You are on page 1of 18

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah. Peran pendidikan, sungguh penting untuk kemajuan suatu bangsa. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mencapai bangsa yang berkualitas adalah dengan melaksanakan wajib belajar. Untuk mencapai hal ini mantan Presiden Soeharto telah mencanangkan wajib belajar enam tahun tepat pada hari Hardiknas tanggal 2 Mei 1984. Kemudian untuk percepatan mencapai sumber daya manusia yang berkualitas, maka sepuluh tahun kemudian, Mei 1994. mantan Presiden mencanangkan lagi wajib belajar sembilan tahun. Untuk mensukseskan wajib belajar sembilan tahun itu sangat dituntut tenaga pendidik yang betul-betul ahli dalam bidangnya (profesional) agar dapat mengelola pendidikan di lapangan secara baik. Mengingat betapa pentingnya sektor pendidikan dalam pelaksanaan pembangunan nasional jangka panjang tahap dua, khusus pembangunan sumber daya manusia, kita tidak dapat menutup mata dan telinga terhadap sektor pendidikan kita yang mutunya masih tertinggal . Berbagai usaha untuk meningkatkan kualitas pendidikan telah sama-sama kita rasakan dan kita lihat. Begitu pula banyak pembaharuan demi peningkatan mutu yang sudah dilakukan. Mengganti kurikulum yang diikuti oleh perubahan struktur buku-buku pelajaran yang membanjir di pasaran. Membentuk proyek peningkatan kwalitas guru-guru yang dilaksanakan dalam bentuk penataran, seminar-seminar dan latihan kerja. Begitu juga penyediaan sarana dan prasarana bidang pendidikan. Namun usaha-usaha ini belum lagi menampakkan harapan dan pencapaian target. Kita dapat mengetahuinya lewat hasil UASBN yang tetap rendah tiap tahun. Dan kita langsung memperhatikan betapa bertambahnya jumlah murid yang mengalami malas. Dari membaca media massa atau langsung melihat fakta yang menunjukkan adanya keruwetan dalam sekolah dan meningkatnya angka kenakalan pelajar. Data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala yang menunjukkan, bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke99 (1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999). Menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam. Data yang dilaporkan The World Economic Forum Swedia (2000), Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvei di

dunia. Dan masih menurut survai dari lembaga yang sama Indonesia hanya berpredikat sebagai follower bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53 negara di dunia. Memasuki abad ke- 21 gelombang globalisasi dirasakan kuat dan terbuka. Kemajaun teknologi dan perubahan yang terjadi memberikan kesadaran baru bahwa Indonesia tidak lagi berdiri sendiri. Indonesia berada di tengah-tengah dunia yang baru, dunia terbuka sehingga orang bebas membandingkan kehidupan dengan negara lain. Yang kita rasakan sekarang adalah adanya ketertinggalan didalam mutu pendidikan. Baik pendidikan formal maupun informal. Dan hasil itu diperoleh setelah kita membandingkannya dengan negara lain. Pendidikan memang telah menjadi penopang dalam meningkatkan sumber daya manusia Indonesia untuk pembangunan bangsa. Oleh karena itu, kita seharusnya dapat meningkatkan sumber daya manusia Indonesia yang tidak kalah bersaing dengan sumber daya manusia di negara-negara lain. Setelah kita amati, nampak jelas bahwa masalah yang serius dalam peningkatan mutu pendidikan di Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan di berbagai jenjang pendidikan, baik pendidikan formal maupun informal. Dan hal itulah yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan yang menghambat penyediaan sumber daya menusia yang mempunyai keahlian dan keterampilan untuk memenuhi pembangunan bangsa di berbagai bidang. Kualitas pendidikan Indonesia yang rendah itu juga ditunjukkan data Balitbang (2003) bahwa dari 146.052 SD di Indonesia ternyata hanya delapan sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years Program (PYP). Dari 20.918 SMP di Indonesia ternyata juga hanya delapan sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Middle Years Program (MYP) dan dari 8.036 SMA ternyata hanya tujuh sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Diploma Program (DP). Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia antara lain adalah masalah efektifitas, efisiensi dan standardisasi pengajaran. Hal tersebut masih menjadi masalah pendidikan di Indonesia pada umumnya. Adapun permasalahan khusus dalam dunia pendidikan yaitu: (1). Rendahnya sarana fisik, (2). Rendahnya kualitas guru, (3). Rendahnya kesejahteraan guru, (4). Rendahnya prestasi siswa, (5). Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan, (6). Rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan, (7). Mahalnya biaya pendidikan.

B. Batasan Permasalahan Begitu Banyak dan komplek masalah yang dihadapi dunia pendidikan di Negara kita. Telah banyak perbincangan, pengkajian dan pembahasan tentang permasalahan pendidikan ini. Dan

hal itu menjadi sebuah perjalanan yang panjang seiring panjangnya sejarah pendidikan di Indonesia. Dalam kesempatan ini berkenaan dengan adanya tugas mandiri yang di berikan oleh dosen mata kuliah kapita selekta pendidikan di Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Masudiyah (STAIMAS) Sukabumi, kami mencoba untuk sedikit membahas salah satu permasalahan tersebut, yang kami susun dalam bentuk makalah yang bertemakan Problematika Guru di Indonesia. Sebagai batasan, maka pembahasan akan diskonsentrasikan pada : 1. Bagaimana ciri-ciri pendidikan di Indonesia ? 2. Bagaimana kualitas pendidikan di Indonesia ? 3. Bagaimana peran dan problematika Guru bagi pendidikan di Indonesia ? 4. Solusi yang bisa di berikan bagi permasalahan Guru di Indonesia ?

C. Tujuan Penulisan 1. Mendeskripsikan ciri-ciri pendidikan di Indonesia. 2. Mendeskripsikan kualitas pendidikan di Indonesia saat ini. 3. Mendeskripsikan peran guru dalam pendidikan dan hal-hal yang menjadi penyebab rendahnya mutu pendidik di Indonesia. 4. Mendeskripsikan solusi yang dapat diberikan dari permasalahan-permasalahan guru di Indonesia.

BAB II PEMBAHASAN

A. Ciri-ciri Pendidikan di Indonesia Cara melaksanakan pendidikan di Indonesia sudah tentu tidak terlepas dari tujuan pendidikan di Indonesia, sebab pendidikan Indonesia yang dimaksud di sini ialah pendidikan yang dilakukan di bumi Indonesia untuk kepentingan bangsa Indonesia. Aspek ketuhanan sudah dikembangkan dengan banyak cara seperti melalui pendidikanpendidikan agama di sekolah maupun di perguruan tinggi, melalui ceramah-ceramah agama di masyarakat, melalui kehidupan beragama di asrama-asrama, lewat mimbar-mimbar agama dan ketuhanan di televisi, melalui radio, surat kabar dan sebagainya. Bahan-bahan yang diserap melalui media itu akan berintegrasi dalam rohani para siswa/mahasiswa. Pengembangan pikiran sebagian besar dilakukan di sekolah-sekolah atau perguruanperguruan tinggi melalui bidang studi-bidang studi yang mereka pelajari. Pikiran para siswa/mahasiswa diasah melalui pemecahan soal-soal, pemecahan berbagai masalah, menganalisis sesuatu serta menyimpulkannya.

B. Kualitas Pendidikan di Indonesia Seperti yang telah di uraikan pada bagian pendahuluan di atas, dapat terlihat bahwa kualitas pendidikan di Indonesia masih sangat tertinggal jauh di banding dengan Negara maju yang lain, bahkan dari Negara Malaysia sekalipun kita masih kalah dalam hal pendidikan.. Hal ini terbukti dari kualitas guru, sarana belajar, dan murid-muridnya. Guru-guru tentunya punya harapan terpendam yang tidak dapat mereka sampaikan kepada siswanya. Guru-guru saat ini masing dianggap kurang kompeten. Realitanya bahwa masih banyak orang yang menjadi guru karena tidak diterima di jurusan lain atau kekurangan dana (Pertimbangan financial). Kecuali guru-guru lama yang sudah lama mendedikasikan dirinya menjadi guru. Selain berpengalaman mengajar murid, mereka memiliki pengalaman yang dalam mengenai pelajaran yang mereka ajarkan. Belum lagi masalah gaji guru. Jika fenomena ini dibiarkan berlanjut, tidak lama lagi pendidikan di Indonesia akan hancur mengingat banyak guru-guru berpengalaman yang pensiun. Sarana pembelajaran juga turut menjadi faktor semakin terpuruknya pendidikan di Indonesia, terutama bagi penduduk di daerah terbelakang. Namun, bagi penduduk di daerah terbelakang tersebut, yang terpenting adalah ilmu terapan yang benar-benar dipakai buat hidup dan kerja. Ada banyak masalah yang menyebabkan mereka tidak belajar secara normal seperti kebanyakan siswa pada umumnya, antara lain guru dan sekolah.

Pendidikan ini menjadi tanggung jawab pemerintah sepenuhnya, kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono usai rapat kabinet terbatas di Gedung Depdiknas, Jl Jenderal Sudirman, Jakarta, Senin (12/3/2007). Presiden memaparkan beberapa langkah yang akan dilakukan oleh pemerintah dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, antara lain yaitu: 1. Langkah pertama yang akan dilakukan pemerintah, yakni meningkatkan akses terhadap masyarakat untuk bisa menikmati pendidikan di Indonesia. Tolak ukurnya dari angka partisipasi. 2. Langkah kedua, menghilangkan ketidakmerataan dalam akses pendidikan, seperti ketidakmerataan di desa dan kota, serta jender. 3. Langkah ketiga, meningkatkan mutu pendidikan dengan meningkatkan kualifikasi guru dan dosen, serta meningkatkan nilai rata-rata kelulusan dalam ujian nasional. 4. Langkah keempat, pemerintah akan menambah jumlah jenis pendidikan di bidang kompetensi atau profesi sekolah kejuruan. Untuk menyiapkan tenaga siap pakai yang dibutuhkan. 5. Langkah kelima, pemerintah berencana membangun infrastruktur seperti menambah jumlah komputer dan perpustakaan di sekolah-sekolah. 6. Langkah keenam, pemerintah juga meningkatkan anggaran pendidikan. 7. Langkah ketujuh, adalah penggunaan teknologi informasi dalam aplikasi pendidikan. 8. Langkah terakhir, pembiayaan bagi masyarakat miskin untuk bisa menikmati fasilitas penddikan. Memang semenjak Orde Baru, khususnya mulai PELITA I, perkembangan sektor pendidikan di Indonesia berkembang dengan pesat. Pemerintah memberikan prioritas yang tinggi pada perkembangan sektor pendidikan didasarkan pada asumsi bahwa dengan pendidikanlah pembangunan ekonomi Indonesia akan berhasil dengan baik. Didukung dengan hasil minyak bumi, maka perkembangan sarana fisik, khususnya gedung sekolah dasar dapat dilaksanakan pada tingkat yang luar biasa. Puluhan ribu guru diangkat, ratusan judul buku paket dicetak, training dan bentuk latihan peningkatan kualitas guru diselenggarakan. Dan hasilnya secara statistik perkembangan pendidikan di Indonesia sangat menggembirakan. Namun, dibalik itu semua, dunia pendidikan di Indonesia ternyata menghadapi problema yang berat, yang dapat dikategorikan menjadi: a) internal in-efficiency, b) external in-efficiency, dan c) ketidakmerataan kesempatan pendidikan. internal in-efficiency dalam sektor pendidikan berujud dalam bentuk tingginya angka drop-outs dan angka repeaters (ulang kelas yang sama). Sedangkan external in-efficiency berujud lulusan pendidikan tidak dapat diserap oleh pasar tenaga kerja ataupun dapat dipakai tetapi antara pekerjaan yang dilakukan berbeda dengan pendidikan yang diperoleh. Sedang ketidakmerataan pendidikan berujud adanya perbedaan memperoleh kesempatan pendidikan antara laki-laki dan wanita, antara penduduk kota dan

penduduk desa dan antara kaya dan miskin External in-efficiency pada sektor pendidikan tidaklah bisa dipisahkan dengan sektor yang lain, khususnya sektor ekonomi dan politik. Perubahan-perubahan bidang ekonomi dan teknologi sedemikian cepat, di lain pihak perubahan dunia pendidikan berjalan lambat. Perubahan-perubahan pada sistem dan kurikulum pendidikan tidak bisa dilakukan dengan cepat, karena adanya suatu perubahan di sektor pendidikan akan membawa dampak yang sangat luas dan besar pada kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Pengalaman pembangunan di negara-negara Barat, sistem dan kurikulum pendidikan dikembangkan dan didasarkan pada keadaan masyarakat saat itu dan proyeksi keadaan masyarakat di masa mendatang. Namun pada era teknologi dewasa ini sangat sulit atau dapat dikatakan hampir tidak mungkin bisa meramalkan keadaan masa mendatang dengan tepat. Akibat dari ketidakmampuan pendidikan memperhitungkan apa yang akan terjadi di masa mendatang, pendidikan juga tidak mampu untuk menyediakan tenaga kerja yang dibutuhkan oleh sektor ekonomi dan industri. Art dan peranan manpower planning semakin merosot karena tidak bisa merencanakan demand dan supply tenaga kerja dengan tepat Maka rentetan berikutnya adalah naiknya tingkat pengangguran terdidik tidak dapat terelakkan lagi. Problema ketiga adalah ketidakmerataan kesempatan mendapatkan pendidikan. Ketidakmerataan ini bisa dilihat menurut jenis kelamin, tempat tinggal, dan terutama menurut status sosial ekonomi. Teori klasik menyatakan bahwa pendidikan akan menjembatani jurang antara kelompok kaya dan kelompok miskin di masyarakat sudah banyak mendapatkan kritikan dan tantangan. Teori-teori Dependency, dengan bukti bukti empiris dari dunia ketiga, menunjukkan bahwa justru pendidikan memperbesar jurang kaya dan miskin. Sebab pada diri pendidikan itu sendiri terdapat stratifikasi sosial (lihat, Karabel dan Halsey, 1977). Kalau ketidakmerataan memperoleh pendidikan menurut sex dan desa/kota, sudah mulai dapat diperkecil dengan berbagai kebijakan pendidikan yang telah dilaksanakan, tidak demikian dengan ketidakmerataan pendidikan di antara penduduk miskin dan kaya. Perbedaan pendidikan menurut status ekonomi antara kaya dan miskin masih sulit untuk dipecahkan. Hal ini erat kaitannya dengan kualitas sekolah. Kualitas sekolah dan juga jenis atau jurusan akan menentukan status di masa depan. Sedangkan sebagian besar anak didik yang bisa memperoleh sekolah "favorit" datang dari kalangan keluarga mampu, sedang keluarga yang relatif miskin akan memperoleh sekolah yang juga relatif rendah kualitasnya. Hal ini tidak mengherankan, karena anak didik yang dapat memenuhi kualifikasi untuk masuk sekolah favorit sebagian besar adalah anak dari keluarga yang relatif mampu, yang memang secara riil lebih pandai Para ahli dan pengambil keputusan di bidang pendidikan terus menerus mengadakan pembaharuan. Pembaharuan pendidikan secara langsung dimaksudkan untuk memecahkan ketiga problema di atas: internal in-efficiency, external in-efficiency, dan ketidakmerataan pendapatan. Secara tidak langsung, perubahan-perubahan di sektor pendidikan: misalnya,

perubahan struktur pendidikan dan kurikulum, baik dalam arti content dan instructional delivery system, merupakan upaya agar pendidikan menjadi agent of development yang canggih. Namun pembaharuan-pembaharuan yang teiah dilaksanakan tidak jarang mengandung kelemahan dan perlu untuk dikritik. Salah satu kritik pernah dilontarkan oleh Winarno Surachmad (1986) yang menilai bahwa pembaharuan pendidikan di Indonesia bersifat tambal sulam dan kurang mendasar. Perubahan-perubahan kurikulum hanya menciptakan konfigurasi baru dengan isi yang lama. Kritik Havelock dan Huberman (1977) dan World Bank (1980) yang ditujukan pada pembaharuan pendidikan di negara-negara berkembang, termasuk sangat tepat untuk ditujukan pada pembaharuan pendidikan di Indonesia. Mereka menyatakan bahwa pembaharuan pendidikan yang dilakukan tidak dapat dipraktekkan karena keterbatasan pengetahuan pada tingkat pelaksana. Pembaharuan pendidikan yang dilaksanakan cenderung bersifat "technocratic perspective", artinya pembaharuan cenderung menekankan pada adopsi dari suatu perubahan daripada implementasi pada level klas (Verspoar&Reno, 1986). Di samping itu pendidikan di negara sedang berkembang cenderung mengambil alih apa yang telah berhasil dilaksanakan di dunia Barat. Sehingga inovasi yang dilaksanakan bersifat "metropolitan sentris". Karena bersifat "metropolitan sentris" , tidak jarang suatu pembaharuan pendidikan akan mengakibatkan perbedaan semakin tajam antara pendidikan di urban dan di rural. Hal ini bisa dimaklumi, sebab guru-guru di kota lebih siap untuk menerima pembaharuan yang dilaksanakan. Di samping itu, di banyak hal pembaharuan pendidikan yang dilaksanakan di Indonesia tidak mempunyai strategi monitoring dan prosedure evaluasi yang mantap. Sebagai contoh bisa disebut pembaharuan sistem dan kurikulum sekolah pembangunan. Lebih mendasar lagi, tidak jarang pembaharuan yang kita laksanakan merupakan pengambilalihan dari Barat, tanpa mengadakan modifikasi yang berarti dan mempertanyakan secara mendalam hakekat dan aspek-aspek yang pokok yang ada pada ide yang akan diambil tersebut. Dengan mempertanyakan hakekat ide yang akan dilaksanakan itu akan dapat diperhitungkan kemungkinan implementasinya. Sebab pada hakekatnya pembaharuan pendidikan harus berdasarkan pada What is, tidak pada What ought to be; pembaharuan harus cocok dengan realitas ruang-ruang kelas. Sebagai ilustrasi kritik ini dapat diambil sebagai contoh pembaharuan pada metoda pengajaran. Dalam kurikulum 1984, hampir pada semua pokok bahasan dicantumkan metoda cara belajar siswa aktif (CBSA) sebagai metoda yang harus digunakan. Metoda ini telah berhasil menaikkan "gengsi" pendidikan di Amerika pada tahuntahun 1960-an. Metoda CBSA mementingkan proses berpikir dan melatih inquiry skid. Kelebihan lain dari metoda ini adalah meningkatkan critical thinking, merangsang intrinsic motivation dan memberikan kemungkinan daya ingat yang lama pada diri siswa (Bruner, 1961). Namun perlu diingat bahwa metoda ini memerlukan persyaratan tertentu untuk bisa diimplementasikan. Misalnya, pelaksanaan metoda CBSA memerlukan kondisi dan iklim kelas yang tidak terlalu formal dan fleksibel. Guru harus mempunyai pengetahuan yang relatif luas. Pada diri murid

sudah terpatri kecintaan dan kesadaran pada hakekat ilmu, sikap ingin tahu, menghargai pikiran-pikiran dan bukti-bukti kebenaran, objektif dan bersifat toleransi. Patut kita pertanyakan sudahkah syarat-syarat tersebut ada pada kelas-kelas dan siswasiswa di tanah air kita? Apa yang diketemukan di kelas-kelas di Indonesia jauh dari yang diperlukan. Kelas-kelas masih sangat kaku dan formal. Pengetahuan para guru relatif terbatas, oleh karena itu mereka tidak berani membicarakan apa yang di luar silabi. Karena membicarakan di luar silabi memang di luar kemampuannya. Di fihak lain, murid cenderung untuk mendengarkan, menerima dan mencatat apa yang diterangkan oleh guru. Apa yang diterangkan oleh guru sudah dianggap merupakan kebenaran, oleh karena itu tidak perlu dipertanyakan dan diuji lagi. Maka, tidak mengherankan kalau metoda CBSA hampir dapat dikatakan tidak pernah dilaksanakan dalam ruang-ruang kelas. Selama kondisi tersebut belum terpenuhi metoda CBSA tidak akan pernah hadir di kelas secara riil. Di samping apa yang dikemukakan di atas, pembaharuan pendidikan di negara-negara sedang berkembang, termasuk di Indonesia, jarang mengevaluasi dan mengembangkan aspek lain dari pendidikan formal di luar kurikulum dan kemampuan guru. Di samping aspek kurikulum dan kemampuan guru, sekolah mempunyai aspek lain, yaitu aspek sosiologis; sekolah merupakan "a mini society". Sebagai suatu masyarakat kecil, sekolah merupakan cermin dari masyarakat dimana sekolah itu berada. Apa yang terdapat dan terjadi di masyarakat, pada dasarnya terujud juga dalam sekolah. Di sekolah terdapat aturan-aturan yang mengikat para anggotanya, baik anak didik maupun guru. Ada norma-norma dalam pergaulan yang harus dipatuhi, terdapat interaksi antara sesamanya baik secara individual maupun kelompok, terdapat konflik-konflik interes baik nampak maupun tersembunyi. Sangsi-sangsi akan dijatuhkan kepada siapa saja yang melanggar tatanan yang ada. Hak-hak dan kewajiban guru dan murid diakui.

C. Peran dan Problematika Guru Dalam setiap pembaharuan pendidikan, guru memegang peran yang strategis, sebab merekalah yang merupakan pelaksana pembaharuan pada level kelas. Namun, pengalaman di Indonesia menunjukkan guru lebih banyak dilihat sebagai objek dalam pembaharuan

pendidikan. Sehingga setiap kebijaksanaan sebagai ujud pembaharuan pendidikan lebih banyak bersifat instruksi yang harus dipatuhi dan dilaksanakan dan tidak ada ruang bagi guru untuk berimprovisiasi. Perencanaan dan kebijaksanaan nasional memang perlu, namun perlu dicatat bahwa pelaksanaan pembaharuan pendidikan sangat tergantung pada semangat, rasa keterlibatan, dan kesadaran para guru. Guru akan memberikan respon yang positif pada setiap usaha pembaharuan yang akan dapat meningkatkan kemampuan profesional mereka dan memberikan ruang bagi mereka untuk berimprovisasi secara aktif dalam proses pembaharuan tersebut. Oleh karena itu setiap upaya pembaharuan pendidikan seharusnya menjadikan guru

sebagai partisipan yang aktif, tidak hanya sebagai penerima pembaharuan. Pembaharuan pendidikan yang cenderung menjadikan guru sebagai objek dan sekedar penerima pembaharuan, apalagi hanya lewat instruksi, cenderung untuk gagal. Dalam kaitan ini perlu untuk didengar pendapat Fullan (1985) bahwa keberhasilan pembaharuan pendidikan tergantung pada apa yang difikir dan dilakukan guru. Permasalahan pendidikan dapat diamati dengan pendekatan macrocosmics dan microcosmics. Pendekatan macrocosmics berarti permasalahan guru dikaji dalam kaitannya dengan faktor-faktor lain di luar guru. Hasil pendekatan ini adalah bahwa rendahnya kualitas guru dewasa ini di samping muncul dari keadaan guru sendiri juga sangat terkait dengan faktorfaktor luar guru. Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas guru, antara lain: a) penguasaan guru atas bidang studi, b) penguasaan guru atas metode pengajaran, c) kualitas pendidikan guru, d) rekrutmen guru, e) kompensasi guru, f) status guru di masyarakat, g) manajemen sekolah, h) dukungan masyarakat, dan, i) dukungan pemerintah. Penguasaan guru atas bidang studi yang akan diajarkan kepada para siswa merupakan sesuatu yang mutlak sifatnya. Sebab, dengan materi bidang studi tidak saja guru akan mentransformasikan ilmu pengetahuan kepada siswa, tetapi lebih daripada itu, dengan materi bidang studi itu guru akan menanamkan disiplin, mengembangkan critical thinking, mendorong kemampuan untuk belajar lebih lanjut, dan yang tidak kalah pentingnya adalah menanamkan nilai-nilai yang terkandung dalam ilmu pengetahuan itu sendiri pada diri siswa. Penguasaan kemampuan guru di bidang metodologi pengajaran juga penting. Tetapi perlu dicatat bahwa, kemampuan metode dalam pengajaran kalau diwujudkan dalam simbol bagaikan angka "0". Artinya, betatapun banyak dan tingginya kemampuan metodologi pengajaran tidak memiliki nilai apa-apa, apabila tidak digabungkan dengan angka lain 1, 2, 3 dan seterusnya sampai 9 yang merupakan wujud dari kemampuan penguasaan bidang studi. Dalam masalah penguasaan materi bidang studi inilah kelemahan guru sangat menonjol. Suatu studi menunjukkan bahwa penguasaan bidang studi para guru kalau diwujudkan dalam skor yang terentang antara 0-10, terletak pada titik sekitar 7, dan untuk mata pelajaran matematika dan IPA lebih rendah lagi. Rendahnya penguasaan guru pada bidang studi tidak lepas dari kualitas pendidikan guru dan rekrutmen colon guru. Dapat dicatat bahwa selama ini terdapat tiga bentuk kurikulum yang mencerminkan fase pemikiran di lingkungan lembaga pendidikan guru. Fase pertama ditunjukkan dengan kurikulum pendidikan guru (IKIP, FKIP, dan STKIP) sebelum kurikulum IKIP 1984. Pada kurun waktu tersebut kurikulum pendidikan guru tidak jauh berbeda dengan kurikulum jurusan yang sama di universitas. Perbedaannya adalah pada mahasiswa pendidikan guru di samping memiliki bekal bidang studi yang memadai, juga ditambah dengan beberapa mata kuliah yang berkaitan dengan didaktik khusus. Pada waktu diberlakukannya kurikulum pendidikan guru 1984, terjadi perubahan yang mendasar. Mahasiswa pendidikan guru harus lebih menekankan pada metode mengajar dibandingkan dengan penguasaan materi bidang

studi. Oleh karena itu tidak mengherankan, kalau beban SKS di lingkungan pendidikan guru didominasi oleh mata kuliah pendidikan. Sebaliknya, mata kuliah bidang studi jauh berkurang. lbaratnya, pada kurikulum 1984 ini cara memegang kapurpun diajarkan di IKIP/FKIP/STKIR Hasilnya, lulusan pendidikan guru dengan kurikulum 1984 tidak mampu mengajar sebagaimana seharusnya. Pada akhir tahun 1980-an kembali terdapat perubahan kurikulum di lingkungan pendidikan guru. Namun, kurikulum baru juga menunjukkan ambivalensi antara penekanan pada bidang studi dan pada metode mengajar. Oleh karena itu hasil pendidikan guru masih juga diragukan, khususnya di bidang penguasaan bidang studi. Sesungguhnya perubahan kurikulum pendidikan guru yang terjadi tidak bisa dilepaskan begitu saja pada pemahaman akan hakekat profesi guru. Apakah guru diketagorikan sebagai hard profession atau soft profession. Sebab, masing-masing kategori memiliki implikasi yang berbeda terhadap lembaga dan program pendidikan guru. Suatu pekerjaan dapat dikategorikan sebagai hard profession apabila pekerjaan tersebut dapat didetailkan dalam perilaku dan langkah-langkah yang jelas dan relatif pasti. Pendidikan yang diperlukan bagi profesi ini adalah menghasilkan output pendidikan yang dapat distandarisasikan. Artinya, kualifikasi lulusan jelas dan seragam di manapun pendidikan itu berlangsung. Dengan kualifikasi ini seseorang sudah mampu dan akan terus mampu melaksanakan tugas profesinya secara mandiri meskipun tanpa pendidikan lagi. Pekerjaan dokter merupakan contoh yang tepat untuk mewakili kategori hard profession. Sebaliknya, kategori soft profession adalah diperlukannya kadar seni dalam melaksanakan pekerjaan tersebut. Ciri pekerjaan tersebut tidak dapat dijabarkan secara detail dan pasti. Sebab, langkah-langkah dan tindakan yang harus diambil, sangat ditentukan oleh kondisi dan situasi tertentu. Implikasi kategori soft profession tidak menuntut pendidikan dapat menghasilkan lulusan dengan standar tertentu melainkan menuntut lulusan dibekali dengan kemampuan minimal. Kemampuan ini dari waktu ke waldu harus ditingkatkan agar dapat melaksanakan tugas pekerjaannya sesuai dengan perkembangan masyarakat. Oleh karena itu, lembaga in-service training bagi soft-profession amat penting. Barangkali, wartawan, advokat, dan guru merupakan contoh dari kategori profesi ini. Berdasarkan pemahaman bahwa tugas guru merupakan soft profession, maka diperlukan perubahan yang mendasar pada proses pendidikan guru kita. IKIP tidak perlu diperluas menjadi universitas, sebaliknya IKIP harus dilebur dalam universitas. Apakah ke dalam universitas yang sudah ada atau baru bukan hal yang prinsip. Prinsip yang mendasar adalah bahwa semua fakultas atau bidang studi di universitas memberikan kesempatan kepada para mahasiswa yang sudah menyelesaikan mata kuliah bidang studi untuk memiliki sertifikat mengajar dengan mengambil mata kuliah pendidikan dan praktek mengajar di sekolah. Dengan demikian, sistem pendidikan guru ini memiliki kelebihan dari yang sekarang ini. Pertama, pendidikan guru adalah S1 PLUS bidang pendidikan. Kedua, pendidikan guru tidak inferior dibandingkan dengan pendidikan ilmu murni. Ketiga, pendidikan guru akan memperoleh input yang berkualitas

dengan mengundang mahasiswa yang berotak cemerlang. Memang terdapat kemungkinan sangat sedikit mahasiswa yang mengambil sertifikasi mengajar. Namun, keadaan ini hanya bersifat sementara, karena kekurangan tenaga guru akan meningkatkan daya saing guru. Kualitas guru tidak bisa dilepaskan dari kompensasi yang mereka terima dan status guru di masyarakat. Namun, kompensasi atau gaji guru tidak bisa dilepaskan dari kondisi ekonomi suatu negara. Artinya, perbandingan gaji guru antar negara akan tidak pas kalau tidak ditimbang dengan kemakmuran bangsa tersebut. Gaji guru di Malaysia lebih besar dibandingkan dengan gaji guru di Indonesia, secara absolut. Namun, perbandingan akan berbeda manakala kedua gaji tersebut diperbandingkan dengan pendapatan perkapita negara masing-masing. Oleh karena itu, bukan hanya gaji yang penting melainkan bagaimana dukungan masyarakat dan pemerintah bagi kesejahteraan dan status guru. Lagu Guru Pahlawan Tanpa Tanda Jasa sangat mulia dan terhormat. Dalam setiap kesempatan wisuda sering lagu tersebut diperdengarkan, dan hadirin terbuai dengan kesyahduan. Namun, barangkali bagi guru sendiri akan lebih senang kalau lagu diubah menjadi "Guru Pahlawan Penuh Tanda Jasa. Dengan demikian, kelak tidak hanya muballigh yang ber BMW atau Mercy, tetapi juga para guru akan ber-Kijang atau ber-Escudo, simbol kemakmuran masyarakat dewasa ini. Namun, barangkali merupakan suatu kemustahilan, paling tidak untuk jangka pendek, untuk merealisir kompensasi guru yang memadai kalau hanya bersandarkan kepada anggaran pemerintah. Barangkali, sudah masanya untuk dipikirkan mobilisasi dana pendidikan atau dana kesejahteraan guru yang berasal dari masyarakat. Kalau untuk keperluan lain dana mudah diperoleh misalnya untuk prestasi olah raga, mengapa tidak bagi prestasi guru? Di sinilah letaknya, partisipasi orang tua dan dukungan masyarakat mutlak diperlukan untuk meningkatkan kualitas guru. Kualitas guru yang ditunjukkan oleh kualitas kerja tidak dapat dilepaskan dari manajemen pendidikan. Manajemen pendidikan yang sentralistis, dengan menempatkan pengambilan keputusan di tangan-tangan yang jauh dari guru tidak menguntungkan bagi usaha meningkatkan kualitas kerja guru. Misalnya, keharusan guru untuk mengajar dengan CBSA, menempatkan guru pada posisi yang tidak menyenangkan. Sebab, pelaksanaan proses belajar mengajar di kelas sangat tergantung pada kondisi dan situasi yang dipengaruhi oleh berbagai variabel. Oleh karena itu keputusan tentang bagaimana proses belajar mengajar harus dilaksanakan yang ditentukan dari atas sulit untuk dapat diterima akal sehat. Sebab, justru guru yang paling tahu apa yang harus dilakukan. Di fihak lain, dengan adanya ketentuan dari pusat beban guru lebih ringan. Karena kegagalan dalam rnengajar bukan hanya dikarenakan olehnya tetapi juga oleh instruksi dari atas yang tidak jalan karena tidak cocok dengan keadaan di lapangan. Oleh karena itu, pemberian otoriomi yang lebih besar kepada guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar akan memberikan rasa tanggung jawab lebih besar kepada guru. Rasa tanggung jawab ini mutlak diperlukan dalam meningkatkan kualitas guru. Dengan pendekatan microcosmics dapat dideskripsikan bahwa keberhasilan guru sangat

tergantung pada kemampuan dan dedikasi guru di satu fihak dan motivasi dan usaha keras dari siswa di fihak lain. Oleh karena itu, guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar juga harus mampu membangkitkan semangat untuk berprestasi di kalangan siswa. Tugas tersebut tidak ringan mengingat karakteristik yang melekat pada pekerjaan guru. Karakteristik pertama adalah pekerjaan guru bersifat individual dan cenderung non-collaborative. Kedua, pekerjaan guru dilakukan di ruang-ruang kelas yang terisolir dalam jangka waktu yang lama. Ketiga, ini merupakan akibat pertama dan kedua, waktu guru untuk berdialog akademik dengan sesama guru sangat terbatas. Karakteristik kerja guru ini menyebabkan guru merupakan pekerjaan yang tidak pernah mendapatkan umpan balik. Tanpa adanya umpan balik sulit bagi guru untuk dapat meningkatkan kualitas profesinya. Umpan balik merupakan sesuatu yang diperlukan oleh guru. Untuk itu, guru perlu dilengkapi dengan kemampuan untuk melakukan self-reflection, untuk mengevaluasi apa yang telah dilaksanakan dan bagaimana hasilnya. Analisis dengan gabungan pendekatan macrocosmics dan microcosmics, menunjukkan bahwa persoalan guru dapat dikategorikan ke dalam berbagai kelompok. Mengikuti model analisis yang dikembangkan Boediono mengelompokan sasaran wajib belajar menjadi 8 kelompok berdasarkan kemampuan ekonomi dan aspirasi pendidikan orang tua, persoalan guru dapat dikategorikan berdasarkan tiga variabel: ekonomi dengan predikat cukup dan kurang, kemampuan dengan predikat mampu dan tidak mampu, dan variable dedikasi dengan predikat penuh dedikasi dan kurang dedikasi. Dengan demikian terdapat delapan kelompok guru: 1) ekonomi cukup, mampu dan dedikasi tinggi, 2) ekonomi cukup, mampu, tetapi tidak memiliki dedikasi, 3) ekonomi cukup, kurang mampu, tetapi memiliki dedikasi tinggi, 4) ekonomi cukup, tidak mampu dan tidak memiliki dedikasi, 5) ekonomi kurang, tetapi mampu dan penuh dedikasi, 6) ekonomi tidak mampu, tidak memiliki dedikasi tetapi mampu, 7) ekonomi kurang, tidak mampu tetapi memiliki dedikasi tinggi, dan, 8) ekonomi kurang, tidak mampu dan tidak memiliki dedikasi. Sudah barang tentu, kebijakan dan program peningkatan kualitas guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar tidak mungkin secara spesifik mendasarkan pada kategorisasi tersebut. Betapapun juga, gambaran kategori tersebut perlu untuk direnungkan dalam membenahi dan menata guru dewasa ini. Paling tidak, upaya peningkatan kualitas guru dengan penataran untuk meningkatkan kemampuan tidak cukup. Sebab, masih ada faktor lain yang perlu sentuhan, yakni semangat-dedikasi guru dan kesejahteraannya. Kebijakan dan program peningkatan kualitas guru daiam melaksanakan proses belajar mengajar harus menyentuh tiga aspek sebagaimana dikemukakan di atas: aspek kemampuan, aspek semangat dan dedikasi, dan aspek kesejahteraan. Kebijakan yang tidak lengkap, yang tidak mencakup ketiga aspek tersebut cenderung akan mengalami kegagalan. Kebijakan untuk meningkatkan kualitas guru harus banyak bertumpu pada inisiatif dan kemauan yang datang dari fihak guru sendiri. Dengan kata lain guru sebagai subjek bukannya

objek. Untuk pengembangan kemampuan guru untuk belajar (bukan mengajar) sangat penting. Kemampuan belajar mencakup kemampuan untuk membaca dan mengkaji fenomena masyarakat secara efisien, kemampuan untuk menentukan bahan yang relevan dan perlu untuk dikaji, dan, kemampuan untuk mencari sumber pengetahuan. Dalam kaitan ini suatu mekanisme atau prosedur untuk munculnya umpan balik bagi guru sangat penting artinya. Salah satu yang mungkin dilaksanakan adalah membekali guru dengan kemampuan untuk melakukan self reflection, lewat action research. Kemampuan untuk belajar ini akan dapat terus hidup dan tumbuh subur manakala guru memiliki cukup ruang untuk berinisiatif dan berimprovisasi. Untuk itu instruksi, jukiak dan juknis yang berkaitan dengan pengajaran harus diminimalkan, kalau tidak dapat dihilangkan sama sekali. Perluasan otoritas guru ini harus pula diiringi dengan kebijakan untuk mengembangkan sistem accountabilitas sekolah yang jelas dan transparan. Sekolah, termasuk guru harus menyusun program dan target kegiatan yang jelas dan dikomunikasikan kepada orang tua siswa dan masyarakat. Hasil kerja sekolah atas pencapaian target harus dapat dievaluasi dengan jelas oleh orang tua dan masyarakat. Sekolah harus meletakkan orang tua dan masyarakat sebagai konsumen. Kepuasan konsumen harus ditempatkan pada prioritas paling tinggi. Untuk itu, sekolah di bawah pimpinan kepala sekolah harus dapat bekerja secara mandiri. Sekolah harus dijiwai watak ekonomi, kerja efektifdan efisien. Dalam kaitan inilah, school site based management merupakan suatu tuntutan dasar dalam. Upaya peningkatan kualitas sekolah. Dengan sistem manajemen ini otoritas sekolah semakin besar, termasuk tanggung jawab memajukan sekolah. Semakin besar otoritas dan tanggung jawab ini pada gilirannya akan meningkatkan kesadaran pada diri guru untuk memberikan yang terbaik bagi siswanya. Upaya peningkatan kualitas guru untuk meningkatkan kualitas lulusan harus disertai dengan peningkatan kesejahteraan guru. Prinsip school site based management menuntut partisipasi dari fihak orang tua siswa dan masyarakat lebih besar. Partisipasi yang pertama berkaitan dengan upaya mobilisasi dana pendidikan, dan partisipasi kedua adalah aktivitas mereka dalam ikut memikirkan kemajuan sekolah. Oleh karena itu, sistem kerjasama orang tua dan sekolah perlu dikembang-suburkan. Dalam mobilisasi dana pendidikan akan terjadi ketimpangan antara satu sekolah dengan sekolah lain, sebagai akibat adanya perbedaan kualitas sekolah. Terdapat kecenderungan bahwa semakin berkualitas suatu sekolah maka akan semakin besar kemampuan sekolah untuk memobilisasi dana pendidikan dari kalangan orang tua siswa dan masyarakat Sudah barang tentu hal ini tidak perlu untuk dicegah. Yang penting adalah alokasi anggaran pendidikan pemerintah perlu disesuaikan dengan kondisi sekolah masing-masing. Anggaran pemerintah seyogyanya diarahkan ke sekolah-sekolah yang tidak mampu memobilisasi dana disebabkan kemampuan orang tua siswa yang rendah. Usaha yang tiada pernah mengenal akhir bagi suatu negara adalah usaha untuk

meningkatkan kemakmuran bangsanya. Hal itu dikarenakan padahakekatnya apa yang dinamakan kemakmuran tidak ada batasnya. Negara yang sudah sedemikian maju pun, seperti Jepang, Jerman dan Amerika Serikat, misalnya, masih juga berjuang keras untuk mencapai tingkat kemakmuran yang lebih tinggi. Khususnya negara-negara sedang berkembang, nampaknya harus berusaha lebih keras dalam upaya meningkatkan kemakmuran

masrarakatnya. Suatu keuntungan bagi negara- negara sedang berkembang termasuk Indonesia, adalah bisa mengambil pelajaran dari apa yang dialami oleh negara-negara yang sudah terdahulu mengalami kemajuan. Dalam kaitan ini, dalam upaya meningkatkan kemakmuran bangsanya, kiranya negara-negara sedang berkembang patut menyimak peringatan Task Force on Teaching as a Profession on the Carnegie Forum on Education and the Economy bahwa "Dalam usaha kemajuan, suatu bangsa harus.sepenuhnya menyadari dua kebenaran yang fundamental ; yakni, a), keberhasilan usaha mencapai kemajuan tergantung pada keberhasitan menciptakan kualitas pendidikan yang lebih baik daripada sebelumnya, dan b). kunci keberhasilan peningkatan kualitas pendidikan tergantung pada keberhasilan mempersiapkan dan menciptakan guru-guru yang profesional yang memiliki kekuatan dan tanggung jawab yang baru untuk merencanakan sekolah masa depan.

D. Solusi yang bisa di berikan Untuk memperoleh sumber daya manusia yang berkualitas adalah lewat sumber daya manusia yang berkualitas pula. Maksudnya untuk memperoleh murid yang berkualitas tentu dibutuhkan pula guru yang, berkualitas. Dalam pelaksanaan proses belajar mengajar peran guru tidak hanya sekedar membantu proses pembelajaran atau sebagai seorang pengambil keputusan instruksional. Tetapi lebih dari itu yaitu guru harus dapat berperan sebagai konselor, motivator dan fasilitator agar proses pembelajaran anak didik tidak asal-asalan saja. Untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas agaknya sederhana saja rumusnya, yakni guru jangan mengajar asal-asalan. Sangat mustahil kalau guru-guru yang demikian dapat bertindak atas nama peningkatan kualitas, berfungsi sebagai konselor, motivator dan fasilitator bagi murid-murid. Mustahil pula seorang guru akan ikut berpartisipasi sempurna dalam pendidikan kalau ia sendiri belum menampakkan, kualitas diri. Untuk itu kita mengharapkan agar guru-guru bersikap tulus dalam meningkatkan kualitas pendidikan dan diri sendiri. Andai kata mereka mengikuti penataran atau sanggar, misalnya, janganlah hanya sekedar mengharapkan sertifikat untuk kredit poin, mengharapkan sejumlah kecil maten dan begitu pula jangan hanya bersikap pasif atau sekedar hura-hura. Agar dapat memainkan peranan dengan baik dalam dunia pendidikan maka guru harus senantiasa membelajarkan diri, otodidaktif, dan agaknya tidak ada alasan lagi bagi guru untuk selalu berlindung di balik alasan untuk tidak belajar. Sediakanlah waktu setiap hari untuk menyentuh buku-buku yang bermanfaat dan dapat menambah wawasan berfikir dengan

harapan kita semua dapat menjadi guru yang berkualitas agar kita dapat mendidik murid-murid menjadi sumberdaya manusia yang berkualitas

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan Kualitas mutu pendidikan di Indonesia masih jauh bila dibandingkan dengan Negara lain. Hal ini terlihat dari aspek-aspek pendidikan itu sendiri yang realitanya masih belum baik. Hal tersebut dipengaruhi dengan berbagai factor yang berkaitan dengan situasi dan kondisi bangsa Indonesia yang memang belum se maju Negara-negara maju yang lain. Permasalahan pendidikan di Indonesia bisa di generalisasikan menjadi tiga kategori yaitu : 1. Internal in-efficiency, 2. External in-efficiency, dan 3. Ketidakmerataan kesempatan pendidikan. Permasalahan Guru dapat diamati melalui dua pendekatan. Yaitu : 1. Pendekatan macrocosmics, yaitu permasalahan guru dikaji dalam kaitannya dengan faktor-faktor lain di luar guru. Antara lain: a) penguasaan guru atas bidang studi, b) penguasaan guru atas metode pengajaran, c) kualitas pendidikan guru, d) rekrutmen guru, e) kompensasi guru, f) status guru di masyarakat, g) manajemen sekolah, h) dukungan masyarakat, dan, i) dukungan pemerintah. 2. Pendekatan microcosmics. Yaitu pengkajian kualitas dan keberhasilan guru dilihat dari pengaruh kemampuan dan dedikasi guru di satu fihak dan motivasi dan usaha keras dari siswa di fihak lain Kemajuan sebuah bangsa tergantung dari kualitas sumber daya manusia di dalamnya. Dan kualitas sumber daya manusia akan sangat tergantung dari kualitas pendidikan bangsa tersebut. Guru sebagai ujung tombak pendidikan di Indonesia memiliki peran yang sangat penting bagi upaya memajukan bangsa dan Negara Indonesia.

B. Saran Trend perkembangan dunia sebagaimana ditunjukkan dengan adanya perubahan sosial yang cepat menuntut adanya paradigma baru dunia pendidikan. Pandangan yang menafsirkan bahwa pendidikan akan menekankan pada pendekatan yang menyeluruh dan bersifat global. Pandangan holistis ini akan menimbulkan dua pembaharuan di dunia pendidikan, a). Bahwa pendidikan akan menekankan pada anak didik "berfikir secara global dan bertindak bersifat lokal", dan b). pembaharuan makna efisiensi, yakni tidak semata-mata bermakna ekonomis, tetapi meliputi pula keharmonisan dengan lingkungan, solidaritas dan kebaikan untuk semuanya. Dengan adanya paradigma baru di atas maka tuntutan kualifikasi hasil pendidikan juga akan berubah. Pendidikan dituntut untuk menekankan pengembangan kemampuan tertentu

pada diri anak didik. Antara lain : a) kemampuan untuk mendekati permasalahan secara global dengan pendekatan multidisipliner, b) kemampuan untuk menyeleksi arus informasi yang sedemikian deras, untuk kemudian dapat dipergunakan untuk kehidupan sehari-hari, c) kemampuan untuk menghubungkan peristiwa satu dengan yang lain secara kreatif, d) meningkatkan kemandirian anak karena tingkat otonomi kehidupan pribadi dan keluarga semakin tinggi, e) menekankan pengajaran lebih pada learning how to learn, dari pada learning something. Sebagai konsekuensi paradigma baru pendidikan, dan tuntutan pembaharuan pendidikannya maka dunia pendidikan memerlukan guru-guru dengan kualifikasi dan kemampuan baru. Sebagai konsekuensi lebih lanjut berarti pembaharuan pendidikan menuntut pembaharuan bagi pendidikan guru. Pembaharuan pada pendidikan guru pada dasarnya di arahkan agar pendidikan guru mampu menghasilkan guru-lulusan sesuai dengan tuntutan kualifikasi masa depan di mana masyarakat senantiasa berubah dengan cepat.

DAFTAR PUSTAKA :

http://pakguruonline.pendidikan.net/pradigma_pdd_ms_depan_33.html http://meilanikasim.wordpress.com/2009/03/08/makalah-masalah-pendidikan-di-indonesia/

MAKALAH
KAPITA SELEKTA PENDIDIKAN

PROBLEMATIKA GURU DI INDONESIA

Disusun Oleh : Asep Rijwan Suhendi PAI / VII

Disusun dan Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mandiri Dosen Mata Kuliah Kapita Selekta Pendidikan di Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Masudiyah (STAIMAS)

Sekolah Tinggi Agama Islam Al-MasUdiyah (STAIMAS) SUKABUMI 2011 / 2012

You might also like