You are on page 1of 23

PENGERTIAN SYARIAT, FIKIH DAN HUKUM ISLAM 1.

Syariat Secara etimologis, kata syariat, (dalam bahasa Arab, aslinya, syarah/ )berasal dari kata syaraa ( )yang berarti jalan ke tempat keluarnya air untuk minum atau tempat lalu air di sungai. Dalam perkembangannya, kata syariah digunakan orang Arab untuk konotasi jalan lurus ( .( Dalam al-Qur`an kata syara`a, dalam berbagai bentuknya diungkapkan sebanyak lima kali, yaitu surat al-Maidah/ 5: 48, al-A`raf/ 7: 163; al-Syra/ 42: 13 dan 21, dan dalam surat al-Jtsiyah/ 45: 18. Kata syariat pada ayat-ayat tersebut mengandung arti jalan yang lurus dan jelas menuju kebahagiaan hidup. Pengertian ini menurut para ahli, identik dengan pengertian agama (al-din/ .) Karena hanya

agamalah yang dapat membimbing manusia kepada kebenaran hakiki untuk memperoleh kemenangan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Firman Allah dalam surat al-Jtsiyah ayat 18.

Artinya : Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu. Dalam surat al- Syra ayat 13 ditegaskan:

Artinya : Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu; tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya.

Kata syariat dalam ayat di atas, tampaknya, identik dengan agama, yang mengandung arti mengesakan Allah, mematuhi dan mengimani utusan-Nya, kitab-kitab-Nya, hari pembalasan, dan mentaati segala sesuatu (perintah dan, atau larangan Allah) yang membawa seseorang menjadi muslim dalam arti sesungguhnya.

Apabila dicermati arti syariat secara bahasa di atas, tampaknya terdapat keterkaitan kandungan makna antara syariat dengan air, seperti dijelaskan Amir Syarifuddin, bahwa orang yang mematuhi syariat, ia akan mengalir dan bersih jiwanya. Allah menjadikan air sebagai penyebab kehidupan lahiriah (fisik) sebagaimana Dia menjadikan syariat sebagai penyebab kehidupan jiwa (batiniah) manusia. Menurut istilah, Mann al-Qatthn mengemukakan, bahwa syariat adalah:

Artinya : Segala ketentuan Allah yang disyariatkan bagi hamba-Nya baik menyangkut akidah, ibadah, akhlak maupun mu`amalah.

Defenisi di atas, tampaknya masih mengacu pada pengertian agama (al-dn), dimana aspek-aspek pokok ajaran agama (Islam) dimasukkan ke dalam cakupan syariat. Muhammad Al al-Syis. Berdasarkan kesimpulannya terhadap pendapat para ulama, mengatakan bahwa syariat adalah:

Artinya : Hukum-hukum yang telah ditetapkan Allah agar manusia beriman dan beramal saleh, yang dapat membuat mereka bahagia di dunia dan di akhirat. Menurut al-Syis, pengertian syariat seperti ini mengandung tiga dimensi; salah satunya adalah dimensi hukum, yaitu meliputi tindakan-tindakan manusia, seperti ibadah, mu`amalah, hukuman dan lain sebagainya yang termasuk ke dalam kajian fikih. Pengertian inipun masih berorientasi pada pengertian agama. Sementara, menurut Mahmd Syaltt, syariat adalah:

Artinya : Ketentuan-ketentuan yang ditetapkan Allah atau hasil penalaran atas dasar ketentuan tersebut, untuk dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan umat manusia, baik dalam hubungannya dengan Tuhan, dengan umat manusia; sesama muslim atau non muslim, maupun dengan alam sekitarnya.

Pengertian yang dikemukakan Syaltt ini dengan jelas telah memisahkan antara agama dengan syariat. Menurutnya, agama (Islam) terdiri dari dua ajaran pokok, yaitu akidah dan syariat, dimana syariah lebih dikhususkan pada persoalan amaliah. Lebih lanjut, masih menurut Syaltt, aspek akidah merupakan pondasi tempat tumbuh dan berkembangnya syariah. Sedangkan syariah adalah sesuatu yang harus tumbuh dari akidah itu.

Defenisi di atas juga menunjukkan, bahwa syariat --sebagai ketentuan yang mengatur persoalanpersoalan amaliah-- terdiri dari dua kategori; pertama, ketentuan-ketentuan hukum yang secara langsung ditetapkan oleh Syri (Allah dan Rasul-Nya di dalam Al-Qur`an dan Sunnah). Ketentuanketentuan tersebut bersifat abadi dan tidak berubah, karena tidak ada yang punya wewenang merubahnya kecuali Allah.

Kedua, ketentuan-ketentuan hukum hasil kajian para ulama mujtahid yang merujuk pada al-Qur`an dan Sunnah dengan menggunakan metode-metode istinbth hukum seperti kias, mashlahah almursalah, istihsan, sadd al-dzarah ataupun metode ijtihad lainnya. Ketentuan-ketentuan hukum

kategori kedua ini tidak memiliki sifat keabadian dan bisa berubah-ubah dan amat dipengaruhi oleh keilmuan mujtahid yang bersangkutan serta lingkungan dan dinamika kultur masyarakat.

2. Fikih Secara lughawi (semantis), kata fikih berasal dari bahasa Arab, fiqh/ bermakna mengetahui sesuatu dan memahaminya dengan baik. Di beberapa tempat, al-Qur`an menggunakan katafaqiha/ dalam berbagai bentuknya untuk pengertian yang umum, yaitu pemahaman. imbauan al-Qur`an ( " untuk memperdalam

pengetahuan mereka tentang agama) menunjukkan bahwa fikih tidak menegaskan suatu pengertian eksklusif tentang hukum, melainkan suatu pemahaman yang mendalam tentang agama (Islam) secara umum. Hal ini menunjukkan bahwa pada masa awal Islam, istilah fikih belum memiliki arti khusus. Kendati demikian, terminologi fikih mulai mengarah pada kedalaman intensitas keyakinan, tauhid, hukumhukum dan ajaran Islam lainnya. Keadaan seperti ini menurut kesimpulan Ahmad Hasan, berjalan sampai pada abad kedua Hijriah, dimana terminologi fikih mencakup persoalan-persoalan teologis, akhlak dan hukum. Sebuah buku yang terkenal, al-Fiqh al-Akbar, yang dinisbahkan pada Abu Hanifah (w. 150 H.), menurut Hasan, adalah bukti nyata di mana Abu Hanifah memasukkan persoalan-persoalan akidah, hukum dan akhlak sebagai bagian yang dicakup oleh terminologi fikih. Akan tetapi, dalam perkembangan berikutnya, muatan terminologi fikih tidak lagi bersifat umum, melainkan khusus pada hukum-hukum syariah yang berkaitan dengan perbuatan manusia. Secara istilah defenisi fikih yang dikemukakan oleh para ulama fikih (fuqah`) berkisar:

Artinya : Ilmu tentang hukum-hukum syarak yang bersifat amaliah yang ditemukan dari dalil-dalilnya yang rinci.

Berdasarkan defenisi di atas, paling tidak ada empat hal yang membedakan istilah fikih, sebagai salah satu disiplin ilmu keislaman, dengan selainnya, yaitu: Pertama, fikih adalah suatu ilmu. Sebagai suatu ilmu, sudah jelas, fikih memiliki tema pokok dengan kaidah-kaidah serta prinsip-prinsip khusus. Karenanya, dalam mengkaji fikih para mujtahid menggunakan metode-metode atau pendekatan tertentu, seperti kias, istihsan, mashlih al-mursalah, sadd al-dzar`ah, atau metode ijtihad lainnya. Kedua, fikih adalah ilmu tentang hukum-hukum syariat. Penggunaan kata " "(tentang hukum-hukum syariat) menunjukkan bahwa kajian dan ruang lingkup fikih menyangkut ketentuan-ketentuan yang bersifat syar`i dan tidak mencakup persoalan-persoalan yang di luar

hukum syarak, seperti hukum-hukum akal. Contoh, satu adalah separoh dari dua, tidak termasuk ke dalam pengertian fikih menurut istilah. Ketiga,

fikih

adalah

ilmu

tentang

hukum-hukum

syarak

yang

bersifat

amaliah.

Kata amaliah menunjukkan bahwa hukum-hukum fikih selalu berkaitan dengan perbuatan yang dilakukan manusia baik dalam bentuk ibadah maupun mu`amalah. Dengan demikian, hukumhukum non amaliah, seperti masalah-masalah yang berkaitan dengan dasar-dasar iman (i`tiqdiyyah) serta cabang-cabangnya, tidak termasuk ke dalam kajian fikih. Keempat, fikih adalah ilmu tentang hukum-hukum syarak yang bersifat amaliah yang ditemulkan dari dalil-dalilnya yang tafshl.

Artinya, hukum-hukum fikih diambil atau digali dari sumbernya yaitu nash al-Qur`an atau hadis melalui proses istidll (pencarian hukum dengan dalil), atau istinbth (deduksi atau penyimpulan), atau analisis (nazhar). Pengetahuan tentang kewajiban shalat lima waktu, salah satu contoh, tidak termasuk ke dalam pengertian fikih, karena hal ini secara langsung (tekstual) dapat ditemukan di dalam nash.

Adapun kata tafshili, maksudnya adalah satuan-satuan dalil yang masing-masing menunjukkan kepada suatu hukum dari suatu perbuatan tertentu, apakah haram, wajib, makruh, dan, atau kategori hukum lainnya.

Dari definisi fikih dan penjelasannya di atas dapat dipahami, bahwa fikih --yang menurut Amir Syarifuddin adalah dugaan kuat yang dicapai oleh seorang mujtahid dalam usahanya menemukan hukum Allah-- berbeda dengan syariat. Perbedaan itu dapat dilihat, antara lain dari segi di mana syariat itu bersifat tetap dan --kebenaran serta keadilannya-- pasti karena berasal dari kehendak Allah (sebagai Syri atau Pembuat syariat). Seperti ditegaskan Abu Zahrah, hanya Allah yang berhak menetapkan hukum syarak. Sementara fikih, tidak bersifat tetap. Fikih bisa saja diubah dan dirombak sesuai dengan perbedaan tempat, perubahan waktu, serta lingkungan dan dinamika kultur masyarakat di mana fikih itu diterapkan. Begitu juga kebenaran dan keadilan fikih tidak bersifat pasti, melainkan nisbi (relatif). Sifat fikih yang demikian disebabkan fikih adalah interpretasi terhadap hukum syarak. Satu hal lagi, dan tidak bisa diingkari, berdasarkan fakta sejarah pembentukan fikih, bahwa faktor sosio kultural, politik, dan faktor-faktor lainnya ikut mempengaruhi bagaimana bentuk atau corak suatu fikih.

Meskipun demikian, syariat bukan fikih, akan tetapi keduanya memiliki hubungan yang erat dan tidak dapat dipisahkan. Karena, syariat adalah asal, pokok, sari atau inti, ajaran yang ideal serta berlaku secara universal. Sementara fikih, adalah cabang (fur), atau perwujudan dan syariat. Dalam

kedudukannya sebagai cabang atau perwujudan dari syariat, fikih harus responsif terhadap persoalanpersoalan di sekitarnya. Dalam kaitan ini, Muhammad Al al-Syis mengatakan bahwa formulasi fikih tidak terlepas dari pengaruh-pengaruh yang bersifat kultural, dan karenanya, masa berlakunya bersifat temporal sesuai dengan kebutuhan ruang dan zaman tertentu. Konsekuensinya, seperti diutarakan Ibnu Qayyim al-Jawziyyah, perubahan dan perbedaan fatwa atau opini hukum dapat terjadi karena perbedaam waktu, tempat, situasi, tujuan, niat dan adat istiadat. Hal di atas adalah suatu keniscayaan sehingga fikih, sebagai perwujudan syariat memiliki adaptabilitas dengan dinamika kehidupan sosial yang setiap saat terus berubah dan berkembang. Di sinilah letak pentingnya arti fikih bagi syariat. Syariat, sebagai ajaran yang diyakini, selalu up to date (cocok sepanjang zaman), hanya bisa dibuktikan melalui fikih. Konsep-konsep syariat yang ideal --dan untuk kategori hukum yang berhubungan dengan kategori kemasyarakatan umumnya bersifat global-- harus diterjemahkan dalam tataran praktis, wujud nyata atau dibumikan --meminjam istilah Quraish Shihab-- dalam realitas sosial, lagi-lagi melalui fikih.

Dengan demikian, pengembangan syariat sangat tergantung pada fungsi dan pola fikih. Dan, pengamalan hukum-hukum fikih adalah bagian dari pengalaman syariat juga. Dengan ungkapan lain, fikih adalah bagian dari syariat, tetapi bukan syariat itu sendiri.

3. Hukum Islam Kata hukum dan Islam, keduanya berasal dari bahasa Arab dan digunakan dalam al-Qur`an di beberapa tempat. Akan tetapi, al-Qur`an tidak pernah menggunakan kedua kata ini secara bergandengan. Begitu juga dalam literatur hukum Islam klasik, sejauh yang penulis ketahui tidak pernah menggunakan kata hukum Islam. Ungkapan yang digunakan yang mengandung konotasi hukum-- biasanya adalah kata syarah al-Islm, hukum syara, syarah atau syara, dan, atau fikih. Para pakar hukum Islam menduga, bahwa istilah hukum Islam merupakan terjemahan Indonesia dari islamic law, yang sering dijumpai dalam literatur yang berbahasa Barat. Untuk memudahkan dalam memahami istilah hukum Islam, terlebih dahulu harus dipahami apa pengertian hukum itu sendiri. Memang, tidak mudah untuk membicarakan istilah hukum jika ingin memulainya dengan sebuah defenisi yang memuaskan. Berbagai ahli mengemukakan beragam defenisi tentang hukum sesuai dengan sudut pandang masing-masing. Keragaman defenisi hukum tersebut, menurut Hart (seorang pemerhati hukum dari Universitas Oxford) sebenarnya lebih banyak disebabkan oleh perbedaan cara melihat hukum itu sendiri daripada perbedan pandangan tentang apa yang dimaksud hukum. Orang yang bergerak di bidang hukum, lanjut Hart, umumnya mengetahui hukum tersebut, tetapi ia sering mendapat kesulitan untuk menerangkannya kepada orang lain dalam bentuk sebuah defenisi yang tegas.

Secara leksikal, kata hukum --seperti disebutkan di atas-- berasal dari bahasa Arab, yaitu hukm ( ), jamaknya ahkm ( ) yang berarti, antara lain menolak. Dari sinilah terbentuk kata al-hukm ( ,gnay ( antara lain, berarti menolak kezaliman atau penganiayaan.

Dalam bahasa Indonesia, kata hukum juga mengandung beberapa pengertian. Di antaranya, yang penting disebutkan di sini adalah: (1) peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat, dikukuhkan oleh penguasa, pemerintah, atau otoritas; (2) undang-undang, peraturan, dan sebagainya untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat; (3) keputusan (pertimbangan) yang ditetapkan oleh hakim (dalam pengadilan); vonis, dan sebagainya.

Adapun menurut istilah, sebagaimana yang telah diutarakan sebelumnya, para ahli memberikan defenisi yang beragam tentang hukum. Dari sejumlah defenisi tersebut, menurut Hazairin, sebagaimana telah disinggung, dapat dikelompokkan kepada dua pandangan. Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa hukum hanyalah suatu segi dari penjelmaan hidup kemasyarakatan. Yakni, serangkaian perhubungan tertentu yang timbul dalam, dan dari masyarakat tertentu pula. Jelasnya menurut pandangan ini, hukum adalah seperangkat peraturan hidup yang berpokok kepada hak dan kewajiban yang berlaku selama didukung oleh masyarakat itu. Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa hukum bukanlah hanya suatu segi dari penjelmaan hidup masyarakat saja. Dengan kata lain, tidak hanya sesuatu yang berdiri sendiri, melainkan ada kaitannya yang sangat eratdengan Tuhan. Bahkan melihat tuhan sebagai sumber hukum yang utama. Yang disebut pertama, oleh Hazairin, dinamakan dengan paham kemasyarakatan, dan, yang kedua, dinamakannya dengan paham ketuhanan.

Defenisi hukum yang dikemukakan Muhammad Muslehuddin (cendikiawan muslim lulusan Fakultas Hukum Universitas London), agaknya mendekati kedua paham (pandangan) di atas, yaitu: kumpulan aturan, baik sebagai hasil pengundangan formal maupun dari kebiasaan, di mana suatu negara atau masyarakat tertentu menerima aturan-aturan tersebut. Apabila dihubungkan defenisi Muslehuddin ini dengan pengertian hukum secara bahasa di atas, maka dapat dirumuskan bahwa hukum pada hakekatnya merupakan kaedah atau pegangan bagi manusia yang digunakan sebagai pembatas sikap, prilaku dalam melangsungkan hubungan dan kegiatan dengan sesama manusia lainnya dalam pergaulan hidup masyarakat. Jika seseorang telah mematuhi hukum yang berlaku, atau berbuat sesuai dengan hukum, maka orang tersebut akan menolak berbuat zalim atau aniaya, baik terhadap dirinya sendiri, terhadap sesama manusia, maupun terhadap sesama makhluk. Bila hukum itu dihubungkan dengan hukum Islam atau hukum syara, maka akan terbayang bahwa hukum Islam adalah hukum yang sesuai dengan --atau berdasarkan-- kehendak Allah. (Itulah sebabnya mengapa seorang mukalaf yang bertindak menurut hukum (Islam) dalam segala macam

situasi dan kegiatan dianggap memenuhi kehendak Allah). Akan tetapi, seperti ditegaskan Amir Syarifuddin, sebagian besar kehendak Allah itu tersimpan di balik apa yang tertulis dalam al-Qur`an dan hadis Rasul-Nya (syariat). Untuk itu, lanjut Amir, dibutuhkan pemahaman yang mendalam tentang al-Qur`an dan hadis (syariat) itu. Hasil pemahaman tersebut, yang dituangkan dalam bentuk ketentuan rinci, dinamakan fikih. Dengan dasar pemikiran seperti di atas, maka pernyataan Hasbi Ash-Shiddieqy yang menyamakan fikih Islam dengan hukum Islam dapat diterima. Menurut Hasbi, hukum Islam adalah koleksi daya upaya fuqah (ahli hukum Islam) untuk menerapkan syariat sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Kata koleksi syariat dalam defenisi di atas menunjukkan, bahwa yang dimaksud dengan hukum Islam --seperti, juga, ditegaskan Amir Syarifuddin-- adalah yang bernama fikih dalam literatur Islam yang berbahasa Arab. Cuma saja, dalam penggunaan kata-kata hukum Islam --dikalangan umat Islam Indonesia-- sering menimbulkan kebingungan. Istilah hukum Islam, seperti halnya fikih, sering diidentikkan dengan syariat dalam arti sempit. Padahal, seperti telah dijelaskan, fikih atau hukum Islam memiliki perbedaan yang cukup mendasar dengan syariat dalam pengertian teknis. Sedangkan kata sesuai kebutuhan masyarakat menunjukkan bahwa hukum Islam itu harus dinamis, disamping harus memiliki daya adaptabilitas dengan realitas kehidupan masyarakat. Artinya, ruang dan waktu serta kondisi-kondisi tertentu akan mempengaruhi corak hukum Islam, dimana koleksi daya upaya fuqah` (fikih-fikih klasik), seperti disinggung Hasbi dalam defenisi di atas, --untuk babbab tertentu-- tidak harus dilaksanakan secara kaku atau tekstual, melainkan harus melalui transformasi. Hukum Islam dalam konteks ini adalah hukum Islam (fikih) lokal. Dengan demikian, hukum Islam yang berlaku pada suatu negara nasional bisa saja berbeda dengan hukum Islam yang berlaku di negara nasional lain seperti perbedaan suatu mazhab dengan mazhab lain dalam pengertian fikih tradisional. Sungguhpun begitu, hukum Islam dalam berbagai negara nasional tetap berasal dari sumber yang sama, yaitu syariat sebagai hukum Ilahi yang bertujuan menjaga lima hal seperti tersimpul dalam maqshid al-syarah (tujuan hukum disyariatkan).

KONSEP MAZHAB DALAM ISLAM Terwujudnya berbagai mazhab-mazhab dalam Islam adalah untuk memberi kemudahan setiap insan muslim mengerjakan ibadat. Ini adalah rahmat yang Allah s.w.t kurniakan kepada umatNya disebabkan situasi yang berbeza-beza yang tidak boleh disatukan seperti keadaan geografi dan sebagainya. Sebagai contoh, negara Malaysia mengamalkan mazhab Syafi'i. Manakala, negara jiran indonesia mengamalkan syafi'f dan hanbali dan negara Barat pula kebanyakkannya mengamalkan mazhab Hanafi dan Hambali.

Ini bertepatan sekali dengan maksud hadis : " Berbeza pendapat ulama' itu adalah satu rahmat ". Kita dilarang berpindah dari satu mazhab ke satu mazhab lain kerana ia boleh menyebabkan ibadat yang kita lakukan itu tidak sah. Pendapat yang mengatakan hanya mazhab yang kita ikuti sahaja yang betul itu adalah salah kerana imam-imam pengasas mazhab itu semuanya berilmu dan tafsiran mereka sememangnya mengikut Al-Qur'an, hadis dan sunnah Nabi s.a.w. Di samping itu mereka juga terdiri dari ahli mujtahid dan ahli sunnah wal Jamaah. Perlu diingat bahawa tidak pernah atau termaktub dalam sejarah dari dahulu sehinggalah sekarang di mana Imam Syafi'i atau mana-mana Imam lain memperkecilkan atau menyalahkan di antara satu sama lain bahkan mereka saling hormat menghormati pendapat masing-masing. Inilah yang menunjukkan kemudahan dan keindahan Islam kerana Islam itu mudah sebagaimana firman Allah s.w.t yang bermaksud: " .......dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan........" (al-Hajj : 78) Walaubagaimanapun, perlu diambil perhatian bahawa jika kita ingin berpindah ke mazhab lain untuk melakukan ibadat atau mengerjakan satu-satu ibadat disyaratkan hendaklah dengan taqlid yang jazam (pasti). Ini bermakna kita mesti mengetahui asas-asas hukum dengan dalil-dalil naqli (Al-Qur'an dan Hadist) dan dalil-dalil 'aqli. Hadis nabi s.a.w bermaksud : " Aku telah tinggalkan kepada kamu 2 perkara, sekiranya kamu berpegang dengan kedua-duanya, maka kamu tidak akan sesat selama-lamanya iaitu al-Qur'an dan sunnahku " Rujukan: 1. Fiqh al-Ghayah 2. Fiqh al-Mazahib

HAKIKAT IBADAH Allah berfirman (yang artinya), Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. (QS. Adz-Dzariyat : 56). Allah menciptakan kita untuk beribadah. Apakah makna ibadah? Berikut ini kami nukilkan keterangan Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah di dalam Fath Al-Majid (hal. 17 cetakan Dar Ibnu Hazm). Beliau memaparkan :

Syaikhul Islam mengatakan, Ibadah adalah melakukan ketaatan kepada Allah yaitu dengan melaksanakan perintah Allah yang disampaikan melalui lisan para rasul. Beliau juga menjelaskan, Ibadah adalah istilah yang meliputi segala sesuatu yang dicintai Allah dan diridhai-Nya, berupa ucapan maupun perbuatan, yang tampak maupun yang tersembunyi. Ibnul Qayyim mengatakan, Ibadah berporos pada lima belas patokan. Barangsiapa dapat menyempurnakan itu semua maka dia telah menyempurnakan tingkatan-tingkatan penghambaan (ubudiyah). Keterangannya ialah sebagai berikut : Ibadah terbagi menjadi ibadah hati, lisan, dan anggota badan. Sedangkan hukum-hukum yang berlaku dalam kerangka ubudiyah itu terbagi lima : wajib, mustahab/sunnah, haram, makruh, dan mubah. Masing-masing hukum ini berlaku meliputi isi hati, ucapan lisan, dan perbuatan anggota badan. Al-Qurthubi mengatakan, Makna asal dari ibadah adalah perendahan diri dan ketundukan. Berbagai tugas/beban syariat yang diberikan kepada manusia (mukallaf) dinamai dengan ibadah; dikarenakan mereka harus melaksanakannya dengan penuh ketundukan kepada Allah taala. Makna ayat tersebut (QS. Adz-Dzariyat : 56) adalah Allah taala memberitakan bahwa tidaklah Dia menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Nya. Inilah hikmah penciptaan mereka. Saya katakan (Syaikh Abdurrahman), Itulah hikmah yang dikenal dengan nama hikmah syariyah diniyah. Al-Imad Ibnu Katsir mengatakan, Makna beribadah kepada-Nya yaitu menaati-Nya dengan cara melakukan apa yang diperintahkan dan meninggalkan apa yang dilarang. Itulah hakikat ajaran agama Islam. Sebab makna Islam adalah menyerahkan diri kepada Allah taala yang mengandung puncak ketundukan, perendahan diri, dan kepatuhan. Selesai ucapan Ibnu Katsir. Beliau (Ibnu Katsir) juga memaparkan tatkala menafsirkan ayat ini (QS. Adz-Dzariyat : 56), Makna ayat tersebut; sesungguhnya Allah taala menciptakan makhluk untuk beribadah kepada-Nya semata tanpa ada sekutu bagi-Nya. Barangsiapa yang taat kepada-Nya akan Allah balas dengan balasan yang sempurna. Sedangkan barangsiapa yang durhaka kepadaNya niscaya Allah akan menyiksanya dengan siksaan yang sangat keras. Allah pun mengabarkan bahwa diri-Nya sama sekali tidak membutuhkan mereka. Bahkan mereka itulah yang senantiasa membutuhkan-Nya di setiap kondisi. Allah adalah pencipta dan pemberi rezeki bagi mereka.

Ali bin Abi Thalib radhiyallahuanhu mengatakan mengenai ayat ini, Maknanya adalah tujuan-Ku (menciptakan mereka) adalah agar mereka Ku-perintahkan beribadah kepada-Ku. Sedangkan Mujahid mengatakan, Tujuan-Ku (menciptakan mereka) adalah untuk Aku perintah dan Aku larang. Tafsiran serupa ini juga dipilih oleh Az-Zajjaj dan Syaikhul Islam. Beliau (Ibnu Katsir) mengatakan, Tafsiran ini didukung oleh makna firman Allah taala, Apakah manusia itu mengira dia dibiarkan begitu saja dalam keadaan sia-sia. (QS. AlQiyamah : 36). Asy-Syafii menjelaskan tafsiran sia-sia yaitu, (Apakah mereka Kubiarkan) Tanpa diperintah dan tanpa dilarang?! Sampai di sini keterangan yang kami nukil dari Fath Al-Majid. Dengan memperhatikan keterangan beliau di atas, dapat disimpulkan bahwa : Pertama; Ibadah adalah tujuan hidup kita Kedua; Hakikat ibadah itu adalah melaksanakan apa yang Allah cintai dan ridhai dengan penuh ketundukan dan perendahan diri kepada Allah Ketiga; Ibadah akan terwujud dengan cara melaksanakan perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya Dengan demikian orang yang benar-benar mengerti kehidupan adalah yang mengisi waktunya dengan berbagai macam bentuk ketaatan; baik dengan melaksanakan perintah maupun menjauhi larangan. Sebab dengan cara itulah tujuan hidupnya akan terwujud. Semoga Allah memberikan taufik dan pertolongan-Nya kepada kita untuk menjadi hambaNya yang sejati; yang tunduk dan patuh kepada Rabb penguasa jagad raya, bukan menjadi budak hawa nafsu dan ambisi-ambisi dunia. Wa shallallahu ala nabiyyina Muhammadin wa ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil alamin. Post : Yogyakarta, permulaan bulan Dzulqadah 1429 H PERUMPAMAAN SHALAT "Perumpamaan shalat lima waktu seperti sebuah sungai yang airnya mengalir dan melimpah dekat pintu rumah seseorang yang tiap hari mandi di sungai itu lima kali." (HR. Bukhari dan Muslim). Di hadist lain Rasulullah bersabda, "Perumpamaan shalat lima waktu adalah seperti sungai air tawar yang mengalir didepan rumah siapa saja diantara kamu. Dia mandi di situ setiap hari

lima kali. Apakah menurutmu hal itu akan meninggalkan kotoran pada badannya?" Para sahabat menjawab, "Tidak sedikitpun." Kemudian, beliau bersabda, "Shalat lima waktu itu dapat menghilangkan dosa sbagaimana air membersihkan kotoran." KONSEP IBADAH DALAM ISLAM Mukaddimah Hidup manusia dibumi ini bukanlah suatu kehidupan yang tidak mempunyai tujuan dan matlamat dan bukanlah mereka boleh melakukan sesuatu mengikut kehendak perasaan dan keinginan tanpa ada batas dan tanggungjawab. Tetapi penciptaan makhluk manusia di bumi ini adalah mempunyai suatu tujuan dan tugas risalah yang telah ditentu dan ditetapkan oleh Allah Tuhan yang menciptanya. Tugas dan tanggungjawab manusia sebenarnya telah nyata dan begitu jelas sebagaimana terkandung di dalam al-Quran iaitu tugas melaksanakan ibadah mengabdikan diri kepada Allah dan tugas sebagai khalifah-Nya dalam makna mentadbir dan mengurus bumi ini mengikut undang-undang Allah dan peraturan- Nya. Firman Allah swt. maksudnya: Dan Aku Tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah (menyembah) kepada Ku. (Az-Zaariyaat: 56) Firman Allah swt. bermaksud: Dan Dialah yang menjadikan kamu khalifah (penguasa-penguasa) di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebaha-gian (yang lain) beberapa darjat untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. (al-Anaam: 165) Tugas sebagai khalifah Allah ialah memakmurkan bumi ini dengan mentadbir serta mengurusnya dengan peraturan dan undang-undang Allah. Tugas beribadah dan mengabdi diri kepada Allah dalam rangka melaksanakan segala aktiviti pengurusan bumi ini yang tidak terkeluar dari garis panduan yang datang dari Allah swt. dan dikerjakan segala kegiatan pengurusan itu dengan perasaan ikhlas kerana mencari kebahagian dunia dan akhirat serta keredaan Allah.

Allah swt. telah menyediakan garis panduan yang lurus dan tepat kepada manusia dalam rangka pengurusan ini. Allah dengan rasa kasih sayang yang bersangatan kepada manusia diturunkannya para rasul dan bersamanya garis panduan yang diwahyukan dengan tujuan supaya manusia itu boleh mengurus diri mereka dengan pengurusan yang lebih sempurna dan bertujuan supaya manusia itu dapat hidup sejahtera dunia dan akhirat. Pengertian Ibadah Kalimat ibadah berasal daripada kalimat `abdun. Ibadah dari segi bahasa bererti patuh, taat, setia, tunduk, menyembah dan memperhambakan diri kepada sesuatu. Dari segi istilah agama Islam pula ialah tindakan, menurut, mengikut dan mengikat diri dengan sepenuhnya kepada segala perkara yang disyariatkan oleh Allah dan diserukan oleh para Rasul-Nya, sama ada ia berbentuk suruhan atau larangan. Ibnu Taimiah pula memberi takrif Ibadah, iaitu nama bagi sesuatu yang disukai dan kasihi oleh Allah swt. Perintah Allah dan Rasul-Nya ini hendaklah ditunaikan dengan perasaan penuh sedar, kasih dan cinta kepada Allah, bukan kerana terpaksa atau kerana yang lain dari cintakan kepadaNya. Para Nabi dan Rasul merupakan hamba Allah yang terbaik dan sentiasa melaksanakan ibadah dengan penuh kesempurnaan di mana setiap arahan Tuhannya, mereka patuhi dengan penuh perasaan cinta dan kasih serta mengharap keredaan dari Tuhannya. Mereka menjadi contoh teladan yang paling baik kepada kita semua dalam setiap pekerjaan dan amalan sebagaimana yang dianjurkan oleh al-Quran itu sendiri. Firman Allah swt. maksudnya: Sesungghnya bagi mu, apa yang ada pada diri Rasulullah itu contoh yang paling baik. (alAhzab: 21) Sesetengah ulama mengatakan bahawa perhambaan (ibadah) kepada Allah hendaklah disertai dengan perasaan cinta serta takut kepada Allah swt. dan hati yang sihat dan sejahtera tidak merasa sesuatu yang lebih manis, lebih lazat, lebih seronok dari kemanisan iman yang lahir

dari pengabdian (ibadah) kepada Allah swt. Dengan ini maka akan bertautlah hatinya kepada Allah dalam keadaan gemar dan reda terhadap setiap perintah serta mengharapkan supaya Allah menerima amalan yang dikerjakan dan merasa bimbang serta takut kalau-kalau amalan tidak sempurna dan tidak diterima oleh Allah seperti yang ditegaskan dalam firman-Nya yang bermaksud: (Ia itu) Oran yang takut kepada Tuhan yang Maha Pemurah sedang Dia tidak kelihatan (olehnya) dan dia datang dengan hati yang bertaubat. (Qaf: 33) Orang yang memperhambakan dirinya (beribadah) kepada Allah mereka akan sentiasa patuh dan tunduk kepada kehendak dan arahan Tuhannya, sama ada dalam perkara yang ia suka atau yang ia tidak suka dan mereka mencintai dan mengasihi Allah dan Rasul-Nya lebih dari yang lain-lainnya. Mereka mengasihi makhluk yang lain hanyalah kerana Allah semata-mata, tidak kerana yang lain Kasihkan kepada Rasulullah saw. pula kerana ia membawa Risalah Islam, cintakan kepada Rasulullah saw. hendaklah mengikuti sunahnya sebagaimana firman Allah swt. maksudnya: Katakanlah (wahai Muhammad) sekiranya kamu kasihkan Allah maka ikutilah aku (pengajaranku) nescaya Allah akan mengasihi kamu dan mengampunkan dosa- dosa kamu. (Al-Imran: 31) Dan andainya kecintaan kamu kepada selain Allah dan Rasul-Nya itu mengatasi dan melebihi dari kencintaan dan kasih kepada yang lain; Allah akan turunkan keseksaan-Nya kepada manusia yang telah meyimpang dari ketentuan-Nya. Firman Allah swt. maksudnya: Katakanlah (Muhammad) jika ibu bapa kamu, anak-anak kamu, saudara mara kamu, suami isteri kamu, kaum keluarga kamu, harta benda yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu bimbangkan kerugiannya, dan rumahtangga yang kamu sukai itu lebih kamu kasihi daripada Allah dan Rasul-Nya serta berjihad untuk agama Allah, maka tunggulah (kesiksaan yang akan didatangkan) oleh Allah. Dan Allah tidak memberi hidayah kepada orang-orang fasik. (At-Taubah: 24) Ruang lingkup Ibadah dan Hubunganya dengan kehidupan Sebgaimana yang dijelaskan di atas nyatalah ibadah itu itu bukanlah sesempit apa yang difahami oleh sebahagian dari kalangan manusia yang tidak dapat memahami kesempurnaan

Islam itu sendiri di mana pada anggapan mereka Islam itu hanya suatu perbicaraan pasal akhirat (mati) dan melakukan beberapa jenis ibadah persendirian tidak lebih dari itu. Begitu juga bila disebut ibadah apa yang tergambar hanyalah masjid, tikar sembahyang, puasa, surau, tahlil, membaca al-Quran, doa, zikir dan sebagainya iaitu kefahaman sempit disekitar ibadah-ibadah khusus dan ritual sahaja tidak lebih dari itu. Kefahaman seperti ini adalah akibat dari serangan fahaman Sekular yang telah berakar umbi ke dalam jiwa sebahagian dari kalangan orang-orang Islam. Islam adalah suatu cara hidup yang lengkap dan sempurna, yang merangkumi semua bidang kehidupan dunia dan akhirat, di mana dunia merupakan tanaman atau ladang yang hasil serta keuntungannya akan dituai dan dinikmati pada hari akhirat kelak. Ibadah dalam Islam meliputi semua urusan kehidupan yang mempunyai paduan yang erat dalam semua lapangan hidup dunia dan akhirat, tidak ada pemisahan antara kerja-kerja mencari kehidupan di muka bumi ini dan hubungannya dengan balasan akhirat. Islam mengajarkan kepada kita setiap apa juga amalan yang dilakukan oleh manusia ada nilai dan balasan sama ada pahala atau siksa. Inilah keindahan Islam yang disebut sebagai ad-Deen yang lengkap sebagai suatu sistem hidup yang boleh memberi kesejahteraan hidup penganutnya di dunia dan di akhirat. Dengan kata lain setiap amalan atau pekerjaan yang membawa manfaat kepada individu dan masyarakat selama ia tidak bercanggah dengan syarak jika sekiranya ia memenuhi syaratsyaratnya, seperti dikerjakan dengan ikhlas kerana Allah semata-mata bukan kerana mencari kepentingan dan mencari nama serta ada niat mengharapkan balasan dari manusia atau ingin mendapat pujian dan sanjungan dari manusia; maka amalan-amalan yang demikian akan mejadi ibadah yang diberi pahala di sisi Allah swt di akhirat kelak, insya-Allah. Berdasarkan kepada konsep ibadah tersebut maka setiap perbuatan pertolongan baik kepada orang lain seperti membantu orang sakit, tolong merengankan beban dan kesukaran hidup orang lain, memenuhi keperluannya, menolong orang yang teraniaya, mengajar dan membimbing orang yang jahil adalah ibadah. Termasuk juga dalam makna ibadah ialah setiap perbuatan, perkataan manusia zahir dan batin yang disukai dan diredai oleh Allah swt. Bercakap benar, taat kepada ibu bapa, amanah, menepati janji, berakata benar, memenuhi hajat keperluan orang lain adalah iabadah.

Menuntut ilmu, menyuruh perkara kebaikan dan mencegah segala kejahatan, berjihad, memberi pertolongan kepada sesama manusia, dan kepada binatang, berdoa, puasa, sembahyang, membaca al-Quran semuanya itu juga adalah sebahagian dari ibadah. Begitu juga termasuk dalam pengertian ibadah cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, melaksanakan hukum-hukum Allah, sabar menerima ujian, bersyukur menerima nikmat, reda terhadap qadha dan qadar-Nya dan banyak lagi kegiatan dan tindakan manusia yang termasuk dalam bidang ibadah. Kesimpulannya ruanglingkup ibadah dalam Islam adalah terlalu terlalu luas yang merangkumi semua jenis amalan dan syiar Islam dari perkara yang sekecil-kecilnya seperti cara makan, minum dan masuk ketandas hinggalah kerja-kerja menguruskan kewangan dan pentadbiran negara semuanya adalah dalam makna dan pengertian ibadah dalam ertikata yang luas apabila semuanya itu dikerjakan dengan sebaik-baiknya dengan menurut adab dan peraturan serta memenuhi syarat-syaratnya. Hubungan Iman dan Amal Iman bukanlah sekadar suatu keyakinan dan pembenaran dalam hati terhadap apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. tetapi iman yang hakiki dan sebenar ialah merangkumi pembenaran dan keyakinan di dalam hati, pengucapan di lidah serta melaksanakan amalan dengan anggota badan iaitu melakukan amalan soleh, maka dengan ini dapatlah difahami iman itu bukanlah sekadar ucapan lidah dan keyakinan dalam hati sahaja tetapi amalan merupakan sebagai bukti kesempurnaan, keteguhan dan kemantapan iman seseorang. Imam al-Ghazali menjelaskan dalam hubungan ini dengan katanya: Iman itu ialah akidah, perkataan dan perbuatan. Dengan makna akidah itu sebagai membenarkan dan mepercayai dengan hati kepada segala yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. (perkara yang mudah (dharuri) dari agama). Perkataan adalah sebagai ikrar dan pengakuan dengan lisan dan perbuatan adalah sebagai beramal melaksanakan segala perintah Allah dengan anggota (badan yang lahir). Hadis Rasulullah saw. menguatkan adanya hubungan yang sangat erat di antara iman dan amal. dengan sabdanya sebagai berikut: Sabda Rasulullah saw. maksudnya:

Iman itu lebih dari enam puluh cabang; yang paling tingginya La-Ilaaha-Illallaah dan dan yang paling rendahnya membuang sampah dari tengah jalan. ( .R.Bukhari) Hadis ini menyatakan dengan jelas perbuatan membuang sampah sebagai sebahagian dari iman. Ini bermkna iman itu jelas bukan sekadar keyakinan dan kepercayaan dalam hati tetapi ia juga merangkumi amal atau perbuatan manusia. Pembahagian Ibadah Untuk memudahkan bahasan dan perbincangan kita berhubung dengan ibadah ini, ulamakulamak Islam membahagikan ibadah kepada dua bahagian sebagai berikut: 1. Ibadah khusus 2. Ibadah Umum Ibadah khusus ialah semua amalan yang tercantum dalam bab al-Ibadaat yang utamanya ialah sembahyang, puasa, zakat dan haji. Ibadah Umum pula ialah segala amalan dan segala perbuatan manusia serta gerak-geri dalam kegiatan hidup mereka yang memenuhi syarat-syarat berikut: 1) Amalan yang dikerjakan itu di akui oleh syarak dan sesuai dengan Islam. 2) Amalan tersebut tidak bercanggah dengan syariat, tidak zalim, khianat dan sebagainya 3) Amalan tersebut dikerjakan dengan niat ikhlas semata-mata keranaAllah swt. tidak riak, ujub dan umah. 4) Amalan itu hendaklah dikerjakan dengan sebaik-baiknya 5) Ketika mengerjakan amalan tersebut tidak lalai atau mengabaikan kewajipan ibadah khusus seperti sembahyang dan sebagainya. Firman Allah swt. maksudnya:

Lelaki yang tidak dilalaikan mereka oleh perniagaan atau jual beli dari mengingati Allah, mendirikan sembahyang dan mengeluarkan zakat mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang. (An-Nur: 37) Amalan-Amalan yang Tidak Menjadi Ibadah Dilihat dari syarat-syarat di atas, nampaklah kepada kita bahawa sesuatu amalan yang dikerjakan oleh seseorang begitu sukar sekali untuk mencapai kesempurnaan dalam makna ibadah dengan ertikata yang sebenar-benarnya mengikut syarat-syarat dan ketentuan tersebut di atas, oleh itu kita hendaklah bersungguh-sungguh dalam mengusahakan amalan kita supaya dapat mencapai matlamat ibadah yang sempurna dengan menyempurnakan segala syarat-syaratnya. Dan kita hendaklah sentiasa meneliti dan memperhatikan dengan sungguh-sungguh agar kita tidak tertipu dengan amalan kita sendiri; dengan menyangka kita telah banyak melaksanakan amal ibadah dengan sempurna tetapi pada hakikatnya tidak demikian, kita takut akan tergolong ke dalam golongan manusia yang tertipu dan sia-sia amalan kita dan apa yang kita dapat hanyalah penat dan lelah. Ini kerana kita melakukan amalan dan kerja-kerja kebajikan itu tidak menepati dan tidak selari dengan ketentuan dan syarat-syarat ibadah dan amal soleh yang dikehandkki itu. Dari itu disamping kita melaksanakan segala amalan zahir dengan sempurna mengikut petunjuk dari Rasulullah saw. apa yang lebih penting lagi ialah kita membetulkan amalan batin iaitu amalan hati supaya betul iaitu niat dengan ikhlas, amalan itu semata-mata kerana Allah tidak kerana yang lain dari-Nya. Dan kita juga hendaklah sentiasa menjaga keikhlasan hati kita ini dari penyakit-penyakit yang boleh merusakannya seperti riak, ujub, sumah, takabur dan sebagainya. Kesimpulan secara mudah ialah seorang lelaki yang memakai pakaian untuk menutup aurat dari kain sutra, dan perempuan yang berpakaian meliputi badannya tetapi masih menampakan susuk badannya masih lagi tidak dinamakan ibadah, atau seorang menderma dengan tujuan supaya dipuji dan digelar sebagai dermawan atau seorang yang rajin bersembahyang dengan niat tujuan supaya digelar sebagai ahli ibadah oleh manusia; itu semua tidak termasuk dalam makna ibadah yang diterima oleh Allah swt.

Dengan demikian jelaslah kepada kita segala amalan yang tidak memenuhi syarat-syarat di atas itu tidak dikira sebagai ibadah. Niat dan tujuan serta matlamat adalah sangat penting dalam sesuatu amalan di samping amalan tersebut tidak bercanggah serta diakui sah oleh syariat Islam. Matalamat dan Tujuan Ibadah Sebagaimana kita ketahui dan maklum bahawa pengutusan manusia ke dunia ini tidak lain melainkan untuk beribadah (memperhambakan diri) kepada al-Khaliq, Allah Yang Maha Pencipta dan juga kita telah mengetahui bahawa pengertian ibadah dalam Islam merangkumi semua bidang amalan dalam kehidupan manusia. Dan di sini timbul pertanyaan kenapa kita mengabdi menyembah Allah dan apakah matlamat ibadah itu ? Apakah ada faedah untuk-Nya atau apa faedah yang boleh didapati oleh seseorang hamba yang menyembah-Nya ? Jawapannya ialah bahawa Allah swt. Yang Maha Suci dan Maha Tinggi tidak mendapat sebarang faedah dari ketaatan orang yang menyembah-Nya dan tidak memberi mudarat sedikitpun dari keengganan orang yang menentang dan engkar kepada perintah-Nya. Begitu juga tidak menambahkan kuasa keagungan pemerintahan-Nya oleh puji-pujian orang yang memuji-Nya dan tidak mengurangi keagungan kekuasaan-Nya oleh keengkaran orangorang yang mengengkari perintah-Nya. Ini kerana Allah Maha Kaya dan mempunyai segala-galanya kerana semua yang ada di alam ini menjadi milik-Nya belaka sedangkan kita manusia adalah satu dari makhluk Allah yang banyak itu, makhluk manusia ini terlalu kecil, hina dan miskin, serba kekurangan dan sentiasa berhajat dan memerlukan kepada-Nya. Allah, Dialah Tuhan Maha Pemurah, Maha Mulia, Maha Penyayang serta bersifat Maha Memberi kepada semua makhuk-Nya dan Dia tidak menyuruh kita mengerjakan sesuatu melainkan perkara itu mendatangkan kebaikan bagi makhluk itu sendiri. Firman Allah swt. maksudnya:

Sesungguhnya Kami telah kurniakan hikmat (ilmu pengetahuan) kepada Luqman supaya dia bersyukur kepada Allah dan sesiapa yang bersyukur, sebenarnya dia bersyukur dagi faedah dirinya sendiri dan sesiapa yang ingkar, sesungghnya Allah Maha Kaya lagi Terpuji. (Luqman: 12) Dari itu kita wajiblah mensyukuri segala nikmat dan kurniaan Allah swt. kepada kita semua yang mana sekiranya kita hendak menghitugnya sudah tentu kita tidak mampu untuk berbuat demikian, begitulah besar dan banyaknya pemberian Allah kepada kita semua sebagai makhluk-Nya. Kelazatan Bermunajat dan Mentaati Allah Kelazatan beribadah ini dapat digambarkan dari beberapa peristiwa yang berlaku kepada baginda Rasulullah saw. para sahabat, tabiin dan para solihin, kelazatan ini akan timbul apabila adanya hubungan hamba dengan Tuhannya yang begitu erat dan di mana seorang hamba begitu gembira dan begitu senang memuji-muji kebesaran Allah swt. ini semua berlaku dari sebab makrifat-nya (kenalnya) seseorang hamba itu kepada Tuhannya sehingga hamba itu merasa rindu apabila ia tidak dapat menghadap Tuhannya, dan merasa gelisah kerana tidak dapat bertemu dengan yang dicintai dan dikasihinya. B begitu juga apabila seorang hamba mengalami sedikit kesusahan tentulah ia akan mengadu ketempat yang dapat menerima pengaduan dan boleh menyelesaikan masalah dan kesusahannya. Tiada tempat yang layak untuk berbuat demikian melainkan kepada Yang Maha Agung dan Maha Berkuasa. Firman Allah swt. maksudnya: Demi sesungguhnya Kami mengetahui bahawa engkau (Muhammad) bersusah hati dengan apa yang mereka katakan maka hendaklah engkau bertasbih memuji Tuhanmu serta jadilah dari golongan orang-orang yang sujud beribadah dan sembahlah Tuhanmu sehingga tiba kepadmu perkara yang tetap (iaitu mati). (al-Hijr: 97-99) Begitu juga di waktu orang-orang mukmin mendapat kurnia ia bersyukur seterusnya memuji kepada Allah swt. Firman Allah swt. maksudnya:

Bila datang pertolongan Allah dan kemenangan (pembukaan Makkah) dan engkau lihat manusia berduyun-duyun masuk agama Allah swt. maka ucapkanlah tasbih dengan memuji Tuhanmu dan mintalah ampun kepada-Nya, sesungguhnya Dia suka menerima taubat. (anNasr: 1-4) Ibadah Hanya Untuk Allah Pada hakikatnya pengabdian terhadap Allah swt. merupakan suatu kebebasan yang hakiki, jalan bagi mencapai kepada ketuannan yang sejati, kerana Allahlah yang boleh membebaskan hati nurani manusia dari perhambaan kepada sebarang makhluk dan memerdekakannya dari perhambaan dan kehinaan serta tunduk kepada yang lain dari Allah seperti tunduk kepada Tuhan-Tuhan palsu, berhala, manusia yang selalunya memperhamba dan mengongkong keyakinan manusia dengan sekuat-kuatnya miskipun pada lahirnya mereka bertindak seperti tuan yang bebas dan merdeka. Perhambaan diri kepada Allah itu membebaskan manusia daripada perhambaan sesama makhluk kerana dalam hati manusia ada keperluan sejati kepada Allah, kepada Tuhan yang disembah yang mana dia bergantung kepadanya dan berusaha serta bekerja untuk mencapai keredaan-Nya. Jika yang disembah itu bukan Allah Yang Maha Esa tentulah manusia akan meraba-raba meyembah bermacam-macam Tuhan dari setiap objek benda dan khayalan yang ada dalam pemikiran dan yang berada di sekeliling mereka. Tidak ada sesuatu pekerjaan yang paling mulia bagi manusia yang berakal selain dari beribadah menyembah Allah yang menciptanya dan menjadikan dirinya dengan sebaikbaiknya dan perkerjaan yang seburuk-buruknya kepada seorang manusia itu pula ialah menafi dan mendustakan Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka menyembah dan mengabdikan diri mereka kepada Tuhan yang lain dari Allah swt. Seorang hamba abdi yang taat kepada tuannya tentulah akan merasa senang dan gembira kerana ia tahu apa yang disukai oleh tuannya lalu disempurnakannya suruhan itu dengan segala senang hati dan disempurnakan dengan sebaik-baiknya. Manakala seorang hamba yang dimiliki oleh beberapa orang tuan selalu bertelingkah antara sesama mereka; yang satu menyuruh hamba itu melakukan sesuatu yang ditegah oleh yang lain, maka alangkah susah dan deritanya hamba tersebu itu untuk melakukan perintah-perintah Tuhan yang saling bertentangan perintahnya antara satu Tuhan dengan Tuhan yang lain.

Kalau orang yang menyembah selain dari Allah menjadi musyrik (kafir di- sebabkan ia melakukan perbuatan syirik), maka begitulah juga orang yang takabur menjadi musyrik (orang syirik), sebagaimana Firaun kerana kesombongan dan takaburnya, sebagaimana firman Allah swt. bermaksudnya: Nabi Musa as. berkata: Sesungguhnya aku berlindung kepada Tuhanku dan Tuhan kamu daripada perbuatan orang yang takabur yang tidak percaya hari Perhitungan, demikianlah Allah meterikan setiap hati orang yang takabur lagi bermaharajalela. (al-Araf: 27) Kajian menunjukan bahawa semakin besar keangkuhan seseorang yang enggan tunduk dan patuh beribadah (mengabdi diri) kepada Allah, semakin besar kesyirikannya dengan Allah, Kerana menurut kebiasaannya semakin banyak takabur tidak mahu menyembah Allah semakin bertambahlah pergantungan manusia itu terhadap makhluk yang dicintainya yang menjadi pujaan utama bagi hatinya; yang demikian mereka akan menjadi musyrik dengan sebab menjadikan dirinya hamba (menyembah) kepada selain dari Allah swt. Hati atau keyakinan manusia tidak akan terlepas dari perhambaan kepada makhluk kecuali mereka menjadikan Allah sebagai Tuhannya yang sebenar dan sejati, tiada Tuhan yang disembah melainkan Allah, tiada tempat bergantung dan meminta pertolongan melainkan dari-Nya, Tidak merasa gembira melainkan dengan apa yang disukai dan diredai-Nya, Tidak ia benci melainkan apa yang dibenci oleh Allah, tidak ia memusuhi kecuali orang yang Allah memusuhinya, tidak ia kasih melainkan kepada orang yang di kasihi oleh Allah, tidak ia memberi kecuali kerana Allah dan tidak ia melarang kecuali kerana Allah. Semakin tulus keikhlasan seseorang itu kepada Allah maka semakin sempurnalah ubudiyahnya (perhambaanya) kepada Allah dan terlepas dari pergantungannya kepada sesama makhluk, dengan sempurna ubudiyahnya kepada Allah maka sempurnalah kesuciannya dari sifat syirik. Tidak Harus Kepentingan Dunia Dijadikan Tujuan Ibadah Sama sekali tidak sesuai dengan tujuan Islam yang suci di mana tujuan atau kepentingan dunia menjadi matlamat dalam amalan atau ibadah seseorang, ataupun kepentingan dunia atau faedah-faedah dunia menjadi pendorong seseorang untuk melakukan printah ibadah kepada Allah swt.

Begitu juga kalau tujuan beramal dan beribadah kepada Allah swt. untuk mendapatkan kesucian jiwa dan dengan itu dapat mengembara ke alam arwah dan dapat melihat malaikat serta dapat melakukan sesuatu yang luar biasa, mendapat keramat (kemuliaan) dan ilmu ladunni. Semuanya ini disangkal oleh para ulamak dengan katanya: Yang demikian adalah terkeluar daripada jalan ibadah, Ia merupakan ramalan kepada ilmu atau perkara ghaib, malah akan menjadi ibadah kepada Allah itu sebagai jalan menuju ke arah demikian yang mana pada akhirnya lebih hampir kepada meninggal ibadah.Orang-orang yang beribadah dengan maksud yang demikian termasuk di bawah pengertian ayat al-Quran yang maksudnya: Sebahagian daripada manusia yang menyembah Allah secara tidak tetap, bila mendapat kebaikan dia teruskan dan bila terkena kesusahan dia berpaling tadah. Rugilah dia di dunia dan di akhirat. Itulah kerugian yang amat nyata. (al-Hajj: 11) Begitulah keadaan orang yang beribadah dengan tujuan mendapatkan faedah-faedah dunyawi jika sampai dan berhasil tujuan dan kehendaknya bergembiralah dia dan kuatlah tujuannya tetapi lemahlah ibadahnya jika tujuannya tidak berhasil dia meninggalkan ibadah itu. Kesimpulan Sebagaimana yang telah kita faham sebelum ini runglingkup ibadah itu adalah terlalu luas sebagaimana yang telah dijelaskan iaitu ibadah merupakan semua kegiatan hidup manusia itu sendiri yang sesuai dengan syariat Islam yang suci dan murni itu, oleh itu bolehlah difaham ibadah dalam Islam bermula sejak dari adab-adab masuk ketandas mengerjakan qadha hajat hinggalah sampai kepada bagaimana cara mengurus kewangan dan mentadbir negara. Kegiatan hidup manusia ini akan termasuk ke dalam makna ibadah yang diberi ganjaran dan pembalasan pahala baik di akhirat apabila ia menepati dengan kehendak syarak, tidak menyeleweng dari kehendak dan ketentuan Allah swt. dikerjakan mengikut peraturan dan syarat-syaratnya, disertai pula dengan niat yang betul dan ikhlas semata-mata dilakukan kerana mencari keredaan Allah swt. tidak kerana yang lain dari-Nya, menghindarkan diri dari perasaan riak, (menunjuk-nunjuk), ingin dipuji dan terkenal sebagai orang yang rajin, tekun, orang baik dan ingin disebut-sebut sebagai ahli ibadah oleh orang ramai dan juga suka berbangga dengan memberi tahu kepada orang lain akan amal kebajikannya. Ia juga

hendaklah menghindarkan diri dari merasa bangga kerana ia telah banyak berbuat kebajikan dan berbuat amal ibadah. Oleh itu ibadah dalam Islam bukanlah terhad kepada amalan-amalan ibadah yang ritual semata-mata seperti sembahyang, zikir, puasa, haji dan sebagainya yang disebut sebagai ibadah khusus, tetapi ibadah merangkumi, kerja-kerja kemasyarakatan dan sosial, mencari rezki, sahinggalah kepada mengurus dan mentadbir negara; semuanya itu akan menjadi ibadah sekiranya ia dilakukan menurut cara dan kehendak Islam serta niat dari hati yang ikhlas semata-mata kerana Allah swt. Wallahu alam. Blog pada WordPress.com. | Theme: Andreas09 by Andreas Viklund.

You might also like