You are on page 1of 2

MENDOBRAK KARAKTER NON-ETIS SOSIOLOGI

Didi Pramono Mahasiswa Prodi Pendidikan IPS Program Pascasarjana Universitas Negeri Semarang dapat dihubungi melalui e-mail ddpramono248@gmail.com Anda belum mempelajari Sosiologi seutuhnya, kiranya statement inilah yang tepat dilontarkan manakala seseorang menyatakan bahwa tugas sosiologi hanyalah menjelaskan fakta sosial sebagaimana adanya tanpa memberikan pandangan dan menentukan sikap atas fakta tersebut. Tampaknya buku-buku, modul, handout, atau bahan perkuliahan sosiologi pada sekolah tingkat menengah dipenuhi dengan materi-materi yang berbau positivisme. Bahkan ditingkat perguruan tinggi, mahasiswa di tingkat awal, sudah diciptakan mainstream positivisme. Mata kuliah Pengantar Sosiologi memberi andil besar dalam meng-internalisasi positivisme pada mahasiswa, khususnya mereka yang berhenti belajar pada titik tersebut. Soekanto dalam bukunya Pengantar Sosiologi secara eksplisit menyebutkan tentang sifat non-etis sosiologi. Titik utama persoalan bukanlah baik-buruknya fakta tertentu, akan tetapi tujuannya adalah menjelaskan fakta tersebut (Soekanto, 2002: 15). Pandangan di atas didasarkan pada pemikiran Auguste Comte. Secara ringkas ajaran Comte dapat dijelaskan bahwa perkembangan intelektual melalui tiga tahap, yakni tahap teologis/ fiktif, matafisik, dan positivis. Dalam tahap teologis/fiktif fenomena di sekitar kehidupan manusia dijelaskan secara teologis, fenomena-fenomena tersebut digerakkan oleh kekuatankekuatan roh dewa-dewa atau Tuhan. Tahap metafisik tidak jauh beda dengan tahap sebelumnya. Pada tahapan ini manusia masih terikat dengan pandangan tanpa verifikasi, tidak ada usaha-usaha untuk menemukan hukum-hukum alam yang menggerakkan fenomena di sekitar lingkungan hidup manusia. Di tahap positivis lah pengetahuan mulai diteliti dan diuji kebenarannya melalui metode tertentu (Soekanto, 2002: 32), untuk kemudian disistematiskan sebagai ilmu pengetahuan yang akan diwariskan ke generasi selanjutnya. Ini lebih merupakan upaya individu untuk dapat beradaptasi dan menundukkan alam. Gema Auguste Comte sebagai Bapak Sosiologi seolah telah memberi landasan berpikir mahasiswa bahwa itu lah yang dinamakan sosiologi. Sama halnya kita sebagai warga negara Indonesia begitu terperanga atas ketokohan Soekarno-Hatta sebagai The Founding Father. Tidak ada yang salah dari sikap demikian, sikap tambahan yang sekiranya perlu dilakukan adalah mengkaji pengetahuan lain tentang suatu hal. Sikap seperti ini penting guna menciptakan pemahaman yang menyeluruh tentang suatu hal, khususnya dalam hal ini tentang sosiologi. Teori sosial kritis menawarkan kajian yang cukup menantang, kemunculannya sekaligus merupakan kritik atas positivisme. Positivisme dinilai cenderung me-reifikasi dunia sosial dan melihat fenomena sosial hanya sebagai proses yang netral, cenderung bersikap konservatif, dan tidak mampu menentang sistem. Bahkan, Comte sendiri menyatakan bahwa sosiologi harus menjadi fisika sosial, yaitu dengan menciptakan hukum-hukum sosial (Agger, 2006: 11). Ditambahkan oleh Suyanto (2012: 21) positivisme terlalu mengedepankan hukum tindakan manusia, terlalu mengedepankan sains. Frankrut School (asal muasal teori sosial kritis) berpendapat bahwa kebenaran bukanlah diperoleh semata hanya melalui pengukuran dan sejenisnya, menurut Frankrut School fenomena sosial sesungguhnya adalah dunia yang ditafsirkan. Jika dicermati, positivisme mewujud dalam penelitian-penelitian kuantitatif yang berusaha menjelaskan fenomena sosial menurut hukum-hukum matematis. Perlu dicermati pula, mengapa pada beberapa kurun waktu yang lalu buku-buku yang banyak tersebar di gerai-gerai kapitalisme (baca: toko-toko buku) adalah buku-buku berpandangan positivisme? Lalu apa motif pembakaran buku-buku berhaluan kiri di Yogyakarta pada kurun

waktu tertentu? Apakah ada kaitannya dengan sistem politik suatu wilayah? Inikah yang dinamakan kebenaran sejati suatu ilmu pengetahuan? Sangat disayangkan ketika para akademisi hanya sampai pada titik pendeskripsian dan penciptaan hukum-hukum fenomena sosial saja. Sementara di luar sana masyarakat sedang mengalami anomi sosial, tidak tahu kepada siapa akan menyandarkan diri. Bahkan tidak sadar jika mereka sedang menghadapi masalah besar, yakni kungkungan kapitalisme. Kondisi kekinian dipandang sebagai fakta yang memang seharusnya ada dan terjadi. Ketidaksadaran inilah yang dalam teori sosial kritis disebut dengan kesadaran palsu. Masyarakat sedang berada dalam struktur dominasi yang direproduksi melalui kesadaran palsu manusia, yang dilanggengkan oleh ideologi (Marx), reifikasi (Lucas), hegemoni (Gramsci), pemikiran satu dimensi (Marcuse), dan metafisika keberadaan (Derida). Yang kini dilestarikan oleh positivisme melalui berbagai argumen dan metodenya untuk mencapai kebenaran yang memunculkan hukum-hukum kaku tentang fenomena sosial. Agger (dalam Suyanto, 2012: 15) menyatakan bahwa komitmen politik tidak perlu menyingkirkan objektivitas yang kaku, yang melihat dunia sebagaimana adanya, karena penggunaan teori kritis justru akan lebih membuka tabir dan menjelaskan akar persoalan yang terjadi secara mendalam. Permasalahan-permasalah yang muncul di masyarakat perlu dicarikan solusinya. Kesaktian yang dimiliki akademisi sangat dibutuhkan untuk meminimalisir masalah-masalah sosial. Akademisi dianggap sebagai makhluk setara alien maha cerdas yang akan membantu menyelesaikan permasalahan sosial melalui riset-riset dan rekomendasi yang diajukannya. Untuk itu sosiologi tidak sekedar berhenti setelah menganalisis data, melainkan harus bergerak mencari jalan keluar bagi terciptanya masyarakat emansipatoris, yakni masyarakat yang bebas dari penindasan dan kesengsaraan (Suyanto, 2012: 23). Masyarakat membutuhkan landasan untuk bertindak, untuk menentukan sikap yang didasarkan pada kajian ilmiah, yang itu semua dicapai oleh para sosiolog melalui riset ilmiah. Jika dapat ditarik suatu statement, salah satu karakteristik teori sosial kritis adalah adanya keberpihakan peneliti, penulis, atau analis terhadap suatu fenomena sosial. Sikap ini sekaligus merupakan upaya untuk mendobrak karakter sosiologi yang non-etis. Sudah saatnya ilmu pengetahuan dimanfaatkan untuk kemaslahatan hidup bersama, khususnya dalam melepaskan masyarakat dari belenggu penindasan dan kesadaran palsu. Inilah tataran tertinggi dari sebuah ilmu pengetahuan. Implikasinya ketika peneliti melakukan penelitian tentang praktik pelacuran, kiranya perlu ada sikap berpihak terhadap keberadaan para pelacur. Wanita-wanita pelacur tidak semata ditempatkan pada posisi bersalah, perlu dikaji alasan mereka memilih pekerjaan tersebut. Apakah mereka merupakan korban, efek domino budaya patriarkhi, atau ketidakberdayaan perempuan yang selalu ditempatkan sebagai the second sex, dan lain sebagainya. Demikian juga ketika peneliti melakukan penelitian tentang kemiskinan. Penelitian juga perlu diarahkan bagaimana sistem dunia menciptakan mereka, kebijakan-kebijakan yang ditempuh, dan bagaimana kapitalisme global melanggengkan praktik-praktik eksploitasi dan penindasan. Kiranya isu-isu sosial serupa itulah yang perlu diupayakan keberpihakan peneliti untuk dicarikan solusinya demi kemaslahatan hidup bermasyarakat. DAFTAR PUSTAKA

Agger, Ben. 2006. Teori Sosial Kritis Kritik, Penerapan, dan Implikasinya. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Soekanto, Soerjono. 2002. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Suyanto, Bagong. 2012. Anak Perempuan yang Dilacurkan Korban Eksploitasi di Industri Seksual Komersial. Yogyakarta: Graha Ilmu.

You might also like