seksual melalui anus) sebagai tindak criminal. Dengan demikian, korban hubungan sesame jenis mula-mula harus mengakui tindak criminal sodomi untuk membuktikan adanya hubungan rumah tangga di antara pasangan (Commusion on

Domestic Violence, 1999). Pelaku pemukulan terhadap sesame jenis mempunyai senjata tambahan untuk melawan korban yakni ancama akan mengungkap homoseksualitas pasangannya kepada teman-teman, keluarga, atasan atau masyarakat. Siklus penganiayaan dan kekerasan:

PERILAKU KEKERASAN (ditunjukkan melalui tindak kekerasan serangan penganiayaan)

PERIODE PENYELESAIAN MUNCULNYA "Periode bulan madu" Ada pola yang khas bagaimana penganiayaan terjadi. Episode awal KETEGANGAN (penganiaya menyesal (tuduhan, pemukulan atau perilaku kekerasan biasanya diikutidan meminta maaf, oleh periode ketika pertengkaran, berjanji bahwa hal itu penganiayasikap diam) keluahan, mengungkapkan penyesalannya dan meminta maaf, dengan tidak akan terjadi lagi, membeli hadiah kepada berjanji bahwa hal tersebut tidak akan terulang. Ia menyatakan cintadan bunga) istrinya, bahkan dapat menunjukkan perilaku romantic, dengan membelikan hadiah dan bunga. Periode penyesalan ini kadang-kadang disebut periode bulan madu. Wanita biasanya ingin mempercayai suaminya dan berharap bahwa kekerasan yang dialaminya adalah suatu insiden tersendiri. Setelah periode bulan madu ini, terjadi fase munculnya ketegangan yang diwarnai oleh pertengkaran, saling diam, atau suami lebih banyak mengeluh. Ketegangan tersebut berakhir dengan episode kekerasan lain, setelah itu suami penganiaya merasa menyesal dan berjanji untuk berubah. Siklus ini

terjadi berulang-ulang. Setiap waktu korban terus berharap bahwa kali ini kekerasan akan berakhir. Pada awalnya, periode bulan madu dapat berlangsung berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan, yang membuat wanita yakin bahwa hubungan telah membaik dan perilaku suaminya telah berubah. Pada waktu sebelumnya, episode kekerasan terjadi lebih sering, periode penyesalan tidak ada sama sekali, dan tingkat kekerasan serta keparahan cedera semakin berat. Pada akhirnya, perilaku kekerasan rutin terjadi, beberapa kali seminggu atau bahkan setiap hari. 2. Penganiayaan Anak Penganiayaan anak atau perlakuan semena-mena terhadap anak umumnya didefinisikan sebagai cedera yang sengaja dilakukan terhadap seorang anak dan dapat mencakup penganiayaan atau cedera fisik, pengabaian atau kegagalan mecegah bahaya, kegagalan member perawatan atau pengawasan emosional atau fisik yang adekuat, penelantaran, penyerangan atau intrusi seksual, dan menyikas secara terbuka atau mencederai (Biernet, 2000). Di AS, setiap Negara bagian mendifinisikan penganiayaan anak, mengidentifikasi prosedur pelaporan yang spesifik, dan menetapkan system pemberian layanan. Meskipun ada kesamaan antara undang-undang di 50 negara bagian, ada juga banyak perbedaan. Karena alas an ini, data yang akurat tentang tipe, frekuensi, dan tingkat keparahan penganiayaan anak di seluruh Negara sulit diperoleh. Pada tahun 1997, institusi layanan perlindungan anak di 49 negara bagian menyelidiki sekitar dua juta laporan yang menyatakan penganiayaan terhadap tiga juta anak, dengan lebih dari setengan jumalh tersebut merupakan anak berusia kurang dari 7 tahun dan 26% berusia kurang dari 4 tahun. Setiap hari rata-rata lebih dari 3 anak meninggal di AS akibat penganiayaan atau pengabaian (Paulk, 1999). Lebih dari tiga juta anak dilaporkan ke layanan perlindungan anak karena dicurigai mengalami penganiayaan atau pengabaian (Paulk, 1999). Anak-anak juga dipengaruhi oleh kekerasan

dirumah mereka. Sebuah studi melaporkan bahwa 27% korban pembunuhan kekerasan dalam rumah tangga adalah anak-anak, dengan 56% dari korban anak-anak tersebut berusia kurang dari dua tahun (Paulk, 1999). Penganiayaan seksual paling sering dilakukakan pada anak perempuan oleh ayah, ayah tiri, paman, kakak, dan pasangan hidup ibunya. Sekitar 75% kasus yang dilaporkan adalah inses ayah anak perempuan; inses ibuanak lelaki lebih jarang terjadi. Diperkirakan bahwa 15juta wanita di AS mengalami penganiayaan seksual pada masa kana-kanak dan sepertiga dari seluruh korban penganiayaan seksual dicabuli sebelum usia 9 tahun. Statistic penganiayaan seksual yang akurat sulit diperoleh karena banyak insiden tidak dilaporkan akibat rasa malu atau wanita tidak mengakui adanya penganiayaan seksual sampai mereka dewasa (Singer et al., 1995) Tipe penganiayaan anak, antara lain: a. Penganiayaan fisik Penganiayaan fisik pada anak sering kali terjadi akibat hukuman fisik yang berat dan tidak masuk akal, atau hukuman yang tidak dapat dibenarkan, misalnya memukul bayi karena menangis atau mengotori popoknya. Tindak kekerasan yang sengaja dilakukan pada anak antara lain membakar, menggigit, memotong, meninju, melintir ekstermitas, atau menyiram dengan air panas. Korban sering kali memiliki tanda bekas cedera, seperti jaringan parut, fraktur yang tidak diobati atau banyak memar pada berbagai tingkat usia, yang tidak dapat dijelaskan secara adekuat oleh riwayat yang disampaikan orang tua atau pengasuh (Lego, 1996). b. Penganiayaan seksual Penganiayaan seksual meliputi tindakan seksual yang dilakukan oleh orang dewasa pada anak berusia kurang dari 18 tahun. Tindakan ini dapat mencakup inses, pemeroksaan dan sodomi, yang dilakukan oleh seseorang atau dengan suatu benda, kontak oral-genital, dan tindakan cabul seperti menggesek, meraba atau memperlihatkan alat kelamin orang dewasa. Penganiayaan seksual dapat berupa insiden tunggal atau episode

multiple selama periode waktu yang lama. Tipe kedua penganiayaan seksual meliputi eksploitasi, misalnya membuat, mengungumkan, atau menjual pornografi yang melibatkan anak kecil dan memaksa anak kecil melakukan tindakan cabul. c. Penganbaian Pengabaian adalah tindakan menyakiti atau mengabaikan kebutuhan fisik, emosional, atau pendidikan untuk kesejahteraannya. Penganiayaan anak melalui pengabaian adalah tipe penganiayaan yang paling sering terjadi dan mecakup penolakan untuk mencari perawatan kesehatan atau menunda melakukan hal tersebut; penelantaran; pengawasan yang tidak adekuat; ceroboh dan tidak peduli terhadap keamanan anak; tindakan menghukum, eksploitasi, atau perlakuan emosional yang abusive; penganiayaan pasangan di depan anak; member ijin membolos kepada anak; atau tidak mendaftarkan anak masuk sekolah. d. Penganiayaan psikologis (penganiayaan emosional) Penganiayaan psikologis (penganiayaan emosional) meliputi serangan verbal, seperti menyalahkan, meneriaki, mengejek, dan sarkasme; ketidakharmonisan keluarga yang terus menerus, yang ditandai oleh pertengkaran, saling meneriaki, dan kekacauan; serta deprivasi emosional atau tidak member kasih sayang, asuhan dan pengalaman norma, yang meningkatkan perasaan menerima, cinta, keamanan, serta harga diri. Penganiayaan emosionalsering terjadi bersamatipe penganiayaan lain, seperti penganiayaan fisik atau penganiayaan seksual. Sering melihat orang tua mengkonsumsi alcohol. Menggunakan obatobatan, atau terlibat dalam prostitusi, dan pengabaian yang mengakibatkannya, juga dapat dimasukkan dalam kategori ini. 3. Penganiayaan Lansia Penganiayaan lansia adalah perlakuan semena-mena terhadap lansia oleh anggota keluarga atau orang-ornag yang merawat mereka. Penganiayaan tersebut mencakup penganiayaan fisik dan seksual, penganiayaan psikologis,

pengabaian, pengabaian diri, eksploitasi financial, menolak terapi medis yang adekuat. Diperkirakan bahwa juta lansia dianiaya atau diabaikan dalan rumah tangga dan perbandingan antara insiden penganiayaan atau pengabaian yang tidak dilaporkan dan yang laporkan adalah 5:1. Pelaku hampir 60% adalah pasangan, 20% anak yang sudah dewasa, dan 20% orang lain, seperti saudara kandung, cucu, atau orang yang indekos (Lego, 1996). Kebanyakan korban penganiayaan lansia berusia 75 tahun atau lebih, dan 60% sampai 65% adalah wanita. Penganiayaan lebih cenderung terjadi ketika lansia mengalami banyak masalah kesehatan fisik dan gangguan jiwa yang kronis, dan saat lansia bergantung pada orang lain dalam memperoleh makanan, perawatan medis, dan melakukan berbagai aktivitas hidup seharihari. Individu yang menganiaya lansia hampir selali merupakan orang yang merawat lansia tersebut, atau lansia bergantung pada mereka dalam beberapa hal. Kebanyakan kasus penganiayaan lansia terjadi ketika salah satu lansia merawat pasangannya. Tipe penganiayaan pasangan ini biasanya terjadi selama bertahun-tahun setelah disabilitas membuat pasangan yang dianiaya tidak mampu merawat dirinya sendiri. Apabila penganiaya adalah anak yang sudah dewasa, anak lelaki memiliki kemungkinan dua kali lebih besar sebagai pelaku daripada anak perempuan. Penganiayaan lansia juga dapat diperburuk oleh gangguan jiwa atau penyalahgunaan zat yang dialami orang yang merawat lansia (Goldstein, 2000). Lansia sering kali enggan melaporkan penganiayaan yang dialaminya walaupun mereka dapat melakukannya karena biasanya hal itu melibatkan anggota keluarga yang ingin dilindunginya. Korban juga sering takut kehilangan dukungan mereka dan dipindahkan ke suatu institusi. Tidak ada perkiraan secara rasional jumlah kasus penganiayaan lansia yang tinggal di institusi secara nasional. Dibawah mandate pemerintahan federal tahun 1978, petugas penyelidik diijinkan mengunjungi nursing home untuk memeriksa praktik perawatan lansia. Petugas penyelidik tersebut tetap

melaporkan bahwa penganiayaan lansia biasa dilakukan di institusi (Goldstein, 2000). Gangguan Jiwa Yang Berhubungan dengan Penganiayaan dan Kekerasan 1. Gangguan Stress Pascatrauma (GSP) Gangguan stress pascatrauma (GSP) adalah suatu pola gangguan perilaku yang diperlihatkanoleh seseorang yang mengalami peristiwa traumatic, misalnya bencana alam, perang, atau penyerangan. Individu penderita GSP mengalami suatu peristiwa yang di dalamnya terdapat ancama kematianatau cedera serius dan berespon dengan sangat takut, tidak berdaya atau ngeri. Ia terus mengingat trauma melalui memori, mimpi, kilas balik, atau reaksi terhadap isyarat internal tentang peristiwa tersebut dan menghindari stimulus yang terkait dengan trauma. Korban mengalami mati rasa dalam respon yang umum dan menunjukkan tanda peningkatan keadaan siaga yang menetap, seperti insomnia, waspada berlebihan, iritabilitas, atau marah-marah. Gejala GSP terjadi tiga bulan atau lebih setelah trauma. GSP dibedakan dari gangguan stress akut, yang merupakan diagnosis DSM-IV-TR yang terjadi ketika gejala muncul dalam satu bulansetelah trauma dan tidak menetap lebih dari empat minggu. 2. Gangguan Disosiatif Disosiasi adalah suatu mekanisme pertahanan alam bawah sadar, yang membantu seseorang melindungi aspek emosional dirinya dari mengenali dampak utuh beberapa peristiwa tarumatik atau peristiwa yang menakutkan dengan membiarkan pikirannya melupakan atau menjauhkan dirinya dari situasi atau memori yang menyakitkan. Disosiasi dapat terjadi baik selama maupun setelah suatu peristiwa. Seperti pada mekanisme koping atau mekanisme perlindungan lainnya, disosiasi menjadi lebih mudah jika dilakukan berulang-ulang. Gangguan disosiasi memiliki gambaran esensial berupa gangguan pada fungsi yang biasanya terintegrasi mencakup kesadaran, memori, identitas, atau persepsi lingkungan. Hal ini sering kali menghambat kemampuan

individu untuk melakukan fungsi dalam kehidupan sehari-hari, menganggu hubungan, dan menghambat kemampuan individu untuk melakukan koping terhadap realitas peristiwayang abusive atau traumatic. Intensitas gangguan ini sangat bervariasi pada individu yang berbeda dan awitannya dapat muncul tiba-tiba atau bertahap, sementara, dan kronis. Gejala-gejala disosiasi tampak pada klien yang mengalami GSP. DSM-IV-TR menjelaskan tipe gangguan disosiasi yang berbeda-beda: a. Amnesia disosiasi b. Fugue disosiasi c. Ganggua identitas disosiasi d. Gangguan depersonalisasi Gangguan disosiasi relatif jarang dialami oleh populasi umum, tetapi lebih sering terjadi pada individu yang memiliki riwayat penganiayaan fisik dan seksual pada masa kanak-kanak. Beberapa orang yakin bahwa peningkatan diagnosis gangguan disosiasi baru-baru ini di AS disebabkan oleh meningkatnya kesadaran professional kessehatan jiwa terhadap gangguan ini (DSM-IV-TR, 2000). Banyak perhatian media difokuskan pada teori memori yang represi pada korban penganiayaan. Banyak professional yakin bahwa memori tentang penganiayaan pada masa kanak-kanak dapat dipendam di alam bawah sadar atau depresi karena memori tersebut terlalu menyakitkan bagi korban untuk mengakuinya, dan korban tersebut dapat dibantu untuk mengembalikan atau mengingat memori yang menyakitkan itu.

You might also like