You are on page 1of 20

MEMBANGUN SEKOLAH BERKUALITAS DENGAN BUDAYA SEKOLAH DAN MENINGKATKAN PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PENDIDIKAN BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sekolah merupakan tempat berlangsungnya kegiatan belajar mengajar. Belajar dan mengajar tidak hanya dimaknai sebagai kegiatan transfer ilmu pengetahuan dari guru ke siswa. Berbagai kegiatan seperti bagaimana membiasakan seluruh warga sekolah disiplin dan patuh terhadap peraturan yang berlaku di sekolah, saling menghormati, membiasakan hidup bersih dan sehat serta memiliki semangat berkompetisi secara fair dan sejenisnya merupakan kebiasaan yang harus ditumbuhkan di lingkungan sekolah sehari-hari. Zamroni (2003:149) mengatakan bahwa kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai, norma, ritual, mitos yang dibentuk dalam perjalanan panjang sekolah disebut budaya sekolah. Budaya sekolah dipegang bersama oleh kepala sekolah, guru, staf aministrasi, dan siswa sebagai dasar mereka dalam memahami dan memecahkan berbagai persoalan yang muncul di sekolah. Sekolah menjadi wadah utama dalam transmisi kultural antar generasi. Penelitian di Amerika serikat membuktikan bahwa kultur sekolah berpengaruh terhadap peningkatan prestasi dan motivasi siswa untuk berprestasi, sikap dan motivasi guru serta produktivitas dan kepuasan kerja guru. Untuk menciptakan kultur sekolah yang positif dibutuhkan adanya kesadaran dan motivasi terutama dari diri masing-masing warga sekolah. Guru sebagai ujung tombak di lapangan harus mampu memberikan motivasi dan inspirasi bagi siswa khususnya. Kebiasaan guru yang datang tepat waktu dan melaksanakan tugas mengajar dengan baik, sikap dan cara berbicara saat berkomunikasi dengan siswa dan unsur sekolah lainnya, disiplin dalam melaksanakan tugas merupakan kebiasaan, nilai dan teladan yang harus senantiasa dijaga dalam kehidupan
1

sekolah. Agar kebiasaan-kebiasaan positif tersebut terpelihara dan mendarah daging dalam diri seluruh warga sekolah yang selanjutnya diwujudkan dalam perilaku sehari-hari, dibutuhkan adanya sense of belonging atau rasa memiliki terhadap sekolah.

B. Rumusan Masalah Bagaimanakah sekolah supaya tetap diminati oleh masyarakat dan menjadi harapan dari masyarakat ? Bagaimanakah meningkatkan peran serta masyarakat dalam meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah ?

C. Tujuan Membangun sekolah yang berbudaya dan mempunyai nilai lebih sehingga menjadi sekolah yang menjadi tumpuan dan harapan dari masyarakat sekitar. Meningkatkan peran serta masyarakat dalam meningkatkan kualitas pendidkan di sekolah.

BAB II PEMBAHASAN

A. Konsep Dasar Budaya Sekolah Salah satu keunikan dan keunggulan sebuah sekolah adalah memiliki budaya sekolah (school culture) yang kokoh dan tetap eksis. Sebuah sekolah harus mempunyai misi menciptakan budaya sekolah yang menantang dan menyenangkan, adil, kreatif, terintegratif, dan dedikatif terhadap pencapaian visi, menghasilkan lulusan yang berkualitas tinggi dalam perkembangan

intelektualnya dan mempunyai karakter takwa, jujur, kreatif, mampu menjadi teladan, bekerja keras, toleran dan cakap dalam memimpin, serta menjawab tantangan akan kebutuhan pengembangan sumber daya manusia yang dapat berperan dalam perkembangan IPTEK dan berlandaskan IMTAQ. Budaya sekolah (school culture) merupakan kata kunci (key word) yang perlu mendapat perhatian secara sungguh-sungguh dari para pengelola pendidikan .Budaya sekolah perlu dibangun berdasarkan kekuatan karakteristik budaya lokal masyarakat tempat sekolah itu berada. Budaya sekolah adalah detak jantung sekolah itu sendiri, perumusannya harus dilakukan dengan sebuah komitmen yang jelas dan terukur oleh komunitas sekolah yakni guru, siswa, manajemen sekolah, dan masyarakat. Untuk membangun atmosfer budaya sekolah yang kondusif, maka ada baiknya kita mengenal terlebih dahulu apakah yang dimaksud dengan budaya sekolah, bagaimana penciptaannya, bagaimana peran kepala sekola selaku leader dalam mendisain budaya sekolahnya, bagaimana budaya sekolah SD Hang Tuah 6 Surabaya dan bagaimana hasil dari budaya sekolah kontribusinya terhadap keberhasilan sekolah baik dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia maupun prestasi sekolahnya. Menurut Zamroni budaya sekolah ( kultur sekolah ) sangat mempengaruhi prestasi dan perilaku peserta didik dari sekolah tersebut. Budaya sekolah merupakan jiwa dan kekuatan sekolah yang memungkinkan sekolah dapat

tumbuh berkembang dan melakukan adaptasi dengan berbagai lingkungan yang ada. Selanjutnya, dalam analisis tentang budaya sekolah dikemukakan bahwa untuk mewujudkan budaya sekolah yang akrab-dinamis, dan positif-aktif perlu ada rekayasa social. Dalam mengembangkan budaya baru sekolah perlu diperhatikan dua level kehidupan sekolah: yaitu level individu dan level organisasi atau level sekolah. Level individu, merupakan perilaku siswa selaku individu yang tidak lepas dari budaya sekolah yang ada. Perubahan budaya sekolah memerlukan perubahan perilaku individu. Perilaku individu siswa sangat terkait dengan perilaku pemimpin sekolah.

B. Pengertian Budaya Sekolah Secara etimologis, budaya berasal dari bahasa Inggris yaitu dari kata culture. Marvin Harris (1987) mendefinisikan culture atau budaya sebagai serangkaian aturan yang dibuat oleh masyarakat sehingga menjadi milik bersama, dapat diterima oleh masyarakat, dan bertingkah laku sesuai dengan aturan. Dalam istilah lain, Denis Lawton (1975) mendefinisikan bahwa culture is everything that exists in a society. Culture includes every thing that is man made : technological artifacts, skills, attitudes, and values. Secara implisit, kesimpulan dari kedua definisi di atas menyatakan bahwa kebiasaan-kebiasaan dan nilai-nilai yang telah diterapkan di suatu sekolah merupakan budaya sekolah. Secara eksplisit, Deal dan Peterson (1999) mendefinisikan budaya sekolah sebagai sekumpulan nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh kepala sekolah, guru, petugas administrasi, siswa, dan masyarakat sekitar sekolah. Budaya sekolah merupakan ciri khas, karakter atau watak, dan citra sekolah tersebut di masyarakat luas. Budaya sekolah adalah keyakinan dan nilai-nilai milik bersama yang menjadi pengikat kuat kebersamaan mereka sebagai warga suatu masyarakat. Jika definisi ini diterapkan di sekolah, sekolah dapat saja memiliki sejumlah kultur dengan satu kultur dominan dan kultur lain sebagai subordinasi.( Kennedy,1991 )

Pendapat lain tentang budaya sekolah juga dikemukakan oleh Schein, bahwa budaya sekolah adalah suatu pola asumsi dasar hasil invensi, penemuan atau pengembangan oleh suatu kelompok tertentu saat ia belajar mengatasi masalah-masalah yang telah berhasil baik serta dianggap valid, dan akhirnya diajarkan ke warga baru sebagai cara-cara yang benar dalam memandang, memikirkan, dan merasakan masalah-masalah tersebut. ( Schein , 2010 ) Pandangan lain tentang budaya sekolah dikemukakan oleh Zamroni (2011) bahwa budaya sekolah adalah merupakan suatu pola asumsi-asumsi dasar, nilainilai, keyakinan-keyakinan, dan kebiasaan-kebiasaan yang dipegang bersama oleh seluruh warga sekolah, yang diyakini dan telah terbukti dapat dipergunakan untuk menghadapi berbagai problem dalam beradaptasi dengan lingkungan yang baru dan melakukan integrasi internal, sehingga pola nilai dan asumsi tersebut dapat diajarkan kepada anggota dan generasi baru agar mereka memiliki pandangan yang tepat bagaimana seharusnya mereka memahami, berpikir, merasakan dan bertindak menghadapi berbagai situasi dan lingkungan yang ada ( Zamroni, 2011: 297 ).

C. Pembentukan dan Pengembangan Budaya Sekolah Budaya sekolah merupakan basis interaksi antara semua anggota masyarakat sekolah yang meliputi: (1) nilai-nilai (kepercayaan, kejujuran, dan transparansi, (2) norma-norma ( peraturan dan perilaku yang berlaku dan disepakati oleh semua anggota masyarakat sekolah, serta (3) kebiasaan yang memberikan keunikan atau kekhususan pada sekolah. Budaya sekolah juga memperhatikan ketentuan umum yang berlaku tanpa mengabaikan kondisi lokal masyarakat. Khusus mengenai cara belajar dan cara berperilaku siswa, perlu dikelola secara baik agar warga sekolah dalam hal ini, siswa, guru, kepala sekolah, orang tua, dan komite sekolah dapat saling menghargai. Budaya sekolah yang positif muncul dari hubungan yang baik diantara kepala sekolah, dan guru, guru dan guru, guru dan siswa, siswa dan siswa, serta

antar semua warga sekolah. Ini merupakan cirri sekolah yang berpengaruh positif terhadap proses belajar mengajar di sekolah. Kepala sekolah memiliki peran kunci dalam mengembangkan budaya sekolah yang positif. Pengembangan ini dilakukan melalui kerjasama bersama guru-guru dan warga sekolah, dengan memberi contoh tentang nilai-nilai dan perilaku positif sehingga terbentuk budaya mutu di sekolah. Budaya mutu yang baik adalah yang dikembangkan secara utuh dan terpadu sebagai suatu sistem. Bangunan budaya mutu di sekolah yang harus dikembangkan mengacu pada visi dan misi yang telah ditetapkan, sedangkan visi dan misi harus berfokus pada customer (pengguna jasa) baik internal maupun eksternal. Visi dan misi akan bisa dicapai secara efektif jika dibarengi dengan keyakinan dan nilai-nilai yang dianut serta diterapkan oleh warga sekolah. Selain itu, nilai-nilai dan keyakinan itu harus mampu meningkatkan keterlibatan warga sekolah, stakeholder dan masyarakat. Keyakinan dan nilai-nilai tersebut harus mampu mendorong dan meningkatkan komitmen kerja untuk menghindari dan mengantisipasi aspek-aspek yang dapat mengganggu terwujudnya tujuan sekolah. Pengembangan budaya sekolah hendaknya senantiasa merujuk pada kemampuan kepala sekolah dalam mengembangkan budaya unggul ( the culture of execuence) di sekolah. Kepala sekolah hendaknya menekankan pentingnya membangun budaya yang memberikan kontribusi terhadap peningkatan kualitas proses pendidikan di sekolah. Langkah-langkah yang dapat ditempuh oleh kepala sekolah dalam pengembangan budaya sekolah menurut Ansar dan Masaong (2010) antara lain: (1) kepala sekolah mengartikulasikan visi dan misi sekolah dalam rangka menciptakan kesatuan ide (the unity of idea) tentang sekolah yang dicita-citakan, (2) mengartikulasikan nilai-nilai dan keyakinan dalam organisasi sekolah, (3) menciptakan disain dan struktur organisasi sekolah, (4) menciptakan symbol yang dapat memperkuat keunikan sekolah, (5) membangun reward yang sesuai dengan norma dan nilai yang ada di sekolah, (6) membangun hubungan sosial dan emosional antara siswa, guru, dan masyarakat sesuai komitmen dan visi sekolah.

D. Hal-hal Yang Perlu Dikembangkan Dalam Menciptakan Budaya Sekolah. Dalam terminologi kebudayaan, pendidikan yang berwujud dalam bentuk lembaga atau instansi sekolah dapat dianggap sebagai pranata sosial yang di dalamnya berlangsung interaksi antara pendidik dan peserta didik sehingga mewujudkan suatu sistem nilai atau keyakinan,dan juga norma maupun kebiasaan yang di pegang bersama. Pendidikan sendiri adalah suatu proses budaya. Masalah yang terjadi saat ini adalah nilai-nilai yang mana yang seharusnya dikembangkan atau dibudayakan dalam proses pendidikan yang berbasis mutu itu. Dengan demikian sekolah menjadi tempat dalam mensosialisasikan nilai-nilai budaya yang tidak hanya terbatas pada nilai-nilai keilmuan saja, melainkan semua nilainilai kehidupan yang memungkinkan mampu mewujudkan manusia yang berbudaya. Keberadaan budaya sekolah di dalam sebuah sekolah merupakan urat nadi dari segala aktivitas yang dijalankan warga sekolah mulai dari guru, karyawan, siswa dan orang tua. Budaya sekolah yang didesain secara terstruktur, sistematis, dan tepat sesuai dengan kondisi sosial sekolahnya, pada gilirannya bisa memberikan kontribusi yang positif bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia sekolah dalam menuju sekolah yang berkualitas. Ada sembilan hal yang perlu dikembangkan dalam menciptakan budaya sekolah yang berkualitas, yaitu:

1. Kerjasama Kelompok Pada dasarnya sebuah komunitas sekolah merupakan sebuah kumpulan individu yang bekerja sama untuk mencapai tujuan. Nilai kerja sama merupakan suatu keharusan dan kerjasama merupakan aktivitas yang bertujuan untuk membangun kekuatan-kekuatan atau sumber daya yang dimilki sekolah.

2. Kemampuan. Menunjuk pada kemampuan untuk mengerjakan tugas dan tanggung jawab pada tingkat kelas atau sekolah. Dalam lingkungan pembelajaran, kemampuan

profesional guru bukan hanya ditunjukkan dalam bidang akademik tetapi juga dalam bersikap dan bertindak yang mencerminkan pribadi pendidik.

3. Keinginan. Keinginan pada kemauan atau kerelaan untuk melakukan tugas dan tanggung jawab untuk memberikan kepuasan terhadap siswa dan masyarakat. Keinginan harus diarahkan pada usaha untuk memperbaiki dan meningkatkan kemampuan dan kompetensi diri dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab sebagai budaya yang muncul dalam diri pribadi baik sebagai kepala sekolah, guru, dan staf dalam memberikan pelayanan kepada siswa dan masyarakat.

4. Kegembiraan. Nilai kegembiraan ini harus dimiliki oleh seluruh personil sekolah dengan harapan kegembiraan yang kita miliki akan berimplikasi pada lingkungan dan iklim sekolah yang ramah dan menumbuhkan perasaan puas, nyaman, bahagia dan bangga sebagai bagian dari personil sekolah. Jika perlu dibuat wilayah-wilayah yang dapat membuat suasana dan memberi nuansa yang indah, nyaman, asri dan menyenangkan, seperti taman sekolah ditata dengan baik dan dibuat wilayah bebas masalah atau wilayah harus senyum dan sebagainya.

5. Hormat. Rasa hormat merupakan nilai yang memperlihatkan penghargaan kepada siapa saja baik dalam lingkungan sekolah maupun dengan stakeholders pendidikan lainnya. Keluhan-keluhan yang terjadi karena perasaan tidak dihargai atau tidak diperlakukan dengan wajar akan menjadikan sekolah kurang dipercaya. Sikap respek dapat diungkapkan dengan cara memberi senyuman dan sapaan kepada siapa saja yang kita temui, bisa juga dengan memberikan hadiah yang menarik sebagai ungkapan rasa hormat dan penghargaan kita atas hasil kerja yang dilakukan dengan baik.

6. Jujur. Nilai kejujuran merupakan nilai yang paling mendasar dalam lingkungan sekolah, baik kejujuran pada diri sendiri maupun kejujuran kepada orang lain. Nilai kejujuran tidak terbatas pada kebenaran dalam melakukan pekerjaan atau tugas tetapi mencakup cara terbaik dalam membentuk pribadi yang obyektif. Tanpa kejujuran, kepercayaan tidak akan diperoleh. Oleh karena itu budaya jujur dalam setiap situasi dimanapun kita berada harus senantiasa dipertahankan. Jujur dalam memberikan penilaian, jujur dalam mengelola keuangan, jujur dalam penggunaan waktu serta konsisten pada tugas dan tanggung jawab merupakan pribadi yang kuat dalam menciptakan budaya sekolah yang baik.

7. Disiplin. Disiplin merupakan suatu bentuk ketaatan pada peraturan dan sanksi yang berlaku dalam lingkungan sekolah. Disiplin yang dimaksudkan dalam asas ini adalah sikap dan perilaku disiplin yang muncul karena kesadaran dan kerelaan kita untuk hidup teratur dan rapi serta mampu menempatkan sesuatu sesuai pada kondisi yang seharusnya. Jadi disiplin disini bukanlah sesuatu yang harus dan tidak harus dilakukan karena peraturan yang menuntut kita untuk taat pada aturan yang ada. Aturan atau tata tertib yang dipajang dimana-mana bahkan merupakan atribut, tidak akan menjamin untuk dipatuhi apabila tidak didukung dengan suasana atau iklim lingkungan sekolah yang disiplin. Disiplin tidak hanya berlaku pada orang tertentu saja di sekolah tetapi untuk semua personil sekolah tidak kecuali kepala sekolah, guru dan staf.

8. Empati. Empati adalah kemampuan menempatkan diri atau dapat merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain namun tidak ikut larut dalam perasaan itu. Sikap ini perlu dimiliki oleh seluruh personil sekolah agar dalam berinteraksi dengan siapa saja dan dimana saja mereka dapat memahami penyebab dari masalah yang mungkin dihadapai oleh orang lain dan mampu menempatkan diri sesuai dengan harapan orang tersebut. Dengan sifat empati warga sekolah dapat menumbuhkan

budaya sekolah yang lebih baik karena dilandasi oleh perasaan yang saling memahami

9. Pengetahuan dan Kesopanan. Pengetahuan dan kesopanan para personil sekolah yang disertai dengan kemampuan untuk memperoleh kepercayaan dari siapa saja akan memberikan kesan yang meyakinkan bagi orang lain. Dimensi ini menuntut para guru, staf dan kepala sekolah tarmpil, profesional dan terlatih dalam memainkan perannya memenuhi tuntutan dan kebutuhan siswa, orang tua dan masyarakat.

10

BAB III PERAN SERTA MASYATAKAT DALAM PENDIDIKAN

A. Pengertian Peran Serta dan Masyarakat Resbin L. Sihite (2007:16) mengemukakan bahwa peran serta adalah berbagai aktivitas yang dilakukan oleh individu atau kelompok dalam suatu program atau kegiatan tertentu, sehingga bermakna dalam pencapaian tujuan. Menurutnya wujud dari peran serta yang diberikan dapat berupa pemikiran, tindakan, sumbangan dana atau barang yang berguna bagi program ataupun pencapaian tujuan. Ia juga mengemukakan pengertian masyarakat sebagai sekelompok orang yang hidup dalam daerah khusus.

Yusufhadi Miarso (2004:706) menggunakan istilah partisipasi untuk mengatakan peran serta. Partisipasi menurutnya merupakan hal turut serta dalam suatu kegiatan. Pengertian masyarakat menurutnya adalah kumpulan individu yang menjalin kehidupan bersama sebagai suatu kesatuan yang besar, yang saling membutuhkan, memiliki ciri-ciri yang sama sebagai kelompok.

Istilah masyarakat dalam UU No.20 Tahun 2003 diartikan sebagai kelompok warga negara Indonesia nonpemerintah yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang pendidikan. Dari beberapa pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa peran serta masyarakat dalam pendidikan adalah aktivitas yang dilakukan oleh sekelompok orang dalam bidang pendidikan dengan tujuan untuk memajukan pendidikan dengan cara-cara tertentu. Kelompok orang yang dimaksud dapat berupa masyarakat yang berhubungan langsung dengan pendidikan seperti orang tua siswa yang tergabung dalam komite sekolah, masyarakat luas yang tergabung dalam dewan pendidikan, dunia usaha seperti badan-badan usaha yang dapat berpartisipasi dalam program Manajemen Berbasis Sekolah, penyelenggara pendidikan nonpemerintah, dan sebagainya. Menurut UU No. 20 Tahun 2003, Dewan pendidikan adalah lembaga mandiri yang berbagai unsur masyarakat yang peduli pendidikan, sedangkan

11

Komite Sekolah adalah lembaga mandiri yang beranggotakan orang tua atau wali peserta didik, komunitas sekolah, serta tokoh masyarakat yang peduli pendidikan.

B. Ruang Lingkup Peran Serta Masyarakat dalam Pendidikan Resbin L. Sihite (2007:15) mengemukakan tujuh peran serta masyarakat dalam pendidikan yaitu: 1. Sebagai sumber pendidikan 2. Sebagai pelaku pendidikan 3. Pelaksana pendidikan 4. Pengguna hasil pendidikan 5. Perencanaan pendidikan 6. Pengawasan pendidikan 7. Evaluasi program pendidikan.

Sedangkan Umar Tirtarahardja dan La Sulo (2005:179) mengemukakan kaitan antara masyarakat dan pendidikan dapat ditinjau dari tiga segi, yaitu masyarakat sebagai penyelenggara pendidikan, mempunyai peran dan fungsi edukatif, dan masyarakat sebagai sumber belajar. Dua pendapat tadi menggambarkan lingkup peran serta masyarakat secara menyeluruh mulai dari perencanaan sampai evaluasi. Nampak bahwa masyarakat dan pendidikan saling berkaitan dan saling topang. Sehingga keberhasilan pendidikan bukan saja menjadi tanggung jawab penyelenggara pendidikan saja, tetapi juga merupakan tanggung jawab masyarakat dan pemerintah. Masyarakat dan pemerintah terjun langsung ke tengah-tengah dunia pendidikan atau dapat dikatakan masyarakat turut berpartisipasi dalam pendidikan dan pemerintah memberikan dorongan berupa peraturan atau perundang-undangan. Partisipasi masyarakat dalam pendidikan dikemukakan oleh Yusufhadi Miarso (2004:709) bertujuan untuk: 1. Terbentuknya kesadaran masyarakat tentang adanya tanggung jawab bersama dalam pendidikan.

12

2. Terselenggaranya kerja sama yang saling menguntungkan (memberi dan menerima) antara semua pihak yang berkepentingan dengan pendidikan. 3. Terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam pemanfaatan sumber daya, meliputi sumber daya manusia, sumber daya alam, dan sumber daya buatan seperti dana, fasilitas, dan peraturan-peraturan termasuk perundangundangan. 4. Meningkatkan kinerja sekolah yang berarti pula meningkatnya produktivitas, kesempatan memperoleh pendidikan, keserasian proses dan hasil pendidikan sesuai dengan kondisi anak didik dan lingkungan, serta komitmen dari para pelaksana pendidikan. Begitu pentingnya peran serta masyarakat atau partisipasi masyarakat ini, maka UU No. 20 Tahun 2003 begitu banyak mengemukakan hal tersebut, yaitu sebagai berikut. 1. Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan, logika, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia. (Bab III, pasal 4 ayat 6) 2. Setiap warga Negara bertanggung jawab terhadap keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan. (Bab IV, pasal 6 ayat 2) 3. Orang tua berhak berperan serta dalam memilih satuan pendidikan dan memperoleh informasi tentang perkembangan pendidikan anaknya. (Bab IV, pasal 6 ayat 7) 4. Masyarakat berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi program pendidikan. (Bab IV, pasal 6 ayat 8) 5. Masyaraakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan. (Bab IV, pasal 6 ayat 9)

13

6. Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha dan organisasi

kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan. (Bab XV pasal 54 ayat 1) 7. Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan.(Bab XV pasal 54 ayat 2) 8. Ketentuan peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud poin 6 dan 7 diatur dengan peraturan pemerintah. (Bab XV pasal 54 ayat 3) 9. Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat (Bab XV Bagian II pasal 55 ayat 1-5) Selain peraturan atau UU seperti di atas sebetulnya peran serta masyarakat dalam pendidikan sudah merupakan tradisi budaya. Norma adat sebetulnya lebih kuat dari pada kebiasaan atau norma lainnya. Beberapa norma sosial yang dapat diidentifikasi dan hidup di lingkungan masyarakat bangsa Indonesia dan dapat dimanfaatkan oleh dunia pendidikan adalah sebagai berikut (Yusufhadi Miarso, 2004:71). 1. Musyawarah dan mufakat 2. Gotong royong 3. Kebersamaan 4. Kepatuhan 5. Tenggang rasa 6. Keterbukaan 7. Keteladanan 8. Tolong menolong

14

C. Masyarakat sebagai Sumber, Pelaku dan Pelaksana Pendidikan Masyarakat merupakan sumber belajar, artinya banyak hal yang dapat diambil dari masyarakat untuk kepentingan pendidikan. Walaupun suatu masyarakat punah, tetapi peninggalan-peninggalan dari mereka masih dapat diambil, baik ilmunya, kebudayaannya, dan sebagainya. Peninggalan-

pweninggalan tersebut tentu berguna bagi seorang sejarahwan atau arkeolog. Masyarakat dari berbagai tingkat maupun golongan dengan berbagai profesi dan keahlian, dengan berbagai suku, bangsa, adat istiadat dan agama, keberadaan dan aktivitas kehidupannya merupakan fenomena yang unik yang kompleks penuh dengan persoalan menarik yang menjadi sumber atau obyek pembelajaran bagi siapa saja yang mau mempelajarinya (Resbin L. Sihite, 2007:17). Masyarakat juga sebagai pelaku pendidikan, artinya baik perorangan atau kelompok masyarakat bertindak selaku pembelajar. Pendidikan memang ditujukan kepada masyarakat sejak seorang manusia mulai dapat belajar sampai akhir hayatnya. Bentuk pendidikan yang dapat ditempuh oleh masyarakat dapat berupa pendidikan formal maupun nonformal. Hal ini mereka lakukan karena mereka memiliki rasa ingin tahu, sikap disiplin, dan memiliki daya juang yang tinggi. Pendidikan formal yang mereka tempuh mulai dari TK sampai perguruan tinggi. Sedangkan pendidikan nonformal yang dapat mereka tempuh seperti kursuskursus, lembaga pelatihan, majelis taklim, dan sebagainya. Sebagai pelaksana pendidikan, masyarakat melakukan kegiatan

penyelenggara dan pembina pendidikan serta sebagai pelaksana pendidikan. Penyelenggara dan pembina pendidikan bertugas membuat peraturan perundangundangan, merumuskan, menetapkan dan melaksanakan kebijakan pembinaan di bidang pendidikan. Tugas ini tentunya diemban oleh Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Apa yang diatur oleh Depdiknas menjadi acuan bagi penyelenggaraan pendidikan di propinsi dan kabupaten/kota di Indonesia, walaupun ada peraturan ataupun kebijakan yang memang dilakukan oleh pihak propinsi atau kabupaten/ kota secara sendiri-sendiri sesuai dengan

kewenangannya. Hal ini mengingat pemberlakukan otonomi daerah dan

15

desentralisasi pendidikan. Sedangkan pelaksana pendidikan melakukan tugas penyelenggaraan kegiatan proses belajar baik pada lembaga formal atau nonformal.Dalam dua lembaga inilah baik penyelenggara maupun pelaksana pendidikan, masyarakat dapat terjun atau berpartisipasi mendarmabaktikan dirinya dalam dunia pendidikan.

D. Masyarakat sebagai Pengguna, Perencana dan Pengawas, serta Pengevaluasi Pendidikan Lulusan pendidikan tentu akhirnya akan terjun ke masyarakat, dan masyarakatlah yang menjadi pengguna hasil pendidikan. Mereka akan menerapkan ilmu yang telah mereka peroleh di lembaga pendidikan itu di masyarakat. Mereka akan memasuki dunia kerja, dan yang menjadi pengguna tenaga kerja atau lulusan itu adalah masyarakat, baik pemerintah, pasar (industri) ataupun masyarakat lainnya. Di pemerintahan, mereka akan memasuki bidang pekerjaan eksekutif (menjalankan roda pemerintahan) atau legislatif (yang mengawasi pemerintah). Di dalam perusahaan, mereka secara garis besar akan memasuki bidang pekerjaan formal dan informal. Sedangkan di dalam dunia industri, mereka akan terjun baik industri barang ataupun jasa. Dari uraian di atas nampak bahwa masyarakat baik pemerintah, industri, perusahaan dan sebagainya merupakan pengguna hasil pendidikan. Apabila hasil pendidikan tidak bermutu, maka yang akan menerima akibatnya itu adalah masyarakat juga. Untuk itu perlu kiranya ada kesesuaian antara program layanan pendidikan dengan kebutuhan masyarakat. Untuk mendapatkan kesesuaian itu maka perlu pula kerja sama antara lembaga pendidikan dan masyarakat.Yang dapat dilakukan masyarakat sebagai perencana pendidikan adalah dalam bentuk pemberian ide atau masukan pemikiran yang bermakna untuk mendukung bagi tersusunnya perencanaan yang baik. Keberadaan masyarakat agar berperan aktif sangat diharapkan baik dalam penyampaian informasi atau terlibat langsung dalam diskusi-diskusi penyusunan perencanaan yang sangat penting, sehingga tuntutan akan kebutuhan masyarakat dan lapangan kerja bersesuaian (link and match). Untuk melaksanakan ini, nampaknya keberadaan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah sangat

16

diperlukan. Dewan Pendidikan baik di tingkat kabupaten/kota, propinsi atau nasional diharapkan dapat menjadi wadah untuk menyerap aspirasi masyarakat yang menjadi bahan dalam penyusunan kebijakan strategis dan operasional. Begitu pula kehadiran komite sekolah diharapkan akan memberikan masukan dalam penyusunan program-program teknis di tingkat sekolah.

Pengawasan pendidikan yang dikakukan oleh masyarakat dimaksudkan untuk pengendalian agar pelaksanaan program dapat terjamin sesuai dengan perencanaan. Pengawasan ini dapat dilakukan oleh Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Permasalahannya adalah sejauh mana Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah telah bekerja sebaik-baiknya dalam menyalurkan aspirasi masyarakat tersebut. Evaluasi program pendidikan yang dilakukan oleh masyarakat

dimaksudkan untuk mengukur sejauh mana ketercapaian program dan manfaat program bagi pencapaian tujuan pendidikan. Sehubungan dengan itu masyarakat baik orang tua atau pengguna lulusan tersebut hendaknya memberikan masukan dalam evaluasi tersebut. Salah satu conto pengukuran itu adalah berapa banyak lulusan suatu sekolah diterima di perguruan tinggi atau berapa banyak yang diterima di dunia kerja.

E. Fungsi Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah Dalam UU No. 20 Tahun 2003 Bab XV Bagian Ketiga Pasal 56 ayat 1-4 dikemukakan fungsi Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah/Madrasah sebagai berikut.

Masyarakat berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan yang meliputi perencanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan melalui dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah.

Dewan Pendidikan sebagai lembaga mandiri dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan dengan memberikan

pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta

17

pengawasan

pendidikan

pada

tingkat

nasional,

provinsi,

dan

kabupaten/kota yang tidak mempunyai hubungan hirarkis.

Komite Sekolah/Madrasah, sebagai lembaga mandiri, dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan.

Ketentuan mengenai pembentukan dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah sebagaimana dimaksud ayat 1, 2 dan 3 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Selain itu peranan komite sekolah adalah sebagai berikut (Trimo, 2008:2). Pemberi pertimbangan (advisory agency) dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan di satuan pendidikan.

Pendukung (supporting agency), baik yang berwujud financial, pemikiran, maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan,

Pengontrol

(controlling

agency)

dalam

rangka

transparansi

dan

penyelenggaraan dan keluaran pendidikan di satuan pendidikan. Mediator antara pemerintah (eksekutif) dengan masyarakat di satuan pendidikan (Kepmendiknas no. 044/U/2002

18

BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan Suasana sekolah (school atmosphere) yang kondusif merupakan

persyaratan yang mutlak untuk terjadinya suatu interaksi yang sehat dikalangan siswa. Peningkatan suasana sekolah yang sehat akan menjamin terjadinya kepuasan dan memacu motivasi dan kreativitas dikalangan siswa dalam menjalankan kegiatan pembelajaran yang berkualitas. Secara operasional suasana sekolah yang kondusif ditandai antara lain oleh terjadinya interaksi yang optimal antara guru dan siswa, antar sesama guru serta antar sesama siswa. Budaya sekolah (school culture) memegang peran penting dalam menciptakan suasana sekolah yang kondusif sehingga berdampak pada peningkatan mutu pendidikan. Budaya sekolah yang dimaksud adalah normanorma yang berlaku dan dilaksanakan oleh warga sekolah, yang mampu menumbuhkembangkan kesadaran diri, watak etos kerja, disiplin, kerjasama, sikap pluralitas dalam berbagai aspek kehidupan, kreativitas, produktivitas, kemampuan berpikir kritis, solidaritas, toleransi, dan daya saing anak didik. Pengembangan budaya sekolah sangat ditentukan oleh lingkungan fisik, lingkungan sosial, nilai-nilai yang berkembang di sekolah dan keteladanan. Untuk itu penumbuhan budaya sekolah akan diiringi dengan pengembangan lingkungan fisik sekolah yang bersih, rapi, sejuk dan tenang, serta lingkungan fisik sosial yang damai, saling toleran tetapi disiplin dalam menegakkan aturan dan semua itu akan dipandu oleh keteladanan oleh pimpinan sekolah dan guru. Budaya sekolah yang baik dengan sendirinya adalah yang juga kondusif untuk peningkatan mutu, relevansi dan daya saing. Penumbuhan budaya sekolah memerlukan upaya sungguh-sungguh, jangka panjang dan konsisten. Untuk itu diperlukan dukungan pihak-pihak yang terkait agar sekolah dapat melaksanakannya dengan baik, khususnya dari komite sekolah, dinas pendidikan dan terutama prakarsa sekolah itu sendiri. Budaya sekolah sebagai aspek penting dalam penerapan Manajemen Berbasis Sekolah yang meliputi nilai, norma, peraturan, ide serta berbagai perkara
19

lain yang semuanya diterima dan dilakukan di sebuah sekolah. Budaya sekolah merupakan peraturan yang tidak tertulis serta tradisi, norma dan ekspektasi. Budaya, baik yang tampak maupun yang tidak tampak merupakan elemen-elemen simbolik dari kehidupan sekolah. Peran serta masyarakat dalam pendidikan adalah aktivitas yang dilakukan oleh sekelompok orang dalam bidang pendidikan dengan tujuan untuk memajukan pendidikan dengan cara memberikan bantuan dana, pemikiran, pengawasan, pengevaluasi, perencana, serta pelaksana, pengguna pendidikan dan sebagai sumber belajar. Masyarakat dapat melakukan partisipasi dalam pendidikan baik melalui jalur organisasi perusahaan, dewan pendidikan, komite sekolah atau apa saja asalkan dalam rangka perbaikan mutu pendidikan.

B. Saran Untuk membangun sekolah yang berkualitas perlu adanya kesungguhan dari para pelaku pendidkan itu sendiri, mulai dari Kepala Sekolah, guru, karyawan, siswa dan para wali murid, serta menciptakan suasana yang memungkinkan terjalinnya komunikasi timbal balik diantara pemangku pendidkan tersebut. Kepada masyarakat agar dapat memberikan sumbangsihnya terhadap dunia pendidikan baik yang tergabung dalam organisasi perusahaan, dewan pendidikan, komite sekolah atau lembaga-lembaga swadaya masyarakat dan sebagainya sehingga percepatan pertumbuhan dan perkembangan dunia pendidikan di Indonesia akan nampak dan membuahkan hasil yang juga untuk masyarakat itu sendiri

20

You might also like